EKSISTENSI HUKUM ADA T DALAM KONSTITUSI NEGARA

advertisement
EKSISTENSI HUKUM ADAT DALAM KONSTITUSI NEGARA
PASCA AMANDEMEN UUD 1945
Yanis Maladi I
Abstract
Indonesia is a nation with a historical special constitution; long history has been
passed through time to time until the affirmation oj constitution stating Indonesia is a
lawfol state (Rechstaat). The affirmation oj Indonesia as a lawJul state does not
easily exist. however. there are some idealisms. values. morals brought by Indonesia
people. One oj them is a custom law which is an implementation oj social cultural
values coming Jrom local wisdom relating to peoples traditions. Custom laws are
main sources in Jorming national laws due to being the implementation oj original
laws oj Indonesia people. This study tries to conduct exploration to the existence oj
custom laws in Indonesia's constitutions. starting Jrom the beginning oj
independency to the reJormation era. The respect Jor the existence oj custom laws
can be seen in some decisions oj The Constitution Court as a state institution
supervising and interpreting constitutions. The partiality oj judge and the
constitutional judge oj custom laws is the implementation oj constitutional mandate
(in Article 18 oj UUD I 945). ThereJore. it can be assumed that Indonesia is not an
implementation oj the Jormal laws only. but Indonesia laws should also be able to
implement moral values containing in the constitution (moral decision) so that it can
implement a state which has consciences Jor its people (a state with conscience and
compassion).
Keywords: existence oj customary law. the constitution. rule oj law. legal
harmonization
Abstraksi
Indonesia adalah bangsa yang memiliki akar sejarah ketatanegaraan yang khas.
perjalanan panjang telah dilalui bangsa Indonesia dari waktu ke waktu. hingga
kepada penegasan konstitusi bahwa Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat).
I PenuJis adalah Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Mataram. Alamat korespondensi:
[email protected].
422
Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No. 3 Juli-September 2011
Penegasan Indonesia sebagai negara hukum tidak serta merta ada begitu saja,
melainkan ada seperangkat idealisme, cita-cita ,nilai dan moral yang dibawa oleh
bangsa Indonesia. salah satunya adalah hukum adat yang merupakan perwujudan
daripada nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang bersumber dari kearifan lokal
(local wisdom) yang berhubungan dengan tradisi rakyat. Hukum adat merupakan
sumber utama dalam pembentukan hukum nasional, karena merupakan perwujudan
dari hukllIn asli bangsa Indonesia. Tulisan ini mencoba untuk melakukan ekplorasi
terhadap eksistensi hukum adat dalam konstitusi bangsa indonesia, mulai dari awal
kemerde'kaan bangsa ini hingga pada era reformasi saat inL Penghormatan
terhadap eksistensi hukum adat, dapat kita lihat dari beberapa putusan Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga negara pengawal dan penafsir konstitusi. Keberpihakan
hakim dan hakim konstitusi terhadap hukum adat adalah merupakan perwujudan
dari amanah konstitusi dalam pasal 18 B UUD 1945. Dengan demikian bisa
diartikan bahwa negara hukum Indonesia bukan hanya sebagai perwujudan dari
hukum formal belaka melainkan lebih dari itu negara hukllm indonesia harus
mampu mewujudkan moral yang terkandung dalam konstitllsinya (moral design)
sehingga dapat mewujlldkan negara yang memiliki kepedlllian (a state with
concience and compassion) terhadap rakyatnya.
Kata kunci: eksistensi hukum adat,konstitusi,kepastian hukllm,harmonisasi hukum
I.
Pendahuluan
Dari perjalanan sejarah hukum nasional yang pertama kali menemukan dan
menggunakan istilah hukum adat adalah ahli hukum berkebangsaan Belanda
bemama Snouck-Hurgronje yang ditulis dalam bukunya yang berjudul "De
Atjehers ", penggunaan istilah tersebut tidak banyak yang mengetahui asal-usulnya,
namun dikalangan kaum akademisi yang dipelopori oleh van Vollenhoven istilah
tersebut menjadi dikenal luas oleh beberapa kalangan bahkan van Vollenhoven
sendiri menjadikannya judul buku yang ia terbitkan pertama kali berjudul "Het Adat
Recht van Nederlandsch Indie", 2 yang selanjutnya diimplementasikan secara efektif
oleh ter Haar pada sekolah tinggi hukum Rechtshogeschool te Batavia yang ia
pimpin saat itu pada tahun 1930-an.
Pada masa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia pemakaian istilah
hukum adat secara khusus/khas nasional pada awal mulanya dipelopori oleh
2 van Vollenhoven dalam Yanis Maladi, "Antara Hukum Adat dan Ciptaan Hukum oleh Hakim
(Judge Made Law) ", (Yogyakarta: Mahkota Kata, 2009), ha1.22.
Ehistensi Hukurn Adal Dalam Konslitusi Negara Pasca Amandernen UUD 1945, Maladi
423
kaJangan pemuda pada tahun 1928 dimana hasil kongres pemuda-pemuda Indonesia
tersebut mencantumkan hukum adat sebagai persatuan bangsa Indonesia. Sebagai
apa yang ditegaskan dalam kongres tersebut menurut Moh. Koesnoe, hukum ad at
telah menjadi jiwa dan isi tatanan hukum nasional. 3 Bahkan para ahli hukum ad at
telah menjadikan keputusan kongres tersebut sebagai peristiwa yang monumental,
karena merupakan suatu "cikal-bakal" tersusunnya pengertian hukum adat milik
bangsa Indonesia yang berbeda dengan hukum adat dalam pengertian "adat recht "
yang diterima kalangan akademis dari Barat.
Berikutnya secara akademis pada tahun 1948 melalui pidato dies oleh
Soepomo yang disampaikan di Universitas Gajah Mada (UGM) istilah hukum adat
menjadi 1ebih lazim dipakai, namun istilah "adat recht" dikalangan akademis masih
juga digunakan secara resmi di fakultas-fakultas hukum diberbagai tempat seperti di
fakultas hukum dan masyarakat Universitas Indonesia.
Sepanjang belahan akhir abad 19, yang diawa1i oleh kebijakan kolonial untuk
mengembangkan tata hukum di negeri koloni ini secara disadari, istilah yang dipakai
adalah 'de gebruiken. gewoonten and godsdienslige instellingen der inlanders'
(kelaziman, kebiasaan dan lembaga-lembaga keagamaan orang-orang pribumi). Pada
masa kolonial dirasakan pengingkaran eksistensi hukum adat sebagai sebuah hukum
yang bisa difungsikan untuk mengintegrasi organisasi kehidupan yang berskala atau
berformat antar lokal seringkali dilakukan. Pengingkaran yang dilakukan
pemerintahan kolonial bisa dilihat dari berbagai kebijakannya yang hanya
mengkonsepkan hukum sebagai sebuah lege alias hukum perundang-undangan yang
mempunyai bentuk yang positif tertulis. Hukum tertulis yang pad a awalnya berlaku
bagi penduduk Eropa akhimya juga diberlakukan bagi penduduk lainnya termasuk
penduduk pribumi di masa kolonial, hal ini juga didasarkan atas "asas konkordansi"
hukum yang berlaku pada saat itu, ketika mengharuskan hukum Negara "penjajah"
berlaku sarna di Negara "jajahannya".
Penggunaan asas konkordansi oleh pemeritahan kolonial Belanda telah menuai
kritik dan protes keras, seperti yang dilakukan oleh van Vollenhoven yang dikenal
sebagai bapak Hukum adat menentang kebijakan kolonial Belanda yang
memberlakukan hukum positif tertulis di Negara jajahannya. Dari pemikiran dan
aliran pemikiran van Vollenhoven, dia seorang yang setuju dengan teori bahwa
hukum tertulis (Negara) lebih fungsional untuk menata suatu negeri yang akan
dikelola berdasarkan prinsip Negara modem. Sehingga yang menjadi pertentangan
3 Moh. Koesnoe, dalam Siti Soendari (Editor), "Hukum Adat dalam Alam Kemerdekaan
Nasional dan Soalannya Menghadapi Era Globalisasi", (Surabaya: Ubhara Press, \996), hal. 5.
424
Jurnai Huf..-um dan Pembangllnan Tahun ke-4i No.3 Juli-September 2011
disini menurut van Vollenhoven sebenamya bukanlah niat untuk memodemisasi dan
memformalisasi tatanan hukum di Indonesia itu sendiri. Melainkan yang ditentang
olehnya adalah niat pemerintah kolonial untuk menjadikan substansi hukum Barat
sebagai materi hukum perundang-undangan yang akan diberlakukan di dan untuk
suatu negeri yang mayoritas penduduknya telah mempunyai hukumnya sendiri.
Bahkan van Vollenhoven pemah memberikan kritikan terhadap pendapat rekan
sejawatnya yang mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada hukum (hukurn asIi).
Vollenhoven mengatakan bahwa hal tersebut akibat dari para sejawatnya yang
menggunakan kacamata yuris Belanda pada saat ingin menemukan hukum yang ada
di negeri jajahan Belanda pad a waktu itu. Maka Vollenhoven menganjurkan jangan
menggunakan kacamata "juristenrecht " bila ingin menemukan hukum Indonesia. 4
Benturan antara hukum modem dan hukum setempat yang telah ada lebih
dahuIu selama puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu memang menimbulkan
sebuah jarak pemisah yang lebar diantara keduanya. Selain mempertemukan kedua
format hukum yang berbeda, disini juga teIjadi pertemuan antara dua cara hidup atau
kultur berbeda pula. Sebagai contoh, penyebaran yang teIjadi di Micronesia,5 Hukwn
Micronesia adalah sebuah transplantasi hukum Amerika Serikat (AS) yang
diterapkan di Negara kepulauan tersebut. "Micronesian law was transplanted in its
entirety from the United States ... ... Their cllstomsand values could hardly been more
different from the legal system and its norms ". Penerapan hukum AS di Micronesia
telah mengakibatkan terjadinya perubahan keadaan di Negara kepulauan tersebut,
hukum yang mungkin tumbuh dan sesuai dengan kultur di Amerika Serikat temyata
tidak mampu memberikan kesesuaian dengan kultur di Micronesia, sehingga
bukannya menyelesaikan masalah melainkan lebih menimbulkan persoalan hingga
pada kesengsaraan bagi rakyat Micronesia. Hal tersebut merupakan salah satu contoh
dari apa yang teIjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Seiring dengan beIjalannya waktu, banyak pemikiran dari abli-abli hukwn
Belanda dan kaum-kaum terpelajar dari kalangan pribumi pada saat itu,
mengakibatkan sedikit demi sedikit terjadi penguatan hukum adat dalam berbagai
kebijakan hukum kolonial. Hingga akhimya momentum Sumpah Pemuda tahun 1928
telah mengikrarkan untuk menjadikan hukum adat sebagai asas-asas hukum
Indonesia di masa mendatang, merupakan salah satu indikator yang nyata dari
gerakan moder-nisasi di kalangan kaum terpelajar pribumi, namun dengan tetap
4 Satjipto Rahardjo, "Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya", (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2009), hal. 49-50.
' Tamanaha dalam Satjipto Rahardjo, 2009, "Negara Hukunl ....... Op. Cit. , hal. 30-31 ,
>mri Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen UUD i945, Maladi
425
mempertahankan warisan cultural dari bumi sendiri yang asli sebagai substansi
utamanya hingga pada menjelang kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 1945.
Cita-cita dan harapan bangsa Indonesia yang menghendaki hukum adat sebagai
alat pemersatu bangsa (dalam Piagam Sumpah pemuda) kini telah memberi harapan
bagi pembangunan hukum adat di Indonesia kedepan. Sebagaimana diatur dalam
Pasal-Pasal amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang kini menjadi
relevan dijadikan bahan kajian bincangan rancang bangun hukum nasional Indonesia
kedepan.
II.
Pembahasan
Setiap bangs a dan peradaban memang memiliki sebuah karakter yang unik.
Karakter ini terbentuk berdasarkan sejarah dan perkembangan budaya di
masyarakatnya. Bahkan setiap bangsa memiliki karakter dan kualitas tersendiri yang
. secara intrinsik tidak ada yang bersifat superior satu diantara yang lainnya. Begitu
juga dengan pembentukan sistem hukum yang memiliki kaitan erat dengan budaya
masyarakatnya, seperti yang dikatakan von Savigny bahwa suatu sistem hukum
adalah bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas
(arbitrary act of a legislator), tetapi dibangun dan dapat ditemukan di dalam jiwa
masyarakat. Hukum secara hipotetis dapat dikatakan berasal dari kebiasaan dan
selanjutnya dibuat melalui suatu aktivitas hukum (juristic activity). 6
Akar katatanegaraan suatu negara dengan demikian bisa dilacak dari sejarah
bangsa itu sendiri. Karakteristik dan identitas suatu bangsa sangat menentukan dasardasar kebangsaan dan kenegaraan di dalam konstitusi. Hal itu dapat dilihat dari salah
satu konsensus dasar yang termaktub dalam konstitusi, yaitu kesepakatan tentang
tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of
the same philosophy of gouvernment).7 Hal itu memiliki konsekuensi bahwa
konstitusi selalu dibuat dan berlaku untuk suatu negara tertentu. Konstitusi dibuat
berdasarkan pengalaman dan akar sejarah suatu bangsa, kondisi yang sedang dialami,
serta cita-cita yang hendak dicapai.
6 M.D.A. Freidman, "Lloyd's introduction to Juricprudence", Seventh Edition, (London:
Sweet & Maxweel Ltd., 2001), hal. 904-905.
William G. Andrews, "Constitutions and Constitutionalism", 3rd edition, (New Jersey: Van
Nostrand Company, 1968), hal. 12-13.
7
426
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-4I No.3 Juli-September 2011
Konstitusi merupakan jantung dan jiwa suatu Negara, konstitusi memberi tahu
kepada kita tentang apa yang dimaksud dengan membentuk Negara, bagaimana eitaeita dengan bernegara, apa yang ingin dilakukannya, serta asas-asas kehidupan
didalamnya. Bilamana kita memaknai UUD 1945 seeara mendalam dan
komprehensif maka kita bisa melihat bahwa UUD 1945 menggambarkan Negara
Republik Indonesia sebagai sebuah Negara yang peduli dengan rakyatnya. lni terlihat
dalam substansi Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan wujud nasionalismeodengan
menjunjung tinggi asas kebersamaan dan kekeluargaan (mutualism and brotherhood
atau ukhuwah). Kebersamaan dan keke1uargaan adalah sebuah konsep budaya yang
hidup di masyarakat Indonesia. Hal ini berbeda dengan kultur Barat yang eenderung
hidup individualisme. Bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai luhur budaya yang
sangat menjunjung tinggi kebersamaan dan gotong royong.
Sejarah pembentukan konstitusi bangsa Indonesia, mulai pada saat proses
pembahasan UUD 1945, menunjukkan bahwa UUD 1945 yang menjadi konstitusi
bangsa Indonesia dibuat dengan eita-eita dan spirit yang berakar dari semangat
bangsa Indonesia yang khas, serta pengalaman ketatanegaraan adat yang telah
dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia. Seperti yang dikatakan Soepomo dalam
rapat pembahasan BPUPKI bahwa "dasar dan susunan negara berhubungan dengan
riwayat hukum (rechtsgeschichte) dan lembaga sosial dari negara itu sendiri".8 Oleh
karena itu pembangunan negara Indonesia harus disesuaikan dengan struktur sosial
masyarakat Indonesia yang ada.
l.
Kepastian Hukum yang Berkeadilan PerspektifHukum Adat
Jeremy Bentham mengatakan, kepastian yang ditimbulkan karena hokum
(zekerheid door het recht) bagi individu dalam masyarakat adalah tujuan utama
dari hukum. Lebih lanjut Bentham merumuskan bahwa tujuan utama dari
hukum adalah menjamin adanya bahagia sebanyak-banyaknya kepada orang
sebanyak-banyaknya.9 Untuk menjamin kepastian ini adalah tugas dari hokum,
terutama dalam menengahi berbagai sengketa atau konflik yang teIjadi di
tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya, hukum itu adalah suatu petunjuk
tentang apa yang layak, apa yang tidak layak dan hokum itu bersifat suatu
8 Muhammad Yamin, "Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945",
(Jakarta: Siguntang, 1959), hal. 111·112.
Djilid Pertama,
9 Jeremy Bentham, "Introduction to the Principles of Morals and Legislation", (E. Utrecht,
"Pengantar dalam Hukum Indonesia", Cetakan ke XI (Jakarta: PT Ichtiar Baru, 1983), hal. 12.
Eksistensi Hukum Adat Do/am Konstitusi Negara Pasco Amandemen UUD 1945, Ma/adi
427
perintah \0 yang fungsinya mengatur tata tertib dalam masyarakat dan
seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, maka untuk itu
apabila teIjadi pelanggaran pad a petunjuk hidup tersebut pemerintah dapat
melakukan tindakan selaku pemegang otoritas sebagai jaminan kepastian
hukum."
Dalam pengertian normatif kepastian hukum itu memerlukan tersedianya
suatu perangkat peraturan perundang-undangan yang secara operasional
mampu mendukung pelaksanaannya. Langkah serta usaha kearah menyediakan
perangkat hukum yang memadai terutama sekili diletakkannya prinsip-prinsip
dasar berbentuk perlindungan hukum bagi setiap (aktor) pengguna hukum. Hal
ini menjadi penting mengingat peran dan fungsi hukum itu hams memberikan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Oleh karenanya
pengertian kepastian hukum dalam konteks ini adalah dalam arti perlindungan
hak-hak dasar bagi setiap orang.
Seperti yang ditulis oleh Luis Henkin, mengatakan ".... human rights are
claims asserted recognized "as of right" not claims upon love, or grace, or
brotherhood or charity: one does not have to earn or deserve them. They are
not merely aspirations or moral assertions but, increasingly, legal claims
under some applicable law".'2 Pemyataan Henkin ini, merupakan prinsipprinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan yang
bertumpu dan bersumber dari konsep ten tang pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi man usia. Perlindungan hak asasi tidak saja terbatas
pada perlindungan diri (orang-perorangan) tetapi juga perlindungan hak-hak
konstitusional masyarakat di bidang hukum adat baik yang berbentuk
pengaturan sendiri (self regulation) atau "inner order mechanism" (periksa:
telaah putusan Mahkamah Konstitusi: Nomor 47-48/PHPU.A-VII2009 pada
uraian berikut).
Perwujudan perlindungan hak-hak konstitusional prespektif hukum adat
bagi masyarakat, terlihat dari beberapa ketentuan yang bersumber pada norma-
10 Paul Scholten, "Asser 's hand/eiding
Rechl, Algemeen Dee! ", 1934, hal. 16.
101
de beoefening van hel Nederlandsclr Burger/ijke
11 Lahirnya "teori keputusan" (beslissingenleel) yang dipelopori oleh ter Haat banyak
dipengaruhi olehja1an pikitan Paul Scholten dalam "A/gemeen Dee!" , bag ian I, Ibid., hal. 236.
12 Louis Henkin, 1978, "The Right of Man Today", (Boulder, Colorado: Westview Press,
1978), hal.1 -2.
428
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.3 Juli-September 2011
norma dasar (staatsfundamental recht ataufimdamentallaw) mulai dari UUD
1945, Undang-UndangIPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah,13 konvensi
intemasional dan lain-Iainya. Penyediaan perangkat hukum yang dituangkan
dalam norma dasar, meskipun tidak ada disebutkan secara tegas tentang hukum
adat dalam batang tubuh UUD 1945 pada saat itu, bahkan menu rut Iman
Sudiyat, tidak ada satu Pasal pun yang memuat dasar berlakunya Hukum Adat,
kecuali ketentuan Aturan Peraliban Pasal II, menyatakan: "Segala badan negara
da~ peraturan yang ada, masih langsung berlaku selama belum diadakan yang
baru dalam UUD ini".14 Namun dalam uraian penjelasan bagian umum UUD
1945 menyatakan: "bahwa undang-undang dasar ialah hukum dasar yang
tertulis, sedang disampingnya undang-undang dasar berlakujuga hukum dasar
tidak tertulis. Menurut Soepomo hukum tidak tertulis ini merupakan sinonim
dari Hukum Adat. 15 Penegasan ini memperlihatkan eksistensi hukum adat telah
direspon dalam konstitusi negara. Bahkan meskipun Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 tidak berlaku lagi namun ia masib tetap menjiwai hukumhukum lainnya karena pembangunan hukum tidak bisa memisahkan atau
melepaskan diri dari sejarahnya (Periksa: Pasal 104 ayat (1) Jo. Pasal 32 Jo.
Pasal 43 UUDS 1950).
Dalam peIjalanan hukum ketatanegaraan kita di masa Orde Lama, Orde
Baru ke Orde Reformasi sampai dengan dilaksanakannya amandemen
Konstilllsi Negara, secara konsisten Pemerintahan Negara merespon positif
terlaksananya kepastian hukum perspektif Hukum Adat. Mulai dari produk
atau perangkat hukum misalnya pada tahun 1960 yang berbentuk TAP Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara nomor II tahun 1960 pada lampiran 1
(satu) menetapkan Hukum Adat Menjadi Landasan Tata Hukum
Nasional...dst. TAP MPR Nomor IVIMPR 1973 bagian "Hukum" butir 2 (dua)
menentukan: Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan
menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum
rakyat yang berkembang kearah modernisasi menurut tingkat-tingkat
13 Periksa: Pasal 7 ayat (I) UU No.1 0 Tahun 2000 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan
14
Iman Sudiat,
Liberty,1978), hal. 22.
15
"Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar ", (Yogyakarta: Penerbit
Soepomo dalam Iman Sudiyat, Ibid. , hal. 8.
Eksistensi Hukum Adat Da/am Kanstitusi Negara Pasca Amandemen UUD /945, Maladi
429
kemajuan pembangunan di segala bidang. Sehingga tercapai ketertiban dan
kepastian hukum sebagai prasarana yang ditujukan kearah peningkatan
pembinaan kesatuan bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang
perkembangan modemisasi dan pembangunan. Dalam TAP MPR Nomor
IVI1999 tentang GBHN Bab III Pembangunan Hukum bagian A Umum.
Pembangunan hukum harus di laksanakan berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan
keadilan dengan mengakui dan mengilormali hukum agama dan hukum adat.
TAP MPR Nomor Ix/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam, yang menghendaki pengakuan, menghormati dan
melindungi hak masyarakat hukum adat.
Meskipun undang-undang kekuasaan kehakiman beberapa kali mengalami
pergantianipenyempumaan, namun tetap konsisten mengawal dan
menempatkan hukum adat sebagai hukum tetap eksis dan berkedudukan kuat
(strong legal pluralism). Setiap hakim yang menangani sengketa atau perkara
diwajibkan untuk menggali sumber-sumber hukum yang hidup dan
berkembang di tengah-tengah masayarakat. 16
16 KeleDluan-kelenluan Pokok Kekuasaan Kebakiman: UDdang-undang No. 19 labun
1964 Pasal 23 aya! (I) yang isinya hampir sarna dengan pasal 17 menyatakan: "Segala putusan
Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula
pasaI-pasai tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber Izukum tak tertulis yang
dijatlikan dasar untuk mengadilt'.Pasai 27 Ayat (I) yang isinya bampir sarna dengan Pasal 20 ayat
(I) menyatakan: "Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup da/am masyarakat" Ja . Undang-undang Nomor 14 Tabun
1970 dalam penjelasan umum bagian 7 (tujub) memberikan petunjuk kepada kila, balzwa yang
dimaksud dengan Izukum tak tertulis dalam undang-undang ini adalalz Izukum adat. (pasal. 27 ayat
(I) meDyatakan: "Hakim sebagai penegak hukum dan wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup da/am masyarakat". Penjelasan pasal 27 ayat (I) meDyatakan: "Da/am
masy arakat yang masill mengenal hukum tidak fer /lIlis, serlo berada da/am mosa pergolakan dan
peralihan, Hakim merupakan perumus dan pengga/i Ilari ni/ai-nila; Illlkum yang Iridup di ka/angan
rakyat. Un/uk ilu ia harus Ie/tun ke lengah-tengah masyarakat unluk mengena/, merasakan dan
mampu menye/ami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup da/am masyarakat. D engan
demikian Hakim dapal memberikan putllsan yaJ1g sesuai dengaJ1 hUA.1Jm dan rasa keadilan
masyarakat". lo. Undang-undang Nomor 3S Tabun 1999 lo. Undang-uDdaDg Nomor 4 Tabun
2004 dalam Pasal 28 ayat (I) menyatakan: "Hakim lVajib menggali, mengikuti, dan mema"ami
nilai-nilai IlUkum dan rasa keatlilan yang "idup dalam masyarakat". Penjelasan Pasal 28 ayat (I)
berbunyi sebagai berikut: "ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hal..im sesuai dengan hukum dan
rasa keadilan masyarakat··. Jo. Pasal 5 ayat (I) UU Nomor 48 Tabun 2009 lentang Kekuasaan
Kebakiman "HAKIM dan HAKIM KONSTITUSI wajib menggali, me1!gikuti,dan mema"ami nilainilai Itukum dan rasa keadilan yang "idup do/am masyarakat".
430
Jurnai Hukurn dan Pembangunan Tahun ke-41 No.3 Juli-September 2011
Garnbaran diatas, memberikan penjelasan dan infoImasi tentang sejarab
hukum asli (indigenous law) bangsa Indonesia untuk rnernpertahankan
eksistensi hukurn adat dalarn kerangka konstitusi dan peraturan perundangundangannya. Hal ini ditujukan tidak lain untuk menjamin adanya kepastian
dan keadilan hukum bagi masyarakat Indonesia. Adanya jarninan konstitusi
dan pengalcuan Negara terhadap eksistensi hukum adat dan masyarakat
hukumnya telab teImaktub dalam konstitusi bangsa Indonesia yang selanjutnya
ter:wujud dalarn rumusan Pasal 18A ayat (I) pihak Pemerintah diminta
rnernperhatikan kekhususan dan keragarnan daerah 10. Pasal 18B ayat (I) dan
ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan sebagai berikut:
(/). Negara rnengakui dan menghorrnati satuan-satuan pernerintah daerah
yang bersitat khusus atau bersitat istirnewa yang diatur dengan undangundang.
(2). Negara rnengakui dan rnenghormati kesatuan-kesatuan rnasvarakat hukurn
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang rnasih hidup dan sesuai
dengan perkernbangan rnasyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalarn undang-undang.
Materi muatan Pasal 18B ayat (2) DUD 1945 pada unsur dari kata
" Sepanjang masih hidup" seperti yang tertulis di atas, mengamanatkan bahwa
Negara kita memiliki konstitusi pluralis. Yang artinya konstitusi menganggap
hukum adat teImasuk hukum yang perlu dijadikan sebagai sumber pedoman
hidup beImasyarakat di jarnan modem. Karena hukum bersifat fleksibel dan
dinamis. Sehingga hukum adat dapat dijadikan sebagai sumber menyusun
materi perundang-undangan nasional. Menurut van Dick sebagaimana yang
dikutip oleh R. Otje Salman 17 babwa hukum adat memiliki corak tersendiri
dibandingkan sistem hukum lainnya. Karakteristik yang dimiliki hukum adat
adalah:
1.
2.
3.
Hukum adat mengandung sifat yang sangat tradisional;
Hukum adat dapat berubah;
Kesanggupan hukum adat untuk menyesuaikan diri.
Ciri khas diatas menunjukkan babwa hukum adat tetap mempertahankan
nilai-nilai tradisional yang dimilikinya, dalam waktu yang sarna hukum adat
dapat menenma perubaban yang mempengaruhinya. Disinilab letak
17
ha1.34
R. Olje Salman, "Rekonseptualisasi Hukum Ada! Kontemporer", (Bandung : Alumni, 2002),
Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Maladi
431
fleksibilitas dari hukum adat. 18 Konstitusi yang mernpakan hukum yang
bersifat organik, memberikan sebuah jaminan kepastian hukum kepada hukum
ad at dan masyarakat hukumnya dengan mencantumkan pengakuan dan
penghormatan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat. Jaminan
kepastian hukum oleh konstitusi juga diwujudkan dengan mewajibkan kepada
para hakim (hakim dan hakim konstitusi) sebagai pemberi dan pencipta
keadilan di masyarakat untuk wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 UU
No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).
Keberpihakan pengadilan pada hukum adat barn akan terlihat ketika
putusan para hakim pengadilan telah menunjukkan segala sesuatu yang ada
dalam hidup kemasyarakatan yang telah mendapatkan bentuk sebagai hukum. 19
Artinya setiap putusan pengadilan itu mencerminkan kepastian yang memiliki
akibat hukum (rechtsJ;evolJ;en) berbentuk dwanJ; (pemaksaan) atau kepastian
dalam bentuk lainnya. Menurut Anthony Allott, yang menjadi ciri-ciri
keputusan dari Hakim dalam uraiannya mengenai postulat dasar dari hukum
adalah "keputusan hakim yang dapat dipaksakan ".2o Nader dan Todd dalam
tulisannya pada uraian identifikasi cara-cara penyelesaian sengketa yang ada
dalam masyarakat, yakni salah-satu dari cara-cara penyelesaian sengketa yang
dikemukakan adalah dengan melakukan tindakan paksaan (co ercion) melalui
pengadilan (adjudication) dan lain-lain. 21
Tujuan utama dan yang paling penting dari setiap keputusan yang
mengakhiri sengketa dan konflik yang terjadi dalam masyarakat bukan pada
prosesnya melainkan pada adanya jaminan kepastian hukum bagi pihak-pihak
yang mengakhiri sengketa. Seperti dicontohkan oleh Nader dan Todd dalam
laporan hasil studinya pada masyarakat nelayan Skandinavia yang sedang
18 Siti Maryam Salah uddin, Peranan Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional,
Jumal Konstitusi Vol.5 Nomor 2, 2008, hal. 142.
19 Ter Haar dalam Iman Sudiyat, "Asas-asas Hukum Adat, Bekal Pengantar", (Yogyakarta:
Penerbit Liberty, 1978), hal. 21.
20 A.N Allot!, Law and Social Anthropology with special reference to African Laws in
Sociologies: A journal for empirical Sociology, Social Psychology and Ethic Research, Berlin:
Duncker& Humblot, vol. 17 no: 1,1967.
2 1 Laura Nader dan Hany Todd, "Introduction: the Disp uting Process: Law in ten Societies",
(New York: Columbia Univers ity Press, 1978), hal. 9.
432
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.3 Juli-September 201/
bersengketa dengan sesamanya, yang mendorong para pihak untuk
menyelesaikan sengketanya terutama demi kelanjutan hubungan sosialnya. 22
Oleh karenanya ia akan melakukan apa saja (yang wujudnya 'kepastian') untuk
mempertahankan hubungan tersebut. Langkah yang ditempuh untuk itu adalah
mencari penyelesaian melalui cara bemegosiasi atau penyelesaian dengan
musyawarah atau menggunakan pihak ketiga (pengadilan), bagi mereka, demi
mempertahankan hubungan sosial (terutama kekerabatan) itulah yang paling
penting, maka di sinilah letak pentingnya "keputusan " yang dihasilkan pihak
ketiga (termasuk pengadilan) atau menggunakan pranata hukum adat 23 sebagai
terapi hukum, melalui musyawarah yang bersifat kompromistis untuk
menyelesaikan sengketa atau untuk mengembalikan kondisi masyarakat
kembali normal. 24
2.
Harmonisasi Hukum Adat dan Hukum buatan Negara
Penegasan identitas bangsa Indonesia sebagai Negara hukum dalam
konstitusi pasca amandemen keempat UUD 1945, tepatnya dalam Pasal 1 ayat
3 UUD 1945 dan dalam penjelasannya mengenai "Sistem Pemerintahan
Negara" dikatakan "Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum
(Rechtstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtstaat) ". Satu hal yang
menarik disini adalah apakah dengan mempertegas identitas bangsa kita
sebagai Negara hukum segal a sesuatunya telah berhasil terjawab, khususnya
mengenai eksitensi dalam rangka harmonisasi hukum adat dalam kerangka
hukum nasional? Pada pendahuluan penulis sempat menyinggung bahwasanya
di Indonesia telah terjadi benturan hukum yang disebabkan proses dari
terciptanya hukum yang ada memiliki perbedaan kultur. Di satu sisi Indonesia
memiliki hukum nasional (tertulis) yang bersumber dari hukum sebelumnya
"Ibid, . 1978. hal. 17 dan 18.
23 van Dijk dalam E. Utrecht menyatakan: "He! adat-recht word! gevormd en onderhouden in
de beslissingen en gedragingen der daartoe competente organen ven gemeenschap en maatschap, in
onderlinge binding, begrenzing en vervlechting binnen de eenheid van de soeiale en reehtsorde
waarin zij fungeren", (Hukum adat dihuat dan dipertahankan dalam keputusan-keputusan dan tingkah
laku mereka (orang dan badan hukum) yang (a) berkuasa dalam suatu masyarakat yang mengenal satu
tata tertib hukum, dan (b) bertugas mempertahankan kedua tata tetib itu. (libat E. Utrecht, Op. Cit,
1983. hal. 248.
24
Yanis Maladi, 2009, "Antara Hukum Adat ............ Op. Cit., hal. 92.
Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen UUD /945, Maladi
433
yakni hukum kolonial pada waktu Indonesia di "jajah", dan disisi lain
Indonesia memiliki hukum yang tumbuh dan lahir dari kemumian budayanya
(culture) yang biasa kita sebut sebagai hukum adat,
Penegasan Negara hukum Indonesia pasca Amandemen keempat UUD
1945 tidak harus dilihat sebagai suatu bangunan final, melainkan harus secara
terus menerus dibangun untuk menjadi Indonesia yang sesungguhnya.
Maksudnya disini adalah proses untuk makin menampilkan ciri khas keIndonesiaan yang membumi ke dalam habitat, tradisi, nilai-nilai kosmologi
serta cita-cita modem Indonesia. Harus ada harmonisasi hukum ad at dan
hukum nasional dalam proses membangun Negara hukum ala Indonesia.
Seperti kata orang Belanda, "kita hanya dapat mengayuh perahu dengan
dayung milik kita sendiri".
Berangkat dari semangat konstitusionaIisme bangsa kita yang khas,
konstitusi harus dibaca secara bermakna, seperti yang dikatakan Ronald
Dworkin 25 sebagai "Moral Reading". Dari pembacaan tersebut dibuatlah suatu
konstruksi, Negara hukum Republik Indonesia adalah suatu Negara yang
memiliki kepedulian (a state with conscience and compassion). Negara hukum
Indonesia bukan Negara yang hanya bekeIja sebagai perwujudan hukum
formal belaka namun lebih dari itu Negara Indonesia harus mampu
mewujudkan moral yang terkadung dalam konstitusinya (moral design).
Seperti dikatakan oleh Robin M Williams bahwa moral, nilai atau kebudayaan
itu merupakan "blue print a/behavior" dari tingkah-laku warga masyarakat,26
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu "produk" konstitusi pasca
reformasi merupakan salah satu lembaga Negara yang memegang peranan
penting menciptakan Negara hukum ala Indonesia. Mahkamah Konstitusi
sebagai satu-satunya lembaga Negara yang memiliki peran mengawal dan
menafsirkan konstitusi diharapkan mampu menjaga Negara Hukum ala
Indonesia dengan tetap memelihara harmonisasi antara hukum adat dan hukum
nasional dalam konstitusi kita yang pluralis. Pasal 18B UUD 1945 telah
membuktikan semangat Negara untuk tetap mempertahankan dan menghormati
pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adatnya.
Salah satu contoh harmonisasi hukum adat dan hukum nasional bisa kita
lihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 47-48/PHPU.A-IV/2009
" Ronald Dworkin dalam Satjipto Rahardjo, "Negara Hukum Yang Membaha-giakan
Rakyatnya", (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hal. 92-93.
26
Robin Williams dalam Yanis Maladi, "Antara Hukum Adat ... ......Op. Cit., hal, 38.
434
Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-4i No.3 Juli-September 2011
ketika Mahkamah Konstitusi telah memainkan perannya dengan baik, dengan
tidak hanya melihat hukum dari kacamata Juristenrecht belaka. Dalam putusan
tersebut Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan masyarakat
Yahukimo- Papua untuk melaksanakan Pemilihan Umum sesuai dengan
caranya sendiri (adat), yaitu pemilih memasukkan surat suara yang telah
dicontreng ke dalam sebuah "noken" , semacam kantong yang terbuat dari kain
atau bahan alamiah lainnya .
.Melihat posisi kasus ini, para pemohon (masyarakat adat Yahukimo)
memiliki legal standing (kedudukan hukum) sebagai pemohon. Sesuai dengan
bunyi dari Pasal 51 ayat (I) UU Nomor 24 Tahun 2003 disebutkan bahwa
"pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu: a.
perorangan Warga Negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum ad at
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.
Hak konstitusional yang dimaksud adalah hak yang diatur dalam UUD
1945, yang substansinya ada dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 merupakan
pengakuan konstitusi terhadap kesatuan masyarakat hukum yang masih hidup.
Bahwa sejak putusan Nomor 0061PUU-1II12005 Mahkamah Konstitusi telah
menentukan 5 (lima) syarat adanya kerugian konstitusional sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal51 ayat (1) UU No.23 Tahun 2004 yakni:
a.
b.
c.
d.
e.
Harus ada hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
Hak konstitusional tersebut dianggap dirugikan olel! berlakunya suatu
undang-undang;
Kerugian hak konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual, atau
setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan teIjadi;
Ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak
konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian;
Ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
teIjadi;
Terungkap dalam persidangan Mahkamah Konstitusi, bahwa pemilihan umum
bagi masyarakat Yahukimo identik dengan pesta gembira. Pada pemilu Legislatif ,
kepala suku mengumpulkan masyarakat untuk bermusyawarah mengenai bagaimana
cara melaksanakan pemilu tersebut. Musyawah memutuskan bahwa pencontrengan
dilakukan oleh Kepala Suku terhadap partai-partai yang telah disepakati, termasuk
Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Maladi
435
jumlah suaranya sekaligus. Sementara itu telah disiapkan lubang yang cukup besar
yang diisi dengan batu dan ditaruh babi serta umbi-umbian dan kayu bakar. Setelah
babi dan umbi-umbian masak, maka mulailah rakyat berpesta ria, sementara Kepala
Suku tidak kalah sibuknya menyontreng surat suara untuk partai-partai yang telah
ditentukan berdasarkan surat suara yang dimasukkan ke dalam kantong-kantong yang
disebut "noken" tersebut. Masyarakat Yahukimo bisa dikatakan memiliki pola pikir
yang "participerend cosmich" yaitu segala yang ada di alam semesta merupakan satu
kesatuan sehingga setiap ada gangguan maka menjadi kewajiban untuk memulihkan
keadaan sedia kala. Pemilu menurut masyarakat adat Yahukimo dianggap dapat
meninggalkan sebuah permasalahan yang dikhawatirkan dapat merusak persatuan
satu sarna lain.
Cara yang digunakan, jelas berbeda dengan apa yang ditentukan oleh Undangundang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD, dan
DPRD, alasannya adalah menurut Kepala suku, pemilu tidak boleh meninggalkan
permusuhan diantara mereka. Jadi sekalipun telah terjadi "penyimpangan" seperti
yang telah ditentukan menurut UU Nomor 10 tahun 2008 tersebut, tetapi praktek
tersebut yang selalu digunakan sebagai bentuk perwujudan cara melaksanakan
kedaulatan rakyat dari masyarakat Y ahukimo. 27 Realitas diatas telah
menggambarkan terjadi perbedaan kepada kita bahwa sesungguhnya jictie semua
orang dianggap mengetahui hukum dan kedudukan orang sarna dimata hukum
(equality before the law) tidak demikian adanya. Realitas diatas menunjukkan kepada
kita bersama bahwa sesungguhnya hukum mencerminkan dengan jelas karakter
masyarakatnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi telah memberikan gambaran, bahwa para hakim
harus mampu me\akukan sebuah penafsiran hukum dalam rangka melakukan
penemuan hukum (rechvinding) dan penciptaan hukum (rechtschepping). Tindakan
hakim yang merubah aturan main hukum yang berani sangatlah diperlukan, karena
jika mengacu kepada sejarah kemajuan-kemajuan hukum, tindakan yang dilakukan
pastilah tidak biasa melainkan menempuh langkah-Iangkah yang menurut Satjipto
Rahardjo disebut sebagai rule breaking yang sangat visioner. Sebagai refrensi dalam
kajian ilmu hukum tata Negara dalam peradilan dikenal langkah yang visioner,
sebagai contoh ketika pada tahun 1803 Justice Jhon Marshall (ketua Supreme Court
Amerika) memutuskan bahwa peradilan berhak membatalkan undang-undang.
27
Ahmad Sodiki, "Konstitusionalitas Pemilu...... ...... , Op. Cit, hal. 4-5.
436
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.3 Juli-September 2011
Karena begitulah hukum seharusnya bergerak menuJu kepada hukum yang
berkeadilan. 28
Adanya pengakuan konstitusi terhadap kesatuan hukum adat dan masyarakat
hukumnya menggambarkan dengan jelas bahwa konstitusi kita bisa disebut sebagai
konstitusi pluralis (constitutional pluralism). Terdapat dua nilai yang bisa disimpulkan dari putusan Mahkamah Konstitusi diatas yaitu adanya nilai kepastian hukum
dan nilai harmoni masyarakat. Kepastian hukum perundang-undangan tertulis
terkadang memang tidak sejalan dengan harmonisasi kehidupan di masyarakat.
Sehingga mengakibatkan teIjadinya benturan di masyarakat. Seperti yang dikatakan
oleh Ahmad Sodiki 29 bahwasanya hukum yang sama pada masyarakat yang berbeda
adalah sarna tidak adilnya dengan hukum yang berbeda pada masyarakat yang sama.
Untuk mencegah hal yang demikisan konstitusi kita menjamin agar terciptanya
harmonisasi kepastian hukum antara hukum nasional dan hukum adat. Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat plural yang memang menuntut pandangan konstitusi
pluralis (constitusional pluralism). Jadi konstitusi pluralis bisa dimaknai sebagai
sebuah penghormatan dan pengakuan Negara terhadap hak-hak adat dan masyarakat
hukumnya. Karena begitulah hukum seharusnya, hukum bukanlah sekedar mengejar
kepastian hukum tetapi mempertimbangkan nilai-nilai hukum lain yang hidup dalam
masyarakat , yaitu harmoni, manfaat dan stabilitas. 3o
Hukum adat memang diakui dan tetap dijunjung oleh konstitusi bangsa
Indonesia, narnun bukan berarti tidak ada batasan terhadap hukum adat dan
masyarakatnya hukumnya. Ada kalanya teIjadi sebuah pembatasan hukum ad at
ketika bertentangan dengan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Prinsip NKRI tidak terlepas dari koridor Konstitusi, termasuk makna yang
dituangkan dalarn Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 itu sendiri yaitu bahwa: "Bumi dan
air dan kekayaan alarn yang terkandung di dalarnnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".
Pengertian "rakyat" dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diatas harus dipahami
tanpa terkecuali, termasuk masyarakat hukum adat itu sendiri. 31 Namun batasan
28
Satjipto Rahardjo, MA yang Progresif, Kompas, 8-Juni-2009.
29
Ahmad Sodiki, "Konstitusionalitas Pemilu ........ ., Op. Cit. , hal. 3.
30
Ibid., hal. 2-3.
31 Lies Sugondo, Masyarakat adat dalam Kerangka Hukum Nasianal, makalah disarnpaikan
dalarn Training bagi dosen-dosen Pengajar HAM di Indonesia di Yogyakarta: 21-24 Agustus 2007.
Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Maladi
437
tersebut bukanlah suatu hal yang dipertentangkan ketika kita berbicara masalah
eksistensi hukum adat, karena satu dengan yang lain saling mengisi, bahkan
mempertegas keberadaan masyarakat hukum adat sebagai rakyat Indonesia yang
dijamin oleh UUD 1945. Amanah konstitusi tersebut juga penulis maknai sebagai
sebuah upaya konstitusi untuk menjunjung tinggi asas kekeluargaan sebagai satu
kesatuan bangsa Indonesia yang memegang teguh prinsip Bhineka Tunggal lka.
Indonesia sebagai Negara yang memiliki ideologi pancasila dan mendasari konsep
Bhineka Tunggal Ika, maka pluralisme dalam sebuah kesatuan akan mewadahi
konstitusi modem yang menuntut keseimbangan dan keserasian an tara wawasan
yang berlingkup nasional dalam kenyataan yang beraneka ragam dari suatu
masyarakat yang majemuk.
III.
Penutup
Pengakuan dan penghormatan eksistensi hukum adat dalam konstitusi telah
memberikan gambaran yang jelas bahwasanya bangsa Indonesia memiliki kultur
yang khas dalam hukum. Hukum adat adalah hukum yang lahir dari kebutuhan
hukum dan perasaan rakyat Indonesia. Maka dengan sendirinya hukum adat dapat
mampu menjawab segala masalah-masalah hukum yang dihadapi oleh rakyat dalam
kehidupan sehari-hari. Hukum adat harus dikaji dalam rangka pembangunan hukum
nasional ini dikarenakan pada satu sisi, secara alamiah situasi dan kondisi
masyarakat di masing-masing daerah tentunya berbeda. Perbedaan itu selanjutnya,
juga menimbulkan variasi dalam nilai-nilai sosial budaya mereka, termasuk nilainilai hukum sebagai produk budaya.
Gambaran diatas menunjukkan bahwa hukum adat tetap mempertahankan
nilai- nilai tradisional yang dimilikinya, dalam waktu yang sarna hukum adat dapat
menerima perubahan yang mempengaruhinya. Disinilah letak fleksibilitas dari
hukum adat. Konstitusi sebagai hukum yang bersifat organik, memberikan sebuah
jaminan kepastian hukum kepada hukum adat dan masyarakat hukumnya dengan
mencantumkan pengakuan dan penghormatan terhadap hukum yang hidup dalam
masyarakat. Jarninan kepastian hukum oleh konstitusi juga diwujudkan dengan
mewajibkan kepada para hakim (hakim dan hakim konstitusi) sebagai pemberi dan
pencipta keadilan di masyarakat untuk wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Masing-masing masyarakat memiliki otonomi terhadap nilai-nilai hukumnya,
karena sesungguhnya masyarakat itulah yang membutuhkan adanya nilai-nilai
hukum itu. Dengan adanya konstitusi sebagai aturan normatif tertinggi dalam
438
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.3 Juli-September 2011
hierarki perundang-undangan yang telah memberikan tempat tersendiri terhadap
pengakuan dan penghormatan pada hukum adat haruslah dimaknai sebagai semangat
dan cita-cita bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan Negara hukum ala
Indonesia yang mampu membahagiakan rakyatnya.
Eksislensi H"kum Adal Dalam Konslil"si Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Maladi
439
Daftar Pus taka
Buku
Andrews, William G. Constitutions and Constitutionalism, 3'd edition, New
Jersey: van Nostrand Company, 1968.
Bentham, Jeremy. Introduction to the Principles of Morals and Legislation,
tanpa kota: tanap penerbit, 1823.
Freidman, M.D.A. Lloyd's Introduction to Juricprudence, Seventh Edition,
London: Sweet & Maxweel Ltd, 2001.
Henkin, Louis. The Right of Man Today, Boulder, Colorado: Westview Press,
1978.
Maladi, Yanis. Antara Hukum Adat dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim
(Judge Made Law), Yogyakarta: Mahkota Kata, 2009.
Nader, Laura, dan Harry Todd, Introduction: the Disputing Process: Law in
ten Societies, New York: Columbia University Press, 1978.
Salman, R. Otje. RekonseptuaJisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung:
Alumni, 2002.
Satjipto, Rahardjo. Negara Hukum Yang
Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
Membahagiakan
Rakyatnya,
Scholten, Pau!. Asser's handleiding tot de beoefening van het Nederlandsch
Burgerlijke Recht, Algemeen Deel, tanpa kota: tanpa penerbit, 1934.
Sudiyat, Iman. Asas-asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, Yogyakarta: Penerbit
Liberty, 1978.
Utrecht, E. Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cetakan ke XI PT Jakarta:
Ichtiar Baru, 1983.
Van Vollenhoven, Het adatrect van N.I, le en 2estuk-tweede deel, Leiden:
tanpa penerbit, 1931.
Yamin, Muhammad. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid
Pertama, Jakarta: Siguntung, 1959.
440
Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-4i Na.3 Juli-September 20 II
Artikel dan Makalah
A.N Allott. "Law and Social Anthropology With Special Reference to African
Laws " in Sociologies: A journal for empirical Sociology, Social
Psychology and Ethic Research, Berlin: Duncker & Humblot, 1967, VoL
17no: I.
Lies Sugondo, Masyarakat adat da/am Kerangka Hukum Nasiona/, Makalah
disampaikan dalam Training bagi dosen-dosen Pengajar HAM di
Indonesia di Yogyakarta, 21 -24 Agustus 2007.
Salahuddin, Siti Maryam. "Peranan Hukul1l Adat Dalam Pembangunan Hukum
Nasional", Jurnal Konstitusi VoL5 Nomor 2, 2008.
Satjipto, Rahardjo, MA yang Progresif dalam Kompas, 8-Juni-2009.
Sodiki, Ahmad, "Konstitusionalitas Pemilu Model Masyarakat Yahukimo ",
Jurnal Konstitusi, VoL6, 2009.
Download