Studi Kasus Hotel-Hotel di Ubud, Gianyar

advertisement
LAPORAN PENELITIAN
IMPLEMENTASI TRI HITA KARANA DALAM PARIWISATA
DI BALI
(Studi Kasus Hotel-Hotel di Ubud, Gianyar)
Peneliti:
Ketua Tim : Dewa Ayu Made Lily Dianasari, ST., M.Si.
Anggota
: 1. Ni Ketut Sekarti, S.Pd., M.Par.
2. Luh Yusni Wiarti, A.Par.,S.E., M.Par.
3. IB. Putra Negarayan, ST., M.M.
Dibiayai dari Dana DIPA Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali
Tahun Anggaran 2013
SEKOLAH TINGGI PARIWISATA NUSA DUA BALI
KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki kearifan tradisional dan perikehidupan adat istiadat yang
beranekaragam dari Sabang sampai Merauke. Kearifan tradisional dan adat istiadat
tersebut dapat menjadi sarana masyarakat untuk secara aktif melakukan upaya
pengelolaan lingkungan dalam konteks pembangunan ekonomi yang sedang digiatkan
oleh Pemerintah Indonesia sehingga dapat belajar dari kekeliruan pola pembangunan
Negara-negara maju. Pembangunan ekonomi Indonesia tidak hanya meliputi satu
sector saja melainkan berbagai sector yaitu salah satunya dari sector pariwisata.
Sehingga dari sector pariwisata juga nantinya dapat menjaga kelestarian lingkungan.
Bali sebagai salah satu pulau di Indonesia yang memiliki kearifan tradisional
dan adat istiadat serta sangat terkenal dalam bidang pariwisatanya. Seluruh
masyarakat Bali sepakat bahwa pembangunan di Bali didasarkan atas nilai-nilai
kearifan lokal yang telah dikenal secara universal dalam konsep Tri Hita Karana.
Keharmonisan manusia dengan Tuhan, sesama dan lingkungan menjadi modal utama
berkembangnya pariwisata di Bali. Oleh karena itu, perkembangan pariwisata yang
terjadi saat ini dan yang akan datang tidak membuat keharmonisan hubungan tersebut
melemah bahkan saling tercabut dari akarnya.
Pariwisata adalah kegiatan yang memiliki dampak ekonomi, sosial, budaya
dan lingkungan. Beberapa dampak dapat dikontrol namun sebagian tidak dapat
dikontrol. Pengelolaan yang baik akan meminimilkan dampak negative dari kegiatan
1
pariwisata. Upaya menjamin bahwa pariwisata tidak menimbulkan dampak negative
terhadap sumberdaya alam dapat dilakukan dengan peningkatan kualitas kehidupan
social masyarakat
serta membangun pariwisata berdasarkan prinsip-prinsip
pembangunan yang berkelanjutan.
Prinsip dasar dari pembangunan yang berkelanjutan adalah keseimbangan
intergenerasi; pembangunan akan berkelanjutan apabila pemenuhan kebutuhan saat
ini tidak mengurangi kebutuhan generasi yang akan datang (Pearce et al., 1989).
Begitu halnya juga pembangunan pariwisata harus menerapkan konsep pembangunan
berkelanjutan. Konsep keberlanjutan sering sekali dipertentangkan dengan konsep
persaingan (competitiveness) sehingga dapam sebuah perencanaan pembangunan
pariwisata harus mempertimbangkan hal-hal, yaitu: (1) global environment, (2)
competitive environment dan (3) the big picture (Richie, 2004 dalam Berata Asrama
et al., 2007).
Global environment menjelaskan bahwa merencanakan pariwisata harus
mempertimbangkan kondisi global. Sehingga membangun pariwisata tidak dapat
hanya dilakukan temprer dan mengabaikan aspek spasial melainkan harus dilakukan
secara terus menerus, berkesinambungan dan holistik. Konsep persaingan
(competition) menunjukkan bahwa pariwisata didasari oleh lingkungan yang ketat
dimana
stakeholder
harus
mampu
membangun
kerjasama
untuk
mampu
memenangkan persaingan. The global picture maksudnya bahwa pembangunan dan
pengembangan pariwisata tidak cukup dengan memperbaiki infrastuktur dan
suprastruktur fisik, namun menguatkan budaya dan etika moral masyarakat. Sehingga
2
pariwisata membutuhkan kesiapan yang menyeluruh , peran serta masyarakat,
komitmen pemerintahserta kerjasama pihak swasta.
Ubud Bali, sebuah kecamatan yang sangat terkenal semejak tahun 1930-an
terletak di Kabupaten Gianyar, kabupaten yang banyak memiliki seniman dan dapat
dikatakan merupakan pusat budaya seni di Bali, khusus seni lukis dan ukiran. Desa
Ubud dari airport Denpasar berjarak kurang lebih 40 kilometer, dan dengan mobil
anda akan menempuh waktu selama satu setengah jam.
Desa Ubud daerah seni yang sangat sering disebut sebagai desa bertaraf
internasional. Semua orang yang telah mengenal Ubud pasti mengatakan Ubud
memang pantas untuk menyandang predikat desa internasional. Sebagian besar
dipinggir jalan di kawasan ubud terdapat restaurant, hotel, galeri dan toko-toko yang
menjual kerajinan local. Ubud sangat terkenal terkenal baik di Indonesia maupun ke
mancanegara, kecamatan yang memiliki lokasi yang terletak di antara persawahan
dan kawasan hutan diapit oleh jurang-jurang dengan sungai, yang membuat lokasi ini
menggambarkan alam yang sangat indah. Selain karena kondisi alam, Ubud juga
terkenal karena seni dan budaya Bali dan sangat berkembang dari tahun ketahun.
Sebagian masyarakat Ubud kehidupan sehari-hari mereka tidak lepas dari unsur seni
dan budaya. Juga sebagian masyarakatnya bermata pencaharian sebagai seniman.
Baik seniman lukis, seniman kerajinan tangan ataupun seniman tari. Jika anda
mencari galeri-galeri seni, maka anda harus datang ke Ubud, karena di sini terdapat
banyak galeri-galeri tentang seni, serta pementasan seni musik dan seni tari yang
dipentaskan setiap malam bergiliran di segala penjuru.
3
Selain itu di Ubud juga terdapat hotel-hotel berbintang untuk para wisatawan
menginap. Selain hotel berbintang, di Ubud juga banyak terdapat penginapan dengan
harga yang murah. Beberapa hotel di Ubud telah mengiplementasikan konsep Tri
Hita Karana demi terwujudnya hotel ramah lingkungan dan pariwisata berkelanjutan,
namun tidak semua hotel mengikuti Tri Hita Karana Awards and Accreditation.
1.2.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimanakah implementasi penerapan Tri Hita Karana di Hotel-Hotel di
Ubud, Bali dalam bidang Parahyangan?
2.
Bagaimanakah implementasi penerapan Tri Hita Karana di Hotel-Hotel di
Ubud, Bali dalam bidang Pawongan?
3.
Bagaimanakah implementasi penerapan Tri Hita Karana di Hotel-Hotel di
Ubud, Bali dalam bidang Palemahan?
1.3.
BATASAN MASALAH
Agar topik tidak meluas maka penelitian ini akan dibatasi sebagai berikut :
1.3.1. Parahyangan, hubungan manusia dengan lingkungan spiritual meliputi
beberapa variabel (variabel terlampir dalam kuesioner).
4
1.3.2. Pawongan, hubungan manusia dengan sesamanya meliputi beberapa variable
(variabel terlampir dalam kuesioner).
1.3.3. Palemahan, hubungan manusia dengan lingkungan alamiah meliputi beberapa
variable (variabel terlampir dalam kuesioner).
1.3.4. Hotel- hotel yang menjadi sampel adalah hotel-hotel di Ubud yang mengikuti
Tri Hita Karana Awards and Accreditations
1.4.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian adalah
1.
Mengidentifikasi dan mengetahui implementasi penerapan Tri Hita Karana di
Hotel-Hotel di Ubud, Bali dalam bidang Parahyangan.
2.
Mengidentifikasi dan mengetahui implementasi penerapan Tri Hita Karana di
Hotel-Hotel di Ubud, Bali dalam bidang Pawongan.
3.
Mengidentifikasi dan mengetahui implementasi penerapan Tri Hita Karana di
Hotel-Hotel di Ubud, Bali dalam bidang Palemahan.
1.5.
MANFAAT PENELITIAN
Kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai
masukan atau bahan pertimbangan kepada pihak hotel dalam
terwujudnya pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Memahami Tri Hita Karana
Seperti dalam kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu dikenal
adanya konsep Tri Hita Karana (THK), yaitu tiga penyebab kesejahteraan yang
berasal dari Bahasa Sansekerta Tri (tiga), hita (sejahtera), karana (sebab). Ketiga
penyebab kesejahteraan/kebahagiaan itu adalah Parahyangan (lingkungan spiritual),
Pawongan (lingkungan social), Palemahan (lingkungan alamiah) yang merupakan
satu kesatuan yang tak terpisahkan. Hubungan yang seimbang dan harmonis antar
ketiga unsure tersebut diyakini membawa manfaat bagi kesejahteraan hidup manusia
lahir bathin. Sebaliknya hubungan yang tidak seimbang dapat mengancam
kesejahteraan hidup manusia.
1. Aspek Parahyangan
Aspek Parahyangan merupakan ekspresi dari hubungan manusia
dengan lingkungan spiritual sekaligus merupakan refleksi dari hakikat
manusia sebagai makhluk homo religious, yaitu makhluk yang memiliki
keyakinan akan adanya kekuasaan adikodrati atau super natural. Sebaga salah
satu mencapai kesejahteraan hidup, manusia senantiasa berusaha menjaga
interaksi yang harmonis dengan lingkungan spiritual. Berbagai bentuk
interaksi manusia dengan lingkungan spiritual ini membentuk system religi
atau agama.
6
Dominasi nilai religi di Bali adalah Agama Hindu dalam konfigurasi
budaya Bali mempengaruhi citra lingkungan masyarakatnya. Soemarwoto
(1994), citra lingkungan merupakan anggapan orang mengenai struktur
lingkungan, bagaimana lingkungan berfungsi, reaksinya terhadap tindakan
manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungannya.
2. Aspek Pawongan
Aspek Pawongan merupakan ekspresi hubungan manusia dengan
sesamanya, yang sekaligus refleksi dari hakikat manusia sebaga makhluk
social. Manusia tidak dapat hidup sendiri, melainkan selalu berinteraksi
dengan manusia lainnya, dan menjadi bagian dari system sosialnya.Untuk
mencapai kesejahteraan hidupnya, manusia yang satu senantiasa menjaga
hubungan yang harmonis dengan manusia lainnya.
Ekspresi dari interaksi antara orang Bali dan lingkungan social, antara
lain melahirkan Basa Bali (Bahasa Bali), norma-norma, peraturan-peraturan,
hukum, pranata social seperti kekerabatan dan pranata kemasyarakatan, dsb.
3. Aspek Palemahan
Aspek Palemahan merupakan ekspresi dari hubungan manusia dengan
lingkungan alamiah. Untuk mencapai kesejahteraan hidupnya, manusia
senantiasa berusaha menjaga interaksi yang harmonis dengan lingkungan
alamiah. Terkadang arogansi manusia dalam bentuk eksploitasi sumberdaya
alam tanpa memperdulikan kelestariannya adalah merupakan bentuk interaksi
yang kurang harmonis dengan lingkungannya.
7
Sebagai upaya untuk menjaga keharmonisan hubungan antara manusia
dengan lingkungan alamiah dijumpai berbagai bentuk pranata yang befungsi
sebagai mekanisme control terhadap pemanfaatan sumberdaya alam. Pranata
tersebut sesungguhnya mencerminkan kearifan-kearifan ekologi. Ekspresi dari
interaksi orang Bali dengan lingkungan fisik antara lain melahirkan suatu
pengetahuan tentang alam seperti penanggalan sasih, pawukon, dan
sebagainya.
2.2.
Pariwisata Berwawasan Tri Hita Karana
Pariwisata Bali dilandasi oleh konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana telah
dipahami sebatas konsep namun belum dipaami secara operasional. Nilai-nilai
kearifan yang terkandung dalam konsep Tri Hita Karana dapat diharapkan menjadi
alat untuk menyaring dampak-dampak kemajuan pariwisata sehingga dampak positif
akan lebih dominan dibandingkan dengan dampak negatifnya. Kekamjuan teknologi
juga mempengaruhi pola hidup dan budaya masyarakat. Interkasi antar masyarakat
Bali dengan wisatawan yang akan dating ke Bali memang member warna yang
membuat Bali menjadi semakin menarik.
Pengakuan terhadap pengaruh yang ditimbulkan oleh aktivitas pariwisata
terhadap perilaku dan kelembagaan masyarakat di Bali perlu disikapi dengan
bijaksana. Tri Hita Karana sebagai dasar pembangunan kepariwisataan Bali
menyebabkan keunikannya tertap terjaga. Tri Hita Karana akan memberikan
landasan yang kuat bagi pembangunan kepariwisataan di Bali sehingga pembangunan
tersebut tidak menyebabkan masyarakat tercerabut dari akar budaya yang ada. Selain
8
dasar yang kuat, pembangunan pariwisata juga membutuhkan tiang-tiang penyangga
yang kokoh, sesai dengan karakteritik produk pariwisata tersebut.
Implementasi THK dalam pembangunan pariwisata pada dasarnya mengontrol
libido kapitalisme industri pariwisata dengan menanamkan kesadaran moral dan etika
keagamaan (Parahyangan), kemanusiaan (Pawongan) dan lingkungan (Palemahan).
Dengan demikian diharapkan pariwista tidak sekedar mengejar keuntungan ekonomi
semata, tetapi juga mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai
makhluk berbudaya serta konservasi lingkungan secara berkelanjutan.
Pengejewantahan aspek Parahyangan dalam pengelolaan industry pariwisata
yang berimplikasi kepada revitalisasi nilai-nilai religi local, tidak saja penting artinya
bagi kesejahteraan batiniah manusia, tetapi juga member corak dan nuansa tersendiri
bagi pariwisata itu sendiri.
Pengejewantahan
aspek
Pawongan
dalam
pengelolaan
pariwisata
memposisikan pranata-pranata social masyarakat local sebagai acuan bagi pola-pola
hubungan baik antar sesame pelaku pariwisata maupun antara pelaku pariwisata
dengan lingkungan social setempat. Hal ini tidak saja berimplikasi kepada terciptanya
hubungan yang harmonis antarsesama manusia sebagai makhluk social, tetapi
sekaligus merupakan revitalisasi terhadap tatanan social masyarakat setempat.
Pengejewantahan
aspek
Palemahan
dalam
pengelolaan
pariwisata
menjunjung tinggi kearifan-kearifan ekologis masyarakat setempat. Kearifan ekologis
merupakan segala tindakan manusia yang selaras dengan lingkungannya dan
merupakan manifestasi dari system kepercayaan yang dianut. Krisis ekologi global
yang mencuat, keberadaan aspek-aspek kebudayaan tradisional dengan system
9
pengetahuan dan kepercyaan tradisional dipandang sebagai bentuk-bentuk kearifan
ekologi yang berfungsi cukup efektif sebagai mekanisme kontrol bagi pengelolaan
lingkungan.Sehingga pengelolaan pariwisata dengan menghormati kearifan ekologi
masyarakat setempat merupakan salah satu upaya menuju pembangunan pariwisata
berkelanjutan.
2.3.
THK dan Pariwisata Berkelanjutan
Pariwisata berkelanjutan adalah kegiatan kepariwisataan yang mampu lestari
dalam jangka panjang, serta mampu memberikan manfaat ekonomi, social,
lingkungan alam dan budaya masyarakat. Kenikmatan yang harus dirasakan dari
sector pariwisata kini haruslah tidak mengurangi kenikmatan yang harus dirasakan
oleh generasi yang akan datang (Debudpar, 2004; dan Shandy, 1991).
Menyimak pemahaman dan definisi tersebut, dapat dinayatakn bahwa
pariwisata berkelanjutran, selain harus mendapat komitmen positif dari pemerintah,
harus juga mendapatkan simpati dan dukungan positif dari masyarakat luas,
Dukungan kuat masyarakat terhadap sebuah konsep disebutkan oleh McGinnis
(1999) dalam Windia (2005) sebagai good governance. Good governance artinya
sebuah sitauasi sosial yang masalahnya diketahui persis oleh masyarakat sendiri, dan
tahu persisi apa yang harus dikerjakan untuk memecahkan masalah itu. Kondisi yang
harmonis dalam suatu rasa kebersamaan merupakan hakikat yang paling universal
dari implementasi konsep THK yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh komponen
kepariwisataan di Bali melalui pelaksanaan THK Awards. Dengan timbulnya niat
10
secara internal untuk melaksanakan konsep THK di sector pariwisata, akan
merupakan pertanda yang signifikan bahwa sector pariwisata Bali akan berlanjut.
Secara teoritis dapat disebutkan bahwa hotel dan sector pariwisata akan
diputuskan untuk dibangun melalui suatu analisis yang cermat. Dalam proses
operasional, pihak pengelola umumnya akan melaksanakan analisis SWOT (untuk
mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dari perusahaan yang
bersangkutan) agar asset yang itu dapat beroperasi secara maksimal. Selanjutnya,
supaya asset di sector itu mampu menemukan nilai-nilai harmoni dan kebersamaan.
Hanya dengan kondisi yang harmonis dan dalam suasana kebersamaan suatu asset di
sector pariwisata akan dapat berlanjut.
Konflik di sector pariwisata (baik internal dan juga pihak eksternal) akan
menyebabkan wisatawan enggan untuk dating. Hal ini akan berakibat sector ini tidak
akan berlanjut. THK Awards mengusung konsep keberlanjutan, maka harus disadari
oleh semua pihak, khususnya komponen kepariwisataan di Bali, agar tidak terlalu
mengharap mendapatkan manfaat yang instan.
Secara khusus kiranya diperlukan dukungan yang positif dari pemerintah dan
pihak legislatif. Tentu juga dari pihak komponen kepariwisataan agar kegiatan THK
Awards ini menajdi kegiatan yang memiliki karisma tinggi di sector kepariwisataan
di Bali. Hanya dengan cara-cara seperti inilah sector pariwisatadi Bali akan berlanjut
dan pelaksanaan THK Awards adalah suatu lompatan awal yang besar bagi
keberlanjutan dunia kepariwisataan di Bali.
11
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi :
1. Desk Study
Desk study adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi
umum mengenai implementasi Tri Hita Karana baik bidang Parahyangan,
Pawongan dan Palemahan dalam bidang pariwisata khususnya hotel.
2. Obeservasi/Survey Lapangan
Metode ini digunakan untuk mengamati situasi dan kondisi di lokasi
terpilih secara langsung, melakukan diskusi partisipatif dengan para manager
hotel atau dengan tim Tri Hita Karana Hotel. Hasil observasi akan membantu
melengkapi kebutuhan data yang belum tercover dalam data sekunder (desk
study).
3. Kuesioner
Kuesioner merupakan alat pengukuran data yang berupa serangkaian
pertanyaan untuk dijawab responden (Triton, 2007:61). Dalam penelitian ini
peneliti
menggunakan
kuesioner
untuk
memperoleh
data
tentang
implementasi Tri Hita Karana di bidang Parahyangan, Pawongan dan
Palemahan hotel-hotel di Ubud.
3.2.
Metoda Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
12
1. Identifikasi dan Inventarisasi Hotel yang menerapkan Tri Hita Karana
di Ubud yang mengikuti Tri Hita Karana Award and Accreditations
Tahun 2013.
2. Penilaian hotel-hotel di Ubud di bidang Parahyangan, Pawongan dan
Palemahan.
3.3.
Teknik Analisis Data
Pengumpulan data menggunakan teknik analisis deskriptif, yaitu metode yang
digunakan untuk memaparkan data yang telah diketahui melalui pengumpulan data
yang diperoleh sesuai dengan kenyataan. Teknik analisis ini digunakan untuk
menjelaskan atau memaparkan data yang didapatkan baik data kualitatif maupun data
kuantitatif. (Kusmayadi, Sugiarto 2000:29). Fungsi dari analisis deskriptif adalah
memberikan
gambaran
umum
tentang
data
yang
telah
diperoleh
(www.inparametric.com). Hasil analisis deskriptif berguna untuk mendukung
interpretasi terhadap hasil analisis dengan teknik lainnya.
13
3.4.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian akan dilakukan selama 4 bulan untuk pengambilan data primer
maupun data sekunder. Penelitian ini dilakukan bulan Agustus sampai bulan
November 2013 di Daerah Ubud Kabupaten Gianyar Bali.
Septem
Agustus
No
Kegiatan
November
Oktober
ber
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
1
Penyusunan Proposal
2
Pengajuan Proposal
3
Perbaikan Proposal
4
Pengumpulan Data
5
Pengolahan Data
6
Penyiapan Laporan
7
Penyerahan Hasil
8
Perbaikan Laporan
4
14
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1.
Riwayat/ Sejarah Singkat Berdirinya Ubud
Dalam perjalanan sejarah Guru Suci Mpu Markandya dari Gunung Raung
Jawa ke Bali, dalam proses penyebaran Agama Hindu beliau tiba disebuah lereng
atau bukit kecil yang memanjang kearah utara dan selatan. Bukit ini diapit oleh dua
buah sungai yang berliku yang mirip seperti dua ekor naga. Sungai yang berada
disebalah barat bernama Sungai Wos Barat, sedangkan yang berada disebelah timur
Sungai Wos Timur.
Mpu Markendya mendirikan sebuah permukiman yang disebut “Sarwa Ada”
yang terletak disekitar desa Taro. Kedua sungai Wos barat dan Wos Timur bertemu
menjadi satu disebuah lokasi yang disebut dengan campuhan. Di Campuhan inilah
Mpu Markendya mengadakan tempat pertapaan dan beliau mulai merambas hutan
untuk membuat pemukiman dan membagikan tanah pertanian bagi pengikutnya.
Dengan demikian sempurnalah Yoga Sang Resi, dengan ditandai dengan mulainya
kehidupan masyarakat di Desa ini dengan dianugrahinya tanah untuk pertanian
sebagai sumber kehidupan.
Sebutan Wos untuk kedua sungai yang telah bercampur dan melekat menjadi
nama desa/pemukiman pada jaman itu. Sedangkan nama sungai ini sesuai dengan
maknanya. Sesuai dengan isi lontar Markandya Purana,Wos ngaran “Usadi”, Usad
ngaran “Usada”, dan Usada ngaran “Ubad”. Dari kata ubad ini ditranskripsikan
menjadi UBUD.
15
Selain tersebut di atas, Kelurahan Ubud juga memiliki sejarah kepemimpnan
Kepala Desa. Keperbekelan Desa di Ubud dimulai tahun 1922 yang dipimpin oleh
seorang perbekel pada waktu itu bernama Pan Grya. Wilayah Ubud waktu itu
meliputi Sambahan, Junjungan, Bentuyung, Ubud, Kutuh, dan Nagi. Pan Grya
kemudian digantikan oleh A.A Gde Kerempeng yang menambah lagi wilayahnya ke
Taman Kaja, Padangtegal dan Tegallantang.
Sejak tanggal 31 Desember 1980 Keperbekelan Ubud berubah status menjadi
Kelurahan, dan perbekelnya Tjokorda Gde Rai Darmawan diangkat menjadi Kepala
Kelurahan Ubud.(lahirnya Kelurahan Ubud tanggal 1 Januari tahun 1981). Sejak
jaman perang kemerdekaan putra-putri Ubud telah banyak yang ikut memberi andil
demi kemajuan Bangsa dan Negara, seperti I wayan Suweta, Nyoman Sunia, Ida
Tjokorda Putra Sudarsana, Nombrong dan Made Kajeng. Demikian juga di jaman
pembangunan ini salah seorang putra Ubud, yaitu: DR. Ir. Tjokorda Raka Sukawati
juga telah memberikan andil yng sangat berharga bagi kemajuan bangsa dan Negara
kita, khususnya dalam bidang pembangunan fisik, berupa penciptaan sebuah teknik
pembangunan yang dinamakan “Sosrobahu” dalam pembuatan jalan layang di
Jakarta.
Selanjutnya Ubud terus berkembang mengikuti perkembangan Pariwisata
yang semakin hari semakin ramai dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan
Domestik maupun wisatawan Mancanegara termasuk seniman-seniman lukis Asing
berdatangan ke Kelurahan Ubud bahkan ada yang menetap di sana.
Demikian sejarah singkat terbentuknya Kelurahan Ubud dan kondisi terkini yang
sedang berkembang di wilayah tersebut. Sebuah wilayah yang begitu inspiratif bagi
16
orang luar Ubud, seperti Desmond Tutu, seorang peraih Nobel Perdamaian Dunia,
yang menyebut Ubud sebagai “Pusat Kebudayaan Dunia”atau “Ubud Capital of
Culture For the World”. Seiring ketenaran nama Ubud di dunia internasioanal karena
seni, budaya dan agamanya yang seolah-olah menyatu dalam kehidupan
kesehariannya disertai keramahan penduduknya merupakan daya tarik tersendiri bagi
wisatawan yang mengunjungi Kelurahan Ubud. Banyak wisatawan asing yang
mengunjungi Ubud tertarik untuk menetap di sana, terutama para seniman musik dan
lukis seperti Walter Spies, Rudolf Bonnet, Antonio Blanco, Han Senel, dan yang lainlainnya.
4.2.
Kondisi Fisik Ubud
4.2.1. Letak Geografis
Ubud merupakan salah satu dari kecamatan yang ada di Kabupaten
Gianyar, terletak antara 8o 27' 17" - 8o 34' 43" Lintang Selatan 115o 13'
45,7" - 115o 16' 51,7" Bujur Timur. Terletak pada ketinggian 75 – 325 m,
dan jarak dari pusat Kota Gianyar adalah 9,75 km dengan luas wilayah
42,38 km2 yaitu 11,52 persen dari luas keseluruhan Kabupaten Gianyar
dan 0,75 persen luas Pulau Bali.
Seperti umumnya keadaan musim di daerah lainnya, Kecamatan
Ubud dikenal dua
musim yaitu musim kemarau dan musim hujan.
Keadaan ini berkaitan erat dengan arus angin yang bertiup di kawasan
Indonesia. Pada bulan Januari sampai Desember arus
angin yang
berhembus banyak membawa uap air kerena melewati Samudra Pasifik
17
dan beberapa lautan di sekeliling luar Indonesia, sehingga mengakibatkan
musim yang tidak menentu dan sering terjadi hujan lebat disertai angin
besar.
Curah hujan antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim dan
perputaran/pertemuan arus udara. Oleh karena itu jumlah curah hujan
beragam menurut bulan dan letak stasiun pengamat. Sejak tahun 2006
pencatatan curah hujan dilakukan pada tiap-tiap kecamatan dengan
masing-masing ada 1 buah tempat pencatatan curah hujan. Berdasarkan
hasil pencatatan curah hujan bahwa sepanjang tahun 2011 curah hujan di
Kabupaten Ubud berkisar antara 10 – 560 mm. Kecamatan dengan total
curah hujan tertinggi adalah kecamatan Payangan yaitu sebesar 2380 mm,
tempat kedua Kecamatan Ubud dengan total curah hujan 2106 mm
sedangkan kecamatan dengan curah hujan terkecil adalah Kecamatan
Gianyar dengan total curah hujan 1431 mm. Bulan Agustus merupakan
bulan terkering selama tahun 2011 dengan curah hujan berkisar 10 - 23
mm.
4.2.2. Topografi dan Geologi
Kecamatan Ubud termasuk kawasan dengan batuan induk yang
berasal dari abu vulkan intermedier. Tanah yang terbentuk dari batuan ini
adalah jenis tanah regosol coklat kekuningan dan regosol berhumus. Jenis
tanah ini memiliki kepekaan terhadap erosi yang cukup tinggi karena
18
dalam proses pembentukannya masih tergolong muda dan belum
mengalami pelapukan secara sempurna sehingga cenderung bersifat porus.
4.2.3. Hidrologi
Hidrologi wilayah dapat ditinjau dari keberadaan sumber-sumber
air, baik itu dari air permukaan maupun air bawah tanah. Ketersediaan air
di wilayah penelitian didukung oleh air permukaan yang bersumber dari
air sungai seperti Sungai Ayung dan Sungai Wos yang mempunyai aliran
kontinyu sepanjang tahun atau disebut sungai perennial. Jenis air
permukaan juga bisa berasal dari mata air dengan potensi yang berbeda
dan penyebarannya tidak sama. Kapasitas air sangat dipengaruhi oleh
kondisi hidrologi, iklim, daerah tangkapan, vegetasi, dan struktur geologi.
4.2.4. Pemanfaatan Ruang
Pemanfaatan ruang dalam wilayah penelitian menggambarkan
penggunaan lahan pada saat ini. Penggunaan lahan didominasi oleh tanah
sawah seluas 1.903 Ha dan kedua terbesar adalah berupa lahan
tegal/kebun seluas 1.110 Ha. Selanjutnya merupakan lahan pemanfaatan
pekarangan rumah 981 Ha dan diikuti pemanfaatan lainnya seluas 205 Ha
serta dimanfaatkan untuk hutan rakyat dan tanaman perkebunan masingmasing 10 Ha dan 7 Ha.
19
4.3 Sosial dan Budaya
4.3.1. Demografi
Berdasarkan data Gianyar Dalam Angka Tahun 2012, jumlah
penduduk di Kecamatan Ubud yaitu 70.408 jiwa dimana 35.586 jiwa
penduduk dengan jenis kelamin laki-laki dan 34.821 jiwa penduduk
berjenis kelamin perempuan. Dan
jumlah warga negara asing di
Kecamatan Ubud menempati paling tinggi diantara kecamatan lainnya di
Kabupaten Gianyar yaitu 38 jiwa yaitu 24 jiwa berada di daerah perkotaan
dan 14 jiwa berada di daerah pedesaan.
4.3.2. Pendidikan
Tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan suatu penduduk secara
umum
berkorelasi dengan Sumber
Daya
Manusia (SDM)
yang
dihasilkannya. Peningkatan SDM melalui pendidikan bisa dilakukan
karena pendidikan merupakan suatu proses pembelajaran dan interaksi
sosial. Melalui pendidikan proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) terjadi. Pendidikan juga merupakan instrument utama dalam
internalisasi, adaptasi, akulturasi, pewarisan 48 nilai-nilai antar generasi
dan penciptaan budaya baru tanpa meninggalkan karakteristik budaya
setempat. Dilihat dari perspektif ekonomi, pendidikan dapat memacu
pertumbuhan suatu wilayah. Peningkatan kualitas pendidikan akan
meningkatkan produktivitas yang berimbas pada peningkatan pendapatan,
menurunya kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat.
20
4.3.3 Perhotelan dan Kepariwisataan
Kepariwisataan diharapkan menjadi sektor andalan yang mampu
menggalakkan kegiatan ekonomi, mengkatrol sektor lain yang terkait,
membuka lapangan kerja dan pada gilirannya meningkatkan pendapatan
masyarakat daerah. Potensi Kepariwisataan daerah Kabupaten Gianyar
adalah obyek wisata berupa keindahan alam dan seni budaya yang
bersumber dari agama Hindu.
Berdasarkan
hasil
pendataan
akhir
tahun
2010
banyaknya
Hotel/Penginapan di Kabupaten Gianyar 395 buah, diantaranya 13 buah
dengan katagori Hotel berbintang, 378 hotel non bintang dan 4 penginapan
lainnya.
Dari seluruh akomodasi Hotel/Penginapan tersebut tercatat kapasitas
kamarnya adalah 3.746 buah dan tempat tidur 5.006 buah. Hampir seluruh
Hotel/ Penginapan berlokasi di Kecamatan Ubud yaitu 338 buah, di
Kecamatan Sukawati 16, Kecamatan Blahbatuh 12, Kecamatan Payangan 9,
Kecamatan Tegallalang 8, Kecamatan Gianyar dan Tampaksiring masingmasing 6 buah akomodasi. Tingkat hunian kamar hotel untuk hotel
berbintang pada tahun 2011 sebesar 50,25 % dan untuk hotel non bintang
sebesar 32,84 %.
21
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Hotel yang ikut serta dalam Tri Hita Karana Awards and Accreditation
Hotel dan penginapan yang berada di Kecamatan Ubud berdasarkan data
statistik Kabupaten Gianyar tahun 2013 adalah 338 buah. Dari 338 buah hotel dan
penginapan yang ada di Ubud hanya 15 hotel yang mengikuti penilaian Tri Hita
Karana Awards and Accreditation. Hotel- hotel tersebut dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1
Daftar Hotel Peserta Tri Hita Karana Awards and Accreditation
Di Ubud, Gianyar Tahun 2013
No
Nama Hotel
Kategori
Alamat
1
Alaya Ubud
Boutique
2
Alila Ubud
Bintang 4
Ds. Melinggih Kelod PayanganGianyar
Bintang 5
Br. Kutuh, Desa Sayan-Ubud
Melati
Jl. Raya Campuhan Ubud
4
Fourseason Resort at Sayan
Ubud
Hotel Tjampuhan & Spa
5
Kamandalu Resort & Spa
Bintang 5
Jl. Andong, Banjar Nagi Ubud
6
Maya Ubud Resort & Spa
Bintang 5
Jl. Gunung Sari Peliatan Ubud
7
Pita Maha A Tjampuhan Resort
& Spa Ubud Bali – Boutique
Privacy
Boutique
Jl. Raya Sanggingan Campuhan
Ubud-Gianyar Bali
8
Puri Sebatu Resort
Bintang 2
Banjar Abangan, Ubud-Bali
9
Puri Sunia Resort
Melati
Jl. Tirta Tawar, Br. Abangan,
Tegalalang-Ubud Bali
Bintang 5
Jl. Penestanan 9, Sayan-Ubud
Boutique
Jl. Raya Kedewatan Ubud-Gianyar
3
11
The Mansion Resort Hotel &
Spa
The Royal Pitamaha Resort
12
The Samaya Ubud
Boutique
Br. Baung Desa Sayan-Ubud
13
Ubud Green Resort Villas
Boutique
Jl. Sri Wedari No. 8 Ubud
14
Wapa Di Ume Resort & Spa
Boutique
Jl. Suweta, Bre. Batuyung, Ubud-Bali
10
15 Warwick Ibah Luxury
Bintang 4
Sumber : Tim THK Awards and Accreditation 2013
Jl. Raya Tjampuhan-Gianyar
22
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa hotel dan penginapan yang
mengikuti penilaian Tri Hita Karana Awards and Accreditation adalah 4 buah hotel
dengan kelas bintang 5, 2 buah hotel dengan kelas bintang 4, 6 buah hotel kelas
boutique dan sisanya kelas bintang 2 dan melati. Hal ini menunjukkan bahwa sedikit
sekali hotel yang dengan sukarela mengikuti penilaian ini yaitu hanya 4,44% hotel
yang mengikuti penilain dari jumlah keseluruhan hotel yang ada di Ubud.
5.2
Implementasi Tri Hita Karana di Hotel
Penilaian Tri Hita Karana meliputi tiga aspek yaitu Parahyangan, Pawongan
dan Palemahan di masing-masing hotel.
5.2.1 Parahyangan
Aspek Parahyangan dalam penilaian Tri Hita Karana mencakup
didalamnya yaitu penggunaan simbol sakral, tempat pemujaan, kontribusi
perusahaan terhadap keagamaan, pelestarian dan pengembangan tradisi
keagamaan, keagamaan bagi karyawan, pengenalan konsep THK pada
tamu, program ritual keagamaan, letak tempat pemujaan, penanggung
jawab keagamaan, perpustakaan THK, pemeliharaan tempat pemujaan,
pengunaan bahan bangunan sebagai tempat suci, pemberian nama pada
bangunan dan ruangan dan dharma wacana.
1. Penggunaan simbol sakral
Simbol-simbol sakral dalam tradisi Hindu memiliki aturan sendiri
dalam hal penggunaan dan penempatannya. Penempatan simbol sakral ini
tidak hanya dilihat indahnya namun ketepatan penempatannya.
23
Berdasarkan hasil penelitian lapangan seluruh (100%) hotel di Ubud
yang ikut berpartisipasi dalam THK tidak menggunakan simbol-simbol
sakral di tempat-tempat yang tidak sesuai. Dalam arti lain simbol-simbol
tersebut ditempatkan sesuai dengan aturannya.
2. Tempat Pemujaan
Setiap hotel idealnya memiliki tempat pemujaan, dan 100 persen hotel
yang berpartisipasi dalam THK memiliki tempat pemujaan. Walaupun
terkadang tidak memiliki tempat pemujaan yang lengkap sesuai kaidah
Hindu. 38 persen memiliki tempat pemujaan lengkap, 30 persen memiliki
hanya 4 tempat pemujaan, dan 30 persen hanya memiliki 3 tempat
pemujaan. Lengkapnya suatu tempat pemujaan dalam hal ini dalah
memiliki pelinggih, padma, tugu, piyasan, bale pemujaan, penunggun
karang dan dibatasi tembok penyengker.
Gambar 5.1
Tempat Pemujaan di The Samaya,Ubud
(Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013)
24
3. Kontribusi dalam kegiatan keagamaan di pura sekitarnya
Dalam menjalin hubungan yang harmonis dengan umat di sekitarnya
dapat di lihat dari sejauh mana perhatian hotel kepada kegiatan umat di
tempat pemujaan sekitar objek. Hal ini dapat dilakukan dengan
memberikan sumbangan baik materiil maupun imateriil.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa 92,31 persen hotel memberikan
sumbangan sukarela di masing-masing pura sekitar hotel tiap ada upacara
keagamaan, dan hanya 7,69 persen hanya memberikan sumbangan sekali
dalam setahun.
4. Pelestarian dan Pengembangan Tradisi Agama
Pelestarian kegiatan kebudayaan keagamaan dilakukan oleh hotel
seyogyanya membuat perencanaan yang matang. Sebesar 61,54% pihak
hotel memiliki program tertulis dengan jelas dan memberikan fasilitas
pelatihan serta pembinaan untuk melestarikan tradisi keagamaan, 30,77%
pihak hotel hanya memberikan fasilitas dan pelatihan pelestarian tradisi
keagamaan dan 7,69% hotel sama sekali tidak menyediakan fasilitas,
namun karyawan diberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan di luar
hotel.
5. Sosialisasi THK kepada tamu hotel
Setiap hotel idealnya memiliki program untuk mensosialisasikan THK
kepada tamu baik melalui karyawan ataupun wujud symbol dan adanya
buku-buku tentang THK. Sebanyak 76,93% hotel menyatakan bahwa
setiap karyawan diwajibkan untuk mengenalkan konsep THK kepada
25
wisatawan yang menginap di hotelnya. Sedangkan hanya 15,38%
menyatakan bahwa karyawan hotel hanya memperkenalkan konsep
tersebut dan hanya 7,69% menyatakan bahwa karyawan akan menjelaskan
bila karyawan bertanya tentang konsep THK.
6. Tata Letak dan pemeliharaan tempat pemujaan
Pemanfaatan tata ruang dalam budaya Hindu di Bali memiliki latar
belakang filosofi dalam dimensi yang cukup dalam dan luas. Idealnya
dimana letak pemujaan didirikan, dibagi menjadi tiga denga merujuk
konsep Tri Mandala. Hampir 69,23% hotel di Ubud menggunakan konsep
Tri Mandala yang dapat menampung seluruh karyawan melaksanakan
persembahyangan dengan nyaman dan 30,73% menyatakan bahwa tempat
pemujaan di hotel tidak sesuai dengan konsep Tri Mandala namun masih
dapat memberikan rasa nyaman kepada karyawan untuk melaksanakan
upacara keagamaan.
Selain itu tempat pemujaan juga harus dijaga kebersihannya. Seratus
persen hotel menyatakan bahwa tempat pemujaan harus bersih dan
terpelihara dengan baik, ada tanaman yang tertata dengan rapi sehingga
tampak asri.
26
Gambar 5.2
Kondisi dan keberadaan Pura di Hotel Pita Maha Tjampuhan,Ubud
(Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013)
7. Penanggung jawab keagamaan
Kegiatan keagamaan di hotel seyogyanya memiliki organisasi dengan
kelembagaan yang kuat, seperti adanya pemangku (penanggung jawab
pelaksanaan ritual) di pura dan harus ada kepastian kewajiban dan hak
yang transparan yang diatur dalam suatu ketentuan tertulis. Sebesar
30,77% pihak hotel memiliki penanggung jawab pelaksanaan upacara
sehari-hari yang berasal dari luar hotel (bukan status sebagai karyawan
hotel), sebanyak 15,38% hotel menyerahkan kepada karyawan secara
bergantian untuk melaksanakan upacara agama sehari-hari dan 53,85%
pihak hotel memiliki seorang penanggung jawab tetap (pemangku di pura
hotel) dalam melaksanakan upacara sehari-hari.
27
8. Perpustakaan THK
Perpustakaan THK dimaksudkan adalah perpustakaan khusus tentang
kebudayaan Bali dengan THK-nya dan berbagai sarana promosi THK
yang berbentuk elektrik (kaset, CD, Video, VCD dan DVD), gambargambar dan bentuk lainnya. 15,38% pihak hotel memiliki bukubuku/video dokumentasi yang berkaitan dengan THK lebih dari 25 judul
buku dan lebih dari 25 video, 7,69% pihak hotel hanya memiliki buku dan
video antara 15 – 20 judul buku dan video, 7,69% memiliki antara 5 – 10
judul buku dan video, 23,08% pihak hotel memiliki buku ataupun video
tentang THK kurang dari 5 judul buku sedangkan yang paling tertinggi
persentasenya adalah memiliki antara 10 – 15 judul buku dan video
tentang THK yaitu sebesar 46,16%.
9. Pemberian nama pada bangunan dan ruangan
Pemberian nama pada bangunan dan ruangan disesuaikan dengan
budaya local Bali, misalnya menggunaka nama-nama bunga yang ada di
Bali, atau menggunakan nama tokoh Pewayangan dalam Mahabaratha
atau Ramayana. Penamaan nama-nama tersebut agar disesuaikan dengan
norma-norma penggunaan budaya Bali. Sehingga tidak melanggar norma
etika budaya Bali.
Sebesar 30,77% menyatakan semua nama ruangan atau bangunan yang
ada di hotel telah dengan kontektual budaya local dan di tulis dengan
dengan huruf lokal (Bali) dan huruf latin, 38,46% menyatakan semua
menggunakan nama budaya local Bali namun hanya menggunakan huruf
28
latin saja, 7,69% menyatakan hanya berkisar antara 50-90% ruangan dan
bangunan menggunakan nama budaya local dan dengan huruf latin saja,
7,69% menyatakan hanya 25-49% ruangan dan bangunan menggunakan
nama budaya local dan ditulis hanya dengan huruf latin saja. Seperti
misalnya di The Samaya Ubud, seluruh kamar dan villa diberi nama sesuai
dengan pohon yang ada di dalam villa seperti kelapa, jati, manggis, dsb.
Gambar 5.3
Penamaan kamar di The Samaya,Ubud sesuai dengan tumbuhan yang ada
(Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013)
10. Dharma Wacana
Seyogyanya di setiap hotel ada Dharma Wacana tentang udaya Bali
terutama tentang THK secara periodic dengan program dengan
pendalaman THK, dan adanya tenaga khusus yang menangani sehingga
dapat berkesinambungan dan tidak membosankan. Hanya 7,69% pihak
hotel melaksanakan Dharma wacana rutin tiap tiga bulan dan ada piodalan
di pura hotel dengan melibatkan karyawan, 46,18% hotel melaksanakan
29
dharma wacana saat piodalan dan melibatkan karyawan hotel, 23,08%
pihak hotel hanya melaksanakan dharma wacana setiap tahun sekali sesuai
dengan program, 7,69% pihak hotel melaksanakannya setahun sekali
namun tidak memiliki program dan melibatkan karyawan tertentu saja dan
15,38% hotel sama sekali tidak memiliki program dharma wacana.
5.2.2 Pawongan
Aspek Pawongan dalam penilaian Tri Hita Karana mencakup di
dalamnya adalah aspek internal, eksternal dan semuanya menekankan pada
harmoni. Aspek ini meliputi kegiatan sosial hotel terhadap lingkungan
sekitarnya, program dan kegiatan koperasi/simpan pinjam hotel, buku
kesan dan pesan wisatawan.
1. Kegiatan sosial hotel terhadap lingkungan sekitarnya
Kegiatan social yang dimaksud dalam hal ini adalah program
pengembangan organisasi sosial di sekitar hotel, kegiatan pelestarian
budaya Bali, pemberdayaan organisasi tradisional di sekitar hotel dan
kepedulian terhadap masalah social di sekitarnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa sebanyak 76,92%
pihak hotel melaksanakan program tersebut dan dilampirkan dengan
bukti-bukti pelaksanaan program, sedangnyan 23,08% menyatakan tidak
memiliki program dan tidak memiliki bukti pelaksanaannya (pada gambar
5.4).
30
Gambar 5.4
Kegiatan gotong royong di desa sekitarnya
(Sumber: Foto Alila Ubud)
Alila Ubud mempunyai program tertulis dan ada bukti pelaksanaannya
seperti latihan menari anak-anak dari desa sekitar hotel yang dilakukan
setiap sore pada hari Selasa dan Minggu yang dilakukan warga Banjar
Bayad di Cabana Lounge / Pool area Alila Ubud dimana tamu bisa
menyaksikan secara langsung yang ditunjukkan pada Gambar 5.5.
Gambar 5.5
Kegiatan Sosial Pelestarian Budaya Bali di Alila, Ubud
(Sumber: Foto Alila Ubud)
Sedangkan untuk kegiatan pemberdayaan seniman local di hotel,
sebesar 69,24% pihak hotel menyatakan bahwa ada program tertulis dan
31
disertai dengan bukti tentang memberdayakan seniman local di hotelnya,
15,38% menyatakan tidak memiliki program namun memiliki bukti-bukti
pelaksanaannya dan sebesar 15,38% menyatakan tidak memiliki program,
tidak memiliki bukti namun pihak hotel sependapat bahwa kegiatan itu
penting dilaksanakan.
Gambar 5.6
Pemberdayaan Seniman Lokal di Alila, Ubud
(Sumber: Foto Alila Ubud)
2. Konflik
Konflik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah konflik/perselisihan
yang terjadi antara pihak manajemen hotel dengan karyawannya maupun
pihak hotel dengan masyarakat sekitarnya. Hampir semua hotel (100%)
menyatakan bahwa tidak pernah terjadi konflik antara manajemen hotel
dengan karyawannya atau dengan masyarakat sekitarnya.
3. Program mempekerjakan penderita cacat
Idealnya hotel mempunyai program mempekerjakan penderita cacat,
dari hasil penelitian bahwa sebesar 38,46% hotel memiliki program
32
tertulis mempekerjakan penderita cacat dan ada bukti, 7,69% hotel
memiliki
program
tertulis/kesepakatan
manajemen/komitmen
mempekerjakan penderita cacat namun belum ada penderita cacat yang
dipekerjakan, 7,69% hotel tidak memiliki program, tidak mempekerjakan
namun memberikan pelatihan kepada penderita cacat untuk beberapa
keterampilan yang dibutuhkan hotel dan 46,16% pihak hotel tidak
memiliki program namun sependapat tentang perlunya membantu
penderita cacat untuk bekerja di hotel.
4. Menampung produksi masyarakat local
Pada idealnya hotel bersedia menampung hasil produksi masyarakat
lokal. Produksi masyarakat lokal yang dimaksud disini adalah masyarakat
yang berdomisili di Bali dan lebih diutamakan dari masyarakat sekitarnya.
Hasil produksi yang dimaksudkan adalah produksi yang dikembangkan di
Bali. Berdasarkan hasil penelitian lebih dari lima puluh persen yaitu
84,62% pihak hotel menampung produksi masyarakat lokal untuk mensupply kebutuhan hotel disertai dengan kesepakatan antara pihak hotel
masyarakat, dan 25,38% hotel tidak memiliki kesepakatan antar dua belah
pihak namun diyakini mereka menampung produksi masyarakat lokal.
33
Gambar 5.7
Pemanfaatan produk lokal masyarakat di Pita Maha Tjampuhan,Ubud.
(Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013)
5. Tenaga Kerja
Dalam hal tenaga kerja, idealnya pihak hotel menyerap semaksimal
tenaga kerja lokal dan sedikit menyerap tenaga asing. Dari hasil penelitian
yang dilakukan sebesar 84,62% pihak hotel menggunakan tenaga kerja
lokal yaitu antara 85-100%, dan sisanya 15,38% pihak hotel menyatakan
menggunakan tenaga kerja lokal antara 70 – 84%.
Untuk penyerapan tenaga asing sebesar 53,85% pihak hotel tidak
menggunakan warga negara asing sebagai tenaga kerja, 30,77% pihak
hotel menggunakan 1 orang tenaga kerja asing, 7,69% hotel menggunakan
2 orang tenaga asing dan 7,69% pihak hotel menggunakan 3 orang tenaga
asing sebagai tenaga kerja.
Pita Maha Tjampuhan Ubud menerapkan 100 persen menggunakan
tenaga local khususnya di daerah Ubud dan masih menggunakan sistem
34
kekeluargaan (Gambar 5.8). Sedangkan proporsi karyawan lokal Alila
Ubud adalah 85-100%. Laporan Data Karyawan Alila Ubud periode
September 2013 adalah 73% karyawan lokal daerah Bayad dan
sekitarnya. Dan 97 % merupakan WNI. WNA yang bekerja di Alila Ubud
awalnya berjumlah 3 orang, namun mulai bulan September 2013 kita
memakai 2 orang tenaga kerja asing .
Gambar 5.8
Tenaga kerja lokal di Hotel Pita Maha Tjampuhan,Ubud
(Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013)
6. Fasilitas wisatawan cacat
Fasilitas wisatawan cacat yang dimaksudkan adalah seluruh fasilitas
yang ada dihotel seperti jalan untuk kursi roda, toilet khusus dan kamar
untuk tamu yang cacat fisik. 30,77% pihak hotel memiliki sarana dan
prasarana yang lengkap untuk tamu yang cacat fisik, 46,15% pihak hotel
belum mempunyai fasilitas yang dimaksudkan dan akan segera
35
merealisasikan dan diprogramkan oleh pihak manajemen, dan 23,08%
pihak hotel belum memiliki sarana serta tidak ada program tersebut.
Seperti pada Gambar 5.8 yang menyediakan kursi roda dan jalan khusus
untuk wisatawan cacat , serta ditempatkan pada kamar yang dekat dengan
lobby.
Gambar 5.9
Jalan khusus wisatawan cacat
(Sumber : Foto Alila Ubud)
7. Guest comment
Guest comment ini biasanya selalu ada dalam setiap hotel dan
dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana kinerja pegawai hotel dan
keadaan hotel. Hampir 92,31% pihak hotel menyatakan bahwa guest
comment yang ada dinyatakan very good dan excellent melebihi dari 75%
dan hanya 7,69% dari guest comment yang ada menyatakan very good dan
36
excellent minimal 75%. Dari guest comment ini hotel dapat meningkatkan
kinerja dan pelayanan pegawai yang dilakukan pada tamu.
8. Repeater guest
Idealnya hotel memiliki repeater guest yaitu tamu yang sama intensitas
menginapnya di sebuah hotel dapat lebih dari satu kali menginap. 46,15%
hotel memiliki repeater guest ≥ 20%, 23,08% hotel memiliki repeater
guest antara 15 – < 20%, 7,69% pihak hotel memiliki repeater guest
antara 10 – < 15%, 15,38% hotel memiliki repeater guest antara 5 - <
10%, dan 7,7% hotel memiliki repeater guest < 5%.
9. Proporsional gaji
Dalam hal ini sangat diharapkan sekali distribusi gaji harus
proporsional antara manajemen puncak (top), menengah (middle) dan
bawah (low). Sehingga dengan adanya gaji yang proporsional tidak
menimbulkan konflik dan kesenjangan antar karyawan. 15,38% pihak
hotel menyatakan bahwa proporsional gaji antara manajemen ada
kesenjangan (gap) agak tinggi dan sisanya sebesar 84,62% pihak hotel
menyatakan bahwa gaji karyawan kesenjangannya tidak tinggi. Dengan
tidak tingginya kesenjangan ini akan dapat menjaga keharmonisan antar
karyawan.
10. Length of stay
Length of stay yang dimaksudkan disini adalah lama tamu menginap di
sebuah hotel. Idealnya seorang tamu menginap lebih dari 12 hari pada
sebuah hotel. 15,38% hotel memiliki tamu dengan tingkat length of stay 8
37
hari, 53,85% hotel memiliki length of stay 4 – 8 hari, dan 30,77% hotel
memiliki length of stay 1 – 3 hari. Tidak ada satupun hotel dalam
penelitian ini memiliki tamu dengan tingkat length of stay lebih dari 12
hari.
11. Turn over karyawan
Turn over karyawan yang dimaksudkan disini adalah perpindahan
karyawan dari hotel semula ke hotel lain karena menemukan posisi yang
lebih baik atau karena alasan tertentu dalam satu tahun. Diharapkan tidak
adanya turn over karyawan ke perusahaan lain karena ketidakpuasan.
38,46% pihak hotel karyawannya tidak ada yang pindah, 38,46% pihak
hotel karyawannya ada yang pindah maksimal sebanyak 3 orang dalam
setahun dan ada 23,08% pihak hotel yang karyawannya pindah maksimal
6 orang dalam setahun. Perpindahan karyawan ini dikarenakan karena
menemukan posisi yang lebih bagus dibandingkan karena ketidakpuasan.
12. Pemeriksaan karyawan
Pemeriksaan karyawan yang dimaksudkan disini adalah khususnya di
bagian food and beverage service dilakukan pemeriksaan rectal swab
yaitu pemeriksaan bakteri E.Coli setiap enam bulan sekali pada Dinas
Kesehatan yang ditunjuk dengan menunjukkan piagam atau sertifikat yang
menyatakan bahwa karyawannya bebas dari bakteri E. Coli.
Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa 15,38% pihak hotel tidak
memeriksakan karyawannya dan 84,62%
hotel telah melakukan
38
pemeriksaan karyawan pada dinas kesehatan yang ditunjuk dan
melampirkan surat atau piagam yang menunjukkan hasil tes.
Alila Ubud melakukan cek E.Coli tiap enam bulan sekali, terbukti
dengan adanya Surat Keterangan LAIK SEHAT HOTEL oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten Gianyar tanggal 4 Agstus 2013 dan Hasil Terbaru
Rectal Swab yang di adakan pada 10-11 September 2013. Serta Plakat
Hygiene yang telah di tandatangani oleh Dinas Kesehatan yang berlaku
sejak tanggal 06 September 2013 sampai dengan 05 Maret 2014.
13. Program K3
Program K3 adalah Program Kesehatan dan Keselamatan Kerja,
dimana setiap hotel atau perusahaan memiliki program ini dan
melaksanakan pelatihan secara periodik kebijakan K3. Sebesar 61,54%
hotel memiliki program tertulis dan latihan secara periodic, 23,08% hotel
tidak memiliki program tertulis namun melakukan latihan secara periodic,
dan 15,38% pihak hotel tidak memiliki program K3 dan latihan hanya
sewaktu-waktu saja. Seperti yang dilakukan di Alila Ubud yaitu
melakukan Pengujian berkala kepada Instalasi Fire Hydrant System,
Instalasi Listrik dan Instalasi Fire Alarm System dan Training Fire Drill
tahun 2013 akan diadakan bulan Nopember
14. Penghargaan pada karyawan
Dalam setiap perusahaan/hotel biasanya karyawan diberikan award
sebagai bentuk terima kasih atas prestasi kerja yang dilakukan kepada
pihak perusahaan. Award ini dapat diberikan berupa materiil maupun
39
imateriil yang biasanya di nilai dalam kurun waktu satu tahun. Sebanyak
69,23% pihak hotel memberikan penghargaan kepada karyawannya dan
dilengkapi dengan bukti berupa dokumentasi sedangkan 30,77% hotel
hanya menyatakan setuju memberikan penghargaan pada karyawan namun
tidak melaksanakannya.
Gambar 5.10
Penghargaan karyawan
(Sumber : Foto Alila Ubud)
15. Koperasi karyawan
Idealnya hotel memiliki koperasi karyawan yang dapat digunakan
untuk kesejahteraan karyawan. Selain itu juga pihak hotel memberikan
fasilitas bagi pengembangan koperasi misalnya memberikan kepada
koperasi untuk memasok (sebagai supplier) kebutuhan hotel, membantu
karyawan dan membantu ruang kerja dengan fasilityasnya (listrik, AC,
dll) secara gratis.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa 53,85% hotel memiliki
koperasi dan semuanya memenuhi criteria dalam checklist, 7,69% hotel
memiliki koperasi namun tidak mendapatkan fasilitas dari pihak hotel,
40
23,08% pihak hotel menyatakan tidak memiliki koperasi namun ada
kegiatan bersama berupa simpan pinjam, dan 15,38% hotel menyatakan
tidak memiliki koperasi dan tidak ada kegiatan namun mereka menyadari
hal ini penting untuk dilakukan.
Alila Ubud mempunyai Koprasi
karyawan yang dikelola oleh karyawan sejak tahun2008.
Gambar 5.11
Koperasi karyawan
(Sumber : Foto Alila Ubud)
16. Fasilitas cuti, jaminan kesehatan dan bonus karyawan
Idealnya hotel memiliki fasilitas cuti bagi karyawan dan memberikan
jaminan bagi karyawan yang sakit yang termuat dalam peraturan kerja
bersama (PKB) atau kesepakatan kerja bersama (KKB) atau peraturan
perusahaan yang mengatur hak dan kewajiban karyawan.
Seluruh hotel yang diteliti memiliki aturan yang disebutkan diatas yang
tercantum dala KKB/PKB hotel. Dan seluruh karyawan mendapatkan
bonus dan tunjangan hari raya secara proporsional.
41
Alila Ubud memberikan jaminan kesehatan kepada karyawan dengan
mengikutsertakan seluruh karyawan Alila Ubud dalam Yanthy Associates
dimana premi nya dibayar penuh oleh Alila Ubud.
17. Fasilitas olahraga bagi karyawan
Idealnya hotel menyediakan fasilitas olahraga bagi karyawan hotel
seperti, voli, basket, bulu tangkis dan sejenisnya. 38,46 persen pihak hotel
menyediakan fasilitas tersebut di kawasan hotel, 46,15persen hotel tidak
menyediakan fasilitas tersebut di kawasan hotel, namun hotel membiayai
setiap kegiatan olahraga karyawan yang dilakukan di luar hotel, 7,69
persen hotel tidak menyediakan fasilitas olahraga namun membiaya
kegiatan olahraga karyawan pada hari-hari tertentu dan terakhi adalah
hotel tidak memiliki fasilitas dan tidak membiayai kegiatan olahraga
karyawan sebesar 7,69 persen.
Alila Ubud tidak menyediakan fasilitas olahraga bagi karyawan di
kawasan hotel, namun kami membiaya setiap kegiatan olahraga karyawan
yang dilakukan di luar hotel. Misalnya : Futsal, Bulutangkis dan turut
berpartisipasi baik dalam hal kegiatan maupun pemberian donasi dalam
berbagai kegiatan olahraga yang dilakukan oleh karyawan.
18. Pemberdayaan SDM internal
Pemberdayaan sumberdaya manusia internal yang dimaksudkan
adalah melakukan kegiatan in house training yang menggunakan SDM
hotel sendiri. Hanya 7,69 persen pihak hotel tidak memiliki program in
house training dan memberdayakan SDM internal sedangkan 92,31 persen
42
memberdayakan SDM internal dan sangat aktif melakukan in house
training bagi karyawan baik bagi karyawan yang baru maupun yang lama.
Gambar 5.12
Pemberdayaan SDM Internal
(Sumber : Foto Alila Ubud)
19. Keberadaan Serikat Pekerja Pariwisata
Hotel diharapkan menjamin keberadaan serikat pekerja pariwisata (SP
Par) dan memiliki pengurus serta kantor. Dari 13 hotel yang ikut dalam
THK Awards hanya 30,77% yang sudah ada organisasi SP Par serta
memiliki kantor dan pengurus, 38,46% ada organisasi dan pengurus
namun tidak memiliki kantor sedangkan 30,77% belum memiliki
organisasi namun menganggap hal itu sangat perlu untuk dibentu.
Alila Ubud memiliki organisasi SP Par SPF.SPSI Alila Ubud dan
Bipartit “Welfare Committee”, terdapat pengurusnya dan mempunyai
kantor serta melakukan meeting secara rutin. Alila Ubud mengadakan
43
Welfare Commitee Meeting Dan General Meeting secara berkala. Hal ini
tertuang dalam Buku KKB Alila Ubud.
5.2.3 Palemahan
Aspek Palemahan dalam penilaian Tri Hita Karana mencakup tentang
komitmen hotel terhadap kualitas lingkungan. Penerapan arsitektur Bali,
pelestarian dan pengembangan ekosistem, pengelolaan limbah (cair, padat
dan gas), partisipasi hotel terhadap lingkungan, penghematan energy dan
sumberdaya alam, penamaan ruangan, bangunan sesuai dengan budaya
Bali, melakukan pemantauan lingkungan secara berkala.
1. Penanganan Sampah
Sampah adalah sisa-sisa kegiatan yang tidak dimanfaatkan lagi dan
pihak hotel idealnya mampu menangani sampah dengan baik dan
meminimalkan produksi sampah yang dibuang ke lingkungan. Sampah
yang di buang ke lingkungan sebaiknya dilakukan pemisahan baik yang
berupa sampah organic maupun sampah unorganic. Dimana sampah yang
anorganik ini dipisahkan kembali menjadi kaleng, kertas, botol maupun
plastic yang selanjutnya dilakukan proses (reduce, reuse dan recycle).
Sedangkan
sampah
yang
organic
sebagian
dimanfaatkan
dan
dikomposkan.
Hanya 76,92 persen hotel melaksanakan seluruh penanganan sampah
yang telah disebutkan yaitu dari pemilahan sampah dan mengomposan
44
sampah, dan 15,38 persen pihak hotel melakukan pemilahan namun tidak
melakukan pengomposan pada sampah organiknya. Sedangkan 7,69
persen hotel melakukan pemilahan dan tidak melakukan pengomposan
dan sebagain sampahnya di kelola oleh perusahaan lain.
Gambar 5.13
Tempat pemilahan sampah di The Samaya,Ubud
(Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013)
Selain adanya pemilahan sampah terhadap yang organic dan anorganik
juga diharapkan adanya proses lebih lanjut terhadap sampah organic yaitu
berupa pengomposan sampah sehingga sampah yang dibuang ke
lingkungan dapat diminimalkan. Bentuk pengomposan dapat dilihat pada
gambar 5.6.
45
Gambar 5.14
Pengomposan sampah organik di The Samaya,Ubud
(Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013)
2. Zonasi Hotel
Hotel idealnya mempunyai zonasi sesuai dengan konsep tradisional tri
mandala (utama, madya dan nista mandala), dimana ketiga zona ini
sangat jelas batas-batasnya. Terutama pada utama mandala yaitu tempat
pemujaan (pura) dibatasi dengan tembok penyengker. 15,38 persen hotel
menyatakan bahwa memiliki zonasi yang lengkap namun tidak dibatasi
dengan tempok penyengker sedangkan sisanya 84,62 persen memiliki
zonasi yang lengkap dan zonasi tersebut dibatasi dengan tembok
penyengker.
3. Proporsional Lahan
Proporsional lahan yang dimaksud adalah mada masing-masing zonasi
memiliki luas lahan yang proporsional sesuai dengan konsep sanga
mandala, dimana pemanfaatan untuk utama mandala (1/9 minimal),
46
madya mandala (5/9) dan nista mandala (3/9). 92,31 persen hotel yang
ada di Ubud pemanfaatan lahannya proporsional dan hanya 7,69% hanya
salah satu yang tidak proporsional. Hal ini disebabkan hotel yang ada di
Ubud lebih menjual pada pemandangan alamnya sehingga lebih banyak
ruang terbuka hijau dibandingkan bangunan fisiknya.
Gambar 5.15
Pemanfaatan lahan di Hotel Pita Maha Tjampuhan,Ubud
(Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013)
4. Struktur Bangunan Hotel
Struktur bangunan yang dimaksudkan adalah penerapan tri angga
yaitu struktur atap hotel berupa limas, terdapat badan atau dinding serta
ada kaki/fondasi/bataran. Dari hotel-hotel yang adanya hanya 76,92 persen
hotel dimana semua (100%) fasilitas dan sarana yang dimiliki menerapkan
konsep tri angga, 15,38persen hotel menerapkan tri angga 75 – 99% dan
7,69 persen hotel menerapkan konsep tri angga 50 – 74%.
47
Gambar 5.16
Struktur Bangunan di The Samaya,Ubud
(Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013)
5. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
Setiap hotel wajib memiliki IPAL/STP (sewage treatment plan) karena
hotel pasti akan menghasilkan limbah terutama limbah cair dan harus
diproses sebelum di buang ke lingkungan. Dan STP ini harus berfungsi
dengan baik dan hasil olahannya harus memenuhi standar baku mutu yang
telah ditetapkan oleh pemerintah.
Hotel-hotel yang ada di Ubud tidak memiliki pengolahan yang besar
seperti yang ada di Nusa Dua. Hanya 61,54 persen hotel di Ubud memiliki
IPAL/STP dengan kapasitas yang memadai dan berfungsi baik dimana
hasil test memenuhi baku mutu dan hasil tesnya memenuhi syarat minimal
70% dari sampel yang dianalisis, 15,38 persen hotel memiliki IPAL
dengan kapasitas memadai dan hasil tes memenuhi syarat baku mutu 50 –
69%, 7,69 persen hotel memiliki IPAL tidak memadai dan tidak di tes
48
secara rutin sedangkan hanya 15,38 persen hotel hanya memiliki septic
tank dan tidak dilakukan pengetesan secara rutin.
6. Program Penyelamatan dan Pelestarian Lingkungan
Program penyelamatan dan pelestarian lingkungan dimaksudkan
adalah pihak hotel memiliki program penyelamatan dan pelestarian
lingkungan dan konsekuen melaksakan program tersebut secara periodik
baik internal maupun eksternal dan memiliki evaluasi terhadap program
tersebut. Dari 15 hotel yang mengikuti THK awards hanya 13 hotel yang
memiliki program dan melaksanakan progam penyelamatan lingkungan
dan itu periodic dilakukan hampir tiap tiga bulan sekali atau enam bulan
sekali serta melakukan evaluasi terhadap program tersebut, dan 2 hotel
memiliki program dan melaksanakan secara periodic namun tidak
melaksanakan evaluasi sedangkan 1 hotel memiliki program yang baik,
berpartisipasi sering tapi tidak periodik.
7. Efisiensi Lahan
Efisiensi
lahan
di
hotel
dimaksudkan
adalah
pihak
hotel
memanfaatkan lahan secara efisien dan melakukan konservasi lahan
dengan baik dengan mengikuti aturan tata ruang, koefisien dasar
bangunan, konservasi lahan, dan pemanfaatannya konsekuen sesuai
dengan jenis tanah. 86,67 persen hotel di Ubud melaksanakan efisiensi
terhadap lahan seperti yang telah disebutkan diatas seperti pada gambar
5.9 dan hanya 13,37 persen hotel hanya sesuai dengan koefisien bangunan
dan melaksanakan prinsip konservasi lahan.
49
Gambar 5.17
Efisiensi lahan di The Samaya,Ubud
(Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013)
8. Konflik
Konflik dalam bidang palemahan yang dimaksudkan adalah konflik di
bidang lingkungan baik dari segi padat, cair, gas dan suara. Seluruh hotel
yang ada di Ubud tidak pernah memiliki konflik baik di lingkungan hotel
terutama dengan tamu maupun dengan masyarakat sekitar tentang
lingkungan yang dimaksudkan.
9. Sanitasi dan Hygien
Hotel idealnya memiliki sanitasi dan hygiene lingkungan yang baik
yang meliputi aspek air, food handler, bahan baku, ruangan dan peralatan
produksi, serta memiliki system manajemen sanitasi dan hygiene. Dari
hotel yang menjadi penelitian semuanya memiliki sanitasi dan hygiene
yang baik sesuai dengan kelima aspek tersebut.
50
10. Keanekaragaman Flora
Hotel yang asri dan sejuk tentu akan menjadi nilai tambah bagi pihak
hotel, dimana hal ini ditandai dengan memiliki keaneragaman flora yang
tinggi dalam areal hotel dan melestarikan tanaman yang langka/dilindungi.
Hanya 10 hotel dengan tingkat keaneragaman floranya sangat tinggi dan
memiliki tanaman langka lebih dari 7 jenis tumbuhan, 2 hotel dengan
tingkat keragaman flora tinggi dan memiliki 6 – 7 jenis tumbuhan langka,
1 hotel dengan tigkat keragaman sedang dan memiliki 4 – 5 jenis
tumbuhan langka sedangkan 2 hotel dengan tingkat keragaman flora
rendah dan memiliki 2 – 3 jenis tumbuhan langka.
11. Pemanfaatan bahan kimia dan Pengelolaan Limbah B3
Idealnya hotel memanfaat bahan kimia yang ramah terhadap
lingkungandan di tes secara rutin. Bahan kimia yang dimaksudkan dapat
berupa bahan untuk kolam renang, laundry, pembersih lantai maupun
porselin.
38,46
persen
hotel
menggunakan
total
100
persen
biodegradable/ramah terhadap lingkungan dan dilakukan tes, 30,77 persen
hotel menggunakan bahan kimia(cleaning chemical) yang biodegradable
75 – 100%, 23,08 persen hotel menggunakan bahan kimia dengan
biodegradable 50 – 75% dan 7,69 persen dengan tingkat biodegradable 25
– 50%.
Dari bahan kimia yang digunkan tentu akan menghasilkan limbah
yang sifatnya bahan beracun berbahaya akan sangat merugikan jika tidak
dikelola dengan baik dan di buang ke lingkungan. Jadi idealnya hotel
51
mampu menangani limbah bahan beracun berbahaya yang dimilikinya
dengan baik. Limbah ini dapat berupa baterei, accu, oli dan bahan kimia
lainnya
yang
mengandung racun.
69,23 persen hotel memiliki
penyimpanan limbah B3 tertata dengan baik dan dilengkapai dengan
MSDS, 23,08 persen memiliki penyimpanan khusus tertata dengan baik
namun tidak tidak memiliki MSDS dan 7,69 persen tidak memiliki tempat
penyimpanan khusus.
Gambar 18
Tempat penyimpanan limbah B3 di The Samaya,Ubud
(Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013)
52
12. Efisiensi Air dan Energi
Sumberdaya air dan energy di saat sekarang sangatlah langka, untu itu
perlu adanya efisiensi sumberdaya air dan energy. Sumberdaya air hotel
dapat diperoleh melalui PDAM dan sumur bor, maka idealnya hotel hemat
menggunakan air. 15,38 persen hotel penggunaan airnya sekitar 651 – 900
liter/orang/hari dan sisanya 84,62 persen hotel menggunakan air maksimal
650 liter/orang/hari.
Selain sumberdaya air, energu juga santa penting untuk dilakukan
efisiensi. Efisiensi energy di hotel dengan menggunakan alat yang hemat
energy (berupa lampu LED, AC ataupun kulkas). Seluruh peralatan hemat
energy ini tercatat dan dilakukan evaluasi rutin. Seluruh hotel
menggunakan alat-alat yang hemat energy walaupun ada beberapa alat di
hotel masih menggunakan alat yang tidak hemat energy namun itu tidak
berdampak signifikan. Selain itu hotel juga mengajak tamu yang
menginap untuk melakukan hemat energy dengan diberikan tanda-tanda di
kamar hotel atau sejenis kampanye kepada tamu untuk melakukan
efisiensi energy. Salah satu bentuk kampanye/ajakan manajemen hotel
pada tamu dapat dilihat pada Gambar 5.19.
53
Gambar 5.19
Sign Tag Efisiensi Energy di The Samaya,Ubud
(Foto diambil tanggal 13 Oktober 2013)
13. Kelengkapan Dokumen
Dokumen yang dimaksud adalah dokumen tentang lingkungan yang
lengkap dan dilaksanakan/diterapkan di hotel tersebut. Dokumen ini dapat
berupa dokumen ijin prinsip, ijin lokasi, AMDAL/UKL/UPL. Dari
dokumen tersebut ada pengelolaan dan pemantauan lingkungan dan
dilakukan eview secara rutin pelaksanaannya. Hampir semua hotel yang
diteliti memiliki dokumen yang lengkap dan dilakukan pemantauan scara
rutin namun hanya 1 hotel yang hanya memiliki ijin prinsip dan ijin
lokasi.
54
5.3.
Persepsi Hotel Terhadap Tri Hita Karana
Agama Hindu sangat kaya akan kearifan local seperti symbol-simbol dalam
penampilan indah, menarik dan penuh dengan makna. Disamping kaya akan symbol,
Hindu juga memiliki banyak ajaran yang sifatnya universal salah satunya Tri Hita
Karana. Menurut Wiana (2004) dalam Pujaastawa (2005) istilah Tri Hita Karana
mulai diperkenalkan secara umum sejak tahun 1966 oleh I Wayan Mertha Suteja
dalam rangka kegiatan Badan Perjuangan Umat Hindu Bali. Dalam perkembangan
berikutnya Tri Hita Karana semakin banyak dibicarakan dalam berbagai seminar dan
diskusi terbatas hingga pada akhirnya menyasar hotel-hotel sebagi wujud dari
implementasi dari THK melalui kompetisi dan akreditasi tahunan pariwisata ramah
lingkungan dalam perspektif Tri Hita Karana. Dengan adanya kompetisi dan
akreditasi ini tidak hanya hotel saja yang mendapatkan manfaat dari THK, tapi
masyrakat sekitarnya juga diuntungkan serta bagi kelangsungan pariwisata Bali pada
umumnya.
Manfaat yang didapat hotel dari THK seperti yang diungkapkan oleh beberapa
narasumber hotel seperti menurut Bapak Dewa Wiryanata (HRD Manager The
Samaya, Ubud) mengatakan:
“THK di hotel-hotel sangat bermanfaat karena ajaran ini tidak lepas dari
perikehidupan masyarakat Bali sehingga sangat perlu di lestarikan tidak saja pada
kehidupan sehari-hari masyarakat, namun juga aktifitas karyawan di hotel dan segala
operasional hotel. Dengan diterapkannya THK di hotel dapat melestarikan budaya
Bali yang saat ini sudah mulai memudar.”
The Samaya Ubud ikut dalam kompetisi dan akreditasi THK sejak tahun 2012
dan mendapatkan infomasi dan sosialisasi tim THK melalui email dan seminar.
55
Tahun 2012 The Samaya untuk pertama kalinya mengikuti kompestisi ini dan
mendapatkan tropi emas. Atas prestasi yang di peroleh The Samaya Ubud mendorong
semangat pihak hotel untuk melestarikan dan menerapkan ajaran THK pada
kehidupan sehari-hari dari setiap lapisan yang ada di hotel baik dari top manajemen
sampai lower manajemen.
Hal serupa juga disampaikan oleh Bapak Agung Sudiana (Operasional
Manager Pita Maha Tjampuhan,Ubud) dimana
“adanya THK di hotel sangat bagus ke depannya untuk melestarikan budaya
Bali. Seluruh aspek dalam THK sudah dapat diimplementasikan di hotel, hal ini
nantinya akan mengurangi konflik antara pihak hotel dengan masyarakat, atau bahkan
antar karyawan sendiri.”
Berdasarkan atas data pemerintah Kabupaten Gianyar, di Ubud terdapat 338
hotel baik berbintang maupun non bintang namun hanya 15 hotel yang ikut dalam
kompetisi dan akreditasi THK, hal ini disebabkan karena kriteria yang di tetapkan
dalam penilaian THK sangat tinggi sehingga banyak hotel merasa tidak mampu untuk
menerapkan seluruh aspek yang ditetapkan namun mereka pada prinsipnya sudah
menerapkan konsep THK walaupun ada pada tahap yang masih biasa. Hal ini
disampaikan oleh beberapa hotel non bintang yang ada di Ubud.
56
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan pada Bab V, maka penelitian ini
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Implementasi penerapan Tri Hita Karana di Hotel-Hotel di Ubud, Bali dalam
bidang Parahyangan bahwa hampir seluruh hotel yang menjadi sampel
penelitian memiliki tempat pemujaan dan tempat suci yang terpelihara dengan
baik
dan
dijaga
kebersihannya
sebagai
tempat
untuk
melakukan
persembahyangan. Pihak hotel tidak menggunakan simbol-simbol yang
disakralkan dalam ajaran Hindu serta pihak hotel khususnya karyawan hotel
aktif dalam acara keagamaan di hotel dan turut dalam acara keagamaaan
masyarakat sekitar serta berkontribusi pada kegiatan pura sekitar hotel.
2. Implementasi penerapan Tri Hita Karana di Hotel-Hotel di Ubud, Bali dalam
bidang Pawongan adalah sebagian besar hotel melaksanakan kegiatan social
di daerah sekitar hotel, masih menggunakan produk local masyarakat sekitar
dan menerapkan system tenaga kerja local baik permanen maupun tenaga
harian sehingga akan mengurangi konflik pada masyarakat. Hotel menerapkan
system kerja sesuai dengan KKB/PKB yang ditetapkan bersama.
3. Implementasi penerapan Tri Hita Karana di Hotel-Hotel di Ubud, Bali dalam
bidang Palemahan adalah seluruh hotel menerapkan sistem pemilahan
sampah organic dan anorganik serta melakukan pengomposan walau hanya
57
dengan menggunakan sistem yang sangat sederhana. Hanya sebagian hotel
memiliki instalasi pengolahan limbah (Seewage treatment plan) dan sebagian
masih menggnakan sistem septic tank yang di pantau rutin. Seluruh hotel di
daerah Ubud memanfaatkan lahan sesuai dengan konservasi lahan dan
memiliki keanekaragam flora yang tinggi, hotel juga sudah mulai
mengkonservasi tanaman yang dianggap langka saat ini. Pihak hotel tidak
pernah memiliki konflik dengan masyarakat sekitar dari bidang lingkungan.
Seluruh hotel menerapkan sistem efisiensi energi dan air walau terkadang
tingkat penggunaan energi dan air tinggi pada saat-saat tertentu hal itu
disebabkan karena tingkat occupancy hotel yang tinggi. Untuk dokumen yang
berhubungan dengan ijin serta sistem manajemen lingkungan lengkap di
miliki oleh hotel-hotel yang ada di Ubud.
58
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Gianyar dalam Angka. Pemerintah Kabupaten Gianyar Bali.
_______. 2013. Tri Hita Karana Tourism Awards and Accreditations. Denpasar: Bali
Travel Newspaper.
Ardika, I Wayan. 2002, Komponen Budaya Bali Sebagai Daya Tarik Wisata,
Makalah Pada Seminar Pariwisata Budaya Berkelanjutan, Universitas
Udayana, Denpasar.
Daldjoeni, N. dan A. Soeyitno. 1978. Pedesaan, Lingkungan, dan Pembangunan.
Bandung : Alumni.
Pujaastawa, I.B.G. 2001. Pola Pengembangan Priwisata Terpadu Bertumpu pada
Model Pemberdayaan Masyarakat di Wilayah Bali Tengah.
KerjasamaKementerian Riset dan Teknologi RI Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia dan Unud, Denpasar.
Pujaastawa, I.B.G. 2001. “Tri Hita Karana”, Nilai-nilai Lokal dalam Konteks
Global. Brahma Carya Unikahidha University Brawijaya Edisi II
2001/2002. Surabaya : Paramita.
Pujaastawa, I.B.G. 2002. “Kearifan Ekologi dalam Kebudayaan Tradisional di
Indonesia”. Dalam Bumi Lestari; Jurnal Lingkungan Hidup. Volume 2,
Nomor 2, Agustus 2002. Halaman 29 – 36. Denpasar: Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Unud.
Pujaastawa, I.B.G. 2005. “Pariwisata Berwawasan THK”. Dalam Tri Hita Karana
Tourism Awards and Accreditations. Denpasar: Pelawa Sari.
Raka Dalam, A.A.G., Wardi, I.N., Suarna, I.W., dan Sandi Adnyana, I.W. 2007.
Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Denpasar: Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Udayana.
Windia, I.W. 2005. “THK dan Pariwisata Berkelanjutan”. Dalam Tri Hita Karana
Tourism Awards and Accreditations. Denpasar: Pelawa Sari.
http://www.rentalmobilbali.net/wisata-ubud-bali/ di akses pada tanggal 20 agustus
2013
Download