KOINFEKSI TB HIV DAN KAITANNYA DENGAN TB MDR

advertisement
KOINFEKSI TB HIV DAN KAITANNYA
DENGAN TB MDR
Titik Nuryastuti
Departemen Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran UGM
Email : [email protected]
Abstract
Tuberculosis (TB) is a most common opportunistic infection of HIV. TB
co-infection with HIV is now the major cause of mortality worldwide. In
addition, HIV-TB co-infection also poses a diagnostic and management
challenges in each infection. HIV infection is the most powerful
predisposing for new TB infection and increase the risk of reactivation
of latent TB 20 fold. Thus, M. tuberculosis and HIV work synergistically,
accelerate the decline in the function of the immune system and can
cause death rapidly if not handled appropriately. The purpose of this
study is to provide an overview of the epidemiology, pathogenesis,
clinical presentation, diagnosis and management of HIV TB coinfection
including its relation to the emergence of MDR TB.
Keywords: TB HIV coinfection, MDR TB
Abstrak
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi oportunistik yang
paling sering dijumpai pada infeksi HIV. Koinfeksi TB HIV sekarang
ini merupakan penyebab mortalitas utama di dunia dikarenakan oleh
agen infeksius tersebut. Selain itu, koinfeksi TB HIV juga menimbulkan
tantangan dalam diagnostik dan managemen masing-masing infeksi.
Infeksi HIV merupakan predisposisi paling kuat untuk terjadi infeksi
TB baru dan meningkatkan resiko reaktivasi pada TB laten 20 kali lipat.
Dengan demikian, M. Tuberculosis dan HIV bekerja secara sinergis,
57
mempercepat penurunan fungsi sistem imun dan bisa menyebabkan
kematian dengan cepat jika tidak ditangani dengan tepat. Tujuan dari
kajian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang epidemiologi,
patogenesa, gambaran klinis, cara diagnosis dan manajemen koinfeksi
TB HIV serta kaitannya sebagai penyebab munculnya TB MDR.
Kata Kunci : Koinfeksi TB HIV, TB MDR
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang menjadi tantangan global. Menurut Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang dikeluarkan oleh Departemen
Kesehatan RI, TB menduduki peringkat pertama penyebab kematian
akibat penyakit menular di Indonesia (27,8%) [1]. Meskipun program
pengendalian TB di Indonesia telah berhasil mencapai target Millenium
Development Goals (MDG), beban ganda akibat peningkatan
epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) akan mempengaruhi
peningkatan kasus TB di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu
kolaborasi antara program pengendalian TB dan pengendalian HIV/
AIDS [2].
Munculnya epidemi HIV merupakan tantangan besar dalam upaya
pengendalian TB secara global, sehingga berakibat meningkatnya
jumlah kasus TB di masyarakat. Epidemi HIV menunjukkan
pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB di seluruh dunia.
Di Indonesia diperkirakan sekitar 3% pasien TB dengan status HIV
positif. Sebaliknya TB merupakan tantangan bagi pengendalian
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) karena merupakan
infeksi oportunistik terbanyak (49%) pada Orang dengan dengan
HIV/AIDS (ODHA) [3].
Peningkatan prevalensi HIV di Regional Asia Tenggara,
dimana sekitar 40 persen dari populasinya telah terinfeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis (MTB), jika tidak segera ditanggulangi
58
dapat mengancam upaya pengendalian TB [4]. HIV meningkatkan
epidemi TB dengan beberapa cara. Telah diketahui bahwa HIV
merupakan faktor risiko yang paling potensial untuk terjadinya TB aktif
baik pada orang yang baru terinfeksi maupun mereka dengan infeksi
TB laten [5]. Risiko terjadinya TB pada orang dengan ko-infeksi HIV/
TB berkisar antara 5–10% per tahun [6]. Sekitar 60% orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) dan Purified Protein Derivative (PPD) positif
berkembang menjadi TB aktif semasa hidupnya, sedangkan pada
PPD positif dan HIV negatif adalah sekitar 10%. HIV meningkatkan
angka kekambuhan TB, baik disebabkan oleh reaktifasi endogen
atau re-infeksi eksogen [7]. Peningkatan kasus TB pada ODHA akan
meningkatkan risiko penularan TB pada masyarakat umum dengan
atau tanpa terinfeksi HIV. Pencegahan HIV terkait TB menggunakan
protokol sepenuhnya dari program DOTS, karena juga mencakup
pencegahan infeksi HIV sejak awal, pencegahan berkembangnya
infeksi TB laten menjadi penyakit aktif serta ketentuan dan penyediaan
pengobatan dan perawatan HIV/AIDS [3].
Gambar 1. Faktor resiko kejadian TB [3]
59
Koinfeksi TB HIV
Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi kronis terutama
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (MTB). TB telah
menyebabkan penderitaan besar bagi manusia sepanjang sejarah.
Bahkan setelah dua dekade implementasi strategi DOTS untuk
pengendalian TB, tuberkulosis masih tetap menjadi penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Sepertiga dari penduduk
dunia diperkirakan terinfeksi MTB [8]. Risiko penularan tuberkulosis
(TB) diperkirakan antara 26 sampai 31 kali lebih besar pada orang
yang hidup dengan HIV dibandingkan mereka yang tidak terinfeksi
HIV. Pada tahun 2014, dilaporkan ada 9,6 juta kasus baru TB, dimana
1,2 juta diantaranya terdapat pada orang yang hidup dengan HIV. Koinfeksi TB HIV telah menjadi ancaman kesehatan bagi umat manusia,
yang apabila tidak ditangani secara serius akan menyebabkan keduanya
tidak dapat lagi dikendalikan [9].
Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara
signifikan. Di samping itu TB merupakan penyebab utama kematian
pada ODHA (sekitar 40-50%). Kematian yang tinggi ini terutama
pada TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan
besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi TB [2]. Sebagian
besar orang yang terinfeksi kuman TB (Mycobacterium tuberculosis)
tidak menjadi sakit TB karena mereka mempunyai sistem imunitas
yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal sebagai infeksi TB
laten. Namun, pada orang-orang yang sistem imunitasnya menurun
misalnya ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah
berkembang menjadi sakit TB aktif. Hanya sekitar 10% orang yang
tidak terinfeksi HIV bila terinfeksi kuman TB maka akan menjadi
sakit TB sepanjang hidupnya; sedangkan pada ODHA, sekitar 60%
ODHA yang terinfeksi kuman TB akan menjadi sakit TB aktif [2,7].
60
Dengan demikian, mudah dimengerti bahwa epidemi HIV tentunya
akan menyulut peningkatan jumlah kasus TB dalam masyarakat [2].
Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut
sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Tuberkulosis dapat terjadi
kapanpun saat perjalanan infeksi HIV [7]. Risiko berkembangnya TB
meningkat secara tajam seiring dengan semakin memburuknya sistem
kekebalan tubuh. Dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi
HIV maka orang yang terinfeksi HIV berisiko 10 kali lebih besar
untuk mendapatkan TB. TB juga terbukti mempercepat perjalanan
infeksi HIV. Angka mortalitas pertahun dari HIV terkait TB yang
diobati berkisar antara 20,35% [10]. Angka mortalitas TB HIV empat
kali lebih tinggi dari pada angka mortalitas TB tanpa HIV [11].
Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV
di dunia diperkirakan ada sebanyak 14 juta orang [8]. Sekitar 80%
pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika,
namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat
di Asia Tenggara [4]. Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa epidemi
HIV sangat berpengaruh terhadap peningkatan kasus TB; sebagai
contoh, beberapa bagian dari Sub Sahara Afrika telah memperlihatkan
3-5 kali lipat angka perkembangan kasus notifikasi TB pada dekade
terakhir. Pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa
keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya
pencegahan HIV dan perawatan HIV juga harus merupakan kegiatan
prioritas bagi pengelola program TB [3].
Perjalanan klinis dan aspek respon imun
Dilaporkan bahwa terjadi hubungan yang kompleks antara infeksi
TB dan HIV [12]. Infeksi TB akan mempercepat perjalanan penyakit
menjadi AIDS, dan sebaliknya infeksi HIV akan memperparah kondisi
TB. Infeksi HIV menyebabkan depresi dan disfungsi progresif sel CD4
dan defek fungsi makrofag. Sebagai akibatnya pasien HIV mempunyai
61
resiko lebih tinggi untuk terjadinya reaktivasi TB laten menjadi TB
aktif dan peningkatan resiko terinfeksi baru oleh kuman TB [12,13].
Disamping itu interaksi kedua infeksi ini akan meningkatkan resiko
kegagalan pengobatan TB dan meningkatkan case fatality rate TB [6].
Patogenesis koinfeksi TB HIV berhubungan langsung dengan
respon imunitas pada infeksi TB, yang meliputi cell mediated immunity
(CMI) dan delayed type hypersensitivity (DTH), kedua respon imunitas
tersebut bertujuan untuk melokalisir infeksi dan membunuh MTB.
Pada infeksi HIV stadium lanjut, kadar CD4 sangat rendah sehingga
terjadi gangguan sistem imunitas baik CMI maupun DTH. Dengan
demikian, sistem kekebalan tubuh menjadi kurang mampu untuk
mencegah perkembangan dan penyebaran lokal kuman TB. Selain itu,
dilaporkan bahwa CD4 dan TNF penting dalam mempertahankan
stuktur granuloma pada infeksi TB. Akibatnya replikasi MTB meluas
tanpa disertai pembentukan granuloma, nekrosis perkejuan dan
pembentukan kavitas. Hal ini berimplikasi pada sulitnya diagnosis
TB karena gambaran radiologis yang tidak spesifik, sering ditemukan
kasus TB paru BTA negatif dan meluasnya penyebaran TB sehingga
banyak dilaporkan TB ekstra paru [7].
Tingginya angka TB pada pasien HIV/AIDS disebabkan terutama
karena adanya kesamaan pathogenesis pada cell mediated immunity,
terutama sel CD4. Penekanan jumlah sel CD4 oleh HIV akan membuat
pengendalian infeksi M. tuberculosis menjadi terganggu, sehingga
invasi dan penyebaran penyakit menjadi lebih mudah [12,13].
Kesamaan pathogenesis ini juga membuat diagnosis TB menjadi
sulit, karena penekanan CD4 membuat rendahnya kejadian nekrosis
kaseosa (perkejuan) yang diperlukan untuk memaparkan kuman TB
ke luar. Rendahnya paparan keluar ini membuat diagnosis TB dengan
hapusan Basil Tahan Asam (BTA) menjadi sulit, sehingga diagnosis
TB pada pasien-pasien HIV/AIDS menjadi rumit [3].
TB juga dapat mempercepat laju perjalanan penyakit HIV
melalui berbagai cara, di antaranya melalui mekanisme aktivasi selular
62
yang pada akhirnya dapat meningkatkan viral load HIV. TB pada
pasien HIV/AIDS dapat meningkatkan level viremia plasma antara
5 sampai 160 kali lipat [14]. Dilaporkan bahwa pasien TB memiliki
lingkungan mikro yang memfasilitasi infeksi HIV dengan cara i)
meningkatkan ekspresi co-reseptor CXCR4 dan CCR5 diatur oleh
produk metabolit M. Tuberculosis; ii) meningkatkan produksi sitokin
pro-inflamasi, terutama TNF; dan iii) down-regulasi CCL5. Demikian
juga disebutkan bahwa lipoarabinomannan(LAM) komponen
dinding sel M. tuberculosis dapat mengaktifkan replikasi HIV dengan
menginduksi TNF dan IL-6 [7].
Gambaran Klinis
Dilaporkan bahwa manifestasi klinis ko-infeksi TB-HIV
bermacam-macam. Tuberkulosis paru merupakan penyakit yang
paling sering ditemukan pada orang yang terinfeksi HIV, selanjutnya
bentuk yang paling sering ditemukan pada TB ekstraparu adalah efusi
pleura, limpadenopati, penyakit perikardium, milier, meningitis, TB
diseminata/meluas (dengan mikobakteriemia). Gambaran klinis
tuberkulosis paru tergantung tingkat kekebalan tubuh. Gambaran
klinis, hasil mikroskopis TB dan gambaran foto toraks seringkali
berbeda antara stadium awal dan lanjutan infeksi HIV. Pada stadium
awal infeksi HIV, gambaran klinisnya sering menyerupai TB paru postprimer, hasil pemeriksaan dahak seringkali positif, dan gambaran
radiologi sering tampak kavitas, sedangkan pada tahap lanjutan sering
menyerupai TB paru primer, BTA mikroskopisnya negatif dan foto
rontgen sering didapatkan gambaran infiltrat tanpa kavitas [3].
Diagnosis TB pada orang terinfeksi HIV
Penegakan diagnosis TB pada umumnya didasarkan pada
pemeriksaan mikroskopis dahak namun pada ODHA dengan TB
seringkali diperoleh hasil sputum BTA negatif [3,11]. Di samping itu,
63
pada ODHA sering dijumpai TB ekstraparu di mana
sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil
klinis, bakteriologi dan atau histologi spesimen yang
tempat lesi. Oleh karena itu, untuk mendiagnosis TB
perlu menggunakan alur diagnosis TB pada ODHA [3].
diagnosisnya
pemeriksaan
didapat dari
pada ODHA
Gambar 2. Alur diagnosis TB paru pada ODHA rawat jalan [3]
Keterangan gambar:
a. Tanda-tanda kegawatan yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda
berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 390C, denyut
nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan tanpa bantuan.
b. BTA Positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA
Negatif = bila 2 sediaan hasilnya negatif.
c. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol = PPK.
d. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), pemeriksaan
jumlah CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV.
64
e. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara
bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat
dikurangi sehingga mempercepat penegakan diagnosis.
f. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluorokuinolon) untuk mengatasi
bakteri tipikal dan atipikal.
g. Pneumonia Pneumocystis jirovecii = PCP.
h. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi [3].
TB MDR pada koinfeksi TB HIV
Multidrug Resistance Tuberculosis (atau TB MDR) adalah salah
satu jenis resistensi bakteri TB terhadap minimal dua obat anti TB lini
pertama, yaitu Isoniazid dan Rifampicin yang merupakan dua obat TB
yang paling efektif. TB MDR menjadi tantangan baru dalam program
pengendalian TB karena penegakan diagnosis yang sulit, tingginya
angka kegagalan terapi dan kematian [15]. Indonesia menduduki
rangking ke 8 dari 27 negara-negara yang mempunyai beban tinggi
dan prioritas kegiatan untuk TB MDR/XDR [2]. Beberapa penyebab
utama resistensi obat TB di Indonesia telah diidentifikasi, antara lain:
(1) implementasi DOTS rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lain yang masih rendah kualitasnya (2) peningkatan ko-infeksi TBHIV; (3) sistem surveilans yang lemah, dan (4) penanganan kasus TB
resisten obat yang belum memadai [2].
Kombinasi TB dan HIV sudah cukup memberikan tantangan
masalah yang belum bisa terpecahkan sampai saat ini. Dengan
demikian ko-infeksi TB MDR dan HIV tentu saja menjadi kombinasi
penyakit yang lebih mematikan dibanding TB-HIV. Lebih dari 50%
pasien TB MDR yang terinfeksi HIV di Peru meninggal dalam waktu
kurang dari dua minggu setelah diagnosis. Di Inggris, seorang pasien
TB MDR dengan penurunan fungsi imunitas tubuh memiliki risiko
kematian sembilan kali lebih besar dibanding pasien TB MDR tanpa
gangguan imunitas [15]. Prevalensi maupun insidensi infeksi TB
65
pada penderita HIV, atau infeksi HIV pada penderita TB, belum rutin
dilaporkan. Secara nasional diperkirakan angka TB-HIV di Indonesia
adalah 3% [2].
Famili genotip spesifik strain M.TBC yang resistan terhadap obat
dapat berperan dalam transmisi, khususnya di kalangan orang yang
hidup dengan HIV. Dilaporkan bahwa genotipBeijing yang meliputi
“W” strain M. tuberculosis terlibat dalam banyak kasus MDR-TB di
Amerika Serikat, lebih virulen dan berhubungan resistensi obat di
wilayah tertentu seperti Kuba, Estonia, Rusia, Vietnam, dan Afrika
Selatan [15]. Selain itu, genotipe karakteristik Afrika Selatan dilaporkan
berkaitan dengan resistensi obat anti TB di Provinsi KwaZulu Natal,
Afrika Selatan, di mana TB XDR muncul sebagai problem utama di
masyarakat. Infeksi HIV juga berkaitan dengan munculnya resistensi
dapatan rifampisin pada penderita koinfeksi TB HIV [15].
Meta analisis yang dilakukan oleh Mesfin YM et al [16] didapatkan
bahwa infeksi HIV berkorelasi positip dengan munculnya TB MDR,
dua kali lipat lebih beresiko menyebabkan TB MDR dan munculnya
TB MDR primer.
Managemen TB MDR-HIV
Pada awal 1990-an, ditemukan bukti adanya hubungan antara
infeksi HIV dan TB MDR terkait dengan tingginya kematian penderita
koinfeksi TB HIV di lembaga pemasyarakatan dan rumah sakit dengan
manajemen kontrol infeksi yang jelek sehingga diagnosis TB MDR
terlambat [15]. Pasien dengan MDR-TB memerlukan pengobatan
dengan jangka waktu yang lebih lama, biasanya antara 18-24 bulan,
dibandingkan dengan hanya 6-8 bulan waktu yang diperlukan untuk
TB yang rentan terhadap obat [2]. Angka kegagalan terapi pada
pasien-pasien dengan ko-infeksi TB-HIV dilaporkan lebih tinggi
dibandingkan pasien dengan infeksi TB saja, yakni 38% vs. 12,5% [6].
Selain itu, pengobatan memerlukan penggunaan obat lini kedua, yang
66
lebih toksik dan harganya lebih mahal, dengan asumsi pembiayaan
obat MDR-TB rata-rata 100-300 kali lipat lebih tinggi [16]. Pasien
dengan TB MDR memiliki tingkat kesembuhan yang lebih rendah
dan mortalitas lebih tinggi dibanding pasien dengan rentan terhadap
obat TB. Pengobatan TB MDR pada koinfeksi TB HIV membutuhkan
kepatuhan pasien yang sangat tinggi karena harus menelan 6-10
jenis obat dan mendapatkan injeksi setiap harinya. Disamping itu,
penanganannya menjadi lebih kompleks akibat toksisitas obat yang
tinggi dan terjadinya interaksi obat [2,5].
Masalah yang penting pada koinfeksi tuberkulosis dan HIV
adalah hepatoksisitas obat antiberkulosis, padahal pada saat yang
bersamaan ODHA juga mengonsumsi obat antiretroviral yang juga
bersifat hepatotoksik. Kombinasi pengobatan antiretroviral dan
antituberkulosis juga dapat merugikan. Antituberkulosis, dalam
hal ini rifampisin, dapat menurunkan kadar antiretroviral golongan
protease inhibitor (PI) dan non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRTI) sampai di atas 90%. Sebaliknya, antiretroviral
jenis PI dapat meningkatkan kadar antituberkulosis rifampisin dan
rifabutin antara 2 sampai 4 kali lipat, sehingga menimbulkan toksisitas
klinis (leukopenia, uveitis, athralgia dan diskolorasi kulit) [2,10].
Dibandingkan rifampisin, Rifabutin merupakan pilihan terbaik untuk
menangani pasien dengan ko-infeksi TB-HIV. karena merupakan
induktor CYP3A yang kurang kuat. Melalui peningkatan dosis
rifabutin dan ARV yang tersedia, kita dapat memperoleh efektivitas
terapi yang kurang lebih sama dengan rifampin (rifampisin). Dengan
demikian, penyediaan Rifabutin sebagai terapi untuk pasien dengan
koinfeksi HIV/AIDS-TB tampaknya perlu dipertimbangkan [10].
Kesimpulan
Pasien dengan ko-infeksi TB HIV mempunyai angka mortalitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa ko-infeksi.
67
Koinfeksi TB HIV berkaitan erat denagn munculnya TB MDR.
Data-data yang ada di atas menunjukkan bahwa koinfeksi antara TB
dan HIV memerlukan penanganan komprehensif, baik dalam hal
diagnosis, pengobatan, pencegahan maupun penanganan komplikasi
berupa MDR TB.
Daftar Pustaka
1. Riskesdas 2013. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI Tahun 2013
2. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Rencana Aksi
Nasional Programmatic Management of Drug resistance
Tuberculosis Pengendalian Tuberkulosis Indonesia : 2010-2014
3. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Petunjuk teknis Tata
laksana klinis Ko-infeksi TB HIV
4. Narain JP, Ying-Ru Lo. 2004. Epidemiology of HIV-TB in Asia.
Indian J Med Res. 120: 277-289
5. Getahun H, Gunneberg C, Granich R, Nunn P. 2010. HIV
Infection–Associated Tuberculosis:The Epidemiology and the
Response. Clinical Infectious Diseases; 50(S3):S201–S207
6. Surendra K, Sharma, Mohan A. 2013.Tuberculosis: From an
incurable scourge to a curable disease - journey over a millennium.
Indian J Med Res.137: 455-493
7. Pawlowski A., Jansson M, Markus Sko¨, Rottenberg ME, Gunilla
Ka¨ llenius. 2012.Tuberculosis and HIV Co-Infection. PLoS
Pathogens 8(2): e1002464
8. WHO, 2014. Global Tuberculosis Report 2014. WHO Press, World
Health Organization, Geneva.
9. Tuberculosis and HIV. http://www.who.int/hiv/topics/tb/en/,
diakses tanggal 19 Februari 2016
68
10. Padmapriyadarsini C, Narendran G, Swaminathan S. 2011.
Diagnosis & treatment of tuberculosis in HIV co-infected patients.
Indian J Med Res 134: 850-865
11. Kogieleum Naidoo, Kasavan Naidoo, Padayatchi N, Karim QA.
2011. HIV-Associated Tuberculosis. Clinical and Developmental
Immunology.Article ID 585919
12. Mansyur MS, Suharto A, Sari R, 2009. TB dan HIV. Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.
13. Fajrin, PN, 2012, Evaluasi Terapi ARV terhadap perubahan
jumlah CD4 dan terapi OAT terhadap perubahan BB pada pasien
koinfeksi TB/HIV di Unit Pelayanan Terpadu HIV RS Cipto
Mangunkusumo, Skripsi, Fak Kesehatan Masyarakat. Universitas
Indonesia.
14. Schluger NW. 2001.Recent advances in our understanding of
human host responses to tuberculosis.Respir Res. 2(3):157-63
15. Wells CD, Cegielski JP, Nelson LJ, Laserson KF, Holtz TH, Finlay
A, Castro KG, Weyer K. 2007. HIV Infection and MultidrugResistant Tuberculosis: The Perfect Storm. The Journal of
Infectious Diseases. 196:S86–107
16. Mesfin YM, Hailemariam D, Biadglign S, Kibret KT. 2014.
Association between HIV/AIDS and Multi-Drug Resistance
Tuberculosis: A Systematic Review and Meta-Analysis. PLOS
ONE. 9(1):e82235
69
Download