pada fase perkecambahan

advertisement
3
TINJAUAN PUSTAKA
Padi Gogo
Padi gogo adalah budidaya padi di lahan kering. Lahan kering yang
digunakan untuk tanaman padi gogo rata-rata lahan marjinal yang kurang sesuai
untuk tanaman. Tanaman padi gogo membutuhkan curah hujan lebih dari 200 mm
per bulan selama tidak kurang dari tiga bulan (Purwono dan Purnamawati, 2008).
Persentase tumbuh padi gogo lebih kecil dibandingkan dengan padi sawah,
sehingga benih yang dibutuhkan lebih banyak. Benih padi gogo tidak perlu
disemai. Penanaman padi gogo dilakukan dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm.
Masalah dalam pertanaman padi gogo diantaranya kerebahan. Selain itu terdapat
fase-fase kritis padi, yaitu pada fase awal pertumbuhan, primordia bunga hingga
munculnya bunga, dan pengisian biji. Jika terjadi kekeringan pada fase tersebut
akan menurunkan hasil dan meningkatkan persentase gabah hampa (Purwono dan
Purnamawati, 2008).
Padi gogo mempunyai kelebihan dan kelemahan dalam usahataninya.
Kelebihan padi gogo diantaranya (1) berfungsi sebagai tanaman pioner pada
pembukaan lahan kering untuk pertanian, pada bekas hutan sekunder atau padang
alang-alang, (2) mampu memanfaatkan hara yang tersedia dalam tanah dengan
efisien dan toleran terhadap pH rendah, (3) dapat ditanam sebagai tanaman
penyerta pada peremajaan tanaman kehutanan dan perkebunan. Kelemahan padi
gogo diantaranya: (1) mudah tertular penyakit, jika tidak terdapat gen-gen yang
tahan, (2) tanpa pengelolaan yang tepat, usahatani padi gogo akan mudah
mengakibatkan terjadinya erosi permukaan, (3) penanaman padi gogo tanpa rotasi
tanaman yang tepat dan pemeliharaan kesuburan tanah akan menurunkan
produktivitas lahan secara cepat (Sumarno dan Hidayat, 2007).
Produktivitas padi gogo masih rendah, sekitar 2-3 ton/ha Gabah Kering
Giling (GKG), sedangkan potensinya dapat mencapai 4-5 ton/ha (Sumarno dan
Hidayat, 2007). Hal ini disebabkan karena adanya faktor pembatas dalam
produksi seperti solum tanah yang kurang dari 5 cm, tekstur sangat kasar, kadar
hara tanah sangat rendah, tingkat kelerengan lahan lebih dari 40 %, dan curah
hujan yang sangat rendah. Kondisi agroekologi yang ideal diperlukan untuk
4
mengurangi faktor pembatas, diantaranya topografi datar sedikit bergelombang,
solum tanah dalam lebih dari 40 cm, tekstur halus-medium, kandungan bahan
organik tanah tinggi-medium, curah hujan selama empat bulan merata dengan
total 400-600 mm (Basyir et al., dalam Sumarno dan Hidayat, 2007).
Fungsi Air bagi Tanaman
Air merupakan komponen utama tanaman karena 90 % sel-sel tanaman
mengandung air. Peran air bagi tanaman diantaranya : (1) pelarut dan pembawa
ion-ion hara dari rhizosfer ke akar kemudian ke daun, (2) sarana transportasi dan
pendistribusian nutrisi, (3) komponen kunci dalam proses fotosintesis, asimilasi,
sintesis, maupun respirasi tanaman (Hanafiah, 2007). Absorbsi air pada tanaman
dipengaruhi oleh (1) kecepatan kehilangan air, (2) penyebaran dan efisiensi sistem
perakaran, (3) potensial air tanah dan daya hantar tanah (Islami dan Utomo, 1995).
Perkecambahan benih ditentukan oleh ketersediaan air di dalam media tanam.
Ketersediaan air paling baik adalah pada saat kapasitas lapang. Menurut
Hardjowigeno (1989) kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang cukup lembab
yang menunjukkan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap
gaya gravitasi. Air tersedia pada kapasitas lapang akan semakin berkurang karena
diserap oleh tanaman dan menguap. Air akan mendekati titik layu permanen
mengakibatkan cekaman kekeringan pada tanaman.
Menurut Islami dan Utomo (1995) cekaman kekeringan pada tanaman
terjadi karena ketersediaan air dalam media tidak cukup dan transpirasi yang
berlebihan atau kombinasi kedua faktor tersebut. Tanaman yang menderita
cekaman kekeringan secara umum mempunyai ukuran yang lebih kecil
dibandingkan dengan tanaman yang tumbuh normal. Cekaman kekeringan
mempengaruhi proses fisiologi dan biokimia tanaman serta menyebabkan
terjadinya modifikasi anatomi dan morfologi tanaman.
Adaptasi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan
Cekaman kekeringan adalah suatu kondisi ketika ketersediaan air di dalam
tanah untuk pertumbuhan tanaman sedikit. Tanaman dalam menghadapi cekaman
5
kekeringan melakukan adaptasi baik secara morfologi dan fisiologi. Adaptasi
morfologi dapat dengan memperkecil luas permukaan daun dan memperpanjang
akar.
Adaptasi morfologi padi gogo dilakukan dengan membentuk akar yang
lebih gemuk, mempunyai akar seminal primer lebih banyak yang menyebabkan
bobot kering akar padi gogo lebih besar dibandingkan dengan padi sawah dan
daun menggulung yang merupakan indikasi tanaman mengalami titik layu
sementara (Fauzi, 1997). Menurut Lestari dan Mariska (2006) adaptasi pada galur
padi ditunjukkan dengan kemampuan menghasilkan akar lebih panjang pada
kondisi cekaman kekeringan. Suprihatno et al. (2008) menambahkan padi gogo
yang toleran kekeringan biasanya memiliki sistem perakaran yang dalam yang
dapat menembus lapisan tanah sampai kedalaman 20 cm di bawah permukaan
tanah, sehingga pada saat kekeringan akar yang dalam dapat memanfaatkan air
yang tersedia pada kedalaman lebih dari 20 cm.
Stomata berperan sebagai alat untuk adaptasi tanaman terhadap cekaman
kekeringan. Pada kondisi cekaman kekeringan maka stomata akan menutup
sebagai upaya untuk menahan laju transpirasi. Senyawa yang banyak berperan
dalam membuka dan menutupnya stomata adalah asam absisat. Somaklon
Gajahmungkur, Towuti, dan IR64 yang dianggap tahan kekeringan mempunyai
kerapatan stomata yang lebih rendah dibandingkan dengan induknya (Lestari,
2006). Lestari dan Sukmadjaja (2006) juga menyatakan dalam kondisi kekeringan,
penyerapan air dan unsur hara yang ada di tanah menjadi berkurang. Tanaman
harus mempertahankan potensial air dengan mekanisme penutupan stomata atau
daun menggulung dan osmotik adjusment untuk melangsungkan pertumbuhannya.
Bentuk dari respon fisiologi antara lain dengan mengatur agar potensial
osmotik di dalam gabah hampir sama dengan lingkungannya dengan
menghasilkan senyawa prolin atau betain sebagai osmoregulator (Lestari dan
Mariska, 2006). Kandungan prolin pada daun yang masih muda maupun yang
sudah tua mengalami peningkatan pada cekaman kekeringan. Kandungan prolin
pada daun muda lebih banyak dibandingkan dengan daun yang sudah tua
(Mostajeran dan Rahimi-Eichi, 2009).
6
Cekaman air akan menyebabkan hasil tanaman menurun. Hal ini
disebabkan karena terganggunya metabolisme tanaman. Penutupan stomata
mengakibatkan turunnya absorbsi CO2, sehingga mengurangi aktivitas dan hasil
fotosintesis. Peningkatan efisiensi air untuk menghasilkan tanaman diperlukan
pada tanaman yang mengalami cekaman air (Islami dan Utami, 1995).
Vigor Benih
Menurut Sutopo (2002), vigor dapat dibedakan menjadi vigor genetik dan
vigor fisologi. Vigor genetik adalah vigor benih dari galur genetik yang berbedabeda. Vigor fisiologi adalah vigor yang dapat dibedakan dalam galur genetik yang
sama. Benih yang mempunyai vigor yang tinggi mempunyai ciri-ciri, yaitu tahan
disimpan lama, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, cepat dan merata
tumbuhnya, serta mampu menghasilkan tanaman dewasa yang normal dan
berproduksi baik dalam keadaan lingkungan tumbuh yang suboptimal. Menurut
Sadjad (1993) vigor adalah kemampuan benih atau bibit untuk tumbuh menjadi
tanaman normal yang berproduksi normal dalam keadaan yang suboptimum dan
di atas normal dalam keadaan yang optimum, atau mampu disimpan dalam
kondisi simpan yang suboptimum dan tahan disimpan lama dalam kondisi
optimum. Copeland dan McDonald (2001) menyatakan bahwa terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi vigor benih diantaranya, konstitusi genetik benih,
lingkungan dan kandungan nutrisi pada tanaman induk, tingkat kematangan saat
panen, ukuran benih, berat benih, berat jenis benih, deteriorasi, umur benih, dan
patogen.
Menurut Oemar et al. (1997) peubah indeks vigor dapat digunakan untuk
screening ketahanan genotipe terhadap cekaman kekeringan pada fase
perkecambahan dengan cekaman potensial osmotik sebesar -0.75 MPa. Kelompok
genotipe tahan mempunyai indeks vigor lebih besar dibandingkan genotipe yang
yang rentan kekeringan.
Suardi (2002) menyatakan konsep peningkatan potensi hasil padi dengan
padi tipe baru perlu ditunjang dengan perakaran yang baik (vigor) yaitu
panjang/dalam, padat, ketebalan dan daya tembus akar yang relatif tinggi. Sistem
7
perakaran yang vigor pada berbagai lahan diharapkan mampu menjaga kestabilan
dan hasil yang tinggi terutama pada lahan tadah hujan.
Vigor benih dapat diuji di laboratorium dengan menggunakan media yang
dapat menggambarkan sifat kekeringan. Menurut Sadjad (1993), analisis vigor
dapat dilakukan pada media yang bersifat kering, seperti bata merah dan
mempunyai osmose yang tinggi dengan menggunakan larutan PEG pada
kosentrasi tertentu. Benih yang bervigor saja yang mampu menyerap air dan
tumbuh normal. Kondisi suboptimum lapang produksi seperti kekeringan dapat
diatasi dengan vigor genetik. Vigor genetik adalah vigor yang ditentukan oleh
sifat-sifat genetik. Menurut Suwarno (1995) vigor genetik pada jagung dengan
tolok ukur produksi dapat dideteksi melalui vigor awal benih, vigor konservasi
sebelum simpan, dan vigor awal sebelum simpan. Sadjad (1993) menyatakan
vigor awal adalah vigor benih mencapai maksimum saat benih telah mencapai
momen periode viabilitas matang fisiologi.
Download