PENDEKATAN FEMINIS DALAM KAJIAN ISLAM Abd. Gafur dan Fita

advertisement
PENDEKATAN FEMINIS DALAM KAJIAN ISLAM
Abd. Gafur dan
(Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang,
Email: [email protected]
Fita Mustafida
(PGSD Universitas Kanjuruan Malang, Email: [email protected])
Abstract: The emergence of the feminism idea in Islam can not be separated from the emergence of feminist in the West that goes on
among Muslims. The idea of democracy and Western emancipation
entering the Islamic world is one of the compelling reasons to persuade
Muslims reviewing the position of women who are considered marginalized, and unequal to men. The feminist concept that bloomed in the
West becomes a model for the liberation of women in many Muslim
countries.
Keywords: Feminism, Bias and Islamic Studies.
Pendahuluan
Sebagai makhluk ciptaan tuhan yang maha Esa, dengan
segala pesona, kelembutan dan keindahan yang tidak dimiliki oleh
mahkluk selainnya telah memberikan nilai lebih pada seorang
wanita. Meskipun di lain pihak seorang wanita sering dijadikan objek
dalam segala hal. Bahkan wanita diangap sebagai “manusia kelas
dua” dimana posisi pertama diduduki oleh manusia lain yang bernama laki-laki.
Dalam tradisi Bibble, dinyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam untuk menjadi teman baginya. Oleh karena itu, perempuan adalah ciptaan kedua; dia hanya mahluk yang
Abd. Gafur dan Fita Mustafida
diciptakan dari dan untuk laki-laki.1 Selain itu perempuan juga mempunyai citra sebagai mahluk penggoda dan dekat dengan iblis, karena pada awal penciptaannya perempuan (hawa) telah merayu Adam
untuk memakan buah khuldi yang terlarang.2 Pemahamanpemahaman seperti ini telah menimbulkan berbagai macam pandangan yang lebih menonjolkan pada supremasi laki-laki, sehingga wanita dianggap sebagai mahluk yang rendah. Sayangnya pemahaman
seperti itu telah diamini mayoritas umat beragama, termasuk umat
Islam. Sehingga ruang gerak wanita menjadi terbatasi; wanita tidak
boleh keluar rumah sendiri, dan hanya tinggal di rumah mengurus
rumah tangga, tidak perlu sekolah yang tinggi, dan tidak perlu aktif
di masyarakat. Sehingga dominasi laki-laki tidak terhindarkan dan
perempuan seakan-akan hidup dalam tirani laki-laki.
Dari fakta-fakta tersebut memunculkan gerakan pembebasan
dan perlindungan hak-hak atas perempuan dalam masyarakat yang
dikenal dengan gerakan feminisme, sebagai reaksi terhadap kondisi
yang tidak adil dan menyedihkan yang harus ditanggung kaum perempuan sepanjang sejarah.3 Dan yang sangat menyedihkan agamalah yang sering dituduh sebagai sumber masalah berbagai bentuk
ketidakadilan di masyarakat, termasuk ketidak adilan antara relasi
laki-laki dan perempuan yang merugikan kedudukan dan peranan
perempuan.4 Padahal tujuan diciptakan agama oleh tuhan adalah
untuk mengatur kehidupan manusia dengan sebaik-baiknya. Bahkan
Islam dengan tegas menjelaskan bahwa tujuan Islam diwahyukan
adalah untuk membebaskan manusia dari segala bentuk belenggu
ketidakadilan. Pembebasan tersebut dibuktikan dengan menghapus
segala bentuk system kehidupan yang tirani, despotic dan diskriminaSiti Musdah Mulia, Muslimah Reformis (perempuan pembaharu keagamaan)(Bandung: MMU, 2005), 38
2 Asghar ali engineer, the qur’an women and modern society [ter. Agus Nuryanto.
Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKIS, 2003), 65
3 Ali Husain al-Hakim, islam and feminism; theory, modeling and application,[terj.
Jemala Gebala, Membela Perempuan (menakar feminism dengan nalar agama)(Jakarta: al-huda, 2005),59
4 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis (perempuan pembaharu keagamaan)…36
1
259 | Volume 5. No. 02. September 2013
Pendekatan Feminis dalam Kajian Islam
tif, termasuk menghilangkan diskriminasi dalam relasi laki-laki dan
perempuan.5
Melihat realitas seperti ini, menimbulkan banyak pertanyaan
kenapa ketimpangan tersebut bisa terjadi? Sebagai jawaban adalah
karena kesalahpahaman dalam memahami agama yang bias gender.
Sehingga memunculkan pembelaan kaum perempuan seperti yang
dilakukan kaum feminis islam untuk membebaskan diri dari persepsi
yang menunjukkan posisi inferior perempuan atas laki-laki. Bentuk
protes tersebut dilakukan dengan melakukan kajian secara kritis terhadap teks-teks keagamaan, baik Al-Qur’an maupun hadits, yang
secara literal menampakkan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Yang dilakukan sebagai alternatif pelurusan terhadap penafsiran klasik yang menyebabkan pemahaman agama bias gender.
Oleh karena itu, pada artikel ini perlu dikaji lebih dalam mengenai pendekatan feminisme dalam kajian Islam, yaitu dengan mengkaji fenomena-fenomena agama yang seringkali dianggap mendiskrimaniasi perempuan. Dan meluruskan anggapan Islam adalah
agama bias gender.
Pengertian Feminisme
Feminisme berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki
sifat keperempuanan. Feminisme diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingan laki-laki di masyarakat.
Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab
ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula
penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia (human being).6
Yanti Muchtar dalam jurnal perempuan memberikan tiga
pandangan yang cukup signifikan mengenai definisi feminisme. Pandangan pertama menyatakan bahwa feminisme adalah teori-teori
yang mempertanyakan pola hubungan kekuasaan laki-laki dan pe5
6
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis (perempuan pembaharu keagamaan)..39
Dadang, S. Anshari, ed. dkk. Membincangkan Feminis (refleksi muslimah atas peran
social seorang wanita), (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997),19
| 260
Abd. Gafur dan Fita Mustafida
rempuan. Pandangan kedua, berpendapat bahwa seseorang dapat
dicap sebagai feminis sepanjang pikiran dan tindakannya dapat dimasukkan ke dalam aliran-aliran feminis yang dikenal selama ini,
seperti feminisme liberal, radikal, marxis, dan sosialis. Pandangan
ketiga, adalah pandangan yang berada antara pandangan pertama
dan kedua, berpendapat bahwa feminisme adalah sebuah gerakan
yang didasarkan pada adanya kesadaran tentang penindasan perempuan yang kemudian ditindaklanjuti oleh adanya aksi untuk mengatasi penindasan tersebut. Jadi seseorang dapat dikatagorikan feminis
selama ia memiliki kesadaran akan penindasan yang diakibatkan oleh
beberapa hal dan melakukan aksi tertentu untuk mengatasi masalah
penindasan tersebut, terlepas dari apakah ia melakukan analisis hubungan kekuasaan laki-laki dan perempuan atau tidak.7
Feminisme dalam Lintasan Sejarah
Munculnya feminisme tidak dapat dilepaskan dari perjalanan
panjang sejarah perjuangan kaum perempuan barat menuntut kebebasannya. Karena perempuan tidak memiliki tempat di tengah masyarakat, mereka diabaikan, tidak memiliki sesuatu pun, dan tidak
boleh mengurus apapun. Sejarah barat ini dianggap tidak memihak
kaum perempuan. Dalam masyarakat feodalis (di Eropa hingga abad
ke-18), dominasi mitologi filsafat dan teologi gereja sarat dengan pelecehan feminitas; wanita diposisikan sebagai sesuatu yang rendah,
yaitu sebagai sumber godaan dan kejahatan.8
Renaissance (pemberontakan dominasi gereja), yang diikuti
dengan Revolusi Perancis dan Revolusi Industri yang merupakan
puncak pemberontakan dominasi kaum feodal yang cenderung korup dan menindas rakyat. Inilah awal proses liberalisasi dan demokratisasi kehidupan Barat, yang juga merupakan perubahan system
feodal menjadi kapitalis secular. Dimana kaum kapitalis mendorong
Muhammad, Islam agama ramah perempuan (pembelaan kiai pesantren)
(Yogyakarta:LKIS, 2004), 13
8 Alifa Binta S, Merebaknya feminism dan isu-isu gender dalm pandangan Islam, makalah. Tidak diterbitkan
7Husein
261 | Volume 5. No. 02. September 2013
Pendekatan Feminis dalam Kajian Islam
perempuan untuk bekerja di luar rumah. Kaum perempuan berurusan dengan pabrik-pabrik, industri dan kaum laki-laki yang dianggap
bertentangan dengan kepentingannya. Akhirnya, terjadi persaingan
dalam memperebutkan posisi kaum laki-laki untuk memperoleh kebebasan mutlak agar terlepas dari segala macam ikatan dan nilai-nilai
tradisi. Disinilah, kaum perempuan mulai menuntut persamaan secara mutlak dengan kaum laki-laki termasuk juga dalam hal hubungan
seksual sebelum menikah. Sehingga munculnya feminisme ini membawa pengaruh terhadap perubahan kaum perempuan dalam menyikapi posisi, peran dan fungsinya.
Seiring berjalannya waktu, masalah-masalah tentang pembebasan serta penyetaraan hak-hak kaum perempuan terus berkembang. Bahkan mereka terus berusaha untuk mendapatkan tempat pada posisi yang sejajar dengan laki-laki dalam semua hak kemanusiaan.9 Patriarchi yang berpijak dari konsep superioritas laki-laki dewasa atas perempuan dan anak-anak telah menjadi isu sentral dalam
wacana feminisme.10 Seperti anggapan kaum feminisme radikal bahwa ketertindasan perempuan adalah akibat dominasi laki-laki, dimana penguasaan fisik laki-laki atas perempuan dianggap sebagai dasar
penindasan, dimana patriarchi merupakan penyebab universal dan
mendahului segala bentuk penindasan.11
Feminisme sebagai suatu gerakan mempunyai tujuan sebagai
berikut:
1) Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dengan
mengikuti kesamaan gender (jenis kelamin) dalam hubungan sesama manusia
2) Menolak setiap perbedaan antar manusia yang dibuat atas dasar
perbedaan jenis kelamin
Qosim Amin, A Document in the Early debate of Egyption feminist (kairo pers, egyp,
1995)(terj. Syaiful Alam, Sejarah Penindasan Perempuan (menggugat”islam lakilaki” menggugat “perempuan baru”)(Yogyakarta: ircsod, 2003), 43
10 Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk.rekonstruksi Metodologis wacana kesetaraan gender
dalam Islam. (Yogyakarta: PSW IAIN SUNAN KALIJAGA, 2002),9
11 Ahmad Baidhawi, Tafsir Feminis (kajian perempuan dalam al-Qur’an dan tafsir
kontempoer), (Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia, 2005),40-41
9
| 262
Abd. Gafur dan Fita Mustafida
3) Menghapuskan semua hak-hak istimewa ataupun pembatasanpembatasan tertentu atas dasar jenis kelamin.
4) Berjuang untuk membentuk pengakuan kemanusiaan yang menyuruh tentang laki-laki dan perempuan sebagai dasar hokum dan
peraturan tentang manusia dan kemanusiaan.12
Dari asal usulnya telah jelas bahwa paham ini lahir dari ideologi barat yang kapitalistik, liberal dan sekuler yang menjauhkan
agama dari kehidupan. Artinya, pemahaman dan pemikiran seperti
ini bertentangan dengan Islam yang pada dasarnya telah mengatur
segala urusan dan permasalahan hidup manusia dalam Al-Qur’an
yang memberikan kemaslahatan kepada semua umat manusia. Tetapi, seperti yang dikatakan Muhtar tentang pengertian feminis di atas,
maka paham ini dapat diterima oleh Islam selama tidak merusak atau
masih berjalan dalam koridor agama Islam. Yang bertujuan untuk
memberikan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.
Gagasan Feminisme dalam Islam
Sebelum mengkaji mengkaji tentang feminisme dalam Islam,
maka kita tidak terlepas dari bahasan tentang kedudukan wanita
(baik sebelum datang Islam maupun setelah kedatangan Islam) serta
hak-hak wanita dalam Islam yang sering dipandang telah terpasung
oleh agama yang bias gender.
1. Kedudukan Wanita
a) Kedudukan wanita sebelum datang Islam (jahiliyah)
Sebelum Islam datang (pada masa jahiliyah) wanita diibaratkan layaknya barang. Mereka bisa dijual belikan, bisa diwariskan
dan diberlakukan sewenang-wenang. Perempuan merupakan aksesoris pria dalam eksistensi dan kehidupannya.13 Bahkan wanita pada
masa itu, tidak mempunyai hak atas dirinya sendiri; sang ayah memi-
12
13
Dadang S. Anshari, membincangkan feminism….21
Ali Husain hakim, Membela perempuan (menakar feminism dengan nalar agama),53
263 | Volume 5. No. 02. September 2013
Pendekatan Feminis dalam Kajian Islam
likinya ketika belum menikah, dan sang suami mengambil alih setelah menikahinya. Suami berhak menjualnya kepada siapapun. Bila
suami meninggal, hak atas perempuan digantikan oleh ahli waris suaminya, ia bisa dinikahinya, ataupun tidak dinikahi, bahkan dijual
kepada orang lain. Perempuan dalam situasi ini tidak memiliki ataupun diwarisi apapun.14 Tugas khusus untuk perempuan hanyalah
untuk memperhatikan urusan-urusan rumah tangga dan memelihara
anak-anaknya.15 Sehingga wanita hanya menjadi mahluk domestik.
Pada masa itu, sorang laki-laki mempunyai dominasi yang
sangat kuat baik dalam lingkungan keluarga maupun social masyarakat. Seorang laki-laki dapat menikahi perempuan sebanyak yang ia
mau; tidak ada pembatasan atas perceraian. Anak-anak perempuan
dikubur hidup-hidup, dan lain-lain.
b) Kedudukan wanita setelah Islam
Status perempuan dalam Islam dapat dipahami secara benar
setelah diketahui status mereka pada masa jahiliyah. Alasannya, karena tidak ada revolusi, politik atau sosio keagamaan yang dapat
menghapus semua jejak masa lalu. Seperti penjelasan sebelumnya
perempuan pada masa jahiliyah tidak lebih dari barang dagangan,
mereka diperbudak dan dapat diwariskan sebagaimana harta benda.
Kemudian dengan tegas Islam melarang praktek tersebut. Dengan
menurunkan surat An-Nisa’ ayat 19
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah
kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata
dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Qasim Amin, Sejarah penindasan perempuan ()menggngat islam laki-laki“ mengurat “perempuan baru”, 29
15 Ali Husain Hakim, Membela perempuan (menakar feminism dengan nalar agama),53
14
| 264
Abd. Gafur dan Fita Mustafida
Dalam riwayat lain diceritakan, pada waktu Abu Qois Bin Aslat meninggal, anaknya ingin mengawini ibu tirinya. Cara perkawinan yang seperti ini sudah biasa pada tradisi masyarakat arab masa
itu. Kemudian Allah menurunkan surat tersebut sebagai ketegasan
tentang larangan mewarisi perempuan.16
Larangan tersebut juga terdapat pada ayat ke-22 surat annisa’ :
Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
Dari berbagai literatur di atas telah menunjukkan bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil alamin telah mengangkat derajad seorang wanita dengan mulianya. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan AlHadits yang menjelaskan tentang kedudukan, kewajiban dan hak-hak
atas wanita. Ini adalah bukti bahwa Islam sangat perduli dan menekankan martabat terhadap mahluk tuhan yang bernama wanita. Tidak ada perbedaan tinggi rendah laki-laki dan wanita keduannya
mempunyai status yang sama. Sebagimana dalam surat Al-Ahzab
ayat: 35
Artinya: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, lakilaki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan
yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala
yang besar.
Dari ayat tersebut, terlihat bahwa status laki-laki dan perempuan adalah sama, tidak ada diskriminasi dalam segala hal. Terma-
16
Nur jannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan (bias laki-laki dalam penafsiran)(Yogyakarta: LKIS, 2003), 23-24
265 | Volume 5. No. 02. September 2013
Pendekatan Feminis dalam Kajian Islam
suk dalam mencari nafkah, keduannya juga akan diberi pahala yang
sama karena amal baiknya. Jadi tidak ada alasan untuk mengatakan
laki-laki lebih tinggi derajatnya dari pada wanita.
Dari kajian tentang kedudukan wanita dalam Islam menunjukkan bahwa agama Islam tidak mendiskriminasi laki-laki dan perempuan dalam bentuk apapun.
2. Munculnya gagasan feminis dalam Islam
Munculnya gagasan feminisme dalam Islam tidak terlepas
dari munculnya feminis di barat yang masuk dikalangan umat Islam.
Gagasan demokrasi dan emansipasi barat yang masuk ke dunia Islam
memaksa umat Islam untuk menelaah kembali posisi perempuan
yang telah termarginalkan selama berabad-abad. Konsep feminis
yang marak di barat menjadi model bagi pembebasan perempuan di
banyak Negara berpenduduk muslim. Bermula dari kaum intelektual
mesir yang belajar di Eropa, yang kemudian dikembangkan dengan
istilah “Tah-rir al- Mar’ah” (pembebasan perempuan).
Salah satu persoalan yang mendapatkan prioritas dalam feminisme (dalam) Islam adalah soal “patriarchi” yang oleh para feminis Islam sering disebut sebagai asal-usul dari seluruh kecenderungan
“missoginis” yang menjadi dasar penulisan buku-buku teks keagamaan yang bias kepentingan laki-laki. Secara umum feminism Islam
menjadi gerakan atau alat analisis yang selalu bersifat historis dan
kontekstual seiring dengan kesadaran yang terus berkembang dalam
menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi perempuan
menyangkut ketidakadilan dan ketidaksetaraan. 17
Namun demikian, feminisme dalam Islam tidak menyetujui
setiap konsep dari feminis Barat, khususnya yang ingin menempatkan laki-laki sebagai lawan perempuan. Disisi lain, Feminisme
Islam tetap berupaya untuk memperjuang hak-hak kesetaraan perempuan dan laki-laki yang terabaikan dikalangan tradisional kon-
17
Ahmad Baidhawi, Tafsir Feminis (kajian perempuan dalam al-Qur’an dan tafsir
kontempoer), 42-46
| 266
Abd. Gafur dan Fita Mustafida
servatif, yang menganggap perempuan sebagai sub-ordinal lakilaki.18
Feminisme Islam berupaya untuk memperjuangkan apa yang
disebut Riffat Hasan “Islam pasca patriarkhi” dalam bahasanya tidak
lain adalah Islam Qur’ani“ yang sangat memperhatikan pembebasan
manusia- baik perempuan maupun laki-laki dari perbudakan tradisionalisme, otoritarisme (agama, politik, sekisme, perbudaan atau
yang lain-lain) yang menghalangi manusia mengaktualisasikan visi
Qur’an tentang tujuan hidup manusia yang mewujud dalam pernyataan klasik: kepada Allahlah mereka akan kembali.19
Menurut Baidhawi, gerakan feminis Islam khususnya di Indonesia, berlangsung di negan beberapa cara yaitu:
1. Pemberdayaan terhadap kaum perempuan, yang dilakukan melalui pembenukan pusat studi wanita di perguruan tinggi, pelatihan-pelatihan dan training gender, seminar maupun konsultasikonsultasi.
2. Melalui buku-buku yang ditulis dalam beragam tema, ada yang
melalui fiqh pemberdayaan sebagaimana dilakukan Masdar Farid Mas’udi dalam bukunya hak-hak reproduksi perempuan dan
lain-lain.
3. Melakukan kajian hisoris tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam sejarah masyarakat yang berhasil menempatkan
perempuan benar-benar sejajar dengan laki-laki dan membuat
mereka mencapai tingkat prestasi yang istimewa dalam berbagai
bidang, baik pelitik, pendidikan keagamaan dan lain-lain.
4. Melakukan kajian-kajian kritis terhadap teks-teks keagamaan,
baik Al-Qur’an maupun hadis, yang secara literal menampakkan
ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini
dilakukan penafsiran ulang dengan pendekatan hermeneutic dan
melibatkan pisau analisis yang ada dalam ilmu-ilmu social untuk
Ahmad Baidhawi, Tafsir Feminis (kajian perempuan dalam al-Qur’an dan tafsir
kontempoer), 46
19 Ahmad Baidhawi, Tafsir Feminis (kajian perempuan dalam al-Qur’an dan tafsir
kontempoer), 46
18
267 | Volume 5. No. 02. September 2013
Pendekatan Feminis dalam Kajian Islam
menunjukkan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara.20 Yang dilakukan sebagai alternative pelurusan terhadap penafsiran klasik yang menyebabkan pemahaman agama bias gender sebagaimana yang dilakukan oleh Famimah Mernissi.
Menurut Mulia, kesalahan pemahaman relasi laki-laki dan perempuan dalam segala seginya dipengaruhi oleh dua faktor. yaitu:
1) Rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai
nilai-nilai agama yang berkaitan dengan peran dan fungsi perempuan;
Contohnya; pemahaman asal usul penciptaan manusia.
Dimana Adam adalah mahluk ciptaan pertama yang berjenis kelamin laki-laki, baru kemudian Alah menciptakan makhluk kedua
yaitu hawa sebagai istrinya, yang diciptakan dari tulang rusuk
adam. Sehingga fungsi wanita adalah diciptakan untuk melengkapi kebutuhan laki-laki. Padahal dalam Al-Qur’an tidak ada satupun penjelasan yang mengatakan Hawa diciptakan dari tulang rusuk adam.
Meskipun disebutkan dalam hadis: “sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, jika kalian mencoba untuk meluruskannya maka akan patah. Tetapi jika kalian membiarkannya
maka kalian akan menikmatinya dengan keadaan yang tetap bengkok”
hadits ini bukanlah menjelaskan tentang penciptaan Hawa.
Menurut Quraish Shihab,Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam bentuk kiasan (majazi) dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para laki-laki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan laki-laki, hal mana bila
tidak disadari akan dapat mengantar kaum laki-laki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu merubah sifat dan karakter seorang perempuan. Kalaupun mereka berusaha maka aki-
20
Ahmad Baidhawi, Tafsir Feminis (kajian perempuan dalam al-Qur’an dan tafsir
kontempoer), 48
| 268
Abd. Gafur dan Fita Mustafida
batnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk
yang bengkok.21
Atas dasar tersebut, sudah jelas bahwa kurangnya pemahaman atas agama terutama masalah kedudukan dan peran wanita
merupakan faktor pemicu rasa ketidakadilan wanita dalam Islam.
Sebagai dasar, surat An-Nisa’ ayat 1 menjelaskan bahwa manusia
berasal dari asal-usul yang sama, yaitu nafs wahidah, dari ayat tersebut jelas memberikan informasi bahwa penciptaan manusia sejak awal tidak menunjukkan adanya perbedaan antara laki-laki
dan perempuan. Begitu juga dalam perkembangan selanjutnya.
Jadi tidak ada alasan untuk memojokkan perempuan atau mengistimewakan salah satu jenis kelamin manusia. Belum lagi ketika
wanita diibaratkan sebagai mahluk penggoda karena dialah yang
merayu Adam untuk memakan buah terlarang karena dia lebih
dekat dengan iblis. Padahal dalam Al-Qur’an jelas disebutkan keduanya sama-sama tergoda. Pemahaman seperti ini perlu dikaji
ulang karena tidak sesuai dengan tujuan utama agama Islam.
2) Banyaknya penafsir agama yang merugikan kedudukan dan peranan perempuan.22
Contohnya:
a. Surat Al-Baqarah 228.
“kaum laki-laki satu derajat diatas lebih tinggi dari pada wanita”
dari ayat tersebut sering sekali para ulama’ menafsirkan bahwa
hal tersebut merupakan bukti supremasi laki-laki yang dijadikan
sebagai dasar bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya dari wanita.
Jika melihat realitas tersebut, saya yakin siapa saja yang
mendengar akan bertanya ulang dimana letak keadilan agama?
sehingga perbedaan jenis kelamin saja masih ada diskriminasi?
Dalam sebuah buku karya Sachico Murata yang berjudul
The Tao of Islam, dijelaskan bahwa ayat tersebut masih memerlukan
kajian yang lebih dalam. Karena ayat tersebut merupakan bagian
21
22
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), 271
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis (perempuan pembaharu keagamaan),37-42
269 | Volume 5. No. 02. September 2013
Pendekatan Feminis dalam Kajian Islam
dari ayat yang relative panjang yang membicarakan masalah perceraian. Adapun ayat yang memuat kalimat itu adalah menetapkan masa iddah. Keseluruhan ayat tersebut adalah:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka
beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai
hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Dari ayat tersebut laki-laki mempunyai tingkatan lebih
tinggi dari wanita secara khusus dalam konteks perkawinan yang
ditetapkan dalam hukum syari’at. Karena mereka (laki-laki) mempunyai sesuatu sehingga mereka menjadi satu derajad lebih tinggi.23 Dimana sesuatu tersebut adalah karena laki-laki yang telah
memberikan mas kawin kepada seorang wanita. jadi perbedaan
sek bukanlah yang menjadi alasan laki-laki lebih tinggi derajadnya
dari pada wanita tetapi lebih kepada konteks perkawinan tersebut.
Seandainya wanita yang member mas kawin maka, disini seorang
wanita yang mempunyai satu derajad tersebut.
b. Surat An-Nisa’ ayat 34:
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (lakilaki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Dari ayat diatas, sering para ulama’, kiyai, bahkan para
mufassir klasik, seperti Al-Razy, At-Thabary, Al- Qurthubi, Ibnu
katsir dan lain-lain mempunyai pandangan yang sama bahwa, la-
23
Sachico Murata, the tao of Islam (A sourcebook on gender relationship in islamic
thought)(New York, State University of new york press, 1992) [trej. Rahmani Astuti, Nasrullah, (kitab rujuakan tentang relasi gender dalam kosmologi dan teologi Islam)(bandung: Mizan, 1996), 234
| 270
Abd. Gafur dan Fita Mustafida
ki-laki adalah mahluk superior dan perempuan inferior, karena fisik dan akal laki-laki lebih unggul dari perempuan. Mereka juga
sepakat bahwa superioritas laki-laki adalah kodrat (ciptaan tuhan),
fitrah, intrinsic, inheren (melekat) bahkan para mufassir kontemporer juga tidak membawa perubahan yang signifikan.24 Ayat tersebut mengisyaratkan adanya pengebirian hak-hak wanita, dan tidak memperlakukan kaum wanita dengan adil. Karena perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin, dan yang harus
menjadi pemimpin adalah laki-laki. Otoritas ayat tersebut juga
didukung dengan hadis yang artinya”tidak akan pernah beruntung
negara yang dipimpin oleh perempuan”. Dan hal tersebut sudah menjadi doktrin di masyarakat Islam.
Padahal kalau dikaji lagi, Kata Al-Qawwam dalam terminology Al-Qur’an maksudnya adalah segala sesuatu yang menyangkut kepemimpinan dan managerial. Yang mengacu pada
kemampuan pemeliharaan dan managerial. Bukan merupakan indicator atau karakteristik orang yang sanggup menerima tanggung jawab ini.25 Jadi lebih pada tanggung jawab kepemimpinan
dalam rumah tangga (masalah ekonomi keluarga ) bukan pemimpin dalam arti yang luas. Karena laki-laki mempunyai tanggung
jawab untuk memberi nafkah dan membelanjakan hartanya untuk
perempuan.
Berdasarkan konteks diturunkan ayat di atas, struktur social pada masa itu tidak mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil pandangan yang sematamata teologis dalam hal semacam ini. Tetapi juga harus menggunakan pandangan sisio-teologis. Bahkan Al-Qur’an pun terdiri dari ajaran normatif dan kontekstual. Tidak ada kitab suci yang efektif jika mengabaikan unsure kontekstual.
24
25
Husein Muhammad, Islam agama ramah perempuan, 81
M. Said Ramadhan al- Buthi al-mar’ah baina thughyani an-nizam al-gharbi wa lithaifi at-tasyri’(Damsyq: Darul Fikri,)[terj. Darsim Ermaya imam Fajarudin, Perempuan antra kedzaliman system Barat dan Keadilan islam.(karang asem: era intermedia, 2002), 109-110
271 | Volume 5. No. 02. September 2013
Pendekatan Feminis dalam Kajian Islam
Dengan demikian, dari ayat ini jelas bahwa (keunggulan)
yang diberikan Allah kepada laki-laki atas perempuan bukan
keunggulan jenis kelamin. Melainkan karena fungsi-fungsi social
pada waktu itu. Laki-laki mencari nafkah untuk perempuan, dari
fakta ini keunggulan laki-laki adalah karena fungsional atas perempuan.26 Karena pada waktu itu kedudukan wanita sangat rendah, dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban. Sedangkan laki-laki menganggap bahwa dirinya lebih ungul karena
kekuasaan dan kemampuan mereka mencari nafkah.
Al-Qur’an hanya mengatakan bahwa laki-laki adalah qawwam (pemberi nafkah atau pengatur urusan keluarga) dan tidak
mengatakan bahwa mereka harus menjadi qawwam, kata ‘adalah
qawwam” merupakan sebuah pernyataan kontekstual, bukan normative. Seandainya Al-Qur’an mengatakan bahwa laki-laki harus
menjadi qawwam, maka akan menjadi pernyataan normative dan
pastilah akan mengikat bagi semua perempuan pada semua zaman dan dalam semua keadaan. Tetapi Allah tidak menginginkan
hal itu.27 Dengan demikian Al-Qur’an tidak melarang perempuan
sebagai pemimpin dan pemberi nafkah.
Kesalahpahaman terhadap penafsiran ayat-ayat seperti ini,
dikarenakan Agama hanya dimanifestasi dalam penafsiran terhadap teks saja, banyak orang menganggap teks itu sama dengan
agama, yang memiliki sakralitas dan keabadian. Sehingga menyebabkan persepsi bahwa Islam adalah agama bias gender. Yang
menunjukkan supremasi laki-laki dari pada perempuan. Padahal
laki-laki dan perempuan sama-sama diberi kelebihan oleh Allah
untuk saling melengkapi. Laki-laki diberi kelebihan ketegaran fisik
dan perempuan diberi organ reproduksi yang keduanya diarahkan untuk menjalankan fungsi regenerasi. Karena secara biologis
perempuan harus menjalani fungsi reproduksi, maka kebutuhan
Asghar Ali Engineer, The Right Of Women In Islam (London: C. Hurs, 1992)[terj.
Lusi Margiyanti, ed. Hak-hak perempuan dalam Islam,(Yogyakarta: yayasan benteng Budaya, 1994), 61
27 Asghar Ali Engineer, The Right Of Women In Islam…62
26
| 272
Abd. Gafur dan Fita Mustafida
finansial dibebankan kepada laki-laki. Oleh karena itu, nafkah harus diarahkan sebagai upaya mendukung regenarasi dan bukan
sebagai legitimasi superioritas laki-laki.28
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, Islam sebagai agama
rahmatan lili alamin (agama yang menebar rahmat bagi alam semesta), salah satu bentuk dari rahmat tersebut adalah pengakuan terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan yang setara dengan laki-laki. Yang menjadi ukuran kemulyaan seseorang disisi tuhannya adalah kadar ketaqwaannya tanpa membedakan, suku, ras,
etnik dan jenis kelamin. Sebagaimana dalam surat al-Hujurat ayat:
13
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Jadi, realitas maskulin atau feminine yang selama ini dianggap sebagai kedudukan yang hirarkis antara laki-laki dan perempuan tidak ada dalam Islam.
Pendekatan Feminisme dalam Kajian Islam
Yang dimaksud dengan pendekatan feminisme dalam kajian
Islam adalah bagaimana mengkaji Islam melalui alat analisis
/metodologi yaitu feminisme. Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa
inti dari feminisme adalah tuntutan terhadap kesetaraan antara lakilaki dan perempuan seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh feminisme Islam untuk membebaskan perempuan dari posisi sub-ordinat
laki-laki. Pendekatan ini banyak dilakukan oleh tokoh feminis untuk
mengkaji ayat-ayat ataupun hadis yang terkesan ‘missogini’ yang ser28
Siti Ruhaini Z, dkk.Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam
Islam,.15
273 | Volume 5. No. 02. September 2013
Pendekatan Feminis dalam Kajian Islam
ing ditafsirkan sebagai bukti supremasi laki-laki. Menurut Komarudin, hal tersebut disebabkan seringkali Al-Qur’an dipahami secara
teologis, sehingga penafsiran yang muncul cenderung dogmatis,
membenarkan Al-Qu’an sesuai teksnya. Sehingga muncullah penafsiran-penafsiran yang memposisikan perempuan dalam posisi inferior
dibanding laki-laki.29 Sayangnya dokrin tersebut sudah mendarah
daging pada masyarakat Islam sehingga disinilah perlunya kaum feminis untuk melakukan pembelaan dengan melakukan berbagai penafsiran dengan pendekatan feminis terhadap ayat-ayat yang missoginis tersebut.
Para mufassir feminis cenderung menggunakan analisis
gender untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang biasa memakai
hermeneutika, yang cenderung menjadikan interpretasi sebagai “latihan kecurigaan”. Dalam hal ini dilakukan demistifikasi atas simbolsimbol keagamaan yang berkaitan dengan persoalan gender, dicari
penjelasan mengapa ayat-ayat yang bias gender bias masuk ke dalam
kitab suci. Dalam analisis tersebut, visi yang berkaitan dengan feminisme yang ingin membangun masyarakat berdasarkan kesetaraan
gender dipakai untuk membaca, menerangi dan selanjutnya mencurigai ayat-ayat yang “bias” gender tersebut. Tetapi kemudian visi
yang datang dari luar ini digunakan untuk menunjukkan bahwa dalam ayat-ayat Al-Qur’an termuat nilai-nilai kesetaraan tersebut,
meskipun tentu saja secara imlisit. Visi kesetaraan itu sendiri baru
terlihat setelah dilakukan pebongkaran terhadap ayat-ayat tersebut.30
Dalam upaya pembongkaran tersebut, pengaru hermeneutika
postmodern sangat tampak. Bagi mufassir feminis yang menggunakan “latihan kecurigaan” ini, semua bentuk sentralisme dianggap sebagai suatu sikap yang totaliter. Membaca perempuan dari sudut
pandang laki-laki adalah bertentangan dengan pesan dasar keagamaan yang meletakkan laki-laki dan perempuan setara di hadapan
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Yayasan Paramadina,
1996),9
30 Ahmad Baidhawi, Tafsir Feminis (kajian perempuan dalam al-Qur’an dan tafsir
kontempoer), 60
29
| 274
Abd. Gafur dan Fita Mustafida
Allah. Pembongkaran semua bentuk sentralisme ini dilakukan dengan cara menolak argument apapun yang menyatakan ketidak setaraan gender demi menjunjung tinggi pandangan yang sebaliknya:
kesederajatan laki-laki dan perempuan yang sesungguhnya.
Seperti penafsiran-penafsiran ayat-ayat missoginis oleh kaum
feminis berikut ini: Sebagai contoh, ayat dalam surat al-Baqarah ayat
228 , yang artinya: “kaum laki-laki satu derajat diatas lebih tinggi dari pada
wanita” Begitu juga dalam surat An-Nisa’ ayat 34:“Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita” yang menurut para mufassir diartikan dengan pemimpim, pelindung, penanggung jawab, pendidik
dan lain-lain. Dan masih banyak lagi baik Al-Qur’an maupun hadis
yang sering ditafsirkan para ulama’ (kebanyakan laki-laki) yang cenderung menunjukkan supremasi laki-laki.
Dalam menyikapi ayat ini, kalangan feminispun melakukan
pembelaan dengan melakukan penafsiran ayat di atas melalui pendekatan feminis untuk menafsirkannya, dimana kata Qawwam adalah
laki-laki berkewajiban menyediakan nafkah (fungsi produksi), sekaligus sebagai pendukung fungsi produksi perempuan dan perempuan
sendiri berkewajiban sebagai pengemban fungsi produksi.
Dalam hal ini feminis melihat seorang berhak menjadi pemimpin bukan dari fisiknya (jenis kelamin) melainkan kemampuan
yang dimiliki sebagai pemimpin, jika wanita yang memiliki kemampuan menjadi pemimpin maka wanita juga boleh menjadi pemimpin.
Lafad bima faddalla Allah adalah kelebihan laki-laki atas perempuan. Itu bukan berarti Allah lebih memuliakan laki-laki disbanding perempuan, sebagaimana yang diasumsikan selama ini. Menurut
Al-Razi dalam tafsir Al-Kabir, kelebihan itu ada dua hal yaitu ilmu
pengetahuan dan kemampuan fisik. Sedangkan menurut zamah syari
kelebihan laki-laki atas perempuan Karen akal, ketegasan, tekatnya
yang kuat atau secara umum mempunyai kemampuan dan keberanian. Argumen ini menampakkan kalau wanita tidak mempunyai
akses sama dengan laki-laki.
Jadi, sebenarnya makna pemimpin disini adalah tugas lakilaki menjaga perempuan. Oleh karena itu, seandainya kita dapat
275 | Volume 5. No. 02. September 2013
Pendekatan Feminis dalam Kajian Islam
memahami mkasud ayat tersebut, maka kita akan mengetahui maksud dari ayat yang memerintahkan kepada laki-laki untuk memenuhi
seluruh kebutuhan perempuan. Dan makna kelebihan laki-laki adalah
kepemimpinan yang telah Allah embankan kepadanya merupakan
kelebihan. Sedangkan kaum wanita juga memiliki keterampilan yang
tidak dapat dimiliki laki-laki. Allah menjadikan keterampilan tersebut sebagai keistimewaan dan kelebihan tersendiri bagi keduanya.31
Karena keduanya mempunyai kodrat (kemampuan) tertentu yang
berbeda yang tidak dapat ditukar satu sama lain. Menurut Munir;
1999. Perbedaan tersebut menyangkut dua hal, yaitu perbedaan biologis dan fungsional dalam kehidupan social.32 Dimana perbedaan
biologis ini tidak dapat diingkari karena bersifat alamiah seperti halnya dalam dunia mahluk ada jantan ada betina. Adanya perbedaan
fisik biologis, susunan saraf, otak, darah dan lain-lain membentuk
watak yang berbeda pula, sehingga menimbuklan adanya watak keperempuanan (feminis) dan watak kelalki-lakian (maskulin). Akibat
dari perbedaan tadi sehingga timbul perbedaan secara fungsional.
Misalnya dalam kehidupan (suami-isteri), dalam kedudukan masingmasing pihak mempunyai perbedaan fungsional. Seperti kaitannya
dengan reproduksi, fungsi laki-laki dan perempuan berbeda, tidak
mungkin sama. Laki-laki adalah pemberi bibit dan perempuan yang
menampung dan mengembangkan bibit itu dalam rahimnya. Hal itu
merupakan fungsi alamiah yang merupakan ciri khas keperempuanan, yang tidak mungkin diganti laki-laki. Tetapi perempuan juga
tidak mungkin melakukan fungsi kalau tidak ada laki-laki yang
membuahi.
Dari perbedaan fungsi di atas tidak harus menimbulkan perbedaan mengenai hakikat kemanusiaan. Karena dengan adanya perbedaan fungsi tadi maka muncul beberapa kewajiban yang berbeda.
Mutawali As- Sya’rawi, fikih perempuan (muslimah) (Jakarta: Amzan. 2005)
34, Baca juga Nurjannah Ismail, Perempuan dalam pasungan, bias laki-laki dalam
penafsiran (Yogyakarta: LKIS, 2003), 3
32 Lili Zakiyah Munir,. Memposisikan kodrat (perempuan dan perubahan dalam perspektif islam)(Bandung: Mizan, 1999),67
31Syaih
| 276
Abd. Gafur dan Fita Mustafida
Misalnya ketika perempuan mengandung dan bersalain, maka imbangannya laki-laki berkewajiban menafkahi. Dengan demikian perbedaan bukan berarti untuk mendiskriminasi melainkan untuk saling
melengkapi.33 Dengan kata lain, perbedaa-perbedaan disini adalah
untuk tujuan kemaslahatan sebagai jalan menuju keadilan sebagai inti
dari agama yang harus kita syukuri, bukan dengan melakukan gerakan feminisme dan emansipasi yang menjurus pada pengingkaran
kodrat, seperti yang dilakukan wanita-wanita barat yang hendak menyamakan perempuan dan laki-laki di semua sector kehidupan.
Dalam proses dekonstruksi ini terdapat dua hal yang harus
diperhatikan. Pertama adalah memahami keseluruhan proses “representasi”, yakni segala hal yang berkaitan dengan ide, gambaran, narasi dan produk keilmuan atau penafsiran atas perempuan dalam Islam selama ini. Realitas ke-inferioritas-an perempuan dalam Islam
adalah karena intertekstualitas dari kitab-kitab tafsir dan fiqh yang
berupaya menjelaskan “teks-teks” tertentu dalam Al-Qur’an yang
dipakai untuk menunjukkan tentang posisi perempuan dalam Islam.
Artinya kalau saja “teks” yang dihadirkan adalah yang lain, tentu
realitas perempuanpun akan lain. Untuk mewujudkan realitas perempuan ynag tidak inferior, para feminis memandang perlunya
menghadirkan teks yang baru. Kritis terhadap representasi berarti
kritis terhadap teks, dan kritis terhadap teks berarti curiga dan selanjutnya melakukan pembongkaran, sehingga teks menjadi “terbuka.”
Tentu saja ini tidak berarti mengubah Al-Qur’an, melainkan justru
untuk mengedepankan semangat dasar Al-Qur’an sesuai dengan prasangka zamannya. Kedua, memahami keterkaitan antara pengetahuan
dan kekuasaan. Setiap pengetahuan-teks, representasi, ide, gambaran,
penafsiran-adalah kekuasaan, tidak ada pengetahuan yang terbebas
dari kekuasaan, sebaliknya kekuasaan selalu berkaitan dengan pengetahuan yang selalu bermuatan kepentingan. Selama ini menurut
kaum feminis, penafsiran ayat Al-Qur’an yang terkait dengan perem-
33
Lili Zakiyah Munir,. Memposisikan kodrat (perempuan dan perubahan dalam perspektif islam…69
277 | Volume 5. No. 02. September 2013
Pendekatan Feminis dalam Kajian Islam
puan cenderung membela kepentingan laki-laki. Bagi mereka kesetaraan yang mestinya dibela dalam sebuah penafsiran.34
Dengan memahami dua hal tersebut, para mufassir feminis
kemudian berupaya memulai suatu penafsiran baru berdasarkan visi
kesetaraan gender yang adil. Penafsiran baru ini dihadirkan, sekali
lagi, bukan untuk mengubah Al-Qur’an, melainkan justru untuk
menghadirkan sudut pandang tentang perempuan sebagai subyek
yang tidak inferior, melainkan yang sama-setara dengan laki-laki.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka disimpukan bahwa:
1. Feminisme adalah suatu faham yang menuntut kesetaraan lakilaki dan perempuan. Karena realitas perempuan yang diposisikan
sebagai “manusia kelas dua”
2. Munculnya feminisme tidak dapat dilepaskan dari perjalanan panjang sejarah perjuangan kaum perempuan barat menuntut kebebasannya. Karena perempuan tidak memiliki tempat di tengah masyarakat, mereka diabaikan, tidak memiliki sesuatu pun, dan tidak
boleh mengurus apapun. Bahkan dalam masyarakat feodal, mitologi filsafat dan teologi gereja sarat dengan pelecehan feminitas;
wanita diposisikan sebagai sesuatu yang rendah, yaitu sebagai
sumber godaan dan kejahatan. Sejarah barat inilah yang dianggap
tidak memihak kaum perempuan.
3. Gagasan feminisme dalam Islam; berupaya untuk memperjuang
hak-hak kesetaraan perempuan dan laki-laki yang terabaikan dikalangan tradisional konservatif, yang menganggap perempuan sebagai sub-ordinal laki-laki. Tetapi tidak menempatkan laki-laki sebagai musuh seperti ideologi feminis barat.
4. Pendekatan feminisme adalah suatu metodologi yang digunakan
untuk mengkaji Islam, dengan konsep utama menuntut kesetaraan
laki-laki dan perempuan. Pendekatan ini dilakukan untuk meng-
34
Lili Zakiyah Munir,. Memposisikan kodrat (perempuan dan perubahan dalam perspektif islam, 63
| 278
Abd. Gafur dan Fita Mustafida
kaji secara kritis teks-teks keagamaan, baik Al-Qur’an maupun
hadis, yang secara literal menampakkan ketidaksetaraan antara
laki-laki dan perempuan. Dengan melakukan penafsiran ulang
melalui pendekatan hermeneutic dan analisis ilmu-ilmu social untuk menunjukkan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan
adalah setara. Dalam analisis tersebut, visi yang berkaitan dengan
feminisme yang ingin membangun masyarakat berdasarkan kesetaraan gender dipakai untuk membaca, menerangi dan selanjutnya
mencurigai ayat-ayat yang “bias” gender tersebut. Tetapi kemudian visi yang datang dari luar ini digunakan untuk menunjukkan
bahwa dalam ayat-ayat Al-Qur’an termuat nilai-nilai kesetaraan.
Sehingga tidak ada alasan untuk menempatkan posisi laki-laki dan
perempuan pada struktur yang hirarkis.
Daftar Pustaka
Al- Buthi, Ramadhan M. Said. 2002. Al-Mar’ah Baina Thughyani anNizam al-Gharbi wa Lithaifi at-Tasyri’(Damsyq: Darul Fikri,)[terj. Darsim Ermaya imam Fajarudin, Perempuan antra
kedzaliman system Barat dan Keadilan islam.(karang asem: era
intermedia
Al-Hakim, Husain Ali, 2005.Islam and Feminism; Theory, Modeling and
Application,[terj. Jemala Gebala, Membela Perempuan (menakar
feminism dengan nalar agama)(Jakarta: al-huda,).
Anshari, Dadang, S. ed. Dkk, 1997. Membincangkan Feminis (refleksi
muslimah atas peran social seorang wanita), Bandung: Pustaka
Hidayah
Amin, Qosim. 2003,A Document in the Early debate of Egyption feminist
(kairo pers, egyp, 1995)(terj. Syaiful Alam, Sejarah Penindasan
Perempuan (menggugat”islam laki-laki” menggugat “perempuan
baru”), Yogyakarta: ircsod
Binta S, Alifa, Merebaknya feminism dan isu-isu gender dalm pandangan
Islam, makalah. Tidak diterbitkan
Baidhawi, Ahmad. 2005. Tafsir Feminis (kajian perempuan dalam AlQur’an dan tafsir kontempoer). Bandung: Yayasan Nuansa
Cendekia
279 | Volume 5. No. 02. September 2013
Pendekatan Feminis dalam Kajian Islam
Dzuhayatin, Ruhaini Siti dkk. 2002. Rekonstruksi Metodologis Wacana
Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta: PSW IAIN SUNAN KALIJAGA
Engineer, ali Asghar , 2003.The Qur’an Women and Modern Society [ter.
Agus Nuryanto. Pembebasan Perempuan, (Yogyakarta: LKIS
---------1994,The Right Of Women In Islam (London: C. Hurs, 1992)[terj.
Lusi Margiyanti, ed. Hak-hak perempuan dalam Islam,Yogyakarta: yayasan benteng Budaya
Hidayat, Komaruddin, 1996. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Yayasan Paramadina
Ismail, Jannah Nur, 2003. Perempuan dalam Pasungan (bias laki-laki dalam penafsiran).Yogyakarta: LKIS Mulia, Siti Musdh, 2005.
Muslimah Reformis (perempuan pembaharu keagamaan). Bandung: MMU
Muhammad, Husein, 2004. Islam Agama Ramah Perempuan (pembelaan
kiai pesantren). Yogyakarta:LKIS
Murata, Sachico 1996, The Tao of Islam (A sourcebook on gender relationship in islamic thought)(New York, State University of new
york press, 1992) [trej. Rahmani Astuti, Nasrullah, (kitab rujuakan tentang relasi gender dalam kosmologi dan teologi Islam),
Bandung: Mizan
Munir, Lili Zakiyah, 1999. Memposisikan kodrat (perempuan dan perubahan dalam perspektif islam), Bandung: Mizan.
| 280
Download