1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Insiden

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Insiden penyakit kardiovaskuler diperkirakan akan terus meningkat
dalam beberapa dekade ke depan seiring dengan bertambahnya usia harapan hidup
(Sasayama, 2008). Perubahan perilaku dan gaya hidup secara global seperti pola
makan yang tidak seimbang dan kurangnya aktivitas fisik, semakin meningkatkan
faktor risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler (Fuster & Kelly, 2010).
Menurut World Health Organization (WHO), jumlah kematian total akibat
penyakit kardiovaskular meningkat dari 14,4 juta pada tahun 1990 menjadi 17,5
juta pada tahun 2005, dan lebih dari 80% kematian terjadi di negara berkembang.
Angka ini diperkirakan akan terus meningkat mencapai 20 juta kematian pada
tahun 2015, atau sekitar 30% dari seluruh penyebab kematian di seluruh dunia
(Fuster & Kelly, 2010).
Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan angka prevalensi
penyakit kardiovaskular di Indonesia sekitar 0,9%, dengan angka tertinggi di
Provinsi Aceh, yaitu 2%, dan terendah di Sulawesi Barat, 0,4% (Soenardi et al.,
2012). Walaupun angka ini kecil tetapi Ditjen Pelayanan Medik Depkes RI, 2006,
menyebutkan bahwa penyakit kardiovaskular menempati posisi ke delapan
penyebab utama kematian di Rumah Sakit di Indonesia. Peringkat ini terus
meningkat setiap tahunnya (Ahmad, 2007). Data dari Sistem Informasi Rumah
Sakit (SIRS) tahun 2010-2011 menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskular
1
2
memiliki Case Fatality Rate (CFR) kedua tertinggi pada tahun 2009 dan
meningkat menjadi peringkat pertama pada tahun 2010. (Pusat Data dan Informasi
Kemenkes RI, 2012).
Defisiensi kalsitriol (1,25 dihydroxyvitamin D3) atau 25 hydroxyvitamin
D3 (25(OH)D3) dikaitkan dengan peningkatan faktor risiko terjadinya penyakit
kardiovaskular. Giovannuci et al. (2008) dalam penelitiannya menyebutkan
bahwa faktor risiko terjadinya infark miokard meningkat secara signifikan pada
penderita sindroma koroner berjenis kelamin laki-laki, yang disertai dengan
defisiensi 25(OH)D3. Pilz et al. (2008) juga menyebutkan bahwa rendahnya kadar
25(OH)D3 serum berkaitan dengan prognosis akhir yang buruk bagi penderita
payah jantung kongesti. Kadar serum 25(OH)D3 pada pasien payah jantung
kongesti ini, berkorelasi negatif dengan derajat klasifikasi gagal jantung menurut
New York Heart Association (NYHA). Scragg et al. (2010) menjelaskan bahwa
rendahnya kadar 25(OH)D3 serum berkaitan dengan peningkatan frekuensi denyut
jantung, peningkatan tekanan darah sistolik dan rate pressure product yang
menandakan adanya peningkatan beban kerja jantung.
Defisiensi 25(OH)D3 tidak hanya terjadi di daerah dengan intensitas sinar
matahari yang kurang (diatas garis lintang 37°), tetapi dapat juga terjadi di daerah
sub tropis dan tropis (dibawah garis lintang 37°). Prevalensi defisiensi 25(OH)D3
di Asia Selatan diperkirakan sekitar 70%, dan di Asia Tenggara angka ini
bervariasi antara 6-70% tergantung pada warna kulit, usia dan kebiasaan
menghindari paparan sinar matahari (Nimitphong & Holick, 2013). Angka ini
jauh lebih besar dari yang diduga karena adanya anggapan defisiensi 25(OH)D3
3
tidak mudah terjadi pada daerah-daerah yang mendapat sinar matahari dengan
intensitas yang cukup tinggi (Nimitphong & Holick, 2013).
Varian makanan yang mengandung vitamin D sangat sedikit. Vitamin D
terkandung dalam ikan salmon, mackerel, herring, atau minyak ikan kod. Sumber
vitamin D terbesar terdapat di tubuh manusia dan untuk mengkonversinya
menjadi bentuk aktif dibutuhkan bantuan sinar ultra violet B (UVB) (Holick &
Chen, 2008). Konversi provitamin D (7-dehydrocholesterol) menjadi vitamin D3
(cholecalciferol) terjadi di epitel epidermis. Salah satu penyebab terjadinya
defisiensi cholecalciferol adalah bila ada hambatan dalam transmisi radiasi UVB
ke permukaan bumi ataupun yang menghalangi penetrasi UVB ke kulit (Holick &
Chen, 2008).
Faktor yang mengurangi sintesis 25(OH)D3 di kulit, diantaranya
pigmentasi kulit, proses penuaan, dan kebiasaan menghindar dari paparan
matahari langsung (pemakaian sun screen, pakaian yang menutup seluruh tubuh,
berlindung di bawah atap ataupun di dalam mobil dengan jendela tertutup)
(Nimitphong & Holick, 2013; Turnbull et al., 2005). Melanin dan sun screen
sangat efektif mengabsorpsi UVB sehingga sintesis 25(OH)D3 yang terjadi
menjadi sangat sedikit (Holick & Chen, 2008). Pada proses penuaan, prekursor
25(OH)D3 (7-dehydrocholesterol) mengalami penurunan jumlah yang signifikan.
Seseorang
yang
berusia
70
tahun
dapat
mengalami
penurunan
7-
dehydrocholesterol hingga kadarnya hanya 25% dari kadar normal. Hal ini akan
mengurangi sintesis 25(OH)D3 sampai dengan 75% (Holick & Chen, 2008).
Faktor lain yang mempengaruhi kadar 25(OH)D3 serum adalah massa lemak
4
tubuh. Cholecalciferol bersifat larut lemak dan disimpan di dalam sel lemak
(Blum et al., 2008; Holick, 2003). Seseorang dengan obesitas akan mengalami
sekuestrasi (penyimpanan) cholecalciferol yang lebih besar di dalam lemak,
akibatnya kadar 25(OH)D3 serum menjadi lebih rendah dibandingkan dengan
seseorang dengan berat normal (Holick & Chen, 2008).
Bentuk vitamin D yang terlibat dalam fungsi kardiovaskuler adalah
bentuk metabolit aktifnya, yaitu kalsitriol (Ross et al., 2011). Efek biologis
kalsitriol terjadi melalui interaksinya dengan reseptor vitamin D (VDR), yang
masih tergolong superfamili reseptor inti hormon steroid (Ün et al., 2013; Ross et
al., 2011). Penemuan pada akhir 1970 menunjukkan bahwa VDR tidak hanya
ditemukan di enterosit usus, tubulus distal ginjal ataupun osteoblas tulang, tetapi
juga di jaringan lain seperti sel islet pankreas, keratinosit kulit, kelenjar paratiroid,
bahkan di limfosit T (Jones et al., 1998). VDR juga terdapat di seluruh sistem
kardiovaskular baik jantung maupun pembuluh darah, dan di jantung,VDR ini
terdapat baik di kardiomiosit maupun fibroblast (Gardner et al. 2013; Chen et al.
2008). Tishkoff et al. (2008), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa VDR
dijumpai di tubulus T kardiomiosit tikus dewasa dan berperan dalam transduksi
sinyal.
Kalsitriol berperan pada jalur konduksi sinyal dan kontraksi miokardium,
serta penting untuk mempertahankan fungsi diastolik (Zhao & Simpson, 2010;
Green et al., 2006). Pengaruh kalsitriol terhadap proses transduksi sinyal antara
lain; regulasi influks kalsium, pelepasan kalsium cadangan intraseluler dari
retikulum sarkoplasma, modulasi adenilat siklase, fosfolipase C dan aktivitas
5
protein kinase serta perubahan status fosforilasi protein seluler seperti
phospholamban dan troponin I (Ün et al., 2013; Tishkoff et al., 2008; Green et al.,
2006). Fosforilasi protein ini terlibat langsung dalam regulasi kontraksi dan
relaksasi serta metabolisme kardiomiosit (Rapundalo, 1998).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa peningkatan fosforilasi cardiac
troponin I (TnI) berkaitan dengan peningkatan kekuatan kontraksi otot jantung
(Rapundalo, 1998), akan tetapi mekanisme terjadinya proses ini masih
diperdebatkan. Solaro et al. (2008) menyebutkan bahwa fosforilasi TnI
menyebabkan interaksi antara regio inhibitorik TnI dengan aktin menjadi lemah
sehingga memungkinkan terbentuknya crossbridge dan terjadinya kontraksi.
Sebaliknya, Ward et al. (2002) menyebutkan bahwa fosforilasi PKA pada
Ser23/24 TnI akan mengubah konformasi TnI yang akan memperlemah
interaksinya dengan cardiac troponin C (cTnC). Akibatnya, afinitas cTnC
terhadap Ca2+ menurun, Ca2+ terlepas dari cTnC dan mempercepat terjadinya
relaksasi.
Fosforilasi troponin I diperantarai oleh protein kinase A (PKA) maupun
protein kinase C (PKC) (Rapundalo, 1998). Santilan et al. (1999) pada
penelitiannya menggunakan kultur kardiomiosit embrio ayam mendapatkan
bahwa efek non genomik kalsitriol terhadap influks kalsium otot jantung
melibatkan modulasi jalur adenilat siklase/cAMP/PKA yang sensitif beta
adrenergik (melalui ikatan dengan Protein Gs). Santillán & Boland (1998) juga
mengemukakan bahwa peningkatan kadar cyclic adenosine monophosphate
(cAMP) yang terjadi akibat pemberian kalsitriol (1,25(OH)2D3) pada kultur
6
kardiomiosit embrio ayam, berkorelasi positif dengan konsentrasi kalsitriol yang
diberikan. Pada penelitian tersebut didapatkan pula aktivasi jalur cAMP/PKA
dapat memperantarai stimulasi fosforilasi protein.
Berbeda dengan penelitian sebelumnya, Green et al. (2006) menjelaskan
bahwa pemberian kalsitriol (1α,25(OH)2D3) pada kultur kardiomiosit tikus dewasa
secara langsung memodulasi fungsi kontraktilitas dan percepatan relaksasi
kardiomiosit melalui aktivasi PKC. Efek modulasi ini berkorelasi positif dengan
fosforilasi phospholamban dan TnI pada pemberian akut (1 jam) akan tetapi tidak
pada pemberian kronik (2 hari).
Berdasarkan berbagai penelitian yang telah disebutkan, diketahui
kalsitriol mempunyai peran penting dalam fungsi sel dan metabolisme, khususnya
dalam transduksi sinyal dan kontraksi kardiomiosit. Walau demikian aksi
kalsitriol terhadap kontraktilitas kardiomiosit belum sepenuhnya dapat dijelaskan
dan diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi jalur aksi kalsitriol
tersebut. Penggunaan metode isolasi dan kultur sel dipilih karena dapat
meminimalisasi faktor lain yang mempengaruhi (confounding factors) dan
pengukuran rapid response (respon cepat) dari kalsitriol dapat dilakukan secara
langsung setelah inkubasi kalsitriol selama 5 menit.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diketahui kalsitriol memiliki peran
penting dalam transduksi sinyal dan kontraktilitas kardiomiosit. Salah satu
mekanisme transduksi sinyal dan regulasi kontraktilitas kardiomiosit adalah
7
melalui fosforilasi TnI yang diperantarai oleh cAMP/PKA. Berdasarkan data
tersebut muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah fosforilasi TnI kardiomiosit setelah inkubasi kalsitriol meningkat
dan berkorelasi positif terhadap konsentrasi kalsitriol yang diberikan?
2. Apakah kadar cAMP kardiomiosit setelah inkubasi kalsitriol meningkat dan
berkorelasi positif terhadap konsentrasi kalsitriol yang diberikan?
3. Apakah peningkatan fosforilasi TnI berkorelasi positif dengan peningkatan
kadar cAMP pada kardiomiosit yang telah diinkubasi kalsitriol?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum:
Untuk mempelajari efek inkubasi kalsitriol terhadap peningkatan fosforilasi TnI
pada kultur kardiomiosit tikus sebagai parameter kemampuan kontraksi
kardiomiosit serta jalur mekanisme aksinya yang melalui cAMP.
Tujuan Khusus:
1. Untuk mengkaji peningkatan fosforilasi TnI pada kultur kardiomiosit yang
diinkubasi kalsitriol dan korelasinya terhadap konsentrasi kalsitriol yang
diberikan
2. Untuk mengkaji peningkatan kadar cAMP pada kultur kardiomiosit yang
diinkubasi kalsitriol dan korelasinya terhadap konsentrasi kalsitriol yang
diberikan
8
3. Untuk mengkaji korelasi antara peningkatan fosforilasi TnI dengan
peningkatan kadar cAMP pada kultur kardiomiosit yang diinkubasi
kalsitriol
1.4
Keaslian Penelitian
Belum banyak penelitian yang mengkaji tentang efek pemberian
kalsitriol terhadap fosforilasi TnI sebagai indikator kekuatan kontraksi
kardiomiosit terutama kaitannya dengan kadar cAMP. Beberapa penelitian yang
berkaitan dengan efek pemberian kalsitriol yang telah dilakukan antara lain:
1. Scragg et al. (2010), melakukan penelitian dengan rancangan cross sectional
survey terhadap 27.153 partisipan berusia diatas 20 tahun dan mendapatkan
bahwa rendahnya kadar 25(OH)D3 serum berkaitan dengan peningkatan
frekuensi denyut jantung, peningkatan tekanan darah sistolik dan rate pressure
product yang menandakan adanya peningkatan beban kerja jantung.
2. Green et al.(2006), menjelaskan bahwa pemberian kalsitriol (1α,25 (OH)2 D3)
secara langsung memodulasi fungsi kontraktilitas dan percepatan relaksasi
kultur kardiomiosit tikus dewasa melalui aktivasi protein kinase C; efek ini
berkorelasi positif dengan fosforilasi phospholamban dan troponin I pada
pemberian akut (1 jam) akan tetapi tidak pada pemberian kronik (2 hari).
3. Santilan, et al.(1999) dalam penelitiannya menggunakan kultur kardiomiosit
embrio ayam menjelaskan bahwa efek non genomik kalsitriol terhadap influks
kalsium otot jantung melibatkan modulasi jalur adenilat siklase/cAMP/PKA
sensitif beta adrenergik yang berikatan dengan Protein Gs.
9
4. Santillán dan Boland (1998), menyebutkan bahwa kalsitriol (1,25(OH)2D3)
meningkatkan kadar cAMP seluler sebanding dengan konsentrasi yang
diberikan, dan aktivasi jalur cAMP/PKA ini memperantarai stimulasi
fosforilasi protein pada kardiomiosit ayam.
5. Dalam penelitian ini, kajian efek pemberian kalsitriol ditinjau dari jalur
aktivasi cAMP/PKA, dan dikaitkan dengan tingkat fosforilasi TnI sebagai
indikator untuk menilai kontraksi dan relaksasi kardiomiosit.
1.5
Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis:
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi tentang peran kalsitriol
dan mekanisme aksinya dalam regulasi kontraksi kardiomiosit.
Manfaat Praktis:
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi praktisi kesehatan
dan masyarakat tentang peran kalsitriol dalam fungsi kontraktilitas kardiomiosit
dalam
rangka
menurunkan
risiko
morbiditas
dan
mortalitas
penyakit
kardiovaskular, khususnya yang berkaitan dengan penurunan kemampuan
kontraktilitas jantung.
Download