Pertanggungjawaban Direksi Berkaitan dengan Bussiness

advertisement
BAB II
TINJAUAN TERHADAP PERTANGGUNGJAWAB DIREKSI
BERKAITAN DENGAN BUSINESS JUDGEMENT RULE
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN
2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS
A. Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas merupakan perusahaan yang oleh undang-undang
dinyatakan sebagai perusahaan yang berbadan hukum. Dengan status yang
demikian itu, PT menjadi subyek hukum yang menjadi pendukung hak dan
kewajiban, sebagai badan hukum. Hal ini berarti PT dapat melakukan
perbuatan-perbuatan hukum seperti seorang manusia dan dapat pula
mempunyai kekayaan atau utang (ia bertindak dengan perantaraan
pengurusnya).
Sebelum Undang-Undang Perseroan Terbatas dilahirkan, di negara
kita berlaku peraturan perseroan terbatas yang berasal dari jaman kolonial.
Peraturan tersebut sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel Staatsblad 1847-23) dalam
Buku Kesatu Titel Ketiga Bagian Ketiga Pasal 36 sampai dengan Pasal 56,
yang perubahannya dilakukan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun
1971. Disamping itu masih terdapat pula badan hukum lain sebagaimana
diatur dalam Maskapai Andil Indonesia (Ordonnantie op de Indonesische
Maatschappij op Aandelen, Staatsblad 1939-569 jo 717).24
Kedua peraturan ini dirasakan sudah tidak sesuai dengan tuntutan
jaman dan untuk memenuhi kebutuhan hukum baru yang dapat lebih
24
Gatot Supramono, Hukum Perseroan Terbatas, Djambatan, Jakarta, 2007, h.1.
18
19
memacu pembangunan nasional, terutama menghadapi era globalisasi.
Kemudian lahirlah UUPT yang merupakan produk negara Indonesia
sendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, yang lebih lanjut
akan diuraikan di bawah ini:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan
Terbatas:25
Salah satu pertimbangan lahirnya Undang-undang ini
adalah dalam rangka menciptakan kesatuan hukum, untuk
memenuhi kebutuhan hukum baru yang dapat lebih memacu
pembangunan nasional, serta untuk menjamin kepastian dan
penegakan hukum. Materi hukum yang diperlukan dalam
menunjang pembangunan ekonomi adalah ketentuan-ketentuan
di bidang Perseroan Terbatas yang menggantikan ketentuan
hukum yang peninggalan zaman kolonial.
Dengan lahirnya Undang-undang ini diharapkan Perseroan
Terbatas dapat menjadi salah satu pilar pembangunan ekonomi
nasional yang berasaskan kekeluargaan menurut dasar-dasar
demokrasi ekonomi sebagai perwujudan dari Pancasila dan
Undang-Undang Dasar, Ketentuan tentang Perseroan Terbatas
yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang
sudah tidak lagi dapat mengikuti dan memenuhi kebutuhan
perkembangan perekonomian dan dunia usaha yang sangat
20
26
pesat saat ini, Oleh karena itu dibutuhkan kebijaksanaan baru,
misalnya dalam hal devisa, bantuan luar negeri, penanaman
modal asing peningkatan kerjasama international, sistem
perbankan, pasar modal, dan lain sebagainya.
Dengan diundangkannya Undang-undang nomor 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas, maka Buku Kesatu Titel
Ketiga Bagian Ketiga Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang yang mengatur mengenai
Perseroan Terbatas berikut segala perubahannya, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1971, dinyatakan
tidak berlaku lagi. Hal ini termuat dalam Ketentuan Penutup,
Pasal 128 UUPT Nomor 1 Tahun 1995.
2. Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan
Terbatas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas, yang menggantikan peraturan perundang-undangan
yang berasal dari Zaman Kolonial sebagaimanadiuraikan di
atas, hanya berlaku dalam kurun waktu 12 tahun. Karena
Undang-Undang tersebut dipandang tidak lagi memenuhi
perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena
keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan informasi sudah berkembang begitu pesat, khususnya pada
21
era
globalisasi.
Disamping itu, meningkatnya
tuntutan
masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum, serta
tuntutan akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan
prinsip pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate
governance) menuntut penyempurnaan UUPT nomor 1 tahun
1995.
Salah satu perbedaan yang cukup menonjol antara UUPT ini dengan
peraturan yang digantikannya (UU nomor 1 tahun 1995) adalah adanya
ketentuan mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL)
dalam UUPT. Pencantuman TJSL sebagai suatu syarat yang diwajibkan
bagi perseroan sebenarnya merupakan hal yang tidak lazim mengingat
konsep Corporate Social Responsibility (CSR) konsep yang diadaptasi
menjadi TJSL dalam UUPT bukanlah ketentuan yang mandatory dalam
ketentuan tentang perseroan di negara lain.
Di satu sisi, penerapan syarat Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
(ditambah ketentuan sanksi atas pelanggarannya) dalam Undang-undang
Perseroan Terbatas dapat menjadi sarana penekan bagi para pemodal yang
selama ini dikenal nakal dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Namun di
sisi lain, golongan pengusaha yang selama ini disiplin menerapkan CSR
akan merasa kehilangan nilai kesukarelaan dalam setiap aktivitas CSR
mereka.
Perubahan
Undang-Undang
Perseroan
Terbatas
membawa
konsekuensi bahwa para pelaku usaha harus menyesuaikan anggaran dasar
perseroannya dengan UUPT tersebut, selain itu semua organ perseroan
22
juga harus mengikuti ketentuan dalam UUPT. Perseroan pada hakekatnya
adalah badan hukum/subyek hukum mandiri dan wadah perwujudan
kerjasama para pemegang saham (persekutuan modal). Kenyataan tersebut
berakibat bahwa demi kelangsungan keberadaannya Perseroan mutlak
membutuhkan organ, yaitu:
1. RUPS, dimana para pemilik modal sebagai pihak yang berwenang
sepenuhnya untuk menentukan kepada siapa akan mereka
percayakan pengurusan perseroan.
2. Direksi, yang oleh UUPT ditugaskan mengurus dan mewakili
Perseroan
3. Komisaris, yang oleh UUPT ditugaskan untuk melakukan
pengawasan serta memberi nasehat kepada Direksi.
Memperhatikan keadaan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa
keputusan-keputusan yang menyangkut Perubahan UUPT juga membawa
beberapa perubahan mengenai Organ Perseroan sebagaimana diatur dalam
perundangan sebelumnya, yaitu mengenai :
1. Kedudukan RUPS bukan lagi sebagai organ tertinggi dalam suatu
Perseroan.
2. Adanya Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
3. Adanya Direksi Independence
4. Komisaris tidak boleh bertindak sendiri-sendiri, melainkan harus
bersama-sama.
5. Adanya Dewan Syariah.
6. Konsep Pemisahan Menurut UUPT
23
Organ Perseroan Terbatas adalah Rapat Umum Pemegang Saham,
Direksi, dan Komisaris. Yang membedakan antara UUPT Nomor 1 Tahun
1995 dan UUPT Nomor 40 Tahun 2007 tentang organ perseroan adalah:
bahwa dalam UUPT yang baru tidak lagi mengatakan Rapat Umum
Pemegang Saham sebagai organ perseroan yang tertinggi. Hal ini termuat
dalam pasal 1 butir 4 UUPT baru yang berbunyi:
“Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS,
adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak
diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar”.
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
telah memiliki aturan-aturan yang tegas mengatur mengenai
kewenangan masingmasing organ yang ada dalam perseroan terbatas,
yaitu RUPS, direksi, dan dewan komisaris, sebagai berikut:
1. Pasal 75 ayat (1) UUPT mengatur mengenai kewenangan RUPS
dimana dijelaskan bahwa RUPS mempunyai wewenang yang
tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris.
2. Pasal 92 ayat (1) UUPT mengatur mengenai kewenangan
direksi,
dimana
dikatakan
bahwa
direksi
menjalankan
pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai
dengan maksud dan tujuan Perseroan. Selanjutnya dalam Pasal
97 ayat (1) UUPT juga diberikan penjelasan lebih lanjut bahwa
direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan.
24
3. Pasal 108 ayat(1) UUPT mengatur mengenai kewenangan
dewan komisaris di mana disebutkan bahwa dewan komisaris
melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya
pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun
usaha Perseroan, dan memberikan nasihat kepada direksi. Dalam
Pasal 114 ayat (1) UUPT menegaskan kembali bahwa dewan
komisaris bertanggung jawab atas pengawasan perseroan.
Undang-undang No. 1 tahun 1995 merupakan undang-undang yang
secara fundamental melakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 36 –
56 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Perubahan yang
sifatnya fundamental tersebut dapat dimengerti, oleh karena Pasal 36 – 56
KUHD telah diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi
sejak tahun 1848. Sementara kalau dirunut kebelakang lagi, aturan tersebut
telah diberlakukan di Belanda beberapa tahun sebelumnya. Sehingga,
substansi yang dinormakan dalam pasal-pasal tersebut telah banyak
mengalami perubahan.
Apabila dicermati karakter perubahan aturan tentang PT pada tahun
1995 tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut (Fuady, 1999 : 1-16) :
1. mengambil alih prinsip-prinsip yang diatur dalam KUHD sepanjang
mengatur mengenai PT melalui reformulasi ke dalam pasal-pasal
dalam UU No. 1 tahun 1995.
2. Mengkodifikasikan kebiasaan yang telah dikenal dan diikuti dalam
praksis bisnis.
25
3. Menstranplantasikan doktrin-doktrin hukum korporasi dari negaranegara lain, khususnya yang menganut common law system.
Salah satu argumet yang terkemuka adalah sistem hukum di
negara-negara ini lebih memungkinkan berkembangnya doktrin
hukum yang dihasilkan dari pertelingkahan praksis hukum dan
praksis ekonomi. Kondisi ini disuburkan (fertilized) oleh karakter
sistem hukum dan budaya yang secara teguh memberikan
perlindungan terhadap individualisme, serta lembaga pendidikan
tinggi hukum yang memberikan tempat terhadap pemikiranpemikiran yang kontroversial dan bersifat terbuka terhadap
pemikiran-pemikiran multidisiplin (Schmidt and Brun, 2006).
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 telah berhasil meletakkan
dasar-dasar pengaturan Perseroan Terbatas yang pada dasarnya merupakan
lex generalis. Sementara itu untuk memahami PT secara lebih
komprehensif perlu juga difahamkan lex specialis-nya, yang antara lain
adalah UU Pasar Modal, UU Perbankan, UU Pertambangan, UU
Kehutanan, dll. Asas hukum yang membingkai keterhubungan diantara
dua kelompok hokum tersebut adalah lex specialis derogate lex generalis
(hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum).
Beberapa prinsip pengaturan PT yang diletakkan melalui UU No. 1
tahun 1995 adalah :
1. Ditransplantasikannya doktrin-doktrin hukum yang mengatur
keterhubungan antar aktor lapis pertama dalam PT, yang meliputi :
26
a. Doktrin Piercing the Corporate Veil atau Lifting the
Corporate Veil
b. Doktrin Ultravires yang merupakan tindak lanjut dari
doktrin Intravires.
c. Doktrin Corporate Opportunity
d. Doktrin Minority Shareholders Protection
e. Doktrin Business Judgment atau Business Judgment rule
f. Doktrin Derivative Action atau Derivative Suit
g. Doktrin Self Dealing
h. Doktrin Fiduciary Duty
Namun demikian dari doktrin-doktrin yang ditransplantasikan
tersebut harus diakui ada doktrin yang transplantasikannya dilakukan
secara jelas dan terang-terangan–sekalipun tidak mengadopsi istilah.
Misalnya, doktrin piercing the corporate veil, doktrin derivative action
dan doktrin business judgment, serta doktrin minority shareholders
protection. Sedang sisanya tidak dirumuskan secara jelas atau secara
abu-abu (Budiyono, 2006).
2. Penegasan tentang proses pendirian, pendaftaran, dan pengumuman
Perseroan Terbatas. Beberapa persoalan penting yang dapat dicermati
dari pengaturan ini adalah :
a. Penegasan dianutnya teori perjanjian baik pada saat PT
didirikan maupun setelah PT memperoleh status sebagai
badan hukum.
27
b. Penegasan regime waktu proses pendirian PT dalam rangka
memberikan perlindungan terhadap pemohon.
c. Penegasan tentang kewajiban direksi untuk melakukan
proses pendaftaran dan pengumuman PT, diikuti dengan
sanksi hukum.
3. Permodalan untuk mendirikan PT sebagai lex generalis yang
menentukan modal dasar (statute capital) minimalnya Rp.
20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
4. Saham PT, yang meliputi pengaturan tentang nominal saham,
pecahan saham dan gadai saham.
5. Pengaturan tentang Laporan Tahunan Perseroan.
6. Kombinasi Usaha, yang meliputi Penggabungan (merger),
pengambilalihan (aquisisi) dan peleburan (konsolidasi).
Pengaturan Perseroan Terbatas sebagai bentuk usaha sebagaimana
dituangkan dalam Undang-undang nomor. 1 tahun 1995 telah mampu
meletakkan dasar-dasar perusahaan yang memiliki tingkat harmonisasi
yang jauh lebih tinggi terhadap hokum perusahaan (corporate law) di
negara-negara lain. Dari sisi yang lain, harmonisasi hokum dalam bidang
perusahaan ini dapat lebih mendekatkan perusahaan-perusahaan dalam
“pergaulan” ekonomi dunia. Mengacu pada pendapat Simon dan Spitzer
(1980 : 129-130) reformasi hukum merupakan syarat fungsional dari
industrialisasi di Negara-negara sedang berkembang. Namun demikian,
UU No. 1 tahun 1995 juga meninggalkan ketidak jelasan, kekaburan
28
perumusan dan kekosongan hukum yang menimbulkan permasalahan pada
aras implementasi.27
1. Kewenangan Direksi Perseroan Terbatas
Berdasarkan Pasal 1 angka (5) Undang- Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa pengertian
Direksi dalam Perseroan Terbatas adalah organ Perseroan yang
berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan
untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan anggaran dasar.
Sebagaimana disebutkan dalam pengertian direksi di atas, maka
kewenangan direksi adalah sebagai berikut:
a. Salah satu organ Persoran yang memiliki kewenangan penuh
atas pengurusan dan hal-hal terkait kepentingan Perseroan
sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
b. Mewakili Perseroan untuk melakukan perbuatan hukum baik di
dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
UUPT and anggaran dasar.
Kewenangan direksi untuk mewakili Perseroan bersifat tidak terbatas
dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang nomor
27
Tri Budiyono, “Perseroan Terbatas Dalam Pergeseran Jaman”, http://trb-hukumekonomi.blogspot.com/2008/05/perseroan-terbatas-dalam-pergeseran.html,
dikunjungi
pada
tanggal 28 Mei 2014 pukul 14.09.
29
40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, anggaran dasar atau keputusan
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dalam hal anggota direksi terdiri
lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah
setiap anggota direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar.
Maksud dari pengecualian ini adalah agar anggaran dasar dapat
menentukan bahwa Perseroan dapat diwakili oleh anggota direksi tertentu
sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UUPT.
Menurut Pasal 99 Undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, kewenangan direksi dalam mewakili Perseroan bukan
berarti tidak ada pembatasan. Namun, dalam hal tertentu direksi tidak
berwenang mewakili Perseroan apabila:
a. Dalam hal terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan
dengan anggota direksi yang bersangkutan; atau
b. Anggota direksi yang bersangkutan mempunyai benturan
kepentingan dengan Perseroan.
Jika terjadi kondisi seperti demikian, maka Perseroan dapat diwakili
oleh:
1) Anggota direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan
kepentingan dengan Perseroan;
2) Dewan
komisaris
dalam
hal
seluruh
anggota
direksi
mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan; atau
30
3) Pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh anggota
direksi atau dewan komisaris mempunyai benturan kepentingan
dengan Perseroan.
Oleh karena itu, kewenangan yang diberikan kepada Direksi sebagai
organ yang dipercaya mampu menjalankan perseroan tidak boleh
melampaui batas kewenangan yang telah ditetapkan dalam UndangUndang maupun anggaran dasar, dalam hal terdapat suatu tindakan yang
dibutuhkan untuk kepentingan perseroan namun tindakan tersebut dibatasi
oleh anggaran dasar, perseroan dapat memberikan kewenangan kepada
Direksi melakukan tindakan tersebut dengan meratifikasi tindakan tersebut
di dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
Dengan demikian, mengutip pandangan Fred Tumbuan, maka suatu
perbuatan hukum berada di luar maksud dan tujuan perseroan apabila
terpenuhi salah satu atau lebih kriteria di bawah ini:
a. Perbuatan hukum yang bersangkutan secara tegas dilarang oleh
anggaran dasar.
b. Dengan memerhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuatan
hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan akan menunjang
kegiatan-kegiatan yang disebut dalam anggaran dasar.
c. Dengan memerhatikan keadaan-keadaan khusus, perbuataan
hukum yang bersangkutan tidak dapat diartikan sebagai tertuju
pada kepentingan perseroan
31
B. Business Judgement Rule atau Doktrin Putusan Bisnis
Doktrin ini dikenal dengan nama Business Judgement Rule. Agak
berbeda dengan doktrin-doktrin lain yang berkaitan dengan posisi direksi,
yang cenderung memperlemah atau menuntut pertanggungjawaban,
doktrin ini secara teoritis justru memperkuat posisi direksi. 28 Robert W.
Hamilton29 memberikan pengertian business judgement rule sebagai: “that
decisions made by the board of director upon reasonable information and
with some rationality do not give rise the directoral liability even if they
turn out badly or disastrously from the stand point of the corporation.”30
Sedang Robert Charles Clark31 memberikan pengertian business
judgement rule sebagai berikut: “a presumption that in making a business
decision, the directors of corporation acted on an informed basis in good
faith and in the honest belief that the action was taken in the best interest
of the company.” Implikasi yuridis dari putusan atau transaksi yang
dilakukan oleh direksi, adalah sah dan mengikat terhadap perseroan.
Kualifikasi terhadap suatu transaksi yang dapat dikategorikan dalam
doktrin ini adalah, tidak mengandung unsur benturan kepentingan (conflict
of interest) atau berkaitan dengan self dealing transactions.32
Dari ketentuan tersebut dapat kita simpulkan:
28
Tri Budiyono, Op.Cit., h. 190.
Robert Charles Clark dalam Tri Budiyono, Ibid., h. 124.Hamilton, Robert W., The Law of
Corporation (in a nutshell), West Publishing, United States, 1996, h. 385.
30
"Bahwa keputusan yang dibuat oleh dewan direktur pada informasi yang wajar dan dengan
rasional tidak mewajiban direktur bertanggungjawab bahkan jika mereka berubah buruk atau
malapetaka berdirinya korporasi."
31
Robert Charles Clark dalam Tri Budiyono, Op. Cit., h. 190.
32
Ibid.,
29
32
1. Bahwa perseroan merupakan subyek hukum mandiri yang
terpisah dari pribadi para pemegang sahamnya, bertindak atas
nama dan untuk kepentingannya dan bertanggung jawab sendiri
terhadap tindakannya tersebut.
2. Para pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi
atas segala perikatan yang dibuat oleh perseroan atas nama
perseroan.
4. Para pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kerugian
yang terjadi terhadap perseroan melebihi nilai saham yang
dimilikinya.
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa pemegang saham, pada
prinsipnya tidak bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan
yang dibuat atas nama perseroan juga atas kerugian yang dialami oleh
perseroan. Tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas modal yang
disetorkannya kepada perseroan. Timbulnya prinsip tanggung jawab
terbatas berkaitan erat dengan didapatnya status perseroan sebagai badan
hukum. Sebelum perseroan menjadi badan hukum, maka sesuai dengan
Pasal 39 KUHD , masing-masing pengurusnya bertanggung jawab secara
pribadi untuk keseluruhan.33 Hal ini juga berlaku bagi pemegang saham,
seperti yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2), yang menentukan bilamana
persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum terpenuhi, makan
33
H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesian-Bentuk-Bentuk
Perusahaan, Djambatan, Jakarta, 1980, h. 102.
33
ketentuan mengenai tanggung jawab pemegang saham yang hanya terbatas
pada besarnya nilai saham yang disetorkan tidaklah berlaku.34
Tanggung jawab terbatas memberikan tabir perlindungan bagi setiap
pemegang saham, sehingga terlepas dari tuntutan pihak ketiga yang timbul
atas kontrak atau perikatan yang dilakukan oleh perseroan.35 Harta benda
pribadi milik pemegang saham tidak dapat disita atau digugat untuk
dibebankan tanggung jawab perseroan tersebut.36 Bagi perseroan yang
berbentuk badan hukum seperti perseroan terbatas, koperasi, dan lain-lain,
maka secara hukum prinsipnya harta bendanya terpisah dari harta benda
pendirinya/pemiliknya. Karena itu, tanggung jawab secara hukum juga
dipisahkan dari harta benda pribadi pemilik perusahaan yang berbentuk
badan hukum tersebut.37
1. Latar Belakang Business Judgement Rule
Business Judgement Rule merupakan suatu doktrin dari hukum
korporasi, sudah diterapkan sejak 170 tahun yang lalu di Amerika
Serikat dan telah memainkan peranan yang sangat penting dalam
perusahaan dan dalam kasus-kasus bisnis. Berawal tahun 1829, di
Supreme Court Louisiana dalam Sistem common law di Amerika.
Dalam tahun 1853, Supreme Court Rhode Island menyatakan doktrin
34
Lihat Pasal 3 ayat (2) UUPT
M.Yahya Harahap, Op. Cit., h. 75.
36
Munir Fuady, Op. Cit., h. 3.
37
Ibid., h. 2-3.
35
34
ini sebagai berikut:38 “We think a board of directors acting in good
faith and with reasonable care and diligence, who nevertheless falls
into a mistake, either as to law or fact, is not liable for a consequence
of such mistake.”39
Di dalam sistem hukum asalnya40 Business Judgement Rule
disebutkan sebagai berikut: “Business judgment rule is a specific
application of this directorial standard of conduct to the situation
where, after a reasonable investigation, disinterested directors adopt a
course of action which, in good faith, they honestly and reasonably
will benefit the corporation”.41
Secara umum doktrin ini merupakan doktrin yang memberikan
perlindungan
bagi
direksi
terhadap
keputusan
bisnis
yang
diambilnya.42
Business Judgment Rule is the legal doctrine that a
corporation’s officers and directors cannot be liable for
damages to stockholders for a business decision that proves
unprofitable or harmful to the corporation so long as the
decision was within the officers’ or directors’ discretionary
power and was made on an informed basis, in good faith
without any direct conflict of interest, and in the honest and
reasonable belief that it was in the corporation’s best
interest.”43
38
“The
Business
Judgment
Rule
amid
the
Recent
Corporate
Scandals,
http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp, dikunjungi pada tanggal 30 Maret 2014
pukul 09.38.
39
"Kami pikir dewan direksi bertindak dengan itikad baik dan dengan hati-hati yang tetap jatuh ke
dalam kesalahan, baik mengenai hukum atau fakta, tidak bertanggung jawab atas konsekuensi dari
kesalahan tersebut."
40
Block, Dennis J, (et.al), The Business Judgment Rule: Fiduciary Duties of Corporate, New
York: Prentice Hall & Buisness
41
Ibid., h. 2.
42
Susan Ellis Wild, Webster’s New World Law Dictionary, (Canada: Wiley Publishing, Inc,2006),
h. 58.
43
Doktrin Putusan Bisnis adalah doktrin hukum yang pejabat dan direktur perusahaan tidak dapat
bertanggung jawab atas keslahan kepada pemegang saham untuk keputusan bisnis yang terbukti
35
Salah satu negara bagian di Amerika Serikat yang menerapkan
doktrin Business Judgment Rule adalah Delaware, dimana menurut
ketentuan Hukum Perusahaan Delaware, Business Judgment Rule
merupakan turunan dari prinsip dasar, yang dikodifikasi dari Del Code
Ann. tit. 8, s 141(a), dimana keputusan bisnis dan urusan dari suatu
perseroan di Delaware diurus oleh atau di bawah kewenangan direksi.
Dimana dalam menjalankan peran pengurusan perseroan tersebut,
direksi dituntut untuk tidak mudah putus asa dalam memenuhi
fiduciary duty untuk kepentingan perseroan dan pemegang saham
perseroan. Selain Amerika Serikat, Australia dan Jerman juga
mengadopsi Doktrin Business Judgment Rule ke dalam hukum
perusahaan mereka. Australia di dalam Corporation Law (section 180
[2]) mengadopsi Business Judgment Rule, kemudian Jerman di dalam
German Corporate Law Act (The first two sentences of 93 para.1.
Dasar pemikiran dari aturan ini adalah pengakuan dari pengadilan
bahwa sudah menjadi sifatnya dalam menjalankan bisnis yang
bernuansa resiko, Direksi harus terbebas dari rasa takut atas jeratan
hukum yang mungkin menjerat direksi dalam hal direksi mengambil
keputusan bisnis yang beresiko, rasa takut direksi dalam mengambil
menguntungkan atau berbahaya bagi korporasi selama keputusan itu dalam tugas dan wewenang
direktur. kekuasaan diskresi dan dibuat atas dasar informasi, dengan itikad baik tanpa ada konflik
kepentingan, jujur dalam menjalankan tugas dan alasan yang masuk akal bahwa itu adalah
kepentingan terbaik untuk korporasi.
36
keputusan bisnis tersebut akan mempengaruhi keputusan bisnis direksi
tersebut.44
Inti dari pemberlakuan doktrin ini adalah bahwa semua pihak,
termasuk pengadilan harus menghormati putusan bisnis yang diambil
oleh orang-orang yang memang mengerti dan berpengalaman di
bidang bisnisnya, terutama sekali terhadap masalah-masalah bisnis
yang kompleks.
2. Konsep dan Unsur-unsur Business Judgement Rule
Secara rinci, dalam Business Judgement Rule terdapat lima unsur
pokok sebagai ukuran untuk menentukan apakah perlindungan hukum
dapat diberikan kepada direksi atau tidak. Unsur pokok itu adalah
sebagai berikut:45
a. Business Decision: Business Judgement Rule hanya dapat
diterapkan dalam konteks tindakan direksi, atau keputusan
yang diambil merupakan tindakan direksi, termasuk tidak
mengambil keputusan sejauh keputusan untuk tidak
melakukan tindakan itu disadarinya.
b. Disinterestedness: Ketentuan Business Judgement Rule
menekankan loyalitas kepada perseroan yang tidak terbagi
dan tidak mengandung kepentingan pribadi, sehingga tidak
44
Wikipedia, the free encyclopedia, “Business Judgment
Rule”http://en.wikipedia.org/wiki/Business_judgment_rule, dikunjungi pada tanggal 30 Maret
2014 pukul 10.02.
45
Ibid., h. 12-23
37
terjadi konflik antara tugas dan kepentingan pribadi. Dalam
kata
lain,
adalah
syaratnya
“ketidaktertarikan”
atau
Disinterestedness. Untuk menjaga integritas dari transaksi,
direksi tidak boleh merasa tertarik, atau tidak memiliki
kepentingan
keuangan
pada
transaksi
yang
akan
diputuskannya.
c. Due Care: Direksi harus melakukan usaha yang diperlukan
untuk
memastikan
dan
mempertimbangkan
seluruh
informasi yang relevan. BJR hanya melindungi “informed
decision”,
atau
pengambilan
keputusan
berdasarkan
informasi yang relevan dan cukup. Di Delaware, ukuran
yang dipakai adalah gross negligence.
d. Good Faith: Ini artinya bahwa motivasi dari tindakan direksi
secara murni, berdasarkan keinginan yang jujur dan dengan
itikad baik untuk menguntungkan pemegang saham
perusahaan; tidak karena tujuan lain seperti keuntungan
pribadi.
Tidak
adanya
kepentingan
keuangan
yang
signifikan menimbullkan anggapan adanya itikad baik.
Namun, syarat adanya itikad baik memerlukan penentuan
secara ad hoc mengenai motif direksi dalam membuat
keputusan bisnis yang kemudian dipersoalkan.
e. No Abuse of Discretion or Waste: Dipenuhinya seluruh
unsur di atas tidak berarti bawa pengadilan sama sekali
38
dipinggirkan, tetapi hakim tetap dapat memeriksa manfaat
dari keputusan direksi, bukan untuk menggantikannya;
tetapi untuk semata-mata memastikan bahwa tidak terdapat
gross overreaching, atau an abuse of discretion, atau
penyalahgunaan wewenang.
Seperti halnya dengan pengadilan lain di Amerika, pengadilan di
Delaware juga menggunakan unsur-unsur yang sama tersebut.46
Ditinjau dari pendapat Mahkamah Agung Delaware di atas, unsurunsur ini dikelompokan menjadi tiga jenis dari fiduciary duty, yaitu
loyalty, due care, dan good faith, dan disebut sebagai suatu tiga
serangkai.
Ketiga unsur tersebut merupakan inti dari lima unsur di atas; karena
dua unsur yang lain, yaitu Disinterestedness dan No Abuse of
Discretion, kecuali Business Decision, berkaitan erat dengan fiduciaru
duty, dan merupakan patokan tidak adanya benturan kepentingan atau
conflict of interest, atau tidak adanya pengambilan kesempatan pribadi
atau pelanggaran terhadap duty of loyalty. Jika salah satu dari unsur ini
dilanggar, maka BJR tidak dapat digunakan untuk melindungi direksi.
Sebagai tambahan dalam perkembangan terakhir, Delaware
menyatakan
bahwa
direksi
hanya
bertanggungjawab
untuk
mempertimbangkan fakta-fakta yang materil yang umumnya tersedia
46
Brandson, Douglas M., “The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”,
Valparaiso University Law Review Vol. 36,
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=346080, dikunjungi pada tanggal 30 Maret
2014 pukul 20.13.
39
(reasonably available), bukan fakta-fakta yang imateril yang berada di
luar jangkauan direksi. Sedangkan berapa banyak informasi yang
dianggap cukup, dan bagaimana informasi dikumpulkan apakah
melalui mekanisme konsultan, komite, atau laporan, juga merupakan
pertimbangan
bisnis.47
Direksi
berkewajiban
dengan
tingkat
kepeduliannya (degree of care) untuk mengumpulkan informasi, ketika
dalam proses pengambilan keputusan, yang membuat direksi dapat
memilih alternatif menuju ke keputusan yang akan diambilnya. 48
3.
Tanggungjawab Direksi Perseroan Terbatas dilindungi oleh Doktrin
Business Judgement Rule
Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan dengan
itikad baik. Tanggung jawab direksi melekat penuh secara pribadi atas
kerugian Perseroan, apabila anggota direksi yang bersangkutan
bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya.
Tanggung jawab direksi yang terdiri atas dua anggota direksi atau
lebih berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi.
Pengecualian terhadap tanggung jawab secara renteng oleh anggota
direksi terjadi apabila dapat membuktikan:
a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
47
Ibid., h. 639.
Ashraf, Zeeshan. The Position of the Business Judgment Rule in Different Corporate Cultures
and Structures: A Study and Analysis, h. 17.
48
40
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehatihatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan;
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung mapun
tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan
kerugian; dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian tersebut.
Selain Direksi yg bisa dilindungi oleh doktrin business judgement
rule, organ lainnya Dewan Komisaris juga dapat dilindungi dengan
doktrin ini. Sebelum lahirnya Undang-undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, Dewan Komisaris hanya memiliki peran
dan fungsi yang sangat kecil dalam suatu Perseroan Terbatas, bahkan
sering kali terkesan hanya sebagai perwakilan dari para pemegang
saham saja. Sehingga fungsi sebenarnya tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Padahal hakikat sebenarnya dari Dewan Komisaris ini
adalah sebagai pemberi nasihat bagi Direksi. Namun hal tersebut telah
dipertegas dengan dikeluarkannya Undang-undang Perseroan Terbatas
yang baru sehingga kewenangan Dewan Komisaris menjadi lebih
besar dan nyata dalam jalannya suatu Perseroan Terbatas. Di dalam
UUPT tersebut juga dikembangkan suatu konsep baru yang dikenal
dengan Business Judgement Rule. Semula prinsip ini diberlakukan
bagi Direksi dari pertanggungjawaban hukum atas setiap keputusan
bisnis
yang diambilnya
apabila
keputusan
tersebut
nantinya
41
menimbulkan kerugian bagi Perseroan. Hal ini berlaku apabila Direksi
dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan pengurusan dengan
itikad baik dan penuh kehati-hatian, tidak mempunyai benturan
kepentingan dan telah mengambil tindakan untuk mencegah
timbulnya atau berlanjutnya kerugian tersebut. Prinsip ini kemudian
mengalami perkembangan, sehingga tidak hanya berlaku bagi Direksi,
tetapi juga bagi Dewan Komisaris. Bedanya, kalau prinsip Business
Judgement Rule pada Direksi ditekankan kepada perlindungan
terhadap keputusan bisnis yang diambilnya, pada Dewan Komisaris
lebih ditekankan pada perlindungan terhadap tindakan pengawasan
dan pemberian nasihat kepada Direksi. Dewan Komisaris dilindungi
oleh prinsip Business Judgement Rule jika ia dapat membuktikan
bahwa ia telah melakukan pengawasan terhadap pengurusan Direksi
dan memberikan nasihat kepada Direksi dengan itikad baik dan
kehati-hatian, tidak mempunyai kepentingan pribadi atas tindakan
tersebut serta telah memberikan nasihat kepada Direksi agar tidak
terjadi hal yang merugikan Perseroan Terbatas, termasuk kepailitan.
4. Transplantasi Business Judgement Rule dalam Sistem Hukum di
Indonesia
Pada umumnya perseroan terbatas di Indonesia merupakan
perusahaan yang diisi oleh para keluarga besar dari para pendiri
perseroan, bahkan bukan tidak mungkin hal itu dapat terjadi pada
perusahaan besar seperti perseroan terbatas tbk. Di samping itu
42
melihat aturan hukum perusahaan di Indonesia yaitu Undang-Undang
Perseroan Terbatas yang salah satunya mengatur mengenai direksi
serta ketentuan seseorang untuk dapat diangkat menjadi direksi, dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas terlihat jelas bahwa tidak ada
kualifikasi khusus bagi seseorang untuk dapat diangkat menjadi
direksi dalam suatu perseroan terbatas.
Kedua hal di atas saling timbal balik, maksudnya adalah untuk
mengangkat seorang direksi, karena tidak diperlukan suatu keahlian
khusus, maka dapat dipilih dari salah satu anggota keluarga, begitu
juga sebaliknya, dalam seorang anggota keluarga dari pendiri
perseroan membutuhkan suatu pekerjaan atau kedudukan dalam
perusahaan, kedudukan direksi sangat dimungkinkan meskipun orang
tersebut tidak mempunyai keahlian khusus karena tidak ada syarat
khusus untuk menjadi seorang direksi, yang utama diatur oleh UUPT
adalah cakap hukum, serta tidak pernah menjadi direksi atas perseroan
yang pailit paling lama lima tahun sejak pengangkatannya.
Oleh karena iklim perusahaan yang berkembang di Indonesia
seperti disebut diatas, sangat dimungkinkan terjadinya banyak
pelanggaran fiduciary duty terhadap direksi-direksi di Indonesia,
kemudian dengan keadaan seperti tersebut di atas sangat mungkin
terjadi penyalahgunaan wewenang oleh direksi karena kurang
ketatnya pengawasan, terlebih lagi pengawas yang dalam hal ini
komisaris pun merupakan bagian dari keluarga.
43
Dengan tingkat penyalahgunaan wewenang yang sangat tinggi
terhadap kondisi perseroan di Indonesia, direksi harus dibebani
dengan tanggung jawab yang besar agar tidak semena-mena dan tidak
menyalahgunakan kewenangan yang ada.
Seperti telah disimpulkan sebelumnya bahwa Doktrin Business
Judgment Rule sama dengan Pasal 97 ayat 5 Undang-Undang
Perseroan Terbatas, dengan demikian Pasal 97 ayat 5 Undang-Undang
Perseroan Terbatas merupakan penerapan Doktrin Business Judgment
Rule di dalam hukum perusahaan di Indonesia, yaitu Undang-Undang
Perseroan Terbatas.
Dengan demikian, apabila Doktrin Business Judgment Rule yang
dimaksud benar-benar diterapkan di Indonesia dan Pasal 97 ayat 5
Undang-Undang Perseroan Terbatas disesuaikan dengan pemahaman
doktrin Business Judgment Rule sebagaimana di negara-negara yang
mengembangkannya, maka sangat dimungkinkan penyalahgunaan
wewenang dalam jabatan direksi semakin dapat ditindak lanjuti secara
benar sesuai hukum korporasi yang berlaku. Dari pemikiran di atas,
dapat dikatakan bahwa pasal 97 ayat 5 Undang-Undang Perseroan
Terbatas merupakan aturan yang tepat terhadap kondisi di Indonesia
saat ini.
C. Business Judgement Rule Berdasarkan Undang-undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung
jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan,
44
sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik
di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran
dasar. Standar Model Anggaran Dasar Perseroan menyatakan bahwa Direksi
dapat juga mengambil keputusan yang sah tanpa mengadakan rapat direksi,
dengan ketentuan semua anggota direksi telah diberitahu secara tertulis dan
semua anggota direksi memberikan persetujuan mengenai usul yang
diajukan secara tertulis serta menandatangani persetujuan tersebut. Seluruh
ketentuan tersebut menunjukkan adanya ketergantungan perseroan terhadap
direksi. Antara direksi dan perseroan terdapat suatu ikatan hubungan, karena
tanpa direksi, maka maksud dan tujuan serta usaha perseroan tidak akan
tercapai. Sebaliknya, tanpa adanya perseroan, direksi tidak akan ada.
Menurut Fred B. G. Tumbuan, seperti yang dikutip oleh Rachmadi Usman,
hubungan kedua pihak ini merupakan hubungan kepercayaan atau fiduciary
relationship, yang melahirkan fiduciary duties bagi direksi.49
Secara langsung atau tidak langsung, tugas yang harus dilakukan oleh
direksi itu adalah untuk kepentingan perseroan, dan mengandung tingkat
kepercayaan yang tinggi yang dapat diberikan oleh perseroan, serta secara
tidak langsung oleh pemangku kepentingan. Selain itu, direksi juga harus
memperhatikan
kewajiban
hukumnya
terhadap
perseroan,
dengan
mengambil keputusan dan bertindak secara hati-hati, sehingga tidak
merugikan perseroan atau pemangku kepentingan lainnya, dan menghindari
diri dari perbuatan yang melanggar hukum, atau tidak mengikat perusahaan
dalam perikatan yang tidak seimbang atau tidak adil.
49
Rachmadi Usman, 2004, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Penerbit Alumni,
Bandung, h. 175.
45
Seperti yang telah dijelaskan diatas, hal ini tentunya sangatlah berkaitan
dengan doktrin business judgment rule yang termuat didalam Pasal 97 ayat
(5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, yaitu :
Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan”,
a) Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b)Telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehatihatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan. c) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik lansung
maupun
tidak
lansung
atas
tindakan
pengurusan
yang
mengakibatkan kerugian; dan d) Telah mengambil tindakan untuk
mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Dari rumusan Pasal 97 ayat (5) UUPT tersebut diatas secara jelas,
memberikan konsekuensi yuridis kepada seorang Direksi apabila ingin
terlepas dari pertanggungjawaban secara pribadi apabila dianggap
melanggar prinsip fiduciary duty. Beban pembuktian tersebut tentunya ada
pada Direksi yang dianggap melanggar prinsip fiduciary duty. Dalam hal
ini tentulah sangat membutuhkan peran serta hakim dalam proses
peradilan, dimana hakimlah yang akan menentukan bahwa dapatkah
seorang Direksi yang dianggap melanggar prinsip fiduciary duty untuk
dimintakan pertanggungjawabannya terhadap sebuah keputusan yang telah
diambil oleh Direksi. Kedudukan hakim dalam memutus perkara tersebut
juga seharusnya tidak boleh memberikan second guess terhadap keputusan
46
bisnis yang diambil oleh Direksi karena pihak Direksilah yang paling
mengetahui posisi serta keadaan bisnis pada saat itu mengenai perihal
untung dan ruginya suatu keputusan bisnis, dan hakim dianggap tidak
boleh mengambil suatu perbandingan hukum terhadap keputusan tersebut.
Doktrin ini merupakan jawaban terhadap risiko dan ketidakpastian
yang harus dihadapi direksi, ketika keputusan yang diambil dalam rangka
mengusahakan keuntungan bagi perseroan, kemudian ternyata tidak
membuahkan hasil yang diharapkan, atau menimbulkan kerugian bagi
perseroan. Jawaban ini memberikan ruang atau diskresi dalam membuat
kebijakan untuk menjalankan roda bisnis perusahaan dan membuat
keputusan yang diperlukan, dengan menggunakan kewenangan yang
diberikan kepada direksi berdasarkan anggaran dasar perusahaan.
Eksistensi BJR adalah untuk melindungi dan mempromosikan pelaksanaan
yang bebas dan penuh dari kewenangan pengelolaan yang diberikan
kepada direksi, dalam Hukum Korporasi Delaware.50
Dalam sistem hukum tersebut, direksi bertanggung jawab untuk
mengawasi bisnis dan jalannya perusahaan. Untuk memenuhi tanggung
jawab itu, direksi berkewajiban untuk memenuhi fiduciary duty terhadap
perusahaan dan komponen penting lainnya. Fiduciary duty ini terdiri dari
duty of care, duty of loyalty, dan duty of good faith atau itikad baik.
Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undangundang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana
50
Bainbridge, Stephen M, “Much Ado about Little? Directors‟ Fiduciary Duties in the Vicinity of
Insolvency”, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=832504, dikunjungi pada tanggal
11 Maret 2014 pukul 21.07.
47
kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang
sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang yang mempunyai
kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari
kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang
dinyatakan oleh hukum. Sedangkan fiduciary ini adalah seseorang yang
memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang
disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil, dalam hal ini
peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and
confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad
baik (good faith), dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk
hubungan seperti, pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali,
dan
pelindung. termasuk juga di dalamnya seorang lawyer yang
mempunyai hubungan fiduciary dengan kliennya.51
Doktrin atau prinsip fiduciary duty ini terdapat dalam Undang-undang
nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pada Pasal 179 ayat (1).
Pengurusan PT dipercayakan kepada Direksi Lebih jelasnya pasal 82
UUPT menyatakan, bahwa Direksi bertanggung jawab penuh atas
pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. sedangkan
Pasal 85 UUPT menetapkan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan
itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk
kepentingan dan usaha Perseroan. Pelanggaran terhadap hal ini dapat
51
Henry Campbell Black , Black‟s Law Dictionary, h. 625.
48
menyebabkan Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila
yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut.
Dalam konteks direktur, sangat penting untuk mengontrol perilaku
dari para direktur yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam
mengelola perusahaan, termasuk menentukan standar perilaku (standart of
conduct) untuk melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila
seorang direktur berperilaku tidak sesuai dengan kewenangannya atau
berperilaku tidak jujur.52 Untuk membebankan pertanggungjawaban
terhadap direktur atau pengurus korporasi, maka harus dibuktikan adanya
pelanggaran
terhadap
kekuasaan
kewajiban
kewenangan
yang
dimilikinya. Pengurus korporasi dalam hal ini harus dapat dibuktikan
telah melanggar good faith yang dipercayakan padanya dalam menjalan
korporasi atau perusahaan, sebagaimana diatur dalam prinsip fiduciary
duty. Dengan kata lain, jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka
kesalahan tersebut tidak dapat dipikul oleh korporasi, namun harus dipikul
secara pribadi oleh organ korporasi yang melakukan tindakan tersebut.
Salah satu cara untuk melihat apakah direksi melakukan pengelolaan
perseroan yang salah atau tidak bersalah adalah menilai apakah mereka
gagal melakukan tugasnya dalam pengelolaan perseroan tersebut. Di
samping itu, bisa pula dilihat dari berbagai kasus yang melibatkan direksi
dalam konflik kepentingan (conflict of interest).53
Hal ini dapat dipahami dari tradisi common law, seperti Amerika
Serikat, dimana terdapat pendapat pengadilan dalam Bayer v. Beran, 49
52
53
Janet Dine, 1998, Company Law, Macmillan Press Ltd, h. 179.
Ibid., h. 209.
49
N.Y.S.2d 2, 6 (1944), yang menyatakan, bahwa “it is unusual for directors
to be liable for negligence in the absence of fraud or personal interest.54
Hukum perseroan di Indonesia juga telah mengisyaratkan agar direksi
dalam mengelola perseroan dengan kehati-hatian. Pasal 85 ayat (1) UUPT
menentukan, bahwa “setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan
penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha
perseroan.” Namun ketentuan Pasal 85 ayat (1) tersebut tidak menjelaskan
batasan kehatian-hatian. Akibatnya, sulit menentukan kapan direksi
perseroan masuk pada kategori tidak mengelola perseroan dengan kehatihatian. Dalam hal kehatian-hatian direksi mengelola perseroan tersebut
perlu pula mengkaji pertimbangan bisnis (business judgment). Hakim
Shientag dalam perkara Casey v. Woodruff, 49 N.Y.S.2d 625, 643 (1944)
berpendapat sebagai berikut:55
The fundamental concept of negligence does not vary, it is applied to
the case of a simple personal injury action or to liability of directors
in the management of the affairs of their corporation. A pedestrian
crossing the street is under a duty to use reasonable care. He is
required to look before he crosses, “but the law does not say how
often he must look or precisely how far, or when or from where……..
If he has used his eye, and has miscalculated the danger, he may still
be free from fault,”Knapp v.Barret, 216 N.Y,230,110 N.E. 428, 429.
The law does not hold him guilty of negligence although if he had
looked oftener the accident might have been avoided. He discharges
his duty when he has acted with reasonable prudence. So it is with
directors. The law requires the use of judgment, the judgment of
54
Bloomberg Law, Bayer v. Beran, 49 N.Y.S.2d 2, 6 (1944),
http://www.casebriefs.com/blog/law/corporations/corporations-keyed-to-klein/the-duties-ofofficers-directors-and-other-insiders/bayer-v-beran/, dikunjungi pada tanggal 11 Juni 2014 pukul
21.37.
55
United States Court of Appeals, Third Circuit, Casey v. Woodruff, 49 N.Y.S.2d 625, 643 (1944),
http://openjurist.org/507/f2d/759/miller-v-american-telephone-and-telegraph-company, dikunjungi
pada tanggal 11 Juni 2014 pukul 21.38.
50
ordinary prudence, but it does not hold directors liable simply
because they might have use better judgment.
The question is frequently asked, how does the operation of the socalled “bussines judgment rule” tie in with the concept of negligence?
There is no conflict between the two. When courts say that they will
not interfere in matters of bussines judgment, it is presupposed that
judgment-reasonable diligence-has in fact been exercised. A director
cannot close his eyes to what is going on about him in the conduct of
the bussiness of the corporation and have it said that he is exercising
bussiness judgment. Courts have properly decided to give directors a
wide atitude in the management of the affairs of a corporation
provided alwalys that judgment, and that means an honest, unbiased
judgment, is reasonably exercise by them.56
Duty of loyalty kepada perusahaan mencegah direksi mengambil
kesempatan menguntungkan yang seharusnya dimiliki oleh perusahaan.
Dalam penggunaan properti misalnya komisaris secara tegas dilarang
menggunakan aset perusahaan dalam membangun usahanya pribadi.
Komisaris juga tidak diperkenankan memanfaatkan properti atau
keuntungan lainnya
56
untuk kepentingan pribadi apabila perusahaan
Konsep dasar kelalaian tidak bervariasi, artinya itu diterapkan untuk kasus sederhana misalnya
cedera pribadi atau tanggung jawab direksi dalam pengelolaan PT. Seorang pejalan kaki
menyeberang jalan berkewajiban untuk menggunakan perlengkapan yang wajar. Dia hanya perlu
untuk melihat sebelum ia melintasi, "tetapi hukum tidak mengatakan seberapa sering ia harus
melihat atau tepatnya seberapa jauh, atau kapan atau dari mana ........ Jika ia telah menggunakan
matanya, dan telah salah perhitungan maka bahaya, ia masih dapat bebas dari kesalahan, "Knapp
v.Barret , 216 NY , 230.110 NE 428 , 429. Hukum tidak menahan dia bersalah atas kelalaiannya
meskipun jika ia tampak lebih sering kecelakaan mungkin telah dihindari. Komisaris tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas tugasnya ketika ia telah bertindak dengan penuh kehati-hatian dan
sifat yang wajar. Begitu pula dengan direktur, Undang-undang mengharuskan penggunaan
penghakiman, penghakiman kehati-hatian biasa, tetapi tidak melihat direksi bertanggung jawab
hanya karena mereka mungkin telah menggunakan penilaian yang lebih baik.
Pertanyaannya adalah, bagaimana operasi yang disebut "aturan penghakiman korporasi" mengikat
dengan konsep kelalaian? Tidak ada konflik antara keduanya. Ketika pengadilan mengatakan
bahwa mereka tidak akan mencampuri urusan penghakiman korporasi, maka diandaikan bahwa
penghakiman-wajar ketekunan-sebenarnya telah dilaksanakan. Seorang direktur tidak bisa
menutup matanya dengan apa yang terjadi tentang dirinya dalam pelaksanaan dari bisnis korporasi
dan mengatakan bahwa ia melakukan penilaian bisnis. Pengadilan telah benar memutuskan untuk
memberikan direksi keleluasaan dalam pengelolaan urusan perusahaan yang disediakan pengadilan
tersebut, dan itu berarti , penilaian jujur, cukup dilaksanakan oleh mereka.
51
berkepentingan atau perusahaan memiliki keinginan (expectancy) atas
properti tersebut. Sebagai contoh, apabila perusahaan telah menyewa suatu
properti maka direksi tidak boleh membeli properti tersebut untuk dirinya.
Suatu perusahaan dikatakan memiliki ekspektansi apabila secara rasional
dapat dilihat bahwa perusahaan memiliki kepentingan atas properti
tersebut. Dalam hal suatu kesempatan terkait erat dengan bisnis
perusahaan maka itu juga berarti suatu ekspektansi.
Beberapa alasan digunakan oleh direksi sebagai bantahan atas gugatan
telah menyalahi corporate opportun57 Pertama, kapasitas sebagai individu.
Komisaris menyatakan bahwa kesempatan bisnis tersebut diberikan
kepada dirinya sebagai individu. Pertanyaan yang muncul adalah
bagaimana kesempatan tersebut datang kepadanya dan mengapa. Apakah
merupakan kesempatan bisnis yang secara rasional diminati perusahaan.
Kedua, perusahaan tidak mampu melaksanakan kesempatan yang
ditawarkan. Secara umum, komisaris dapat mengambil keuntungan atas
suatu peluang bisnis yang tidak mampu dilakukan oleh perusahaan.
Misalnya perusahaan sedang berada dalam keadaan insolven. Namun
demikian, mengingat penilaian apakah perusahaan mampu atau tidak
memanfaatkan kesempatan bisnis yang ditawarkan bersifat relatif maka
seharusnya komisaris menjelaskan terlebih dahulu kesempatan tersebut
kepada dewan komisaris atau pemegang saham. Ketiga, perusahaan
menolak peluang yang ditawarkan. Apabila perusahaan, dalam hal ini
57
Direktur harus lebih mengutamakan kepentingan perseroan daripada kepentingan pribadi
terhadap transaksi yang menimbulkan conflict of interest
52
komisaris independen atau pemegang saham independen, setelah
dijelaskan adanya kesempatan bisnis tersebut dan menolaknya maka
komisaris dapat memanfaatkan kesempatan bisnis tersebut.
Apabila direksi telah terbukti merampas peluang bisnis perusahaan
maka apabila properti tersebut telah dijual, keuntungan yang diperoleh dari
penjualan tersebut harus diserahkan kepada perusahaan. Disamping itu
perusahaan dapat memaksa direksi untuk menyerahkan properti kepada
perusahaan.58
Perbedaannya dengan konsep trustee terletak pada hukum trust, dan
trustee tidak mengambil risiko. Tetapi, fiduciary yang berlaku pada
perusahaan, direksi mengambil resiko bisnis. Derek French (et.al)
menekankan bahwa masalah pengambilan resiko merupakan isu sentral
dalam hukum trust (karena tidak mengambil risiko, pen), tetapi bukan
pada hukum fiduciary. Dalam hukum fiduciary, yang penting bagi
fiduciaries adalah menghindari diri dari penggunaan wewenang atau
diskresi dalam cara yang merugikan untuk siapa dia bekerja, dan dari
penyalahgunaan kepercayaan dan keyakinan yang diberikan kepadanya.59
Setiap
direktur
perusahaan
memiliki
fiduciaries
duties
terhadap
perusahaan dan pemegang sahamnya, yang meliputi itikad baik, duty of
care, loyalty dan candor.
58
Zulkarnain Sitompul dan Bismar Nasution, 2006, “Pengelolaan Perseroan Terbatas”,
BooksTerrace & Library, Medan, h. 17.
59
French, Derek, 2009, Company Law, Oxford University Press, New York, h. 471.
53
Dalam Black‟s Law Dictionary definisi dari duty of care adalah:60
“Under the law of negligence or of obligation, the conduct demanded of a
person in a given situation. Tipically, this involves a person’s giving
attention both to possible dangers, mistakes, and pitfalls and to way of
minimizing those risks”.
Pengertian di atas diterjemahkan bahwa standar kehati-hatian
mewajibkan seseorang untuk bertindak dalam keadaan tertentu, untuk
memperhatikan segala kemungkinan yang ada seperti bahaya, kesalahan,
dan perangkap sehingga dapat meminimalkan risiko yang mungkin
dihadapi.61
Dari segi hukum, duty of care dikembangkan pada awalnya oleh Lord
Atkin dari perkara Donoghue Vs Stvenson, yang menyatakan bahwa “anda
harus melakukan kehati-hatian yang wajar agar menghindari tindakan atau
omission atau kealpaan yang dapat anda perkirakan akan membahayakan
tentangga anda”. Duty of care merupakan kewajiban hukum bagi setiap
orang untuk bertindak secara hati-hati, sehingga tidak membahayakan atau
merugikan pihak lain. Duty of care dapat pula dianggap sebagai
formalisasi dari tanggung jawab yang ada berdasarkan kontrak, atau
perjanjian, atau terhadap publik.62
Arti dari „skills and care‟ seperti yang dijelaskan oleh the Insolvency
Act 1985 adalah pada intinya mengandung harapan yang sejalan dengan
60
Garner, Bryan A., 1999 (Editor in Chief), Black’s Law Dictionary, Minnesota: West Group.
Ibid.,
62
“Duty of Care: Corporate Liability, http://www.amicus.iupindia.org/Corps, dikunjungi pada
tanggal 14 Maret 2014 pukul 23.05.
61
54
keahlian atau skill, kualifikasi, dan pengalaman dari suatu tingkat direktur
tertentu. Oleh karena itu, tingkat skill yang lebih tinggi diharapkan dari
seorang direktur keuangan yang profesional dibandingkan dengan direktur
non eksekutif lainnya. Standar yang digunakan mensyaratkan direksi, baik
secara individu dan secara kolektif, memperoleh dan memiliki
pengetahuan dan pengertian yang cukup mengenai bisnis dari perusahaan,
sehingga mereka dapat menjalankan tugas–tugasnya secara tepat sebagai
direksi.Tingkat dari duty ini tergantung pada posisi direksi yang
bersangkutan di dalam rantai manajemen dan tugas serta tanggung
jawabnya dalam peranan tersebut.63
Duty of loyalty merupakan bagian yang penting dari fiduciary duty,
dan lebih penting dari duty of care.64 Duty of loyalty mengharuskan
seorang fiduciary untuk selalu menyesuaikan tingkah lakunya secara terus
menerus untuk menghindari tingkah laku yang mementingkan diri sendiri,
yang merupakan tindakan yang salah terhadap beneficiary.65 Duty of
loyalty adalah kewajiban seseorang dalam kedudukannya sebagai seorang
direksi untuk tidak terlibat dalam kegiatan yang merupakan self dealing,
atau menggunakan kedudukannya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk
63
Professional Briefing – Law Case Review- Director in Breach of Fiduciary Duty. Accountancy.
Vol. 128, Oct 1, 2001.
64
Cunningham, Lawrence A., dan Yablon, Charles M., “Delaware Fiduciary Duty Law after QVC
and Technicolor: A Unified Standard (and the End of Revlon Duties?)”, Boston College Law
School, Research Paper 1994-03, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=917120,
dikunjungi pada tanggal 14 Maret 2014 pukul 23.25.
65
Block, Dennis J., (et.al), h. 1.
55
kepentingan untuk siapa dia bekerja. Intinya, duty of loyalty melarang
adanya unsur ketidaksetiaan atau faithlessness, dan self dealing.66
Dalam perkembangannya, dilihat dari keputusan pengadilan dalam
Perkara Stone Vs Ritter, definisi dasar duty of loyalty adalah kewajiban
untuk bertindak dengan itikad baik dalam rangka mengutamakan
kepentingan atau the best interest dari perusahaan; juga dipandang
sebagai kewajiban yang lebih luas dari sekedar menghindar dari tindakan
mengambil keuntungan pribadi.67 Duty of loyalty juga berarti menghindar
dari tindakan dengan tujuan yang ilegal, yang memerlukan direksi
berusaha dengan itikad baik untuk mengawasi jalannya perusahaan sesuai
dengan hukum. Pengadilan dapat meminta pertanggungjawaban direksi
yang independen yang dinyatakan gagal dalam melakukan kewajiban
pengawasannya,
jika
melanggar
duty
of
loyalty
karena
gagal
mengusahakan dengan itikad baik untuk memenuhi duty of care.68
Duty of candor adalah kewajiban untuk membeberkan semua faktafakta materiel, khususnya merupakan kewajiban seorang direktur untuk
membuka semua informasi yang diketahui yang bersifat materiel kepada
pemegang saham, ketika direktur itu meminta persetujuan pemegang
saham untuk melakukan suatu transaksi. Duty of candor merupakan
kewajiban dari fiduciaries perusahaan, dalam hal ini para direksi, untuk
membuka seluruh informasi yang bersifat materiel yang berkaitan dengan
66
Ibid.,
BFA, “The Duty of Loyalty Revisited”, No. 21 http:www.thedefiningtension.com/2009/03/no21-the-duty-of-loyalty-revisited.html, dikunjungi pada tanggal 14 Maret 2014 pukul 23.54.
68
Ibid.,
67
56
keputusan yang diambil perusahaan dari dalam mana direksi memperoleh
manfaat pribadi.
Duties of skill and care secara jelas disebutkan dalam Pasal 93 ayat
(1) UUPT, yaitu bahwa yang dapat diangkat menjadi anggota direksi
adalah orang yang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali
dalam lima tahun sebelum pengangkatannya pernah: (a) dinyatakan pailit,
(b) menjadi anggota direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, (c) dihukum melakukan
tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan atau yang berkaitan
dengan sektor keuangan. Oleh karena itu, agar tetap dapat diangkat
sebagai anggota direksi, setiap orang ketika menjabat sebagai anggota
direksi harus melakukan pekerjaannya dengan suatu tingkat keahlian atau
kemampuan dan bertindak secara hati-hati, sehingga tidak membuat
perseroan yang dikelolanya mengalami kesulitan keuangan yang kemudian
dapat berakhir pada kepalilitan.
Pasal 97 Ayat (5) Undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang
Perseroan
Terbatas
menyebutkan
bahwa
direksi
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan secara pribadi atas kerugian perseroan “...apabila
yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan
ketentuan yang dimaksud pada Ayat 2”, apabila dapat membuktikan
bahwa:
a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahannya atau kelalaiannya,
57
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehatihatian,
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan secara langsung
maupun tidak secara langsung,
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian tersebut.
Agar tidak dapat dihukum karena kesalahan dan kelalaian, direksi
harus memiliki suatu tingkat kemampuan, sikap rajin, dan peduli atau
diligent and care yang diperlukan dalam mengelola perseroan, dan
dilakukan dengan itikad baik. Unsur itikad baik yang disertai dengan tidak
adanya benturan kepentingan secara langsung atau tidak langsung
menunjukkan bahwa direksi menempatkan kepentingan perseroan di atas
kepentingan pribadinya, sehingga merupakan pemenuhan duty of loyaltynya kepada perseroan. Duty of loyalty ini diperkuat dengan usaha yang
dilakukan direksi untuk mencegah timbul dan berlanjutnya kerugian yang
dapat dialami oleh perseroan.
Manifestasi
dari
ketentuan
untuk
menempatkan
kepentingan
perusahaan di atas kepentingan pribadi direksi dapat terlihat dengan jelas
dari kemungkinan timbulnya kesempatan untuk melakukan transaksi
bisnis dengan pihak ketiga, atau disebut sebagai corporate opportunity.
Jika kesempatan itu muncul, dan dalam keadaan seperti itu, direksi harus
mengutamakan perseroan bukan diri pribadinya untuk mengambil
58
kesempatan bisnis tersebut. Ini artinya direksi menempatkan kepentingan
perseroan di atas kepentingan pribadinya. Menurut Munir Fuady, tidak
saja kesempatan seperti itu merupakan milik perseroan, tetapi juga setiap
hak dan pengharapan yang berkaitan dengan perseroan adalah juga
merupakan kepunyaan perseroan.69
Duty of candor dengan jelas dikandung dalam Undang-undang nomor
40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pada pasal 69 Ayat (3)
menyebutkan bahwa apabila laporan keuangan yang disediakan direksi
ternyata tidak benar, atau menyesatkan, maka anggota direksi dan anggota
komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak
yang dirugikan. Informasi keuangan berfungsi sebagai indikator utama
bagi kekuatan perseroan dalam melanjutkan kehidupan usahanya. Ini
artinya bahwa direksi dituntut agar melaporkan atau membeberkan
informasi atau keadaan keuangan yang sebenarnya, tidak saja kepada
pemegang saham, atau pihak yang terkait lainnya, tetapi terlebih kepada
pihak yang berkepentingan akan informasi itu.
Namun, dari segi materi atau secara substanstif, jika penggugat tidak
berhasil memenuhi beban pembuktian yang diperlukan, maka ketentuan
business judgement rule berlaku, dan dapat melindungi direksi yang
digugat dari tanggung jawab terhadap kerugian yang diakibatkan karena
keputusan yang diperkarakan itu.
69
Munir Fuady, Op.Cit., h. 63.
59
Business Judgement Rule memiliki beberapa karakteristik, yaitu:70
a. Business Judgement Rule diterapkan pada keputusan bisnis
yang dibuat oleh direksi dan pejabat korporasi, dengan
menganggap apa
yang mereka lakukan adalah benar.
Keputusan ini dibuat untuk kepentingan perusahaan semata
atau best interests of the corporation.71
b. Business Judgement Rule memerlukan pertimbangan atau
keputusan.
c. Business Judgement Rule melindungi direksi dan pejabat
korporasi dari tanggung jawab jika melakukan kesalahan dalam
mengambil keputusan, walaupun keputusan itu ternyata tidak
sehat atau salah dan menjatuhkan.
d. Business Judgement Rule memberikan batasan bagi pengadilan
sehingga pengadilan akan bersifat netral, atau tidak melakukan
dugaan kedua atau mempertanyakan atau mempermasalahkan
keputusan para direktur korporasi.
Pada dasarnya, Business Judgement Rule merupakan anggapan atau
presumsi yang dapat melindungi tindakan direksi atau pejabat korporasi
sejauh syarat-syarat tertentu dipenuhi, yaitu:72 pembuat keputusan bebas
70
Triem, Fred W, , 2007, Judicial Schizophrenia in Corporate Law: Confusing the standard of
Care With The Business Judgment Rule, Alaska, h. 26-27, http://ssrn.com/abstract=975775>,
dikunjungi pada tanggal 15 Maret 2014 pukul 01.46.
71
Tindakan ini tidak langsung berkaitan dengan pemilik saham, tetapi menguntungkan mereka
dalam jangka panjang karena tindakan dibuat untuk kepentingan perusahaan semata. Ashraf,
Zeeshan. The Position of The Business Judgment Rule in Different Corporate Cultures and
Structures: A Study and Analysis, h. 18.
72
Brandson, Douglas M., “The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”,
Valparaiso University Law Review Vol. 36,
60
dari adanya benturan kepentingan (conflict of interest), menerapkan
kepedulian yang standar dengan menggunakan informasi materiel yang
memadai dalam membuat keputusan, dan memiliki dasar yang rasional
dalam mengambil keputusan tersebut.
D. Implikasi Doktrin Business Judgement Rule dalam Kasus PT. Merpati
Nusantara Airlines berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas
1. Kronologi Kasus
Implikasi doktrin business judgement rule dalam sistem hukum
Indonesia sangat dipengaruhi dari sistem common law yang merupakan
turunan dari Hukum Korporasi di Amerika Serikat. Sebagai doktrin
dimana seorang Direksi dapat dilindungi terhadap keputusannya dalam
melakukan pengelolaan perusahaan berdasarkan doktrin business judgment
rule. Apabila seorang direksi terbukti melanggar prinsip fiduciary duty,
maka terhadap pelanggaran tersebut secara otomatis tidak dapat dilindungi
oleh doktrin business judgment rule, akan tetapi sepanjang dapat
membuktikan sebaliknya bahwa direksi tersebut tidak melakukan
pelanggaran terhadap fiduciary duty maka akan terlepas dari bentuk
pertanggungjawaban.
Pada kasus yang penulis ambil sebagai studi kasus, antara PT. Merpati
Nusantara Airlines dengan Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG).
Berikut adalah table kronologi kasus PT. MNA, yang menjerat direksi:
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=346080, dikunjungi pada tanggal 15 Maret
2014 pukul 02.17.
61
73
No
1.
Bulan/Tahun
Juni-November
2006
2.
8 Desember 2006
3.
18 Desember
2006
4.
19 Desember
2006
5.
20 Desember
2006
6.
5 Januari 2007
7.
1 Februari 2007
8.
17 Februari 2007
Merpati bersama LTPSA menemui Jon Cooper di Washington
untuk penyelesaian transaksi dan penarikan security deposit.
9.
20 Maret 2007
10.
2 April 2007
Rencana penyerahan pesawat kedua, Boeing 737-400 gagal.
TALG tidak menepati janji.
Atas nama Merpati, LPTSA resmi menunjuk BKK untuk
melakukan gugatan pada TALG.
11.
17 April 2007
Merpati secara resmi melakukan gugatan. Merpati
mengajukan tuntutan pengembalian uang security deposit ke
Federal Court Washington DC.75
12.
19 April 2007
Gugatan diterima oleh TALG.
13.
4 Juni 2007
Solidaritas Pegawai Merpati melaporkan kasus dugaan
korupsi penyewaan pesawat Boeing oleh Merpati ke Komisi
Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, dan Markas Besar
Kepolisian RI.
14.
8 Juli 2007
Putusan hakim Pengadilan Distrik Columbia, Washington,
DC memenangkan Merpati. Pengadilan memerintahkan
TALG mengembalikan US$ 1 juta sekaligus bunga dan biaya
Hotasi Nababan, Op.Cit., h. 34.
Ibid., h. 35.
75
Ibid., h. 36.
74
Peristiwa
Merpati memasang iklan pencarian pesawat di
www.speednews.com73
Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) mengajukan
proposal sewa dua pesawat B 737 yang dimiliki Lehman
Brother
Penandatangan kesepakatan penyewaan dua pesawat Boeing
737-500 dan 734-400 antara Merpati dan TALG. Disepakati
klausal: Merpati harus menempatkan Refundable Security
Deposit (RSD) untuk setiap pesawat US$ 500.000 yang bisa
ditarik jika ada masalah. Jadi total security deposit yang
diserahkan Merpati US$ 1 juta. Hume setuju dan menerima
penunjukkan TALG untuk penempatan RSD.
Merpati meminta bantuan lawyer Lawrence Siburian (LS)
yang sedang berada di Washington untuk membantu
mengecek keberadaan TALG dan Hume. LS melakukan cek
fisik dan memverifikasi keberadaan kantor dan manajemen
TALG dan Hume.
Merpati menempatkan US$ 1 juta ke Hume and Associates,
firma hukum independen yang telah disepakati sebagai
custodian.74
Rencana penyerahan pesawat pertama, Boeing 737-500 gagal.
TALG tidak menepati janji.
Merpati menerbitkan Special Power of Attorney untuk
LTPSA sebagai pengacara mewakili PT Merpati Nusantara
Airline.
62
15.
76
16.
18 Juli 2008
17.
24 Juli 2007
18.
27 September
2007
19.
27 Oktober 2009
20.
4 Juli 2011
21.
16 Agustus 2011
22.
12 September
2011
Kejaksaan mengeluarkan surat perintah pencekalan untuk
Hotasi.
23.
April 2012
Setelah menjalani beberapa kali pemeriksaan, Direktur
Penyidik (Dirdik) pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus
(Jampidsus), Arnold Angkouw, menyatakan berkas perkara
kasus dugaan korupsi penyewaan dua pesawat Boeing 737
senilai satu juta dolar AS telah memasuki tahap penuntutan
setelah berkasnya dinyatakan lengkap. Berkas perkara Hotasi
Nababan dan Tony Sudjiarto segera dilimpahkan ke
pengadilan. Sedangkan berkas Guntur Aradea masih belum
dinyatakan lengkap.78
Ibid., h. 37.
Ibid., h. 38.
78
Ibid., h. 39.
77
3 Maret 2008
pengacara.
Hotasi Nababan mundur dari Direktur Utama Merpati.
Pengganti yang baru, Cucuk Suryoprojo meneruskan upaya
pengejaran dana deposit itu, yang juga dilanjutkan oleh
Bambang Bhakti, Dirut Merpati selanjutnya.
Mediasi antara Merpati dengan Jon C. Cooper. Merpati
memberi tawaran pencicilan US$ 45.000 setiap bulan selama
18 bulan sehingga total biaya yang harus dikembalikan Jon
pada Desember 2009 US$ 810.000. Jon menolak tawaran
tersebut.76
LTPSA menunjuk Daniel J. Nickle untuk mengeksekusi aset
TALG & Alan Messner. Namun aset TALG negatif.
Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri menyatakan
belum ditemukan tindak pidana korupsi dalam perkara
Merpati.
KPK menyatakan perkara Merpati tidak masuk dalam perkara
korupsi karena tidak memenuhi kriteria tindak pidana korupsi
seperti diatur dalam UU No.31/1999 dan UU No.20/2001
tentang Pemberantasan Korupsi.
Untuk pertama kali Kejaksaan Agung memeriksa mantan
Direktur Utama Merpati Hotasi Nababan. Status
“penyelidikan” perkara secara cepat ditingkatkan menjadi
“penyidikan”.
Hotasi dan bekas Direktur Keuangan Merpati, Guntur Aradea,
ditetapkan sebagai tersangka.77
63
Pada kasus ini Direksi PT. Merpati Nusantara Airlines sudah
membicarakan dalam Rapat Umum Pemegang Saham soal rencana leasing
pesawat dan sudah mendapat izin dari RUPS.79
Business Judgment Rule merupakan sebuah doktrin yang telah lama
diterapkan untuk melindungi Direksi dalam pertanggungjawaban hukum
yang diambil dari keputusan-keputusan bisnis mereka. Dalam kasus PT.
Merpati Nusantara Airlines dengan Thirdstone Aircraft Leasing Group
(TALG), yang melibatkan direksi dan segenap jajaran komisaris yang
diduga melakukan TIPIKOR yang menyebabkan kerugian negara.
Business Judgment Rule telah lama diterapkan sebagai awan yang
melindungi Direksi dari tanggung jawab yang diambil dari keputusankeputusan bisnis mereka. Apabila direksi-direksi dalam pelaksanaan
tanggung jawab yang dimandati atas perlindungan tersebut, maka
pengadilan tidak boleh mencampuri hal tersebut atau memberikan
pendapat lain atas keputusan direksi. Sebaliknya jika direksi tidak
dimandati atas perlindungan Business Jugdment Rule maka pengadilan
wajib memeriksa keputusan-keputusan tersebut apakah perilaku direksi
memang untuk kepentingan perusahaan dan dengan itikad baik serta
memperhatikan pemegang saham minoritas perusahaan. Prinsip Business
Judgment rule merupakan ketentuan yang dapat dikesampingkan jika
direktur bertindak lebih baik daripada pengadilan yang akan mendalilkan
79
Merdeka.com, Anulir Vonis Bebas, Artidjo hukum Hotasi Nababan 4 Tahun,
http://www.merdeka.com/peristiwa/anulir-vonis-bebas-artidjo-hukum-hotasi-nababan-4tahun.html, dikunjungi pada tanggal 13 Juni 2014 pukul 08.04.
64
Business Judgment Rule dan apabila direksi bertindak dalam keputusan
bisnis yang bebas dari self-dealing (atau untuk kepentingan pribadi) dan
dapat menunjukan tindakan tersebut dilaksanakan berdasarkan alasan yang
wajar serta itikad baik. Pihak yang menggugat keputusan dewan direksi
menghadapi resiko akan adanya ketentuan akan ditolaknya gugatan jika
pada akhirnya dapat dibuktikan bahwa direksi membuat keputusan bisnis
yang tepat.
Business Judgment Rule selain melindungi tanggung jawab pribadi
seorang direksi apabila terjadi pelanggaran, ia juga dapat diberlakukan
terhadap pembenaran-pembenaran keputusan bisnis dimana perintahperintah yang ditujukan kepada Dewan Direksi, atau terhadap keputusankeputusan itu sendiri, terhadap kasus yang menitikberatkan kepada
keputusan bisnis yang merupakan tanggung jawab dari pembuat
keputusan.
Business
Judgment
Rule
yang
diterapkan
terhadap
direksi/pembuat keputusan lazim disebut doktrin Business Jugdment Rule,
dan Business Jugdment Rule yang diterapkan terhadap keputusannya
langsung disebut Business Judgment Rule.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, hal ini tentunya sangatlah
berkaitan dengan doktrin business judgment rule yang termuat didalam
Pasal 97 ayat (5) Undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, yaitu :
Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat
membuktikan”, a) Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau
kelalaiannya; b)Telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik
65
dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud
dan tujuan perseroan. c) Tidak mempunyai benturan kepentingan
baik lansung maupun tidak lansung atas tindakan pengurusan
yang mengakibatkan kerugian; dan d) Telah mengambil tindakan
untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.”
Dari rumusan Pasal 97 ayat (5) Undang-undang nomor 40 tahun 2007
tentang Perseroan terbatas tersebut diatas secara jelas, memberikan
konsekuensi yuridis kepada seorang Direksi bilamana ingin terlepas dari
pertanggungjawaban secara pribadi apabila dianggap melanggar prinsip
fiduciary duty. Beban pembuktian tersebut tentunya ada pada Direksi yang
dianggap melanggar prinsip fiduciary duty. Dalam hal ini tentulah sangat
membutuhkan peran serta hakim dalam proses peradilan, dimana hakimlah
yang akan menentukan bahwa dapatkah seorang Direksi yang dianggap
melanggar
prinsip
fiduciary
duty
untuk
dimintakan
pertanggungjawabannya terhadap sebuah keputusan yang telah diambil
oleh Direksi. Kedudukan hakim dalam memutus perkara tersebut juga
seharusnya tidak boleh memberikan second guess terhadap keputusan
bisnis yang diambil oleh Direksi karena pihak Direksilah yang paling
mengetahui posisi serta keadaan bisnis pada saat itu mengenai perihal
untung dan ruginya suatu keputusan bisnis, dan hakim dianggap tidak
boleh mengambil suatu perbandingan hukum terhadap keputusan tersebut.
Apabila hal ini terjadi, tidak berarti bahwa direktur tersebut
bertanggungjawab secara pribadi. Jika dalam kasus dimana dititikberatkan
pada tanggung jawab pribadi direksi yang menimbulkan keputusan bisnis
tersebut daripada keputusan bisnis itu sendiri, maka direktur tersebut tidak
66
dapat
bertanggungjawab secara pribadi
kecuali
pengadilan telah
membuktikan bahwa keputusan tersebut adalah tidak wajar dan merupakan
kegagalan dari direktur tersebut.
Penerapan doktrin business judgment rule tersebut dapat dipahami
dari berbagai pendapat pengadilan, dalam sebuah kasus di pengadilan
Indonesia Pada kasus yang terjadi antara PT. Usayana (Penggugat)
melawan Iriansyah Zain (Tergugat I), FX.Suripto (Tergugat II), PT.Indo
Petro Nusantara (Tergugat III) PT.Pelumpang Raya Anugrah (Tergugat
IV), PT. Permata Drilling International (Tergugat V) dalam Putusan
Nomor : 406/PDT/G/2010/PN.Bks.
Dalam perkara sebagaimana diatas, Tergugat dianggap melakukan
pemborosan keuangan perusahaan karena melakukan penyewaan pompa
dalam kenyataannya pompa tersebut tidak digunakan serta dianggap
melakukan tindakan yang menyebabkan terjadinya kerugian perseroan
karena perubahan spek mesin ternyata tidak dapat langsung di fungsikan
sehingga mengalami denda (penalty). Tergugat menolak gugatan
Penggugat, dengan beralasan bahwa segala kegiatan serta keputusan yang
dilakukan oleh Tergugat telah disampaikan kepada pemilik saham perihal
untung rugi dari segala tindakannya dan telah mendapat pembebasan
tanggung jawab karena telah diterima oleh pemilik saham melalui RUPS.
Majelis hakim dalam memutus perkara ini menyimpulkan bahwa yang
dijadikan dasar oleh Penggugat dalam mengajukan gugatan adalah surat
perjanjian borongan dan addendum perjanjian pemborongan ada tercantum
67
pemilihan domisili oleh para pihak, dimana dinyatakan bahwa “apabila
terjadi perselisihan dalam pelaksanaan surat perjanjian borongan ini yang
tidak dapat diselesaikan secara musyawarah tersebut akan diselesaikan
melalui pengadilan Jakarta Timur”. Berdasarkan pilihan domisili tersebut
Pengadilan Negeri Bekasi tidak berwenang untuk memeriksa dan
mengadili perkara tersebut sehingga gugatanPenggugat dinyatakan tidak
dapat diterima.
Dalam kasus direksi PT. Merpati Nusantara Airlines, seorang direksi
haruslah memenuhi syarat:
1. Tidak terlibat
2. Independen
3. Mengetahui hal tersebut agar dapat dilindungi business
judgment rule.
Jika direktur gagal dalam memperoleh dukungan terhadap tiga
persyaratan tadi, maka dia tidak akan dilindungi oleh business judgment
rule. Hal ini tidaklah berarti semua keputusan bisnis itu salah; hanya untuk
mengalihkan perlindungan yang diberikan oleh BJR bila direktur tersebut
tidak dapat membuktikannya. Jika ternyata BJR itu memang ternyata tidak
dapat diterapkan terhadap seorang direksi maka pengadilan yang akan
berperan di dalam menentukan kebenaran keputusan bisnis tersebut.
Di negara lain seperti Amerika Serikat. Misalnya dalam perkara
Call v. Exxon Corp ,United District Court, S.D New York, 1976, 418
68
F.Supp.508, dimana Hakim Robert L. Carter, menyatakan bahwa para
tergugat bertindak, sesuai dengan peraturan Rule 56, F.R.Civ.P, dalam
kesimpulan pendapatnya untuk membahas gugatan Penggugat dengan
dasar bahwa Special Committee on Litigation (“Special Committee”),
mewakili Dewan Direksi dari Exxon Corporation (“Exxon”), yang dengan
itikad baiknya telah melaksanakan business judgment mereka yang
menyatakan bahwa pelaksanaan gugatan atas dasar apa yang terdapat
dalam gugatan Penggugat adalah berlawanan dengan kepentingan Exxon.
Mosi Penggugat dengan ini disanggah tanpa prejudice setelah Penggugat
menghadirkan penemuan yang berkaitan dengan pokok perkara.80
Fakta dari perkara Call v. Exxon Corp adalah Gugatan Penggugat
timbul dari alleged pembayaran Exxon Corporation sekitar $ 59 juta yang
berasal dari dana perusahaan yang ditujukan untuk penyuapan atau dengan
kata lain sebagai pembayaran berkenaan “politik”, yang dengan cara yang
tidak selayaknya telah diberikan kepada partai politik Itali dan pihak-pihak
lainnya pada periode 1963-1974, dalam rangka untuk memenuhi
kepentingan politisnya dan menurut dugaan untuk komitmen politis
lainnya.81
Bila diamati dari kasus dalam perkara ini tidak perlu dipertanyakan
bahwa hak-hak yang sedang diperjuangkan dalam gugatan ini adalah hak
mempertahankan dari Exxon, dan bukan kepunyaan Penggugat yang
80
Joan Levine GALL, as Executrix of the Estate of Nathan Levine, Plaintiff,v.
EXXON CORPORATION et al., Defendants, No. 75 Civ. 3682,
http://law.justia.com/cases/federal/district-courts/FSupp/418/508/1602634/, dikunjungi pada
tanggal 16 Maret 2014 pukul 19.31.
81
Ibid.,
69
menggugat untuk kepentingan perusahaan. Karena memang kepentingan
perusahaan yang sedang dipertaruhkan, hal ini adalah tanggung jawab dari
para direktur perusahaan untuk menentukan, pada saat itu, apakah untuk
kepentingan perusahaan tindakan ini harus dilakukan. ” Sepertinya
keputusan dari direktur perusahaan ini disandarkan kepada business
judgment of the management.82
Prinsip ini, yang kemudian diketahui sebagai business judgment rule,
telah diucapkan oleh Mr.Justice Brandeis di Pengadilan di United Copper
Securities Co. v. Amalgamated Copper Co.supra, 244 US. Pada 263-64,
37 Sct. Pada 510. Dalam hal ini para direktur dari perusahaan memilih
untuk tidak membawa tindakan yang menentang penggabungan industriindustri (antitrust) terhadap pihak ketiga.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, hal ini tentunya sangatlah
berkaitan dengan doktrin business judgment rule, adapun perlindungan
hukum bagi direksi dalam UUPT yaitu:
Pasal 97 ayat (3) UUPT berbunyi: “Setiap Direksi bertanggung jawab
penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan
bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2).”
82
United Copper Securities Co. v. Amalgamated Copper Co.,244 U.S 261, 263-4, 37 S.Ct.509,61
Led. 1119 (1917).
70
Pasal 97 Ayat (5) UUPT menyebutkan bahwa:
Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi atas
kerugian perseroan, apabila dapat membuktikan bahwa; (a)
kerugian tersebut bukan karena kesalahannya atau kelalaiannya,
(b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehatihatian, (c) tidak mempunyai benturan kepentingan secara langsung
maupun tidak secara langsung, (d) telah mengambil tindakan untuk
mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Pasal 104 ayat (4) UUPT menyebutkan bahwa:
Anggota direksi tidak dapat dipersalahkan atas kepailitan
perseroan, apabila dapat membuktikan bahwa kepailitan itu bukan
karena kesalahan atau kelalaianya (huruf a), telah melakukan
pengurusan
dengan
itikad
baik
dan
kehati-hatian
untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan
(huruf b), tidak mempunyai benturan kepentingan baik secara
langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang
dilakukan (huruf d), dan telah mengambil tindakan untuk
mencegah terjadinya kepailitan (huruf d).
Undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
tidak mengatur secara khusus mengenai business judgement tetapi
mengatur prinsip-prinsip umumnya. Dari prinsip umum business
71
judgement itu maka: 1. Direksi dalam mengurus perseroan harus
memperhatikan kepentingan perseroan di atas kepentingan lainnya (to act
bona fide in the interest of the company); 2. Pengurus Perseroan harus
bertindak sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan (intra vires) serta
memperhatikan batasan dan larangan yang ditentuka UU dan anggaran
dasar sesuai Pasal 92 ayat (1), “Direksi menjalankan pengurusan Perseroan
untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan.”; 3. Dalam melaksanakan kepengurusan, pribadi-pribadi
anggota direksi harus memiliki itikad baik (in good faith) dan tanggung
jawab (in full sense of responsibility); 4. Direksi harus melaksanakan
tugasnya dengan rajin (diligently), penuh kehati-hatian (carefully), dan
pintar serta terampil (skillfully). Kesimpulannya, direksi dalam mengurus
Perseroan di Indonesia dengan tegas dibebani kewajiban untuk
melaksanakan fiduciary duty.
Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 99 ayat (1) menekankan
berlakunya doktrin business judgement rule. Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2)
UUPT itu khususnya memberlakukan doktrin business judgement rule dan
dari ketentuannya dapat dsimpulkan bahwa tindakan direksi terhadap
perseroan haruslah dilakukan dengan memenuhi ketiga syarat yuridis
yaitu: a. Itikad baik (good faith); b. Penuh tanggungjawan dan; c. Untuk
kepentingan perseroan. Manakala salah satu dari unsur yuridis itu tidak
terpenuhi, direksi tersebut dianggap bersalah (dalam arti kesengajaan) atau
setidak-tidaknya dalam keadaan lalai (negligence) dalam menjalankan
tugasnya itu sehingga dia harus bertanggungjawab secara pribadi. Dengan
72
demikian dapat ditarik suatu kesimpulan yuridis bahwa miskalkulasi,
kesalahan yang jujur (honest mistake), atau kesalahan dalam mengambil
keputusan (mere error in judgement) selama tidak melanggar salah satu
atau lebih dari tiga unsur tersebut di atas, belumlah dapat dibebankan
kewajiban hukum kepada direksi secara pribadi,meskipun mungkin saja
pihak perseroan atau pemegang saham telah dirugikan secara materil atau
non-materil. Karena itu dapat dikatakan bahwa sampai batas-batas
tertentu, UUPT memberlakukan doktrin business judgement rule
83
.
Doktrin business judgement rule merupakan reaksi atas pembatasan
diskresi yang timbul karena adanya kewajiban-kewajiban fiduciary bagi
direksi dalam mengurus korporasi atau perseroan.
Berlakunya doktrin fiduciary duty terkait dengan doktrin business
judgement rule juga ditegaskan dalam Pasal 92 ayat (1) dan (2) berikut
penjelasannya. Adapun Pasal 92 ayat (1) menekankan keharusan direksi
menjalankan Perseroan sesuai dengan kepentingan, maksud dan tujuan
Perseroan tentu dengan itikad baik dan tanggungjawab sesuai prinsip
fiduciary duty dan business judgement rule, yang berbunyi “Direksi
menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan
sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.” Sedangkan Pasal 92 ayat
(2) dan penjelasannya menyatakan bahwa direksi berwenang menjalankan
pengurusan perseroan sesuai dengan kebijakan yang, antara lain,
didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam
usaha sejenis. Bunyi Pasal 92 ayat (2) sebagai berikut, “Direksi
83
Munir Fuady, Op. Cit., h. 193.
73
berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.” Adapun
penjelasan Pasal 92 ayat (2) ini berbunyi, “Yang dimaksud dengan
“kebijakan yang dipandang tepat ” adalah kebijakan yang, antara lain
didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam
dunia usaha yang sejenis.”
Pasal-pasal di atas ini tegas sekali menganut doktrin business
judgement rule serta memiliki prinsip fiduciary duty bila dikatakan direksi
menjalankan perseroan didasarkan
pada
keahlian berarti direksi
menjalankan duty of skill dimana direksi tidak diharapkan tingkat keahlian
kecuali hanya setingkat yang dapat diharapkan secara wajar dari orang
yang sama pengetahuannya dan sama pengalaman dengannya atau dalam
bahasa hukum popular, “degree of skill that may reasonably be expected
from a person of his knowledge and experience.”84 Adapun kebijakan
bisnis dalam business judgement law dalam penjelasan Pasal 92 ayat (2)
itu berupa “kebijakan sesuai kelaziman dalam dunia usaha yang sejenis”
ini sesuai dengan prinsip duty to exercise care dalam fiduciary duty yang
menuntut direksi untuk melaksanakan tugasnya dengan rajin (diligently),
penuh kehati-hatian (carefully), dan pintar serta terampil (skillfully), hal ini
biasanya disebut dengan standard of conduct.
84
Teddy Anggoro, Bahan Kuliah, Teori Perusahaan, FHUI, 2010.
74
Apapun tingkat kelalaiannya itu, sejauh adanya gugatan dari pihak
penggugat karena adanya kerugian, atau dari pihak yang dirugikan, maka
sudah cukup bagi direksi untuk membuktikannya di pengadilan, bahwa
kerugian itu bukan akibat karena adanya kelalaian atau kesalahan direksi.
Jadi, kerugian dan adanya tuntutan dari pihak yang dirugikan dapat
dijadikan ukuran bagi direksi untuk membuktikan bahwa kelalaian atau
kesalahan itu bukan milik mereka.
Ukuran kedua untuk menentukan kelalaian atau kesalahan direksi
adalah adanya keadaan pailit, sebagai patokan atas, apapun tingkat
kelalaian atau kesalahan itu harus dibuktikan oleh direksi di pengadilan.
Di sini, besar kecil kelalaian atau kesalahan itu tampaknya akan ditentukan
oleh pengadilan, tetapi yang pasti telah ada suatu keadaan untuk
membuktikan apakah itu kesalahan atau kelalaian direksi. Kalaupun
kepailitan itu disebabkan karena kelalaian atau kesalahan direksi, sejauh
direksi telah melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan
itu, berdasarkan redaksi pasal tersebut, maka direksi tidak dapat
dipersalahkan dan dimintakan pertanggungjawabannya.
Dari uraian terakhir di atas, yang berkaitan dengan adanya usaha
direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan, tersirat adanya unsur
Keputusan Bisnis. Orang yang paling berpengalaman, dan keputusan yang
terbaik sekalipun, dapat membuahkan hasil yang tidak diharapkam. Hal ini
dapat ditinjau dari keadaan berikut. Jika direksi memang telah berusaha
dengan sunguh-sunguh untuk mencegah timbulnya kepailitan, maka
75
keadaan ini dapat diartikan bahwa keadaan yang mengarah menuju
kepailitan itu, dapat merupakan bagian dari sifat bisnis perseroan yang
mengandung risiko tertentu. Pada saat yang sama, bisnis itu harus
menghadapi keadaan yang tidak normal. Keadaan yang tidak normal ini
biasanya sulit untuk diperkirakan sebelumnya, walaupun karakteristik
bisnisnya sendiri yang berkaitan dengan risiko sudah dipahami secara
penuh oleh direksi. Dengan demikian, walaupun diteksi telah menerapkan
sikap kehati-hatian yang diperlukan, dan telah memiliki pengalaman yang
panjang dalam bisnis yang dikomandoinya, tidak ada jaminan bahwa
direksi selalu akan berhasil dalam menjalankan usaha itu dalam setiap
keadaan yang mungkin dapat terjadi.
Berbeda dengan konsep gross negligence yang berlaku dalam business
judgement rule, dalam perundang-undangan di Indonesia dapat mengacu
pada ketentuan Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUHPerdata, Pasal 97 Ayat (5)
dan Pasal 104 Ayat (4) UUPT. Sejalan dengan ketentuan Pasal-pasal ini,
yurisprudensi Indonesia mengartikan bahwa kelalaian adalah pelanggaran
terhadap hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku, atau bertentangan dengan sikap kehati-hatian di dalam pergaulan
masyarakat, terhadap kepentingan atau milik orang lain. Kewajiban hukum
pelaku dapat diartikan sebagai fiduciary duty dari direksi, dan memenuhi
sikap kehati-hatian di dalam pergaulan masyarakat, atau duty of care
seperti yang diuraikan di atas, dalam hal melakukan pekerjaan; dan
kepentingan pihak lain diartikan sebagai kepentingan perseroan dan
pemangku kepentingan lainnya. Perbuatan melanggar hukum diartikan
76
bertentangan dengan kepentingan pihak-pihak tersebut, dan merupakan
kesalahan
atau
kelalaian
atau
sikap
kurang hati-hati,
sehingga
menimbulkan kerugian bagi perseroan atau pihak-pihak tersebut. Organ
badan hukum harus bertanggungjawab secara pribadi dengan melakukan
ganti rugi secara pribadi, apabila melakukan kesalahan-kesalahan pribadi
karena lalai atau kurang hati-hati yang merugikan badan hukum.85
Undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
tidak secara jelas mendefinisikan kesalahan atau kelalaian yang dimaksud
dalam berbagai pasalnya. Namun, moral dari Pasal 45 KUHD dapat pula
digunakan sebagai acuan dalam menentukan apa yang dimaksud dengan
kesalahan (yang disengaja) atau kelalaian (yang tidak disengaja).
Ukurannya adalah‚ ‟menunaikan sebaik-baiknya tugas yang diberikan
kepada mereka, dan tidak menyimpang dari ketentuan yang ada dalam
anggaran dasar atau perubahannya‟. Setara dengan pengertian ini, maka
kesalahan atau kelalaian dalam UUPT dapat pula diartikan sebagai tidak
dilakukannya tugas pengurusan perseroan dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab, seperti yang diindikasikan oleh Pasal 97 Ayat (2) UUPT,
dan menyimpang dari ketentuan dalam anggaran dasar serta merupakan
tindakan dalam klasifikasi ultra vires.
Sejauh direksi memenuhi persyaratan atau kewajiban hukum yang
dimaksud dalam kedua Pasal UUPT tersebut, maka direksi tidak dapat
dipersalahkan. Di lain pihak, sejauh direksi dapat membuktikan bahwa
85
Ali Rido, R., 2004, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf, Penerbit Alumni, Bandung, h. 30.
77
kerugian atau kepailitan itu bukan disebabkan karena kelalaian atau
kesalahannya, atau direksi telah berusaha untuk mencegahnya, maka
direksi tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban ganti kerugian secara
pribadi, dalam kata lain direksi dapat diberikan perlindungan hukum.
2.
Penyelesaian Pertanggungjawaban
Penyelesaian Pertanggungjawaban Direksi PT. Merpati Nusantara
Airlines Pasal-pasal di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas telah
merumuskan secara tegas mengenai tanggung jawab direksi suatu
perseroan terbatas. Secara umum direksi bertanggung jawab penuh atas
pengurusan perseroan, hal ini diatur dalam ketentuan pasal 1 angka 5
Undang-Undang Perseroan Terbatas. Tanggung jawab penuh terhadap
pengurusan perseroan tersebut harus dilakukan dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku, artinya terbatas pada maksud dan tujuan yang
tercantum dalam anggaran dasar perseroan.
Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Responsibility:86
a. …(for something/for doing something) / …(to do something) :
A duty to deal with or take care of somebody/something, so
that you may be blamed if something goes wrong; eg: We are
recruiting a sales manager with responsibility for the European
market. They have responsibility for ensuring that the rules are
86
A. S. Hornby, et al, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford University Press, 2010.
78
enforced. It is their responsibility to ensure that the rules are
enforced. To take/assume overall responsibility for personnel.
Parental rights and responsibilities. I don’t feel ready to take on
new responsibilities. To be in a position of responsibility. I did it
on my own responsibility (= without being told to and being
willing to take the blame if it had gone wrong).
b. …(for something) :
Blame for something bad has happened; eg: The bank refuses
to accept responsibility for the mistake. Nobody has claimes
responsibility
for
the
bombing.-see
also
DIMINISHED
RESPONSIBILITY.
c. …(to/towards somebody) / …(to do something) :
A duty to help or take care of somebody because of your job,
position, etc; eg: She feels a strong sense of responsibility
towards her employees. I think we have a moral responsibility to
help these countries.
Menurut definisi kosakata bahasa asing tersebut di atas, tanggung
jawab dapat diartikan sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan,
dalam hal ini berarti perbuatan tersebut belum dilakukan, namun telah
mengikat pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan tindakan
tersebut.
Oleh karena itu tanggung jawab dapat bermakna sesuatu yang belum
dilakukan tapi merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, seperti
halnya dalam penulisan ini adalah merupakan tanggung jawab direksi
79
untuk melakukan pengurusan perseroan, begitu seseorang diangkat secara
sah sebagai direksi secara otomatis dia bertanggung jawab untuk tugas
pengurusan itu, dimana dia berkewajiban untuk selanjutnya menjalankan
tugas pengurusan perseroan dengan sebaik-baiknya, yang mana makna
tersebut dapat dirumuskan dari pasal 1 angka 5 UUPT.
Kemudian makna berikutnya adalah sesuatu yang telah dilakukan
harus ditanggung akibatnya beserta segala resiko yang mungkin timbul
dari dilaksanakannya tindakan tersebut, yang dalam penulisan ini, seorang
direksi dianggap bertanggung jawab terhadap keputusan-keputusan yang
diambil dan tindakan-tindakan yang dilakukan berkaitan dengan tindakan
pengurusan perusahaan. Makna ini dapat dirumuskan dari pasal-pasal
dalam UUPT berikut ini:
a. Pasal 14 ayat (1) UUPT;
“Perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh
status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota
Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan
Komisaris Perseroan dan mereka sernua bertanggung jawab secara
tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut.”
b. Pasal 37 ayat (3) UUPT;
“(3) Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita pemegang saham yang beritikad baik, yang
timbul akibat pembelian kembali yang batal karena hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).”
c. Pasal 69 ayat (3) UUPT;
“(3) Dalam hal laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak
benar dan/atau menyesatkan, anggota Direksi dan anggota Dewan
Komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap
pihak yang dirugikan.”
d. Pasal 72 ayat (6) UUPT;
80
“(6) Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab secara
tanggung renteng atas kerugian Perseroan, dalam hal pemegang
saham tidak dapat mengembalikan dividen interim sebagaimana
dimaksud pada ayat (5).”
e. Pasal 95 ayat (2) UUPT;
“(2) Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung
sejak diketahui, anggota Direksi lainnya atau Dewan Komisaris
harus mengumumkan batalnya pengangkatan anggota Direksi yang
bersangkutan dalam Surat Kabar dan memberitahukannya kepada
Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan.”
f. Pasal 95 ayat (4) UUPT;
“(4) Perbuatan hukum yang dilakukan untuk dan atas nama
Perseroan oleh anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) setelah pengangkatannya batal, adalah tidak sah dan menjadi
tanggung jawab pribadi anggota Direksi yang bersangkutan.”
g. Pasal 95 ayat (5) UUPT;
Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi atas
kerugian perseroan, apabila dapat membuktikan bahwa; (a)
kerugian tersebut bukan karena kesalahannya atau kelalaiannya,
(b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehatihatian, (c) tidak mempunyai benturan kepentingan secara
langsung maupun tidak secara langsung, (d) telah mengambil
tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.”
h. Pasal 101 ayat (2) UUPT;
“(2) Anggota Direksi yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menimbulkan kerugian
bagi Perseroan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian
Perseroan tersebut.”
81
i. Pasal 104 ayat (2) UUPT;
(2) Dalam ha1 kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit
tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam
kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung
renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak
terlunasi dari harta pailit tersebut,
j. Pasal 133 UUPT
“(1) Direksi Perseroan yang menerima Penggabungan atau Direksi
Perseroan hasil Peieburan wajib mengumumkan hasil
Penggabungan atau Peleburan dalam 1 (satu) Surat Kabar atau
lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal berlakunya Penggabungan atau Peleburan.”
“(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga
terhadap Direksi dari Perseroan yang sahamnya diambil alih.”
Pasal-pasal di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas telah
merumuskan secara lebih khusus mengenai tanggung jawab direksi
terhadap akibat dari suatu tindakan yang dilakukan direksi dalam
melaksanakan tugas pengurusan perseroan maupun terhadap akibat dari
suatu keputusan bisnis yang dibuat direksi dalam menjalankan perseroan.
Dari pasal-pasal yang ada, dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab
direksi meliputi setiap tindakan yang dilakukan oleh direksi dalam
pengurusan perseroan dan/atau atas tindakan yang tidak dilakukan direksi
namun seharusnya dilakukan. Direksi tidak hanya bertanggung jawab
82
terhadap kerugian yang diderita perseroan, tetapi juga bertanggung jawab
terhadap kerugian yang diderita pihak lain selain perseroan, seperti
ternyata
pada
pasal
69
ayat
(3)
tersebut
di
atas
mengenai
pertanggungjawaban atas laporan keuangan.
Terlepas dari tanggung jawab yang disebutkan dalam pasal-pasal
tersebut di atas, direksi dalam menjalankan pengurusan perseroan tidak
selalu membawa keberhasilan bagi perseroan. Merupakan hal yang wajar
bahwa dalam menjalankan perjalanan bisnisnya suatu perusahaan
mendapat keuntungan dan mengalami kerugian. Karena kedudukan direksi
yang bersifat fiduciary, yang oleh UUPT sampai batas-batas tertentu
diakui, maka tanggung jawab direksi menjadi sangat tinggi (high degree).
Tidak hanya bertanggungjawab terhadap ketidakjujuran yang disengaja
(dishonesty), tetapi dia juga bertanggungjawab secara hukum terhadap
tindakan mismanagement, kelalaian atau gagal atau tidak melakukan
sesuatu yang penting bagi perseroan.87
Undang-Undang Perseroan Terbatas mengatur secara tegas bahwa
kerugian perseroan akibat dari kelalaian direksi dalam menjalankan
tugasnya menjadi tanggung jawab pribadi direksi secara penuh. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 97 ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas
yang menyatakan bahwa setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh
secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah
87
Ridwan Khairandy, Op. Cit., h. 208-209, mengutip Munir Fuady, Perseroan Terbatas
Paradigma Baru, Citra Aditya, Bandung, 2003, h. 82.
83
atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Kemudian ayat berikutnya dalam pasal yang sama yaitu ayat (4)
menyatakan bahwa dalam hal Direksi terdiri atas dua anggota Direksi atau
lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara
tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi. Pasal ini juga merupakan
penerapan dari definisi tanggung jawab sebagai keadaan dimana suatu
pihak harus menanggung resiko yang timbul akibat dari dilakukannya
suatu tindakan. Selain bertanggung jawab terhadap tindakan yang
dilakukan direksi seperti halnya diatur di dalam Undang-Undang
Perseroan Terbatas, direksi suatu perseroan juga dituntut untuk
bertanggung jawab secara pribadi terhadap tindakan ultra vires, yaitu tidak
hanya termasuk pada tindakan yang dilarang oleh anggaran dasar dan
peraturan perundang-undangan tetapi juga tindakan yang tidak dilarang
namum melampaui kewenangan yang diberikan kepadanya, meskipun
tindakan ultra vires itu dilakukan untuk kepentingan perseroan.
Perseroan tidak bertanggung jawab lebih dari tindakan yang dilakukan
sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, oleh karena itu perbuatan dan
tindakan yang dilakukan direksi yang tidak sesuai dengan maksud dan
tujuan perseroan yang tercantum dalam anggaran dasar merupakan
tanggung jawab pribadi direksi tersebut dan bukan merupakan tanggung
jawab perseroan, selain itu ketentuan ultra vires tidak hanya mengenai
tindakan direksi untuk kepentingan perseroan yang tidak sesuai dengan
maksud dan tujuan perseroan, tetapi juga termasuk tindakan direksi yang
84
melebihi kewenangan yang diberikan oleh
perseroan kepada direksi.
Meskipun direksi melakukan pengurusan perseroan dengan sah untuk
kepentingan perseroan, bukan berarti direksi dapat melakukan tindakan
pengurusan untuk tujuan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan, apalagi bila tujuan itu untuk kepentingan pribadi direksi.
Bila dalam hal ini ternyata terdapat kerugian akibat tindakan ultra
vires yang dilakukan direksi dalam melakukan pengurusan perseroan,
direksi wajib bertanggung jawab penuh secara pribadi atas tindakan ultra
vires nya tersebut, namun apabila tindakan ultra vires tersebut
menguntungkan perseroan, keuntungan tersebut menjadi milik perseroan,
di
samping
itu
apabila
direksi
mengambil
keuntungan
dengan
menggunakan nama perseroan, aset perseroan, dan dengan alasan untuk
kepentingan perseroan, direksi tersebut dianggap melanggar fiduciary
duty.
Dalam kasus Direktur PT. Merpati Nusantara Airlines ini Hotasi tidak
menerima uang apapun dalam transaksi dengan TALG. Jadi dakwaan
memperkaya diri atas Hotasi tidak dapat dikenakan. Hotasi juga tidak
melanggar prosedur yang. Keputusan dibuat secara kolektif oleh direksi.
Sehingga pasal penyalahgunaan wewenang tidak bisa dikenakan. Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa TALG menipu MNA, kemudian MNA
sudah menggugat TALG di Amerika Serikat dan menang. Potensi
pengembalian masih ada, kerugian negara belum terjadi. Jadi pasal
tersebut tidak bisa dikenakan. KPK, Bareskrim Polri dan Badan Pemeriksa
85
Keuangan (BPK) menyimpulkan perkara gagal sewa pesawat ini tidak
memenuhi kriteria tindak pidana korupsi.
Membuktikan kasus ini harusnya sederhana. Intinya ada sewa-menyewa
yang macet. Konstruksi hukumnya adalah perdata, sewa menyewa konstruksi hukumnya adalah keperdataaan. Sewa-menyewa yang macet adalah
bentuk wanprestasi (ingkar janji) yang tanggung-gugatnya bersifat
keperdataan, bukan pidana. Untuk mengujinya dengan pertanyaan
sederhana.
Sepanjang tidak ada bukti perbuatan melawan hukum berupa
persekongkolan, melanggar aturan, atau tipu daya antara PT MNA dengan
pihak swasta yang menguntungkan pihak lain serta menimbulkan kerugian
negara, maka kasus tersebut tidak bisa masuk ranah korupsi atau pidana.
Penerapan doktrin business judgment rule tersebut kasus PT. Merpati
Nusantara Airlines, Direksi dari PT. MNA telah melaksanakan dengan
itikad baiknya. Setelah melihat fakta-fakta yang terdapat dalam Putusan
Nomor: 36/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, maka penulis menyatakan
pendapat dua hal, yaitu:
a. Pada kasus PT. MNA dengan terdakwa Hotasi Nababan, bukan
merupakan kasus Tindak Pidana Korupsi melainkan hanya resiko
bisnis.
Pasal 97 ayat (3) UUPT: “Setiap Direksi bertanggung jawab penuh
secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan
86
bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2)“.
Apapun tingkat kelalaiannya itu, sejauh adanya gugatan dari pihak
penggugat karena adanya kerugian, atau dari pihak yang dirugikan,
maka sudah cukup bagi direksi untuk membuktikannya di pengadilan,
bahwa kerugian itu bukan akibat karena adanya kelalaian atau
kesalahan direksi. Jadi, kerugian dan adanya tuntutan dari pihak yang
dirugikan dapat dijadikan ukuran bagi direksi untuk membuktikan
bahwa kelalaian atau kesalahan itu bukan milik mereka.
Ukuran kedua untuk menentukan kelalaian atau kesalahan direksi
adalah adanya keadaan pailit, sebagai patokan atas, apapun tingkat
kelalaian atau kesalahan itu harus dibuktikan oleh direksi di
pengadilan. Di sini, besar kecil kelalaian atau kesalahan itu tampaknya
akan ditentukan oleh pengadilan, tetapi yang pasti telah ada suatu
keadaan untuk membuktikan apakah itu kesalahan atau kelalaian
direksi. Kalaupun kepailitan itu disebabkan karena kelalaian atau
kesalahan direksi, sejauh direksi telah melakukan tindakan untuk
mencegah terjadinya kepailitan itu, berdasarkan redaksi pasal tersebut,
maka direksi tidak dapat dipersalahkan dan dimintakan pertanggungjawabannya.
Dari uraian terakhir di atas, yang berkaitan dengan adanya usaha
direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan, tersirat adanya unsur
Keputusan Bisnis. Orang yang paling berpengalaman, dan keputusan
87
yang terbaik sekalipun, dapat membuahkan hasil yang tidak
diharapkam. Hal ini dapat ditinjau dari keadaan berikut. Jika direksi
memang telah berusaha dengan sunguh-sunguh untuk mencegah
timbulnya kepailitan, maka keadaan ini dapat diartikan bahwa
keadaan yang mengarah menuju kepailitan itu, dapat merupakan
bagian dari sifat bisnis perseroan yang mengandung risiko tertentu.
Pada saat yang sama, bisnis itu harus menghadapi keadaan yang tidak
normal. Keadaan yang tidak normal ini biasanya sulit untuk
diperkirakan sebelumnya, walaupun karakteristik bisnisnya sendiri
yang berkaitan dengan risiko sudah dipahami secara penuh oleh
direksi. Dengan demikian, walaupun diteksi telah menerapkan sikap
kehati-hatian yang diperlukan, dan telah memiliki pengalaman yang
panjang dalam bisnis yang dikomandoinya, tidak ada jaminan bahwa
direksi selalu akan berhasil dalam menjalankan usaha itu dalam setiap
keadaan yang mungkin dapat terjadi.
b. Law in book berbeda dengan law in action, karena penerapan hukum
yang tidak tepat pada suatu perkara, yaitu antara hukum perdata
dengan hukum pidana, atau secara khusus antara UUPT dalam ranah
hukum bisnis dengan UU Pemberantasan TIPIKOR dalam hukum
publik. Kesenjangan dalam bentuk lain adalah antara das sein dengan
das sollen, atau kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat MNA
sebenarnya tidak perlu sampai ke pengadilan Tipikor. Sebab, dalam
kasus tersebut tidak ada unsur kesengajaan maupun niat jahat yang
dilakukan Hotasi Nababan sehingga pesawat yang disewa tidak
88
dikirim oleh penyedia pesawat. Seharusnya Hakim lebih jeli memilah
kasus, dan Hotasi dilindungi doktrin Business Judgement Rule dalam
hukum korporasi.
Undang-undang Perseroan Perseroan Terbatas tidak secara jelas
mendefinisikan kesalahan atau kelalaian yang dimaksud dalam berbagai
pasalnya. Namun, moral dari Pasal 45 KUHD dapat pula digunakan
sebagai acuan dalam menentukan apa yang dimaksud dengan kesalahan
(yang disengaja) atau kelalaian (yang tidak disengaja). Ukurannya adalah‚
‟menunaikan sebaik-baiknya tugas yang diberikan kepada mereka, dan
tidak menyimpang dari ketentuan yang ada dalam anggaran dasar atau
perubahannya‟. Setara dengan pengertian ini, maka kesalahan atau
kelalaian dalam UUPT dapat pula diartikan sebagai tidak dilakukannya
tugas pengurusan perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab,
seperti yang diindikasikan oleh Pasal 97 Ayat (2) UUPT, dan menyimpang
dari ketentuan dalam anggaran dasar serta merupakan tindakan dalam
klasifikasi ultra vires.
Sejauh direksi memenuhi persyaratan atau kewajiban hukum yang
dimaksud dalam kedua Pasal Undang-undang Perseroan Terbatas tersebut,
maka direksi tidak dapat dipersalahkan. Di lain pihak, sejauh direksi dapat
membuktikan bahwa kerugian atau kepailitan itu bukan disebabkan karena
kelalaian atau
kesalahannya, atau direksi
telah berusaha untuk
mencegahnya, maka direksi tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban
89
ganti kerugian secara pribadi, dalam kata lain direksi dapat diberikan
perlindungan hukum.
Mengenai pembuktian itu sendiri, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata pasal 1865 menyatakan bahwa setiap orang yang mendalilkan
bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri
maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa,
diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.88
Berdasarkan bunyi pasal tersebut di atas, berkaitan dengan Business
Judgment Rule, bahwa dalam hal adanya pihak yang menganggap adanya
kerugian akibat kesalahan direksi, maka pihak tersebut harus dapat
membuktikan.
Berdasarkan
prinsip-prinsip
tanggungjawab
direksi
haruslah
menjalankan tanggung jawabnya secara penuh dengan mempunyai
kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), itikad baik, loyalitas,
dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan derajat yang tinggi (high
degree). Jika prinsip tanggungjawab direksi tersebut dikaitkan dengan
doktrin Business Judgement rule, maka seorang direksi suatu perusahaan
tidak bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan
pengambilan keputusan, apabila tindakan direksi tersebut didasari itikad
baik, sifat hati-hati, serta dapat mebuktikan bahwa seorang direksi tersebut
memang tidak bersalah sesuai dengan apa yang telah dicantumkan pada
Pasal 97 ayat (5) UUPT yang mengatur mengenai syarat seorang direksi
tidak dapat dipertanggung jawabkan atas suatu kerugian PT.
88
Ibid., Ps. 1865
90
Direksi PT. Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya, karena memenuhi unsur-unsur
dalam business judgement rule, yaitu:
a. Business Decision: Business Judgement Rule hanya dapat
diterapkan dalam konteks tindakan direksi, atau keputusan
yang diambil merupakan tindakan direksi, termasuk tidak
mengambil keputusan sejauh keputusan untuk tidak melakukan
tindakan itu disadarinya. Unsur ini dapat ditemukan dalam
Pasal 97 Ayat (5) huruf (a).
b. Disinterestedness: Ketentuan Business Judgement Rule
menekankan loyalitas kepada perseroan yang tidak terbagi
dan tidak mengandung kepentingan pribadi, sehingga tidak
terjadi konflik antara tugas dan kepentingan pribadi. Dalam
kata
lain,
syaratnya
adalah
“ketidaktertarikan”
atau
Disinterestedness. Untuk menjaga integritas dari transaksi,
direksi tidak boleh merasa tertarik, atau tidak memiliki
kepentingan
keuangan
pada
transaksi
yang
akan
diputuskannya. Unsur ini dapat ditemukan dalam Pasal 97
Ayat (5) huruf (c).
c. Due Care: Direksi harus melakukan usaha yang diperlukan
untuk
memastikan
dan
mempertimbangkan
seluruh
informasi yang relevan. BJR hanya melindungi “informed
decision”,
atau
pengambilan
keputusan
berdasarkan
91
informasi yang relevan dan cukup. Di Delaware, ukuran
yang dipakai adalah gross negligence. Unsur ini dapat
ditemukan dalam Pasal 97 Ayat (5) huruf (d).
d. Good Faith: Ini artinya bahwa motivasi dari tindakan direksi
secara murni, berdasarkan keinginan yang jujur dan dengan
itikad baik untuk menguntungkan pemegang saham
perusahaan; tidak karena tujuan lain seperti keuntungan
pribadi.
Tidak
adanya
kepentingan
keuangan
yang
signifikan menimbullkan anggapan adanya itikad baik.
Namun, syarat adanya itikad baik memerlukan penentuan
secara ad hoc mengenai motif direksi dalam membuat
keputusan bisnis yang kemudian dipersoalkan. Unsur ini
dapat ditemukan dalam Pasal 97 Ayat (5) huruf (b).
e. No Abuse of Discretion or Waste: Dipenuhinya seluruh
unsur di atas tidak berarti bawa pengadilan sama sekali
dipinggirkan, tetapi hakim tetap dapat memeriksa manfaat
dari keputusan direksi, bukan untuk menggantikannya;
tetapi untuk semata-mata memastikan bahwa tidak terdapat
gross overreaching, atau an abuse of discretion, atau
penyalahgunaan wewenang.
Seperti yang sudah penulis paparkan diatas bahwa antara hukum
perdata dengan hukum pidana, atau secara khusus antara Undang-Undang
Perseroan Terbatas dalam ranah hukum bisnis dengan Undang-Undang
92
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dalam hukum publik. Dimana
kasus ini sebetulnya antara orang perorangan yang sifatnya pribadi (privat)
dan bukan merupakan warga Negara dengan negaranya yang mengatur
kepenntingan umum (publik).
Kecenderungan memproses kasus-kasus perdata dengan mekanisme
hukum pidana seolah-olah menegaskan ada stigma kriminalisasi hukum
perdata, dan menimbulkan pertanyaan dan polemik berkepanjangan di
masyarakat bagaimana kegagalan suatu transaksi bisnis dapat berakhir di
ranah hukum pidana (korupsi). Apakah telah terjadi elaborasi tanggung
jawab dari semula bersifat keperdataan saja sekarang mencakup juga
tanggung jawab pidana. Dari sisi penanggung jawab, pihak mana yang
dianggap paling bertanggung jawab
atas perbuatan melanggar hukum
yang dilakukan atau terkait dengan kegiatan usaha korporasi, apakah
menjadi beban direksi, karyawan atau diatribusikan sebagai beban
korporasi
selaku badan hukum yang telah diakui keberadaannya
selayaknya manusia (naturlijk persoon).
Penulis tidak bermaksud mengananalisis pertimbangan hukum majelis
hakim yang mengadili kasus ini, karena putusan sudah dijatuhkan dan
sudah menjadi realitas hukum (das sein). Penulis hanya akan menganalisis
dari sisi das sollen (ideal) untuk mencari elemen, batasan dan unsur-unsur
hukum baik dari sisi hukum perdata maupun pidana sebagai sarana untuk
melihat munculnya proses elaborasi pertanggungjawaban perdata menjadi
pidana.
93
Terkait dengan hukum perdata dan hukum pidana, Prof. Indriyanto
Senoadji dan Prof. Andi Hamzah mengatakan bahwa sampai kapan pun
hukum perdata tidak bisa bertemu dengan hukum pidana, mengingat
masing-masing memiliki rel sendiri-sendiri. Bagaimana suatu wanprestasi
atas
suatu
perikatan
perdata
atau
perbuatan
melanggar
hukum
(onrechtmatige daad) atas norma hukum perdata bisa bergeser menjadi
perbuatan melanggar hukum pidana (wederrechtelijkheid). Kasus perdata
harus ditangani sesuai dengan norma hukum perdata, kasus korporasi
ditangani dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas, kasus perbankan
ditangani dengan Undang-Undang Perbankan, tidak bisa serta merta
semuanya ditangani dengan mempergunakan delik korupsi, mengingat
dalam ilmu hukum dikenal asas systematische specialiteit (kekhususan
sistematis).
Dengan
melaksanakan
regulatory)tersebut
direksi
langkah-langkah
dan pengurus
(corporate
korporasi
lainnya
self
akan
mendapatkan perlindungan hukum (corporate veil). Penyimpangan
terhadap
anggaran
dasar
dan
ketentuan
UUPT,
baik
karena
penyalahgunaan kewenangan, ketidakhati-hatian, tindakan ultra vires
dan/atau tindakan-tindakan lain, menyebabkan hilangnya perlindungan
hukum (piercing corporate veil) dan direksi korporasi bertanggung jawab
atas tindakannya. Direksi akan masuk ke ranah wilayah yang antara ranah
hukum perdata dan pidana, dimana penentuan tanggung jawab direksi atas
tindakannya yang merugikan pihak lain akan diuji apakah tetap dalam
ranah hukum perdata, atau memasuki ranah hukum pidana.
94
Dengan demikian, menurut pendapat penulis, walaupun secara teoritis
dan akademis, masih dimungkinkan untuk mempergunakan instrumen
hukum pidana (korupsi) untuk memeriksa kasus-kasus yang bernuansa
perdata, namun harus melalui mekanisme yang benar dan tepat serta
sangat hati-hati. Tujuannya agar tidak menimbulkan perbedaan perlakuan
dan penghukuman yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakadilan,
ketidakpastian hukum dan ketiadaan manfaat hukum bagi korporasi.
Penulis mendukung usulan beberapa ahli hukum, harus melibatkan ahli
hukum korporasi dalam pemeriksaan kasus-kasus lainnya selain kasus
Merpati, sejak masih ditingkat kepolisian maupun di kejaksaan, untuk
mencegah kesalahan penentuan ranah hukum dan sekaligus mengurangi
beban Pengdilan Tipikor mengadili kasus-kasus non korupsi.
Menurut penulis, dalam hal direksi PT. Merpati Nusantara Airlines
telah melaksanakan tindakannya sesuai dengan anggaran dasar atau
ketentuan perundangan-undangan (intra vires), menerapkan fiduciary duty
dan melaksanakan business judgment rule apalagi jika direksi telah
mendapatkan pernyataan Acquit et de charge dari RUPS maka segala
akibat dari tindakannya merupakan tanggung jawab korporasi, kecuali
dapat dibuktikan bahwa direksi telah melakukan tindakan-tindakan yang
tidak melalui prosedur dan tata cara yang diwajibkan oleh korporasi,
dilakukan dengan curang, mempunyai benturan kepentingan (conflict of
interest) , mengandung unsur perbuatan melanggar hukum dan merupakan
kelalaian berat (gross negligence).
95
Penulis berharap agar asas systematische specialiteit89 diterapkan dalam
menangani kasus-kasus yang bernuansa hukum perdata. Sehingga para
penegak hukum dapat dengan tepat mempergunakan parameter apa yang
akan dipergunakan, apakah akan mempergunakan elemen pidana korupsi,
pidana umum, korporasi atau mengembalikan ke elemen perbuatan
melanggar hukum perdata. Dengan demikian untuk kasus-kasus hukum
yang melibatkan korporasi, maka prinsip-prinsip dasar korporasi harus
diterapkan sebagai landasan utama untuk mempertimbangkan kesalahan
direksi atau korporasi sehingga prinsip keadilan benar-benar dapat
ditegakkan sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 D ayat (1)
bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
89
kekhususan yang sistematis, artinya ketentuan pidana yang bersifat khusus apabila pembentuk
undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai
suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus atau ia akan bersifat khusus dari khusus yang telah
ada, Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, 2009, h. 17.
Download