FAKTOR RISIKO KEJADIAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR

advertisement
FAKTOR RISIKO KEJADIAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH
(BBLR) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KOTA
TANGERANG SELATAN TAHUN 2012- 2014
Laporan Skripsi
Disusun Oleh :
KARLINA SULISTIANI
1110101000002
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HDAYATULLAH
JAKARTA
2014
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi, Juli 2014
Karlina Sulistiani, NIM 111010100002
FAKTOR RISIKO KEJADIAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR)
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KOTA TANGERANG SELATAN
TAHUN 2012- 2014
(xiv, 165 Halaman, 15 Tabel, 73 Gambar, 5 Lampiran)
ABSTRAK
Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan indikator pertama dalam
menentukan derajat kesehatan anak. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) merupakan
salah satu faktor risiko yang mempunyai konstribusi terhadap kematian bayi
khususnya pada masa neonatal. Di Kota Tangerang Selatan kasus BBLR
meningkat selama selama 4 tahun terakhir yaitu pada tahun 2010 sebanyak 185
orang, tahun 2011 sebanyak 204 orang, tahun 2012 sebanyak 168 orang dan pada
tahun 2013 sebanyak 255 orang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor
risiko kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun
2012-2014. Penelitian ini menggunakan desain case control unmatched, sampel
penelitian adalah ibu yang melakukan kunjungan ANC (Ante Natal Care) dan
melahirkan pada bulan Januari 2012-April 2014 ditolong oleh tenaga kesehatan.
Sampel dalam penelitian ini berjumlan 285 dengan perbandingan kasus kontrol
1:2. Cara pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling.
Analisis menggunakan uji OR. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tinggi
badan ibu <145cm berisiko 6,337 kali, umur kehamilan <37minggu berisiko 143,5
kali, KEK berisiko 8,179 kali dan anemia berisiko 3,989 kali menyebabkan
BBLR. Adanya kejadian BBLR (95 kasus) sebagian besar adalah pada ibu yang
berumur antara 20-35 tahun (91,6%), memiliki tinggi badan ≥145cm (93,7%),
mengalami penambahan berat badan ≥10kg (60%), melahirkan pada usia
kehamilan ≥37minggu (56,8%), tidak mengalami KEK (81,1 %), tidak menderita
anemia (67,4%), melahirkan bayi tunggal (82,1%), tingkat pendidikan tinggi
(60%), ibu rumah tangga (93,7%), tidak mengalami komplikasi kehamilan
(87,4%) dan tidak adanya penyakit pada saat hamil (93,7%). Tinggi badan, umur
kehamilan, KEK, anemia berisiko terhadap BBLR sehingga perlunya mengadakan
penyuluhan kepada ibu hamil mengenai risiko BBLR dan dampak yang
ditimbulkan akibat BBLR dan pemantauan status gizi ibu sebelum dan selama
hamil perlu dilakukan lebih intensif sehingga insidensi BBLR di Kota Tangerang
Selatan dapat diturunkan.
Kata kunci : BBLR, Ibu hamil, Faktor Risiko
Daftar Bacaan: 63 (2000-2014)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
DEPARTMENT OF EPIDEMIOLOGY
UNDERGRADUATED THESIS, July 2014
Karlina Sulistiani, NIM 111010100002
RISK FACTORS OF LOW BIRTH WEIGHT (LBW) IN HEALTH
CENTER OF SOUTH TANGERANG CITY AT 2012- 2014.
(xiv, 165 Pages, 15 Tables, 73 Figure, 5 Attachments)
ABSTRACT
Infant Mortality Rate (IMR) is the indicator to determine the health status
of children. Low Birth Weight (LBW) is one of risk factors that contribute to
infant mortality in the neonatal period. In South Tangerang City, LBW cases have
increased in the last 4 years. The number of LBW cases were 185 (2010), 204
(2011), 168 (2012) and 255 (2013). This study aims to determine the risk factors
of LBW in Health Center of South Tangerang City during 2012-2014 period. This
study used unmatched case-control design, the sample were mothers doing
antenatal care visit and having delivery with health personnel between January
2012-April 2014. The sample size of this study was 285 with case-control
comparison of 1: 2. Technique sampling was purposive sampling. Analysis used
the OR test. The results showed that incidence of LBW is influenced by maternal
height <145 cm (OR: 6.337), gestational age <37 weeks (OR: 143.5), deficiency
of energy (OR:8.179) and anemia (OR: 3.989). The cases of LBW (95 cases) most
delivery with mothers between 20-35 years (91.6%), height ≥ 145 cm (93.7%),
weight gain ≥ 10 kg (60%), gave birth at ≥ 37 weeks' gestation (56.8%), haven’t
deficiency of energy (81.1%), haven’t anemia (67.4%), delivery with single baby
(82.1%), higher education level (60% ), housewives (93.7%), haven’t experience
pregnancy complications (87.4%) haven’t disease (93.7%). Counseling to
pregnant women about the risk and the impact of LBW and monitoring the
nutritional status of the mother before and during pregnancy needs to be
strengthened and enforced in effort to reduce incidence of LBW in South
Tangerang City.
.
Key Words: Low Birth Weight, Pregnancy Mother, Risk
Reading List: 63 (2000-2014)
iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN
v
vi
RIWAYAT HIDUP PENULIS
A. Identitas Pribadi
Nama
: Karlina Sulistiani
Tempat, Tanggal Lahir
: Pandeglang, 11 Oktober 1991
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
:Ds.Pangkalan
RT
01/02,
Kecamatan
Sobang, Kabupaten Pandeglang, Banten, 42281
No. telp
: 087773242757
Email
: [email protected]
B. Riwayat Pendidikan
1. 1997 - 2003
: SD Negeri Pangkalan 3, Pandeglang
2. 2003 - 2006
: SMP Negeri 2 Panimbang, Pandeglang
3. 2006 - 2010
: SMA Daar El Qolam, Tangerang
4. 2010 – sekarang
: S1-Peminatan Epidemiologi,
Program
Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, Juli 2014
Karlina Sulistiani
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena berkat taufik dan hidayah-Nya laporan skripsi ini dapat
terselesaikan dengan judul “Faktor Risiko Kejadian Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) Di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang
Selatan Tahun 2012-2014”. Laporan Skripsi ini penulis susun dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat, di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penulisan laporan
skripsi ini banyak kekurangannya. Namun berkat bimbingan ibu Narila
Mutia Nasir, SKM, MKM, Ph.D dan ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes serta
dorongan dari berbagai pihak maka hambatan itu sedikit banyak dapat
diatasi.
Penulis berharap semoga laporan skripsi ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan umumnya bagi siapa saja yang memerlukannya.
Akhir kata pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang
setinggi-tingginya dan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak, Ibu dan nenek tercinta yang tak hentinya selalu memberikan
kasih sayang, semangat dan mendoakan penulis di setiap waktunya.
2. Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
viii
3. Ir.Febriyanti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
(PSKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta .
4. Para Dosen Kesehatan Masayarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
5. Para Dosen Peminatan Epidemiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan ilmu, nasihat dan motivasinya.
6. Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Puskesmas Kota Tangerang
Selatan yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan
penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan.
7. dr.Toni Wandra Ph.D yang telah membimbing dan memberikan
ilmunya kepada penulis.
8. dr.Sholah Imari M.Sc yang telah meluangkan waktu sibuknya dalam
memberikan ilmunya kepada penulis.
9. Anton Wibawa S.K.M, M.K.M yang telah memberikan arahan,
bimbingannya serta nasihat-nasihatnya.
10. Ridwan Fauzi Muhsin S.HI yang selalu memberikan motivasi, nasihat
dan selalu meluangkan waktunya kepada penulis dalam setiap proses
penelitian ini.
11. Semua staf Seksi Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Kota
Tangerang Selatan yang senantiasa bersedia meluangkan waktunya
untuk berdiskusi.
ix
12. Semua Bidan di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
yang telah membantu peneliti dalam mengumpulkan data penelitian.
13. Teman-teman epidemiologi tercinta, Tri Bayu, Kartika, Rizka, Siti
Malati,
Ana,
Najah,
Mayli,
Harun,
Zata,
Wiwid,
Fajriatin,
Sofwatunnida, Nur Lutfiyah dan Putri yang selalu memberikan
semangat, motivasi dan meluangkan waktunya untuk berdiskusi.
14. Semua pihak terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
terima kasih atas dukungannya.
Tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa laporan
skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga
laporan skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan berharap ada kritik atau
saran yang membangun untuk kesempurnaan laporan skripsi ini.
Jakarta, Juli 2014
Penulis
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN....................................................................... v
RIWAYAT HIDUP PENULIS .......................................................................... vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiv
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 5
1.3 Pertanyaan Penelitian ............................................................................. 6
1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................... 8
1.4.1 Tujuan Umum......................................................................... 8
1.4.2 Tujuan Khusus ........................................................................ 8
1.5 Manfaat Penelitian................................................................................ 10
1.5.1 Mahasiswa ............................................................................ 10
1.5.2 Institusi Pendidikan............................................................... 10
1.5.3 Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan ............................. 10
1.5.4 Masyarakat ........................................................................... 10
1.6 Ruang Lingkup ..................................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 12
2.1 Pengertian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) .................................... 12
2.2 Klasifikasi BBLR ................................................................................. 13
2.3 Masalah – Masalah pada BBLR .......................................................... 15
2.4 Gambaran Klinis Bayi Dengan BBLR ................................................ 17
2.5 Tata Laksana Bayi BBLR Saat Lahir .................................................. 18
2.6 Faktor Risiko Kejadian BBLR ............................................................ 20
2.7 Kerangka Teori ..................................................................................... 59
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, HIPOTESIS .... 61
3.1 Kerangka Konsep ................................................................................. 61
3.2 Definisi Operasional............................................................................. 63
3.3 Hipotesis ............................................................................................... 67
BAB IV METODE PENELITIAN ..................................................................... 69
4.1 Desain Penelitian .................................................................................. 69
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 70
4.3 Populasi dan Sampel ............................................................................ 70
4.3.1Populasi ................................................................................. 70
4.3.2Sampel Kasus ........................................................................ 70
4.3.3Sampel kontrol....................................................................... 71
4.4 Cara Pengambilan Sampel ................................................................... 71
4.5 Perhitungan Besar Sampel Penelitian ................................................. 71
4.6 Pengumpulan Data ............................................................................... 73
xi
4.7 Pengolahan Data ................................................................................... 73
4.8 Analisis Data......................................................................................... 74
BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................... 76
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................... 76
5.2 Gambaran Berat Badan Bayi ............................................................... 78
5.3 Analisis Faktor Risiko Kejadian BBLR .............................................. 80
BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................. 93
6.1 Keterbatasan Penelitian ........................................................................ 93
6.2 Gambaran Berat Badan Bayi ............................................................... 93
6.3 Analisis Faktor Risiko Kejadian BBLR .............................................. 95
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 123
7.1Simpulan ................................................................................................ 123
7.2Saran ...................................................................................................... 123
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 127
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Definisi Operasional Penelitian ............................................................. 63
Tabel 2 Perhitungan Besar Sampel..................................................................... 72
Tabel 3 Distribusi Berat Badan Bayi .................................................................. 63
Tabel 4 Distribusi BBLR ................................................................................... 92
Tabel 5 Risiko Umur Ibu Terhadap BBLR ......................................................... 95
Tabel 6 Risiko Tinggi Badan Ibu Terhadap BBLR ............................................ 96
Tabel 7 Risiko Penambahan Berat Badan Ibu Terhadap BBLR .......................... 97
Tabel 8 Risiko Umur Kehamilan Ibu Terhadap BBLR ....................................... 98
Tabel 9 Risiko Kek Ibu Terhadap BBLR ......................................................... 100
Tabel 10 Risiko Anemia Ibu Terhadap BBLR .................................................. 101
Tabel 11 Risiko Kehamilan Ganda Terhadap BBLR ........................................ 102
Tabel 12 Risiko Tingkat Pendidikan Ibu Terhadap BBLR ................................ 103
Tabel 13 Risiko Status Bekerja Ibu Terhadap BBLR ........................................ 104
Tabel 14 Risiko Komplikasi Kehamilan Ibu Terhadap BBLR .......................... 105
Tabel 15 Risiko Penyakit Ibu Terhadap BBLR................................................. 106
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Teori Kejadian BBLR ....................................................... 60
Gambar 2 Kerangka Konsep Penelitian .............................................................. 62
Gambar 3 Rancangan Penelitian Kasus Kontrol ................................................. 69
Gambar 4 Wilayah Kota Tangerang Selatan ....................................................... 90
xiv
DAFTAR ISTILAH
AKB
Angka Kematian Bayi
ANC
Antenatal Care
BBLR
Bayi Berat Lahir Rendah
BBLN
Bayi Berat Lahir Normal
BBLASR
Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah
BBLSR
Bayi Berat Lahir Sangat Rendah
BMK
Besar Masa Kehamilan
FAS
Fetal Alcoholic Syndrome
IMD
Inisiasi Menyusui Dini
IUGR
Intrauterine Growth Retardation
HPHT
Hari Pertama Haid Terakhir
LILA
Lingkar Lengan Atas
KB
Kurang Bulan
KEK
Kekurangan Energi Kronik
KMK
Kecil Masa Kehamilan
MDGs
Milenium Development Goals
NCB KMK
Neonatus Cukup Bulan-Kecil Untuk Masa Kehamilan
NKB KMK
Neonatus Kurang Bulan-Kecil Masa Kehamilan
NKB SMK
Neonatus Kurang Bulan-Sesuai Masa Kehamilan
PIH
Pregnancy Induced Hypertension
SMK
Sesuai Masa Kehamilan
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Form Pelacakan Kasus BBLR
Kartu Ibu
Surat Permohonna Izin Penelitian Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan
Surat Pemberian Iizn Penelitian Dinas Kesehatan Kota
Tangernag Selatan
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan indikator pertama dalam
menentukan derajat kesehatan anak. Selain itu, angka kematian bayi juga
merupakan cerminan dari status kesehatan masyarakat. Sebagian besar
penyebab kematian bayi dan balita adalah masalah yang terjadi pada bayi
baru lahir/neonatal (umur 0-28 hari). Masalah neonatal ini meliputi
asfiksia (kesulitan bernafas saat lahir), Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
dan infeksi (Depkes, 2011).
Kematian neonatal terdiri atas kematian neonatal dini dan kematian
neonatal lanjut. Kematian neonatal dini merupakan kematian seorang bayi
yang dilahirkan hidup dalam 7 hari setelah kelahiran, sedangkan kematian
neonatal lanjut merupakan kematian seorang bayi yang dilahirkan hidup
lebih dari 7 hari sampai kurang 29 hari. Angka kematian neonatal adalah
jumlah kematian neonatal per 1.000 kelahiran hidup. BBLR merupakan
salah satu faktor risiko yang mempunyai konstribusi terhadap kematian
bayi khususnya pada masa neonatal (Raharni dkk, 2010).
Menurut UNICEF dan WHO (2004), penurunan kejadian BBLR
merupakan salah satu kontribusi penting dalam Millennium Development
Goal (MDGs) untuk menurunkan kematian bayi. Pencapaian tujuan dari
MDGs dicapai dengan memastikan
kesehatan
anak
pada
awal
kehidupannya. Oleh karena itu, BBLR merupakan masalah kesehatan yang
1
perlu mendapatkan perhatian mengingat BBLR merupakan salah satu
indikator untuk menilai kemajuan dari tujuan MDGs ini.
BBLR didefinisikan sebagai bayi dengan berat lahir kurang dari
2.500gr dengan tidak memandang masa kehamilan (WHO, 2011). BBLR
memberikan kontribusi sebesar 60-80% dari semua kematian neonatal.
Prevalensi global BBLR adalah 15,5%, yang berjumlah sekitar 20 juta
BBLR lahir setiap tahun dan 96,5% dari mereka berasal dari negara
berkembang. Ada variasi yang signifikan dari prevalensi BBLR di
beberapa negara, dengan insiden tertinggi di Asia Tengah (27,1%) dan
terendah di Eropa (6,4%). BBLR dapat disebabkan karena kelahiran
prematur (kelahiran sebelum 37 minggu umur kehamilan) (WHO, 2013).
Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukan
bahwa kejadian BBLR di Indonesia memiliki prevalensi sebesar 10,2%
sedangkan Banten sendiri memiliki prevalensi BBLR sebesar 10,1%,
angka ini hampir
mendekati prevalensi
BBLR secara nasional. Jika
dibandingkan dengan provinsi lain, Banten memiliki proporsi BBLR yang
lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari prevalensi BBLR di Yogyakarta
sebesar 9,9% dan DKI Jakarta sebesar 9,5%. Sedangkan kasus BBLR
tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah sebesar 18,2% dan terendah di
Sumatra Utara sebesar 7,5%.
Berdasarkan laporan dari Profil Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan selama 4 tahun, angka kematian neonatal di Kota Tangerang
Selatan tahun 2010 sebesar 2,25/1.000 KH dengan kematian akibat BBLR
2
sebanyak 25 kasus kematian neonatus dan tahun 2011 sebesar 1,26/1.000
KH dengan kematian akibat BBLR sebanyak 8 kasus kematian neonatus.
Pada tahun 2012 sebesar 0,85/1.000 KH dengan kematian akibat BBLR
sebanyak 9 kasus kematian neonatus dan pada tahun 2013 kematian bayi
sebesar 0,54/1.000 KH dengan kematian akibat BBLR sebanyak 4 kasus
kematian neonatus. Sedangkan jumlah kasus BBLR pada tahun 2010
sebanyak 185 orang, tahun 2011 sebanyak 204 orang,
tahun 2012
sebanyak 168 orang dan pada tahun 2013 sebanyak 255 orang. Walaupun
adanya penurunan jumlah kematian neonatus yang diakibatkan oleh
BBLR, namun kejadian BBLR mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Disamping adanya peningkatan kejadian BBLR dari tahun ke
tahun, pada tahun 2012 terdapat penambahan sistim dalam pencatatan dan
pelaporan kasus BBLR di Kota Tangerang Selatan. Pada tahun 2012 dan
sampai saat ini terdapat pelacakan BBLR sehingga jika ditemukan kasus di
wilayah kerja puskesmas, maka akan langsung dilaporkan ke Dinas
Kesehatan Kota Tangerang Selatan.
Bayi dengan berat <2.500gr mempunyai risiko 20 kali untuk
mengalami kematian jika dibandingkan dengan bayi dengan berat badan
normal (WHO, 2004). BBLR menyebabkan berbagai masalah kesehatan,
salah satunya masalah kesehatan jangka panjang. BBLR memiliki risiko
lebih tinggi untuk mengalami keterbelakangan pada awal pertumbuhan,
mudah terkena penyakit menular, dan mengalami kematian selama masa
bayi dan masa anak-anak (WHO, 2011).
3
Faktor risiko kejadian BBLR di Indonesia yaitu ibu hamil yang
berumur <20 atau >35 tahun, jarak kehamilan terlalu pendek, ibu
mempunyai riwayat BBLR sebelumnya, mengerjakan pekerjaan fisik yang
berat, mengerjakan pekerjaan fisik beberapa jam tanpa istirahat, sangat
miskin, beratnya kurang dan kurang gizi, merokok, konsumsi obat-obatan
terlarang, konsumsi alkohol, anemia, pre-eklampsi atau hipertensi, infeksi
selama kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan cacat bawaan dan
infeksi selama dalam kandungan (Depkes RI, 2009).
Sedangkan menurut WHO (2004), faktor risiko kejadian BBLR
yaitu status gizi, status ekonomi, pendidikan, komplikasi kehamilan,
pekerjaan berat, umur kehamilan, umur ibu, riwayat BBLR sebelumnya,
alkohol, merokok, obat-obatan terlarang, riwayat penyakit, kehamilan
ganda, tinggi badan dan tinggal di daerah ketinggian.
Penelitian yang dilakukan oleh Festy (2009) di Kabupaten
Sumenep (Jawa Timur) menemukan bahwa variabel yang berhubungan
dengan BBLR adalah kadar Hb ibu, LILA (Lingkar Lengan Atas) ibu,
penambahan berat badan selama kehamilan dan pendidikan ibu. Penelitian
yang dilakukan Trihardiani (2011) di Kabupaten Singkawang (Kalimantan
Barat) menemukan bahwa indeks masa tubuh ibu, anemia kehamillan,
LILA, penambahan berat badan ibu pada masa kehamilan, berhubungan
dengan BBLR. Variabel yang berhubungan dengan kejadian BBLR
menurut penelitian yang dilakukan oleh Nurfilaila (2012) di Aceh yaitu
umur ibu. Penelitian yang dilakukan oleh Surtiati (2002) di Bogor
4
menunjukan bahwa umur kehamilan berhubungan dengan BBLR.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurrohmah (2002) di Magelang (Jawa
Tengah) menunjukan bahwa faktor umur ibu, status gizi ibu, anemia,
riwayat penyakit dan pendidikan berhubungan dengan kejadian BBLR.
Berbagai penelitian yang dikemukakan diatas menyebutkan bahwa
faktor anemia, LILA, penambahan berat badan, pendidikan, umur ibu,
umur kehamilan, riwayat penyakit memiliki hubungan dengan kejadian
BBLR dan lokasi penelitian tersebut banyak dilakukan di rumah sakit atau
hospital based. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui faktor-faktor yang berisiko terhadap kejadian BBLR dengan
lokasi penelitian berdasarkan komunitas. Selain itu, dengan meningkatnya
kasus BBLR di Kota Tangerang Selatan dari tahun ke tahun menjadi
alasan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini. Dengan
mengetahui faktor-faktor yang berisiko terhadap kejadian BBLR, maka
dapat dilakukan kegiatan intervensi yang tepat sasaran yaitu pada
kelompok-kelompok yang berisiko tinggi. Pada akhirnya program tersebut
dapat mengurangi insiden BBLR dan angka kematian neonatus di Kota
Tangerang Selatan.
1.2
Rumusan Masalah
BBLR merupakan masalah kesehatan yang perlu ditangani secara
serius karena BBLR berkontribusi terhadap kematian neonatus dan
kematian neonatus merupakan indikator yang menentukan derajat
kesehatan masyarakat suatu bangsa. BBLR memiliki risiko 20 kali untuk
5
mengalami kematian dibandingkan dengan bayi normal. Selain itu, BBLR
juga memiliki risiko untuk mengalami keterbelakangan pada masa awal
pertumbuhan, mudah terserang penyakit menular dan mengalami kematian
selama masa bayi dan anak-anak.
Banyak faktor risiko kejadian BBLR diantaranya yaitu umur ibu,
pendidikan, pekerjaan, umur kehamilan, status gizi ibu, tinggi badan,
penyakit
yang diderita
ibu, anemia,
komplikasi kehamilan dan
penambahan berat badan ibu. Walaupun adanya penurunan jumlah
kematian yang disebabkan oleh BBLR, namun kasus BBLR mengalami
peningkatan setiap tahunnya di Kota Tangerang Selatan. Maka
berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalah, yaitu
apakah faktor-faktor yang berisiko terhadap kejadian BBLR di Kota
Tangerang Selatan Tahun 2013.
1.3
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi
pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah umur ibu berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014?
2. Apakah tingkat pendidikan ibu berisiko terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai
dengan 2014?
6
3. Apakah status ibu bekerja berisiko terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai
dengan 2014?
4. Apakah Kekurangan Energi Kronik (KEK) berisiko terhadap kejadian
BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun
2012 sampai dengan 2014?
5. Apakah penambahan berat badan ibu berisiko terhadap kejadian BBLR
di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012
sampai dengan 2014?
6. Apakah tinggi badan ibu berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan
2014?
7. Apakah anemia berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014?
8. Apakah umur kehamilan berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan
2014?
9. Apakah penyakit ibu berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan
2014?
10. Apakah komplikasi kehamilan berisiko terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai
dengan 2014?
7
11. Apakah kehamilan ganda berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan
2014?
1.4
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.4.1
Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor risiko kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012 sampai
dengan 2014.
1.4.2
Tujuan Khusus
1. Mengetahui umur ibu yang berisiko terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012
sampai dengan 2014.
2. Mengetahui tinggi badan ibu yang berisiko terhadap kejadian
BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
tahun 2012 sampai dengan 2014.
3. Mengetahui penambahan berat badan ibu yang berisiko
terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota
Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014.
4. Mengetahui umur kehamilan ibu yang berisiko terhadap
kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang
Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014.
8
5. Mengetahui risiko Kekurangan Energi Kronik (KEK) terhadap
kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang
Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014.
6. Mengetahui risiko anemia terhadap kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai
dengan 2014.
7. Mengetahui risiko kehamilan ganda terhadap kejadian BBLR
di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun
2012 sampai dengan 2014.
8. Mengetahui tingkat pendidikan ibu yang berisiko terhadap
kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang
Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014.
9. Mengetahui status bekerja ibu yang berisiko terhadap kejadian
BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
tahun 2012 sampai dengan 2014.
10. Mengetahui risiko komplikasi kehamilan terhadap kejadian
BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
tahun 2012 sampai dengan 2014.
11. Mengetahui risiko penyakit ibu terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012
sampai dengan 2014.
9
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1
Mahasiswa
Penelitian ini dapat dijadikan wacana pembelajaran mahasiswa
untuk menambah dan memperluas khasanah keilmuan serta
sebagai sarana dalam mengaplikasikan keilmuan tentang faktor
risiko kejadian BBLR.
1.5.2
Institusi Pendidikan
Selain dapat menambah khasanah keilmuan Program Studi
Kesehatan Masyarakat, khususnya dalam Peminatan Epidemiologi,
hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
bermanfaat
bagi
pengembangan penelitian sejenis dan berkelanjutan mengenai
faktor risiko kejadian BBLR.
1.5.3
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan evaluasi
dalam pengambilan kebijakan untuk mengurangi morbiditas
maupun mortalitas bayi akibat BBLR.
1.5.4
Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
kepada masyarakat terutama ibu hamil, tentang faktor risiko
kejadian BBLR. Sehingga kejadian BBLR dapat dihindari atau
setidak-tidaknya
dapat
dikurangi.
Dengan
upaya
tersebut
diharapkan ibu hamil mempunyai kewaspadaan dini terhadap
10
kejadian BBLR dengan melakukan kunjungan ANC (Antenatal
Care) secara rutin.
1.6
Ruang Lingkup
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik yang
bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian BBLR di Tangerang
Selatan Tahun 2012 sampai dengan 2014. Penelitian ini dilakukan pada
bulan Maret-April 2014. Desain penelitian yang digunakan adalah studi
case control unmathced. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan
metode Purposive Sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan
data sekunder. Sampel pada penelitian ini adalah bayi berat lahir rendah
(BBLR) dan bayi berat lahir normal (BBLN) yang lahir pada bulan
Januari 2012-April 2014.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
Berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat penting
dan paling sering di gunakan pada bayi baru lahir (neonatus). Berat badan
digunakan untuk mendiagnosa bayi normal atau BBLR. Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) adalah bayi yang baru lahir dengan berat badan saat lahir
kurang dari 2500gr. BBLR dibedakan dalam dua kategori, yaitu bayi berat
lahir rendah karena premature (umur kandungan kurang dari 37 minggu)
atau BBLR karena Intrauterine Growth Retardation (IUGR) yaitu bayi
cukup bulan tetapi berat badan kurang untuk umurnya (Depkes RI, 2003).
Definisi BBLR menurut World Health Organization (WHO) yaitu
berat badan saat lahir <2.500gr (5,5 pon). Berdasarkan pengamatan
epidemiologi, bayi dengan berat <2.500gr mempunyai risiko 20 kali untuk
mengalami kematian dibandingkan dengan bayi yang berat badanya
normal. BBLR lebih banyak terjadi di negara berkembang jika
dibandingkan dengan negara-negara maju (WHO, 2004).
Menurut Manuaba (2010) istilah prematuritas telah diganti dengan
BBLR karena terdapat dua bentuk penyebab kelahiran bayi dengan berat
badan lahir <2.500gr, yaitu karena umur kehamilan <37 minggu, berat
badan lebih rendah dari semestinya sekalipun umur cukup atau karena
kombinasi keduanya. Pilliteri (1986) menyebutkan BBLR merupakan
12
neonatus atau bayi baru lahir dengan berat badan lahir rendah adalah bayi
dengan berat lahirnya <2.500gr.
BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang <2500gr
tanpa memandang masa kehamilan. Berat lahir adalah berat bayi yang
ditimbang dalam 1 jam setelah lahir. Penyebab BBLR sangat kompleks.
BBLR dapat disebabkan oleh kehamilan kurang bulan, bayi kecil untuk
masa kehamilan atau kombinasi keduanya. Bayi kurang bulan adalah bayi
yang lahir sebelum umur kehamilan 37 minggu. Sebagian bayi kurang
bulan belum siap hidup di luar kandungan dan mendapatkan kesulitan
untuk mulai bernafas, menghisap, melawan infeksi dan menjaga tubuhnya
agar tetap hangat (Depkes RI, 2009).
Bayi kecil masa kehamilan (KMK) adalah bayi yang tidak tumbuh
dengan baik dalam kandungan selama kehamilan. Ada 3 kelompok bayi
yang termasuk KMK yaitu KMK lebih bulan, KMK cukup bulan, KMK
kurang bulan. Bayi KMK cukup bulan kebanyakan mampu bernafas dan
menghisap dengan baik. Sedangkan bayi KMK kurang bulan kadang
kemampuan bernafas dan menghisap lemah (Depkes RI, 2009).
2.2
Klasifikasi BBLR
BBLR dapat digolongkan menjadi (Maryunani, 2013):
a. Firmansjah (1998) dalam Maryunani (2013) menyebutkan bahwa ada
beberapa istilah bayi prematur atau bayi lahir rendah yang harus
diketahui
karena
berhubungan
dengan
prognosis
dan
penatalaksanaanya. Menurut Firmansjah neonatus dengan berat badan
13
lahir rendah adalah bayi yang kurang dari 2.500gr. Dalam hal ini
disebutkan juga oleh firmansjah bahwa Neonatus yang termasuk dalam
BBLR mungkin termasuk salah satu dari beberapa keadaan, yaitu :
1) NKB SMK (neonatus kurang bulan-sesuai masa kehamilan) adalah
bayi prematur dengan berat badan lahir yang sesuai dengan masa
kehamilan
2) NKB KMK (neonatus kurang bulan-kecil masa kehamilan) adalah
bayi prematur dengan berat badan lahir kurang dari normal
menurut umur kehamilan.
3) NCB KMK (neonatus cukup bulan-kecil untuk masa kehamilan)
adalah bayi yang lahir cukup bulan dengan berat badan lahir
kurang dari normal.
b. Selain itu sesuai dengan kemajuan teknologi kedokteran, BBLR dibagi
lagi menurut berat badan lahir, yaitu :
1) Bayi yang berat lahirnya kurang dari 2500gr, disebut bayi berat
lahir rendah (BBLR)
2) Bayi dengan berat lahir sangat rendah (BBLSR) atau very low birth
weight (VLBW) adalah bayi yang lahir dengan berat badan lahir
antara 1500gr.
3) Bayi berat lahir
amat sangat rendah (BBLASR) adalah bayi
dengan berat lahir kurang dari 1000gr.
c. Menurut persentil, BBLR dibagi sebagai berikut:
14
1) BBLR (berat badan lahir rendah) yaitu bayi dengan berat badan lahir
absolut <2500gr tanpa memandang umur kehamilan.
2) KMK (kecil masa kehamilan) yaitu berat badan <10 persentil dari
berat badan berdasarkan umur gestasi.
3) BMK (besar masa kehamilan) yaitu berat badan lahir >90 persentil dari
berat badan berdasarkan umur gestasi.
2.3
Permasalahan pada BBLR
Bayi dengan BBLR lebih mudah mengalami kematian atau mengalami
masalah kesehatan yang serius. Berat bayi dan masa kehamilan
menggambarkan risiko, semakin kecil berat bayi dan semakin muda masa
kehamilan maka semakin besar risikonya. Masalah-masalah BBLR antara
lain (Depkes RI,2009):
a. Asfiksia
BBLR bisa kurang, cukup atau lebih bulan, semuanya berdampak
pada proses adaptasi pernapasan waktu lahir sehingga mengalami
asfiksia lahir. BBLR membutuhkan kecepatan dan keterampilan dalam
tindakan resusitasi.
b. Gangguan Pernapasan
Gangguang napas yang sering terjadi pada BBLR kurang bulan
adalah penyakit membran hialin, sedangkan pada BBLR lebih bulan
adalah aspirasi mekonium. BBLR yang mengalami gangguan napas
harus segera dirujuk ke fasilitas rujukan yang lebih tinggi.
15
c. Hipotermi
Hipotermi terjadi karena hanya sedikitnya lemak tubuh dan sistem
pengaturan suhu tubuh pada bayi baru lahir belum matang. Metode
kanguru dengan kontak kulit ibu dengan kulit bayi membantu bayi
BBLR agar tetap hangat.
d. Hipoglikemi
Hipoglikemi terjadi karena hanya sedikitnya simpanan energi pada
bayi baru lahir dengan BBLR. Bayi dengan BBLR membutuhkan ASI
sesegara mungkin setelah lahir dan minum sangat sering (setiap 2 jam)
pada minggu pertama.
e. Masalah Pemberian ASI (Air Susu Ibu)
Masalah pada bayi BBLR yaitu ukuran tubuh bayi yang kecil,
kurang energi, lemah, lambung kecil dan tidak dapat menghisap,
sehingga menyebabkan bayi dengan BBLR membutuhkan bantuan
dalam mendapatkan ASI . Pemberian ASI dilakukan dalam jumlah
yang lebih sedikit tapi sering. BBLR dengan kehamilan ≥35 minggu
dan berat badan lahir ≥2000gr umumnya bisa langsung menetek.
f. Infeksi
Karena sistem kekebalan tubuh BBLR belum matang. Keluarga
dan tenaga kesehatan yang merawat BBLR harus melakukan tindakan
pencegahan infeksi antara lain dengan mencuci tangan dengan baik.
16
g. Ikterus (kadar bilirubin yang tinggi)
Ikterus terjadi karena fungsi hati belum matang. Bayi dengan
BBLR menjadi kuning lebih awal dan lebih lama dari pada bayi yang
cukup beratnya.
h. Masalah Pendarahan
Masalah pendarahan berhubungan dengan belum matangnya sistem
pembekuan darah saat lahir. Pemberian injeksi vitamin K1 dengan
dosis 1 mg intramuskular segera sesudah lahir (dalam 6 minggu
pertama). Untuk semua bayi baru lahir dapat mencegah kejadian
pendarahan ini. Injeksi ini dilakukan di paha kiri.
2.4
Gambaran Klinis BBLR
Bayi baru lahir dengan berat lahir rendah mempunyai lemak dibawah
kulit yang sangat sedikit, karena beratnya kurang dari 2500gr.
a. Tanda-tanda bayi kurang bulan yaitu :
1) Kulit tipis dan mengkilap
2) Tulang rawan telinga sangat lunak, karena belum terbentuk dengan
sempurna.
3) Lanugo (rambut halus/lembut) masih banyak ditemukan terutama
pada punggung.
4) Jaringan payudara belum terlihat, puting masih berupa titik.
5) Pada bayi perempuan labia mayora belum menutupi labia minora
6) Pada bayi laki-laki skrotum belum banyak lipatan, testis kadang
belum turun
17
7) Rajah telapak kaki kurang dari 1/3 bagian atau belum terbentuk
8) Kadang disertai dengan pernapasan tidak teratur
9) Aktifitas dan tangisanya lemah
10) Refleks menghisap dan menelan tidak efektif/lemah
b. Tanda-tanda bayi Kecil Masa Kehamilan (KMK) yaitu :
1) Umur bayi dapat cukup, kurang atau lebih bulan tetapi beratnya
kurang dari 2500gr.
2) Gerakanya cukup aktif dan tangisanya cukup kuat
3) Kulit keriput, lemak bawah kulit tipis
4) Bila kurang bulan jaringan payudara kecil dan puting kecil. Bila
cukup bulan payudara dan puting sesuai masa kehamilan.
5) Bayi perempuan bila cukup bulan, labia mayora menutupi labia
minora.
6) Bayi laki-laki, testis mungkin telah turun
7) Rajah telapak kaki lebih dari 1/3 bagian
8) Menghisap cukup kuat
2.5
Tata Laksana BBLR Saat Lahir
Seperti bayi baru lahir lainya, bayi dengan BBLR perlu mendapat
perhatian dan tatalaksana yang baik pada saat lahir, yaitu harus mendapat
“Pelayanan Neonatal Esensial” (Depkes RI, 2009).
a. Tatalaksana bayi pada saat lahir yaitu :
1) Persalinan yang bersih dan aman
2) Stabilisasi suhu
18
3) Inisiasi pernapasan spontan
4) Pemberian ASI dini (Inisiasi Menyusui Dini/IMD) dan ASI
Eksklusif
5) Pencegahan infeksi dan pemberian imunisasi
b. Tatalaksana saat lahir mencakup
1) Penilaian BBLR saat lahir dengan menggunakan parameter yaitu
bernapas spontan atau menangis dan air ketuban (keruh atau tidak).
2) Asuhan bayi baru lahir
c. Asuhan bayi baru lahir yaitu:
1) BBLR yang menangis termasuk ke dalam kriteria bayi lahir tanpa
asfiksia. Bayi tersebut dalam keadaan bernapas baik dan warna air
ketuban jernih. Untuk BBLR yang lahir menangis atau bernapas
spontan ini dilakukan asuhan BBLR tanpa asfiksia sebagai berikut:
a) Bersihkan lender secukupnya kalau perlu
b) Keringkan dengan kain yang kering dan hangat
c) Segera berikan pada ibu untuk kontak kulit ibu dengan kulit
bayi
d) Segera memberikan ASI dini dengan membelai
e) Memandikan bayi dilakukan setelah 24 jam, atau lebih dari 24
jam jika bayi hipotermi <36,5c, suhu lingkungan dingin, ada
penyulit yang lain.
f) Profilaksis suntikan vitamin K1 1mg dosis tunggal, IM pada
paha kiri anterolateral
19
g) Salep mata antibiotic
h) Perawatan tali pusat : kering, bersih, tidak dibubuhi apapun dan
terbuka
i) Bila berat lahir ≥2000gr dan tanpa masalah atau penyulit, dapat
diberikan vaksinasi Hepatitis B pertama pada paha kanan
2) BBLR yang tidak bernapas spontan dimasukan ke dalam kategori
lahir dengan asfiksia dan harus segera dilakukan lagkah awal
resusitasi dan tahapan resusitasi berikutnya diperlukan :
a) Diputuskan berdasarkan penilaian keadaan bayi baru lahir,
yaitu
bila
air
ketuban
bercampur
mekonium
(letak
kepala/gawat janin) dan bayi tidak menangis atau tidak
bernapas spontan atau bernapas mengap-mengap.
b) Langkah awal resusitasi yaitu jaga bayi dalam keadaan hangat,
atur posisi kepala bayi sedikit tengadah, isap lendir dimulut
kemudian hidung, keringkan sambil dilakukan rangsang taktil,
reposisi kepala, nilai keadaan bayi dengan melihat parameter
yaitu usaha napas bila setelah dilakukan penilaian, bayi tidak
menangis atau tidak bernapas spontan dan teratur.
2.6
Faktor Risiko Kejadian BBLR
Menurut WHO (2004), bayi dengan berat badan rendah saat lahir
adalah salah satu hasil dari kelahiran prematur (sebelum 37 minggu
kehamilan ) atau pembatasan pertumbuhan janin (intrauterine). Berat lahir
rendah sangat erat kaitannya dengan mortalitas dan morbiditas janin dan
20
neonatal, menghambat pertumbuhan dan perkembangan kognitif dan
penyakit kronis. Banyak faktor yang mempengaruhi durasi kehamilan dan
pertumbuhan janin yang akan berpengaruh pada berat lahir bayi. Faktorfaktor tersebut berhubungan untuk bayi, ibu atau lingkungan fisik dan
memainkan peran penting dalam menentukan berat lahir bayi dan
perkembangan kesehatanya. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Untuk umur kehamilan yang sama, berat badan anak perempuan lebih
kurang dari pada anak laki-laki, bayi sulung lebih ringan dari
bayi berikutnya (riwayat BBLR), dan kehamilan ganda.
b. Berat lahir dipengaruhi oleh pertumbuhan janin ibu sendiri dan diet
selama masa kelahiran dengan kehamilan
c. Wanita muda memiliki bayi yang lebih kecil, nutrisi ibu hamil, gaya
hidup (misalnya, alkohol, merokok atau penyalahgunaan obat) dan
eksposur lainnya (misalnya, malaria, HIV atau sifilis), atau komplikasi
seperti
hipertensi
dapat
mempengaruhi
pertumbuhan
dan
perkembangan janin serta durasi kehamilan
d. Ibu dengan kondisi sosial-ekonomi rendah sering memiliki bayi berat
lahir rendah. Berat lahir rendah terutama terjadi disebabkan oleh status
gizi ibu yang buruk dan status kesehatan selama jangka waktu yang
panjang, termasuk selama kehamilan, tingginya prevalensi infeksi
spesifik dan non - spesifik, atau dari kehamilan komplikasi didukung
oleh kemiskinan. secara jasmani menuntut kerja selama kehamilan
juga berkontribusi untuk pertumbuhan janin yang buruk.
21
Penyebab BBLR umumnya tidak hanya satu, sehingga kadang sulit
untuk dilakukan tindakan pencegahan. Faktor risiko kejadian BBLR
diantaranya ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun atau lenih dari
35 tahun, jarak kehamilan terlalu pendek, ibu mempunyai riwayat BBLR
sebelumnya, mengerjakan pekerjaan fisik, mengerjakan pekerjaan fisik
beberapa jam tanpa istirahat, sangat miskin, beratnya kurang dan kurang
gizi, perokok, pengguna obat terlarang, alkohol,anemia, pre-eklampsi atau
hipertensi, infeksi selama kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan cacat
bawaan dan infeksi selama dalam kandungan (Depkes RI, 2009).
Menurut Manuaba
(2010), faktor risiko kejadian BBLR yaitu
terdiri dari faktor ibu berupa KEK (Kekurangan Energi Kronik), usia ibu
<20 dan >35 tahun, jarak hamil dan bersalin terlalu dekat, penyakit
menahun : hipertensi, jantung, gangguan pembuluh darah dan pekerjaan
yang terlalu berat. Kemudian faktor kehamilan berupa hamil dengan
hidramnion, hamil ganda, pendarahan antepartum, komplikasi kehamilan:
preeklamsi/eklamsi dan KPD (Ketuban Pecah Dini) dan faktor janin yang
terdiri dari cacat bawaan dan infeksi dalam rahim.
Faktor risiko kejadian BBLR menurut WHO (2004), Depkes (2009)
dan Manuaba (2010) antara lain:
1. Faktor ibu
a. KEK (Kekurangan Energi Kronik)
Masalah gizi yang sering dihadapi ibu hamil yaitu Kekurangan
Energi Kronik (KEK). KEK berdampak negatif terhadap ibu hamil
22
dan janin yang dikandung berupa peningkatan kematian ibu,
sedangkan bayi berisiko mengalami BBLR, kematian dan
gangguan tumbuh kembang. Kematian bayi merupakan indikator
status kesehatan masyarakat yang penting berhubungan dengan
anak sebagai investasi bangsa. Ibu hamil yang KEK sebaiknya
mendapatkan makanan tambahan dan peyuluhan yang berkualitas
(Festy, 2009).
KEK disebabkan oleh kekurangan energi dalam jangka waktu
yang cukup lama. KEK
pada wanita di negara berkembang
merupakan hasil kumulatif dari keadaan kurang gizi sejak masa
janin, bayi dan anak-anak serta berlanjut hingga dewasa. Secara
spesifik, penyebab KEK pada ibu hamil adalah akibat dari
ketidakseimbangan antara asupan untuk pemenuhan kebutuhan dan
pengeluaran
energi.
Yang
sering
terjadi
adalah
adanya
ketidaktersediaan pangan secara musiman atau secara kronis di
tingkat rumah tangga, distribusi didalam rumah tangga yang tidak
proporsional dan beratnya beban kerja ibu hamil (Albugis, 2008).
Energi yang tersembunyi dalam protein ditaksir sebanyak
5180Kkal, dan lemak 36.337Kkal. Agar energi ini bisa ditabung
masih dibutuhkan tambahan energi sebanyak 26.224Kkal, yang
digunakan untuk mengubah energi yang terikat dalam makanan
menjadi energi yang bisa dimetabolisir. Dengan demikian jumlah
total energi yang harus tersedia selama kehamilan adalah
23
74.537Kkal, dibulatkan menjadi 80.000Kkal. Untuk memperoleh
besaran energi per hari, hasil penjumlahan ini kemudian dibagi
dengan angka 250 (perkiraan lamanya kehamilan dalam hari)
sehingga diperoleh angka 300Kkal (Marie, 2002).
Mekanisme terjadinya BBLR akibat Kekurangan Energi
Kronik (KEK) pada ibu hamil yaitu diawali dengan ibu hamil yang
menderita KEK yang menyebabkan volume darah dalam tubuh ibu
menurun dan cardiac output ibu hamil tidak cukup, sehingga
meyebabkan adanya
penurunan aliran darah
ke
plasenta.
Menurunya aliran darah ke plasenta menyebabkan dua hal yaitu
berkurangnya transfer zat-zat makanan dari ibu ke plasenta yang
dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan janin dan pertumbuhan
plasenta lebih kecil yang menyebabkan bayi dengan berat lahir
rendah (BBLR) (Soetjiningsih, 1995 dalam Kemar 2008).
Kondisi kesehatan bayi yang dilahirkan sangat dipengaruhi
oleh keadaan gizi ibu selama hamil. KEK pada ibu hamil perlu
diwaspadai
kemungkinan
ibu
melahirkan
bayi
BBLR,
pertumbuhan dan perkembangan otak janin terhambat sehingga
mempengaruhi kecerdasan anak dikemudian hari dan kemungkinan
premature (Depkes, 2001 dalam Mulyaningrum, 2009).
LILA merupakan indikator status gisi ibu hamil. LILA
diasumsikan ukuran yang tidak terpengaruh dengan berat badan
ibu dan bayi dalam kandungan. Di Indonesia batas ambang LILA
24
normal adalah 23,5cm. Ibu hamil dengan ukuran LILA kurang
23,5cm berisiko menderita Kekurangan Energi Kronik (KEK) yang
dapat menyebabkan prematuritas dan risiko Berat Badan Bayi
Rendah (Festy, 2009).
Pengukuran Lingkar Lengan Bagian Atas (LILA) ibu pada saat
hamil sangat penting. Tujuan dilakukan pengukuran LILA untuk
mengetahui secara dini status gizi ibu hamil, apabila ukuran LILA
<23,5cm maka kemungkinan ibu hamil untuk melahirkan bayi
dengan BBLR lebih besar. Sedangkan apabila ukuran LILA
>23,5cm maka ibu akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan
dengan berat badan normal. Hal ini disebabkan setiap ibu hamil
memerlukan tambahan kalori dan nutrisi sehari-hari karena selama
kehamilannya mereka harus memasok energi untuk pertumbuhan
dan perkembangan janinnya (Puji, 2009).
b. Umur ibu <20 dan >35 tahun
Menurut Depkes (2001) dalam Mulyaningrum (2009) pada ibu
hamil dengan umur >20 tahun, rahim dan panggul sering kali
belum tumbuh mencapai ukuran dewasa. Akibatnya, ibu hamil
pada umur itu mungkin mengalami persalinan lama/macet, atau
gangguan lainya karena ketidaksiapan ibu untuk menerima tugas
dan tanggung jawabnya sebagai orang tua. Sedangkan pada umur
>35 tahun, kesehatan ibu sudah menurun, akibatnya ibu hamil pada
25
umur itu mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mempunyai
anak cacat, persalinan lama dan pendarahan.
Kehamilan pada masa remaja (umur >20 tahun) menimbulkan
tantangan bagi remaja
itu
sendiri dan bagi janin yang
dikandungnya yang berhubungan dengan meningkatnya risiko
terhadap komplikasi kehamilan dan luaran perinatal yang buruk
seperti preeklamsi, berat lahir janin rendah dan prematuritas.
Kehamilan pada umur remaja berdampak pada pertumbuhan yang
kurang optimal karena kebutuhan zat gizi pada masa tumbuh
kembang remaja sangat dibutuhkan oleh tubuhnya sendiri,
(Simbolon & Aini, 2013).
Masalah gizi yang sering dihadapi ibu hamil, terutama bagi ibu
hamil di umur remaja yaitu Kurang Energi Kronik (KEK), anemia
tablet Fe, pertambahan berat badan kurang selama hamil, dan
tinggi badan berisiko. Status gizi ibu hamil berpengaruh terhadap
berat badan lahir bayi yang ternyata sangat erat hubungannya
dengan tingkat kesehatan bayi selanjutnya dan angka kematian
bayi. Kehamilan di umur remaja memperburuk pemenuhan
kebutuhan energi, karena remaja sendiri juga membutuhkan energi
untuk pertumbuhannya yang masih terus berjalan dan harus
bersaing dengan pertumbuhan janin. (Simbolon & Aini, 2013).
Meski kehamilan dibawah umur sangat berisiko tetapi
kehamilan >35 tahun juga tidak dianjurkan dan sangat berbahaya.
26
Mengingat mulai umur ini sering muncul penyakit seperti
hipertensi, tumor jinak peranakan, atau penyakit degeneratif pada
persendian tulang belakang dan panggul.
Menurut
Sitorus
(1999)
dalam
Setianingrum
(2005)
menyatakan bahwa Kesulitan lain kehamilan >35 tahun ini yakni
bila ibu ternyata mengidap penyakit seperti diatas yang ditakutkan
bayi lahir dengan membawa kelainan. Dalam proses persalinan
sendiri, kehamilan di umur lebih ini akan menghadapi kesulitan
akibat lemahnya kontraksi rahim serta sering timbul kelainan pada
tulang panggul tengah. Mengingat bahwa faktor umur memegang
peranan penting terhadap derajat kesehatan dan kesejahteraan ibu
hamil serta bayi, maka sebaiknya merencanakan kehamilan pada
umur antara 20-35 tahun.
Selain itu semakin muda dan semakin tua umur seorang ibu
yang sedang hamil, akan berpengaruh terhadap kebutuhan gizi
yang diperlukan. Umur yang muda perlu tambahan gizi yang
banyak
karena
selain digunakan untuk pertumbuhan dan
perkembangan dirinya sendiri juga harus berbagi dengan janin
yang dikandungnya. Sedangkan umur yang tua perlu energi yang
besar juga karena fungsi organ yang semakin melemah dan
diharuskan untuk bekerja maksimal maka memerlukan tambahan
energi yang cukup guna mendukung kehamilan yang sedang
berlangsung (Kristyanasari, 2010, dalam Muazizah, 2011).
27
Umur ibu erat kaitannya dengan berat bayi lahir. Kehamilan
pada umur >20 tahun merupakan kehamilan berisiko tinggi, 2-4
kali lebih tinggi di bandingkan dengan kehamilan pada wanita
yang cukup umur. Pada umur yang masih muda, perkembangan
organ-organ reproduksi dan fungsi fisiologinya belum optimal.
Selain itu emosi dan kejiwaannya belum cukup matang, sehingga
pada saat kehamilan ibu tersebut belum dapat menanggapi
kehamilannya secara sempurna dan sering terjadi komplikasi
(Nurfilaila, 2012).
Umur reproduksi optimal bagi seorang ibu adalah antara umur
20-35 tahun, dibawah atau diatas umur tersebut akan meningkatkan
risiko kehamilan dan persalinannya (Depkes RI, 2003). Menurut
Surtiati (2003), ibu yang berumur <20 dan >35 tahun memiliki
risiko 3,18 kali lebih besar untuk melahirkan bayi BBLR
dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pada umur 20-35 tahun.
c. Penyakit
Kesehatan dan pertumbuhan janin dipengaruhi oleh kesehatan
ibu. Bila ibu mempuyai penyakit yang berlangsung lama atau
merugikan kehamilanya, maka kesehatan dan kehidupan janin pun
terancam. Beberapa penyakit yang mempengaruhi kehamilan yaitu
penyakit Jantung, anemia berat, TBC, Malaria, HIV dan infeksi.
Ibu dengan keadaan tersebut harus diperiksa dan mendapat
pengobatan secara teratur oleh dokter (KEMENKES RI, 2011).
28
Penyakit dalam kehamilan terdiri dari adanya riwayat penyakit
kronis seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus,
penyakit hati, penyakit ginjal dan toksemia, adanya penyakit
infeksi seperti malaria kongenital, penyakit kelamin, kandung
kemih, malaria kongenital serta infeksi vagina dan rubella. Selain
itu, adanya ketidak seimbangan hormonal pada ibu hamil.
Disamping dapat menyebabkan keguguran setelah kandungan
besar, ketidakseimbangan hormonal juga dapat menyebabkan
kelahiran prematur dan BBLR. Dengan melakukan penggantian
hormon dapat mencegah kelahiran prematur dan BBLR yang
diakibatkan ketidakseimbangan hormonal (Maryunani, 2013).
Asma bronkial adalah suatu keadaan dimana saluran napas
mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan
tertentu yang menyebabkan peradangan dan penyempitan yang
bersifat sementara. Pada penderita asma, penyempitan saluran
pernapasan merupakan respons terhadap rangsangan, yang pada
paru-paru normal tidak akan mempengaruhi saluran pernapasan.
Penyempitan ini dapat dipicu oleh berbagai rangsangan seperti
serbuk sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin dan olahraga
(Junaidi, 2010).
Wanita yang hamil bernapas untuk dua orang, karena itu
penting untuk mengendalikan asmanya. Kesulitan bernapas yang
dialami wanita hamil mempengaruhi sang janin karena adanya
29
kompromi terhadap suplai oksigen. Jika asmanya terkendali,
wanita penderita asma tidak akan mengalami komplikasi selama
kehamilan dan bisa melahirkan sebagaimana wanita yang nonasmatik. Namun, asma yang tak terkendali selama kehamilan bisa
mengakibatkan masalah kehamilan dan komplikasi pada sang janin
seperti kelahiran prematur, bayi yang lahir kurang berat badan lahir
rendah (BBLR), perubahan tekanan darah “maternal” (seperti
eklampsia) (Chaitow, 2005).
Serangan yang akut membahayakan janin dalam kandungan ibu
hamil, karena berkurangnya pasokan oksigen yang diterima. Cara
mencegah terjadinya serangan selama kehamilan dan proses
melahirkan dengan strategi tiga jalur pertahanan terhadap asma
yaitu aturlah lingkungan hidup penderita asma (kendalikan pemicu
asma di lingkungan sekitarnya), aturlah kesejahteraan saluran
pernapasanya agar saluran napas tersebut kurang sensitive,
sehingga
lebih
kecil
kemungkinanya
bereaksi
dengan
menimbulkan gejala asma dan aturlah serangan asma (kenali gejala
datangnya
serangan
secara
dini
dan
bertindak
untuk
menghentikanya sebelum berkembang menjadi masalah yang lebih
besar) (Chaitow, 2005).
Oleh sebab itu mengontrol asma selama kehamilan sangat
penting untuk mencegah keadaan yang tidak dimungkinkan baik
pada ibu maupun pada janinya. Pada umumnya semua obat asma
30
dapat diminum selama kehamilan kecuali komponen adrenergik,
bromfeniramin dan epinefrin. Kortikosteroid inhalasi sangat
bermanfaat untuk mengontrol asma dan mencegah serangan akut
terutama saat kehamilan. Bila terjadi serangan harus segera
ditanggulangi secara agresif yaitu pemberian inhalasi agonis beta2, oksigen dan kortikosteroid sistemik (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2004).
Penyakit batu saluran kemih (batu ginjal) adalah terbentuknya
batu yang disebabkan oleh pengendapan substansi yang terdapat
dalam air kemih yang jumlahnya berlebihan atau karena faktor lain
yang mempengaruhi daya larut substansi (Lina, 2008). Pada batu
yang masih berukuran kecil dapat tidak memberikan gejala.
Namun, pada batu yang berukuran lebih besar, maka dapat
memberikan keluhan seperti nyeri kolik (nyeri yang disebabkan
karena usaha untuk mengeluarkan batu, namun tersangkut di
saluran kemih), hematuria (ada darah di urin), nyeri saat berkemih,
terutama saat batu bergerak, buang air kecil sedikit, yang
disebabkan tersumbatnya saluran kemih oleh batu, mual dan
muntah (Gopar, 2009).
Batu
saluran
kemih
dalam
kehamilan
tidaklah
biasa.
Frekuensinya sangat sedikit 0,03-0,07%. Walaupun demikian perlu
juga diperhatikan karena urotiasis ini dapat mendorong timbulnya
infeksi saluran kemih, atau menimbulkan keluhan pada penderita
31
berupa nyeri mendadak, kadang-kadang berupa kolik, dan
hematuria. Diagnosis lebih tepat dengan melakukan pemeriksaan
intravenous pielografi; akan tetapi janin harus dilindungi dari efek
penyinaran. Bila diketahui adanya urolitiasis dalam kehamilan,
terapi pertama adalah analgetika untuk menghilangkan sakitnya,
diberi cairan banyak agar batu dapat ke bawah, karena hampir
80% batu akan dapat turun ke bawah, serta antibiotika
(Wiknyosastro, 2007).
Saat hamil, terkadang ibu hamil tidak berselera makan, mual
dan muntah (emesis gravidarium) akibat pengaruh hormone
chorionic gonadotropin. Karena perut sering tidak terisi, maka sakit
maag akan muncul. Penyakit maag yang diderita sebelumnya dapat
memperburuk masa mengidam ibu hamil, yaitu mual dan muntah
berlebih (hiperemesis gravidarum) pada ibu hamil rentan sakit
maag. Biasanya, keluhan pada daerah sekitar lambung baik itu
mual, muntah (emesis gravidarum), heart burn (rasa panas di ulu
hati,
bahkan sampai mual dan muntah
yang berlebihan
(hiperemesis gravidarium) (Bambang, 2011).
Berdasarkan penelitian, obat yang dijual bebas untuk mengatasi
keluhan maag relatif aman untuk dikonsumsi oleh ibu hamil, tetapi
sesuai dosis. Karena tidak ditemukan efek teratogenik, malformasi
(kecacatan) pada bayi. Namun sebelum itu terlebih dahulu
berkonsultasi ke dokter agar lebih tepat jenis obat dan dosis sesuai
32
dengan kebutuhan. Berikut ada 2 cara untuk mengatasi gejala
saluran pencernaan, antara lain farmakologis yaitu dengan
menggunakan obat (vitamin B6, B12, anti histaine, antasida, H2
reseptor antagonist dan proton pump inhibitor) dan non
farmakologis yaitu tanpa menggunakan obat seperti jahe (bentuk
permen, sirup, atau kapsul), akupuntur atau dengan cara
mengoleskan minyak kayu putih pada tubuh juga dapat
mengurangi gas berlebih pada tubuh (Bambang, 2011).
d. Jarak kehamilan
Jarak kehamilan ibu hamil sangat mempengaruhi berat bayi
yang dilahirkan. Seorang ibu yang jarak kehamilannya dikatakan
berisiko apabila hamil dalam jangka kurang dari dua tahun, dan hal
ini jelas menimbulkan gangguan pertumbuhan hasil konsepsi,
sering terjadi immaturitas, prematuritas, cacat bawaan, atau janin
lahir dengan berat badan yang rendah. Keadaan ini disebabkan
karena kurangnya suplai darah nutrisi akan oksigen pada placenta
yang akan berpengaruh pada fungsi plesenta terhadap janin
(Depkes RI, 2003).
Jarak kehamilan yang pendek akan menyebabkan seorang ibu
belum cukup waktu untuk memulihkan kondisi tubuhnya setelah
melahirkan sebelumnya. Ibu hamil dalam kondisi tubuh kurang
sehat inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab kematian
ibu dan bayi yang dilahirkan serta risiko terganggunya sistem
33
reproduksi. Sistem reproduksi yang terganggu akan menghambat
pertumbuhan dan perkembangan janin yang dikandungnya
sehingga berpengaruh terhadap berat badan lahir. Ibu hamil yang
jarak kehamilanya kurang dari dua tahun, kesehatan fisik dan
kondisi rahimnya masih butuh istirahat yang cukup (Trihardiani,
2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Nurfilalila (2011) menemukan
bahwa adanya hubungan antara jarak kehamilan dengan kejadian
BBLR. Hubungan ini disebabkan karena jarak kehamilan
berpengaruh terhadap proses petumbuhan janin dalam rahim,
sehingga bila jarak kehamilan seseorang sangat dekat atau dalam
jangka kurang dari dua tahun, maka mungkinkan terjadinya BBLR.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Trihardiani (2011)
menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara jarak kehamilan
dengan berat badan lahir. Hal ini dikarenakan sebagian besar
subyek pada penelitian ini, yaitu sebesar 90,8% memiliki jarak
kelahiran lebih dari sama dengan dua tahun.
e. Pekerjaan
Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan
oleh semua umur. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan
untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi
seseorang. Pekerjaan adalah sesuatu yang dikerjakan untuk
mendapatkan nafkah atau pencaharian masyarakat yang sibuk
34
dengan kegiatan atau pekerjaan sehari-hari yang akan memiliki
waktu yang lebih untuk memperoleh informasi (Depkes RI, 2001).
Benerjee (2009) dalam Sujoso (2011) mengemukakan bahwa
wanita bekerja yang sedang hamil membutuhkan perlindungan
khusus. Perlindungan khusus ini diperlukan karena beberapa alasan.
Pertama, pada fase perkembangan embrio lebih rentan terhadap
agen toksik dibandingkan dengan ibu yang terpapar. Kedua, pada
beberapa jenis pekerjaan dirasa kurang sesuai dikerjakan oleh
seorang wanita. Ketiga, kehamilan mungkin menurunkan kapasitas
kemampuan menangani permasalahan kerja. Keempat, wanita
cenderung kurang memperhatikan dirinya dibandingkan dengan
pria.
Substansi bahaya di tempat kerja dapat masuk pada pekerja
melalui tiga cara yaitu pernafasan, kontak melalui kulit dan melalui
pencernaan. Wanita pekerja yang sedang hamil harus lebih berhatihati mengenai bahaya pada kesehatan reproduksi. Beberapa bahan
kimia dapat beredar di dalam darah ibu, melalui plasenta dan
menjangkau perkembangan janin. Agen berbahaya lainya yaitu agen
biologi seperti bakteri, virus, cacing yang dapat mempengaruhi
secara keseluruhan pada kesehatan wanita dan mengurangi transport
makanan ke janin sehingga menyebabkan bayi dengan berat lahir
rendah (Sujoso, 2011).
35
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hartikainen dalam Sujoso
(2011) terhadap kelompok wanita pekerja yang hamil, terpapar dan
tidak terpapar kebisingan. Batas paparan yang diterima 78db. Tidak
ada
perbedaan
dalam
kelompok.
Namun
hasil
penelitian
menyimpulkan bahwa bila wanita yang sedang hamil menerima
paparan kebisisngan 90db atau lebih, akan mengakibatkan bayi
yang dilahirkan mempunyai berat badan lahir rendah. Selain itu,
paparan radiasi bagi ibu hamil di tempat kerja dapat mengakibatkan
mutasi genetik dan kelainan kongenital serta radiasi ionisasi,
misalnya sinar x dan sinar gamma dapat menyebabkan gangguan
kesuburan, kelahiran cacat, bayi berat badan lahir rendah dan
gangguang perkembangan mental.
Beban fisiologis pada pekerja juga dapat mengakibatkan
gangguan kehamilan. Menurut Benerjee (2009) dalam Sujoso
(2011) pekerjaan yang paling berisiko terpajan faktor fisiologis
untuk wanita hamil adalah industri tekstil. Sumber bahaya fisiologis
yang sering ditemukan adalah jam kerja panjang, shift kerja yang
pengaturanya tidak ergonomis, jam kerja seminggu yang melebihi
35 jam, waktu memutuskan cuti kerja sampai dengan menjelang
minggu ke 32, posisi kerja berdiri terlalu lama, membawa beban
yang berat. Sedangkan yang berkaitan dengan sumber masalah
psikis yang dialami pekerja wanita dalam kondisi hamil adalah
tuntutan pekerjaan, pengawasan pekerjaan, pengerahan tenaga fisik.
36
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yuliva, dkk (2009)
menunjukan bahwa rata-rata berat lahir bayi berdasarkan jenis
pekerjaan dengan aktivitas fisik berat pada kelompok ibu bekerja
lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata berat lahir bayi ibu
tidak bekerja dengan aktivitas berat. Seorang wanita yang bekerja
apabila mengalami stres terutama pada saat hamil secara tidak
langsung akan mempengaruhi perilaku wanita tersebut terhadap
kehamilannya,
misalnya
dalam
melakukan
perawatan
kehamilannya.Wanita hamil yang berada dalam keadaan stres akan
mempengaruhi perilakunya dalam hal pemenuhan intake nutrisi
untuk diri dan janin yang dikandungnya. Nafsu makan yang kurang
menyebabkan intake nutrisi juga berkurang, sehingga terjadi
gangguan pada sirkulasi darah dari ibu ke janin melalui plasenta.
Hal ini akan dapat mempengaruhi berat lahir bayi yang akan
dilahirkan.
Pekerjaan terkait pada status sosial ekonomi dan aktifitas
fisik ibu hamil. Dengan keterbatasan status sosial ekonomi akan
berpengaruh terhadap keterbatasan dalam mendapatkan pelayanan
antenatal yang adekuat, pemenuhan gizi, sementara itu ibu hamil
yang bekerja cenderung cepat lelah sebab aktifitas fisiknya
meningkat karena memiliki pekerjaan/kegiatan diluar rumah
(Depkes RI, 2003).
37
Menurut penelitian Alisyahbana (1990) dalam Surtiati
(2003), menyatakan bahwa ibu yang bekerja memiliki risiko
melahirkan BBLR sebesar 1,58 kali bila dibandingkan dengan ibu
yang tidak bekerja. Hal ini disebabkan karena pekerjaan fisik ibu
juga berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi. Pada ibu yang
berasal dari strata sosial ekonomi rendah banyak terlibat dengan
pekerjaan fisik yang lebih berat.
Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Trihardiani
(2011)
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil ibu (11,2%) yang
bekerja. Masyarakat cenderung memiliki persepsi bahwa suami
merupakan tulang punggung keluarga yang berkewajiban mencari
nafkah dengan bekerja diluar rumah. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa status pekerjaan tidak memiliki hubungan
terhadap berat badan lahir. Hal ini dapat terjadi karena sebagian
besar (88,8%) subyek tidak bekerja, dan juga ada kemungkinan
dikarenakan sebagian besar ibu yang bekerja memiliki pekerjaan
yang tidak membahayakan kesehatan janin, selain itu ibu yang
bekerja mempunyai pendidikan tinggi sehingga mereka dapat
mengurangi faktor risiko dari pekerjaan mereka dengan melakukan
pencegahan secara dini.
f. Pendidikan Rendah
Tingkat pendidikan ibu mengambarkan pengetahuan kesehatan.
Seseorang
yang
memiliki
pendidikan
tinggi
mempunyai
38
kemungkinan pengetahuan tentang kesehatan juga tinggi, karena
makin mudah memperoleh informasi yang didapatkan tentang
kesehatan lebih banyak dibandingkan dengan yang berpendidikan
rendah.
Sebaliknya
pendidikan
yang
kurang
menghambat
perkembangan seseorang terhadap nilai nilai yang baru di kenal
(Notoadmojo,2007).
Tingkat
pendidikan
merupakan
faktor
yang
mendasari
pengambilan keputusan. Pendidikan menentukan kemampuan
menerima dan mengembangkan pengetahuan dan teknologi.
Semakin tinggi pendidikan ibu akan semakin mampu mengambil
keputusan bahwa pelayanan kesehatan selama hamil dapat
mencegah gangguan sedini mungkin bagi ibu dan janinnya.
Pendidikan juga sangat erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan
ibu tentang perawatan kehamilan dan gizi selama masa kehamilan
(Simarmata,2010).
Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, semakin tinggi pula
pengetahuan kesehatan. Pendidikan yang tinggi memudahkan
seseorang menerima informasi lebih banyak dibandingkan dengan
pendidikan rendah. Pengetahuan kesehatan yang tinggi menunjang
perilaku hidup sehat dalam pemenuhan gizi ibu selama kehamilan.
(Festy, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Yuliva, dkk (2009) menunjukaan
bahwa ibu yang berpendidikan rendah memiliki rata-rata berat lahir
39
bayi lebih rendah dari pada ibu yang berpendidikan tinggi, dalam
hal ini pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap pengetahuan
ibu yang berkaitan dengan perawatan selama hamil, melahirkan dan
perawatan setelah melahirkan. Tinggi-rendahnya taraf pendidikan
seseorang akan mendukung dan memberi peluang terhadap daya
serap ilmu pengetahuan dan keinginan serta kemauan untuk
mengetahui setiap hal yang berkaitan dengan kehamilan.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Atriyanto (2006),
menunjukan bahwa ibu hamil yang memiliki pendidikan rendah
(tidak tamat SLTA kebawah) memiliki risiko melahirkan BBLR
sebesar 1,84 kali lebih besar dibandngkan dengan ibu hamil yang
berpendidikan tinggi (tamat SLTA keatas).
g. Merokok
Perilaku merokok berhubungan dengan berkurangnya berat
badan bayi yang dilahirkan dan dengan insiden perasalinan preterm.
(Ladewig, et all, 2005). Selain berisikomengalami penyakit
kardiovaskuler, penyakit paru obstruktif dan kanker paru, wanita
yang merokok selama kehamilan juga merisikokan janinya
mengalami penurunan perfusi uteroplasenta
dan penurunan
oksigenasi. Bayi yang lahir dari wanita yang merokok lebih dari ½
pak perhari cenderung lebih kurus dari pada bayi yang lahir dari
wanita bukan perokok. Pada beberapa kasus efek merokok pada
40
bayi secara signifikan mempengaruhi berat lahir dan mengancam
kesehatan janin (Wheeler. 2004).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rasyid, dkk,
(2012) menunjukkan bahwa keterpaparan asap rokok selama hamil
memberi pengaruh terhadap kejadian BBLR dengan besar risiko 4,2
kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak terpapar.
Nikotin pada rokok menimbulkan kontriksi pembuluh darah,
akibatnya aliran darah ke janin melalui tali pusat janin akan
berkurang sehingga mengurangi kemampuan distribusi zat makanan
yang diperlukan oleh janin. Sedangkan karbon monooksida akan
mengikat hemoglobin dalam darah, akibatnya akan mengurangi
kerja hemoglobin yang mestinya mengikat oksigen untuk disalurkan
ke seluruh tubuh sehingga akan mengganggu distribusi zat makanan
serta oksigen ke janin.
h. Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol telah dihubungkan dengan deficit neurologist
pada bayi baru lahir dan dengan berat bayi lahir rendah. Peminum
berat bisa mengakibatkan terjadinya sindrom janin alkohol.
(Ladewig, et all, 2005).
Sindrom alkohol janin (Fetal Alcoholic Syndrome [FAS])
merupakan suatu sindrom mengenai gambaran wajah yang
abnormal, pertumbuhan kerdil, masalah perilaku dan kecacatan
intelektual dengan berbagai tingkat keparahan merupakan akibat
41
dari konsumsi alkohol berlebihan selama masa hamil dan
merupakan penyebab retardasi mental kongenital. Ketika anak FAS
beranjak dewasa biasanya mereka memiliki masalah dengan daya
ingat, pemikiran dan penilaian yang abstrak, serta kontrol impuls.
Jumlah minuman yang dikonsumsi selama periode organogenesis
dan sensitivitas genetik juga dapat berperan. Wanita hamil yang
mengkonsumsi alkohol satu gelas atau lebih perhari berisiko
mengalami aborsi spontan sampai dua kali lipat dan setiap dua gelas
alkohol yang dikonsumsi di kehamilan tahap lanjut akan membuat
berat lahir berkurang sebesar 160gr (Wheeler, 2004).
i. Konsumsi Obat-obatan Terlarang
Ibu hamil dianjurkan untuk tidak menggunakan obat-obatan
yang tidak diresepkan oleh dokter selama hamil (Maryunani, 2013).
Penggunaan obat-obat sebelum hamil atau selama hamil terutama
golongan obat teratogenik merupakan risiko untuk terjadi gangguan
pertumbuhan janin ataupun kelainan kongenital, dengan demikian
kejadian BBLR lebih besar dari pada ibu hamil yang tidak
mempergunakan obat-obatan (Trihardiani, 2011).
Ibu sebaiknya menghindari penggunaan obat-obatan baik yang
diresepkan dan yang dijula bebas ketika hamil. Jika suatu saat
timbul kebutuhan untuk pengobatan, ibu seharusnya memastikan
pemberi asuhan mengetahui bahwa dirinya sedang hamil. Ibu harus
juga menghindari konsumsi heroin, crack, mariyuana dan obat yang
42
dijual bebas serta obat jalanan selama kehamilan (Ladewig et all,
2005).
j. Status Ekonomi rendah
Keadaan sosial, ekonomi dan demografi merupakan tolak ukur
kualitas rumah tangga. Karena keadaan tersebut erat kaitannya
dengan ketahanan pangan, keadaan gizi, pendidikan dan kesehatan
rumah tangga. Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan tolak
ukur yang sering digunakan dalam berbagai penelitian untuk
menemukan hubungannya dengan banyak masalah kesehatan dan
gizi (Subarkah, 2003).
k. Penambahan berat badan <10kg
Peningkatan berat badan dalam kehamilan terjadi karena adanya
pertumbuhan janin dan perubahan beberapa tempat dari tubuh ibu.
Sebagai respon terhadap pertumbuhan janin dan plasenta yang cepat
serta kebutuhan-kebutuhan yang semakin meningkat, wanita hamil
mengalami perubahan metabolik. Sebagian besar pertambahan berat
badan selama hamil dihubungkan dengan uterus dan isinya,
payudara, berubahnya volume darah serta cairan ekstrasel
ekstravaskuler. Penambahan berat badan yang lebih kecil adalah
akibat perubahan metabolik yang menyebabkan bertambahnya air
dalam sel dan penumpukan lemak dan protein baru. Lemak bawah
kulit pada umumnya tertimbun dibagian perut serta bagian depan
43
dan belakang paha terutama pada trimester pertama dan kedua
(Puspitasari, dkk, 2011).
Pertambahan berat badan ibu merupakan pencerminan dari
status gizi ibu hamil. Bertambahnya berat badan ibu sangat berarti
sekali bagi kesehatan ibu dan janin. Pada ibu yang menderita
kekurangan energi dan protein (status gizi kurang) maka akan
menyebabkan ukuran plasenta lebih kecil dan suplai nutrisi dari ibu
ke janin berkurang, sehingga terjadi reterdasi perkembangan janin
intra utera dan bayi dengan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
(Samsudin dan Arjatmo Tjokronegoro, 1986 dalam Setianingrum,
2005).
Bila berat badan ibu sebelum hamil normal, maka perlu
ditambah minimal 10kg pada masa kehamilanya. Sedangkan bila
berat badan kurang sebelum hamil, perlu ditambah hingga
mendekati 15kg (Maryunani, 2013). Menurut WHO penambahan
berat badan ibu hamil yang normal yaitu ≥10kg sampai dengan
<15kg.
Defisiensi
mikronutrien
selama
kehamilan
serta
penambahan berat badan yang tidak memadai memiliki dampak
terhadap neonatal dan bayi yaitu berupa kelahiran prematur, berat
lahir rendah (BBLR) dan kelahiran cacat (WHO, 2014). Sedangkan
untuk kehamilan kembar penambahan berat badan ibu antara 1823kg selama kehamilanya (Gopar, 2009).
44
Berat badan ibu hamil harus memadai, bertambah sesuai dengan
umur kehamilan. Berat badan rendah sebelum hamil, serta
pertambahan berat badan yang tidak adekuat merupakan penilaian
langsung yang dapat digunakan untuk memperkirakan laju
pertumbuhan janin. Pertambahan berat badan
yang sesuai
menggambarkan terpenuhinya kebutuhan ibu dan janin yang dapat
mendukung pertumbuhan janin dalam rahim. Pertambahan berat
badan ibu yang tidak sesuai akan memungkinkan terjadinya
keguguran, kelahiran prematur, BBLR, dan perdarahan setelah
persalinan. Sebagian besar BBLR terjadi pada ibu yang mengalami
kenaikan berat badan selama hamilnya <10kg (Trihardiani, 2011).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Surtiati (2003), Ibu
yang mengalami penambahan berat badan <10kg memiliki risiko
3,34 kali lebih besar untuk mengalami bayi BBLR dibandingkan
dengan ibu yang mengalami penambahan ≥10kg pada saat
kehamilanya. Hasil penelitian dilakukan oleh Festy (2010) di
Kabupaten Sumenep menyatakan bahwa penambahan berat badan
ibu berisiko 8,264 kali menyebabkan BBLR. Selain itu, penelitian
yang dilakukan oleh Darmayanti (2010) di RSUD Ulin Banjarmasin
juga menyatakan bahwa penambahan berat badan ibu berisiko 7,1
kali menyebabkan BBLR.
45
l. Tinggi badan
Tinggi badan ibu hamil yang berisiko BBLR adalah kurang dari
sama
dengan
145cm.
Hasil
penelitian
Budiman,
(2011),
menunjukkan bahwa makin tinggi badan ibu hamil maka makin
besar juga berat bayi yang dilahirkan. Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Kate dkk dalam Budiman (2011) bahwa
ibu yang memiliki postur pendek memiliki risiko melahirkan bayi
dengan berat lahir lebih rendah karena diperkirakan postur pendek
mencerminkan keadaan status gizi yang kurang baik di masa
lampau.
Sebuah studi dari India melaporkan tingginya insiden bayi
BBLR pada ibu dengan tinggi badan <145cm dari pada ibu dengan
tinggi badan >145cm. Ibu yang memiliki tinggi badan <145cm
berisiko 1,32 kali melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang
memiliki tinggi badan >145cm. Beberapa penelitian lain telah
melaporkan bahwa ibu bertubuh pendek memiliki risiko lebih besar
untuk memperoleh hasil kehamilan yang merugikan. Penelitian ini
memberikan bukti kuat bahwa tinggi ibu memiliki dampak terhadap
ukuran bayi baru lahir (berat lahir dan panjang lahir). Pengerdilan
(stunting) merupakan konsekuensi dari asupan nutrisi jangka
panjang yang buruk dan merupakan indikator utama dalam
menurunkan pertumbuhan pada anak-anak. Pengerdilan juga telah
dikaitkan dengan kelangsungan siklus gizi dengan menyebabkan
46
berat badan lahir rendah di antara keturunan dari ibu yang terhambat
(Bisai, 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Festy (2009) menyatakan bahwa
tidak adanya hubungan antara tinggi badan ibu dengan kejadian
BBLR. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Trihardiani (2011)
juga menyebutkan bahwa tidak adanya hubungan antara tinggi
badan dengan kejadian BBLR. Hal ini dikarenakan sebagian besar
subyek (98,2%) memiliki tinggi badan lebih dari 145cm.
Proverawati (2009) dalam Simbolon & Aini (2013) menjelaskan
bahwa tinggi badan ibu hamil terlalu pendek dan kurang dari 145cm
merupakan salah satu golongan risiko tinggi. Perbaikan tinggi badan
perempuan berupa intervensi gizi dan kesehatan perempuan di
negara-negara maju terbukti memberi pengaruh yang signifikan
pada penurunan angka kejadian BBLR. Tingginya risiko ibu pendek
melahirkan bayi BBLR, menunjukkan perlunya intervensi gizi dan
kesehatan yang segera dilakukan bagi para perempuan Indonesia
yang dimulai dari perbaikan status gizi sejak dini sebagai upaya
penurunan angka kejadian BBLR.
m. Riwayat Kelahiran Prematur dan BBLR
Penyebab kelahiran prematur dan BBLR yang telah diketahui
dapat diperbaiki dengan perawatan pralahir yang sempurna,
pengurangan faktor risiko lainya serta pembatasan kegiatan dapat
membantu mencegah hal tersebut terulang kembali. Bila penyebab
47
kelahiran prematur dan BBLR tidak dapat dicegah atau diperbaiki
maka kelaahiran prematur dan BBLR dapat ditunda. Pengunduran
waktu sejenak dapat bermanfaat, dimana setiap hari tambahan
nutrisi bayi yang berada dalam uterus akan meningkatkan
kesempatan untuk selamat (Maryunani, 2013).
n. Anemia Kehamilan
Sebagian besar penyebab anemia pada ibu hamil adalah
kekurangan
zat
besi
yang
diperlukan
untuk
pembentukan
hemoglobin. Anemia gizi besi terjadi karena tidak cukupnya zat gizi
besi yang diserap dari makanan sehari-hari guna pembentukan sel
darah merah sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara
pemasukan dan pengeluaran zat besi dalam tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan distribusi oksigen ke jaringan akan berkurang yang
akan menurunkan metabolisme jaringan sehingga pertumbuhan
janin akan terhambat, dan berakibat berat badan lahir bayi rendah
(Trihardiani, 2011).
Bondevik (2001) dalam Simbolon dan Aini (2013) menjelaskan
bahwa anemia pada ibu hamil dapat menganggu pertumbuhan janin
dalam kandungan, sehingga ibu hamil dengan anemia bisa
melahirkan bayi prematur dan BBLR. Kekurangan zat besi dapat
menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin
baik sel tubuh maupun otak. Secara fisiologis, penurunan kadar
hemoglobin selama kehamilan terjadi karena ketidakseimbangan
48
jumlah sel darah merah dan plasma darah. Ketidakseimbangan ini
akan terlihat
dalam
bentuk penurunan
kadar
hemoglobin.
Peningkatan jumlah eritrosit juga menyebabkan peningkatan
kebutuhan zat besi selama kehamilan sekaligus untuk pertumbuhan
janin. Anemia pada ibu hamil mengakibatkan gangguan nutrisi dan
oksigenasi utero plasenta, sehingga ibu hamil yang mengalami
anemia akan berdampak pada gangguan pertumbuhan hasil
konsepsi, sering terjadi immaturitas, prematuritas, cacat bawaan,
atau janin lahir dengan BBLR.
Kadar Hb ibu hamil normal adalah 11gr/dl , kadar Hb ini
tergantung pada asupan nutrisi ibu selama hamil. Hb <11gr/dl
berisiko menderita anemia zat besi yang dapat berakibat pada
terjadinya kelahiran dengan berat badan lahir rendah. Anemia pada
ibu hamil dapat mengakibatkan kekurangan suplai oksigen ke
jaringan sehingga mengganggu pertumbuhan janin. Untuk itu ibu
hamil yang menderita anemia perlu mendapatkan perhatian yang
lebih serius. Petugas kesehatan hendaknya memeriksa Hb sedini
mungkin (Festy, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Aristyawati (2011) menyatakan
bahwa kejadian BBLR 3,57 kali lebih besar pada ibu hamil yang
menderita anemia dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak
menderita anemia. Selain itu, penelitian lainya dilakukan oleh
Trihardiani (2011), menyatakan bahwa faktor penyebab anemia
49
pada ibu hamil diantaranya kurang gizi, penyakit kronis (infeksi dan
non infeksi), kemiskinan, keterbelakangan, dan tingkat pendidikan
dan pengetahuan yang rendah. Selain itu faktor ketidaktahuan ibu
terhadap kebiasaan konsumsi bahan makanan/minuman tertentu
yang dapat menghambat penyerapan zat besi oleh tubuh, yaitu
antara lain ibu tidak mengetahui bahwa tablet besi tidak boleh
dikonsumsi
dengan
teh
(karena
mengandung
fitat)
dapat
menghambat penyerapan zat besi oleh tubuh.
Anemia terjadi apabila kadar hemoglobin dalam darah lebih
rendah dari pada nilai normal. Kadar hemoglobin dapat dijadikan
sebagai indikator tentang keadaan gizi pada umumnya. Batas Hb
normal untuk wanita hamil adalah 11gr% atau lebih. Penelitian yang
dilakukan oleh Puji (2007) menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara kadar Hb ibu dengan kejadian BBLR. Hal ini disebabkan
karena apabila ibu hamil mengalami anemia maka pasokan O2
untuk jaringan menurun dan pengangkutan CO2 dari jaringan
menjadi terhambat sehingga dapat menghambat pertumbuhan
jaringan baik pada janin maupun pada plasenta sehingga dapat
mengakibatkan kematian janin dalam kandungan, abortus, cacat
bawaan, partus premature, partus lama dan lain-lain.
50
2. Faktor kehamilan
a. Komplikasi kehamilan
Kehamilan ganda yaitu kehamilan dimana jumlah janin yang
dikandung lebih dari satu (Maryunani, 2013). Laju morbiditas dan
mortalitas meningkat secara signifikan pada kehamilan dengan janin
ganda. Laju
mortalitas perinatal lebih tinggi dan adanya
peningkatan risiko persalinan preterm dengan masalah yang
berhubungan dengan prematuritas. Kehamilan ganda meningkatkan
insidensi IUGR, kelainan kongenital dan presentasi abnormal. Bagi
ibu kehamilan ganda dapat menyebabkan peningkatan rasa
ketidaknyamanan fisik selama kehamilan, seperti pernapasan
pendek, sakit punggung, edema kaki juga terjadi peningkatan
insidensi PIH (Pregnancy Induced Hypertension), anemia serta
plasenta previa (Ladewig et all, 2013).
Kehamilan ganda adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih.
Kehamilan ganda dapat memberikan risiko yang lebih tinggi
terhadap bayi dan ibu. Oleh karena itu, dalam menghadapi
kehamilan ganda harus dilakukan pengawasan hamil yang lebih
intensif. Kebutuhan untuk pertumbuhan hamil ganda lebih besar
sehingga apabila terjadi difisiensi nutrisi seperti anemia hamil dapat
mengganggu pertumbuhan janin dalam rahim (Lubis, 2011).
Kehamilan ganda (multifetus) adalah kehamilan yang terdiri
dari dua janin atau lebih. Kehamilan ganda dapat menghasilkan
51
anak ganda dua, ganda tiga (triplet) ganda empat (quadruplet),
ganda lima (quintriplet), dan ganda enam (sextuplet). Pertumbuhan
janin ganda dan tunggal menunjukkan perbedaan yang cukup
berarti. Berat badan satu janin ganda rata-rata lebih ringan 1000gr
dari janin tunggal. Berat badan bayi ganda dua dan tiga yang baru
lahir kurang dari 2500gr dan ganda lima kurang dari 1000gr. Berat
badan janin dari kehamilan ganda tidak sama. Umumnya, terjadi
perbedaan antara 50-1000gr. Selain itu, terjadi pembagian sirkulasi
darah yang tidak sama. Akibatnya. pertumbuhan kedua janinnya
pun berbeda (Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UI RSCM,
2014 ).
Berat badan janin pada kehamilan kembar lebih ringan dari pada
janin pada kehamilan tunggal pada umur kehamilan yang sama.
Sampai kehamilan 30 minggu kenaikan berat badan janin kembar
sama dengan janin kehamilan tunggal. Setelah itu, kenaikan berat
badan lebih kecil, karena regangan yang berlebihan menyebabkan
peredaran darah plasenta mengurang. Berat badan satu janin pada
kehamilan kembar rata-rata 1000gr lebih ringan dari pada janin
kehamilan tunggal. Berat badan bayi yang baru lahir umumnya pada
kehamilan kembar <2500gr (Wulandari, 2011).
Pengaruh kehamilan ganda pada janin yaitu mortalitas janin naik
sampai empat kali dibandingkan dengan kehamilan tunggal.
Mortalitas
keseluruhan
bervariasi
antara
9-14%.
Meskipun
52
malpresentasi dan anomaly kongenital mempunyai peranan, sebab
kematian terbesar adalah prematuritas. Berat lahir merupakan faktor
penting, agaknya 2000gr merupakan titik kritis. Sementara berat
masing-masing anak lebih kecil dari rata-rata, berat totalnya lebih
besar dari bayi tunggal. Salah satu anak dapat lebih berat 50-1000gr
dari lainya. Separoh kasus anaknya mempunyai berat badan cukup
bulan. Seperdelapan kehamilan kedua bayinya dibawah 1500gr.
Tiga perdelapan sisanya antara 1500-2500gr (Oxorn & Forte, 2010).
b. Komplikasi Kehamilan
Komplikasi
kehamilan
seperti
pendarahan,
pre
eklampsia/eklampsia, ketuban pecah dini. Perdarahan dibedakan
dalam dua kelompok utama yaitu perdarahan antepartum dan
perdarahan postpartum. Perdarahan antepartum adalah perdarahan
pervaginam yang terjadi sebelum bayi lahir. Perdarahan yang terjadi
sebelum kehamilan 28 minggu seringkali berhubungan dengan
aborsi atau kelainan. Perdarahan kehamilan setelah 28 minggu dapat
disebabkan karena terlepasnya plasenta secara prematur, trauma,
atau penyakit saluran kelamin bagian bawah (Depkes RI, 2000
dalam Parhusip, 2010).
Pre-eklampsia/eklampsia yaitu kondisi ibu hamil dengan
tekanan darah meningkat keadaan ini sangat mengancam jiwa ibu
dan bayi yang dikandung (Maryunani, 2013). Per-eklamsi adalah
penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria
53
yang timbul karena kehamilan yang dapat menyebabkan kematian
pada ibu dan janinnya. Penyakit ini pada umumnya terjadi dalam
triwulan ke-3 kehamilan dan dapat terjadi pada waktu antepartum,
intrapartum, dan pasca persalinan (Prawirohardjo, 1999 dalam
Parhusip, 2010).
Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda
yang lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-eklamsi, kenaikan
tekanan sistolik harus 30mmHg atau lebih di atas tekanan yang
biasanya ditemukan, atau mencapai 140mmHg atau lebih dan
tekanan diastolik naik dengan 15mmHg atau lebih atau menjadi
90mmHg maka diagnosis hipertensi dapat ditegakkan (Manuaba,
2008).
Hipertensi bisa didapati sebelum kehamilan (1-5%) dan menetap
semasa kehamilan atau dapat terjadi pada saat kehamilan. Karena
sistemik vascular resisted yang menurun pada awal kehamilan,
maka hipertensi ini sering tidak didapati hingga pertengahan kedua
kehamilan. Keadaan ini disebut dengan pregnancy-induced atau
gestational hypertension atau toxemia. Bila disertai dengan
proteinuria, edema kaki, iritabilitas SSP, peningkatan enzim hati,
gangguan koagulasi, maka sindroma hipertensi ini disebut
preeklamsi. Jika disertai konvulsi maka disebut eklamsi. Preeklamsi
meningkatkan
resiko
pada
ibu
(kira-kira
1-2% perubahan
54
perdarahan SSP, konvulsi atau penyakit sistemik berat lainnya) dan
retardasi perkembangan janin (10-15%) (Bahri, 2004).
Hipertensi dalam kehamilan adalah komplikasi serius pada
trimester kedua-ketiga dengan gejala klinis seperti edema,
hipertensi, proteinuria, kejang sampai koma. Dengan terjadinya
hipertensi, maka terjadi spasme pembuluh darah, sehingga terjadi
gangguan fungsi plasenta, maka sirkulasi uteroplasenter akan
terganggu, pasokan nutrisi dan O2 akan tergangu sehingga janin
akan mengalami pertumbuhan janin yang terganggu dan bayi akan
lahir dengan berat bayi lahir rendah (Wijayarini, 2002 dalam
Kurniawati, 2010).
Terapi non farmakologi bisa dilakukan untuk menangani
hipertensi, walaupun tidak memberikan dampak yang berarti.
Meskipun bed rest yang ketat dapat menurunkan tekanan darah,
tetapi umumnya keadaan ini tidak direkomendasikan. Membatasi
aktifitas fisik dan mengurangi stress selalu dianjurkan. Membatasi
masukan garam tidak dianjurkan, kecuali pada penderita yang jelas
diketahui sebelumnya mempunyai hipertensi sensitive terhadap
garam (salt-sensitive hypertension), karena wanita hamil dengan
hipertensi mempunyai volume plasma yang lebih rendah dibanding
wanita
dengan
normotensi.
Jika
diperlukan
pengobatan
farmakologik, methyldopa dapat menjadi pilihan. Sebaliknya
penggunaan antihipertensi tidak selalu menunjukkan peningkatan
55
survival pada janin dan menghasilkan anak dengan mental dan
perkembangan fisik yang normal. Penggunaan obat-obat anti
hipertensi lain akan mempunyai hasil yang sama, tetapi belum
diteliti dengan sempurna. Termasuk terapi awal dengan beta bloker
β1 selektif atau diuretic. Calcium channel blocker terbukti telah
efektif dan penggunaan ACE inhibitor tidak boleh digunakan dan
keamanan penggunaan angiotensin II blocking agent belum
diketahui (Anwar, 2004).
Edema ialah penimbunan cairan secara umum yang berlebihan
dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan
berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka.
Kenaikan berat badan ½kg setiap minggu dalam kehamilan masih
dapat dianggap normal tetapi bila kenaikan 1kg seminggu beberapa
kali, hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan (Manuaba, 2008).
Proteinuria merupakan komplikasi lanjutan dari hipertensi
dalam kehamilan, dengan kerusakan ginjal sehingga beberapa
bentuk protein lolos dalam urine. Normal terdapat sejumlah protein
dalam urine, tetapi tidak melebihi 0,3gr dalam 24 jam. Proteinuria
menunjukkan komplikasi hipertensi dalam kehamilan lanjut
sehingga memerlukan perhatian dan penanganan segera (Manuaba,
2008).
56
Ketuban pecah dini adalah kondisi dimana air ketuban keluar
sebelum waktunya dan biasanya faktor penyebab paling sering
adalah terjadinya benturan pada kandungan (Maryunani, 2013).
c. Umur kehamilan
Umur kehamilan ibu umumnya berlangsung 40 minggu atau 280
hari. Umur kehamilan ibu adalah batas waktu ibu mengandung,
yang dihitung mulai dari hari pertama haid terakhir (HPHT). Umur
kehamilan normal adalah 40 minggu atau 280 hari seperti kebiasaan
orang awam 9 bulan 10 hari. Disebut matur atau cukup bulan adalah
rentang 37-42 minggu, bila <37 minggu disebut prematur atau
kurang bulan, bila >42 minggu disebut post-matur atau serotinus.
Hubungan antara umur kehamilan dengan berat bayi lahir
mencerminkan kecukupan pertumbuhan intrauterine. Menurut
hubungan berat lahir/umur kehamilan maka berat bayi lahir
dikelompokkan menjadi Sesuai Masa Kehamilan (SMK), Kecil
Masa Kehamilan (KMK) dan Besar Masa Kehamilan (BMK)
(Ahmad, 2012).
Pada setiap tahap kehamilan, seorang ibu hamil membutuhkan
makanan dengan kandungan zat-zat gizi yang berbeda dan
disesuaikan dengan kondisi tubuh dan perkembangan janin. Masa
kehamilan ibu dibagi dalam tiga tahapan atau trismester. Trismester
pertama, saat kehamilan mencapai umur 1-3 bulan, adalah masa
penyesuaian tubuh ibu terhadap awal kehamilanya. Karena pada
57
tiga bulan pertama ini pertumbuhan janin masih lambat,
penambahan kebutuhan zat-zat gizinyapun masih relative kecil.
Pada tahap ini ibu hamil memasuki masa untuk menyimpan zat gizi
sebanyak-banyaknya dari makanan yang disantap setiap hari untuk
cadangan persediaan pada trismester berikutnya (Albugis, 2008).
Memasuki trismester kedua, saat kehamilan berumur 4-6 bulan,
janin mulai tumbuh pesat dibandingkan dengan sebelumnya.
Kecepatan pertumbuhan itu mencapai 10gr per hari. Tubuh ibu juga
mengalami perubahan dan adaptasi, misalnya pembesaran payudara
dan mulai berfungsinya rahim serta plasenta. Untuk itu, peningkatan
kualitas gizi sangat penting karena pada tahap ini ibu mulai
menyimpan lemak dan zat gizi lainya untuk cadangan sebagai bahan
pembentuk ASI saat menyusui nanti (Albugis, 2008).
Sedangkan pada tahap terakhir atau trismester ketiga, ketika
umur kehamilan mencapai 7-9 bulan, dibutuhkan vitamin dan
mineral untuk mendukung pesatnya pertumbuhan janin dan
pembentukan otak. Kebutuhan energi janin didapat dari cadangan
energi yang disimpan ibu selama tahap sebelumnya (Albugis, 2008).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Surtiati (2003), ibu
yang melahirkan pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu
memiliki risiko 10 kali lebih besar untuk mengalami BBLR
dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pada umur kehamilan
≥37 minggu.
58
3. Faktor janin
a. Cacat bawaan
Cacat bawaan yaitu keadaan janin yang cacat sebagai akibat
pertumbuhan janin didalam kandungan tidak sempurna (Depkes,
2009).
2.7
Kerangka Teori
Terdapat sejumlah faktor risiko terhadap kejadian BBLR. Namun
demikian, beberapa faktor risiko tersebut dapat dikendalikan sebagian
maupun sepenuhnya serta meningkatkan kesempatan bagi ibu untuk
melahirkan bayi dengan berat lahir normal. Menurut Depkes RI (2009),
faktor risiko kejadian BBLR diantaranya ibu hamil yang berumur <20 dan
>35 tahun, jarak kehamilan terlalu pendek, ibu mempunyai riwayat BBLR
sebelumnya, mengerjakan pekerjaan fisik, mengerjakan pekerjaan fisik
beberapa jam tanpa istirahat, sangat miskin, beratnya kurang dan kurang
gizi, perokok, pengguna obat terlarang, alkohol, anemia, pre-eklampsi atau
hipertensi, infeksi selama kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan cacat
bawaan dan infeksi selama dalam kandungan.
Menurut WHO (2004), faktor risiko kejadian BBLR yaitu status
gizi, status ekonomi, pendidikan, komplikasi kehamilan, pekerjaan berat,
umur kehamilan, umur ibu, riwayat BBLR sebelumnya, alkohol, merokok,
obat-obatan terlarang, riwayat penyakit, kehamilan ganda, tinggi badan
dan tinggal di daerah ketinggian. Sedangkan menurut Manuaba (2010),
faktor risiko kejadian BBLR yaitu terdiri dari faktor ibu berupa KEK
59
(Kekurangan Energi Kronik), usia ibu <20 dan >35 tahun, jarak hamil dan
bersalin terlalu dekat, penyakit menahun seperti hipertensi, jantung,
gangguan pembuluh darah dan pekerjaan yang terlalu berat. Kemudian
faktor kehamilan berupa hamil dengan hidramnion, hamil ganda,
pendarahan antepartum, komplikasi kehamilan: preeklamsi/eklamsi dan
KPD (Ketuban Pecah Dini) dan faktor janin yang terdiri dari cacat bawaan
dan infeksi dalam rahim. Berdasarkan uraian diatas, maka disusun
kerangka teori sebagai berikut:
Faktor Kehamilan
- Umur kehamilan
- Komplikasi kehamilan
- Kehamilan ganda
Faktor Ibu
-
Umur ibu
Jarak Kehamilan
KEK (Kekurangan Energi Kronik)
Penambahan Berat Badan
Anemia
Merokok
Konsumsi Alkohol
Konsumsi Obat-Obatan terlarang
Tinggi Badan
Status bekerja
Pendidikan
Status ekonomi
Riwayat Kelahiran BBLR
Penyakit Ibu
BBLR
Faktor Janin
- Cacat bawaan
Gambar 1
Kerangka Teori Penelitian
60
BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, HIPOTESIS
3.1
Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian dirumuskan berdasarkan kerangka
teori yang bertujuan untuk memperoleh gambaran secara jelas mengenai
jalannya penelitian dan untuk mengarahkan peneliti dalam mencari data
yang dibutuhkan. Menurut Notoatmodjo (2010) kerangka konsep
penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi konsep-konsep serta
variabel-variabel yang diukur/diteliti.
Tidak semua faktor risiko yang terdapat dalam kerangka teori
dijadikan sebagai variabel penelitian karena bergantung pada ketersediaan
variabel yang ada dalam sumber data sekunder sehingga variabel
dependen yang bisa diteliti adalah kejadian Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR) dan Bayi Berat Lahir Normal (BBLN) dan variabel independen
adalah status bekerja ibu, umur ibu, KEK, pendidikan, penyakit ibu,
anemia, kehamilan ganda, umur kehamilan, tinggi badan, penambahan
berat badan dan komplikasi kehamilan.
Variabel seperti konsumsi obat-obatan terlarang, merokok,
konsumsi alkohol dan status ekonomi tidak diteliti oleh peneliti karena
variabel tersebut tidak tersedia dalam data sekunder. Sedangkan cacat
bawaaan juga tidak diteliti dikarenakan cacat bawaan (kelainan
kongenital) merupakan salah satu kriterian eksklusi baik pada kelompok
61
kasus maupun pada kelompok kontrol. Hal ini disebabkan karena cacat
bawaan dimungkinkan dapat
menjadi faktor
perancu
penelitian.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka disusun kerangka konsep penelitian
sebagai berikut:
Faktor Ibu
-
Umur ibu
KEK (Kekurangan Energi Kronik)
Penambahan Berat Badan
Anemia
Tinggi Badan
Status bekerja
Pendidikan
Penyakit Ibu
BBLR
Faktor Kehamilan
- Umur kehamilan
- Komplikasi kehamilan
- Kehamilan ganda
Gambar 2
Kerangka Konsep Penelitian
62
3.2
Definisi Operasional
Definisi operasional pada penelitian ini akan dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 1
Definisi Operasional Penelitian
No
Variabel
Defenisi
Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Skala
1
BBLR
Berat badan bayi
saat dilahirkan <
2500gr
Timbangan bayi
(hasil data diperoleh
dari kartu ibu)
Penimbangan
berat badan bayi
oleh petugas
puskesmas
0. Kasus : <2500gr
1. Kontrol : ≥2500gr
(Depkes RI, 2003 dan
WHO, 2004)
Ordinal
2
Umur Ibu
Umur pada saat
melahirkan yang
tercantum dalam
rekam medis
puskesmas
Kartu ibu
Wawancara
oleh petugas
kesehatan
0. Berisiko (<20 dan >35
tahun)
1. Tidak berisiko (20-35 tahun)
(Depkes RI, 2003)
Ordinal
63
3
4
5
Status Bekerja Ibu
KEK
Komplikasi
Kehamilan
0.Berisiko (bekerja)
Bekerja merupakan Kartu ibu
suatu tugas atau
kerja yang
menghasilkan uang
bagi seseorang.
Wawancara
oleh petugas
kesehatan
KEK pada ibu
hamil yang dilihat
melalui
pengukuran
Lingkar Lengan
Atas (LILA)
<23,5cm, diukur
oleh tenaga
kesehatan dan
tercantum dalam
rekam medis
puskesmas.
Pengukuran
LILA oleh
petugas
puskesmas
0. Ya (KEK)
1. Tidak (tidak KEK)
Pengukuran
tekanan darah
oleh petugas
puskesmas
0.Ya (mengalami Komplikasi
kehamilan )
Pita LILA ( hasil
data diperoleh dari
kartu ibu)
Adalah komplikasi Tensimeter (hasil
yang terjadi selama data diperoleh dari
kehamilan berupa
kartu ibu)
hipertensi dalam
kehamilan (HDK).
Ordinal
1.Tidak berisiko (tidak
bekerja)
(Surtiati, 2003)
Ordinal
(Festy, 2009)
Ordinal
1.Tidak (tidak mengalami
komplikasi kehamilan )
(Depkes RI, 2000)
6
Anemia
Kadar Hb ibu
hamil yang kurang
Alat pengukur Hb
dengan metode
Pengukuran
kadar Hb oleh
0. Ya (anemia)
1. Tidak (tidak anemia)
Ordinal
64
dari 11gr
8
9
10
Penyakit Ibu
Pendidikan Ibu
Umur Kehamilan
Penyakit yang
diderita ibu hamil
yang bersifat
kronis seperti
asma, magh dan
batu ginjal.
cyanmethemoglobin
yakni,pipet Hb,
jarum, tabung
reaksi, larutan
drabskin,
spektrofotometer
(hasil data diperoleh
dari kartu ibu)
Tes laboratorium
(hasil data diperoleh
dari kartu ibu)
Pendidikan formal
terakhir yang
pernah dijalani ibu
sampai saat
persalinan terakhir.
Kartu ibu
Penentuan umur
kehamilan yang
ditentukan
berdasarkan hari
pertama mens
terakhir (HPMT)
Kalkulator
kehamilan (hasil
data diperoleh dari
kartu ibu)
petugas
puskesmas
(Festy, 2009)
Melihat hasil tes
laboratorium
kemudian
memindahkanya
ke kartu ibu
yang dilakukan
oleh petugas
puskesmas
0. Ya (Memiliki penyakit)
1.Tidak (tidak memiliki
penyakit)
Wawancara
oleh petugas
puskesmas
0. Berisiko( rendah)
1. Tidak berisiko (tinggi)
Ordinal
(Maryunani, 2013)
Ordinal
(Simarmata,2010)
Menggunakan
metode neagele
yang dilakukan
oleh petugas
puskesmas
0. Berisiko (partus prematurus
yaitu 28-37 minggu)
1. Tidak berisiko (partus
matures yaitu >37 minggu)
(Ahmad, 2012)
Ordinal
65
hingga waktu
partus yang
dinyatakan dalam
minggu.
11
Tinggi Badan Ibu
Tinggi badan ibu
pada saat
kehamilan
Microtoise yang
(hasil data diperoleh
dari kartu ibu)
Pengukuran
tinggi badan
oleh petugas
kesehatan
0. Berisiko (<145cm)
1. Tidak berisiko (>145cm)
Ordinal
12
Kehamilan Ganda
Kehamilan dimana
jumlah janin yang
dikandung lebih
dari satu.
Ultrasonografi
(hasil data diperoleh
dari kartu ibu)
Tes USG yang
dilakukan oleh
petugas
puskesmas
0. Ya (kehamilan ganda)
1. Tidak (kehamilan tunggal)
(Departemen Obstetri dan
Ginekologi FK UI RSCM,
2014)
Ordinal
13
Penambahan Berat
Badan Ibu
Penambahan berat
badan ibu pada
akhir kehamilan
dikurang berat
badan ibu sebelum
kehamilan.
Timbangan injak
(hasil diperoleh dari
kartu ibu)
Penimbangan
berat badan ibu
yang dilakuka
oleh petugas
puskesmas
0. Berisiko (<10 kg)
1. Tidak berisiko (≥10kg)
(WHO, 2014)
Ordinal
66
3.3
Hipotesis
1. Umur ibu <20 dan >35 tahun berisiko terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai
dengan 2014
2. Tinggi badan ibu <145cm berisiko terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai
dengan 2014
3. Penambahan berat badan ibu <10kg berisiko terhadap kejadian BBLR
di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012
sampai dengan 2014
4. Umur kehamilan <37 minggu berisiko terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai
dengan 2014?
5. Kekurangan Energi Kronik (KEK) ibu berisiko terhadap kejadian
BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun
2012 sampai dengan 2014?
6. Anemia pada ibu berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014?
7. Kehamilan ganda berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014?
8. Tingkat pendidikan ibu yang rendah berisiko terhadap kejadian BBLR
di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012
sampai dengan 2014?
67
9. Status ibu yang bekerja berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan
2014?
10. Adanya komplikasi kehamilan pada ibu berisiko terhadap kejadian
BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun
2012 sampai dengan 2014?
11. Adanya penyakit pada ibu berisiko terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012 sampai
dengan 2014?
68
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi analitik
dengan rancangan penelitian case control unmatched. Studi kasus kontrol
adalah rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara
paparan (faktor penelitian) dan penyakit, dengan cara membandingkan
kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya
(Murti, 1997). Dalam penelitian ini, dibagi menjadi dua kelompok
meliputi kelompok kasus adalah BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah) dan
kelompok kontrol adalah BBLN (Bayi Berat Lahir Normal). Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui besar risiko dari faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota
Tangerang Selatan tahun 2012 sampai dengan 2014.
Faktor risiko (-)
Retrospektif
Efek (+)/ kasus
Retrospektif
Efek (-)/ kontrol
Faktor risiko (+)
Faktor risiko (-)
Faktor risiko (-)
Gambar 3
Rancangan Penelitian Kasus Kontrol
69
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di seluruh Puskesmas Kota Tangerang Selatan
pada bulan April-Mei tahun 2014.
4.3
Populasi dan Sampel
4.3.1
Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh bayi yang dilahirkan
pada bulan Januari 2012 sampai dengan April 2014 dan
berdomisili di Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten. Sampel
kasus adalah BBLR dan sampel kontrol adalah BBLN.
4.3.2
Sampel Kasus
a. Kriteria Inklusi Kasus
1) Bayi berat lahir rendah yang dilahirkan pada bulan Januari
2012 sampai dengan April 2014
2) Berdomisili di Tangerang Selatan
3) Ibu yang melakukan kunjungan ANC
4) Proses kelahiran ditolong oleh tenaga kesehatan di
puskesmas
b. Kriteria Eksklusi kasus
1) Ibu mengalami abortus
2) Bayi mengalami kematian
70
4.3.3
Sampel kontrol
a. Kriteria inklusi kontrol
1) Bayi berat lahir normal yang dilahirkan pada bulan Januari
2012 sampai dengan April 2014
2) Berdomisili di Tangerang Selatan
3) Ibu yang melakukan kunjungan ANC
4) Proses kelahiran ditolong oleh tenaga kesehatan di
Puskesmas
b. Kriteria eksklusi Kontrol
1) Ibu mengalami abortus
2) Bayi mengalami kematian
4.4
Cara Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu purposive
sampling. Pengambilan sampel secara purposive didasarkan pada suatu
pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri
atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo,
2010).
4.5
Perhitungan Besar Sampel Penelitian
Besar sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan rumus :
Rumus besar sampel
1= 2=
Zα 2PQ + Zβ P1Q1 + P2Q2
²
P1 − P2
71
Keterangan :
Zα
= Deviat baku alpha
Zβ
= Deviat baku beta
Pâ‚‚
= Proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya
Qâ‚‚
= 1- Pâ‚‚
P1
= Proporsi pada kelompok yang lainya (judgement peneliti)
Q1
= 1-P1
P1-P2 = Selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna
P
= Proporsi total
Q
= 1-P
Besar sampel dalam penelitian ini berdasarkan uji hipotesis two
tail, dengan tingkat kemaknaan (Z1-α) 5% dan kekuatan (Z1-β) sebesar
20%, berdasarkan proporsi pemaparan pada kelompok
kontrol dari
penelitian terdahulu sebagai berikut :
Tabel 2
Perhitungan Besar Sampel
No
Variabel
P1
P2
OR
n
Sumber
1
KEK
54,7
13,4
6,307
89,11
Festy (2009)
2
Umur
0,652
0,304
4,28
19,21
Sistriani (2008)
3
Penyakit
0,608
0,347
2,91
44,42
Sistriani (2008)
4
Anemia
51,6
11
3,366
12,32
Festy (2009)
Jumlah sampel yang diambil adalah dari variabel status KEK (Kekuragan
Energi Kronis) yaitu 89,11 sehingga jumlah sampel berjumlah 95 orang.
72
Penelitian ini menggunakan perbandingan kasus dan kontrol 1:2, maka
jumlah sampel secara keseluruhan yaitu 285 sampel.
4.6
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan secara sekunder yaitu diambil dari kartu
ibu dan form pelacakan kasus BBLR yang ada di Puskesmas. Data yang
diperoleh adalah identitas ibu (umur, pendidikan dan pekerjaan) dan
catatan kesehatan ibu hamil (umur kehamilan, status gizi ibu, penambahan
berat badan, riwayat penyakit,, anemia, tinggi badan, kehamilan ganda
dan komplikasi kehamilan).
4.7
Pengolahan Data
Pengolahan data pada penelitian ini meliputi tahapan sebagai berikut :
a. Editing, yaitu mengkaji dan meneliti data yang telah terkumpul.
b. Coding, yaitu memberikan kode pada data untuk memudahkan dalam
memasukkan data ke program komputer.
c. Entry, yaitu memasukkan data dalam program komputer untuk
dilakukan analisis lanjut.
d. Cleaning data, yaitu melihat kembali data yang telah dimasukkan atau
sudah dibersihkan dari kesalahan, baik dalam pengkodean atau pada
entry data.
e. Tabulating, yaitu setelah data tersebut masuk kemudian direkap dan
disusun dalam bentuk tabel agar dapat dibaca dengan mudah.
73
4.8
Analisis Data
a. Analisis Univariat
Analisis Univariat dimaksudkan untuk melihat gambaran
distribusi frekuensi setiap variabel penelitian. Data hasil analisis
univariat disajikan dalam tabel dan grafik.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dimaksudkan untuk menguji hipotesis
penelitian. Untuk melihat besar risiko variabel independen terhadap
kejadian
variabel
dependen,
dilakukan
uji
statistik
dengan
menggunakan uji Odds Rasio (OR). Odds ratio (OR) merupakan
ukuran relatif studi kasus kontrol yang menunjukkan berapa banyak
kemungkinan paparan (odds exposure) antara kelompok kasus (case)
dibandingkan dengan kelompok kontrol (non case). Kriteria odds
ratio, yaitu (Paul, 2012):
1) Nilai OR=1, bukan merupakan faktor risiko terjadinya penyakit.
2) Nilai OR >1, merupakan faktor risiko terjadinya penyakit.
3) Nilai OR <1, merupakan faktor protektif terjadinya penyakit.
Rumus dari Odds Ratio adalah:
=
/
=
/
74
Keterangan:
OR : Odds ratio risiko terhadap kejadian BBLR
/ : Rasio antara banyaknya kasus yang terpapar dan kasus
yang tak terpapar
/
: Rasio antara banyaknya kontrol yang terpapar dan
kontrol yang tak terpapar
Adapun
signifikansi
nilai
OR
dalam
interpretasi
CI
(Confidence Interval) 95% terhadap nilai OR yaitu jika pada CI 95%
rentan nilai lower dan upper limit tidak terdapat nilai
disimpulkan nilai OR bermakna.
1 maka
Sedangkan jika CI 95% dan OR
terdapat nilai 1, maka disimpulkan bahwa nilai OR tidak bermakna
(Susant, 2007).
75
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom yang terbentuk
pada akhir tahun 2008 berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Tahun
2008, tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan di Propinsi Banten
tertanggal 26 November 2008. Pembentukan daerah otonom baru
tersebut, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang,
dilakukan dengan tujuan salah satunya untuk meningkatkan pelayanan
dalam bidang kesehatan.
Kota Tangerang Selatan terletak di bagian timur Provinsi Banten
yaitu pada titik koordinat 106’38 –106’47’ Bujur Timur dan 06’13’30–
06’22’30’ Lintang Selatan dan secara administratif terdiri dari 7
kecamatan, 49 kelurahan dan 5 desa dengan luas wilayah 147,19Km² atau
14.719Ha. Batas wilayah Kota Tangerang Selatan yaitu sebelah utara
berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Tangerang, sebelah
timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Depok, sebelah
selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor & Kota Depok dan sebelah
barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang.
Dinas
Kesehatan
Kota
Tangerang
Selatan memiliki
25
Puskesmas terdiri dari 18 puskesmas perawatan dan 7 puskesmas non
perawatan. 25 puskesmas tersebut yaitu Puskesmas Pamulang, Benda
Baru, Pondok Benda, Serpong 2, Bakti Jaya, Rawa Buntu, Paku Alam,
76
Pondok Kacang Timur, Pondok Pucung, Pondok Ranji, Pondok Betung,
Rengas, Pisangan, Pondok Jagung, Jurang Mangu, Serpong, Situ Gintung,
Kranggan, Setu, Ciputat Timur, Ciputat, Kampung Sawah, Pondok Aren,
Jombang dan Parigi.
Peta wilayah Kota Tangerang Selatan tahun 2013 yaitu sebagai
berikut :
Gambar 4
Wilayah Kota Tangerang Selatan Tahun 2013
Sumber : Profil Kota Tangsel dan Letak Puskesmas Tahun 2011
77
Kecamatan dengan wilayah paling besar adalah Pondok Aren
dengan luas 2.988Ha atau 20,30% dari luas keseluruhan Kota
Tangerang Selatan, sedangkan kecamatan dengan luas paling kecil
adalah Setu dengan luas 1.480Ha atau 10,06%.
5.2
Gambaran Berat Badan Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kota
Tangerang Selatan Periode Januari 2012- April 2014
Gambaran berat badan bayi yang diliahirkan di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012 sampai dengan
April 2014 akan dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 3
Distribusi Berat Badan Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang
Selatan pada Bulan Januari 2012- April 2014
Berat Badan Bayi
Jumlah
Persentase (%)
< 1000gr (BBLASR)
2
0,7
1000-1500gr (BBLSR)
2
0,7
1500-2500gr (BBLR)
91
31,92
2500-4000gr (Normal)
188
65,96
>4000gr (Lebih)
2
0,7
Total
285
100
Berdasarkan tabel 3, dapat dilihat bahwa distribusi berat badan bayi
paling banyak pada bayi dengan berat badan normal antara 2500-4000gr
sebesar 65,96% dan kemudian diikuti dengan BBLR dengan berat badan
antara 1500-2500gr sebesar 31,92%.
78
Tabel 4
Distribusi BBLR Berdasarkan Karakteristik Ibu di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012 - April 2014
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Karakteristik Ibu
Umur Ibu
<20 dan >35 tahun
20–35 tahun
Tinggi Badan Ibu
<145cm
≥145cm
Penambahan Berat Badan
<10kg
≥10kg
Usia Kehamilan
<37 minggu
≥37 minggu
KEK
Ya
Tidak
Anemia
Ya
Tidak
Kehamilan Ganda
Ya
Tidak
Pendidikan Ibu
Rendah
Tinggi
Status Ibu Bekerja
Karyawan
Guru
Wiraswasta
IRT
Komplikasi Kehamilan
Hipertensi
Tidak Hipertensi
Penyakit Ibu
Batu Ginjal
Asma
Magh
Tidak
BBLR
n
%
8
87
8.4
91,6
6
89
6,3
93,7
38
57
40
60
41
54
43,2
56,8
18
77
18,9
81,1
31
64
32,6
67,4
17
78
17,9
82,1
38
57
40
60
3
1
2
89
18,8
33,3
22,2
34,6
12
83
12,6
87,4
1
4
1
89
1,05
4,2
1,05
93,7
79
Berdasarkan tabel 4 diketahui bahwa distribusi BBLR berdasarkan
karakteristik ibu berupa umur paling banyak adalah antara umur 20-35
tahun (91,6%), berdasarkan tinggi badan paling banyak ibu memiliki
tinggi badan ≥145cm (93,7%), sebagian besar ibu memiliki penambahan
berat badan ≥10kg (60%), paling banyak ibu melahirkan pada usia
kehamilan ≥37 minggu (56,8%), lebih banyak ibu yang tidak mengalami
KEK dibandingkan yang mengalami (81,1%), ibu yang tidak menderita
anemia lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang menderita anemia
(67,4%), banyak ibu yang melahirkan bayi tunggal dibandingkan dengan
bayi kembar (82,1%), sebagian besar ibu memiliki tingkat pendidikan
tinggi (60%), status bekerja ibu paling banyak sebagai ibu rumah tangga
atau tidak bekerja (93,7%), lebih banyak ibu yang tidak mengalami
komplikasi kehamilan dan penyakit pada saat hamil dengan perbandingan
masing-masing 87,4% ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan
dan 93,7% ibu yang tidak menderita penyakit pada saat kehamilanya.
5.3
Analisis Faktor Risiko Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas
Kota Tangerang Selatan Tahun 2012 –2014
Karakteristik ibu dalam penelitian ini yaitu umur, tinggi badan,
penambahan berat badan, anemia, KEK (Kekurangan Energi Kronik),
penyakit, komplikasi kehamilan, umur kehamilan, pendidikan, status
bekerja dan kehamilan ganda yang akan dijelaskan berikut ini:
80
5.3.1
Analisis Risiko Umur Ibu <20 & >35 tahun terhadap Kejadian
BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Tahun 2012 – 2014
Risiko umur ibu <20 & >35 tahun terhadap kejadian BBLR di
Tangerang Selatan tahun 2012-2014 akan dijelaskan sebagai
berikut:
Tabel 5
Risiko Umur Ibu <20 & >35 tahun terhadap Kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Bulan Januari 2012 - April 2014
Umur
Berat Badan Bayi
Total
Berisiko
Kasus
n
%
8
8.4
Kontrol
n
%
8
4,2
Tidak berisiko
87
91,6
182
95,8
269
94,4
Jumlah
95
100
190
100
285
100
n
16
%
5,6
Odd Ratio
(95% CI)
2,092
(0,760-5,759)
Tabel 5 menunjukan bahwa distribusi BBLR berdasarkan
umur ibu yang berisiko (<20 dan >35 tahun) lebih banyak pada
kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol yaitu
sebesar 8,4% pada kelompok kasus dan 4,2% pada kelompok
kontrol.
Pada penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 2,092 (95%
CI = 0,760-5,759). Nilai OR yang diperoleh tidak bermakna,
dengan demikian umur ibu <20 dan >35 tahun bukan merupakan
faktor risiko kejadian BBLR. Hal ini menunjukan bahwa umur ibu
<20 dan >35 tahun tidak berisiko terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 20122014.
81
5.3.2
Analisis Risiko Tinggi Badan Ibu <145cm terhadap Kejadian
BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Tahun 2012 – 2014
Risiko tinggi badan ibu <145cm terhadap kejadian BBLR
di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 20122014 akan dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 6
Risiko Tinggi Badan Ibu <145cm terhadap Kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Bulan Januari 2012 - April 2014
Tinggi badan
Berat Badan Bayi
Kasus
Total
Kontrol
n
%
n
%
n
%
Berisiko
6
6,3
2
1,1
8
2,8
Tidak berisiko
89
93,7
188
98,9
277
97,2
Jumlah
95
100
190
100
285
100
Odd Ratio
(95% CI)
6,337
(1,254-32,023)
Tabel 6 memperlihatkan bahwa tinggi badan ibu yang
berisiko (<145cm) lebih besar pada kelompok kasus dibandingkan
dengan kelompok kontrol dengan perbandingan masing-masing
sebesar 6,3% pada kelompok kasus dan 1,1% pada kelompok
kontrol.
Pada penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 6,337 (95%
CI =1,254-32,023). Nilai OR yang diperoleh bermakna, dengan
demikian tinggi badan ibu <145cm merupakan faktor risiko
kejadian BBLR. Hal ini menunjukan bahwa tinggi badan ibu
<145cm mempunyai risiko 6,337 kali melahirkan bayi BBLR
dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan ≥145cm di
82
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 20122014.
5.3.3
Analisis Risiko Penambahan Berat Badan Ibu <10kg dengan
Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang
Selatan Tahun 2012 – 2014
Risiko penambahan berat badan ibu <10kg terhadap
kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang
Selatan Tahun 2012-2014 akan dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 7
Risiko Penambahan Berat Badan Ibu <10kg terhadap Kejadian
BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Bulan Januari 2012 - April 2014
Penambahan
Berat Badan
Ibu
Berat Badan Bayi
Total
Berisiko
Kasus
n
%
38
40
Kontrol
n
%
77
40,5
n
115
%
40,4
Tidak berisiko
57
60
113
59,5
170
59,6
Jumlah
95
100
190
100
285
100
Odd Ratio
(95% CI)
0,978
(0,592-1,617)
Tabel 7 menunjukan bahwa penambahan berat badan ibu
yang berisiko (<10kg) lebih tinggi pada kelompok kontrol
dibandingkan dengan kelompok kasus dengan perbandingan 40,5%
pada kelompok kontrol dan 40% pada kelompok kasus. Walaupun
penambahan berat badan ibu yang berisiko lebih tinggi pada
kelompok kontrol tetapi selisih antara kedua kelompok memiliki
nilai yang sangat kecil yaitu 0,5%.
Pada penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 0,978 (95%
CI =0,592-1,617). Nilai OR yang diperoleh merupakan faktor
83
protektif tetapi tidak bermakna, dengan demikian penambahan
berat badan ibu <10kg bukan merupakan faktor risiko kejadian
BBLR. Hasil tersebut menunjukan bahwa penambahan berat badan
ibu <10kg tidak berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014. Hal
ini disebabkan karena sebagian besar ibu baik pada kelompok
kasus maupun pada kelompok kontrol mengalami penambahan
berat badan ≥10kg.
5.3.4
Analisis Risiko Umur Kehamilan terhadap Kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012
– 2014
Risiko umur kehamilan terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 20122014 akan dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 8
Risiko Umur Kehamilan terhadap Kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Bulan Januari 2012 - April 2014
Umur
Kehamilan
Berisiko
Berat Badan Bayi
Kasus
n
%
41 43,2
n
Kontrol
%
1
0,5
Total
n
42
%
14,7
Tidak berisiko 54
56,8
189
99,5
243
85,3
Jumlah
100
190
100
285
100
95
Odd Ratio
(95% CI)
143, 500
(19,292-1067,
397)
Tabel 8 memperlihatkan bahwa umur kehamilan yang
berisiko (<37 minggu) menunjukan perbedaan yang sangat tinggi
antara kelompok kasus dan kelompok kontrol yaitu pada kelompok
84
kasus sebesar 43,2%, sedangkan pada kelompok hanya sebesar
0,5%.
Pada penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 143,5 (95%
CI =19,292-1067,397). Nilai OR yang diperoleh bermakna, dengan
demikian umur kehamilan <37 minggu merupakan faktor risiko
kejadian BBLR. Hal ini menunjukan bahwa umur kehamilan <37
minggu mempunyai risiko 143,5 kali melahirkan bayi BBLR
dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pada umur kehamilan
≥37 minggu di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Tahun 2012-2014.
5.3.5
Analisis Risiko Kekurangan Energi Kronik (KEK) pada Ibu
dengan Kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota
Tangerang Selatan Tahun 2012 – 2014
Risiko KEK pada ibu terhadap kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 2012-2014 akan
dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 9
Risiko KEK pada Ibu terhadap Kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Bulan Januari 2012 - April 2014
KEK
Berat Badan Bayi
Total
ya
Kasus
n
%
15 15,78
Kontrol
n
%
4
2,10
Tidak
80
84,21
186
97,89
266
93,33
Jumlah
95
100
190
100
285
100
n
19
%
6,66
Odd Ratio
(95% CI)
8,719
(2,806-27,089)
85
Tabel 9 memperlihatkan bahwa pada kelompok kasus, ibu
yang mengalami KEK sebesar 15,78%, sedangkan pada kelompok
kontrol hanya sebesar 2,1%. Hal ini menunjukan distribusi BBLR
berdasarkan ibu yang mengalami KEK lebih tinggi pada kelompok
kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Pada penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 8,719 (95%
CI = 2,806-27,089). Nilai OR yang diperoleh tersebut bermakna,
dengan demikian KEK merupakan faktor risiko kejadian BBLR.
Hal ini menunjukan bahwa ibu yang mengalami KEK mempunyai
risiko 8,719 kali melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu
yang tidak mengalami KEK di Wilayah Kerja Puskesmas Kota
Tangerang Selatan Tahun 2012-2014.
86
5.3.6
Analisis Risiko Anemia pada Ibu terhadap Kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012
– 2014
Risiko anemia pada ibu terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 20122014 akan dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 10
Risiko Anemia pada Ibu terhadap Kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Bulan Januari 2012 - April 2014
Anemia
Berat Badan Bayi
Total
Odd Ratio
(95% CI)
Ya
Kasus
Kontrol
n
%
n
%
31 32,6 21 11,1
Tidak
64
67,4
169 88,9 233 81,8
Jumlah
95
100
190
Tabel
10
100
memperlihatkan
n
52
285
bahwa
%
18,2
3,898
(2,088-7,277)
100
distribusi
BBLR
berdasarkan ibu yang mengalami anemia, kelompok kasus
memiliki jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok
kontrol yaitu sebesar 32,6% pada kelompok kasus dan 11,1% pada
kelompok kontrol.
Pada penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 3,989 (95%
CI = 2,088-7,277). Nilai OR yang diperoleh tersebut bermakna,
dengan demikian anemia pada ibu merupakan faktor risiko
kejadian BBLR. Hal ini menunjukan bahwa anemia pada ibu
mempunyai risiko 3,989 kali melahirkan bayi BBLR dibandingkan
dengan ibu yang tidak mengalami anemia di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014.
87
5.3.7
Analisis Risiko Kehamilan Ganda (kembar) terhadap Kejadian
BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Tahun 2012-2014
Risiko kehamilan ganda terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 20122014 akan dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 11
Risiko Kehamilan Ganda terhadap Kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Bulan Januari 2012 - April 2014
Kehamilan
Ganda
Berat Badan Bayi
ya
Kasus
n
%
17
17,9
Tidak
Jumlah
78
95
82,1
100
Total
Kontrol
n
%
0
0
190
190
100
100
n
17
%
6
268
285
94
100
Berdasarkan tabel 11 memperlihatkan bahwa semua ibu
yang melahirkan bayi kembar hanya terdapat pada kelompok
kasus, sehingga tidak dapat dianalisis risiko kehamilan ganda
(kembar) terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas
Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012-April 2014.
88
5.3.8
Analisis Risiko Tingkat Pendidikan Ibu terhadap Kejadian
BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Tahun 2012 - 2014
Risiko tingkat pendidikan ibu terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 20122014 akan dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 12
Risiko Tingkat Pendidikan Ibu terhadap Kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Bulan Januari 2012 - April 2014
Pendidikan
Berat Badan Bayi
Total
Berisiko
Kasus
n
%
38 40
Kontrol
n
%
84
44,2
n
122
%
42,8
Tidak berisiko
57
60
106
55,8
163
57,2
Jumlah
95
100
190
100
285
100
Odd Ratio
(95% CI)
0,841
(0,510-1,388)
Tabel 12 memperlihatkan bahwa pendidikan ibu yang
berisiko pada kelompok kasus sebesar 40%, sedangkan pada
kelompok kontrol sebesar 44,2%. Hal ini menunjukan bahwa
pendidikan ibu yang berisiko lebih banyak pada kelompok kontrol
dibandingkan dengan kelompok kasus.
Pada penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 0,841 (95%
CI = 0,510-1,388). Nilai OR yang diperoleh tersebut merupakan
faktor protektif tetapi tidak bermakna, dengan demikian tingkat
pendidikan ibu bukan merupakan faktor risiko kejadian BBLR. Hal
ini menunjukan bahwa tingkat pendidikan pada ibu tidak berisiko
terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota
Tangerang Selatan Tahun 2012-2014.
89
5.3.9
Analisis Risiko Status Ibu Bekerja terhadap Kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun
2012-2014
Risiko status ibu bekerja terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan tahun 20122014 akan dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 13
Risiko Status Ibu Bekerja terhadap Kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Bulan Januari 2012 - April 2014
Status
Bekerja
Berat Badan Bayi
Total
Bekerja
Kasus
n
%
6
6,3
Kontrol
n
%
22 11,6
n
28
%
9,8
Tidak Bekerja
89
93,7
168
88,4
257
90,2
Jumlah
95
100
190
100
285
100
Odd Ratio
(95% CI)
0,515
(0,201-1,316)
Tabel 13 memperlihatkan bahwa kelompok kontrol
memiliki jumlah ibu yang bekerja lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok kasus yaitu 11,6% pada kelompok kontrol dan
6,3% pada kelompok kasus.
Pada penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 0,515 (95%
CI = 0,201-1,316). Nilai OR yang diperoleh tersebut merupakan
faktor protektif tetapi tidak bermakna, dengan demikian status ibu
yang bekerja bukan merupakan faktor risiko kejadian BBLR. Hal
ini menunjukan bahwa status ibu yang bekerja tidak berisiko
terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota
Tangerang Selatan Tahun 2012-2014.
90
5.3.10 Analisis Risiko Komplikasi Kehamilan terhadap Kejadian
BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Tahun 2012-2014
Risiko komplikasi kehamilan terhadap kejadian BBLR di
Tangerang Selatan Tahun 2012-2014 akan dijelaskan sebagai
berikut:
Tabel 14
Risiko Komplikasi Kehamilan terhadap Kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Bulan Januari 2012 - April 2014
Komplikasi
Kehamilan
Berat Badan Bayi
Hipertensi
n
12
Kasus
%
12,6
Tidak hipertensi
83
87,4
190
Jumlah
95
100
190
Total
Kontrol
n
%
0
0
n
12
%
4,2
100
273
95,8
100
285
100
Berdasarkan tabel 14 memperlihatkan bahwa semua ibu
yang mengalami komplikasi kehamilan berupa hipertensi hanya
terdapat pada kelompok kasus, sehingga tidak dapat dianalisis
risiko komplikasi kehamilan terhadap kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012April 2014.
91
5.3.11 Analisis Risiko Penyakit pada Ibu terhadap Kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun
2012-2014
Risiko penyakit pada ibu terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 20122014 akan dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 15
Risiko Penyakit pada Ibu terhadap Kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan
Bulan Januari 2012-April 2014
Penyakit
Berat Badan Bayi
Ya
Kasus
n
%
6
6,3
Tidak
89
93,7
190
Jumlah
95
100
190
n
0
Total
Kontrol
%
0
n
6
%
2,1
100
279
97,9
100
285
100
Berdasarkan tabel 15 memperlihatkan bahwa semua ibu
yang menderita penyakit pada masa kehamilan hanya terdapat pada
kelompok kasus, sehingga tidak dapat dianalisis risiko penyakit ibu
pada masa kehamilan terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Tangerang Selatan Bulan Januari 2012-April
2014.
92
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1
Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan yaitu:
a. Terdapat kasus BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang
Selatan yang tidak dijadikan sampel karena data variabel penelitian
tidak lengkap sehingga dapat mempengaruhi jumlah sampel
penelitian.
b. Pada variabel komplikasi kehamilan, peneliti hanya dapat mengukur
hipertensi sebagai satu-satunya komplikasi pada kehamilan, sehingga
komplikasi lain pada kehamilan seperti ketuban pecah dini,
pendarahan dan lainya tidak dapat diukur karena tidak terdapat
dalam sumber data sekunder.
6.2
Gambaran Berat Badan Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kota
Tangerang Selatan Periode Januari 2012- April 2014
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa distribusi berat
badan bayi paling banyak pada bayi dengan berat badan normal antara
2500-4000gr sebesar 65,96%, kemudian diikuti BBLR dengan berat
antara 1500-2500gr sebesar 31,92%. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Cendikia di RS Sukanto Jakarta Timur
pada tahun 2010 yang menunjukan bahwa distribusi kasus BBLR paling
banyak pada berat antara 1500-2500gr sebesar 41,8%.
93
Pada dasarnya Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi yang
baru lahir dengan berat badan saat lahir kurang dari 2500gr. BBLR
dibedakan dalam dua kategori, yaitu bayi berat lahir rendah karena
premature (umur kandungan <37 minggu) atau bayi berat lahir rendah
karena Intrauterine Growth Retardation (IUGR) yaitu bayi cukup bulan
tetapi berat badan kurang untuk umurnya (Depkes RI, 2003).
Berdasarkan laporan dari Profil Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan selama 3 tahun, Jumlah kasus BBLR di Tangerang Selatan tahun
2012 sebanyak 168 orang dan pada tahun 2013 sebanyak 255 orang.
Namun dalam pelaksanaan penelitian ini, peneliti hanya mendapatkan 31
kasus pada tahun 2012, 38 kasus pada tahun 2013 dan 26 kasus pada tahun
2014. Hal ini disebabkan karena ketidaklengkapan data yang terdapat
dalam laporan Puskesmas Kota Tangerang Selatan.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa distribusi BBLR
berdasarkan karakteristik ibu berupa umur paling banyak adalah antara
umur 20-35 tahun (91,6%), berdasarkan tinggi badan paling banyak ibu
memiliki tinggi badan ≥145cm (93,7%), sebagian besar ibu memiliki
penambahan berat badan ≥10kg (60%), paling banyak ibu melahirkan
pada usia kehamilan ≥37 minggu (56,8%), lebih banyak ibu yang tidak
mengalami KEK dibandingkan yang mengalami KEK (81,1%), ibu yang
tidak menderita anemia lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang
menderita anemia (67,4%), banyak ibu yang melahirkan bayi tunggal
dibandingkan dengan bayi kembar (82,1%), sebagian besar ibu memiliki
94
tingkat pendidikan tinggi (60%), status bekerja ibu paling banyak sebagai
ibu rumah tangga atau tidak bekerja (93,7%), lebih banyak ibu yang tidak
mengalami komplikasi kehamilan dan penyakit pada saat hamil dengan
perbandingan masing-masing 87,4% ibu yang tidak mengalami
komplikasi kehamilan dan 93,7% ibu yang tidak menderita penyakit pada
saat kehamilanya.
Menurut Depkes RI (2009), faktor risiko kejadian BBLR
diantaranya ibu hamil yang berumur <20 dan >35 tahun, jarak kehamilan
terlalu pendek, ibu mempunyai riwayat BBLR sebelumnya, mengerjakan
pekerjaan fisik, mengerjakan pekerjaan fisik beberapa jam tanpa istirahat,
sangat miskin, beratnya kurang dan kurang gizi, perokok, pengguna obat
terlarang, alkohol, anemia, pre-eklampsi atau hipertensi, infeksi selama
kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan cacat bawaan dan infeksi
selama dalam kandungan.
Sedangkan menurut WHO (2004), faktor
risiko kejadian BBLR yaitu status gizi, status ekonomi, pendidikan,
komplikasi kehamilan, pekerjaan berat, umur kehamilan, umur ibu,
riwayat BBLR sebelumnya, alkohol, merokok, obat-obatan terlarang,
riwayat penyakit, kehamilan ganda, tinggi badan dan tinggal di daerah
ketinggian.
6.3
Risiko Umur Ibu <20 dan >35 tahun terhadap Kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari
2012- April 2014
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai OR sebesar 2,092 (95%
CI = 0,760-5,759). Pada CI 95% antara lower dan upper limit terdapat
95
nilai 1, sehingga nilai OR tidak bermakna atau dapat disimpulkan bahwa
umur ibu tidak berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014. Hal ini
dimungkinkan karena pada penelitian ini distribusi BBLR berdasarkan
umur baik pada kelompok kasus maupun kontrol sama-sama lebih banyak
pada ibu dengan kelompok umur antara 20–35 tahun. Ini menunjukan
bahwa walaupun umur ibu tidak berisiko namun tetap melahirkan bayi
BBLR (91,6%).
Walaupun secara statistik hasil penelitian ini menunjukan bahwa
umur ibu <20 dan >35 tahun tidak berisiko terhadap kejadian BBLR,
namun dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa kejadian BBLR paling
banyak ditemukan pada ibu yang berumur <20 dan >35 tahun (8,4%)
dibandingkan dengan bayi berat lahir normal (4,2%). Sehingga ibu yang
melahirkan pada umur berisiko tersebut harus tetap dihindari karena
mengingat umur reproduksi optimal bagi seorang ibu adalah antara umur
20-35 tahun (Depkes, 2001). Dan walaupun terdapat ibu yang berumur
<20 tahun dan >35 tahun namun pemenuhan gizi ibu cukup sehingga
penambahan berat badan sesuai dengan masa kehamilanya. Hal ini bisa
dilihat dari hasil penelitian yang ditemukan bahwa penambahan berat
badan pada ibu yang berumur <20 dan >35 tahun lebih banyak
mengalami penambahan berat badan >10kg yaitu sebesar 56,25%.
Hal ini disebabkan karena kehamilan pada umur remaja (<20
tahun) berdampak pada pertumbuhan yang kurang optimal karena
96
kebutuhan zat gizi pada masa tumbuh kembang remaja sangat dibutuhkan
oleh tubuhnya sendiri, (Simbolon & Aini, 2013). Selain itu, ibu yang
melahirkan pada umur >35 tahun tidak dianjurkan dan sangat berbahaya.
Mengingat mulai umur ini sering muncul penyakit seperti hipertensi,
tumor jinak peranakan, atau penyakit degeneratif pada persendian tulang
belakang dan panggul (Setianingrum, 2005). Ibu yang berumur >35 tahun
perlu energi yang besar karena fungsi organ yang semakin melemah dan
diharuskan untuk bekerja maksimal maka memerlukan tambahan energi
yang cukup guna mendukung kehamilan yang sedang berlangsung
(Kristyanasari, 2010, dalam Muazizah, 2011).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Nurhadi (2006) di BP RSUD Kraton Pekalongan yang menunjukan
bahwa umur ibu tidak berisiko terhadap kejadian BBLR. Namun hasil
penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian lain yang menunjukan
bahwa umur ibu berisiko terhadap kejadian BBLR. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Cendikia (2010) menunjukan bahwa umur ibu
berisiko 2,838 kali lebih besar untuk melahirkan bayi BBLR dan
penelitian yang dilakukan oleh Alya (2013) juga menunjukan bahwa
umur ibu berisiko 6,163 kali lebih besar untuk melahirkan bayi BBLR
dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pada umur 20-35 tahun.
Dengan demikian, sosialisasi mengenai umur yang dianjurkan
untuk melakukan kehamilan dan persalinan perlu digalakan. Sosialisasi
dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan melakukan
97
penyuluhan secara intensif kepada pasangan usia subur (PUS) oleh
petugas kesehatan agar proses kehamilan dan persalinan dapat
direncanakan sehingga kehamilan dan persalinan ibu yang berumur <20
dan >35 tahun dapat dihindari. Selain itu, mempertahankan Pemberian
Makanan Tambahan (PMT) pada ibu hamil khususnya ibu yang berumur
<20 dan >35 tahun agar status gizi pada ibu hamil baik.
6.4
Risiko Tinggi Badan Ibu <145cm terhadap Kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari
2012- April 2014
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai OR sebesar 6,337
(95% CI =1,254-32,023). Pada CI 95% antara lower dan upper limit
tidak terdapat nilai 1, sehingga nilai OR bermakna atau dapat
disimpulkan bahwa tinggi badan ibu <145cm mempunyai risiko 6,337
kali melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang memiliki
tinggi badan ≥145cm di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang
Selatan Tahun 2012-2014. Hal ini dimungkinkan karena berdasarkan
hasil penelitian ditemukan tinggi badan ibu <145cm lebih banyak pada
ibu yang melahirkan bayi BBLR (6,3%) dibandingkan dengan bayi lahir
normal (1,1%).
Tinggi badan ibu <145cm dikatakan berisiko karena tinggi badan
ibu memiliki pengaruh terhadap ukuran bayi baru lahir (berat lahir dan
panjang lahir). Pengerdilan (stunting) merupakan konsekuensi dari
asupan nutrisi jangka panjang yang buruk dan merupakan indikator
utama dalam menurunkan pertumbuhan pada anak-anak. Pengerdilan
98
juga
telah dikaitkan dengan kelangsungan
siklus gizi dengan
menyebabkan berat badan lahir rendah di antara keturunan dari ibu yang
terhambat (Bisai, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa ibu yang
memiliki tinggi badan normal (>145cm) mengalami penambahan berat
badan normal (>10kg) yaitu sebesar 59,20%. Hal ini menunjukan bahwa
tinggi badan ibu berhubungan dengan penambahan berat badan atau
status gizi ibu selama hamil.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Bisai (2003) di India yang melaporkan tingginya insiden bayi BBLR
pada ibu dengan tinggi badan <145cm dari pada ibu dengan tinggi badan
≥145cm. Ibu yang memiliki tinggi badan <145cm berisiko 1,32 kali
melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan
>145cm. Namun, penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Festy (2009) yang menyatakan bahwa tinggi badan ibu
<145cm tidak berisiko terhadap kejadian BBLR.
Untuk mencegah risiko yang ditimbulan akibat tinggi badan ibu
<145cm, maka perlu dilakukanya perbaikan gizi dan kesehatan pada ibuibu. Perbaikan tinggi badan perempuan berupa intervensi gizi dan
kesehatan perempuan yang dimulai dari perbaikan status gizi sejak dini
sebagai upaya penurunan angka kejadian BBLR.
99
6.5
Risiko Penambahan Berat Badan Ibu <10kg terhadap Kejadian
BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode
Januari 2012- April 2014
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai OR sebesar 0,978
(95% CI =0,592-1,617). Pada CI 95% antara lower dan upper limit
terdapat nilai 1, sehingga nilai OR tidak bermakna atau dapat
disimpulkan bahwa penambahan berat badan ibu <10kg tidak berisiko
terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang
Selatan Tahun 2012-2014.
Walaupun secara statistik penambahan berat badan ibu <10kg tidak
berisiko terhadap kejadian BBLR, namun penambahan berat badan ibu
selama masa kehamilan harus tetap diperhatikan mengingat hasil
penelitian ini menunjukan bahwa ibu yang berisiko terhadap penambahan
berat badan dan melahirkan BBLR sebesar 40%. Selain itu, hal ini juga
dimungkinkan terjadi karena penambahan berat badan ibu paling banyak
yaitu ≥10kg baik pada bayi lahir rendah (60%) dan pada bayi lahir
normal (40,5%).
Penambahan berat badan dalam kehamilan terjadi karena adanya
pertumbuhan janin dan perubahan beberapa tempat dari tubuh ibu.
Sebagai respon terhadap pertumbuhan janin dan plasenta yang cepat serta
kebutuhan-kebutuhan yang semakin meningkat, wanita hamil mengalami
perubahan metabolik. Sebagian besar penambahan berat badan selama
hamil dihubungkan dengan uterus dan isinya, payudara, berubahnya
100
volume darah serta cairan ekstrasel ekstravaskuler (Puspitasari, dkk,
2011).
Namun penambahan berat badan ibu harus sesuai dengan umur
kehamilanya karena pada setiap tahap kehamilan, seorang ibu hamil
membutuhkan makanan dengan kandungan zat-zat gizi yang berbeda dan
disesuaikan dengan kondisi tubuh dan perkembangan janin. Berdasarkan
hasil penelitian ini ditemukan bahwa sebagian besar ibu yang mengalami
penambahan berat badan normal (≥10kg) melakukan persalinan pada
umur kehamilan ≥37
minggu
yaitu
sebesar 85,88%. Hal ini
dimungkinkan karena pada umur kehamilan ≥37 minggu atau pada
trismester terakhir pertumbuhan janin berkembang pesat sehingga ibu
memerlukan asupan nutrisi yang lebih banyak. Oleh karena itu, pada
umur kehamilan ≥37 minggu janin menyerap nutrisi lebih banyak
dibandingkan umur kehamilan <37 minggu (Albugis, 2008)..
Berat badan ibu hamil harus memadai, bertambah sesuai dengan
umur kehamilannya. Pada trismester pertama, pertumbuhan janin masih
lambat, penambahan kebutuhan zat-zat gizinyapun masih relative kecil.
Memasuki trismester kedua, janin mulai tumbuh pesat dibandingkan
dengan sebelumnya. Sedangkan pada tahap terakhir atau trismester
ketiga, dibutuhkan vitamin dan mineral untuk mendukung pesatnya
pertumbuhan janin dan pembentukan otak. Kebutuhan energi janin
didapat dari cadangan energi yang disimpan ibu selama tahap
sebelumnya (Albugis, 2008).
101
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Festy (2010) di Kabupaten Sumenep yang menyatakan bahwa
penambahan berat badan ibu berisiko 8,264 kali menyebabkan BBLR.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Darmayanti (2010) di RSUD
Ulin Banjarmasin juga menyatakan bahwa penambahan berat badan ibu
berisiko 7,1 kali menyebabkan BBLR. Dalam penelitianya Festy (2010)
dan Darmayanti, dkk (2010) menetapkan penambahan berat badan ibu
yang berisiko yaitu <9kg. Adanya perbedaan hasil penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya dimungkinkan karena adanya perbedaan jumlah
sampel yang diambil dan lokasi penelitian dilaksanakan serta penetapan
“cut of point” dari penambahan berat badan ibu selama kehamilan,
sehingga akan berpengaruh terhadap jumlah faktor karakteristik ibu
khususnya penambahan berta badan ibu.
Dengan demikian, pemantauan status gizi ibu sebelum dan selama
hamil perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya BBLR karena status
gizi
ibu
merupakan faktor
yang sangat
berpengaruh terhadap
penambahan berat badan ibu. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengadakan kegiatan kunjungan rumah terhadap ibu hamil yang tidak
rutin ke pelayanan kesehatan, serta memberikan motivasi dan konseling
kepada ibu agar menjalani kehamilan yang sehat dengan memakan
makanan yang bergizi sehingga akan melahirkan bayi dengan berat badan
lahir normal.
102
6.6
Risiko Umur Kehamilan<37 minggu terhadap Kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari
2012- April 2014
Hasil penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 143,5 (95% CI
=19,292-1067,397). Pada CI 95% antara lower dan upper limit tidak
terdapat nilai 1, sehingga nilai OR bermakna atau dapat disimpulkan
bahwa umur kehamilan <37 minggu mempunyai risiko 143,5 kali
melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pada
umur kehamilan ≥37 minggu di Wilayah Kerja Puskesmas Kota
Tangerang Selatan Tahun 2012-2014. Hal ini dimungkinkan terjadi
karena umur kehamilan yang berisiko sangat tinggi pada ibu yang
melahirkan bayi BBLR (43,2 %) dibandingkan dengan bayi lahir normal
(0,5 %).
Tingginya risiko umur kehamilan terhadap BBLR pada penelitian
ini disebabkan karena secara biologis berat badan bayi semakin
bertambah
sesuai
dengan
umur
kehamilan.
Umur
kehamilan
mempengaruhi kejadian BBLR karena semakin pendek masa kehamilan
semakin kurang sempurna pertumbuhan alat-alat tubuhnya sehingga akan
turut mempengaruhi berat badan bayi. Sehingga dapat dikatakan bahwa
umur kehamilan mempengaruhi kejadian BBLR (Manuaba, 2010).
Pada umumnya bayi kurang bulan disebabkan karena tidak
mampunya uterus menahan janin, gangguan selama kehamilan, lepasnya
plasenta lebih cepat dari waktunya atau rangsangan yang memudahkan
terjadinya kontraksi uterus sebelum cukup bulan. Bayi lahir kurang bulan
103
mempunyai organ dan alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk
bertahan hidup diluar rahim. Semakin muda umur kehamilan, fungsi
organ tubuh semakin kurang sempurna dan prognosisnya semakin kurang
baik. Kelompok BBLR ini sering mendapatkan penyulit atau komplikasi
akibat kurang matangnya organ karena masa gestasi yang kurang
(prematur) (Simarmata, 2010).
Pada setiap tahap kehamilan, seorang ibu hamil membutuhkan
makanan dengan kandungan zat-zat gizi yang berbeda dan disesuaikan
dengan kondisi tubuh dan perkembangan janin. Pada trismester pertama
pertumbuhan janin masih lambat sehingga penambahan kebutuhan zatzat gizinya pun masih relative kecil. Memasuki trismester kedua, janin
mulai tumbuh pesat dibandingkan dengan sebelumnya. Kecepatan
pertumbuhan itu mencapai 10gr per hari. Sedangkan pada tahap terakhir
atau trismester ketiga, dibutuhkan vitamin dan mineral untuk mendukung
pesatnya pertumbuhan janin dan pembentukan otak. Kebutuhan energi
janin didapat dari cadangan energi yang disimpan ibu selama tahap
sebelumnya (Albugis, 2008).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Darmayanti, dkk (2010) yang menyatakan bahwa umur kehamilan <37
minggu berisiko 12,7 (95% CI = 5,5 -31,5) kali melahirkan BBLR. Selain
itu, penelitian yang dilakukan oleh Sutan, et all (2014) di Kuala Lumpur,
Malaysia yang menyatakan bahwa umur kehamilan <37 minggu berisiko
2,41 (1,79-3,26) kali menyebabkan BBLR. Penelitian yang dilakukan
104
oleh Merzalia (2010) di Provinsi Bangka Belitung juga menunjukan
tinggi risiko umur kehamilan terhadap BBLR yaitu umur kehamilan <37
minggu berisiko 137, 360 (18,78-1004,684) kali menyebabkan BBLR.
Dengan tingginya risiko usia kehamilan <37 minggu terhadap
kejadian BBLR, sehingga disarankan kepada ibu untuk melahirkan anak
pada usia kehamilan ≥37 minggu yaitu dengan menjaga pola hidup dan
pola makan selama kehamilan dan kepada petugas kesehatan yang
memeriksakan kehamilan supaya dapat menekankan pada setiap ibu hamil
untuk memeriksakan kehamilannya secara teratur dan sesuai jadual
pemeriksaan sehingga bila ada kelainan akan segera terdeteksi dan akan
segera mendapatkan pertolongan.
6.7
Risiko Kekurangan Energi Kronik (KEK) pada Ibu dengan Kejadian
BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode
Januari 2012- April 2014
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh nilai OR sebesar 8,719
(95% CI = 2,806-27,089). Pada CI 95% antara lower dan upper limit
tidak terdapat nilai 1, sehingga nilai OR bermakna atau dapat
disimpulkan bahwa kejadian KEK mempunyai risiko 8,719 kali
melahirkan bayi BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang
Selatan Tahun 2012-2014. Hal ini dimungkinkan terjadi karena ibu yang
megalami KEK lebih banyak pada bayi BBLR (15,78%) dibandingkan
dengan bayi lahir normal (2,1%).
Tingginya kejadian KEK pada ibu yang melahirkan bayi lahir
rendah disebabkan karena KEK merupakan kekurangan energi dalam
105
jangka waktu yang cukup lama. KEK pada wanita di negara berkembang
merupakan hasil kumulatif dari keadaan kurang gizi sejak masa janin,
bayi dan anak-anak serta berlanjut hingga dewasa. Secara spesifik,
penyebab KEK pada ibu hamil adalah akibat dari ketidakseimbangan
antara asupan untuk pemenuhan kebutuhan dan pengeluaran energi
(Albugis, 2008). Hal ini didukung dengan hasil penelitian ini yang
menunjukan bahwa sebagian besar ibu yang tidak mengalami KEK pada
saat kehamilanya mengalami penambahan berat badan yang normal (≥10
kg) yaitu sebesar 91,76%.
Mekanisme terjadinya BBLR akibat Kekurangan Energi Kronik
(KEK) pada ibu hamil yaitu diawali dengan ibu hamil yang menderita
KEK yang menyebabkan volume darah dalam tubuh ibu menurun dan
cardiac output ibu hamil tidak cukup, sehingga meyebabkan adanya
penurunan aliran darah ke plasenta. Menurunya aliran darah ke plasenta
menyebabkan dua hal yaitu berkurangnya transfer zat-zat makanan dari
ibu ke plasenta yang dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan janin
dan pertumbuhan plasenta lebih kecil yang menyebabkan bayi BBLR
(Kemar, 2008).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Festy (2010) yang menunjukan bahwa KEK berisiko 6,307 kali
menyebabkan BBLR. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Nurhadi
(2006) menunjukan bahwa KEK berisiko 42,55 kali menyebabkan
BBLR. Penelitian yang dilakukan oleh Merzaila (2011) juga menunjukan
106
bahwa KEK berisiko 7,018 kali menyebabkan BBLR dibandingkan
dengan ibu yang tidak mengalami KEK.
Dengan demikian, diharapkan bagi bidan maupun tenaga kesehatan
lain lebih meningkatkan pelayanan kesehatan baik berupa pemeriksaan
kehamilan dan penyuluhan tentang gizi sehingga KEK dapat diatasi sejak
dini. Selain itu, kepada Institusi Kesehatan dan Dinas Kesehatan
diharapkan dapat meningkatkan program perbaikan gizi salah satunya
dengan memberikan susu hamil ataupun makanan tambahan lainnya pada
ibu hamil yang mengalami KEK.
6.8
Risiko Anemia pada Ibu terhadap Kejadian BBLR di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012- April
2014
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh nilai OR sebesar 3,989
(95% CI = 2,088-7,277). Pada CI 95% antara lower dan upper limit tidak
terdapat nilai 1, sehingga nilai OR bermakna atau dapat disimpulkan
bahwa anemia
mempunyai risiko 3,989 kali melahirkan bayi BBLR
dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami anemia di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014. Hal ini
dimungkinkan terjadi karena ibu yang mengalami anemia lebih banyak
pada bayi BBLR (32,6%) dibandingkan dengan bayi lahir normal
(11,1%).
Tingginya kejadian anemia pada ibu yang melahirkan bayi BBLR
disebabkan karena pasokan O2 pada ibu hamil yang mengalami anemia
untuk jaringan menurun dan pengangkutan CO2 dari jaringan menjadi
107
terhambat sehingga dapat menghambat pertumbuhan jaringan baik pada
janin maupun pada plasenta sehingga dapat mengakibatkan kematian
janin dalam kandungan, abortus, cacat bawaan, partus premature, partus
lama dan lain-lain (Puji, 2007).
Selai itu, Bondevik (2001) dalam Simbolon dan Aini (2013)
menjelaskan bahwa secara fisiologis, penurunan kadar hemoglobin
selama kehamilan terjadi karena ketidakseimbangan jumlah sel darah
merah dan plasma darah. Ketidakseimbangan ini akan terlihat dalam
bentuk penurunan kadar hemoglobin. Peningkatan jumlah eritrosit juga
menyebabkan peningkatan kebutuhan zat besi selama kehamilan
sekaligus untuk pertumbuhan janin.
Anemia pada ibu hamil
mengakibatkan gangguan nutrisi dan oksigenasi utero plasenta, sehingga
ibu hamil yang mengalami anemia akan berdampak pada gangguan
pertumbuhan
hasil
konsepsi,
sering
terjadi
immaturitas,
prematuritas,cacat bawaan, atau janin lahir dengan BBLR.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Festy (2010) yang menunjukan bahwa anemia berisiko 3,366 kali
menyeybabkan BBLR. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
Mumbare (2011) di India juga menunjukan bahwa anemia berisiko 3,36
kali menyebabkan BBLR.
Penelitian yang dilakukan oleh Merzaila
(2011) juga menunjukan bahwa ibu yang mengalami anemia berisiko 4,
397 kali menyebabkan BBLR dibandingkan ibu yang tidak mengalami
anemia.
108
Untuk memperbaiki keadaan anemia karena kekurangan zat besi,
ibu akan diberikan suplemen zat besi. Petugas kesehatan perlu
menjelaskan kepada ibu bahwa ia dapat membantu dirinya sediri dengan
mengikuti praktik penyusunan makanan berikut ini yaitu secara teratur
memakan daging, unggas dan ikan yang merupakan sumber zat besi yang
baik, mengkonsumsi roti dan sereal yang diperkuat dengan kandungan
zat besi, penyerapan zat besi meningkat jika vitamin C dikonsumsi
bersama makanan. Sumber yang baik dari vitamin C termasuk buah
jeruk, sroberi, tomat, belewah, brokoli, lada dan kentang, memilih
sayuran yang banyak mengandung zat besi seperti bayam, brokoli,
dandelion hijau, dan sayuran berdaun hijau lainya dan gunakan panci dan
wajan besi untuk memasak (Ladewig, W Patricia et all, 2005).
Berdasarkan laporan bulanan Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan cakupan pemberian Fe dan pemeriksaan Hb pada wanita hamil
sudah mencapai target, tetapi kasus anemia pada ibu hamil pada
penelitian ini cukup banyak yaitu sebesar 32,6%. Selain itu, tablet Fe
yang diberikan oleh petugas kesehatan puskesmas tidak diminum oleh
ibu hamil sehingga perlu dilakukanya suplementasi tablet zat besi pada
ibu hamil didepan petugas kesehatan, serta penyuluhan/konsultasi tentang
pengenalan anemia dan cara pencegahannya. Kemudian, keluarga juga
harus ikut memberikan dukunganya bagi ibu yang sedang hamil yaitu
dengan melakukan pengawasan terhadap ibu hamil dalam suplemetasi zat
besi dengan membentuk PMO (Pengawas Minum Obat) seperti keluarga
109
ibu hamil, kader atau petugas puskesmas. Hal ini dilakukan karena
cakupan pemberian Fe dan pemeriksaan Hb pada ibu hamil sudah
6.9
Risiko Kehamilan Ganda (kembar) dengan Kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari
2012- April 2014
Berdasarkan hasil penelitian ini, ibu yang melahirkan bayi kembar
hanya terdapat pada kelompok kasus sebesar 17,9 %. Sedangkan pada
kelompok kontrol, semua ibu melahirkan dengan jumlah janin tunggal.
Hal ini menunjukan bahwa ibu yang melahirkan bayi kembar
berpengaruh terhadap kejadian BBLR karena hasil penelitian ini
menunjukan semua ibu yang melahirkan bayi kembar memiliki berat
lahir rendah.
Walaupun secara statistik hasil penelitian ini tidak dapat dianalisis,
namun secara biologis kehamilan ganda berisiko terhadap kejadian
BBLR. Pada kehamilan ganda berat badan satu janin ganda rata-rata
lebih ringan 1000 gram dari janin tunggal. Berat badan janin dari
kehamilan ganda tidak sama. Umumnya, terjadi perbedaan antara 50
sampai 1000 gram. Selain itu, terjadi pembagian sirkulasi darah yang
tidak sama. Akibatnya. pertumbuhan kedua janinnya pun berbeda
(Departemen Obstetri dan Ginekologi FK UI RSCM, 2014 ).
Berat lahir merupakan faktor penting pada kehamilan ganda,
agaknya 2000 gr merupakan titik kritis. Sementara berat masing-masing
anak lebih kecil dari rata-rata, berat totalnya lebih besar dari bayi
tunggal. Salah satu anak dapat lebih berat 50 sampai 1000 gr dari lainya.
110
Separoh kasus anaknya mempunyai berat badan cukup bulan.
Seperdelapan kehamilan kedua bayinya dibawah 1500gr. Tiga perdelapan
sisanya antara 1500 sampai 2500 gr (Oxorn & Forte, 2010).
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Dian Alya di Banda Aceh pada tahun 2013 yang menyebutkan
bahwa kehamila ganda berisiko 3,028 kali lebih besar menyebabkan
BBLR dibandingkan dengan kehamilan tunggal. Namun hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Merzalia (2011) yang
menyatakan bahwa kehamilan ganda tidak dapat dianalisis dikarenakan
semua ibu yang mengalami kehamilan ganda melahirkan bayi dengan
berat lahir rendah.
Dengan demikian, ibu yang mengalami kehamilan kembar harus
memperhatikan pola makan pada saat hamil agar nutrisi dari ibu ke kedua
janin dapat tersalurkan dengan cukup. Selain itu, ibu juga harus rutin
melakukan kunjungan antenatal agar setiap risiko diketahui secara dini
sehingga dapat dilakukan tindakan secara cepat.
6.10
Risiko Tingkat Pendidikan Rendah terhadap Kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari
2012- April 2014
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh nilai OR sebesar 0,841
(95% CI = 0,510-1,388). Pada CI 95% antara lower dan upper limit
terdapat nilai 1, sehingga nilai OR tidak bermakna atau dapat
disimpulkan pendidikan rendah tidak berisiko terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014.
111
Hal ini dimungkinkan terjadi karena 60% ibu yang melahirkan bayi
BBLR memiliki tingkat pendidikan tinggi.
Selain itu, pengetahuan ibu tidak hanya dipengaruhi oleh tingkat
pendidikanya karena dengan kemajuan teknologi banyak media yang
memberikan informasi tentang kehamilan dan persalinan. Kunjungan
ANC
(Antenatal Care) juga dimungkinkan memberikan pengaruh
terhadap pengetahuan ibu, dimana ibu bisa menerima informasi
mengenai faktor risiko BBLR dan ibu dapat mendeteksi sedini mungkin
faktor risiko dalam kehamilanya serta dapat melakukan tindakan
pencegahan terhadap setiap risiko yang dapat terjadi.
Pendidikan yang tinggi memudahkan seseorang menerima
informasi lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan rendah.
Pengetahuan kesehatan yang tinggi menunjang perilaku hidup sehat
dalam pemenuhan gizi ibu selama kehamilan. (Festy, 2009). Pendidikan
juga sangat erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan ibu tentang
perawatan kehamilan dan gizi selama masa kehamilan (Simarmata,2010).
Tingkat
pendidikan
merupakan
faktor
yang
mendasari
pengambilan keputusan. Pendidikan menentukan kemampuan menerima
dan mengembangkan pengetahuan dan teknologi. Semakin tinggi
pendidikan ibu akan semakin mampu mengambil keputusan bahwa
pelayanan kesehatan selama hamil dapat mencegah gangguan sedini
mungkin bagi ibu dan janinnya. Pendidikan juga sangat erat kaitannya
112
dengan tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan kehamilan dan gizi
selama masa kehamilan (Simarmata, 2010).
Walaupun adanya perbedaan antara hasil penelitian ini dengan
penelitian yang lainya tentang risiko pendidikan terhadap BBLR, namun
petugas kesehatan puskesmas maupun Dinas Kesehatan harus terus
berupaya dalam memberikan konseling atau penyuluhan terhadap ibu
hamil. Misalnya dengan memberikan penyuluhan mengenai faktor risiko
BBLR dan dampak bagi ibu bayi yang megalami BBLR setiap kali ibu
melakukan kunjungan ANC. Selain itu, membuat kelas ibu hamil yang
dibina oleh bidan desa. Dimana dalam kelas ibu hamil tersebut petugas
kesehatan dapat secara efektif memberikan informasi mengenai
kesehatan ibu hamil dan dalam kelas tersebut ibu hamil dapat
berkonsultasi mengenai masalah kehamilanya.
6.11
Risiko Status Ibu Bekerja terhadap Kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012April 2014
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan nilai OR sebesar 0,515
(95% CI = 0,201-1,316). Pada CI 95% antara lower dan upper limit
terdapat nilai 1, sehingga nilai OR tidak bermakna atau dapat
disimpulkan bahwa pekerjaan ibu tidak berisiko terhadap kejadian BBLR
di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Tahun 2012-2014.
Hal ini dimungkinkan terjadi karena sebagian besar sampel dalam
penelitian ini tidak bekerja baik pada ibu yang melahirkan bayi lahir
rendah (93,7 %) maupun pada bayi lahir normal (88,4 %).
113
Selain itu, hal ini juga dimungkinkan terjadi karena sebagian besar
ibu yang bekerja memiliki pekerjaan yang tidak membahayakan
kesehatan janin, kemudian ibu yang bekerja mempunyai pendidikan
tinggi sehingga mereka dapat mengurangi faktor risiko dari pekerjaan
mereka dengan melakukan pencegahan secara dini. Hal ini sudah sesuai
dengan hasil penelitian yang menunjukan bahwa sebagian besar ibu yang
bekerja mempunyai pendidikan yang tinggi yaitu sebesar 69,81%.
Menurut Yuliva, dkk (2009) menjelaskan bahwa rata-rata berat
lahir bayi berdasarkan jenis pekerjaan dengan aktivitas fisik berat pada
kelompok ibu bekerja lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata berat
lahir bayi ibu tidak bekerja dengan aktivitas berat. Wanita hamil yang
berada dalam keadaan stres akan mempengaruhi perilakunya dalam hal
pemenuhan intake nutrisi untuk diri dan janin yang dikandungnya. Nafsu
makan yang kurang menyebabkan intake nutrisi juga berkurang, sehingga
terjadi gangguan pada sirkulasi darah dari ibu ke janin melalui plasenta.
Hal ini akan dapat mempengaruhi berat lahir bayi yang akan dilahirkan.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Festy
(2010) dan Rizvi, et all (2007) yang menunjukan bahwa pekerjaan ibu
tidak berisiko terhadap kejadian BBLR. Namun hasil penelitian ini tidak
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti (2008) yang
menunjukan bahwa pekerjaan berisiko 3,47 kali menyebabkan BBLR
dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja.
114
Walaupun hasil penelitian ini menunjukan bahwa pekerjaan tidak
berisiko terhadap kejadian BBLR, namun ibu hamil yang bekerja harus
tetap berhati-hati dan menjaga aktivitas fisik dan pola makanya agar janin
yang dikandungnya tumbuh sehat.
6.12
Risiko Komplikasi Kehamilan terhadap Kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012April 2014
Berdasarkan
hasil penelitian didapatkan bahwa
ibu
yang
mengalami komplikasi kehamilan berupa hipertensi hanya terdapat pada
pada kelompok kasus yaitu sebesar 12,6 %. Sedangkan pada kelompok
kontrol, tidak terdapat ibu yang mengalami
hipertensi pada saat
kehamilanya.
Walaupun secara statistik, hasil ini tidak dapat dianalisis namun
secara biologis hipertensi dapat menyebabkan retardasi perkembangan
janin yang berujung pada berat lahir rendah. Hipertensi dalam kehamilan
adalah komplikasi serius pada trimester kedua-ketiga dengan gejala klinis
seperti edema, hipertensi, proteinuria, kejang sampai koma. Dengan
terjadinya hipertensi, maka terjadi spasme pembuluh darah, sehingga
terjadi gangguan fungsi plasenta, maka sirkulasi uteroplasenter akan
terganggu, pasokan nutrisi dan O2 akan tergangu sehingga janin akan
mengalami pertumbuhan janin yang terganggu dan bayi akan lahir
dengan berat bayi lahir rendah (Wijayarini, 2002 dalam Kurniawati,
2010).
115
Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda yang
lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-eklamsi, kenaikan tekanan sistolik
harus 30 mm Hg atau lebih di atas tekanan yang biasanya ditemukan,
atau mencapai 140 mm Hg atau lebih dan tekanan diastolik naik dengan
15 mmHg atau lebih atau menjadi 90 mm Hg maka diagnosis hipertensi
dapat ditegakkan (Manuaba, 2008).
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Mumbare, et all (2011) di India menyebutkan bahwa hipertensi
dalam kehamilan memiliki risiko terhadap kejadian BBLR sebesar 3,32
(CI 95% 1,55-7,10). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Coutinho,
et all (2009) yang dilakukan di Brazil juga menyatakan bahwa hipertensi
berisiko 2,58 (CI 95% 2,34-2,86) kali lebih besar menyebabkan BBLR
dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami hipertensi.
Terapi non farmakologi bisa dilakukan untuk menangani
hipertensi, walaupun tidak memberikan dampak yang berarti. Meskipun
bed rest yang ketat dapat menurunkan tekanan darah, tetapi umumnya
keadaan ini tidak direkomendasikan. Membatasi aktifitas fisik dan
mengurangi stress selalu dianjurkan. Membatasi masukan garam tidak
dianjurkan, kecuali pada penderita yang jelas diketahui sebelumnya
mempunyai
hipertensi
sensitive
terhadap
garam
(salt-sensitive
hypertension), karena wanita hamil dengan hipertensi mempunyai
volume plasma yang lebih rendah dibanding wanita dengan normotensi.
Jika diperlukan pengobatan farmakologik, methyldopa dapat menjadi
116
pilihan. Sebaliknya penggunaan antihipertensi tidak selalu menunjukkan
peningkatan survival pada janin dan menghasilkan anak dengan mental
dan perkembangan fisik yang normal. Penggunaan obat-obat anti
hipertensi lain akan mempunyai hasil yang sama, tetapi belum diteliti
dengan sempurna. Termasuk terapi awal dengan beta bloker β1 selektif
atau diuretic. Calcium channel blocker terbukti telah efektif dan
penggunaan ACE inhibitor tidak boleh digunakan dan keamanan
penggunaan angiotensin II blocking agent belum diketahui (Anwar,
2004).
Selain langkah-langkah diatas, bagi petugas kesehatan diharapkan
melakukan deteksi dini faktor risiko Hipertensi Dalam Kehamilan
(HDK), sehingga dapat memberikan pendidikan kesehatan yang sifatnya
promotive, preventive dan curative kepada ibu hamil dan melahirkan
serta dapat mengantisipasi adanya kegawatdaruratan pada ibu maupun
bayi dan segera melakukan rujukan dalam rangka membantu menurunkan
angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi. Selain itu, ibu hamil maupun
keluarga harus dapat mengenali tanda bahaya kehamilan sehingga dapat
menerapkan langkah-langkah promotive dan preventive dengan petunjuk
dari petugas kesehatan untuk mencegah terjadinya komplikasi kehamilan
dan mengurangi risiko kelahiran BBLR.
117
6.13
Risiko Penyakit Ibu dengan Kejadian BBLR di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012- April
2014
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa ibu yang menderita
penyakit pada saat kehamilanya hanya terdapat pada kelompok kasus
yaitu berupa batu ginjal, asma, dan magh. Sedangkan pada kelompok
kontrol, semua ibu tidak menderita penyakit pada saat kehamilanya.
Walaupun secara statistik penyakit ibu tidak dapat dianalisis,
namun secara biologis ketiga penyakit tersebut berisiko menyebabkan
BBLR. Asma bronkial adalah suatu keadaan dimana saluran napas
mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan
tertentu yang menyebabkan peradangan dan penyempitan yang bersifat
sementara. Wanita yang hamil bernapas untuk dua orang, karena itu
penting untuk mengendalikan asmanya. Kesulitan bernapas yang dialami
wanita hamil mempengaruhi sang janin karena adanya kompromi
terhadap suplai oksigen. Jika asmanya terkendali, wanita penderita asma
tidak akan mengalami komplikasi selama kehamilan dan bisa melahirkan
sebagaimana wanita yang non-asmatik. Namun, asma yang tak terkendali
selama
kehamilan bisa mengakibatkan masalah kehamilan dan
komplikasi pada sang janin seperti kelahiran prematur, bayi yang lahir
kurang berat badan lahir rendah (BBLR), perubahan tekanan darah
“maternal” (seperti eklampsia) (Chaitow, 2005).
Serangan yang akut membahayakan janin dalam kandungan ibu
hamil, karena berkurangnya pasokan oksigen yang diterima. Karena itu
118
sangat penting untuk mencegah terjadinya serangan selama kehamilan
dan proses melahirkan. Caranya tak lain dengan strategi tiga jalur
pertahanan terhadap asma yaitu aturlah lingkungan hidup penderita asma
(kendalikan
pemicu
asma
di
lingkungan
sekitarnya),
aturlah
kesejahteraan saluran pernapasanya agar saluran napas tersebut kurang
sensitive, sehingga lebih kecil kemungkinanya bereaksi dengan
menimbulkan gejala asma dan aturlah serangan asma (kenali gejala
datangnya serangan secara dini dan bertindak untuk menghentikanya
sebelum berkembang menjadi masalah yang lebih besar) (Chaitow,
2005).
Oleh sebab itu mengontrol asma selama kehamilan sangat penting
untuk mencegah keadaan yang tidak dimungkinkan baik pada ibu
maupun pada janinya. Pada umumnya semua obat asma dapat diminum
selama kehamilan kecuali komponen adrenergik, bromfeniramin dan
epinefrin. Kortikosteroid inhalasi sangat bermanfaat untuk mengontrol
asma dan mencegah serangan akut terutama saat kehamilan. Bila terjadi
serangan harus segera ditanggulangi
secara agresif yaitu pemberian
inhalasi agonis beta-2, oksigen dan kortikosteroid sistemik. Pemilihan
obat pada penderita hamil dianjurkan yaitu obat inhalasi dan memakai
obat-obat lama yang pernah dipakai pada kehamilan sebelumnya yang
sudah terdokumentasi dan terbukti aman. (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2004).
119
Penyakit batu saluran kemih (batu ginjal) adalah terbentuknya batu
yang disebabkan oleh pengendapan substansi yang terdapat dalam air
kemih yang jumlahnya berlebihan atau karena faktor lain yang
mempengaruhi daya larut substansi (Lina, 2008). Pada batu yang masih
berukuran kecil dapat tidak memberikan gejala. Bahkan terkadang batu
keluar sendiri saat buang air kecil yang sering terlihat sebagai kencing
berpasir. Namun, pada batu yang berukuran lebih besar, maka dapat
memberikan keluhan seperti nyeri kolik (nyeri yang disebabkan karena
usaha untuk mengeluarkan batu, namun tersangkut di saluran kemih),
hematuria (ada darah di urin), nyeri saat berkemih, terutama saat batu
bergerak, buang air kecil sedikit, yang disebabkan tersumbatnya saluran
kemih oleh batu, mual dan muntah (Gopar, 2009).
Bagi penderita batu saluran kemih, diagnosis lebih tepat dengan
melakukan pemeriksaan intravenous pielografi; akan tetapi janin harus
dilindungi dari efek penyinaran. Dewasa ini dapat pula dengan USG dan
MRI. Bila diketahui adanya urolitiasis dalam kehamilan, terapi pertama
adalah analgetika untuk menghilangkan sakitnya, diberi cairan banyak
agar batu dapat ke bawah, karena hampir 80% batu akan dapat turun ke
bawah, serta antibiotika. Pada penderita yang membutuhkan tindakan
operasi, sebaiknya operasi dilakukan setelah trimester pertama atatu
setelah post partum. Pada batu buli-buli, bila batu tersebut diperkirakan
menghalangi jalannya persalinan, kehamilan diakhiri dengan SC, dan
120
batu diangkat post partum dengan seksio alta atau lipotripsi
(Wiknyosastro, 2007).
Saat hamil, terkadang ibu hamil tidak berselera makan, mual dan
muntah (emesis gravidarium) akibat pengaruh hormone chorionic
gonadotropin. Karena perut sering tidak terisi, maka sakit maag akan
muncul. Penyakit maag yang diderita sebelumnya dapat memperburuk
masa mengidam ibu hamil, yaitu mual dan muntah berlebih (hiperemesis
gravidarum) Pada ibu hamil rentan sakit maag. Bahkan, yang tadinya
tidak menderita maag bisa saja terkena maag saat hamil. Salah satu
penyakit saluran pencernaan ini dialami berkisar 60-80% ibu hamil.
Biasanya, keluhan pada daerah sekitar lambung baik itu mual, muntah
(emesis gravidarum), heart burn (rasa panas di ulu hati, bahkan sampai
mual dan muntah yang berlebihan ( hiperemesis gravidarium) (Bambang,
2011).
Berdasarkan penelitian, obat yang dijual bebas untuk mengatasi
keluhan maag relatif aman untuk dikonsumsi oleh ibu hamil, tetapi sesuai
dosis. Karena tidak ditemukan efek teratogenik, malformasi (kecacatan)
pada bayi. Namun sebelum itu terlebih dahulu berkonsultasi ke dokter
agar lebih tepat jenis obat dan dosis sesuai dengan kebutuhan. Berikut
ada 2 cara untuk mengatasi gejala saluran pencernaan, antara lain
farmakologis yaitu dengan menggunakan obat (vitamin B6, B12, anti
histaine, antasida, H2 reseptor antagonist dan proton pump inhibitor) dan
non farmakologis yaitu tanpa menggunakan obat seperti jahe (bentuk
121
permen, sirup, atau kapsul), akupuntur atau dengan cara mengoleskan
minyak kayu putih pada tubuh juga dapat mengurangi gas berlebih pada
tubuh (Bambang, 2011).
122
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012 sampai dengan
April 2014, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut ;
a. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa distribusi BBLR
berdasarkan karakteristik ibu yaitu umur paling banyak adalah
kelompok umur 20-35 tahun (91,6 %), tinggi badan ≥145cm (93,7 %),
penambahan berat badan ≥10kg (60%), usia kehamilan ≥37 minggu
(56,8%), tidak mengalami KEK (81,1 %), ibu yang tidak menderita
anemia lebih (67,4%), bayi tunggal (82,1 %), tingkat pendidikan tinggi
(60%), status bekerja ibu sebagai ibu rumah tangga (93,7%), tidak
mengalami komplikasi kehamilan (87,4 %) dan tidak adanya penyakit
pada saat hamil (93,7 %).
b. Variabel yang tidak berisiko terhadap kejadian BBLR di Wilayah
Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012 sampai
dengan April 2014 yaitu umur ibu, pendidikan, status bekerja dan
penambahan berat badan ibu.
c. Variabel kehamilan ganda, penyakit penyerta pada ibu dan komplikasi
kehamilan hanya terdapat pada kelompok kasus sehingga tidak dapat
dianalisis lebih lanjut.
123
d. Tinggi badan ibu <145cm berisiko 6,3 kali terhadap kejadian BBLR di
Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari
2012 sampai dengan April 2014 dengan 95% CI:1,254-32,023
e. Umur kehamilan <37 minggu berisiko 143,5 kali terhadap kejadian
BBLR di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode
Januari 2012 sampai dengan April 2014 dengan 95% CI:19,292-1067,
397.
f. Kekurangan Energi Kronik berisiko 8,7 kali terhadap kejadian BBLR
di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari
2012 sampai dengan April 2014 dengan 95% CI:2,806-27,089.
g. Anemia berisiko 3,9 kali terhadap kejadian BBLR di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Tangerang Selatan Periode Januari 2012 sampai
dengan April 2014 dengan 95% CI:2,088-7,277.
7.1 Saran
7.1.1
Bagi Dinas Kesehatan dan Petugas Puskesmas
a. Melakukan kegiatan suplementasi Fe pada ibu hamil didepan
petugas kesehatan dan melakukan pengawasan terhadap ibu
hamil dalam suplemetasi zat besi.
b. Memberikan penyuluhan kepada ibu hamil mengenai risiko
BBLR dan dampak yang ditimbulkan akibat BBLR dan
penyuluhan secara intensif kepada pasangan umur subur (PUS)
harus digalakan oleh petugas kesehatan agar proses kehamilan
124
dan persalinan dapat direncanakan sehingga faktor risiko pada
ibu hamil dapat dicegah.
c. Pemantauan status gizi ibu sebelum dan selama hamil perlu
dilakukan lebih intensif untuk mencegah terjadinya BBLR Hal
ini dapat dilakukan dengan mengadakan kegiatan kunjungan
rumah terhadap ibu hamil yang tidak rutin ke pelayanan
kesehatan, serta memberikan motivasi dan konseling.
7.1.2
Bagi Masyarakat
a. Ibu hamil maupun keluarga harus dapat mengenali tanda
bahaya kehamilan sehingga dapat menerapkan langkah-langkah
promotive dan preventive dengan petunjuk dari petugas
kesehatan untuk mencegah terjadinya komplikasi kehamilan
dan mengurangi risiko kelahiran BBLR.
b. Disarankan bagi ibu hamil agar menjalani kehamilan yang
sehat sehingga akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir
normal yaitu dengan menjaga pola makan dan aktivitas fisik
serta rajin melakukan kunjungan ANC (Ante Natal Care).
c. Disarankan bagi ibu hamil agar meminum suplemen zat besi
yang telah diberikan oleh puskesmas dan bagi keluarga agar
berperan aktif dalam melakukan pengawasan terhadap ibu
hamil dalam meminum suplemen zat besi.
125
7.1.3
Bagi Peneliti Lain
a. Bagi peneliti lain agar melakukan penelitian yang sama dengan
variabel yang lebih bervariasi dan mencakup data dari seluruh
fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik
bersalin dan praktek bidan swasta, sehingga dapat dieproleh
gambaran secara keseluruhan dimana hasil penelitian dapat
dimanfaatkan sebagai dasar untuk penyusunan rencana
(intervensi) strategis bagi Dinas Kesehatan Kota Tangerang
Selatan.
126
DAFTAR PUSTAKA
Albugis, Djamilah. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kekurangan Energi
Kronik (KEK) pada Ibu Hamil di Wilayah Puskesmas Jembatan Serong
Kecamatan Pancoran Mas Depok Jawa Barat. Depok: Program Sarjana
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Anwar, Bahri. 2004. Wanita Kehamilan dan Penyakit Jantung. Bagian Kardiologi
dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
Atriyanto, Primades. 2006. Pengaruh Kualitas Pelayanan Anternatal (Berdasarkan
Frekuensi Pelayanan, Jadwal Pelayanan, dan Konseling) Terhadap
Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Indonesia: Analisis Data
SDKI 2002-2003. Tesis. Depok: Program Pasca Sarjana Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan . 2010. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS). Jakarta : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Bambang. 2011. Solusi Penyakit Maagh Tanpa Mengobati. Diakses pada tanggal
4 juli 2014 dari
http://skp.unair.ac.id/repository/GuruIndonesia/SolusiPenyakitMaag_bam
bang_10186.pdf
Bisai, Samiran. 2003. Maternal Height As An Independent Risk Factor For
Neonatal Size Among Adolescent Bengalees In Kolkata, India. Ethiophian
Journal Of Health Science. 2010; 20(3): 153–158.
Budiman. 2011. Korelasi Antara Berat Badan Ibu Hamil dengan Berat Lahir Bayi
di RSUP dr. Kariadi. Semarang: Program Pendidikan Sarjana Kedokteran
Universitas Diponegoro.
CDC. 2011. Maternal Health Indicators. Diakses pada tanggal 27 Desember 2013
dari Http://Www.Cdc.Gov/Pednss/What_Is/Pnss_Health_Indicators.Htm
Chaitow, Leon. 2005. Asma and Hay Fever. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara.
Danusantoso, Halim, 2000. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Hipokrates
Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. 2014. Kehamilan Ganda (Lebih
dari Satu Janin Atau Multifetus).
Depkes RI. 2003. Program Penanggulangan Gizi pada Wanita Umur Subur
(WUS), Direktorat Gizi Masyarakat & Binkesmas. Jakarta : Departemen
kesehatan Republik Indonesia
127
Depkes RI. 2003. Penyakit Penyebab Kematian Bayi Baru Lahir (Neonatal) dan
Sistem Pelayanan Kesehatan Berkaitan di Indonesia. Jakarta: Departemen
kesehatan Republik Indonesia
Depkes RI, 2009. Kumpulan Buku Acuan Kesehatan Bayi Baru Lahir.
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2010. Profil Kesehatan Kota
Tangerang Selatan. Kota Tangerang Selatan
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2011. Profil Kesehatan Kota
Tangerang Selatan. Kota Tangerang Selatan
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2012. Profil Kesehatan Kota
Tangerang Selatan. Kota Tangerang Selatan
Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2013. Profil Kesehatan Kota
Tangerang Selatan. Kota Tangerang Selatan
Festy, Pipit. 2010. Analisis Faktor Risiko pada Kejadian Berat Badan Lahir
Rendah di Kabupaten Sumenep. Surabaya: Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Gopar, Adul. 2009. Kehamilan kembar. Di akses Pada Tanggal 11 April 2014 dari
http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/kehamilan-kembar.pdf
Haws, S Paulette. 2007. Asuhan Neonatus Rujukan Cepat. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Huwae, Irene Ratridewi, Putri, Awliyana Risla, Fitri, Loeki Enggar. 2012.
Hubungan Antara Infeksi Malaria pada Ibu Hamil dengan Kejadian Berat
Badan Lahir Rendah dan Kejadian Malaria Kongenital di Rumah Sakit
Umum Daerah Lewoleba Lembata. Malang: Universitas Brawijaya.
Junaidi, Iskandar. 2010. Penyakit Paru dan Saluran Napas. Jakarta : PT Bhuana
Ilmu Popular.
Kemar, Ratna Prihastuti. 2008. Hubungan Status Gizi Ibu Hamil Trisemster III
dengan Kejadian BBLR. Universitas Muhammadiyah Semarang.
Kramer. 1987. Determinants Of Low Birth Weight: Methodological Assessment
And Meta-Analysis. WHO: 1987;65(5):663-737.
Ladewig, W Patricia, Et All. 2005. Asuhan Keperawatan Ibu - Bayi Baru Lahir.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Lubis, RM. 2011. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Kelahiran Prematur.
Diakses
pada
tanggal
4
Maret
2014
dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25255/4/Chapter%20II.pf
128
Manuaba. 2010. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan KB untuk Pendidikan
Bidan. Jakarta : EGC
Manuaba, dkk. 2008. Buku ajar Patologi obstetri untuk Mahasiswa Kebidanan.
Jakarta : EGC
Maryunani, Anik. 2013. Asuhan Bayi Dengan Berat Badan Lahir Rendah. Jakarta:
Trans Info Media.
Muazizah. 2011. Hubungan Antara Kadar Hemoglobin Ibu Hamil Dengan Berat
Bayi Lahir di RS Permata Bunda Kabupaten Grobogan. Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Semarang.
Murti, Bisma. 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta : Gajah
Mada University Press.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta.
Nurfilaila. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya BBBLR Periode
Januari Sampai Desember 2012 Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Zainoel Abidin. Jurnal Karya Tulis Ilmiah: STIKKes Ubudiyah Banda
Aceh.
Oxorn H & Forte R William. 2010. Ilmu kebidanan: patologi & fisiologi
persalinan. Yogyakarta : yayasan essential medika (YEM).
Paul. 2012. Modul 5: Calculating Measures of Association.
Parhusip, Deliana.2010. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Tindakan Mencegah
dan Mengatasi Komplikasi Kehamilan Oleh Bidan Desa. Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Pelletier, Tiffany.2008. Long Term Effects of Low-Birth Weight. The Maternal
Substance Abuse And Child Development Project, Emory University
School Of Medicine, Department Of Psychiatry And Behavioral Sciences.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Pedoman Diagnosis
Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
dan
Pilliteri, Adele. 2002. Perawatan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Pramono & Muzakiroh. 2011. Pola Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah dan Faktor
yang Mempengaruhinya di Indonesia Tahun 2010. Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan. Vol. 14, No. 3, Juli, 2011.
Profil Kesehatan Indonesia. 2008. Jakarta : Departemen Kesehatan Epublik
Indonesia
129
Puji, Widiyastuti. 2009. Faktor-Faktor Risiko Ibu Hamil yang Berhubungan
dengan Kejadian BBLR Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Ampel I
Boyolali Tahun 2008. Skirpsi. Universitas Negeri Semarang.
Puspitasari, Cinde, Dkk. 2011. Hubungan Antara Kenaikan Berangt Badan
Selama Kehamilan dengan Berat Bayi Baru Lahir Di Wilayah Kerja
Puskesmas Rawalo Kabupaten Banyumas Tahun 2009-2010. Jurnal
Ilmiah Kebidanan, Vol. 2 No. 1 Edisi Juni 2011.
Rasyid, S Puspita, Dkk. 2012. Faktor Risiko Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah di
RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo Provinsi Gorontalo.
Jurnal Masyarakat Epidemiologi Indonesia. Volume 2 No. 2; Hal. 135.
Roeshadi, Haryono. 2004. Gangguan dan Penyulit dalam Masa Kehamilan.
Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan Fakultas Kedokteran
Unversitas Sumatera Utara.
Santoso, G.,2004, Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Jakarta,
Penerbit : Prestasi Pustaka.
Setianingrum, Susiana Iud Winanti. 2005. Hubungan Antara Kenaikan Berat
Badan, Lingkar Lengan Atas, dan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil
Trimester III dengan Berat Bayi Lahir di Puskesmas Ampel I Boyolali.
Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang.
Sinatra, M.T, Dkk. 2009. Perbedaan Prevalensi Anemia Defisiensi Besi pada
Perempuan Hamil di Daerah Pantai dan Pegunungan di Wilayah
Semarang. Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia. Volum 33, No 2. April
2009.
Simbolon, Demsa dan Aini, Nur. 2013. Kehamilan Umur Remaja Prakondisi
Dampak Status Gizi Terhadap Berat Lahir Bayi di Kabupaten Rejang
Lebong Propinsi Bengkulu. Program Sarjana Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Jember.
Subarkah & Yudarini. 2003. Hubungan Kondisi Sosial, Ekonomi dan Demografi
Rumah Tangga dengan Berat Lahir (Studi di Indramayu, Jawa Barat
(2001-2003). Tesis. Universitas Indonesia.
Sujoso, Dewi Prahastuti & Anita. 2011. Tempat Kerja dan Bahaya Reproduksi.
Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Jember.
Supriyono. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anemia Gizi Besi Pada
Tenaga Kerja Wanita di PT HM Sampoerna. Di akses pada tanggal 4
Maret
2014
dari
Http://Gizi.Depkes.Go.Id/WpContent/Uploads/2012/07/Hasil_-Supriyononakerwan.Pdf
Suriani, S. Oster. 2007. Hubungan Kualitas Pelayanan Antenatal Terhadap
Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah di Indonesia (Analisis Data Sekunder
130
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesi). Tesis. Fakultas Kesehatan
Masyrakat Universitas Indonesia.
Surtiati, eti. 2003. Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian
Bayi Berat Badan Lahir Rendah dalam Konteks Perawatan Maternitas di
Rumah Sakit Umum Palang Merah Indonesia Kota Bogor. Tesis. Depok:
Universitas Indonesia.
Susant. 2007. Confidence Intervals of Odds Ratio and Relative Risk. Diakses
pada
tanggal
12
April
2014
dari
http://www.biostat.umn.edu/~susant/Fall10ph6414/Lesson14_complete.pd
f
Trihardiani, ismi. 2011. Faktor Risiko Kejadian Berat Badan Lahir Rendah di
Wilayah Kerja Puskesmas Singkawang Timur Dan Utara Kota
Singkawang. Semarang: Program Sarjana Pendidikan Kedokteran
Universitas Diponegoro.
Yuliva, dkk. 2009. Hubungan Status Pekerjaan Ibu dengan Berat Lahir Bayi di
RSUP dr. M. Djamil Padang. Berita Kedokteran Masyarakat : Vol. 25, No.
2, Juni 2009
Wheeler, Linda. 2004. Asuhan Prenatal dan Pascapartum. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
WHO.2013. Care Of The Preterm And/Or Low-Birth-Weight Newborn. Diakses
pada tanggal 19 Desember 2013
dari
Http://Www.Who.Int/Maternal_Child_Adolescent/Topics/Newborn/Care_
Of_Preterm/En/
WHO.2011. Guidelines On Optimal Feeding Of Low Birth Weight Infants In LowAnd-Middle Income Countries.
WHO. 2004. Low Birth Weight.
WHO. 2007. Indoor Air Pollution From Solid Fuels And Risk Of Low Birth
Weight And Stillbirth.
Wiknyosastro, Hanifah. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono.
Wulandari, Ika Ratna. 2011. Hubungan Antara Berat Badan Ibu Hamil dengan
Berat Badan Bayi yang dilahirkan di Wilayah Puskesmas Brangsong I
Kendal. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Semarang.
131
OUTPUT SPSS
1. Umur Ibu
Umur Ibu * BB Bayi Crosstabulation
BB Bayi
0
Umur Ibu
0
1
Count
8
8
16
8.4%
4.2%
5.6%
87
182
269
91.6%
95.8%
94.4%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
% within BB Bayi
1
Count
% within BB Bayi
Total
Count
% within BB Bayi
Total
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
2.119a
1
.145
Continuity Correction
1.399
1
.237
Likelihood Ratio
2.004
1
.157
Pearson Chi-Square
b
Fisher's Exact Test
.174
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
2.112
b
1
.120
.146
285
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.33.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Lower
Upper
Odds Ratio for kat_umur (0/ 1)
2.092
.760
5.759
For cohort BB Bayi = 0
1.546
.919
2.599
For cohort BB Bayi= 1
.739
.450
1.215
N of Valid Cases
285
132
2. Tinggi Badan Ibu
Tinggi badan* BB Bayi Crosstabulation
BB Bayi
0
kat_tb
0
Count
2
8
6.3%
1.1%
2.8%
89
188
277
93.7%
98.9%
97.2%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
Count
% within BB Bayi
Total
Count
% within BB Bayi
Total
6
% within BB Bayi
1
1
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
6.431a
1
.011
Continuity Correctionb
4.646
1
.031
Likelihood Ratio
5.989
1
.014
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
.018
Linear-by-Linear Association
6.408
N of Valid Casesb
1
.018
.011
285
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.67.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Odds Ratio for kat_tb (.00 /
Lower
Upper
6.337
1.254
32.023
For cohort BB Bayi = .00
2.334
1.511
3.607
For cohort BB Bayi = 1.00
.368
.111
1.227
N of Valid Cases
285
1.00)
133
3. Penambahann Berat Badan Ibu
kat_bb_tambah * BB Bayi Crosstabulation
BB Bayi
0
kat_bb_tambah
0
Count
% within BB Bayi
1
Count
% within BB Bayi
Total
Count
% within BB Bayi
1
Total
38
77
115
40.0%
40.5%
40.4%
57
113
170
60.0%
59.5%
59.6%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
.007a
1
.932
Continuity Correction
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.007
1
.932
Pearson Chi-Square
b
Fisher's Exact Test
1.000
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
.007
b
1
.518
.932
285
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 38.33.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Odds Ratio for
Lower
Upper
.978
.592
1.617
For cohort BB Bayi = .00
.986
.705
1.378
For cohort BB Bayi = 1.00
1.007
.852
1.190
kat_bb_tambah (.00 / 1.00)
N of Valid Cases
285
134
4. Usia Kehamilan
kat_usia_hamil * BB Bayi Crosstabulation
BB Bayi
0
kat_usia_hamil
0
Count
% within BB Bayi
1
Count
% within BB Bayi
Total
Count
% within BB Bayi
1
Total
41
1
42
43.2%
.5%
14.7%
54
189
243
56.8%
99.5%
85.3%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
91.607a
1
.000
Continuity Correctionb
88.246
1
.000
Likelihood Ratio
95.925
1
.000
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
.000
Linear-by-Linear Association
N of Valid Cases
91.286
b
1
.000
.000
285
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Odds Ratio for kat_usia_hamil
Lower
Upper
143.500
19.292
1067.397
For cohort VAR00001 = .00
4.393
3.456
5.584
For cohort VAR00001 = 1.00
.031
.004
.213
N of Valid Cases
285
(.00 / 1.00)
135
5. Anemia pada Ibu
anemia * BB Bayi Crosstabulation
BB Bayi
0
anemia
0
Count
% within BB Bayi
1
21
52
32.6%
11.1%
18.2%
64
169
233
67.4%
88.9%
81.8%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
Count
% within BB Bayi
Total
31
Count
% within BB Bayi
Total
1
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
19.771a
1
.000
Continuity Correction
18.351
1
.000
Likelihood Ratio
18.720
1
.000
Pearson Chi-Square
b
Fisher's Exact Test
.000
Linear-by-Linear Association
19.701
N of Valid Casesb
1
.000
.000
285
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.33.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Odds Ratio for anemia (.00 /
Lower
Upper
3.898
2.088
7.277
For cohort bb bayi = .00
2.170
1.598
2.947
For cohort bb bayi= 1.00
.557
.396
.782
N of Valid Cases
285
1.00)
136
6. Pendidikan Ibu
kat_didik_bru * BB Bayi Crosstabulation
BB Bayi
0
kat_didik_bru
0
Count
% within BB Bayi
1
Total
84
122
40.0%
44.2%
42.8%
57
106
163
60.0%
55.8%
57.2%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
Count
% within BB Bayi
Total
38
Count
% within BB Bayi
1
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
Pearson Chi-Square
.459a
1
.498
Continuity Correctionb
.303
1
.582
Likelihood Ratio
.460
1
.498
Fisher's Exact Test
.527
Linear-by-Linear Association
.457
N of Valid Casesb
285
1
.292
.499
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 40.67.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Odds Ratio for kat_didik_bru
(.00 / 1.00)
For cohort BB Bayi= .00
For cohort BB Bayi = 1.00
N of Valid Cases
Lower
Upper
.841
.510
1.388
.891
.636
1.247
1.059
.899
1.248
285
137
7. Penyakit Ibu selama Kehamilan
Penyakit * BB Bayi Crosstab
BB Bayi
0
penyakit
0
Count
0
6
6.3%
.0%
2.1%
89
190
279
93.7%
100.0%
97.9%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
Count
% within BB Bayi
Total
Count
% within BB Bayi
Total
6
% within BB Bayi
1
1
8. Kehamilan Ganda
kat_janin * BB Bayi Crosstabulation
BB Bayi
0
kat_janin
0
Count
% within BB Bayi
1
Count
% within BB Bayi
Total
Count
% within BB Bayi
1
Total
17
0
17
17.9%
.0%
6.0%
78
190
268
82.1%
100.0%
94.0%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
138
9. Hipertensi
Hipertensi*BB Bayi Crosstab
BB bayi
0
VAR00004
0
1
Count
% within BB bayi
1
12
0
12
12.6%
.0%
4.2%
83
190
273
87.4%
100.0%
95.8%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
Count
% within BB bayi
Total
Count
% within BB bayi
Total
10. Pekerjan
Pekerjaan * BB Bayi Crosstabulation
BB Bayi
0
VAR00003
0
1
Count
% within BB Bayi
1
6
22
28
6.3%
11.6%
9.8%
89
168
257
93.7%
88.4%
90.2%
95
190
285
100.0%
100.0%
100.0%
Count
% within BB Bayi
Total
Count
% within BB Bayi
Total
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
1.980a
1
.159
Continuity Correction
1.431
1
.232
Likelihood Ratio
2.121
1
.145
Pearson Chi-Square
b
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
N of Valid Casesb
.206
1.973
1
.114
.160
285
139
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.33.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Odds Ratio for pekerjaan (.00 /
Lower
Upper
.515
.201
1.316
For cohort BB Bayi = .00
.619
.299
1.283
For cohort BB Bayi= 1.00
1.202
.971
1.487
1.00)
N of Valid Cases
285
11. KEK
KEK * BBLR Crosstabulation
kat_bblr
0
KEK
Count
%
tidak KEK
4
19
78.9%
21.1%
100.0%
80
186
266
30.1%
69.9%
100.0%
95
190
285
33.3%
66.7%
100.0%
Count
%
Total
15
Count
%
Total
1
Chi-Square Tests
Value
df
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
19.060a
1
.000
Continuity Correctionb
16.924
1
.000
Likelihood Ratio
17.938
1
.000
Pearson Chi-Square
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
N of Valid Casesb
.000
18.993
1
.000
.000
285
140
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.33.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Lower
Upper
Odds Ratio for KEK
8.719
2.806
27.089
For cohort kat_BB Bayi = .00
2.625
1.953
3.528
For cohort kat_BB Bayi= 1.00
.301
.126
.722
N of Valid Cases
285
141
142
143
144
145
146
147
148
Download