BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Medernisasi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Medernisasi sudah menjadi gejala umum yang terjadi pada kebanyakan
masyarakat di dunia, termasuk Indonesia. Proses modernisasi di Indonesia sendiri
dilandasi oleh keinginan untuk maju dan menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari pembangunan. Bagi Indonesia modernisasi dipandang sebagai proses adopsi
nilai-nilai modern yang bersifat universal untuk diterapkan dengan menyesuaikan
pada latar belakang budaya dan pandangan hidup bangsa. Pengembangan nilainilai medernitas yakni nilai-nilai teori, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai estetika
diarahkan untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional tersebut. Dalam
hal ini masyarakat modern yang merupakan hasil dari modernisasi dapat dijadikan
modal dalam era globalisasi. Era globalisasi ditandai oleh berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi. Melalui perkembangan teknologi komunikasi saat ini
kita dapat langsung mendengar ataupun melihat tentang apa saja yang terjadi di
manca negara pada waktu yang sama. Melalui perkembangan teknologi
transportasi memungkinkan manusia untuk melakukan mobilitas secara cepat dan
seolah-olah kemajuan tersebut menerjang pembatas antar negara ataupun bangsa
di muka bumi ini.
Modernisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat,
termasuk diantaranya aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilainilai yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga
masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan
dengan aspek-aspek psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran.
Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah
laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang
yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang
adalah adat-istiadat, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Modernisasi yang ditunjang oleh globalisasi, mengakibatkan terjadinya
perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan teknologi seperti
1
2
telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi
global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam
turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama
televisi, film, musik, dan transmisi berita), kita dapat mempunyai gagasan dan
pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya,
misalnya dalam bidang fashion, literatur, makanan, dan gaya hidup.
Pengaruh globalisasi terhadap anak muda sekarang ini dirasakan begitu kuat.
Pengaruh tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian
sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala-gejala yang muncul
dalam kehidupan sehari-hari anak muda zaman sekarang. Misalnya dari cara
berpakaian, banyak remaja kita yang berpakaian minim seperti orang-orang Barat.
Padahal cara berpakaian tersebut jelas-jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita.
Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan
pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa. Hal ini menunjukkan
bahwa globalisasi membawa pengaruh yang negatif terhadap budaya bangsa.
Salah satu produk globalisasi adalah teknologi internet. Teknologi internet
merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses
oleh siapa saja. Dengan adaya internet, remaja sekarang ini bisa mendapatkan
berbagai informasi dari mana saja, termasuk informasi dari luar negeri. Pengaruh
dari informasi yang didapatkannya tersebut akan mempengaruhi pola fikir remaja
dan akan mempengaruhi sikapnya terhadap budaya tradisional. Sebagian besar
remaja menganggap bahwa budaya tradisional adalah kuno dan ketinggalan
zaman. Dilihat dari sikap, banyak remaja yang tingkah lakunya tidak kenal sopan
santun dan cenderung cuek, sebagian besar dari mereka tidak ada rasa peduli
terhadap lingkungan. Berdasarkan analisa dan uraian tersebut globalisasi
membawa pengaruh yang negatif, disamping pengaruh yang positif.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa globalisasi telah membawa dampak
yang negatif dalam pelestarian budaya. Thomas Friedman dalam bukunya The
Lexus and the OliveTree (2000) menyatakan bahwa “ancaman global saat ini
adalah globalisasi”. Artinya sistem di dalam globalisasi itu sendiri menyimpan
3
potensi penghancuran. Ritme cepat globalisasi yang ditentukan oleh negaranegara maju pada gilirannya telah menimbulkan dikotomi baru dalam hubungan
antar negara. Negara-negara yang tidak mengikuti irama globalisasi dimasukkan
ke dalam katagori negara primitive atau “ketinggalan jaman”. Dari pernyataan
tersebut dapat disimpulkan bahwa globalisasi dapat mendorong masyarakat untuk
meninggalkan budaya tradisional (http://www.kompas.com/).
“Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh suatu rasa
identitas bersama” (Koentjaranigrat, 1980: 160). Segala kejadian yang muncul
dalam kehidupan masyarakat selalu berkaitan erat dengan remaja, termasuk
tingkah laku remaja. Tingkah laku remaja dalam masyarakat dapat diterangkan
sebagai reaksi terhadap tuntutan atau tekanan dari lingkungannya. Tuntutan dari
perkembangan zaman yang mengikuti arus globalisasi, salah satunya membawa
pengaruh terhadap gaya hidup remaja yang pada umumnya mulai meninggalkan
nilai-nilai tradisional karena dianggap kuno.
Meskipun arus globalisasi mempengaruhi gaya hidup remaja yang pada
umumnya cenderung cuek, tetapi sebagai makhluk sosial remaja selalu
berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial di sekitar sangat
berpengaruh terhadap pembentukan sikap remaja. Lingkungan sosial yang
mendukung nilai-nilai tradisional, akan menciptakan sikap remaja yang positif
terhadap pelestarian budaya tradisional, sedangkan lingkungan sosial yang
menentang nilai-nilai tradisional akan berpengaruh negatif terhadap sikap
pelestarian budaya tradisional. “Hubungan utama antara individu manusia dan
lingkungannya, yaitu bahwa manusia itu senantiasa berusaha untuk menyesuaikan
dirinya dengan lingkungannya” (Gerungan, 2004: 59). Dalam hal ini, remaja
berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya, yang pada
akhirnya akan menolak atau mau melestarikan budaya tradisional. Remaja yang
memahami nilai-nilai tradisional akan berusaha untuk melestarikan kebudayaan
daerahnya, sedangkan remaja yang tidak memahami nilai-nilai tradisional
cenderung tidak mau melestarikan budaya daerahnya.
4
Melestarikan kebudayaan daerah, utamanya yang sesuai dengan keadaan
zaman dapat memajukan kebudayaan bangsa. Kebudayaan daerah merupakan
unsur kebudayaan nasional, sehingga melestarikan kebudayaan daerah dapat
menunjang kebudayaan nasional. Namun apabila kita telusuri, kebudayaan bangsa
Indonesia sesungguhnya sudah sejak beberapa abad lamanya dipengaruhi dan
diperkaya oleh kebudayaan asing yang dibawa oleh para penjajah. Sungguhpun
demikian dalam suatu keadaan saling pengaruh-mempengaruhi tampaknya tidak
ada suatu masyarakat yang merelakan begitu saja kebudayaannya digeser oleh
kebudayaan lain. Sehingga, walaupun ada pengaruh budaya asing, identitas dan
keunikan budaya yang dimilikinya akan cenderung dipertahankan semaksimal
mungkin.
Kebudayaan bangsa merupakan identitas bangsa yang perlu dilestarikan.
Dalam rangka melestarikan kebudayaan bangsa, perlu digali kembali kebudayaan
daerah yang hampir lenyap. Kebudayaan daerah yang hampir lenyap salah satunya
adalah pernikahan secara adat. Pernikahan secara adat merupakan salah satu unsur
kebudayaan yang sangat luhur dan mengandung nilai tinggi. Warisan yang paling
luhur dan asli dari nenek moyang kita ini perlu dilestarikan, agar generasi
berikutnya tidak kehilangan jejak. Upacara pernikahan adat mempunyai nilai
luhur dan suci meskipun diselenggarakan secara sederhana (Thomas Wiyasa,
1985: 1).
Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai ragam budaya, adatistiadat dan tradisi. Begitu juga dalam hal upacara pernikahan adat, di Indonesia
terdapat bermacam-macam pernikahan adat, misalnya : upacara perkawinan adat
Bone, adat Batak, dan adat Jawa. Upacara perkawinan tersebut memiliki keunikan
masing-masing, antara daerah yang satu berbeda dengan daerah yang lain dalam
hal pelaksanaannya. Dalam perkawinan adat pelaksanaannya ditentukan oleh
norma-norma maupun tradisi yang berlaku secara turun-temurun dalam kehidupan
masyarakat pendukungnya sebagai warisan leluhur. Menurut masyarakat, upacara
adat sebenarnya merupakan cerminan kehidupan masyarakat setempat yang selalu
hati-hati, dengan maksud agar dalam melaksanakan segala sesuatu mendapat
keselamatan baik lahir maupun batin.
5
Dewasa ini upacara adat dalam pernikahan sering dilaksanakan meskipun
dalam bentuk yang sangat sederhana. Hampir setiap orang tua yang akan
menikahkan putra-putrinya tidak lepas dengan upacara adat. Meskipun
masyarakat berkali-kali menyaksikan upacara adat tetapi mereka kurang dapat
memahami arti dan makna upacara tersebut.
Di Jawa, sementara ini sebagian kecil masyarakat Jawa masih melaksanakan
pernikahan secara adat. Melunturnya upacara pernikahan adat Jawa dipengaruhi
oleh kurangnya pengetahuan tentang makna pernikahan adat Jawa, tingkat
pendidikan, pandangan-pandangan, nilai-nilai dan budaya yang berlaku dalam
masyarakat setempat. Masih banyak remaja yang tidak mengetahui makna
pernikahan adat Jawa, sehingga pemahaman mengenai makna pernikahan adat
Jawa perlu ditingkatkan. Untuk itu perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak
untuk menyadarkan kembali kepada generasi muda, tentang pentingnya
pemahaman mengenai makna pernikahan adat Jawa. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka masyarakat perlu memainkan peranannya dalam rangka menggali
kembali nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pernikahan adat Jawa dan dalam
pewarisannya kepada generasi muda.
Berdasarkan uraian tersebut, maka keberadaan generasi muda sebenarnya
merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dikaji karena merekalah sebagai
generasi penerus. Sebagai generasi penerus bangsa, remaja berperan penting
dalam melestarikan kebudayaan. Perubahan pandangan, pengetahuan, sikap,
tingkah laku pada diri mereka akan berdampak besar pada corak dan nuansa
kebudayaan pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, penulis mencoba
mengkaji dan meneliti secara mendalam tentang masalah tersebut dalam penulisan
skripsi dengan judul ”Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa Dan
Lingkungan Sosial Terhadap Sikap Pelestarian Budaya Jawa di Desa Bonyokan,
Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten”.
6
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dapat
diidentifikasikan masalah sebagai berikut :
1. Apa dampak globalisasi terhadap pola fikir anak remaja ?
2. Apakah persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa yang negatif dapat
berakibat pada kurangnya perhatian terhadap upaya pelestarian budaya Jawa ?
3. Apakah peningkatan pengetahuan remaja tentang pernikahan adat Jawa dapat
meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa ?
4. Pengetahuan apa saja yang dapat membantu dalam pelestarian budaya Jawa ?
5. Apakah masih perlu melestarikan budaya Jawa pada masa ini ?
6. Mengapa pelestarian terhadap budaya Jawa kurang diperhatikan oleh anak
remaja sekarang ini ?
7. Apakah lingkungan sosial yang mendukung nilai-nilai tradisional akan
menciptakan sikap remaja yang positif terhadap pelestarian budaya Jawa ?
8. Apakah lingkungan sosial yang kurang mendukung nilai-nilai tradisional
dapat menghambat pelestarian budaya Jawa ?
9. Lingkungan sosial yang bagaimana yang dapat mendukung pelestarian budaya
Jawa ?
10. Apakah nilai-nilai tradisional yang menunjang sikap pelestarian budaya Jawa
masih relevan dengan tuntutan zaman ?
11. Apakah antara persepsi remaja mengenai pernikahan adat Jawa dan
lingkungan sosialnya dapat mempengaruhi sikap mereka terhadap upaya
pelestarian budaya Jawa ?
12. Apakah ada perbedaan sikap, antara remaja yang satu dengan yang lain dalam
melestarikan budaya Jawa ?
13. Seperti apa wujud konkrit sikap pelestarian budaya Jawa ?
14. Usaha apa saja yang harus dilakukan untuk menanamkan pentingnya
pemahaman nilai-nilai tradisional dalam upaya melestarikan budaya Jawa ?
7
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, perlu
dilakukan pembatasan terhadap masalah persepsi remaja tentang pernikahan adat
Jawa dan lingkungan sosial terhadap sikap pelestarian budaya Jawa.
Persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa adalah pandangan remaja
terhadap peristiwa suatu pernikahan yang dilaksanakan menurut aturan-aturan
yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Aturan tersebut sudah berlaku sejak zaman
dahulu. Persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal serta disertai dengan proses penginderaan.
Lingkungan sosial merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia
dan
segala
aturan
lain
yang
saling
mempengaruhi
dalam
kehidupan
bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat, remaja melakukan interaksi dengan
lingkungan sosialnya, di mana dalam proses interaksi tersebut remaja mendapat
pengaruh, yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap pembentukan
sikap.
Sikap pelestarian budaya Jawa adalah sikap melestarikan budaya Jawa yang
dipengaruhi oleh komponen kognitif, komponen afektif dan komponen behavior
yang akan menimbulkan sikap positif maupun negatif terhadap budaya Jawa.
Agar di dalam pembahasan permasalahan dapat lebih mendalam dan tidak
terlalu luas cakupannya, maka penulis membatasi permasalahan sebagai berikut :
1. Obyek Penelitian
Obyek penelitian adalah aspek-aspek dari subyek penelitian yang menjadi
sasaran penelitian, meliputi :
1) Persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa yang berada di desa
Bonyokan, kecamatan Jatinom, kabupaten Klaten.
2) Lingkungan sosial yang berhubungan dengan remaja di desa Bonyokan,
kecamatan Jatinom, kabupaten Klaten.
3) Sikap pelestarian budaya Jawa, khususnya pernikahan adat Jawa yang
dilakukan remaja di desa Bonyokan.
8
2. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah remaja yang berusia 13 – 24 tahun yang
berdomisili di desa Bonyokan, kecamatan Jatinom, kabupaten Klaten.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka perumusan penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah ada hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa
dengan sikap pelestarian budaya Jawa ?
2. Apakah ada hubungan antara lingkungan sosial dengan sikap pelestarian
budaya Jawa ?
3. Apakah ada hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa
dan lingkungan sosial secara bersama-sama terhadap sikap pelestarian budaya
Jawa ?
E. Tujuan Penelitian
Dalam kegiatan penelitian, seseorang pasti mempunyai maksud dan tujuan
yang ingin dicapai, yaitu memecahkan masalah. Adapun tujuan yang berkaitan
dengan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui ada-tidaknya hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan
adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa.
2. Mengetahui ada-tidaknya hubungan antara lingkungan sosial dengan sikap
pelestarian terhadap budaya Jawa.
3. Mengetahui ada-tidaknya hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan
adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersama-sama dengan sikap
pelestarian budaya Jawa.
9
F. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian berharap hasil penelitiannya dapat bermanfaat. Demikian
dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan. Adapun manfaat
yang berkaitan dengan penelitian ini adalah :
1. Manfaat teoritis
a. Sebagai karya ilmiah hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai
upaya pelestarian budaya Jawa.
b. Sebagai sumbangan pengetahuan bagi para remaja dalam hidup
bermasyarakat, sehingga memiliki kesadaran untuk melestarikan budaya
Jawa.
c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk kegiatan
penelitian berikutnya yang sejenis.
2. Manfaat Praktis
a. Menyebarluaskan informasi mengenai pentingnya melestarikan budaya
Jawa, khususnya pernikahan adat Jawa.
b. Memberikan informasi tentang upaya-upaya pelestarian budaya Jawa
kepada para remaja pada umumnya dan pembaca pada khususnya.
c. Sebagai calon pendidik, dengan mengadakan penelitian ini dapat
mentransformasikan pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik.
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa
a.
Persepsi
1). Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan cara pandang terhadap sesuatu hal. Individu mengenali
dunia luarnya dengan menggunakan alat inderannya. Bagaimana individu dapat
mengenali dirinya sendiri maupun keadaan sekitarnya, hal ini berkaitan dengan
persepsi. Melalui stimulus yang diterimanya, individu akan mengalami persepsi.
Stimulus yang diterima oleh individu tersebut kemudian diorganisasikan,
diintepretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderanya itu.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa persepsi merupakan proses
pengorganisasian, pengintepretasian terhadap stimulus yang diterima oleh
organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan
aktifitas yang intergrated dalam diri individu, sehingga seluruh apa yang ada
dalam diri individu ikut aktif berperan dalam persepsi tersebut (Bimo Walgito,
1978: 46).
Wittig (1997: 76) menyatakan bahwa “Persepsi merupakan proses seseorang
menafsirkan stimulus sensori. Proses-proses ini hanya melaporkan tentang
lingkungan stimulus, dan persepsi menerjemahkan pesan-pesan sensori tersebut ke
dalam bentuk-bentuk yang dapat dipahami.
Menurut Jalaludin Rakhmat (1996: 51) persepsi adalah “pengamatan tentang
obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan, persepsi adalah memberikan makna pada
stimulus inderawi”.
Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi
adalah pandangan seorang individu terhadap suatu obyek yang disertai dengan
proses penginderaan. Pandangan mengenai peristiwa pernikahan secara adat Jawa
pun akan mempunyai dua sifat positif dan negatif. Pandangan dari dua sifat
10
11
tersebut akan melahirkan persepsi remaja yang berbeda. Persepsi remaja
dikatakan tepat dan tidak tepat pada obyek tertentu. Menurut Muhadjir (1992: 56)
persepsi sebagai ranah kognitif, tampilannya menjadi ekspresi pendapat yang
lebih tepat atau kurang tepat. Dengan demikian, persepsi remaja tentang
pernikahan adat Jawa dikatakan positif apabila sesuai dengan apa yang dipersepsi,
sebaliknya persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dikatakan negatif
apabila kurang sesuai dengan yang dipersepsi.
2). Syarat Persepsi
Bimo Walgito (1997: 54) agar individu dapat menyadari, dapat mengadakan
persepsi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu :
a) Adanya obyek yang dipersepsi. Obyek menimbulkan stimulus yang mengenai
alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar langsung mengenai
alat indera (reseptor), dapat datang dari dalam, yang langsung mengenai syaraf
penerima (stimulus) yang bekerja sebagai reseptor.
b) Adanya indera atau reseptor. Indera marupakan alat untuk menerima stimulus.
Disamping itu harus ada pula syarat sensoris sebagai alat indera (reseptor).
c) Perhatian. Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi sesuatu
diperlukan pula adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai
persiapan dalam mengadakan persepsi. Tanpa perhatian tidak akan terjadi
persepsi.
3). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Krech dan Crutchield dalam “Psikologi Sosial” karangan Sarlito Wirawan
Sarwono (1991: 94) menyatakan ada dua variabel yang mempengaruhi persepsi,
yaitu : (a). variabel struktural, yaitu faktor-faktor yang terkandung dalam rangsang
fisik, (b). variabel fungsional, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri si
pengamat, seperti : kebutuhan (need), suasana hati (mood), pengalaman masa
lampau dan sifat-sifat individual lainnya.
Sedangkan Tagiuri dan Petrullo dalam “Psikologi Sosial” karangan Bimo
Walgito (1978: 48) menyatakan bahwa yang dapat ikut berperan dan dapat
12
berpengaruh dalam mempersepsi manusia, yaitu (1) keadaan stimulus, dalam hal
ini berwujud manusia yang akan dipersepsi; (2) situasi atau keadaan sosial yang
melatarbelakangi stimulus; dan (3) keadaan orang yang akan mempersepsi.
Mengenai keadaan individu yang dapat mempengaruhi hasil persepsi datang
dari dua sumber, yaitu yang berhubungan dengan segi kejasmanian, dan yang
berhubungan dengan segi psikologis. Bila sistem fisiologisnya terganggu, hal
tersebut dapat berpengaruh dalam persepsi seseorang, sedangkan segi psikologis
seperti pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir, kerangka acuan, motivasi
akan berpengaruh pada seseorang dalam mengadakan persepsi. Dengan demikian
persepsi seseorang tidak datang begitu saja.
Persepsi seseorang tidak timbul begitu saja. Tentu ada faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan mengapa dua
orang yang melihat sesuatu mungkin memberi intepretasi yang berbeda
tentang yang dilihatnya itu. Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat 3
faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang : pertama, diri orang yang
bersangkutan sendiri. Kedua, sasaran persepsi, dan ketiga faktor situasi.
(Sondang P. Siagian, 1989: 100).
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi seseorang
dipengaruhi oleh :
a) Faktor internal, yaitu faktor yang terdapat pada diri pengamat, yang
meliputi kebutuhan, suasana hati, kemampuan, motivasi, pendidikan dan
pengalaman.
b) Faktor eksternal, yaitu faktor yang terdapat di luar diri si pengamat. Faktor
eksternal adalah ciri fisik dari obyek yang diamati dan situasi pada saat
seseorang mengintepretasikan tentang obyek yang diamati. Misalnya :
kesehatan, kelengkapan organ tubuh seseorang, kebiasaan dalam
masyarakat, kebiasaan berpakaian dan kebiasaan lainnya.
b.
Remaja
1). Pengertian Remaja
Sarlito Wirawan S. (1989: 4), mendefinisikan remaja sebagai “Individu yang
telah mengalami perkembangan fisik dan mental dengan batasan usia 11-24 tahun
dan belum menikah”.
13
Menurut Sarlito Wirawan S. (1989: 14) batasan usia 11-24 tahun dan belum
menikah untuk remaja dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a) Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual
sekunder mulai nampak (kriteria fisik).
b) Kebanyakan masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil
baligh baik menurut adat dan agama, sehingga masyarakat tidak lagi
memperlakukan mereka sebagai anak-anak (criteria social).
c) Pada usia tersebut ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa.
d) Batasan usia 24 tahun merupakan batasan maksimum untuk memberi
kesempatan mereka mengembangkan dirinya setelah sebelumnya masih
tergantung pada orang lain.
Hasan Basri (2000: 10) menjelaskan bahwa “Remaja sebagai kelompok
yang tengah meninggalkan masa kanak-kanak yang penuh dengan ketergantungan
dan menuju pembentukan tanggung jawab”. Sedangkan Monks dalam buku
”Psikologi Perkembangan” karangan siti Rahayu Haditono (1991: 216)
menyatakan bahwa:
Anak remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Ia tidak
termasuk golongan anak, tetapi tidak termasuk golongan orang dewasa.
Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik maupun
psikisnya. Ditinjau dari segi tersebut mrereka masih termasuk golongan
kanak-kanak, mereka masih harus menemukan tempatnya dalam
masyarakat. Pada umumnya mereka masih belajar di sekolah Menengah atau
Perguruan Tinggi.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah seorang yang
mengalami perkembangan dari anak-anak menuju dewasa, mulai dari segi
seksualnya, emosionalnya, serta rasa keinginan untuk mencoba tidak tergantung
pada orang tua agar lebih tanggung jawab. Dalam penelitian ini mengambil
sampel remaja yang mempunyai batasan usia antara 13 - 24 tahun dan belum
menikah. Pertimbangan dalam pengambilan batasan usia tersebut dikarenakan
persepsi dipengaruhi oleh faktor pengetahuan dan pengalaman. Batasan usia 13 –
24 tahun dan belum menikah tersebut minimal mereka telah mengenyam
pendidikan di sekolah Menengah sehingga telah memiliki pengetahuan dan
pengalaman baik dari Sekolah maupun dari masyarakat di mana mereka tinggal.
14
2). Ciri-ciri Masa Remaja
Menurut Singgih D. Gunarso (1991: 124) ciri-ciri masa remaja sebagai
berikut :
a) Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak ke dewasa .
b) Masa remaja merupakan masa peralihan artinya mengalami perubahan
dalm kematangan seksualitasnya.
c) Keberanian yang sering tanpa memperhatikan resiko yang dihadapinya.
d) Banyak khayalan merupakan ciri khas remaja.
e) Masa remaja mengalami badai dan topan dalam kehidupan perasaan dan
emosional sehingga kadang-kadang timbul emosi yang memuncak.
Dari ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa masa remaja merupakan suatu
masa dalam hidup manusia yang banyak mengalami perubahan. Masa remaja
merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa sehingga perasaan
emosionalnya tidak stabil, kadang-kadang timbul emosi yang memuncak.
c.
Pernikahan Adat Jawa
1). Pengertian Pernikahan
Soerojo Wignyodipuro (1987: 122) menyatakan bahwa “Pernikahan adalah
peristiwa sebagai rentetan perbuatan magis yang bertujuan untuk menjamin
ketenangan, kebahagiaan dan kesuburan”. Sedangkan Moch Ali Hasan (1994: 32)
menyatakan bahwa “Nikah adalah aqad yang mengandung arti halalnya hubungan
antara pria dan wanita dan berkewajiban tolong-menolong, serta menentukan hak
dan kewajiban masing-masing sebagai suami-isteri”.
UU No. 1 th 1974 pasal 1 menyatakan bahwa “Pernikahan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan wanita yang bertujuan untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan ketuhanan YME”.
Sedangkan Goodenough dalam buku “Antropologi Jilid 2” karangan William A.
Havilland (1993: 77) menyatakan bahwa :
Pernikahan adalah suatu transaksi dan kontrak yang sah dan resmi antara
seseorang wanita dan seorang pria yang mengukuhkan hak mereka yang
tetap untuk berhubungan seksual satu sama lain dan yang menegaskan
bahwa wanita yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk melahiran
anak.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pernikahan adalah hubungan antara seorang pria dengan wanita yang bertujuan
15
untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan, serta menimbulkan hak
dan kewajiban masing-masing sebagai suami isteri.
2). Pengertian Adat Jawa
Surojo Wingjodipuro (1993: 13) menyatakan bahwa “Adat adalah
pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu
penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad”.
Sedangkan Djaka P.S. (1990: 7) menyatakan bahwa “Adat adalah kebiasaan atau
aturan yang berlaku sejak zaman dahulu”.
a). Azas-azas Perkawinan Menurut Hukum Adat
Menurut Hilman Hadi Kusuma (1990: 71) asas-asas perkawinan menurut
hukum adat adalah sebagai berukut :
1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan
kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan
atau kepercayaan, tetapi juga harus mendengar pengakuan dari para
anggota kerabat.
3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita
sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut
hukum adat setempat.
4. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota
kerabat, masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami-isteri yang tidak
diakui masyarakat adat.
5. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur
atau masih anak-anak. Walaupun sudah cukup umur perkawinan harus
berdasarkan ijin dari orang tua atau keluarga dan kerabat.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan adat Jawa
adalah peristiwa perkawinan antara seorang pria dengan wanita yang bertujuan
untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan dan kesuburan, serta menimbulkan hak
dan kewajiban sebagai suami isteri yang dilaksanakan menurut aturan-aturan
yang dimiliki oleh masyarakat Jawa yang beraku sejak zaman dahulu.
Perkawinan yang dilakukan masyarakat Jawa tersebut, terutama pernikahan
yang bersifat wajar pada dasarnya selalu memperhitungkan waktu. Pernikahan
adat Jawa menggunakan perlengkapan tertentu, serta melalui suatu upacara atau
jalannya upacara. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
16
1. Waktu
Dalam melaksanakan pernikahan adat Jawa, biasanya dilakukan dengan
melalui perhitungan waktu terlebih dahulu. Di sini dilakukan mencari waktu yang
baik dengan harapan pada saat perkawinan dapat berjalan lancar, tidak ada
halangan atau hambatan. Waktu yang baik dalam melakukan sesuatu pernikahan
tersebut biasanya dapat ditentukan dengan mengacu pada perhitungan yang ada
dalam Primbon yang dimiliki masyarakat Jawa.
Perhitungan hari baik pernikahan disebut hari pasaran. Hari pasaran
dihitung berdasarkan hari kelahiran masing-masing calon mempelai. Setelah
dihitung dan ditemukan hari yang baik, maka ditentukan kapan sebaiknya
dilakukan hari pernikahan. Biasanya bulan yang baik untuk pernikahan juga
diperhatikan, yakni pada bulan-bulan besar, seperti bulan Jumadilakhir, Rajab,
dan Ruwah (Satuti Yamin, 1989: 12).
2. Perlengkapan
Dalam pernikahan adat Jawa ini cukup banyak perlengkapan yang
digunakan. Selain perlengkapan untuk kedua mempelai juga perlengkapan yang
berkaitan dengan kegiatan dalam pernikahan tersebut. Pada waktu menjelang tiga
hari pelaksanaan pernikahan, biasanya dilakukan pemasangan tarub. Tarub sering
juga disebut atap. Jadi mendirikan tarub berarti membuat suatu tenpat yang diberi
atap. Tarub tersebut terbuat dari kajang atau blarak (daun kelapa) yang dianyam.
Fungsi tarub adalah untuk melindungi para tamu dan untuk memperluas ruangan
(Andjar Any, 1986: 113).
Adapun benda-benda yang dipakai utuk membuat tarub adalah kajang yang
berfungsi sebagai atap, kemudian bleketepe yang dibuat dari daun nyiur yang
dianyam. Bleketepe berfungsi sebagai penutup lubang angin di bawah atap.
Hiasan tarub terdiri atas janur yang diambil lidinya sehingga menjuntai seperti
sulur pohon beringin. Sulur janur ini mengandung lambang sebagai penolak bala,
diharapkan calon pengantin bisa hidup rukun tanpa mendapat halangan yang
berarti. Hiasan janur biasanya dipasang di halaman rumah atau di tempat yang
strategis yang akan dilewati para tamu. Dengan demikian fungsi janur juga
17
melambangkan bahwa di tempat itu ada orang yang hendak mempunyai hajat
mantu (Satuti Yamin, 1989: 12)
Menjelang satu hari pernikahan dilakukan pemasangan tuwuhan. Tuwuhan
mengandung makna kehidupan makin lama makin besar. Tuwuhan tersebut terdiri
dari dua tundun pisang raja yang sudah hampir matang, tebu arjuna sepasang,
cengkir gadhing dan cengkir legi serakit, padi segedheng dibagi dua, butir otek
segedheng dibagi dua, daun kluwih, daun alang-alang, daun kara, daun maja, dan
daun kemuning. Tuwuhan itu harus dipasang di dekat tiang, supaya dapat diikat
dengan tiang agar tidak mudah roboh.
Untuk melengkapi acara pernikahan tersebut, diperlukan juga kembang
mayang. Kembang mayang dibuat oleh orang yang cukup ahli, biasanya mereka
yang sudah tua. Kembang mayang tersebut diserahkan pada pihak keluarga calon
mempelai wanita melalui suatu upacara tertentu. Misalnya kembang mayang
tersebut akan diserahkan pada pihak wanita, apabila yang menerimanya pria harus
dua orang dengan berpakaian Jawa lengkap, menggunakan keris. Kembang
mayang yang diterima itu harus dipayungi. Bila yang menerima wanita, juga harus
berdua, dan bila yang menerima adalah ibu pihak wanita, kembang mayang tidak
perlu dipayungi (Winarno Wiromidjojo, 1983: 5-8).
Sehari sebelum pernikahan, dilakukan upacara siraman. Dalam upacara
siraman, calon mempelai wanita dimandikan agar memperoleh kecantikan seperti
bidadari. Perlengkapan yang diperlukan antara lain : banyu setaman (air yang
dicampur dengan bunga mawar, melati, kenanga dan lain-lain), tujuh macam
tepung beras yang dicampur mangir (alat penguning), pandan wangi, serta daun
kemuning sebagai penggosok. Kemudian juga digunakan kursi yang diberi alas
tikar pandan baru, daun kara, daun kluwih, daun dadap, sereh, rumput alangalang, serta bermacam-macam, kain. Kain tersebut antara lain : kain letrek,
bangun tulak, jingga, sindur, dan mori putih. Selain itu perlengkapan yang
diletakkan di dekat tempat memandikan berupa bubur merah dan putih, jajan
pasar, kembang boreh, clupak (lampu minyak tanah kecil), kendi, ayam hidup,
klenthing atau jun berisi air untuk wudhu calon pengantin setelah dimandikan
(Winarno Wiromidjojo, 1983: 11).
18
Setelah siraman kemudian diadakan midodareni. Pada waktu midodareni,
calon pengantin wanita sudah dirias dengan diberi paes dan rambut sudah
disanggul. Pakaian yang digunakan yakni kebaya polos berkain trutun dan
bersabuk sindur. Pada waktu pihak calon mempelai wanita mengadakan
midodareni, calon mempelai laki-laki datang dengan sanak keluarga. Mereka ini
ditempatkan di tempat yang telah disediakan yang disebut dengan nyantri. Calon
mempelai pria mengenakan pakaian kesatriyan. Pakaian tersebut meniru pakaian
seorang pangeran. Pakaian kesatriyan terdiri atas : jarik, jas taqwa, ikat kepala
jebehan, tanpa bunga hanya dilengkapi sumping. Untuk menggantikan bunga,
dipakai satu kudhup melati, kalung ulur-ulur, keris warangka ladrang / branggah,
memakai selop. Akhir-akhir ini calon mempelai pria kalau nyantri biasanya hanya
memakai pantolan dan jas lengkap saja (Winarno Wiromidjojo, 1983: 14).
Pada waktu pelaksanaan pernikahan, mempelai pria dan mempelai wanita
mengenakan pakaian masing-masing. Pakaian yang dikenakan adalah pakaian
Jawa. Pakaian Jawa yang dikenakan bisa pakaian basahan, kuncaran, langen
kusuman. Adapun pakaian basahan seperti pakaian raja yang mengenakan kain
panjang, disebut kampuh yang berenda, celana cinde gudeg, kuluk bir matak,
stagen, sabuk borok epek timang dan kalung bersusun, namun tidak mengenakan
baju.
Jika pakaian yang dikenakan mempelai pria adalah pakaian kuncaran,
berarti pengantin pria itu mengenakan baju hitam, di depan tertutup sehingga
sabuk dan timang bagian depan tidak nampak. Sedangkan di bagian belakang
melengkung ke atas sehingga sabuk belakang nampak. Kain yang digunakan
adalah kain sidomukti, sido luhur atau sido asin, selain itu mengenakan stagen,
sabuk boro dan grek.
Jika mempelai pria mengenakan pakaian langen kusuman, hampir sama
dengan kuncaran, tetapi baju baian depan terbuka. Dengan baju bagian depan
terbuka, dada, sabuk dan timang kelihatan. Supaya dada tidak sampai nampak,
digunakan pasadan (semacam hem tetapi tidak memakai lengan) sebagai baju
dalam.
19
Untuk mempelai wanita, disesuaikan dengan pakaian mempelai pria.
Apabila mempelai pria mengenakan pakaian basahan, mempelai wanita juga
demikian. Pakaian basahan untuk mempelai wanita terdiri atas : kampu seperti
puteri keraton cindhe seretan, sabuk cinde berkembang. Kemudian di bawah ranti
mengenakan buntal yang ujungnya dipasang saputangan berkembang tanpa baju.
Apabila mempelai pria mengenakan kuncaran, langen kusuman, mempelai wanita
mengenakan baju panjang dan berkain seperti pengantin pria (kain sido luhur, sido
mukti dan sido asih) (Winarno Wiromidjojo, 1983: 19).
Dalam upacara panggih, perlengkapan yang diperlukan antara lain :
pengaron (jamban kecil berisi air setaman), telur ayam mentah diletakkan dalam
cobek atau pinang, pasangan lembu atau kerbau, dan sadak. Sadak yang dibawa
mempelai pria terbuat dari daun sirih yang digulung, didalamnya berisi kapur dan
diikat dengan benang sehingga berbentuk seperti rokok. Sedangkan sadak yang
dibawa mempelai wanita terbuat dari sirih yang dibungkus seperti bungkusan
tempe. Sirih yang digunakan sebaiknya sirih yang bertemu ruas dengan maksud
agar kelak pasangan pengantin tersebut bertemu rasa (Satuti Yamin, 1989: 18).
Pada pelaminan, perlengkapannya antara lain : tikar yang di atasnya
dibentangkan kain yang habis dipergunakan untuk alas duduk kedua mempelai
ketika dihias, dan ditutup dengan kain putih serta ditaburi bunga. Alat kacar-kucur
terdiri dari klasa bangka kecil atau saputangan dan biji-bijian (beras kuning,
kacang hijau, kedelai, jagung), uang logam. Selain itu juga harus ada dua buah
klemuk yang sebuah berisi beras kuning, kluwak, kemiri, jendhul dan telur ayam
mentah. Sedangkan sebuah lagi berisi air tempuran, yaitu air yang berasal dari dua
sungai yang bertemu (Satuti Yamin, 1989: 22).
3. Upacara Pelaksanaan Pernikahan
Adapun berbagai macam acara serta upacara yang harus dilakukan menurut
perkawinan adat Jawa adalah :
a. Upacara Sebelum Pernikahan
Pada zaman dulu, orang tua yang mempunyai anak laki-laki menginjak
dewasa akan mencarikan jodoh secara diam-diam, tanpa diketahui anak laki-
20
lakinya. Orang tua mengirim utusan yang disebut congkok ke tempat yang dituju.
Tugas congkok adalah melakukan pembicaraan permulaan, menanyakan apakah
gadis yang dimaksud masih bebas artinya belum ada yang mempersunting.
Seandainya belum, bagaimana jika gadis ini dilamar oleh orang tua yang
mengutusnya untuk dijadikan menantunya. Congkok memberikan gambaran
sepintas kilas tentang keadaan pria yang akan melamarnya, dengan menjelaskan
tentang status sosialnya, keturunan siapa, dan sifat-sifatnya. Kepandaian congkok
sangat menentukan berhasil atau gagalnya lamaran tersebut (Andjar Any, 1986:
105).
1). “Nontoni”
Bila congkok berhasil melakukan tugasnya dan si gadis bersedia dilamar,
maka orang tua pria memberitahu kepada orang tua si gadis bahwa pihak pria
akan datang ke rumah si gadis untuk melakukan acara nontoni. Nontoni berasal
dari kata “nonton” artinya melihat. Calon mempelai pria ingin melihat secara
langsung keadaan si gadis yang akan menjadi calon isterinya, baik wajahnya,
sifat-sifatnya dan sebagainya. Hal ini biasa dilakukan karena si pria belum
mengetahui dan belum mengenalnya sama sekali (Anjar Any, 1986: 106).
2). Lamaran
Jika keduanya sudah merasa cocok, maka orang tua pengantin laki-laki
mengirim utusan ke orang tua pengantin perempuan untuk melamar puteri
mereka. Beberapa hari sebelum acara lamaran dilaksanakan, pihak keluarga si
gadis sudah diberi tahu tentang waktunya melamar. Di rumah si gadis sudah ada
beberapa penerima tamu. Acara dimulai setelah mengabarkan keselamatan
masing-masing pihak dan congkok menyampaikan lamaran secara lisan (Anjar
Any, 1986: 107).
3). “Peningsetan”
Setelah lamaran diterima, pihak pria memberi peningset atau tanda pengikat
pembicaraan, dengan menyerahkan peningset. Saat itu masing-masing telah
terikat untuk melaksanakan pembicaraan yang telah mereka setujui bersama, yaitu
pelaksanaan pernikahan. Pihak calon pengantin wanita kemudian membagikan
peningset
tersebut
kepada
tetangganya.
Hal
ini
dimaksudkan
sebagai
21
pengumuman kepada para tetangga bahwa gadis tersebut telah diikat oleh seorang
laki-laki. Pada acara peningset ditentukan juga perkiraan hari pelaksanaan
pernikahan.
Pada masyarakat Jawa Tengah, kepercayaan akan hari naas dan baik sangat
utama. Hari pernikahan ada yang ditentukan berdasarkan hari lahir kedua calon
pengantin atau berdasarkan huruf awal dan huruf akhir nama kedua calon
pengantin. Setelah diterimanya peningset, maka pihak wanita tidak boleh
menerima lamaran laki-laki lain (Anjar Any, 1986: 108).
4). “Srah-srahan”
Setelah kedua keluarga menyetujui pernikahan, mereka akan menjadi besan.
Keluarga dari pengantin laki-laki berkunjung ke tempat keluarga pengantin
perempuan sambil membawa hadiah. Dalam kesempatan ini, kedua keluarga
beramah tamah. Pada upacara ini, pihak laki-laki menyerahkan barang-barang dan
uang sekedar membantu materi untuk penyelenggaraan pesta pernikahan dirumah
pengantin wanita. Hal ini terjadi karena pada waktu upacara pernikahan
berlangsung, pihak laki-laki akan datang membawa beberapa orang pengantar
(Anjar Any, 1986: 110).
5). “Tarub”
Tarub merupakan perpaduan antara dua kata, yaitu “tata” dan “sumurup”.
Maksudnya rumah yang akan dipergunakan untuk pesta pernikahan tersebut ditata
(dihias dan diatur). Penataan itu dimaksudkan supaya tetangga sumurup (tahu)
bahwa akan diselengarakan pesta pernikahan. Jadi ini merupakan alat
pemberitahuan kepada tetangga-tetangga (Anjar Any, 1986: 113).
6). “Siraman”
Makna dari upacara siraman adalah untuk membersihkan jiwa dan raga.
Upacara siraman ini biasanya diadakan di siang hari, sehari sebelum acara
pernikahan. Siraman diadakan di rumah orang tua pengantin masing-masing.
Siraman biasanya dilakukan di kamar mandi atau di taman. Biasanya orang yang
melakukan siraman yaitu orang tua dan keluarga dekat atau orang yang dituakan.
Jalannya upacara sebagai berikut :
22
Sembilan orang yaitu orang tua, saudara-saudara tua secara bergantian
menyiramkan air ke badan calon pengantin dengan menggunakan gayung yang
terbuat dari tempurung kelapa. Penyiram pertama membacakan doa untuk calon
pengantin. Pengantin kemudian disuruh wudhu. Sebagai penutup upacara
siraman, bapak dan ibu calon pengantin menjual dawet, sebagai pembelinya
adalah para tamu yang hadir, sekaligus sebagai hidangan mereka (Anjar Any,
1986: 114).
7). “Upacara midodareni”
Malam sebelum berlangsunganya pernikahan disebut malam midodareni. Di
rumah pengantin wanita diselenggarakan malam tirakatan. Malam tirakatan
dilaksanakan dengan tujuan mengharap kedatangan “widodari sekethi kurang
siji”, yaitu bidadari dari kayangan yang berjumlah sepuluh ribu kurang satu
(sebagai pelengkap kurangnya adalah pengantin wanita).
Calon pengantin wanita pada waktu itu didudukkan sendirian di pelaminan
dengan penjagaan ketat. Kurang lebih pukul 00.03 dihidangkan “majemukan”
yaitu nasi uduk dengan ayam utuh disertai lalapan mentah yaitu kol, biji kacang
panjang, jengkol, kedelai hitam digoreng, dll, dan selesailah acara midodareni
(Anjar Any, 1986: 116).
b. Upacara Pelaksanaan Pernikahan
1). Upacara Ijab-kabul
Upacara Ijab merupakan syarat yang paling penting dalam mengesahkan
pernikahan. Pelaksanaan ijab sesuai dengan agama dari pasangan pengantin. Pada
saat ijab orang tua pengantin perempuan menikahkan anaknya dengan pengantin
pria. Dan pengantin pria menerima nikahnya pengantin wanita yang disertai
dengan penyerahan mas kawin untuk pengantin wanita. Pada saat ijab, disaksikan
oleh Penghulu atau pejabat pemerintah yang akan mencatat pernikahan mereka
(Satuti Yamin, 1989: 48).
2). Upacara “Panggih” (bertemunya pengantin)
Upacara panggih adalah pertemuan antara pengantin wanita dengan
pengantin laki-laki yang tampan di depan rumah yang di hias dengan tanaman
23
tarub. Pengantin laki-laki diantar oleh keluarganya, tiba di rumah dari orangtua
pengantin wanita dan berhenti di depan pintu gerbang. Pengantin wanita di antar
oleh dua wanita yang dituakan, berjalan keluar dari kamar pengantin. Orang
tuanya dan keluarga dekat berjalan di belakangnya.
Pengantin wanita kemudian duduk di pelaminan, menunggu datangnya
pengantin pria. Pengantin wanita ditemani dua orang puteri. Orang tua pengantin
wanita siap menerima kedua pengantin di depan pintu masuk. Pengantin pria yang
telah diberi sadak keluar dari tempat sementaranya, diiringi oleh sanak
keluarganya serta handai taulannya. Setibanya di depan pintu “pendhapa”,
rombongan berhenti sebentar untuk menunggu pengantin wanita keluar dari
rumahnya yang juga diiringi rombongan dan membawa sadak. Setelah kedua
pengantin berhadapan, mulailah “upacara sadakan”, yakni saling melempar sadak.
Dalam upacara ini ada kepercayaan, bahwa barang siapa melempar terlebih
dahulu, maka nanti dalam rumah tangganya akan selalu menang (Satuti Yamin,
1989: 49).
3). Upacara Menginjak Telur
Dalam upacara ini pengantin pria menginjak telur, sedangkan pengantin
wanita jongkok untuk mencuci kaki pengantin pria dengan “air setaman” yang
tersedia dalam “pengaron”. Telur melambangkan kegadisan mempelai wanita,
sehingga dengan dipecahkannya telur tersebut, berarti kegadisan mempelai wanita
sudah hilang. Mencuci kaki pengantin pria oleh mempelai wanita, mengandung
makna bahwa kelak dalam menjalani rumah tangga, istri harus setia pada
suaminya.
Selesai mencuci kaki, pengantin wanita berdiri dengan dibantu oleh
pengantin pria dan bergandengan berkaitan jari kelingkingnya, kemudian menaiki
bagian bajak yaitu pasangan lembu atau kerbau. Pengantin pria di sebelah kanan,
pengantin wanita di sebelah kiri. Makna menaiki bajak ialah sesudah kedua
pengantin menikah, jika mendapat beban berat harus diselesaikan bersama-sama.
Setelah itu, kedua pengantin berjalan menuju ke pelaminan. Saat berjalan menuju
pelaminan, keduanya dikalungi sindur oleh ibu pengantin wanita (Satuti Yamin,
1989: 50).
24
4). Upacara Nasi “Walimahan”
Nasi walimahan adalah nasi dengan lauk-pauk pindang. Tetapi kini sering
diganti dengan nasi kuning untuk kemudahan pembuatan. Pasangan pengantin
makan bersama dan menyuapi satu sama lain. Pertama, pengantin laki-laki
membuat tiga bulatan kecil dari nasi dengan tangan kanannya dan di berinya ke
pengantin wanita. Setelah pengantin wanita memakannya, dia melakukan sama
untuk suaminya. Sekarang ini upacara kepalan nasi jarang dilakukan tetapi kedua
mempelai saling suap-menyuap dengan menggunakan sendok. Setelah mereka
selesai, mereka minum teh manis. Upacara itu melukiskan bahwa pasangan akan
menggunakan dan menikmati hidup bahagia satu sama lain (Satuti Yamin,
1989: 51).
5). Upacara “Kacar-Kucur”
Dalam upacara ini pengantin pria memberikan uang logam dan berbagai
jenis biji-bijian misalnya jagung, kacang kedelai, kacang panjang, dan lain-lain ke
pangkuan pengantin wanita. Hal ini melambangkan pemberian nafkah pengantin
laki-laki kepada isterinya. Disusul kemudian upacara “pangkon” yaitu kedua
pengantin duduk diatas kedua paha ayah pengantin wanita, sebagai lambang orang
tua pengantin wanita memperlakukan sama terhadap keduanya (Satuti Yamin,
1989: 51).
6). Upacara “Ngabekti” atau “Sungkeman”
Selesai upacara kacar-kucur, dilanjutkan dengan uacara ngabekti. Kedua
mempelai bersujud kepada kedua orang tua untuk mohon doa restu dari orang tua
mereka masing-masing. Pertama sungkem pada orang tua pengantin wanita,
kemudian pada orang tua pengantin pria. Selama sungkeman sedang berlangsung,
Pemaes mengambil keris dari pengantin laki-laki. Setelah sungkeman, pengantin
laki-laki memakai kembali kerisnya (Satuti Yamin, 1989: 53).
7). Upacara “Kirab”
Upacara “kirab” atau kirab pengantin adalah upacara yang dilakukan oleh
kedua pengantin dengan berjalan mengelilingi para tamu, sampai seluruh bagian
rumah dilalui. Maksud upacara ini agar para tamu dapat melihat dan mengenali
kedua pengantin. Selain itu merupakan saat pertama kali kedua pengantin berjalan
25
berdampingan sebagai suami-isteri disaksikan banyak orang (Satuti Yamin,
1989: 53).
c. Upacara Sesudah Pernikahan
1). “Sungsuman”
Setelah seluruh upacara selesai dan rumah orang tua pengantin wanita rapi
kembali, diselenggarakan sungsuman. Sungsuman dilakukan dengan mengundang
orang-orang yang membantu selama melakukan perhelatan. Upacara ini diadakan
dengan makan “jenang sumsum” (bubur yang terbuat dari tepung beras dengan
dituangi air gula kelapa atau “juruh”).
Maksud dari “sungsuman” ini agar kelelahan selama perhelatan pernikahan
dilaksanakan segera hilang dan tenaga mereka akan pulih kembali seperti
sediakala. Sesuai dengan makna ungkapan “pulih balung sungsume”, yakni
tulang belulang serta sungsum tubuh akan pulih kembali, sehat wal’afiat dengan
memakan bubur sungsum yang disediakan oleh pihak orang tua wanita (Andjar
Any, 1986: 118).
2). “Boyongan”
Yang dimaksud dengan “boyongan” adalah mengajak pengantin wanita
pulang ke rumah pengantin pria. Pulangnya kedua pengantin ke rumah pengantin
pria ini tidak sendirian, melainkan diantar oleh sanak saudara dan handai taulan
pihak pengantin wanita. Keduanya berpakaian seperti ketika melangsungkan
“upacara panggih”. Di rumah pengantin pria diadakan pesta dengan mengundang
sanak-saudara serta handai taulan untuk menyambut kedatangan rombongan
pengantin wanita. Boyongan ini biasanya dilaksanakan setelah lima hari, dihitung
dari berlangsungnya upacara “panggih”. Meskipun demikian, ada juga yang
melakukan boyongan pada hari pernikahan itu juga (Andjar Any, 1986: 118).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa adalah proses pemahaman remaja
yang dipengaruhi oleh faktor internal (kebutuhan, suasana hati, kemampuan dan
motivasi) dan faktor eksternal (kesehatan, kelengkapan organ tubuh seseorang
dan kebiasaan) yang disertai dengan proses penginderaan terhadap peristiwa
26
suatu perkawinan yang dilaksanakan menurut aturan-aturan yang dimiliki oleh
masyarakat Jawa yang beraku sejak zaman dahulu.
2. Lingkungan Sosial
a.
Pengertian Lingkungan Sosial
Menurut Nursid Sumaatmaja (1981: 72) lingkungan merupakan semua
kondisi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan karakter atau segala sesuatu
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan karakter makhluk hidup, semuanya
termasuk lingkungan.
Macam-macam lingkungan menurut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (2001: 64-66)
adalah sebagai berikut:
1. Lingkungan dalam, berupa cairan yang meresap ke dalam tubuh manusia
yang berasal dari makanan dan minuman, yang dapat menimbulkan cairan
dalam jaringan tubuh.
2. Lingkungan fisik, lingkungan sekitar kita, yang meliputi jenis tumbuhtumbuhan, hewan, tanah, rumah, jenis makanan, dsb.
3. Lingkungan budaya, adalah lingkungan yang berwujud kesusastraan,
kesenian, ilmu pengetahuan, adat-istiadat dan lainnya.
4. Lingkungan sosial, meliputi bentuk hubungan antara manusia satu dengan
manusia lainnya.
5. Lingkungan spiritual, adalah lingkungan yang berupa agama, keyakinan
yang dianut masyarakat sekitarnya dan ide-ide yang muncul dalam
masyarakat dimana akan hidup.
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa macam-macam
lingkungan baik lingkungan dalam, fisik, budaya, sosial, sangat berhubungan erat
dengan kehidupan manusia, karena lingkungan merupakan tempat atau keadaan
yang ada di sekitar manusia.
Menurut Seratain yang dikutip oleh M. Ngalim purwanto (1990: 28)
lingkungan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Lingkungan alam/luar (external or physical environtmen)
2) Lingkungan dalam (internal environtmen), dan
3) Lingkungan sosial atau masyarakat (social environtment)
Penjelasan dari pendapat tersebut adalah:
27
1) Lingkungan alam/luar (external or physical environtmen)
Lingkungan alam/luar adalah lingkungan yang mempengaruhi manusia
secara alami. Lingkungan ini berupa keadaan nyata di sekelilingnya yang
dialami manusia dalam kehidupannya.
2) Lingkungan dalam (internal environtmen)
Lingkungan dalam adalah berupa cairan yang meresap ke dalam tubuh
manusia yang berasal dari makanan dan minuman yang menimbulkan cairan
dalam jaringan tubuh. Lingkungan ini sangat berpengaruh terhadap
perkembangan dan pertumbuhan seseorang. Apabila cairan yang masuk ke
dalam diri seseorang baik, maka akan menghasilkan suatu tenaga yang
bermanfaat untuk melakukan aktivitas atau kegiatan.
3) Lingkungan sosial atau masyarakat (social environtment)
Lingkungan sosial merupakan lingkungan yang ada dalam masyarakat
secara umum. Lingkungan ini berada di sekeliling manusia yang dapat
mempengaruhi aktifitas manusia.
Sertain (1990: 3) mengemukakan bahwa “Lingkungan sosial adalah semua
orang atau manusia lain yang mempengaruhi kita”. Amsyari (1989: 11-12)
menyatakan bahwa lingkungan sosial adalah makhluk-makhluk lain yang di
sekitarnya seperti serangga, tanaman, dan bahkan orang lain yang dikenal.
Sedangkan Nursid Sumaatmaja (1985: 64) menyatakan lingkungan sosial
termasuk semua manusia yang ada di sekitar seseorang atau di sekitar suatu
kelompok. Lingkungan sosial ini dapat berbentuk perorangan, maupun dalam
bentuk kelompok, keluarga, teman sepermainan, tetangga, warga desa, warga
kota, bangsa dan seterusnya.
Masa remaja memang masa yang penuh dengan bergaul. Remaja biasanya
lebih suka dengan pergaulan yang bebas dan bergaul dengan teman sebayanya,
karena teman sebaya dapat dijadikan teman untuk bicara yang akrab dan teman
curhat (curahan hati). Walaupun orang tua juga dapat dijadikan teman untuk
bicara, tetapi para remaja lebih suka bercerita dan bergaul dengan temannya,
sehingga para remaja harus lebih hati-hati dalam memilih teman.
28
Pergaulan masa remaja terbentuk seiring dengan bertambahnya wawasan
remaja terhadap lingkungan pergaulannya. Menurut Simamora (1993: 104-105)
aspek lingkungan pergaulan remaja merupakan tempat sosialisme remaja. Tempat
sosialisme remaja meliputi tiga tempat, antara lain:
1) Lingkungan keluarga
2) Lingkungan kelompok sebaya
3) Lingkungan sekolah
Dari pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa lingkungan-lingkungan
tersebut meliputi:
1) Lingkungan keluarga
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan sosialisasi atau pergaulan
remaja pertama. Lingkungan keluarga sangat penting karena dapat
mempengaruhi sikap remaja dalam bergaul di lingkungan luar. Lingkungan
pergaulan remaja dalam lingkungan keluarga di sini hubungannya dengan
orang tua dan saudara.
a) Orang tua
Orang tua merupakan lingkungan pergaulan remaja yang paling
utama di rumah, adanya kehadiran orang tua dapat mempengaruhi
perkembangan anak( remaja).
b) Saudara
Saudara merupakan orang kedua setelah orang tua dalam lingkungan
pergaulan remaja. Saudara disini juga dapat memberikan pengaruh
terhadap remaja.
2) Lingkungan kelompok sebaya dan lingkungan masyarakat.
Lingkungan kelompok sebaya merupakan lingkungan pergaulan remaja
yang penting setelah lingkungan keluarga. Lingkungan kelompok sebaya
dapat mempengaruhi perilaku remaja yang bersangkutan. Lingkungan
pergaulan remaja dalam lingkungan kelompok sebaya hubungannya dengan
teman bermain, teman karang taruna dan masyarakat.
29
3) Lingkungan sekolah
Pergaulan di sekolah penting pada masa remaja karena remaja pada
umumnya berstatus sebagai pelajar. Pergaulan remaja di sekolah yang
meliputi pergaulan dengan teman sekelas, pergaulan di lingkungan organisasi
sekolah, pegaulan dengan guru merupakan aspek yang penting dalam
membentuk perilaku remaja.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku remaja
dapat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Menurut Van der Linden dan
Roeders yang dikutip oleh F.J. Monks, Knoers, Siti Rahayu handitono (1992: 272)
”Remaja memperoleh banyak informasi dan nilai-nilai melalui sekolah sendiri,
tetapi juga melalui kontak dengan teman–teman sebayadari keluarga dan
lingkungan yang berlainan”.
Mengenai hubungan atau sikap individu terhadap lingkungan, yaitu dengan
cara: pertama, individu menolak lingkungan, ini terjadi apabila individu tidak
sesuai dengan keadaan lingkungannya. Dengan keadaan yang demikian ini,
individu dapat memberikan bentuk pada lingkungan sesuai yang diharapkan oleh
individu yang bersangkutan. Contohnya dalam kehidupan bermasyarakat, kadangkadang orang tidak cocok dengan norma-norma yang ada dalam lingkungannya;
kedua, individu menerima lingkungan, yaitu apabila keadaan lingkungan sesuai
atau cocok dengan keadaan individu. Dengan demikian individu akan menerima
keadaan lingkungan tersebut; ketiga, individu bersifat netral, yaitu bila individu
tidak cocok dengan lingkungan, tetapi individu bersikap biasa saja dan tidak
mengambil langkah-langkah bagaimana yang akan ia lakukan (M.Ngalim
Purwanto, 1990: 30).
Pada masyarakat desa, usaha pemerintah kearah mengembangkan atau
membangun desa ialah : pertama, menempatkan warga desa dalam kedudukan
yang sebenarnya sebagai warga desa dalam wadah Indonesia, artinya tidak ada
perbedaan status antara penduduk desa dengan penduduk kota seperti pada zaman
kolonial. Kedua, mengusahakan agar corak kehidupan dan penghidupan warga
desa dapat ditingkatkan atas dasar pikiran yang logis, fragmatis dan rasional.
Ketiga, mengusahakan agar warga desa dapat lebih bersifat realistis, kreatif,
30
dinamis dan fleksibel dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang dijumpai,
sehingga lebih dapat meningkatkan semangat pembangunannya. Dalam hal ini
maka desa akan mengalami modernisasi, sehingga pewarisan nilai-nilai luhur dari
generasi satu ke generasi yang berikutnya tentu akan memperhatikan prosesproses penyesuaian dalam rangka menuju masyarakat modern (Bintarto, 1991: 1819).
Dalam setiap masyarakat, dijumpai suatu proses, dimana seorang anggota
masyarakat yang baru (misalnya seorang bayi) akan mempelajari norma-norma
dan kebudayaan masyarakat dimana dia menjadi anggota yang mendatangkan
interaksi sosial. Adapun yang dimaksud interaksi sosial yaitu hubungan timbal
balik antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok (Soerjono
Soekanto, 1982: 29).
Hati nurani, norma-norma, cita-cita pribadi tidak mungkin terbentuk dan
berkembang tanpa manusia itu bergaul dengan manusia lainnya, oleh karena itu
tanpa pergaulan sosial manusia tidak dapat berkembang sebagai manusia
selengkap-lengkapnya (Gerungan, 1966: 29). Pola hubungan dalam kehidupan
bermasyarakat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). Interaksi sosial
a). Pengertian Interaksi Sosial
Salah satu sifat manusia adalah keinginan untuk hidup bersama dengan
makhluk lainnya. Dalam hidup bersama antara manusia dan manusia atau manusia
dan kelompok tersebut terjadi hubungan dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya. Melalui hubungan itu manusia ingin menyampaikan maksud, tujuan,
dan keinginannya masing-masing. Sedangkan untuk mencapai keinginannya itu
harus diwujudkan dengan tindakan melalui hubungan timbal-balik. Hubungan
iniah yang disebut dengan interaksi. Interaksi terjadi apabila satu individu
melakukan tindakan sehingga menimbulkan reaksi dari-individu-individu lain.
Basrowi (2005: 138) menyatakan bahwa “Interaksi sosial adalah hubungan
yang dinamis yang mempertemukan orang dengan orang, kelompok dengan
kelompok maupun orang dengan kelompok manusia”. Bentuk interaksi tersebut
31
tidak hanya bersifat kerja sama, tetapi bisa juga berbentuk tindakan persaingan,
pertikaian dan sejenisnya. Bimo Walgito (1978: 57) menyatakan bahwa :
Sebagai makhluk sosial manusia mempunyai dorongan atau motif untuk
mengadakan hubungan dengan orang lain, manusia mempunyai dorongan
sosial. Dengan adanya dorongan atau motif sosial pada manusia, maka
manusia akan mencari orang lain untuk mengadakan hubungan atau untuk
mengadakan interaksi. Dengan demikian akan terjadi interaksi antara
manusia atau dengan manusia yang lain.
Kimbal Young dan Raymond dalam Soekanto (1984: 50) mengemukakan
bahwa “Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, oleh
karena tanpa interaksi sosial, tak mungkin ada kehidupan bersama”. Bertemunya
orang perorangan secara badaniyah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan,
hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang atau kelompokkelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya untuk mencapai
suatu tujuan bersama. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa interaksi sosial
adalah dasar proses-proses sosial.
b). Faktor yang mendasari interaksi sosial
Soerjono Soekanto (1990: 63) menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mendasari interaksi sosial adalah:
a). Faktor Imitasi
Imitasi merupakan dorongan untuk meniru orang lain. Imitasi mempunyai
peranan yang sangat penting dalam proses interaksi sosial. Salah satu segi
positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong untuk mematuhi kaidah-kaidah
dan nilai-nilai yang berlaku. Namun demikian, imitasi mungkin pula
mengakibatkan terjadinya hal-hal yang negatif di mana misalnya, yang ditiru
adalah tindakan-tindakan yang menyimpang (Soerjono Soekanto, 1990: 63).
b). Faktor Sugesti
Yang dimaksud dengan sugesti ialah pengaruh psikis yang pada umumnya
diterima tanpa adanya kritik dari individu yang bersangkutan. Pengaruh psikis
tersebut ada yang datang dari diri sendiri, maupun yang datang dari orang lain.
Karena itu sugesti dapat dibedakan (1) auto-sugesti, yaitu sugesti terhadap diri
32
sendiri, dan (2) hetero-sugesti, yaitu sugesti yang datang dari orang lain (Bimo
Walgito, 1978: 59).
Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberikan suatu pandangan
atau sesuatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak
lain. Berlangsungnya sugesti dapat terjadi karena pihak yang menerima dilanda
oleh emosi, hal mana menghambat daya berpikirnya secara rasional (Soerjono
Soekanto, 1990: 63).
c). Faktor identifikasi
Identifikasi merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginankeinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Proses
identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya, maupun tidak disengaja oleh
karena seringkali seseorang memerlukan tipe-tipe ideal tertentu di dalam proses
kehidupannya.
Walaupun
dapat
berlangsung
dengan
sendirinya,
proses
identifikasi berlangsung dalam suatu keadaan di mana seseorang yang
beridentifikasi benar-benar mengenal pihak lain, sehingga pandangan, sikap
maupun kaidah-kaidah yang berlaku pada pihak lain tadi dapat melembaga dan
bahkan menjiwainya (Soerjono Soekanto, 1990: 63-64).
Masa perkembangan individu paling banyak melakukan identifikasi kepada
orang lain adalah pada masa remaja. Dalam masa ini individu melepaskan
identifikasinya dengan orang tua dan mencari norma-norma sosial sendiri. Karena
itu dalam masa remaja banyak anak remaja mencari identifikasi pada orang-orang
dalam masyarakat yang dianggapnya ideal bagi yang bersangkutan (Bimo
Walgito, 1978: 64).
d). Faktor simpati
Simpati merupakan proses di mana seseorang merasa tertarik pada pihak
lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting,
walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak
lain dan untuk untuk bekerja sama dengan pihak lain. Proses simpati akan dapat
berkembang di dalam suatu keadaan di mana faktor saling mengerti terjamin
(Soerjono Soekanto, 1990: 64).
33
Dalam antipati individu menunjukkan adanya rasa penolakan pada orang
lain. Simpati berkembang dalam hubungan individu satu dengan individu yang
lain, demikian pula antipati. Dengan timbulnya simpati, akan terjalin saling
pegertian yang mendalam antara individu satu dengan individu yang lain. Dengan
demikian maka interaksi sosial yang berdasarkan atar simpati akan jauh lebih
mendalam bila dibandingkan dengan interaksi baik atas dasar sugesti maupun
imitasi (Bimo Walgito, 1978: 64).
2). Norma-norma Sosial
Secara sederhana norma-norma merupakan pedoman atau patokan perilaku
yang bersumber dari nilai-nilai dalam masyarakat. Pedoman perilaku tersebut
didasarkan pada konsepsi-konsepsi yang abstrak tentang apa yang baik dan apa
yang buruk. Jadi dapatlah dinyatakan bahwa norma-norma merupakan wujud
konkrit dari nilai-nilai ; pedoman yag berisikan suatu keharusan, kebolehan, dan
larangan. Norma-norma dapat pula disebut suatu standart atau skala yang terdiri
dari berbagai kategori tingkah laku. Norma-norma kemasyarakatan memberikan
petunjuk bagi perilaku seseorang yang hidup di dalam masyarakat (Soerjono
Soekanto, 1990: 200).
Secara
sosiologis
norma-norma
sosial
itu
tumbuh
dari
proses
kemasyarakatan, yang merupakan hasil dari kehidupan bermasyarakat. Individu
dilahirkan dalam suatu masyarakat dan disosialisasikan untuk menerima aturanaturan dari masyarakat yang sudah ada sebelumnya. Emile Durkheim (1990: 67)
menyatakan bahwa “Norma-norma sosial itu adalah sesuatu yang berada di luar
individu, membatasi mereka dan mengendalikan tinggkah laku mereka”.
Menurut Berry yang dikutip oleh Soleman B. Taneko (1990: 68) “Unsur
pokok dari suatu norma adalah tekanan sosial terhadap anggota-anggota
masyarakat
untuk
menjalankan
norma-norma
tersebut”.
Latar
belakang
pemikirannya adalah aturan-aturan yang dikuatkan oleh desakan sosial. Desakan
sosial ini merupakan pertanda bahwa norma-norma itu benar-benar telah menjadi
norma sosial, sebab norma disebut sebagi norma sosal bukan saja karena telah
34
mendapatkan sifat kemasyarakatannya, akan tetapi telah dijadikan patokan dalam
perilaku.
Alvin L. Betrand yang dikutip dalam Basrowi (2005: 88) mendefinisikan,
“Norma sebagai suatu standar-standar tingkah laku yang terdapat di dalam semua
masyarakat”. Norma sebagai suatu bagian dari kebudayaan nonmateri, normanorma tersebut menyatakan konsepsi-konsepsi teridealisasi dari tingkah laku.
Sudah barang tentu, tingkah laku erat hubungannya dengan apa yang menurut
pendapat seseorang itu benar atau baik, walaupun begitu, tingkah laku yang
sebenarnya dipandang sebagai suatu apek dari organisasi sosial.
Dari pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa norma sosial
adalah standar-standar tingkah laku yang terdapat di dalam semua masyarakat,
yang membatasi mereka dan mengendalikan tingkah laku mereka. Norma sosial
dibuat secara sadar yang bersumber dari nilai-nilai baik dan buruk dalam suatu
masyarakat. Peraturan tersebut berisi suatu keharusan dan larangan yang berfungsi
untuk mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat.
Dengan demikian lingkungan sosial yang mencakup interaksi dan normanorma sosial sangat berhubungan dengan pola prilaku anak remaja. Anak remaja
hidup dan dibesarkan di lingkungan masyarakat sehingga secara otomatis
melakukan interaksi dengan masyarakat di sekitarnya. Selain itu, dalam
bermasyarakat sudah barang tentu prilaku remaja juga memperhatikan normanorma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam hal ini, lingkungan sosial yang
mendukung nilai-nilai tradisional akan membawa dampak positif terhadap sikap
remaja untuk melestarikan budaya Jawa.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan sosial adalah
segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan segala aturan lain yang saling
mempengaruhi dalam kehidupan bermasyarakat, yang dalam hal ini mencakup
interaksi remaja dan norma-norma masyarakat di sekitarnya. Interaksi sosial
merupakan hubungan yang tertata dalam bentuk tindakan–tindakan yang
berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
35
3. Tinjauan Tentang Sikap Pelestarian Budaya Jawa
a.
Sikap
1). Pengertian Sikap
Thrustone (lih. Edwars, 1957: 2) memgemukakan bahwa sikap sebagai suatu
tingkatan afeksi yang bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan
obyek-obyek psikologis. Afeksi yang positif, yaitu afeksi senang, sedangkan
afeksi negatif adalah afeksi yang tidak menyenangkan. Dengan demikian obyek
dapat menimbulkan berbagai macam sikap, dapat menimbulkan berbagai macam
tingkatan afeksi pada seseorang.
Newcomb (1965: 40) menghubungkan sikap dengan komponen kognitif dan
komponen konatif. Rokeach (1968: 112) dalam pengertian sikap telah terkandung
komponen kognitif dan juga komponen konatif, yaitu sikap merupakan
predisposing untuk merespon, untuk berperilaku. Sedangkan Gerungan (1966:
151) mendefinisikan sikap sebagai berikut:
Pengertian attitude itu dapat kita terjemahkan dengan kata sikap terhadap
obyek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan,
tetapi sikap mana dipengaruhi oleh kecenderungan bertindak sesuai dengan
sikap terhadap objek tadi. Jadi attitude itu lebih tepat diterjemahkan sebagai
sikap dan kesediaan bereaksi terhadap sesuatu hal.
Dari bermacam-macam pendapat tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa sikap itu merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai
obyek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan
memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku
dalam cara yang tertentu yang dipilihnya.
2). Komponen – komponen Sikap
Baron, Byrne, dan Myers dalam “Psikologi Sosial” karangan Bimo Walgito
(1990: 111) menyatakan bahwa sikap melibatkan 3 komponen yang saling
berhubungan, antara lain :
1) Komponen cognitive : berupa pengetahuan, kepercayaan atau pikiran yang
didasarkan pada informasi, yang berhubungan dengan obyek.
36
2) Komponen affective : menunjuk pada dimensi emosional dari sikap, yaiu
emosi yang berhubungan dengan obyek, obyek disini dirasakan sebagai
menyenangkan atau tidak menyenangkan.
3) Komponen behavior : melibatkan salah satu predisposisi untuk bertindak
terhadap obyek.
3). Pembagian Sikap
Sikap dapat dibedakan atas :
1) Sikap positif : sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima,
mengakui, menyetujui, serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana
individu itu berada.
2) Sikap negatif : sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau
tidak menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu berada.
Apabila individu memiliki sikap yang positif terhadap suatu obyek ia akan
siap membantu, memperhatikan, berbuat sesuatu yang menguntungkan obyek itu.
Sebaliknya bila ia memiliki sikap yang negatif terhadap suatu obyek, maka ia
akan mengecam, mencela, menyerang bahkan membinasakan obyek itu.
b. Pelestarian
Di dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata pelestarian berasal dari kata
lestari yang artinya tetap sediakala, tidak mengalalami perubahan. Sedangkan kata
lestari manjadi pelestarian berarti proses, cara mengusahakan agar sesuatu itu
tetap sediakala tidak berubah (Bedudu, 1996: 807). Bila dikaitkan dengan
kebudayaan daerah, proses mengusahakan agar kebudayaan itu tetap sediakala
tidak berubah.
Widjaya (1988: 19) mengartikan pelestarian sebagai segala kegiatan yang
dilakukan secara terus menerus, terarah dan terpadu guna mewujudkan tujuan
tertentu yang mencerminkan adanya sesuatu yang tetap abadi, bersifat dinamis,
luwes dan selektif. Sedangkan Rupaka (1995: 32) mengemukakan bahwa
pelestarian berarti usaha untuk membina, menjaga dan mewariskannya secara
37
turun-temurun. Maksudnya agar kebudayaan daerah itu dibina dan dijaga dengan
penuh kesetiaan, diwariskan secara turun-temurun dalam perjalanan hidupnya.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pelestarian adalah
proses mengusahakan agar kebudayaan itu tetap sediakala tidak berubah dengan
cara membina, menjaga dan mewariskannya secara turun-temurun.
c. Kebudayaan Jawa
1). Pengertian Kebudayaan Jawa
Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “Budhayah”, yaitu bentuk
jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai halhal yang bersangkutan dengan akal (Soerjono Soekanto, 1990: 172). Adapun
istilah lain culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan
kebudayaan, berasal dari kata latin colere, artinya mengolah atau mengerjakan,
yaitu mengolah tanah atau bertani. Dari asal arti tersebut yaitu colere kemudian
culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan
merubah alam (Koentjaraningrat, 1965: 77).
Menurut Selo Soemarjan dan Soeleman Soemardi yang dikutip dari
Soerjono Soekanto (1990: 189) mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut:
Kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya
masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau
kebudayaan jasmaniah (material culture), yang diperlukan oleh manusia
untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat
diabdikan untuk keperluan masyarakat.
Kuntowijoyo (1987: XI) mengemukakan definisi tentang kebudayaan sebagai
berikut:
Budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk
simbolis yang berupa kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian,
musik. Kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep epistomologis
dari sistem pengetahuan masyarakatnya. Sistem simbol dan epistimologis
juga tidak terpisahkan dari sistem sosial yang berupa stratifikasi sosial yang
berupa stratifikasi, gaya hidup, sosialisme, agama, mobilitas sosial,
organisasi kenegaraan dan seluruh perilaku sosial.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa tingkah laku sosial anggota suatu
masyarakat tidak akan lepas dari kebudayaan yang pada hakekatnya merupakan
38
kompleks nilai-nilai, gagasan dan keyakinan. Namun, karena nilai-nilai, gagasan,
serta keyakinan tersebut bersifat abstrak, maka hanya dapat dilihat melalui
perwujudannya.
Kebudaaan Jawa menurut H. Karkono Kamajaya Partokusuma (1986: 2)
adalah “Pancaran atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang merangkum ;
kemauannya, cita-citanya, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin. Yang
menunjukkan identitas suatu kebudayaan adalah unsur-unsur yang menonjol dari
kebudayaan itu. Sedangkan yang menjadi identitas kebudayaan Jawa adalah unsur
yang
menonjol
dari
kebudayaan
Jawa.
Koentjaraningrat
(1990:
203)
mengemukakan bahwa unsur yang menonjol dari kebudayaan Jawa meliputi :
bahasa dan komunikasi, kesenian dan kesusastraan, keyakinan, keagamaan, ritus,
ilmu gaib dan beberapa pranata dalam organisasi sosial.
2). Wujud Kebudayaan
Menurut P. Hariyono (1994: 31) kebudayaan memiliki tiga unsur wujud
yaitu:
1. Sistem budaya, yaitu kompleks ide-ide dan gagasan manusia yang menjadi
sumber inspirasi dan orientasi dalam menghadapi masalah kehidupan manusia.
Orientasi atau pandangan ini mengkristal kuat sebagai jiwa dari sekelompok
masyarakat tertentu. Gagasan itu saling berkaitan satu sama lain menjadi suatu
sistem yang berpola habit of thinking. Kebudayaan ideal ini mengatur dan
memberi arah kepada sekelompok masyarakat dalam memahami masalahmasalah kehidupan manusia. Setiap kelompok masyarakat berbeda dalam
memahami masalah kehidupan manusia, sehingga mereka akan memiliki pola
pikir dan sikap yang berbeda. Ide mengenai pemahaman masalah itu melekat
kuat dalam sekelompok masyarakat dan dianggap bernilai, berharga dan
penting dalam hidup, sehingga dijunjung tinggi dan berfungsi sebagai suatu
pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan sekelompok
masyarakat. Pengertian tentang pedoman di atas disebut juga nilai-nilai
budaya atau orientasi nilai budaya. Pedoman ini pada gilirannya memiliki
pengaruh yang luas dan mendasar pada kehidupan sekelompok masyarakat,
39
yaitu akan berpengaruh pada wujud sosial dan karya fisiknya. Oleh karena itu,
sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak
dari kebudayaan. Dalam realita, sistem budaya tidak bisa diraba dan diamati,
ia terletak pada pemikiran sekelompok masyarakat.
2. Sistem sosial, yaitu tindakan berpola habit of doing dari sekelompok
masyarakat. Sistem sosial ini terdiri dari pola aktivitas-aktivitas manusia yang
saling berinteraksi (berhubungan) serta saling bergaul satu dengan yang lain
dari waktu ke waktu, selalu membentuk dan mengikuti pola-pola tertentu yang
kemudian menetap dalam bentuk adat tata perilaku. Sistem ini dapat
diobservasi, difoto, didokumentasi dan diamati, tetapi tidak bisa diraba.
Ukuran atau pedoman yang dianut orang lain disebut dengan nilai-nilai sosial.
Nilai-nilai sosial ini biasanya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut.
3. Kebudayaan fisik, merupakan keseluruhan hasil fisik, perbuatan dan karya
manusia dalam sekelompok masyarakat. Oleh karena itu sifatnya paling
kongkret, dapat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba. Betuk dan
wujud dari karya fisik ini biasanya memiliki corak yang mencerminkan pola
pikir nilai budaya dan pola tindakan sekelompok masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto (1990: 199-200), hakikat kebudayaan adalah
sebagai berikut:
1. Kebudayaan terwujud dan tersalur lewat perilaku manusia.
2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi
tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang
bersangkutan.
3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah
lakunya.
4. Kebudayaan mencangkup aturan-aturan yang berisikan kewajibankewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan
yang dilarang dan tindakan yang dijinkan.
40
Selain memiliki sistem budaya, masyarakat Jawa memiliki nilai-nilai yang
berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. P. Hariyono (1994: 44) menyatakan
bahwa beberapa nilai-nilai pada masyarakat Jawa adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
Nilai kerukunan
Prinsip hormat
Etika kebijaksanaan
Jalan tengah
Perkawinan
1. Nilai Kerukunan
Orang Jawa biasa hidup rukun. Tujuan dari prinsip kerukukunan ialah untuk
mempertahankan keadaan masyarakat yang harmonis. Atas nama prinsip
kerukunan, orang Jawa berusaha untuk menghilangkan tanda-tanda keteganan
dalam masyarakat atau antar pribadi, sehingga hubungan sosial tetap harmonis
dan baik. Keadaan rukun memuaskan bagi orang Jawa, sekalipun itu suatu kesan
belaka yang tidak mencerminkan hakikatnya. Situasi ini cukup menggelitik, tapi
justru dianggap sesuatu yang menarik dan dianggap baik (P. Hariyono, 1994: 44).
2. Prinsip hormat
Suseno & Reksosusilo dalam P. Hariyono (1994: 44-45) menyatakan bahwa
dalam prinsip hormat setiap orang dalam berbicara dan membawakan diri selalu
harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan
kedudukannya dalam masyarakat. Prinsip hormat ini didasarkan pada pendapat
bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hierarkis. Keteraturan itu
bernilai pada diri sendiri, dan karena itu orang wajib untuk mempertahankan dan
membawakan diri sesuai dengan susunan hirarkisnya. Atasan dihormati karena ia
mewadahi lebih banyak dari kenyataan kosmis Illahi. Dalam tata nilai Jawa
tradisional, sikap hormat terhadap atasan itu mestinya diimbangi oleh sikap
hormat atasan terhadap bawahannya.
Kehormatan sedemikian penting pada masyarakat Jawa. Segala perbuatan
aib akan dipendam sedalam-dalamnya, bahkan kalau perlu adakalanya aib itu
dilihat sisi positifnya atau dicari “Jalan Tengah”-nya yang dapat mengembalikan
41
kehormatan, sekalipun itu bertentangan dengan etika
misalnya. Sikap yang
terakhir sering ditemui pada orang Jawa untuk menjaga kehormatan
komunitasnya. Ungkapan mikul dhuwur mendhem jero berlaku disini. Bagi orang
yang kurang mengenal budaya Jawa pengertian ini sangat mengherankan dan sulit
dipahami. Secara keseluruhan dapat dikatakan prinsip hormat pada masyarakat
Jawa didasarkan pada kedudukan dan posisinya dalam susunan hierarkis
masyarakatnya, serta upaya-upaya untuk menjaga kelestarian dan kebesaran
komunitasnya (P. Hariyono, 1994: 45).
3. Etika kebijaksanaan
Suseno dalam P. Hariyono (1994: 45) menyatakan orang yang bijaksana
menangkap bahwa yang paling baik baginya adalah hidup yang sesuai dengan
peraturan-peraturan moral, bahkan apabila itu berarti ia harus melawan nafsunafsunya dan rela untuk tidak langsung memenuhi semua kepentingan jangka
pendek. Dengan demikian konsep etika kebijaksanaan orang Jawa didasarkan
pada etika moral.
4. Jalan tengah
Suseno & Reksosusilo dalam P. Hariyono (1994: 45-46) menyatakan bahwa
dalam budaya Jawa segala sesuatu manjadi relatif dan tidak mutlak. Begitu juga
norma-norma moral, hanya berlaku secara relatif. Norma-norma itu memang
berlaku, tapi tidak mutlak seratus persen, jangan-jangan ia akan kehilangan jarak
dan pandangan-pandangan secara keseluruhan. Dalam bersikap dan mengambil
keputusan, manusia Jawa biasa menggunakan jalan tengah untuk melihat
keseluruhannya. Mencari jalan tengah dirasa lebih enak, akan memudahkan orang
untuk berhubungan dengan berbagai pihak serta menambah persahabatan, karena
ia merangkul kedua pihak yang berjauhan itu.
5. Perkawinan
Geertz dalam P. Hariyono (1994: 45-46) menyatakan bahwa pada
masyarakat Jawa perkawinan merupakan suatu peristiwa yang harus terjadi pada
kehidupan seseorang. Perkawinan di Jawa tidak dipandang semata-mata sebagai
penggabungan dua jarinagn keluarga yang luas. Tetapi yang dipentingkan adalah
pembentukan sebuah rumah tangga sebagai unit yang berdiri sendiri. Pandangan
42
ini tampak jelas didalam istilah yang lazim untuk “kawin” ialah omah-omah yang
berasal dari kata omah atau rumah. Karena sekedar membentuk rumah tangga
saja, maka meskipun secara ekonomi belum memadai dan masih tergantung pada
orang tuanya, pasangan itu dapat dengan mudah memperoleh restu dan diijinkan
kawin oleh orang tua. Dengan demikian motivasi perkawinan pada tradisi Jawa
untuk mencari status perkawinan dalam susunan struktur sosial. Mereka kawin
hanya sekedar kewajiban yang harus dialami oleh setiap orang. Sehingga muncul
ungkapan Jawa bahwa orang dianggap belum dewasa bila belum menikah,
walaupun persiapan materiil-moril belum memadai.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap pelestarian
budaya Jawa adalah sikap melestarikan budaya Jawa dengan mengusahakan agar
kebudayaan itu tetap sediakala tidak berubah dengan cara membina, menjaga dan
mewariskannya secara turun-temurun. Sikap tersebut dipengaruhi oleh komponen
kognitif (pengetahuan dan kepercayaan), komponen afektif (emosi yang
berhubungan dengan obyek) dan komponen behavior (perilaku), yang akan
menimbulkan sikap positif maupun negatif terhadap budaya Jawa.
B. Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh W. E. Soetomo Siswokartono tentang
“Persepsi, Sikap dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Upaya Perlindungan
Peninggalan Sejarah. Thesis. Jakarta : Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta 1992.
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang berarti
antara persepsi masyarakat terhadap peninggalan sejarah dengan partisipasi dalam
usaha perlindunggannya pada taraf signifikansi lima persen (r = 0,58 > r = 0,11).
Terdapat hubungan yang berarti antara sikap masyarakat terhadap peninggalan
sejarah dengan partisipasi dalam usaha perlindungannya pada taraf signifikansi
lima persen (r = 0,58 > r = 0,11). Terdapat hubungan yang berarti antara persepsi
dan sikap masyarakat terhadap peninggalan sejarah secara bersama-sama dengan
partisipasi dalam upaya perlindungannya pada taraf signifikansi lima persen (r =
0,67 > r = 0,11).
43
Penelitian yang dilakukan oleh Agni Era Hapsari yang berjudul “Hubungan
Antara Lingkungan Sosial Budaya dan Pemahaman Nilai Sejarah dengan Sikap
Pelestarian Candi Borobudur” (Studi di Masyarakat Sekitar Candi Borobudur).
Skripsi. Program Pendidikan Sejarah UNS Surakarta 2003.
Hasil uji hipotesis menunjukan (1). Terdapat hubugan yang signifikan antara
lingkungan sosial budaya dengan sikap pelestarian Candi Borobudur, terbukti
dengan t hitung = 9,114 lebih besar dari t tabel = 2,39 koefisien korelasi untuk
hubungan kedua variabel adalah sebesar 0,796 dengan taksiran koefisien
determinasinya 0,634 melalui regresi y = 25,844 + 0,675 X 1 ; (2). Terdapat
hubungan yang signifikan antara pemahaman nilai sejarah dengan sikap
pelestarian Candi Borobudur, terbukti dengan hasil perhitungan didapatkan harga
untuk t hitung = 8,298 lebih besar dari t tabel =2,39. Koefisien korelasi untuk
hubungan kedua variabel ini adalah sebesar 0,767dengan harga koefisien
determinasinya 0,589 melalui regresi y = 53,720 + 1,362 X 2 ; (3). Terdapat
hubungan antara lingkungan sosial budaya dan pemahaman nilai sejarah secara
bersama-sama dengan sikap pelestarian Candi borobudur, terbukti dengan hasil
perhitungan didapatkan harga untuk t hitung = 70,692 lebih besar dari t tabel = 4,98.
korelasi ganda antara variabel dan dengan variabel y menghasilkan koefisien
korelasi sebesar 0,866 dengan koefisien determinasinya 0,751, melalui regresi y =
32,266 + 0,439 X 1 + 0,782 X 2 .
Penelitian yang dilakukan oleh Russell H. Fazio and Carol J. Williams yang
berjudul “Attitude Accessibility as a Moderator of the Attitude-Perception and
Attitude-Behavior Relations: An Investigation of the 1984 Presidential Election”.
Journal of Personality and Social Psychology 1986, Vol. 31, No. 3, 505-514.
Indiana University.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1). Correlations Between Attitudes
and Perceptions and Attitudes and Voting Behavior Att. The number of
respondents upon which any given correlation is based is listed in parentheses.
The t value refers to the significance test of the difference between two dependent
correlation coefficients. */>< .07. **p< .05. ***p< .005. (2). Correlations
44
Between Attitudes and Perceptions and Between Attitudes and Voting Behavior
Within High Accessibility (HA) and Low Accessibility (LA) Groups. The number
of respondents upon which any given correlation is based is listed in parentheses.
The z value refers to the significance test of the difference between two
independent correlation coefficients. *p < .10. **p< .05. ***p < .01. ****p <
.001. (3). Multiple Correlations Using Attitudes Toward Reagan and Mondale as
Joint Predictors of Perceptions and of Voting Behavior Within High and Low
Accessibility Groups Accessibility.
The number of respondents is listed in
parentheses. The z value refers to the significance test of the difference between
two independentcorrelation coefficients *p<.075.**p<.025. This relation between
attitude-perception discrepancy and attitude behavior discrepancy also was
evident within the high (average r = .314, p < .05) and within the low (average r =
.398, p < .01) accessibility groups.
C. Kerangka Berfikir
Pelestarian budaya Jawa sangatlah penting, mengingat perkembangan
zaman saat ini yang semakin maju, membuat masyarakat mulai meninggalkan
budaya tradisional. Pelestarian budaya Jawa harus dilakukan oleh masyarakat dan
remaja pada khususnya.
1. Hubungan persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap
pelestarian budaya Jawa.
Persepsi remaja yang negatif tentang pernikahan adat Jawa akan sukar
untuk menumbuhkan partisipasi remaja yang positif mengenai upaya
pelestarian budaya Jawa. Dengan demikian dapat diduga adanya keterkaitan
antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian
budaya Jawa.
Persepsi remaja sangat dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman dan
pengetahuan tentang filosofi pernikahan adat Jawa. Hal tersebut membawa
pengaruh terhadap sikap pelestarian budaya Jawa karena remaja sebagai
generasi penerus sangat mudah dipengaruhi oleh unsur-unsur kebudayaan luar.
Sehingga, semakin positif persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa,
45
makin tinggi pula perhatiannya untuk melestarikan budaya Jawa. Dengan
demikian dapat diduga terdapat hubungan antara persepsi remaja tentang
pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa.
2. Hubungan lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa.
Manusia sebagai makhluk sosial secara alami membutuhkan hubungan
dengan orang lain dan mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan
keadaan sekitarnya atau lingkungannya. Hubungan manusia dengan
lingkungannya, manusia cenderung berusaha untuk menyesuaikan diri . Oleh
karena itu, seseorang yang merupakan bagian dari suatu masyarakat, dalam
bersikap dan bertindak tidak lepas dari pengaruh lingkungan sosial dimana
orang tersebut bertempat tinggal.
Apabila lingkungan berusaha tetap menghargai kebudayaan daerahnya,
yang dalam hal ini salah satu contohnya adalah tetap melestarikan pernikahan
adat Jawa, maka orang tersebut dengan senang hati akan mempertahankan
kebudayaan daerahnya, membina dan mengembangkan serta mewariskannya
kepada generasi yang akan datang. Tetapi apabila lingkunggannya tidak
bersikap menghargai atau meremehkan bahkan menolak, maka orang tersebut
akan bersikap kurang mendukung kebudayaan yang mereka miliki, bahkan
kebudayaan tersebut akan mati atau hilang dengan sendirinya.
Jadi dapat diduga lingkungan sosial seseorang mempunyai hubungan
terhadap pelestarian budaya Jawa. Makin baik linkungan sosial yang
mendukung nilai-nilai tradisional, makin baik pula sikap pelestarian orang
tersebut terhadap budaya Jawa. Sehingga dapat diduga terdapat hubungan
antara lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa.
3) Hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan
lingkungan sosial secara bersama-sama dengan sikap pelestarian budaya Jawa.
Persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial
sangat berhubungan dengan upaya pelestarian budaya Jawa. Jika semakin
tinggi persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa, semakin tinggi pula
kepeduliannya untuk melestarikan budaya Jawa. Begitu pula dengan
lingkungan sosial, jika lingkungan sosial mendukung nilai-nilai tradisional
46
maka semakin tinggi kepedulian untuk melestarikan budaya Jawa. Apabila
keduanya (persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan
sosial) bersifat positif, maka akan memperkuat terwujudnya sikap pelestarian
budaya Jawa. Sehingga dapat diduga terdapat hubungan antara persepsi
remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersamasama dengan sikap pelestarian budaya Jawa.
D. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara atas masalah yang sedang diteliti dan
masih harus diuji kebenarannya. Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di
atas maka hipotesis pada penelitian ini sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan
sikap pelestarian budaya Jawa.
2. Terdapat hubungan antara lingkungan sosial dan sikap pelestarian budaya
Jawa.
3. Terdapat hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan
lingkungan sosial secara bersama-sama terhadap sikap pelestarian budaya
Jawa.
47
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan waktu penelitian
1. Tempat Penelitian
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini maka penulis
menyesuaikan dengan masalah yang dikaji. Oleh karena itu penulis mengadakan
penelitian di desa Bonyokan, kecamatan Jatinom, kabupaten Klaten.
Adapun lokasi yang akan dijadikan tempat penelitian meliputi dusun-dusun
yang berada di desa Bonyokan yaitu : Karang Poh, Bonyokan, Dukuh, Sawahan,
Seman dan Kajen.
2. Waktu Penelitian
Penelitian dalam penyusunan skripsi ini, membutuhkan waktu selama 11
bulan. Penelitian ini dimulai dari bulan September 2008 sampai dengan bulan
Agustus 2009. Adapun rincian kegiatan tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut
ini :
Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian Mengenai Persepsi Remaja Tentang
Pernikahan Adat Jawa dan Lingkungan Sosial Terhadap Sikap
Pelestarian Budaya Jawa di Desa Bonyokan, Kecamatan Jatinom,
Kabupaten Kleten.
N
o.
Nama
Kegiatan
1
Pengajuan
judul
Proposal
penelitian
Pengkajian
teori
Pengumpula
n dan
pengolahan
data
Penganalisis
an
data
penelitian
Penyusunan
Laporan
Penelitian
2
3
4
5
6
2008
Sept
Okt
Nov
2009
Des
Jan
47
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
48
B. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode merupakan prosedur atau cara yang ditempuh dalam mencapai
tujuan. Dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Metode
deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek / obyek penelitian
(seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan
fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Hadari Nawawi, 1995: 82).
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif karena berusaha memecahkan
masalah yang diselidiki dengan mengungkapkan secara nyata hubungan di antara
variabel. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui besarnya korelasi antara
persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial terhadap
sikap pelestarian budaya Jawa. Penelitian ini bersifat korelasional karena berusaha
untuk mengetahui besarnya korelasi atau hubungan antara variabel bebas dengan
variabel terikat.
2. Desain Penelitian
Dalam melakukan suatu penelitian diperlukan desain penelitian yang sesuai
dengan penelitian yang akan dilakukan. Desain penelitian harus mengikuti metode
penelitian. Desain penelitian adalah “semua proses yang diperlukan dalam
perencanaan dan analisis data” (Moh Nazir, 1988: 99). Penelitian ini melukiskan
keadaan yang ada terhadap masing-masing variabel bebas dan variabel terikat,
maka penelitian ini bersifat deskriptif.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar hubungan
antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian
budaya Jawa. Mengetahui seberapa besar hubungan antara lingkungan sosial
dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Mengetahui seberapa besar hubungan
antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial secara
bersama-sama terhadap sikap pelestarian budaya Jawa.
49
Berdasarkan pendapat di atas, maka desain penelitian mengenai persepsi
remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial terhadap sikap
pelestarian budaya Jawa secara sederhana dapat digambarkan dengan skema
sebagai berikut:
X1
Y
X2
Gambar 1. Desain Penelitian Mengenai Persepsi Remaja tentang Pernikahan Adat
Jawa dan Lingkungan Sosial terhadap Sikap Pelestarian Budaya Jawa
Keterangan :
X 1 : Persepsi Remaja tentang Pernikahan Adat Jawa
X 2 : Lingkungan Sosial
Y : Sikap Pelestarian Budaya Jawa
Pola hubungannya adalah :
1. X 1 dengan Y
2. X 2 dengan Y
3. X 1 dan X 2 secara bersama-sama dengan Y
4. X 1 dan X 2 = variabel bebas
5. Y = variabel terikat
Berdasarkan skema penelitian di atas menunjukkan bahwa variabel bebas
adalah variabel yang mempengaruhi variabel terikat. Dalam gambar kerangka di
atas yang menjadi variabel bebas adalah persepsi remaja tentang pernikahan adat
Jawa ( X 1 ) dan lingkungan sosial ( X 2 ), sedangkan variabel terikatnya adalah
sikap pelestarian budaya Jawa (Y). Kerangka pemikiran di atas menunjukkan
bahwa persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial
memegang peranan penting dalam sikap pelestarian budaya Jawa.
50
3. Definisi Operasional Variabel
Suharsimi Arikunto (1998: 97) berpendapat bahwa “Variabel adalah obyek
penelitian yang berupa gejala bervariasi, misalnya jenis kelamin, berat badan dan
lain sebagainya”. Adapun variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :
a. Variabel bebas
“Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi variabel lainnya”
(Djarwanto, 1996: 11). Menurut Suharsimi Arikunto (1998: 101), variabel bebas
adalah variabel yang mempengaruhi atau disebut juga sebagai variabel penyebab
atau independent variabel. Adapun variabel bebas dalam penelitian ini meliputi :
1). Persepsi Remaja tentang Pernikahan Adat Jawa.
a). Persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa adalah pandangan remaja
yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang disertai dengan
proses
penginderaan
terhadap
peristiwa
suatu
perkawinan
yang
dilaksanakan menurut aturan-aturan yang dimiliki oleh masyarakat Jawa
yang berlaku sejak zaman dahulu.
b). Indikator : pandangan mengenai pentingnya pernikahan adat Jawa,
pandangan mengenai makna upacara pernikahan adat Jawa, rasa bangga
terhadap upacara pernikahan adat Jawa, kepercayaan, dan pengetahuan
tentang pernikahan adat Jawa.
2). Lingkungan sosial
a). Lingkungan sosial adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia dan
segala aturan lain yang saling mempengaruhi dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam penelitian ini, penulis mengkaji tentang interaksi
remaja dan norma-norma masyarakat di sekitarnya.
b). Indikator : interaksi sosial, norma-norma sosial dalam masyarakat, dan
nilai-nilai sosial.
51
b. Variabel Terikat
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel
bebas.
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah sikap pelestarian budaya Jawa. Sikap
pelestarian budaya Jawa merupakan upaya yang dilakukan masyarakat untuk
mempertahankan maupun melestarikan budaya Jawa. Indikator sikap pelestarian
budaya Jawa antara lain : kesadaran untuk mempertahankan keberadaan budaya
Jawa, rasa tanggung jawab dalam melestarikan budaya Jawa, dan upaya-upaya
yang dilakukan untuk melestarikan budaya Jawa.
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling
1. Populasi
Suharsini Arikunto (1998: 115) mengatakan bahwa “Populasi adalah
keseluruhan subyek penelitian”. Sedangkan Burhan Nurgiantoro (2000: 20)
berpendapat bahwa “Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian yang menjadi
perhatian dan pengamatan serta sebagai penyedia data”. Dapat dikatakan juga
bahwa populasi adalah keseluruhan obyek yang menjadi sumber penelitian.
Adapun pengertian lain dari populasi adalah seluruh penduduk yang
dimaksudkan untuk diteliti (Sutrisno Hadi, 1986: 220). Populasi adalah “Totalitas
semua nilai yang mungkin, baik hasil menghitung atau pengukuran, kuantitatif
ataupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan
yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya” (Sudjana, 1996: 161).
Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa populasi
adalah keseluruhan obyek penelitian yang menjadi perhatian dan sebagai penyedia
data. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah remaja yang usiannya 1324 tahun di desa Bonyokan, kecamatan Jatinom, kabupaten Klaten.
2. Sampel
Sampel adalah bagian-bagian dari keseluruhan yang menjadi obyek
sesungguhnya dari suatu penelitian (Koentjaraningrat, 1986: 89). Menurut Burhan
52
Nurgiyantoro (2000: 21) “Sampel adalah sebuah kelompok anggota yang menjadi
bagian dari populasi sehingga memiliki karakteristik populasi”. Sedangkan
Suharsimi Arikunto (1998: 117) berpendapat bahwa “Sampel adalah sebagian atau
wakil populasi yang diteliti”.
Sutrisno Hadi (1984: 117) berpendapat bahwa “Sampel adalah sejumlah
penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi”. Proporsi dari sampel yaitu
perimbangan antara jumlah sampel dan jumlah populasi, mungkin sangat besar,
mungkin juga sangat kecil. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi obyek penelitian, yang
mewakili populasi penelitian. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagian remaja di desa Bonyokan, kecamatan Jatinom, kabupaten Klaten, yang
diambil 50 remaja dari kurang lebih 484 remaja yang menjadi populasi.
3. Teknik Pengambilan Sampel / Teknik Sampling
Sutrisno Hadi (1989: 22) mengemukakan bahwa “Sampling adalah cara atau
teknik yang digunakan untuk mengambil sampel”. Sedangkan Bambang Suwarno
(1987: 1) berpendapat bahwa :
Pengertian dasar dari pada penarikan sampel (sampling) adalah bahwa kita
dapat memperoleh informasi yang mendalam, terperinci, dan efisien dari
suatu kumpulan orang, rumah tangga atau lembaga-lembaga atau satuansatuan lainya yang sangat besar jumlah dari hanya sebagian kecil contoh
atau sampel yang dikumpulkan secara hati-hati dan teliti.
Sampling adalah metodologi untuk menyeleksi individu-individu masuk ke
dalam sampel yang representatif. Metodologi sampling yang representatif pada
dasarnya menyangkut masalah sampai dimanakah ciri-ciri yang terdapat dalam
sampel yang terbatas itu benar-benar menggambarkan keadaan sebenarnya dalam
keseluruhan dari populasi (Koentjaraningrat, 1986: 89).
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa teknik sampling adalah suatu
cara yang digunakan untuk menentukan atau mengambil sampel yang benar-benar
mewakili populasi. Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan
53
teknik proporsional random sampling. Dalam penelitian ini mengambil 10% dari
jumlah populasi 484 . Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 50.
Adapun perincian jumlah sampel dengan pengambilan perwakilan 10 % dari
setiap dusun di desa Bonyokan adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Jumlah Populasi dan Sampel
Nama Dusun
Jumlah Populasi
Jumlah Sampel
Bonyokan
125
13
Karangpoh
161
16
Dukuh
25
3
Sawahan
37
4
Seman
100
10
Kajen
36
4
Jumlah
484
50
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah angket. Angket atau
kuesioner adalah “Usaha mengumpulkan informasi dengan menyampaikan
sejumlah pertanyaan tertulis, untuk dijawab secara tertulis pula oleh responden”.
(Hadari Nawawi, 1995: 117)
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data tentang persepsi
remaja tentang pernikahan adat Jawa, lingkungan sosial dan sikap pelestarian
budaya Jawa. Untuk mengumpulkan data tersebut peneliti menggunakan angket
(kuisioner). Adapun instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah instrument angket skala Likert (sikap). Angket tersebut dipakai untuk
menjaring data dari variabel-variabel yang ada yaitu :
1. Variabel X 1 atau variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa.
2. Variabel X 2 atau variabel lingkungan sosial.
3. Variabel Y atau variabel sikap pelestarian budaya Jawa.
Pengukuran ketiga variabel yaitu persepsi remaja tentang pernikahan adat
Jawa, lingkungan sosial dan sikap pelestarian budaya Jawa menggunakan teknik
54
skala Likert. Skala Likert mempunyai 5 kategori jawaban yaitu: sangat setuju,
setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Kelima kategori jawaban
tersebut di beri penilaian dengan skala ordinal sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
5)
Sangat setuju (SS) diberi skor 5
Setuju (S) diberi skor 4
Ragu-ragu (R) diberi skor 3
Tidak setuju (TS) diberi skor 2
Sangat tidak setuju (STS) diberi skor 1
Adapun skor penilaian dari pertanyaan yang bersifat positif dan pertanyaan
yang bersifat negatif adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Skala Penilaian Skor Angket
Pertanyaan
SS
S
R
TS
STS
Pertanyaan Positif
5
4
3
2
1
Pertanyaan Negatif
1
2
3
4
5
Angket sebagai alat pengumpul variabel penelitian harus disusun dengan
baik agar dapat megukur variabel secara tepat. Langkah-langkah yang peneliti
gunakan dalam menyusun angket adalah sebagai berikut :
1) Menetapkan tujuan
Angket dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang
persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial terhadap
sikap pelestarian budaya Jawa daerah setempat.
2) Membuat definisi konseptual tiap variabel.
3) Merangkum definisi konseptual tiap variabel ke dalam definisi operasional.
4) Meyusun kisi-kisi angket atau indikator
Kisi-kisi angket diperlukan untuk memperjelas dan melihat permasalahan
yang akan dituangkan dalam angket serta untuk mempermudah menjawab
butir-butir pertanyaan dalam angket.
5) Menyusun angket
a. Membuat surat pengantar
b. Membuat pedoman pengisian angket
c. Membuat pertanyaan sekaligus alternatif jawaban
55
d. Memberikan skor angket.
E. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Dalam pembuatan instrumen penelitian tidak sekaligus dapat selalu baik
seperti yang kita inginkan, maka dalam penelitian ini instrumen yang dibuat harus
diukur lebih dahulu ketepatan (validitasnya) dan keajegannya (reliabilitasnya).
Lokasi yang dijadikan tempat uji coba instrumen dalam penelitan ini meliputi
dusun-dusun yang berada di desa Bonyokan, kecamatan Jatinom, kabupaten
Klaten yaitu : Karang Poh, Bonyokan, Dukuh, Sawahan, Seman dan Kajen.
1. Validitas Instrumen
Validitas megandung makna sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu
alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu instrumen pengukur dapat
dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut memberikan hasil
ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya ukuran tersebut. Tes yang
menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan
sebagai tes yang memiliki validitas rendah. (Saifuddin Azwar, 1997: 5).
Dalam penelitian ini, uji validitas dilaksanakan dengan dua cara yaitu
validitas isi (content validity) dan validitas konstruksi (construct validity).
Validitas isi dilakukan dengan mengkonsultasikan daftar pertanyaan kepada para
pakar yang mengetahui masalah yang sedang diteliti. Sedangkan validitas
konstruksi dengan rumus korelasi product moment. Untuk mengetahui validitas
angket, penulis menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson.
Adapun rumus korelasi preoduct moment yang dikemukakan oleh Pearson adalah
sebagai berikut :
rxy =
N å XY - (å X )(å Y )
{N å X
2
}{
- (å X ) 2 N å Y 2 - (å Y ) 2
}
(Suharsimi Arikunto, 2006: 170)
Keterangan :
56
rxy : koefisien korelasi
N
: jumlah responden
X
: skor total tiap-tiap item
Y
: skor total
X 2 : jumlah kuadrat dari X
Y 2 : jumlah kuadrat dari Y
XY : jumlah perkalian dari X dan Y
Dari hasil perhitungan tersebut, kemudian dikonsultasikan dengan rtabel ,
dengan kriteria pengujian sebagai berikut:
§
Jika r > rtabel maka item soal dikatakan valid.
§
Jika r £ rtabel maka item soal dikatakan tidak valid.
Nilai rxy dibandingkan dengan nilai rtabel dengan signifikansi 5 % jika lebih besar
dari rtabel maka butir tersebut dinyatakan valid.
2. Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas merupakan penerjemahan dari kata reliability yang berarti dapat
dipercaya. Pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai
pengukuran yang reliabel. Walaupun reliabilitas mempunyai berbagai nama lain
seperti keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi, dan
sebagainya, namun ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah
sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. (Saifuddin azwar, 1997: 4).
Reliabilitas adalah nilai keajegan, yaitu apabila suatu tes atau instrumen data
memberikan hasil yang relatif tetap. Reliabilitas mengandung pengertian bahwa
suatu instrumen tersebut dapat dipercaya sebagai alat pengumpul data karena
instrumen tersebut telah baik (Suarsimi Arikunto, 1998: 50).
Dalam penelitian ini untuk menghitung reliabilitas instrumen peneliti
menggunakan rumus :
ab 2
k
å
r11 =
1k -1
at 2
57
Keterangan :
r11
: reliabilitas instrumen
k
: banyak butir pertanyaan
å ab
at 2
2
: jumlah varians butir
: varians total
(Suharsimi Arikunto, 1991: 165)
Dari hasil perhitungan tersebut, kemudian dikonsultasikan dengan rtabel ,
dengan kriteria pengujian yaitu, jika r11 > rtabel maka dapat disimpulkan bahwa
angket tersebut reliabel atau dapat dipercaya.
3. Hasil Uji Coba Instrumen
a. Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa (X1)
Berdasarkan hasil uji validitas variabel persepsi remaja tentang
pernikahan adat Jawa (X1), diperoleh rhitung sebesar 0,492. Hasil perhitungan
tersebut kemudian dikonsultasikan dengan rtabel korelasi product moment
dengan
n = 20 pada taraf signifikansi 5% diperoleh rtabel sebesar 0,444.
Karena rhitung > rtabel atau 0,492 > 0,444 disimpulkan bahwa pernyataan angket
tersebut valid. Dari perhitungan tersebut didapatkan 2 item pernyataan yang
tidak valid dari 22 item pernyataan yang ada, yaitu item nomer 16 dan 20.
Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.
Berdasarkan hasil uji reliabilitas variabel persepsi remaja tentang
pernikahan adat Jawa (X1) didapatkan r11 sebesar 0,856. hasil tersebut
dikonsultasikan dengan rtabel untuk n = 20 dengan taraf signifikansi 5%
diperoleh hasil 0,444. Karena r11 > rtabel atau 0,856>0,444 maka reliabilitas
diterima. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.
b. Lingkungan Sosial (X2)
Berdasarkan hasil uji validitas variabel lingkungan sosial (X2), diperoleh
rhitung sebesar 0,490. Hasil perhitungan tersebut kemudian dikonsultasikan
58
dengan rtabel korelasi product moment dengan n = 20 pada taraf signifikansi
5% diperoleh rtabel sebesar 0,444. Karena rhitung > rtabel atau 0,490 > 0,444
disimpulkan bahwa pernyataan angket tersebut valid. Dari perhitungan
tersebut didapatkan 3 item pernyataan yang tidak valid dari 22 item
pernyataan yang ada, yaitu item nomer 5, 7 dan 20. Hasil selengkapnya dapat
dilihat pada lampiran 4.
Berdasarkan hasil uji reliabilitas variabel lingkungan sosial (X2)
didapatkan r11 sebesar 0,827. hasil tersebut dikonsultasikan dengan rtabel untuk
n = 20 dengan taraf signifikansi 5% diperoleh hasil 0,444. Karena r11 > rtabel
atau 0,827 > 0,444 maka reliabilitas diterima. Hasil selengkapnya dapat dilihat
pada lampiran 4.
c. Sikap Pelestarian Budaya Jawa (Y)
Berdasarkan hasil uji validitas variabel Y, diperoleh rhitung sebesar 0,673.
Hasil perhitungan tersebut kemudian dikonsultasikan dengan rtabel korelasi
product moment dengan n = 20 pada taraf signifikansi 5% diperoleh rtabel
sebesar 0,444. Karena rhitung > rtabel atau 0,673 > 0,444 disimpulkan bahwa
pernyataan angket tersebut valid. Dari perhitungan tersebut didapatkan 2 item
pernyataan yang tidak valid dari 22 item pernyataan yang ada, yaitu item
nomer 3 dan 11. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.
Berdasarkan hasil uji reliabilitas variabel sikap pelestarian budaya Jawa
(Y) didapatkan r11 sebesar 0,875. hasil tersebut dikonsultasikan dengan rtabel
untuk n = 20 dengan taraf signifikansi 5% diperoleh hasil 0,444. Karena r11 >
rtabel atau 0,875 > 0,444 maka reliabilitas diterima. Hasil selengkapnya dapat
dilihat pada lampiran 4.
F. Teknik Analisis Data
Menganalisa data merupakan langkah penting dalam membuktikan
hipotesis. Dalam analisis data, peneliti menggunakan uji statistik dengan teknik
analisis korelasi dan regresi. Teknik korelasi yang digunakan dalam penelitian ini
59
adalah teknik korelasi sederhana dan teknik korelasi ganda. Teknik korelasi
sederhana digunakan untuk menentukan hubungan masing-masing variabel X dan
Y. Teknik korelasi ganda digunakan untuk menentukan hubungan variabel X 1
dan X 2 secara bersama-sama terhadap variabel Y.
Penelitian ini mengkaji dua variabel bebas dan satu variabel terikat, maka
peneliti menggunakan teknik analisis korelasi product moment dan regresi ganda
untuk menganalisis data yang ada. Sutrisno Hadi (1990: 2) mengemukakan bahwa
tugas pokok dari analisis regresi adalah :
1)
2)
3)
4)
Mencari korelasi antara kriterium dan prediktor
Menguji apakah korelasi signifikan atau tidak
Mencari persamaan garis regresi
Menemukan sumbangan relatif antara sesama
prediktornya lebih dari satu.
prediktor,
jika
Adapun langkah-langkah dalam menganalisis data antara lain:
1. Mengolah data yang berupa skala ordinal dengan mengubahnya kedalam
bentuk skala interval dengan menggunakan rumus:
a. Rentang / Range = skor tertinggi – skor terendah
b. Banyak kelas interval = 1+ (3,3) log n
R (rentang)
k (banyaknya kelas)
c. Panjang kelas (p) =
(Sudjana, 2002: 47)
d. Menghitung Mean dengan rumus :
MeanX =
åX
1
n
Keterangan :
X : mean skor
X 1 : skor nilai tengah
n
: banyaknya variabel
(Sudjana, 2002: 67)
e. Menghitung Modus dengan rumus :
60
æ b1 ö
Mo = b + pç
÷
è b1 + b 2 ø
Keterangan :
b : batas bawah kelas interval
p : panjang kelas interval
b1 : frekuansi interval dikurangi frekuensi diatasnya.
b2 : frekuensi interval dikurangi frekuensi dibawahnya.
(Sudjana, 2002: 77)
f. Menghitung Median dengan Rumus :
æ 1 2n - F ö
÷÷
Me = b + pçç
f
è
ø
Keterangan :
b : batas bawah kelas median
p : panjang kelas median
n : ukuran sampel
F : jumlah semua frekuensi
F : frekuensi kelas median
(Sudjana, 2002: 79)
g. Menghitung Standar Deviasi dengan rumus :
nå f1x1 - (å f1x1 )
2
S2 =
1
n(n -1)
2
s = s2
Dimana :
S : standar deviasi
S 2 : varians (simpangan baku (s) adalah skor dari varians)
x1 : tanda kelas
f1 : frekuensi
n :
åf
1
(Sudjana, 2002: 95)
2. Melakukan uji persyaratan analisis data sebelum mencari regresi ganda,
dengan langkah-langkah perhitungan sebagai berikut :
61
a. Uji normalitas ketiga variabel penelitian dengan rumus Chi Kuadrat, yaitu
sebagai berikut :
x2 = å
( f0 - fh)2
fh
fo : frekuensi yang sesungguhnya
fh : frekuensi yang diharapkan
(Sutrisno Hadi, 1983: 317)
b. Uji linearitas X 1 terhadap Y, dengan menetapkan harga sebagai berikut :
å
1) JK G =
X1å Y
2
-
(å Y ) 2
n1
2) JK TC = JKres - JK G
3) dK TC = K - 2
4) DK G = N - K
5)
JK
TC
JK G
dK TC
=
6) RJK G =
fhit =
7)
JK G
dK G
RJK TC
RJK G
Dimana :
JK G : menyatakan jumlah kuadrat galat
JK TC
dK
: menyatakan jumlah kuadrat tuna cocok
: derajat kebebasan (setiap variabel mempunyai kebebasan yang
berbeda-beda).
Tuna Cocok (TC) = K - 2
Galat (G) = n - K
RJK TC : menyatakan rata-rata jumlah kuadrat tuna cocok
RJK G
: menyatakan rata-rata jumlah kuadarat galat.
(Sudjana, 1992: 17)
62
c. Uji Independensi dengan korelasi sederhana antara X 1 dan X 2 , dengan
rumus:
rX1X2 =
NåX1X2 -(åX1)(åX2 )
{NåX -(åX ) }{NåX -(åX )
2
1
1
2
2
2
2
}
(Sudjana, 2002: 369)
3. Melakukan Pengujian Hipotesis
a. Menentukan persamaan regresi sederhana dengan menggunakan rumus:
Yˆ = a + bX1
Keterangan :
a = konstanta
b = elastisitas variabel
X1 = variabel X1
(Djarwanto, 2001 : 185)
b. Menghitung korelasi sederhana antara variabel yang ada dengan rumus
korelasi product moment Pearson untuk menguji hipotesis pertama dan
kedua sebagai berikut :
r xy =
NåXY - (åX)(åY)
{NåX 2 - (åX )2}{NåY 2 - (åY)2
(Suharsimi Arikunto, 2006: 170)
Keterangan :
rxy : koefisien korelasi
N
: jumlah responden
X
: skor total tiap-tiap item
Y
: skor total
X 2 : jumlah kuadrat dari X
Y 2 : jumlah kuadrat dari Y
XY : jumlah perkalian dari X dan Y
Dari hasil perhitungan tersebut, kemudian dikonsultasikan dengan rtabel
kriteria pengujian:
63
§
Jika rhit > rtabel = ada korelasi antara X 1 dan X 2 .
§
Jika rhit < rtabel = tidak ada korelasi antara X 1 dan X 2 .
Adapun untuk mengetahui tingkat hubungan antara variabel dapat melihat
pada tabel klasifikasi koefisien korelasi sebagai berikut :
Tabel 4. Klasifikasi Koefisien Korelasi
Interval Koefisien
Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199
Sangat rendah
0,20 – 0,399
Rendah
0,40 – 0,599
Sedang
0,60 – 0,799
Kuat
0,80 – 1,00
Sangat kuat
(Sugiyono, 2004: 172)
c. Menguji hipotesis ketiga dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Menetukan persamaan garis regresi linier ganda dengan rumus:
Ù
Y
= a0 + a1x1 + a2x2
Koefisien-koefisien a 0 , a1 , a 2 dapat dihitung dengan rumus :
a 0 = Y - a1 X 1 - a 2 X 2
å X )(å X Y ) - (å X X )(å X Y )
=
(å X )(å X ) - (å X X )
2
a1
2
1
1
2
2
2
2
1
2
2
1
2
å X )(å X Y ) - (å X X )(å X Y )
=
(å X )(å X ) - (å X X )
2
a2
1
21
1
2
1
2
2
1
2
2
1
2
(Djarwanto, 2001: 186)
2) Menghitung koefisien korelasi antara kriterium Y dengan prediktor X 1
dan prediktor X 2 dengan rumus :
R(1,2) =
Dimana :
a1 å X1Y + a2 å X 2Y
åY
2
64
R y (1, 2) : koefisien korelasi antara Y dengan X 1 dan X 2
a1
: koefisien prediktor X 1
a2
: koefisien prediktor X 2
X 1Y
: jumlah produk antara X 1 dan Y
X 2Y
: jumlah produk antara X 2 dan Y
Y2
: jumlah kuadrat kriterium Y
(Sutrisno Hadi, 2001: 25)
3) Melakukan uji signifikasi korelasi antara kriterium Y dengan prediktor
X 1 dan X 2 dicari dengan rumus :
F=
R2 / k
(1- R2 ) /(n - k -1)
Dimana :
F : harga F garis regresi
n : menyatakan jumlah sampel
k : menyatakan banyaknya variabel bebas
R : koefisien korelasi antara kriterium dengan prediktor–
prediktornya.
(Sudjana, 2002: 385)
Hasil perhitungan tersebut dikonsultasikan dengan Ftabel kriteria
pengujian:
F > Ftabel = signifikan.
F < Ftabel = tidak signifikan.
4. Menghitung sumbangan relatif (SR %) dan sumbangan efektif (SE
%) X 1 dan X 2 terhadapY dengan rumus:
1) Sumbangan relatif (SR %) untuk X 1 dan X 2 terhadap Y dengan rumus:
Untuk X 1 :
SR % X 1 =
a 1 å X 1Y
JK reg
´ 100 %
65
SR% X 2 =
Untuk X 2 :
a1 å X 2Y
JK reg
´ 100%
(Sutrisno Hadi, 2001: 42)
2) Sumbangan efektif (SE %) X 1 dan X 2 terhadap Y dicari dengan rumus :
Untuk X 1 :
SE % X 1 = SR% X 1 ´ R 2
Untuk X 2 :
SE % X 21 = SR% X 2 ´ R 2
(Sutrisno Hadi, 2001: 46)
G. Hipotesis Statistik
Dari analisa data di atas dapat dirumuskan hipotesis statistik sebagai berikut:
1. Hipotesis pertama
H 0 = rX 1 .Y = 0 ; tidak ada hubungan antara persepsi remaja tentang
pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya
Jawa.
H 1 = rX 1 .Y > 0 ; ada hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan
adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa.
2. Hipotesis kedua
H 0 = rX 2 .Y = 0 ; tidak ada hubungan antara lingkungan sosial dengan sikap
pelestarian budaya Jawa.
H 2 = rX 2 .Y > 0 ; ada hubungan antara lingkungan sosial dengan sikap
pelestarian budaya Jawa.
3. Hipotesis ketiga
H 0 = rX 1.2 .Y = 0 ;
tidak ada hubungan antara persepsi remaja tentang
pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial secara
bersama-sama terhadap sikap pelestarian budaya Jawa.
H 3 = rX 1.2 .Y > 0 ; ada hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan
adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersama-sama
terhadap sikap pelestarian budaya Jawa.
66
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
Penelitian tentang persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan
lingkungan sosial terhadap sikap pelestarian budaya Jawa di desa Bonyokan,
kecamatan Jatinom, kabupaten Klaten, meliputi tiga macam data yaitu:
a. Persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (variabel bebas / X1) yang
berasal dari skor angket responden.
b. Lingkungan sosial (variabel bebas / X 2 ) yang berasal dari skor angket
responden.
c. Sikap pelestarian budaya Jawa (variabel terikat / Y) yang berasal dari skor
angket responden.
Ketiga data tersebut dijelaskan dalam uraian di bawah ini:
1. Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa (X1)
Pengumpulan data persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa adalah
dengan menggunakan angket. Dari hasil skor jawaban angket persepsi remaja
tentang pernikahan adat Jawa didapatkan skor tertinggi adalah 92 dan skor
terendah adalah 58 dengan rata-rata sebesar 73,9, median sebesar 74,444, modus
sebesar 75,167 dan standar deviasi sebesar 6,491 (perhitungan selengkapnya dapat
dilihat Lampiran 8). Data variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa
selanjutnya dapat dideskripsikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 5. Deskripsi Data Variabel X1
Variabel
Max
Min
Mean
Median
Modus
SD
Persepsi Remaja Tentang
Pernikahan Adat Jawa
92
58
73,9
74,444
75,167
6,49
1
66
67
Tabel 6. Penafsiran Nilai Mean Variabel X1
Interval Mean
Kualifikasi
0 – 33
Rendah
34 – 67
Sedang
68 – 100
Tinggi
Berdasarkan deskripsi data dan penafsiran nilai mean di atas, maka mean
dalam variabel X1 adalah 73,9 dan masuk dalam kualifikasi tinggi. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa masuk dalam
kualifikasi tinggi jika dibandingkan dengan skor maksimal yang masuk yaitu 100.
Data tentang persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa selanjutnya
dijadikan data interval yang hasilnya dapat dideskripsikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Variabel X1
Interval Kelas
58
63
-
68
73
78
83
88
62
67
72
77
82
87
92
Batas Nyata
Nilai Tengah
f
Persentase (%)
62,5
67,5
72,5
77,5
82,5
87,5
92,5
Jumlah
60
65
70
75
80
85
90
3
5
10
18
11
2
1
50
6
10
20
36
22
4
2
100
Dari tabel distribusi frekuensi variabel X1 di atas dapat disimpulkan bahwa
skor angket yang memiliki frekuensi tertinggi adalah skor antara 73-77. Skor
angket yang memiliki frekuensi terendah adalah skor antara 88-92. Distribusi
frekuensi variabel X1 lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik histogram sebagai
berikut:
68
Gambar 2. Grafik Histogram Variabel X1
Gambar 3. Kurva Sebaran Data Variabel X1
Gambar 3 menunjukkan bahwa hubungan harga-harga statistik sebaran
data persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa berupa mean, median dan
modus berlaku : mean < me < modus, maka kurva yang terbentuk adalah kurva
normal.
2. Lingkungan Sosial
Pengumpulan data tentang lingkungan sosial adalah dengan menggunakan
angket yang terdiri dari 19 item pertanyaan dengan lima alternatif jawaban dengan
skor 1, 2, 3, 4 dan 5. Dari skor jawaban angket lingkungan sosial didapatkan skor
tertinggi adalah 84 dan skor terendah 50, dengan rata-rata sebesar 69,5, median
sebesar 69,88, modus sebesar 71,5 dan standar deviasi (SD) sebesar 6,943
69
(perhitungan selengkapnya dapat dilihat Lampiran 8 ). Data variabel lingkungan
sosial selanjutnya dapat dideskripsikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 8. Deskripsi Data Variabel X 2
Variabel
Lingkungan Sosial
Max
Min
Mean
Median
84
50
69,5
69,88
Modus
71,5
SD
6,943
Tabel 9. Penafsiran Nilai Mean Variabel X 2
Interval Mean
0 – 31
32 – 63
64– 95
Kualifikasi
Rendah
Sedang
Tinggi
Berdasarkan deskripsi data di atas, maka mean dalam variabel X 2 adalah
69,5 dan masuk dalam kualifikasi tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
variabel lingkungan sosial masuk dalam kualifikasi tinggi jika dibandingkan
dengan skor maksimal yang masuk yaitu 95.
Data tentang lingkungan sosial selanjutnya dijadikan data interval yang
hasilnya dapat dideskripsikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 10. Distribusi Frekuensi Variabel X2
Interval Kelas
50
55
60
65
70
75
80
-
54
59
64
69
74
79
84
Batas
Nyata
54,5
59,5
64,5
69,5
74,5
79,5
84,5
Jumlah
Nilai
Tengah
52
57
62
67
72
77
82
f
1
2
10
11
13
10
3
50
Persentase
(%)
2
4
20
22
26
20
6
100
Dari tabel distribusi frekuensi variabel X 2 di atas dapat disimpulkan
bahwa skor angket yang memiliki frekuensi tertinggi adalah skor antara 70-74
sedangkan skor angket yang memiliki frekuensi terendah adalah skor antara 50-
70
54. Distribusi frekuensi variabel X 2 lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik
histogram sebagai berikut:
Gambar 4. Grafik Histogram Variabel X2
Gambar 5. Kurva Sebaran Data Variabel X2
Gambar 5 menunjukkan bahwa hubungan harga-harga statistik sebaran
data lingkungan sosial berupa mean, median dan modus berlaku : mean < me <
modus, maka kurva yang terbentuk adalah kurva negatif condong ke kanan.
3. Sikap Pelestarian Budaya Jawa
Pengumpulan data tentang sikap pelestarian budaya Jawa adalah dengan
menggunakan angket yang terdiri dari 20 item pertanyaan dengan lima alternatif
71
jawaban dengan skor 1, 2, 3, 4 dan 5. Dari skor jawaban angket sikap pelestarian
budaya Jawa didapatkan skor tertinggi adalah 91 dan skor terendah 57, dengan
rata-rata sebesar 78, median sebesar 78,688, modus sebesar 79,357 dan standar
deviasi (SD) sebesar 7,214 (perhitungan selengkapnya dapat dilihat Lampiran 8).
Data sikap pelestarian budaya Jawa selanjutnya dapat didiskripsikan dalam tabel
berikut ini:
Tabel 11. Deskripsi Data Variabel Y
Variabel
Sikap Pelestarian
Budaya Jawa
Max
Min
Mean
Median
91
57
78
78,688
Modus
79,357
SD
7,214
Tabel 12. Penafsiran Nilai Mean
Interval Mean
0 – 33
34 – 67
68 – 100
Kualifikasi
Rendah
Sedang
Tinggi
Berdasarkan deskripsi data di atas, maka mean dalam variabel Y adalah 78
dan masuk dalam kualifikasi tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel
sikap pelestarian budaya Jawa masuk dalam kualifikasi tinggi jika dibandingkan
dengan skor maksimal yang masuk yaitu 100.
Data tentang sikap pelestarian budayua Jawa selanjutnya dijadikan data
interval yang hasilnya dapat dideskripsikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 13. Distribusi Frekuensi Variabel Y
Interval Kelas
57
63
68
73
78
83
88
-
62
67
72
77
82
87
92
Batas
Nyata
62,5
67,5
72,5
77,5
82,5
87,5
92,5
Jumlah
Nilai Tengah
f
Persentase (%)
60
65
70
75
80
85
90
3
5
10
18
11
2
1
50
6
10
20
36
22
4
2
100
72
Dari tabel distribusi frekuensi variabel Y di atas dapat disimpulkan bahwa
skor angket yang memiliki frekuensi tertinggi adalah skor antara 73-77 sedangkan
skor angket yang memiliki frekuensi terendah adalah skor antara 88-92. Distribusi
frekuensi variabel Y lebih jelasnya dapat dilihat dalam grafik histogram sebagai
berikut:
Gambar 6. Grafik Histogram Variabel Y
Gambar 7. Kurva Sebaran Data Variabel Y
Gambar 7. menunjukkan bahwa hubungan harga-harga statistik sebaran
data sikap pelestarian budaya Jawa berupa mean, median dan modus berlaku :
mean < me < modus.
73
B. Uji Persyaratan Analisis
1. Uji Normalitas
Data-data tentang persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa,
lingkungan sosial dan sikap pelestarian budaya Jawa yang diperoleh dari hasil
penelitian kemudian dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji ChiKuadrat ( x 2 ). Untuk menerima atau menolak hipotesis nol ( H o ) dilakukan
dengan membandingkan x 2 hitung dengan x 2 tabel pada taraf signifikasi 5%. Jika
x 2 hitung
<
x 2 tabel
hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima.
Berdasarkan hasil uji normalitas dengan uji Chi-Kuadrat didapatkan harga-harga
x 2 hitung
yang dideskripsikan pada tabel rangkuman hasil perhitungan uji
normalitas data sebagai berikut:
Tabel 14. Rangkuman Hasil Perhitungan Uji Normalitas Data
Variabel
x 2 hitung
Persepsi Remaja Tentang
Pernikahan Adat Jawa
Lingkungan Sosial
Sikap Pelestarian Budaya
Jawa
Keputusan Uji
3,4870
x 2 tabel
(0,05; 7-3)
9,49
Sebaran Data Normal
1,8055
2,8024
9,49
9,49
Sebaran Data Normal
Sebaran Data Normal
Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa pada semua data
variabel yang
dihasilkan mempunyai distribusi atau sebaran data normal.
Sehingga ketiga data variabel tersebut dinyatakan mempunyai data yang
berdistribusi normal, jadi ketiga data variabel tersebut sudah memenuhi
persyaratan analisis pertama. (Perhitungan lengkap dapat di lihat pada lampiran
9).
2. Uji Linearitas
a. Hubungan Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa (X1) dengan
Sikap Pelestarian Budaya Jawa (Y)
Berdasarkan hasil perhitungan uji linieritas antara X1 terhadap Y yang
terdapat dalam lampiran 10, diperoleh harga Fhitung sebesar 0,988. Harga tersebut
dikonsultasikan dengan Ftebel pada taraf signifikan 5% db pembilang = k – 2 =
74
18 – 2 = 16 dan db penyebut = n – k = 50 – 18 = 32 diperoleh harga Ftabel
sebesar 1,97. Harga Fhitung dikonsultasikan dengan Ftabel. Karena Fhitung < Ftabel atau
0,988 < 1,97 maka regresi variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat
Jawa (X1) terhadap sikap pelestarian budaya Jawa (Y) adalah linier atau dapat
dikatakan bahwa uji prasyarat linieritas terpenuhi.
b. Hubungan Lingkungan Sosial (X2) dengan Sikap Pelestarian Budaya
Jawa (Y)
Berdasarkan hasil perhitungan uji linieritas antara X2 terhadap Y sebagaimana
terdapat dalam lampiran 11, diperoleh harga Fhitung sebesar 0,858. Harga tersebut
dikonsultasikan dengan Ftabel pada taraf signifikansi 5% db pembilang = k – 2
= 22 – 2 = 20 dan db penyebut = n – k = 50 – 22= 28 diperoleh harga Ftabel
sebesar 1,96. Harga Fhitung dikonsultasikan dengan Ftabel dan hasilnya
menunjukkan bahwa Fhitung < Ftabel atau 0,858 < 1,96 maka regresi variabel
lingkungan sosial (X2) terhadap Y berbentuk linier atau dapat dikatakan
bahwa uji prasyarat linieritas terpenuhi.
3. Uji Independensi
Uji independensi digunakan untuk memenuhi apakah kedua variabel bebas
saling bebas atau tidak mempengaruhi satu sama lainnya. Uji independensi variabel X1
dan X2 menggunakan rumus korelasi product moment sebagaimana terdapat pada
lampiran 12. Berdasarkan perhitungan pada lampiran 12 diperoleh rhitung sebesar
0,243. Harga tersebut dikonsultasikan dengan rtabel pada taraf signifikansi 5% dan n
= 50 diperoleh rtabel sebesar 0,279. Harga rhitung dikonsultasikan dengan rtabel hasilnya
menunjukkan bahwa rhitung < rtabel atau 0,243 < 0,279 berarti antara variabel
persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (X1) dan lingkungan soaial (X2)
tidak terdapat hubungan atau dapat dikatakan uji prasyarat independensi
terpenuhi.
75
C. Pengujian Hipotesis
1. Uji Hipotesis Pertama
Pengujian hipotesis pertama dalam penelitian ini menggunakan teknik
analisis korelasi product moment. Hipotesis pertama menyatakan ada hubungan
yang positif antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap
pelestarian budaya Jawa. Dari analisis korelasi product moment pada lampiran 14,
didapatkan nilai rX 1Y = 0,639. Hasil tersebut dikonsultasikan dengan nilai rtabel
dengan n = 50 pada taraf signifikansi 5% sebesar 0,279, jadi rX 1Y > rtabel atau
0,639 > 0,279 maka H 0 ditolak dan H 1 diterima. Berdasarkan lampiran 13,
persamaan garis regresinya adalah Ŷ = 25,544 + 0, 709 X1. Hal ini berarti
terdapat hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan
sikap pelestarian budaya Jawa.
2. Uji Hipotesis Kedua
Pengujian hipotesis kedua dalam penelitian ini menggunakan teknik
analisis korelasi product moment. Hipotesis kedua menyatakan ada hubungan
yang positif antara lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Dari
analisis korelasi product moment pada lampiran 14, didapatkan nilai rX 2Y = 0,602.
Hasil tersebut dikonsultasikan dengan nilai rtabel dengan n = 50 pada taraf
signifikansi 5% sebesar 0,279, jadi rX 2Y > rtabel atau 0,602 > 0,279, maka H 0
ditolak dan H 1 diterima. Berdasarkan lampiran 13, persamaan garis regresinya
adalah Ŷ = 34,163 + 0,626 X2. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 11.
3. Uji Hipotesis Ketiga
Pengujian hipotesis ketiga dalam penelitian ini menggunakan teknik
analisis regresi linier ganda dan korelasi ganda. Hipotesis ketiga menyatakan ada
hubungan yang positif antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan
lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Pengujian hipotesis
ketiga adalah sebagai berikut:
76
1) Menghitung Persamaan Garis Regresi Linier Ganda
Berdasarkan hasil perhitungan persamaan garis regresi linier ganda pada
lampiran 13, diperoleh a 0 = 0,70849, a1 = 0,5814, dan a 2 = 0,4939. Dari hasil
^
tersebut, persamaan garis regresinya adalah Y = 0,70849 + 0,5814 X 1 + 0,4939 X 2 .
Persamaan garis regresi tersebut berarti bahwa sikap pelestarian budaya Jawa (Y) akan
meningkat sebesar 0,5814 untuk setiap peningkatan sikap pelestarian budaya Jawa (X1)
dan juga akan meningkat sebesar 0,4939 untuk setiap peningkatan lingkungan sosial
(X2).
2) Koefisien Korelasi Ganda Antara X1 dan X2 dengan Y
Hasil korelasi ganda antara X1 dan X2 dengan Y sebagaimana terdapat
dalam lampiran 16, diperoleh harga Ry(1, 2 ) sebesar 0,7877, sedangkan koefisien
determinasi (R2 ) sebesar 0,6205. Ini menunjukkan bahwa 62,05 % variasi yang
terjadi pada sikap pelestarian budaya Jawa dapat dijelaskan oleh persepsi remaja
tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial, melalui regresi
^
Y = 0,70849 + 0,5814 X 1 + 0,4939 X 2 . Sisanya sebesar 37,95 % dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain diluar penelitian.
3) Uji Signifikansi Koefisien Korelasi Ganda Antara X1 dan X2 dengan Y
Hasil perhitungan uji signifikansi koefisien korelasi ganda antara variabel
persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (X1) dan lingkungan sosial (X2)
dengan sikap pelestarian budaya Jawa (Y) diperoleh Fhitung sebesar 38,424. Harga
tersebut dikonsultasikan dengan harga Ftabel pada db pembilang = k = 2 dan dk
penyebut = n – k – 1 = 50 – 2 – 1 = 47 pada taraf signifikansi 5% diperoleh Ftabel
sebesar 3,20. Karena Fhitung > Ftabel atau 38,424>3,20 maka H 0 ditolak dan sebagai
konsekuensinya H 1 diterima. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan antara
variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (X1) dan lingkungan sosial
(X2) dengan sikap pelestarian budaya Jawa (Y).
77
5. Sumbangan Relatif (SR %) dan Sumbangan Efektif
X1 dan X2 Terhadap Y
1) Sumbangan relatif X1 dan X2 terhadap Y
Untuk X 1 :
SR % X 1 =
Untuk X 2 : SR% X 2 =
a1 å X 1Y
JK reg
a1 å X 2Y
JK reg
´ 100 % =
´ 100% =
0,58 ´ 1571,44
´ 100% = 53,98 %
1692,53
0,4939 ´ 1577,52
´ 100% = 46,03%
1692,53
2) Sumbangan efektif (SE %) X 1 dan X 2 terhadap Y terlebih dahulu dicari efektif
garis regresi dengan rumus :
SE =
JK reg
JK tot
´ 100% =
1692,53
´ 100% = 62,05%
2727,68
Sumbangan efektif (SE %) X 1 dan X 2 terhadap Y adalah sebagai berikut:
Untuk X 1 :
SE % X 1 = SR% X 1 ´ R 2 = 53,98 % x 0,6205 = 33,49 %
Untuk X 2 :
SE % X 21 = SR% X 2 ´ R 2 = 46,03 % x 0,6205 = 28,56 %
Dari perhitungan di atas variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat
Jawa (X1) mempunyai sumbangan efektif sebesar 33,49 % terhadap sikap
pelestarian budaya Jawa. Variabel lingkungan sosial (X2) mempunyai sumbangan
efektif sebesar 28,56 % terhadap sikap pelestarian budaya Jawa. Jadi total
sumbangan evektif variabel persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (X1)
dan lingkungan sosial (X2) terhadap sikap pelestarian budaya Jawa (Y) adalah
sebesar 62,05 %, sedangkan sisanya 37,95 % dipengaruhi oleh variabel lain yang
tidak diteliti.
D.
Pembahasan Hasil Penelitian
1. Hubungan Antara Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa (X1)
dengan Sikap Pelestarian Budaya Jawa (Y)
Bardasarkan hasil uji hipotesis pertama dengan analisis korelasi product
moment Pearson, diperoleh nilai rX 1Y sebesar 0,639 yang masuk dalam tingkat
78
hubungan kuat. Hasil tersebut dikonsultasikan dengan nilai rtabel dengan n = 50
pada taraf signifikansi 5% sebesar 0,279, jadi rX 1Y > rtabel atau 0,639 > 0,279
berarti terdapat hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa
dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Sedangkan persamaan garis regresinya
adalah Ŷ = 25,544 + 0,709 X1. Koefisien regresi variabel persepsi remaja tentang
pernikahan adat Jawa adalah 0,709. Angka tersebut mencerminkan bahwa setiap
peningkatan persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa sebanyak satu unit
skor, maka berpengaruh terhadap peningkatan Sikap pelestarian budaya Jawa
sebesar 0,709 unit skor dengan konstanta 25,544. Sumbangan efektif variabel
persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (X1) terhadap sikap pelestarian
budaya Jawa adalah sebesar 33,49 %. Ini berarti 33,49 % sikap pelestarian budaya
Jawa dipengaruhi oleh persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa.
Dari hasil analisis data yang telah dilakukan membuktikan bahwa
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terbukti ada hubungan
antara
persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dengan sikap pelestarian budaya
Jawa. Hal ini berarti bahwa semakin baik persepsi remaja tentang pernikahan adat
Jawa, maka semakin baik pula sikap pelestarian budaya Jawa. Hasil penelitian
menyatakan adanya hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat
Jawa dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa salah
satu upaya meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa adalah dengan
memberikan pengertian tentang persepsi yang tepat dan positif mengenai
pernikahan adat Jawa. Sebagaimana dikemukakan oleh Russell H. Fazio and
Carol J. Williams dalam penelitiannya yang berjudul “Attitude Accessibility as a
Moderator of the Attitude-Perception and Attitude-Behavior Relations: An
Investigation of the 1984 Presidential Election”. Hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang berarti antara persepsi dengan sikap
pengambilan keputusan.
“Correlations Between Attitudes and Perceptions and Between Attitudes
and Voting Behavior Within High Accessibility (HA) and Low
Accessibility (LA) Groups. The number of respondents upon which any
given correlation is based is listed in parentheses. The z value refers to the
79
significance test of the difference between two independent correlation
coefficients. *p < .10. **p< .05. ***p < .01. ****p < .001”.
2. Hubungan Antara Lingkungan Sosial (X2) dengan Sikap Pelestarian
Budaya Jawa (Y)
Bardasarkan hasil uji hipotesis pertama dengan analisis korelasi product
moment Pearson, diperoleh nilai rX 2Y = 0,602 yang masuk dalam tingkat hubungan
kuat. Hasil tersebut dikonsultasikan dengan nilai rtabel dengan n = 50 pada taraf
signifikansi 5% sebesar 0,279, jadi rX 1Y > rtabel atau 0,602 > 0,279 berarti terdapat
hubungan antara lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa.
Sedangkan persamaan garis regresinya adalah Ŷ = 34,163 + 0,626 X2. Koefisien
regresi variabel lingkungan sosial adalah 0,626. Angka tersebut mencerminkan
bahwa setiap lingkungan sosial
ditingkatkan sebanyak satu unit skor, maka
berpengaruh terhadap peningkatan Sikap pelestarian budaya Jawa sebesar 0,626
unit skor dengan konstanta 34,163. Sumbangan efektif variabel lingkungan sosial
(X2) terhadap sikap pelestarian budaya Jawa (Y) adalah sebesar 28,56 %. Ini
berarti 28,56 % sikap pelestarian budaya Jawa dipengaruhi oleh lingkungan sosial.
Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, membuktikan bahwa
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terbukti ada hubungan antara
lingkungan sosial (X2) dengan sikap pelestarian budaya Jawa (Y). Hal ini
menunjukkan bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan sikap pelestarian
budaya Jawa dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Lingkungan sosial yang baik,
yang mau menghargai budaya Jawa diharapkan dapat meningkatkan sikap
pelestarian budaya Jawa. Dalam hal ini peran serta masyarakat yang baik dalam
memberikan informasi dan pengetahuan tentang budaya Jawa yang tepat sangat
diharapkan guna meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa.
Sebagaimana dikemukakan oleh Agni Era Hapsari dalam penelitiannya
yang berjudul “Hubungan Antara Lingkungan Sosial Budaya dan Pemahaman
Nilai Sejarah dengan Sikap Pelestarian Candi Borobudur” yaitu berdasarkan
perhitungan koefisien korelasi sederhana untuk hubungan variabel lingkungan
sosial budaya dengan sikap pelestarian candi Borobudur. Hasil penelitian
80
menunjukkan bahwa terdapat hubugan yang signifikan antara lingkungan sosial
budaya dengan sikap pelestarian Candi Borobudur, terbukti pada taraf signifikansi
5% dengan t hitung = 9,114 lebih besar dari t tabel = 2,39 koefisien korelasi untuk
hubungan kedua variabel adalah sebesar 0,796 dengan taksiran koefisien
determinasinya 0,634 melalui regresi y = 25,844 + 0,675 X 1 .
3. Hubungan Antara Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa (X1)
dan Lingkungan Sosial (X2) secara bersama-sama dengan Sikap
Pelestarian Budaya Jawa (Y)
Hasil analisis data untuk mencari hubungan antara variabel X1 dan X2
dengan Y diperoleh koefisien korelasi ganda Ry(1, 2 ) sebesar 0,7877 yang masuk
dalam tingkat hubungan kuat, dengan koefisien determinasi 0,6205. Ini
menunjukkan bahwa variasi yang terjadi pada sikap pelestarian budaya Jawa
dapat dijelaskan oleh persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan
lingkungan sosial secara bersama-sama sebesar 62,05 %, melalui regresi
^
Y = 0,70849 + 0,5814 X 1 + 0,4939 X 2 . Sisanya sebesar 37,95 % dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain diluar penelitian. Uji signifikansi dengan menggunakan uji
F
menghasilkan Fhitung 38,424. Karena Fhitung38,424 > Ftabel 3, 20 maka terdapat hubungan antara
persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa (X1) dan lingkungan sosial (X2)
secara bersama-sama dengan sikap pelestarian budaya Jawa (Y).
Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, membuktikan bahwa
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terbukti ada hubungan antara persepsi
remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersama-sama
dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi
remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial berpengaruh terhadap
sikap pelestarian budaya Jawa. Persepsi remaja yang tepat dan positif mengenai
pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial yang baik sangat diharapkan guna
meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa. Sehingga persepsi remaja tentang
pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial secara bersama-sama dapat
meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa.
81
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan
pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan hasil
penelitian sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa
dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Hal ini terbukti dari analisis korelasi
product moment Pearson pada taraf signifikansi ( a ) 5% dengan n = 50
diperoleh rX 1Y
=
0,639 lebih besar dari rtabel
=
0,279. Persamaan garis
regresinya adalah Ŷ = 25,544 + 0,709 X1. Koefisien regresi untuk hubungan
kedua variabel adalah 0,709. Angka tersebut mencerminkan bahwa setiap
peningkatan Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa sebanyak satu
unit skor, maka berpengaruh terhadap peningkatan Sikap Pelestarian Budaya
Jawa sebesar 0,709 unit skor dengan konstanta 25,544. Sumbangan efektif
variabel Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa (X1) terhadap Sikap
Pelestarian Budaya Jawa adalah sebesar 33,49 %. Ini berarti 33,49 % Sikap
Pelestarian Budaya Jawa dipengaruhi oleh Persepsi Remaja Tentang
Pernikahan Adat Jawa.
2. Terdapat hubungan antara lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya
Jawa. Hal ini terbukti dari analisis korelasi product moment Pearson pada
taraf signifikansi ( a ) 5% dengan n = 50 diperoleh rX 2Y
=
0,602 lebih besar
dari rtabel = 0,279. Persamaan garis regresinya adalah Ŷ = 34,163 + 0,626 X2.
Koefisien regresi untuk hubungan kedua variabel adalah 0,626. Angka
tersebut mencerminkan bahwa setiap Lingkungan Sosial ditingkatkan
sebanyak satu unit skor, maka berpengaruh terhadap peningkatan Sikap
Pelestarian Budaya Jawa sebesar 0,626 unit skor dengan konstanta 34,163.
Sumbangan efektif variabel Lingkungan Sosial (X2) terhadap Sikap
81
82
Pelestarian Budaya Jawa (Y) adalah sebesar 28,56 %. Ini berarti 28,56 %
Sikap Pelestarian Budaya Jawa dipengaruhi oleh Lingkungan Sosial.
3. Terdapat hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan
lingkungan sosial secara bersama-sama dengan sikap pelestarian budaya
Jawa. Hal ini terbukti dari analisis regresi ganda pada taraf signifikansi ( a )
5% dengan n = 50 diperoleh Fhitung = 38,424 lebih besar dari Ftabel = 3, 20.
Korelasi ganda atara variabel X1 dan variabel X2 dengan variabel Y
menghasilkan koefisien korelasi 0,7877 dengan koefisien determinasi 0,6205.
angka ini mencerminkan bahwa variansi Sikap Pelestarian Budaya Jawa dapat
dijelaskan oleh Persepsi Remaja Tentang Pernikahan Adat Jawa dan
Lingkungan Sosial secara bersama-sama sebesar 62,05 %, melalui regresi
^
Y = 0,70849 + 0,5814 X 1 + 0,4939 X 2 . Sisanya sebesar 37,95 % dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain diluar penelitian.
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas, maka dapat diambil implikasi
penelitian sebagai berikut:
1. Dengan adanya hubungan antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa
dengan sikap pelestarian budaya Jawa dapat memberi gambaran bahwa
semakin tinggi atau positif persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa,
makin tinggi pula perhatiannya terhadap sikap pelestarian budaya Jawa.
Dalam hai ini, pengetahuan dan pemahaman mengenai pernikahan adat Jawa
perlu ditingkatkan guna meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa.
2. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan
antara lingkungan sosial dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Hal ini
menunjukkan bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan sikap pelestarian
budaya Jawa dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Lingkungan sosial yang
baik, yang mau menghargai budaya Jawa diharapkan dapat meningkatkan
sikap pelestarian budaya Jawa. Dalam hal ini peran serta masyarakat yang
83
baik dalam memberikan informasi dan pengetahuan tentang budaya Jawa yang
tepat sangat diharapkan guna meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa.
3. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data menunjukkan bahwa ada hubungan
antara persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan lingkungan sosial
secara bersama-sama dengan sikap pelestarian budaya Jawa. Hal ini
menunjukkan bahwa persepsi remaja tentang pernikahan adat Jawa dan
lingkungan sosial berpengaruh terhadap sikap pelestarian budaya Jawa.
Persepsi remaja yang tepat dan positif mengenai pernikahan adat Jawa dan
lingkungan sosial yang baik sangat diharapkan guna meningkatkan sikap
pelestarian budaya Jawa.
C. Saran
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi di atas, maka dapat dikemukakan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Untuk Remaja
a. Remaja diharapkan memperbanyak membaca buku mengenai pernikahan
adat Jawa dan terus berusaha melestarikannya agar tidak punah.
b. Remaja hendaknya meningkatkan pengetahuan tentang makna filosofi
pernikahan adat Jawa ataupun nilai-nilai yang terkandung dalam upacara
pernikahan adat Jawa dengan cara terus menggali informasi darimanapun,
(internet, majalah, buku, bertanya kepada orang lain, dsb).
2. Untuk Masyarakat
a. Masyarakat hendaknya mendukung nilai-nilai tradisional sehingga dapat
meningkatkan sikap pelestarian budaya Jawa dan mewariskannya dari
generasi ke generasi.
b. Masyarakat hendaknya memberikan informasi dan pengetahuan yang
benar tentang filosofi budaya Jawa. Hal ini diharapkan dapat bermanfaat
bagi peningkatan sikap pelestarian budaya Jawa.
84
3. Untuk Pemerintah
Pemerintah hendaknya mendukung sikap pelestarian budaya daerah
khususnya budaya Jawa dengan memberi bantuan dana untuk biaya proyek
pengkajian budaya daerah. Selain itu hendaknya pemerintah memberikan
sosialisasi melalui media massa tentang pentingnya memelihara budaya
daerah karena kebudayaan daerah merupakan unsur kebudayaan Nasional.
85
DAFTAR PUSTAKA
Andjar Any. 2986. Perkawinan Adat Jawa Lengkap. Surakarta: PT.
Pabelan.
Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor : Ghalia Indonesia.
Bimo Walgito. 2005. Pengantar Ilmu Psikologi. Yogyakarta : Andi Offset.
Bintarto. 1991. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Cholid Narbuko & Abu Ahmadi. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta:
Bumi Aksara.
DEPDIKBUD. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia
E.S. Ardinarto. 1996. Hukum Adat. Surakarta : UNS Press.
Emile Durkheim. 1990. Sosiologi dan Filsafat. Jakarta: Erlangga.
Gerungan. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Hadari Nawawi. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta:
Gajah Mada University.
Hilman Hadi Kusumo. 1990. Hukum Perkawinan Adat. Bandung : PT.
Citra Adtya Bakti.
Ign. Masidjo.1995. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di Sekolah.
Yogyakarta: Kanisius.
Koentjaraningrat. 1965. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia.
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Masri Singarimbun & Sofian Efendi. 1995. Metode Penelitian Survei.
Jakarta: LP3ES.
Moertjibto dkk. 2002. Penngetahuan, Sikap, Keyakinan, dan Perilaku
Dikalangan Generasi Muda Berkenaan dengan Perkawinan
Tradisional di Kota Semarang Jawa Tengah. Yogyakarta : Badan
Pegembangan Kebudayaan Dan Pariwisata.
Mohammad Ali, dkk. 2002. Psikologi Remaja : Perkembangan peserta
didik .Jakarta : Bumi Aksara.
Moh. Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
86
Monks, F.J.,A.M.P. Knoers, & Siti Rahayu Haditono. 1991. Psikologi
Perkembangan:
Pengantar
dalam
Berbagai
Bagiannya.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Newcomb. 1965. Psikologi Sosial. Bandung: Diponegoro.
Nursid Sumaatmaja. 1981. Pengantar Studi Sosial. Bandung: Alumni.
P. Hariyono. 1994. Kultur Cina dan Jawa (Pemahaman Menuju Asimilasi
Kultural). Jakarta: Sinar Harapan.
Saifuddin Azwar. 2006. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sarlito Wirawan Sarwono. 1995. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Satuti Yamin. 1989. Seminar Wisata. Surakarta: Reksopustoko.
Singgih D. Gunarso. 1990. Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT. BPK
Gunung Mulia.
Soekanto. 1984. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Soerojo Wingnyodipuro. 1987. Pengantar & Asas-asas Hukum Adat.
Jakarta Maragung.
Sondang P. Siagian. 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Sudjana. 1996. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi Bagi para Peneliti.
Bandung: Tarsito.
______. 2002. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.
______. 2005. Metode Statistika Edisi V. Bandung: Tarsito.
Sugiyono dan Eri Wibowo. 2004. Statistika Untuk Penelitian dan
Aplikasinya dengan SPSS Ver 10. 0 For Windows. Bandung:
Alfabeta.
Suharsimi Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
_______. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
87
Sumarsono dkk. 1998. Pandangan Generasi Muda terhadap Upacara
Perkawinan Adat di Kota Jakarta Jakarta : Depdikbud Republik
Indonesia.
Sutaryadi dkk. 2001. Statistik II. Surakarta: UNS Perss
Sutrisno Hadi. 1978. Statistik II Yogyakarta. Yayasan Penerbit Fakultas
Psikologi UGM.
___________. 2000. Statistika Jilid 2. Yogyakarta: Andi Offset.
___________ . 2001. Analisis Regresi. Yogyakarta: Andi Offset.
Thomas Wiyasa. 1985. Upacara perkawinan adat Jawa. Jakarta : Sinar
Harapan.
Winarno Surakhmad. 2004. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode,
dan Teknik. Bandung: Tarsito.
Winarno Wiromidjojo. 1983. Tata Cara Perkawinan Jawa. Yogyakarta:
Proyek Javanologi BP3K.
William A. Havilland. 1993. Antropologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Jurnal :
Russell H. Fazio and Carol J. Williams. 1986. “Attitude Accessibility as a
Moderator of the Attitude-Perception and Attitude-Behavior
Relations: An Investigation of the 1984 Presidential Election”.
Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 31, No. 3,
505-514. Indiana University.
88
Download