BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Studi ini

advertisement
%$%,
3(1'$+8/8$1
/DWDU%HODNDQJ
Studi ini membahas tentang relasi antara pengusaha dan penguasa di
Kabupaten Malang. Tujuannya adalah melihat bagaimana bentuk relasi antara
pengusaha dengan penguasa berjalan di ranah lokal atau di ranah pemerintah
daerah. Politik di ranah lokal masih menjadi pilihan penulis dikarenakan saat ini
konsentrasi politik kita tengah mengalami pergeseran dari yang semula
sentralistik dan terpusat pada level nasional menuju pola desentralisasi yang
terpusat di daerah. Sehingga segala bentuk dinamika politik di level lokal menjadi
sangat menarik untuk dikaji. Lebih jauh lagi penelitian ini berupaya mengungkap
strategi apa yang digunakan oleh pengusaha untuk masuk dalam ranah politik
pemerintahan dan turut serta berkuasa menentukan arah pembangunan daerah
Kabupaten Malang. Serta bagaimana jaringan ini dapat terpelihara hingga saat ini.
Untuk mempertajam penjelasan penulis juga menambahkan pembahasan praktik
relasi pengusaha dengan penguasa pada kasus Pemilukada Kabupaten Malang
tahun 2015.
Sejatinya ranah politik dan bisnis merupakan dua hal yang berbeda.
Artinya dua ranah ini bergerak dalam ruang yang berbeda dengan orientasi yang
tidak sama. Politik berorientasi pada segala tata cara untuk meraih kekuasaan dan
mempertahankan kekuasaan. Sementara ranah bisnis beroientasi pada keuntungan
secara materiil atau keuntungan ekonomi. Namun,dalam beberapa titik pada
nyatanya keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya. Kompleksitas jaman
menjadikan garis batas antara keduanya menjadi kabur. Politik begitu akrab
dengan bisnis dan dunia bisnis begitu syarat dengan politik. Relasi bisnis dan
politik tersebut secara sederhana diklasifikasikan oleh Yoshihara Kunio (1990)
menjadi enam tipe berikut, yaitu: a) keluarga presiden, b). kapitalis birokrat, c)
1
kapitalis konco, d)politisi yang beralih menjadi kapitalis, e) kapitalis yang
beralih menjadi politisi, dan f) kapitalis lain yang berkoneksi pemerintah. 1
Konteks sejarah menunjukkan bahwa relasi antara pengusaha dan politisi
di Indonesia telah terjalin sejak lama. Pada masa orde baru, para pengusaha kita
memiliki kedekatan khusus dengan pemerintah khususnya dengan presiden.
Dalam banyak literature disebutkan bahwa pada masa itu Soeharto telah berhasil
membangun kerajaan politik sekaligus kerajaan bisnisnya. Beberapa analis politik
menyebut Soeharto membentuk sebuah oligarki politik. Yang dimaksud oligarki
sendiri oleh Jeffery Winters adalah “oligarchy is defined by the politics of wealth
defense”2.Kurang lebih artinya adalah oligarki sebagai sebuah politik
mempertahankan kekayaan atau kesejahteraan.
Selanjutnya, hasil studi Vedi Hadiz menunjukkan bahwa Soeharto telah
membentuk oligarki politik yang terdiri dari anggota militer, pengusaha cina,
beberapa pengusaha pribumi, sekaligus kerajaan bisnis yang dibangun oleh anakanaknya. 3 Diantarnya adalah perusahaan produsen kayu lapis yang diketuai oleh
Bob Hasan, Liem Sioe Liong pemilik Salim Group, keluarga Ryadi pemilik
Lippo. Kedua anak Soeharto yakni Bambang Tri Hatmojo yang memiliki
perusahaan Bimantara yang meliputi perbankan, perdagangan, gas alam,
telekomunikasi dan produksi otomotif. Semantara Tomy Soeharto memiliki
Humpuss yang bergerak dalam bidang insdutri, termasuk angkutan udara,
otomotif, supermarket, dan distribusi komunitas. 4
Kondisi tersebut tidak jauh berbeda pasca jatuhnya rezim orde baru dan
masuknya era reformasi. Oligarki tetap bertengger dalam perpolitikan kita.
1
Yoshihara Kunio. 1991. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. hlm. 95-108
Michele Ford and Thomas B. Pepinsky (ed), 2014. Beyond Oligarchy. USA: Cornell Southeast Asia
Program Publik ation. hlm. 15
3
Vedi R Hadiz.2005. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta:
LP3ES
4
Ibid., hlm. 126; 187
2
2
Reformasi tak mampu mengubah tatanan politik oligarki meski rezim telah
terganti. Seperti yang diungkapkan oleh Winters yang menyatakan bahwa:
“Oligarchs have the money, media empires, network, and positions in the parties
(or the resources to create new ones) thath allow them to dominate the new
democratic syste, and pursue strategies of wealth defense outside the political
theater.”Kurang lebih artinya adalah: “oligarki mempunyai uang, kerajaan
media, jaringan, dan posisi dalam partai (atau sumber daya untuk membuat
partai baru) yang memungkinkan mereka untuk mendominasi sistemdemokrasi
baru dan mengejar strategi pertahanan kekayaan di luar panggung politik. 5
Dengan kata lain selama oligarki masih memiliki sumber daya yang cukup
mereka akan tetap ada meskipun rezim berganti seperti kondisi saat ini.
Kondisi ini terbukti ketika pasca reformasi 1998 dimana panggung politik
kita pada level nasional telah dihiasi oleh waja-wajah pengusaha. Meskipun
sebagian dari mereka memiliki latar belakang politik yang kuat. Namun mereka
juga memiliki jaringan usaha yang sangat besar. Dari hasil studinya, Winters
berhasil memetakan beberapa politisi yang menguasai bisnis khususnya bisnis
dibidang media dan bisnis-bisnis lainnya. Seperti yang terlihat pada tabel berikut:
3ROLWLVL
Aburizal
Bakrie
Dahlan
Iskan
Susilo
Bambang
Yudoyono
5
7DEHO
3ROLWLVLGDQ-DULQJDQ2OLJDUNLQ\DGL,QGRQHVLD
3HQGXNXQJ
0HGLD
3HUXVDKDDQ/DLQ
2OLJDUNL
Sendiri
TVOne, ANTV, Bakrie Group
Visi Media Asia,
VivaNews.com
Jawa Pos Group Fangbian
Iskan
(Radar,
TV Corporindo (FIC)
Network)
Budi
Media
Nusa Sampoerna
Sampoerna,
Perdana
(Jurnal Group,
Lippo
Sunaryo
Nasional), Trans Group,CT Group
Sampoerna,
Crop (Trans Tv, (Bank
Mega,
Ramadhan
Trans
7), Trnas
Property,
Ibid., hlm. 19
3
$ILOLDVL3HPLOLN
3DUWDL3ROLWLN
Golkar
Demokrat
Demokrat
Pohan,
Chairul
Tanjung,
James Roady
(Pether
Gonta)
Surya
Paloh
Sendiri
Prabowo
Hasim
Brothers
Wiranto
Hary
Tanoesodibjo
(sebelum
mendirikan
partai sendiri)
Megawati
Taufik
Kiemas,
Arifin
Panigoro
Jusuf
Kalla
Sendiri
Detik.com, Lippo Transmart)
Media Berita Satu
Media Holdings
(suara
pembaharuan,
Jakarta
globe,
investor
daily,
beritasatu.com)
Metro Tv, Media Papandayan
Indonesia
Hotel,
Bali
Intercontinental
Hotel,
Seraton
Media
Hotel,
PT.Surya
Persindo, dll
Nusantara Energy
Group, PT. Kertas
Nusantara,
PT.
KIani
Kertas,
PT.Belantara
Pusaka, dll
MNC
Groups, RCTI, Global TV,
MNC TV, Sindo
Radio,
Seputar
Indonesia,
Okezone
-
Nasional
Demokrasi
(Nasdem)
Gerakan
Indonesa Raya
(Gerindra)
Hati
Nurani
Rakyat (Hanura)
Partai
Demokrasi
Indonesia
Perjuangan
(PDIP)
Kalla Group: PT. Golkar
Bumi Karsa, PT.
Bumi
Sarana
Utama, PT. Kalla
Inti Karsa, dll.
-
Sumber: Jeffry Winters, Oligarchy and Democracy in Indonesia dalam Michele
Ford dan Thomas B, Pepinsky (ed),Beyond Oligarchy, 2014
Nama-nama yang tertulis dalam tabel tersebut adalah mereka yang
beberapa kali muncul dan terpilih dalam bursa Pilpres selama periode 2004 dan
2009. Fakta ini semakin menguatkan argumen bahwa dunia politik kita sangat
erat dengan pengusaha. Bahkan Pilpres 2014 dimenangkan oleh pasangan
4
pengusaha Jokowi dan Jusuf Kalla. Sebelum terjun dalam politik Jokowi adalah
pengusaha furniture dari Kota Solo. Sementara Jusuf Kalla adalah pengusaha
sukses dari Sulawesi yang memiliki jaringan perusahaan yang besar di berbagi
daerah di Indonesia. Selain itu, pengusaha juga banyak ditemui pada lembaga
legislatif. Tercatat sebesar 44,6% anggota DPR RI memiliki latar belakang
pengusaha. 6
Tidak jauh berbeda dengan level nasional, relasi antara pengusaha dan
politisi juga terjalin di ranah lokal. Pemilu masih dijadikan salah satu isntrumen
yang paling kuat untuk membagun relasi. Jika di ranah nasional relasi dibangun
melalui Pilpres dan Pileg maka di level lokal relasi tersebut terjalin melalui
pemilukada. Bahkan beberapa kepala daerah terpilih di Indonesia berasal dari
kalangan pengusaha. Seperti yang terlihat pada tabel berikut:
7DEHO
'DIWDU3HQJXVDKD7HUSLOLK6HEDJDL.HSDOD'DHUDKGDQ:DNLO.HSDOD'DHUDK
No
1
6
Nama
pengusaha
I Wayan
Geredeg
2
Joko Widodo
3
Herry Zudianto
4
Haeny Relawati
Rini Widyastuti
UsahaYang Dimiliki
Jabatan
-PT. Arsa Buana
Manunggal (ABM)
-Direktur CV Karya
Dharma
-CV Singarsa
Bidang Ekspor, Pengusaha
Mebel
Pengusaha Batik Margaria
Group
Pengusaha SPBU
Bupati Karang
Asem
20052010
Periode
II
20102015
Walikota Solo
20052010
20012006
20012006
20102012
20062012
20062011
Walikota
Yogyakarta
Bupati Tuban
Periode I
___,2013. “Tercatat 44,6% Pengusaha Terjun ke Politik“ yang diakses melalui lama
http://www.beritamoneter.com/tercatat-446-pengusaha-terjun-ke-politik/ pada 3
Oktober 2015 pukul 06.17
5
5
Ikmal Jaya
6
Rina Iriani
7
Danar
Rahmanto
Mukti Agung
Wibowo
8
-Pengelola PO Dewi Sri
-Bus Angkutan Bumi
Serpong Damai, Kemang
Pratama, Lippo Karawachi,
Bintaro Jaya, Bukit Sentul
(Anak Ismail dan
Rokhayah)
Pengusaha Salon
Pengusaha otobus Timbul
Jaya
Direktur PO Dewi Sri
(Anak Ismail dan
Rokhayah)
Pemilik Yayasan Sekolah
(SD Global Islamic School)
Pengusaha Kesehatan
9
Buyar Winarso
10
11
Haryanti
Sutrisno
Saiful Illah
12
Idza Priyanti
13
Budi Budiman
14
Dede Sudrajat
PO Bus Dewi Sri
(Anak Ismail dan
Rokhayah)
Pengusaha Group
Mayasari, PO Bus Doa Ibu,
Mal, dan Showroom
Pengusaha otobus
15
Abah Anton
Pengusaha Tetes Tebu
Pengusaha Tambak
16
Mustofa Kamal Pengusaha Penggilingan
Pasa
Pasir Batu
Sumber: Ira Permata Sari (2014)7
Walikota
Tegal
20092014
-
Bupati
Karanganyar
Bupati
Wonogiri
Wakil Bupati
Pemalang
20032008
20102015
20102015
20082013
-
Bupati
Kebumen
Bupati Kediri
20102015
20102015
20102015
20122016
-
Walikota
Tasikmalaya
20132018
-
Wakil walikota
Tasikmalaya
Walikota
Malang
Pilbub
Mojokerto
20132018
20132018
20102015
-
Bupati
Sidoarjo
Bupati Brebes
-
20162021
20162021
-
20162021
Data tersebut telah menunjukkan betapa besar minat para pengusaha di
tingkat daerah untuk dapat berkiprah dalam dunia politik. Sedikitnya terdapat dua
jalan yang dapat ditempuh oleh pengusaha untuk masuk dalam dunia politik.
Pertama, mereka memilih terjun langsung dalam dunia politik dengan
mencalonkan diri dalam pemilu baik Pileg, Pilpres, maupun Pemilukada.
7
Ira Permata Sari . “Kepala Daerah: Dari Pengusaha ke Penguasa Daerah” dalam Muhtar Haboddin
(ed). 2014. Dinamika Pemerintahan Lokal. Malang: Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP
Universitas Brawijaya
6
Kedua,mereka memilih di belakang layar yaitu sebatas mendukung pasangan
calon tertentu dalam pemilu. Mereka berperan sebagai tim sukses, penyandang
dana.sponsor atau sebagai broker.
Jenis pengusaha yang kedua inilah yang kerap luput atau kurang mendapat
perhatian. Sosok mereka yang berada di belakang layar menjadikan posisi mereka
kurang diperhatikan. Padahal sejatinya dalam beberapa kasus sosok pengusaha
semacam ini memiliki pengaruh yang kuat dalam politik kita. Ketika banyak
pengusaha menjatuhkan pilihan untuk tampil langsung dalam bursa politik kita
bukan berarti pengusaha yang berada di belakang layar tidak memiliki tujuan
politik. Berada di belakang layar dapat kita baca sebagai sebuah pilihan politik
tersendiri bagi sebagian pengusaha. Strategi dan cara mereka berpolitik menjadi
menarik untuk dilihat.
Ketika membicarakan persoalan pengusaha dan politisi kita selalu terjebak
pada tokoh-tokoh pengusaha yang sekaligus menjadi politisi seperti Hari Tanoe
Sudibjo, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, dll. Hal ini membuktikan bahwa kajian
politik terkait dengan pengusaha dan politik masih cukup sempit. Artinya ada
fenomena lain yang luput dari perhatian khalayak umum terkait dengan persoalan
pengusaha dan politik. Untuk itu penelitian mengenai pengusaha dan politik
sudah seharusnya
diberikan warna baru dengan menggeser kajian pada para
pengusaha yang bermain dalam ranah politik dengan cara berdiri di belakang
layar.
Berangkat dari argumentasi tersebut, penulis pada akhirnya memilih untuk
melihat pengusaha di Kabupaten Malang yang memiliki pengaruh kuat dalam
politik dan pemerintahan di Kabupaten Malang. Namun, ia tidak berperan ganda
sebagai politisi atau pejabat di Kabupaten Malang.
Artinya secara formal
pengusaha tersebut tidak menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan.
7
Namun, akibat relasinya yang besar dengan pemerintah kemudian mampu
memberikan porsi untuk pengusaha dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan.
Munculnya jenis pengusaha yang kedua tersebut dalam dinamika politik
Kabupaten Malang telah menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk
diteliti.Terdapat tiga fakta terkait dengan adanya relasi antara pengusaha dengan
penguasa di Kabupaten Malang yang pada akhirnya melatarbelakangi penulis
mengambil tema penelitian ini. Ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, pengusaha mememiliki pengaruh yang sangat besar dalam
dinamika politik di Malang Raya. Sebagai buktinya pada Pemilukada Kota Batu
kemenangan Edy Rumpoko tidak terlepas dari peran besar pengusaha STR
pemilik salah satu tempat wisata besar di Kota Batu. Selanjutnya kemenangan
Anton Sutiaji pada Pemilukada Kota Malang juga tidak lepas dari peran beberapa
pengusaha lokal Malang seperti GFR dan IK. 8
Kedua, khusus untuk Kabupaten Malang sosok pengusaha local IK tampil
secara kuat dan dominan dalam pengaruhnya terhadap jalannya politik dan
pemerintahan.
Kiprah IK sedikitnya dapat dilihat dalam dua hal, yakni
kemampuan IK dalam mengakses proyek pemerintah, dan juga posisinya yang
bertindak sebagai salah satu penyumbang dana kepada paslon pada Pemilukada
Kabupaten Malang tahun 2015.
Ketiga, munculnya pengusaha-pengusaha kelas kakap dalam kontestasi
politik Kabupaten Malang bukanlan tanpa alasan yang kuat. Kabupaten Malang
adalah salah satu kabupaten yang memiliki potensi besar untuk berkembang.
Mengikuti jejak daerah sekitarnya Kota Batu dan Kota Malang yang sudah
berkembang lebih dulu, Kabupaten Malang disinyalir akan mengalami
peningkatan pembangunan dalam berbagai sektor. Peluang pembangunan
8
Wawancara dengan NGST pada 11 Maret 2016
8
ekonomi semakin terbuka manakana sektor perekonomian mulai seimbang antara
beberapa sektor. Tidak lagi bertumpu secara penuh pada sektor ekonomi primer
(pertanian, peternakan, perikanan) namun sudah terlihat adanya potensi peluang
ekonomi pada sektor jasa dan industri. Menurut data dari Kantor Penanaman
Modal Kabupaten Malang tercatat sektor pertanian mencapai angka 29,15%,
sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 23,82% dan sektor industry
sebesar 19,71%. 9 Kondisi ini sangat memungkinkan adanya peningkatan
penanaman modal di Kabupaten Malang sehingga membuka peluang masuknya
kalangan pengusaha.
Perkembangan ekonomi Kabupaten Malang yang membaik menjadi salah
satu peluang ekonomi bagi para pengusaha untuk meningkatkan keuntungan
materiil mereka. Dibangunnya relasi dengan pemerintah kemudian menjadi
penting untuk masuk dalam lingkungan ekonomi di daerah tersebut. Bahkan
Indonesia Corruption Watch mencatat bahwa 70% anggota HIPMI (Himpunan
Pengusaha Muda Indonesia) memiliki akses terhadap APBN dan APBD. 10
Sementara itu, pemilukada banyak dipilih oleh pengusaha sebagai pintu
masuk ke dalam lingkungan politik. Dari banyak penelitian menyimpulkan bahwa
tingginya biaya pemilukada menjadi faktor utama masuknya kalangan pengusaha
ke dalam politik. Relasi kemudian terbangun antara pengusaha dan penguasa yang
memiliki motif yang berbeda namun saling menguntungkan sehingga membentuk
sebuah hubungan timbal balik yang bersifat mutulasime. Karena sifatnya hanya
sebagai pintu masuk maka relasi antara pengusaha dan penguasa kemudian
terjalin secara berkelanjutan. Artinya proses ini tidak berhenti ketika pemilukada
bearkhir, namun terus berlanjut dan dipelihara oleh masing-masing pihak untuk
melindungi kepentingan masing-masing.
9
Website
Kabupaten
Malang
yang
diakses
melalui
http://kpm.malangkab.go.id/index.php?kode=36 pada 20 Desember 2015 pukul 08.15
10
http://antikorupsi.info/
9
laman
Keberlangsungan hubungan tersebut kemudian membentuk sebuah relasi
yang cenderung mengarah pada relasi patronase. Selain membentuk sebuah
oligarki politik, relasi antara bisnis dan politik di Indonesia juga banyak terjalin
dalam sebuah relasi patronase. Penelitian terbaru Muhammad Kamil (2015) 11
misalnya melihat relasi antara Relasi Kuasa antar Elit dalam Kebijakan Reklamasi
Teluk Benoa Tahun 2013-2015relasi patronase ini terjadi didasari oleh
kepemilikan sumber daya yang tidak seimbang antara keduanya sehingga
dibutuhkan untuk menjalin relasi guna melengkapi kebutuhan masing-masing
pihak.
Konsep patronase secara sederhana dimaknai sebagai sebuah relasi yang
mendudukan salah satu pihak sebagai patron dengan posisi yang lebih tinggi dan
pihak lainnya menjadi klien yang memiliki posisi dibawahnya. Dalam konteks
pengusaha dan penguasa di Kabupaten Malangkasus seperti ini terjadi manakala
terlihat adanya kecenderungan aktor pengusaha lebih kuat dibandingkan dengan
penguasa. Sehingga relasi tersebut memiliki kecenderungan dengan relasi
patronase.
Hal ini diperkuat dengan fakta menarik terkait dengan adanya upaya
pengusaha menjalin relasi dengan pemegang kekuasaan lain selain kepala daerah.
Sehingga dalam studi ini penulis cenderung menggunakan istilah penguasa. Hal
ini dikarenakan jaringan relasi antara pengusaha dengan oknum pemerintahan
melebar hingga oknum birokrasi, oknum militer, oknum legislatif hingga
masyarakat sipil. Relasi ini terjalin menjadi sebuah jaringan patronase yang
berkembang dan melibatkan banyak aktor. Hubungan timbal balik yang dilandasi
oleh motif ekonomi dan politik menjadi sebuah fenomena menarik yang bisa
dikaji dari penelitian ini. Terlebih lagi dengan segala upaya yang dilakukan untuk
memelihara jaringan tersebut. Dari pemaparan tersebut pada akhirnya terdapat
11
Tesis: Muhammad Kamil. 2015. “Politik dan Bisnis di Provinsi Bali: Membongkar Relasi Kuasa
antar Elit dalam Kebijakan Reklamasi Teluk Benoa Tahun 2013-2015”.
10
kekosongan terkait perlu diketahuinya bentuk relasi antara pengusaha dan
penguasa di tingkat daerah khususnya di Kabupaten Malang. Serta lebih jauh
perlu diketahui pula bagaimana relasi ini bekerja untuk memenuhi kebutuhan
masing-masing pihak dan untuk memlihara relasi antara keduanya.
5XPXVDQ0DVDODK
Dari pemaparan latar belakang
tersebut, studi ini bermaksud untuk
menjawab pertanyaan tentang: “Bagaimana bentuk relasi antara pengusaha dan
penguasa di Kabupaten Malang?”
7XMXDQGDQ0DQIDDW3HQHOLWLDQ
Adapun tujuan dari penelitian ini bermaksud untuk:
a. Mengetahui bentuk relasi yang dibangun antara pengusaha dan penguasa dalam
dinamika politik di Kabupaten Malang
Sementara itu manfaat yang diharapkan dapat dihasilkan dari studi ini adalah:
a. Secara teoritis penelitian ini diharapakan dapat menambah hasanah ilmu
pengetahuan khususnya dalam kajian tentang politik lokal, relasi bisnis dan
politik, desentralisasi, serta demokrasi lokal dan pemilukada.
b. Secara praktis penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada
setiap pembaca terkait praktik nyata yang terjadi dalam relasi antara pengusaha
dan penguasa di tingkat daerah.
/LWHUDWXUH5HYLHZ
Dalam kajian politik di Indonesia, studi tentang relasi antara pengusaha
dan politik telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Sepanjang eksistensi
politik di Indonesia khususnya dimulai pada masa orde baru telah terjalin relasi
tersebut antara Soeharto dengan orang-orang disekitarnya. Beberapa peneliti telah
berhasil dengan sangat baik menjelaskan bangunan relasi tersebut.
11
Robison (dalam Vedi Hadis, 2005: 119-120) menjelaskan bahwa para
jendral yang memiliki kedekatan khusus dengan Soeharto menguasai beberapa
urusan penting pemerintahan. Seperti misalnya pengelolaan kehutanan, bulog,
perdagangan, dan pertamina. Para birokrat politik ini membentuk suatu link dan
kerjasama dengan para pengusaha berupa kontrak-kontrak, lisensi, kredit bank
negara , dan lain-lain. Hubungan ini bersifat simbiosis dimana para birokrat
memberi jalan pengusaha untuk mengakses ekonomi dari sumber-sumber negara,
disisi lain para pengusaha menyediakan dana untuk kepentingan politik para
birokrat.
Tidak hanya Soeharto bahkan para pejabat disekitar Soeharto kemudian
juga membentuk keluarga bisnis dan politik untuk mencapai keuntungan dari
sumber-sumber negara. Robison menyebutkan beberapa nama diantaranya adalah
Mantan Dirut Pertamina Ibnu Sutowo dan Setneg Ginandjar Kartasasmita.
Meskipun tak sepopuler keluarga Cendana (keluarga Soeharto) namun mereka
juga membentuk keluarga bisnis politik seperti Soeharto (Hadiz, 2005).
Praktik oligarki mengalami masa kejayaan pada tahun 1986 dan
seterusnya mereka mengamankan bisnis-bisnis nya melalui permainan kebijakan
oleh negara. Misalnya kebijakan untuk mencabut monopoli impor dan memacu
sektor ekspor. Monopoli sektor publik dalam hal pembamngkit daya, jalan raya,
pelabuhan, dan telekomunikasi. Vedi mengungkapkan bahwa:”sektor-sektor
ekonomi penting tetap kebal dari deregulasi. Sektor-sektor ini seringkali adalah
sektor-sektor di mana para konglomerat dan keluarga-keluarga bisnis-politis
memiliki operasi-operasi mereka yang paling menguntungkan.”(Hadiz,2005:123124)
Selanjutnya Jeferry Winters (dalam Michele Ford and Thomas B.
Pepinsky (ed),2014) secara ringkas juga menjelaskan tentang kondisi oligarki
yang dibangun pada masa Soeharto dan bagiamana kondisinya pasca turunnya
12
soeharto yakni pada era reformasi seperti saat ini. Hasil studi Winters
meunjukkan bahwa pasca orde baru kelompok oligarki di Indonesia didominasi
oleh kalangan pengusaha dari perusahaan media. Mereka membangun aliansi
dengan partai politik tertentu. Bahkan sebagain dari mereka dengan kekayaan
yang dimiliki telah membangun sendiri partai politknya.
Oligarki pada era reformasi sedikit memiliki perbedaan dengan oligarki
pada masa Soeharto. Saat ini praktik oligarki marak ditemukan dalam proses
elektoral. Berbagai praktik relasi yang terbangun antara pengusaha dan politik
menjelma pada berbegai bentuk dan dilatarbelakangi oleh beberapa faktor.
Pemilukada menjadi lahan yang paling basah bagi tumbuh suburnya oligarki.
Mahalnya biaya politik dalam pemilukada, pergeseran perilaku politik
masyarakat dari idealis menuju sikap yang pragmatis, dan berubahnya
sistempemilu
yang
mengganti
sistemproporsional
tertutup
menjadi
sistemproporsional terbuka, serta pemilihan kepala daerah oleh DPR berubah
menjadi pemilukada langsung mengakibatkan tingkat kompetensi antara pasangan
semakin tinggi. Kondisi ini secara langsung berpengaruh pada strategi
pemenangan para kandidat. AAGN Ari Dwipayana (2009) dalam studinya tentang
dimensi ekonomi dalam proses demokrasi dengan studi kasus Pemilukada Sleman
tahun 2005 memperlihatkan adanya relasi yang kuat antara biaya politik yang
tinggi dengan kecenderungan munculnya relasi antara pengusaha dengan para
kandidat. Ari Dwiayana (2009) menjelaskan bahwa:
Politik dan bisnis berada dalam proses tawar menawar yang yang
didasarkan prinsip mutualisme. Kekuatan bisnis memiliki sumber dana,
sedangkan kekuatan politik memiliki otoritas dan akses pada kebijakan.
Dalam hubungan transaktif titik temu antara keduanya akan terjadi dalam
arena electoral baik pileg, pilpres, dan pemilukada. kebutuhan kekuatan
13
politik untuk membiayai aktifitas elektoralnya akan dipenuhi oleh
kekuatan bisnis dengan investasi politiknya. 12
Relasi yang dibangun antara pengusaha dengan kandidat dipilih sebagai salah satu
cara untuk mendapatkan biaya politik. sehingga kemudian muncul istilah sponsor.
Lebih jauh lagi Edward Aspinal dan Mada Sukmajanti (2015) secara
komprehensif menjelaskan bagiamana relasi antara pengusaha dan politisi terjalin
melalui
sebuah
hubungan
patronase
dan
klientelisme
dalam
proses
elektoral.Kedua istilah ini seringkali digunakan secara bergantian. Namun secara
teoritis Edward Aspinal dan Mada Sukmajanti dalam studinya tentang politik
uang di Indonesia berusaha memberikan perbedaan dari keduanya. “Patronase
dimaknai sebagai sebuah hubungan yang merujuk pada materi atau keuntungan
lain yang didistribusikan oleh politisi kepada pemilih atau pendukung. Sementara
klientelisme
merujuk pada karakter relasi antara politisi dan pemilih atau
pendukung.” Dalam pemilukada relasi patronase yang paling umum adalah
terjalin dalam proses pembelian suara, pemberian-pemberian pribadi, pelayanan
dan aktivitas, barang-barang kelompok, pork barrel projects. Sementara
kleintelisme banyak ditemukan dalam hubungan mobilisasi pemilih dalam bentuk
tim sukses dan mesin-mesin jaringan sosial serta partai politik.
Tidak hanya pada pemilukada, patronase dan klientelisme juga terjadi ada
pemilihan legislatif (Pileg). Sepanjang Pileg 2014 beberapa peneliti telah berhasil
memotret praktik patronase dan klientelsime di beberapa daerah di Indonesia.
Diantarnya adalah Ibrahim (2015) M. Mahsun (2015) Gandung Ismanto dan Idris
Toha (2015) Caroline Pascarina (2015) Marzuki Wahid (2015) Rubaidi (2015)
dan Rudi Rohi (2015). Studi tersebut menyajikan fakta bahwa praktik patronase
dan klientelisme tumbuh subur dan menjadi trend baru dalam pemilu kita.
Patronase ditekankan pada beberapa kegiatan yang banyak ditemukan adalah
12
AAGN Dwipayana. 2009. “Demokrasi Biaya Tinggi: Dimensi Ekonomi Dalam Proses Demokrasi
Elektoral di Indonesia Pasca Orde Baru.” JSP Vol. 12 Nomor 3, hlm, 257-390
14
praktik pemberian sembako, sumbangan untuk pembangunan infrastruktur, dan
bentuk pemberian barang yang lainnya.
Sementara klientelisme dibentuk dalam rangka melakukan mobilisasi
politik dengan pembentukan jaringan tim sukses yang terstruktur maupun tidak
terstruktur. Tim sukses tersebut terdiri dari tim dari partai politik, broker, dan para
relawan. Berbeda dengan patronase yang hanya bersifat sementara, artinya
masyarakat diberikan barang atau sumbangan kemudian mereka diminta untuk
memberikan suaranya pada saat pemilu. Dan hubungannya tidak berlanjut setelah
pemilu selesai. Klientelsime lebih bersifat berkesinambungan, artinya jaringan ini
akan tetap terjalin
hingga para caleg tersebut duduk pada kursi legislatif.
Misalnya pemberian proyek atau penyaluran dana aspirasi yang menguntungkan
para tim sukses. (Edward Aspinal dan Mada Sukmajanti (ed), 2015)
Kajian tentang hubungan patronase juga telah dijelaskan oleh Ahimsa
Putra (1988). Dengan menggunakan teori ptaronase dari Jame Scout dan
menambahkannya dengan perspektif keadaan dan budaya Ahimsa menjelaskan
tentang relasi patron-klien di Sulawesi Selatan. Penelitian ini lebih fokus pada
hubungan patronase yang lebih banyak dipengaruhi adanya kondisi budaya yang
mendukung tumbuh dan berkembangnya hubungan ini.
Lebih jauh dari hubungannya dengan proses elektoral pembahasan
mengenai relasi antara pengusaha dan calon kepala daerah dalam pemilukada
sangat erat kaitannya dengan proses demokrasi di tingkat lokal. Desentralisasi
secara langsung berdampak pada semakin beragamnya dinamika demokrasi di
tingkat lokal yang hadir dalam berbagai praktik politik dan pemerintahan.
Caroline Paskarina, Mariatul Asiah dan Otto Gusti Madung (2015) dalam salah
satu karyanya telah berhasil menyajikan beberapa potret menarik praktik
demokrasi di ranah lokal.
15
Demokrasi pada awal kemunculannya digambarkan sebagai upaya untuk
meningkatkan kebebasan dan pasrtisipasi politik warga yang kemudian
melahirkan proses-proses electoral seperti pemilu dan memunculkan institusiintitusi penopang demokrasi. Seiring berkembangnya dinamika politik kita,
demokrasi kemudian diharapkan dapat memenuhi kesejahteraan penduduk karena
beberapa praktik di daerah telah menyajikan fakta bahwa demokrasi telah dibajak
oleh elit melalui cara patronase, kartelisasi dan penguasaan elit yang
mengakibatkan demorkasi tidak merata. Beberapa hasil penelitian dari studi ini
menggambarkan betapa banyak praktik politisasi demokrasi di tingkat lokal
dalam rangka berebut kontrol atas kesejahteraan khususnya di tingkat elit. Tiga
hal penting yang berhasil mereka potret adalah soal patronase dan populisme,
strategi esklusi dan inklusi melalui strategi etnis, agama, dan kekerasan, serta
strategi aktor alternative yang semuanya digunakan dalam rangka memperoleh
kesejahteraan (Caroline Paskarina, Mariatul Asiah dan Otto Gusti Madung
(ed),2015).
Terakhir kajian tentang bisnis dan politik secara khusus juga dijelaskan
oleh Yahya A. Muhaimin (1991) dan Syarif Hidayat (2007). Yahya A. Muhaimin
melihat adanya praktik patrimonialsime dan pengaruh kebudayaan jawa dengan
watak “bapakisme”. Patriomonialisme kemudian memunculkan para pengusaha
klien yang menjalain hubungan patronase dengan para pejabat pemerintah. yan
dimaksud dengan pengusaha klien adalah individu dan perusahaan yang
tergantung pad apengusaha untuk dapat melakukan kegiatan bisnis atau peran
ekonominya. Hubungan tersebut berimplikasi terhadap kebijaksanaan ekonomi
yang menguntungkan para pengusaha klien.
Sementara itu Syarif Hidayat dengan melihat studi pada relasi bisnis dan
politik di Porvinsi Banten melihat adanya shadow state dalam praktik
pemerintahan di Provinsi Banten. dengan mengelaborasi pengaruh jawara,
pengusaha, dan penguasa Syarif Hidayat melihat adanya kontrol terhadap
16
pemerintahan oleh aktor-aktor di luar pemerintahan. Dalam kajian tersebut
disebutkan adanya pengaruh Tuan Besar (Chassan Sochib) mulai dari proses
pemilukada Provinsi Banten tahun 2001 yang kemudian berhasil meletakkan Ratu
Atut sebagai wakil Gubernur Banten pada periode 2001-2006. Pemilukada
merupakan langkah awal dibukanya invetasi politik oleh tuan besar untuk bisa
menguasai pemerintahan. Selanjutnya pengaruh tuan besar dalam pemerintahan
menghasilkan adanya praktik premanisme terhadap mega proyekk di Banten.
yang dalam salah satu praktiknya seperti adanya lelang yang hanya diadakan
secara formalitas. Karena pada akhirnya perusahaan kontraktor milik tuan
besarlah yang menguasai proyek-proyek besar di Banten.
Adanya kontrol yang kuat oleh tuan besar pada pemeirntahan di Banten
pada akhirnya menghadirkan kesimpulan bahwa pemerintah dalam hal ini
lembaga-lembaga di tingkat daerah Porvinsi banten telah memiliki kelemhan
fungsi sehingga kebijakan publik tidak lebih dari praktik persekongkolan oleh
aktor elit dengan elit diluar pemerintahan. Penguasa mempuyai jaringan informal
yang terdir dari pengusaha yang pada kenyataanya mengendalikan arah kebijakan
daerah.
Berdasarkan pemaparan beberapa studi sebelumnya tentang relasi antara
pengusaha dan politisi secara ringkas dapat dipahami bahwa relasi antara
pengusaha dan politik dapat dilihat dari berbagai sudut pandang sebagai berikut.
Pertama, dilihat dari kacamata oligarki. Kedua, patronase dan klientelisme.
Ketiga, patrimonilaisme. Keempat, shadow state, dan kelima dari sudut pandang
demokrasi lokal. Penelitian ini kemudian berupaya memberikan suatu kebaruan
dan sumbangan pemikiran yang membedakannya dengan penelitian sebelumnya.
Sedikitnya terdapat tiga hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya.
17
Pertama, penelitian ini berupaya mengungkap relasi baru dalam patronase
yang selama ini bersifat hirarkis menuju suatu hubungan yang lebih bersifat
transaksional. Penelitian sebelumnya tentang patronase dan klientelisme banyak
menempatkan posisi penguasa sebagai patron dan pengusaha sebagai klien.
Sementara studi ini berupaya menunjukkan fakta perkembangan dinamika politik
di ranah lokal yang tidak lagi menempatkan penguasa sebagai patron dan
pengusaha sebagai klien. Posisi patron bisa ditempati oleh pengusaha dengan
kekuatan modal yang ia miliki. Namun, klien dalam studi ini juga memiliki nilai
tawar yang tinggi sehingga relasi patronase lebih bersifat transaksional. Meskipun
demikian kajian ini tetap tidak menghilangkan logika awal hubungan patronase
yang menitikberatan pada hubungan yang tidak seimbang yang disebabkan oleh
perbedaan kedudukan antara patron dan klien.
Kedua, dalam sudut pandang demokrasi lokal penelitian ini berupaya
menjelaskan bagaimana elit
berupaya membajak praktik demokrasi. Jika
penelitian sebelumnya banyak fokus pada aktor elit pemerintahan maka penelitian
ini berupaya melihat relasi antara aktor pemerintahan dalam hal ini calon kepala
daerah dengan aktor non pemerintahan yakni pengusaha yang melakukan relasi
untuk membajak praktik demokrasi melalui pemilukada. Sehingga penekanan dari
studi ini yakni pada relasi diantara keduanya, tidak hanya fokus pada salah
satunya.
Ketiga, berbeda dengan patrimonialisme yang menekankan pada pengaruh
struktural dan kultural dalam memandang relasi pengusaha dan politik. Studi ini
tidak berusaha mengaitkan relasi tersebut dari adanya pengaruh kultural. Hal ini
dikarenakan secara kultur budaya bapakisme dan ptriomonialisme sudah tidak
lagi sepenuhnya relevan. Kajian ini tidak serta merta memposisikan pengusaha
sebagai klien dari penguasa sehingga menempatkannya dalam hubungan hirarkis.
Akan tetapi lebih menekenkan adanya hubungan yang saling membutuhkan yang
18
dilandasakan pada pertimbangan yang sangat rasional yakni pertimbangan
keuntungan yang akan didapat oleh keduanya.
Keempat, studi ini tidak sepenuhnya mengarah pada adanya praktik
shadow state pada praktik pemerintahan di Kabupaten Malang. Dikarenakan
posisi pengusaha tidak serta merta mengambil/membajak proses pemerintahan
disana. Adanya campur tangan kepala daerah yang cukup besar dalam relasi ini
menunjukkan bahwa negara secara formal tetap hadir dalam proses pemerintahan.
Tidak sepenuhnya aktor informal yang melaksanakan pemerintahan.
Kelima,studi ini telah menggunakan pintu masuk pemilukada untuk
membaca relasi antara pengusaha dan penguasa di Kabupaten Malang. Akan
tetapi secara lebih jauh studi ini juga telah melihat bagaimana relasi ini bekerja
dalam kesehariannya terlepas dari momen pemilukada yang telah berlangsung.
Bagaimana jaringan ini berkembang dan bekerja untuk memelihara jaringan
tersebut lebih banyak dibahas dalam studi ini.
.HUDQJND7HRULWLN
Untuk menganalisis bentuk relasi antara pengusaha dan penguasa di
Kabupaten Malang, penulis memilih teori patron-klien sebagai pisau analisis
dalam menganalisis kasusini. Sebagai teori utama, teori patron-klien akan
bertujuan untuk menjelaskan dan menjabarkan secara komprehensif terkait bentuk
relasi pengusaha dan penguasa.
A. Teori Patron-Klien
Konsep patron-klien akan digunakan untuk melihat relasi yang terjalin
antara pengusaha dan calon kepala daerah. Patronase merujuk pada pemahaman
tentang adanya seseorang yang bertindak sebagai patron dan klien dalam sebuah
relasi yang dibangun antar individu. Relasi ini tidak seperti relasi yang dijalin
pada umumnya akan tetapi memiliki kharasteritik atau kekhasan yang
19
mengakibatkan relasi tersebut bisa disebut sebagai patronase. Pada awal
kemunculannya sekitar dekade 1960-1970 konsep patron-klien digunakan untuk
menganalisa hubungan pada masyarakat petani dengan tuan tanah. Selanjutnya
pada periode 1980-1990an studi ini berkembang pada analisa tentang mobilisasi
politik yang mencakup berbagai macam segmen masyarakat, kelompok dan partai
politik. Dekade terahkhir yakni memasuki pada dekade 1990-2000 fokus
analisanya berkembang memasuki relasi yang lebih dinamis dengan fokus pada
relasi yang melibatkan masyarakat sipil, institusi formal, dan politisi.13 James
Scott mendefiniskan patronase sebagai berikut:
the patron client relationship, an exchange relationship between roles, may be
defined as a special case of dyadic (two-person) ties involving a largely
instrumental friendship in which an individual of higher socioeconomic status
(patron) uses his own influence and resources to provide protection or
benefits, or both, for a person of lower status (client) who, for his part,
reciprocates by offering general support and assistance, including personal
services, to the patron.14
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa relasi patron klien merujuk
pada hubungan antar individu yang memiliki posisi sosial ekonomi yang tidak
sama. Dimana si patron memiliki kedudukan yang lebih tinggi sehingga dapat
memberikan perlindungan pada si klien yang memiliki posisi dibawahnya, yang
kemudian si klien akan membalas berupa pemberian dukungan atau layanan
pribadi kepada si patron. James Scout memposisikan patron sebagai pemasok
barang dan jasa yang dibutuhkan oleh klien dan keluarganya untuk kesejahteraan
dan kelangsungan hidup mereka. Sementara klien disebut sebagai seseorang yang
menerima barang dan jasa tersebut yang membuatnya terikat dengan patron.15
13
Roniger dalam Mulyadi Sumarto. 2014. Perlindungan Sosial dan Klientelisme. Yogyakarta: UGM
Press
14
James Scout, 1972. “Patron-Slient Politics and Political Change in Southest Asia”. dalam American
Political Science Review, vol. 66 No.1 (91-113), hlm. 92
15
Ibid., hlm 92-93
20
lebih jauh lagi Scott menjalaskan pla perbedaan sumber daya yang
dimiliki ole patron dan klien yang akan membanu kita mengidentifkasi siapa yang
bertindak sebagai patron dan siapa yang bertindak sebagai klien. Scott
menjelaskan ada tiga sumber daya yang dimiliki oleh patron, yakni: a) their own
knowledge and skills, b) direct control of the property, or, c) indirect control of
the property or authority of others (often the public) 16Sementara itu klien
diidentifikasi oleh Scott memiliki sedikitnya tiga kemampuan sebagai berikut: a)
labor service and economic support, b) military or fighting duties, c) political
service.17
Istilah patronase kerap digunakan secara bergantian dengan istilah
klientelisme. Definisi klientelisme mirip dengan pengertian dari patronase seperti
yang didefinisikan oleh S.N Eisenstadt dan Rene Lemarchand sebagai berikut:
In its most common science usage clientelism denotes a specific type of
sosialstructure, or mode of sosialstratification. Here attention of directed
to an interstitial sosialspace, lying somewhere between the categories of
class and ethnicity, that takes into account those micro-level solidarity, or
"quasi-groups", generally referred to as patron-client ties, and whose
anatomy has been most extensively studied and dissected by
sosialanthropologist. As has been repeatedly stressed, patron-client ties
involve dyadic bonds between individuals of unequal power and
socioeconomic status; they exhibit a diffuse, particularistic, face to face
quality strongly reminiscent of ascriptive solidarities; unlike ascriptive
ties, however, they are voluntarily entered into and derive their legitimacy
from expectations of mutual benefits. Asymmetry, diffuseness and
reciprocity are basic features of the type of sosialstructure that has
become associated with political clientelism. 18
Definisi tersebut juga menekankan pada relasi individu, hubungan timbal
balik, asimetris, dan ketidakseimbangan kekuasaan. Namun mereka menambah
16
ibid., hlm. 97
ibid., hlm. 98
18
S.N Einstadt dan Rene Lemarchand. 1981. “Political Clientelism, Patronage and Development”.
Contemporary Political Sociology Vol 3. Sage Publik ation Beverly Hills London. hlm. 15
17
21
adanya perasaan sukarela antara keduanya untuk membentuk hubungan tersebut
dan berharap dapat menguntungkan satu dengan yang lainnya.
Briquet
juga
mendefinikasn
klientelsime
sebagai
“suatu
relasi
antarindividu yang memiliki status tidak setara (seorang patron dan kliennya)
yang melibatkan pertukaran timbal balik antara barang dan pelayanan
berdasarkan suatu jaringan personal yang dirasakan oleh keduanya sebagai
suatu kewajiban moral.” 19Sementara Magaloni mendefinisikan Klientelisme
“sebagai suatu relasi personal dua arah yang bersifat asimetris dan resiprokal
dimana seorang patron memberikan barang atau wujud materi lainnya yang
diperlukan oleh kliennya untuk dipertukarkan dengan loyalitas dari klien kepada
patronnya. 20
Meskipun penggunaan istilah patronase dan klientelisme kerap digunakan
secara bergantian akan tetapi untuk selanjutnya dalm studi ini akan digunakan
istilah patronase agar menghindari kerancuan dari penggunaan dua istilah
tersebut.
Dari pemaparan definisi yang disampaikan oleh beberapa ahli berikut pada
intinya terdapat tiga unsur utama dalam patron-klien yang disampaikan oleh
Scott, pertama, their basic inequality, kedua, their face to face character, and
their difuse flexibility.21Begitu juga Hicken menjelaskan bahwa klientelisme
setidaknya mengandung tiga hal: “Pertama, kontigensi atau timbale balik. Kedua,
hirarkis, ada penakanan pada relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara
19
Briquet J.L. 2007. “Clientelism.” In M. Bevir (ed), Encyclopedia of Governance, Sage Publik ation,
Thousand Oaks, pp. 95-97 dalam Mulyadi Sumarto. op.cit., hlm 27
20
Magaloni, B. 2006. Voting for Autocracy: Hegemonic Party Survival and Its Demise in Mexico,
Cambrige University Press, Cambridge, dalam Mulyadi., op.,cit. hlm. 27
21
James Scout, op.cit, hlm. 93.
22
patron dan klien. Ketiga, aspek pengulangan, pertukaran klientelistik
berlangsung secara terus menerus.” 22
Penekanan utama dari patron-klien adalah adanya ketidakseimbangan
diantara patron dan klien dalam hal sumber daya ekonomi yang ia memiliki,
ketidakseimbangan ini yang kemudian melahirkan hubungan yang bersifat
hirarkis. Akan tetapi perkembangan jaman dan perubahan struktur ekonomi serta
politik telah mempengaruhi relasi patronase di era sekarang. Hubungan patronase
saat ini telah mencapai hubungan yang lebih kompleks yang membawanya pada
bentuk pertukaran politik. Yang bergeser analisanya dari desa menuju hubungan
masyarakat kota, Pertukaran antara informasi dan sumber daya, dan bentukbentuk negosiasi dalam hal kebijakan, dan lainnya. 23
Seperti halnya dalam relasi antara pengusaha dan calon kepala daerah
boleh jadi terdapat ketidakseimbangan ekonomi antara keduanya. Akan tetapi
sedikit berbeda dengan penjelasan yang disampaikan Scout, klien dalam relasi ini
tidak diposisikan dipihak yang lemah seperti yang digambarkan oleh Scout. Klien
bisa jadi memiliki sumber ekonomi yang lebih kecil dibandingkan dengan patron
akan tetapi ia memiliki sumber daya yang lain yang dapat meningkatkan posisi
tawarnya terhadap patron. Sehingga keduanya lebih berada pada posisi yang
saling membutuhkan. Seperti yang disampaikan oleh Hopkin (dalam Hasurl
Hanif, 2009) sebagai berikut:
Socioeconomic modernization brought greater geographical mobility and
urbanization, higher level of education, the replacement of agrarian by
industrial employment and the decline of traditional rural elites. These
development weakened traditional patron-client lies, which made way for
new forms of exchange. Organized political parties, with relatively
bureaucratized structure, replaced landlord and lokal notables as patrons.
22
23
Edward Aspinall dan Mada Sukmajanti (ed), 2015. Politik Uang di Indonesia: Patronase dan
Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014. hlm. 4-5
Tina Hilgers. 2011. Clientelism and Conceptual stretching: differentiating among concept and
among analytical level. Springer Science +business Media B.V 9 July 2011.
23
Clients, enjoying higher living standards and less instinctively deferential,
demanded more immediate material benefit in exchange for their votes. In
this new, “mass party” cleintelism, patrons have to buy votes by
distributing concrete excludable benefits and favour to individual voters
or groups of voters.
Definisi ini tepat untuk menggambarkan relasi antara pengusaha dan calon
kepala daerah dalam studi ini. Modernisasi, peningkatan level pendidikan, pergantian
dari masyarakat agraris menjadi masyarakat insdutri telah membawa kita pada
pemahaman baru tentang relasi patronase. Artinya relasi patronase tidak murni
melihat klien diposisi bawah yang sifatnya merespon apa yang telah patron berikan.
Akan tetapi klien memiliki posisi tawar yang bisa ia berikan kepada patron. Selain itu
pengertian tersebut juga tepat untuk menggambarkan relasi patronase di kondisi
sosial masyarakat kelas menengah.
Konsep patronase kerap digunakan untuk melihat relasi antara majikan
dengan anak buah. Sehingga konteks sosial ekonominya juga berada pada level
masyarakat bawah dengan urusan ekonomi menjadi fokus utamanya. Atau dalam
lingkup politik patronase digunakan untuk melihat relasi antara politisi dengan
pemilih. Sementara, patronase yang dijelaskan oleh Hopkin ini akan membantu
penulis menjelaskan patronase di kalangan menengah atas yang melibatkan para
penguasa ekonomi dalam hal ini pengusaha dengan penguasa politik dalam hal ini
pejabat dan politisi.
Dalam melihat relasi antara pengusaha dengan penguasa atau politik relasi ini
cukup tepat menggambarkan bagaiaman bentuk relasi yang terjalin. Tetap pada logika
awal patronase yang menempatkan sebuah relasi yang tidak seimbag antara patron
dan klien seperti konsep awal yang disampaikan oleh Scott. Artinya ada patron yang
memiliki kedudukan lebih tinggi dari klien. Ini disebabkan karena modalitas yang
dimiliki oleh patron lebih besar ketimbang klien. Namun,dengan penambahan
penjelasan dari Hopkin mempertegas posisi kliendalam studi ini yang mana klien
juga tetap memiliki modalitas yang bisa ia tawarkan kepada patron. Kemudian yang
24
nantinya menentukan siapa yang berpihak sebagai patron dan siapa yang berpihak
sebagai klien adalah kemampuan mereka untuk mempengaruhi satu dengan yang
lainnya dan kekuatan modaliats yang mereka miliki.
Pengusaha dalam konteks ini memiliki modal ekonomi, sementara penguasa
memiliki modal politik. Dalam beberapa kasus kemudian mereka menjalin sebuah
hubungan yang bersifat recipocral atau timbal balik. Relasi terjalin terus menerus
hingga terjalin sebuah relasi yang berkelanjutan. Kemudian yang bertindak sebagai
patron adalah pihak yang memegang kendali atas relasi ini.
Jika posisi patron dan klien menggunakan indikator ekonomi sebagai penentu
boleh jadi pengusaha bertindak sebagai patron karena memiliki sumber daya ekonomi
yang lebih besar daripada calon kepala daerah. Sementara itu kepala daerah bertindak
sebagai klien karena menerima bantuan keuangan dari klien. Akan tetapi jika kita
melihat kekuasaan politik yang lebih besar yang dimiliki oleh calon kepala daerah
boleh jadi calon kepala daerah yag bertindak sebagai patron karena mampu
memberikan perlindungan terhadap pengusaha melalui kekuasaan politik yang ia
miliki. Disinilah kemudian posisi patron dan klien dapat digunakan secara bergantian
oleh keduanya.
Pada akhirnya penggunaan konsep patronase dalam studi ini akan digunakan
untuk melihat bentuk relasi yang dibangun antara keduanya, siapa yang berlaku
sebagai patron dan siapa kleinnya, sumber daya apa yang diberikan oleh patron
kepada klien, dan imbalan apa yang akan diberikan oleh klien kapada si patron, serta
bagiamana relasi tersebut dibentuk dan dijalankan dalam rangka meraih keuntungan
masing-masing pihak.
'HILQLVL.RQVHSWXDO
Definisi konseptual dari pemaparan teoritik dari teori patronase, mutual
hostage, dan politik transaksional adalah sebagai berikut:
25
1. Patron-klienadalah sebuah relasi pertukaran timbal balik yang terjadi antara
dua actor yakni patron dan klien yang mana patron dengan kekuatan modal
lebih yang ia miliki mampu memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan oleh klien.
Sementara klien akan membalas pemberian patron dengan loyalitas dan
membantu kepentingan patron.
'HILQLVL2SHUDVLRQDO
Operasionalisasi ketiga teori tersebut dalam melihat relasi antara pengusaha
dengan penguasa di Kabupaten Malang akan menggunakan beberapa indikator
berikut:
1. Relasi pengusaha dengan penguasa yang terdiri dari: kepala daerah, oknum
birokrasi, oknum militer, oknum DPRD, oknum kepolisian dan kejaksaan,
oknum kyai, dan oknum masyarakat sipil;
2. Sumber daya atau modalitas yang dimiliki oleh pengusaha dan penguasa
3. Sumber daya apa saja yang diberikan pengusaha kepada penguasa begitu
sebaliknya;
4. Pemberian bantuan dana oleh pengusaha terhadap calon kepala daerah pada
Pemilukada Kabupaten Malang tahun 2015;
5. Kemudahan akses oleh pengusaha terhadap proyek pemerintah dan
penguasaan asset pemerintah;
6. Proses tawar menawar antara pengusaha dan penguasa dalam rangka
mencapai kesepakatan;
7. Kepentingan ekonomi politik penguasa berupa kemenangan pemilukada,
pemberian hadiah, dan pelanggengan jabatan pada struktur birokrasi;
8. Relasi timbale balik yang saling menguntungkan antara pengusaha dan
penguasa;
9. Hubungan mutualisme antara pengusaha dengan pengusaha.
0HWRGH3HQHOLWLDQ
-HQLV3HQHOLWLDQ
26
Studi ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan metode
penelitian studi kasus. dengan memilih model studi kasus Stake (dalam Craswell)
yakni penelitian studi kasus mendalam dengan memilih single case study. Artinya
peneltian ini hanya akan meneliti satu kasus yakni relasi pengusaha dan penguasa di
Kabupaten Malang.
Pilihan terhadap metode penelitian ini dikarenakaan studi ini beragkat dari
sebuah kasus untuk melihat masalah yang ingin diteliti. pilihan pada satu kasus ini
kemudian dibastasi oleh dimensi lokasi, pelaku, fokus dan subtansi yang diteliti.
lokasi yang dipilih terbatas di Kabupaten Malang. Dengan objek yang diteliti terbatas
pada pengusaha dan penguasa. sementara subtansi yang dipilih adalah erbatas pada
bentuk relasi antara keduanya. Selanjutnya peneliti juga berupaya untuk menjelaskan
secara komprehensif dari kasus yang dipilih.
Pilihan metode studi kasus akan mempermudah peneliti untuk memahami
realitas yang terjadi dalam kasus ini. Karena penelitian studi kasus akan
mengantarkan peneliti pada penguasaan kasus secara mendalam dan eksploratif.
Pemahaman secara mendalam terhadap kasus yang dipilih oleh peneliti akan
mempermudah peneliti menjawab rumusan masalah yang dipilih dalam studi ini yang
membutuhkan jawaban yang bersifat komprehensif. Rumusan masalah yang diangkat
yakni terkait dengan bagaiamana bentuk relasi antara pengusaha dan penguasa
sehingga dibutuhkan pemahaman yang mendalam dalam kasus ini.
-HQLV'DWD
a. Data Primer adalah data yang didapat dari narasumber dari hasil wawancara
secara langsung dan mendalam di lapangan. Wawancara dilakukan kepada
beberapa narasumber yang berkompeten untuk menejelaskan kasus yang
terjadi.
b. Data sekunder adalah data yang didapat dari dokumen yang didapat dari
Bappeda seperti misalnya laporan APBD, RPJMD, dan dokumen dari KPUD
dan Bawaslu Kabupaten Malang. Data dari sumber pustaka berupa buku dan
27
penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Serta
data dari berita yang termuat di media massa baik cetak maupun electronik
yang berkaitan dengan penelitian ini.
7HKQLN3HQJXPSXODQ'DWD
Studi ini akan menggunakan dua tehnik pengumpulan data sekaligus guna
mendapatkan pemahaman yang mendalam dan komprehensif terhadap kasus yang
diangkat dalam studi ini, dua tehnik tersebut adalah sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara mendalam dipilih oleh penulis sebagai tehnik utama untuk
mendapatkan data primer. Dengan melakukan wawancara secara mendalam penulis
mampu menggali data secara komprehensif dari beberapa narasumber terpilih. dalam
penelitian ini penulis telah melakukan wawancara dengan 32 narasumber yang terdiri
dari: politisi, wartawan dan media massa, pengamat politik dan terdiri dari kalangan
dosen FISIP Universitas Brawijaya, LSM, masyarakat umum, kyai, calon Kepala
Daerah Kabupaten Malang Tahun 2015, Tim sukses, KPU, serta Bawaslu. Sebelum
melakukan wawancara peneliti telah menyiapkan pedoman wawancara sebagai acuan
dalam melakukan wanwancara.
b. Dokumentasi
Tehnik pengumpulan data yang terakhir ini dilakukan penulis dengan cara
mengumpulkan sumber-sumber pustaka dan dokumen yang berkait dengan kasus
yang diangkat. Data dari sumber pustaka dan dokumen-dokumen pemerintah akan
memperkuat argument peneliti dan hasil penelitian pada kasus ini. pengumpulan data
dokumentasi penulis lakukan dengan meminta beberapa data dari KPU, Bawaslu,
kliping media massa, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Malang khususnya di
Bagian Bappeda dan Administrasi pembangunan, serta beberapa data dari website
LPSE Kabupaten Malang. dan website Pemda Kabupaten Malang.
7HKQLN$QDOLVLV'DWD
28
Tehnik analisi data dalam tsudi ini akan menggunakan model alir (flaw
model) (Liza Horizon, 2007). Model alir sendiri terdiri dari tiga tahap yakni: reduksi
data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan dan
verifikasi (conclusion drawing and verification).
Pertama, pada
tahap reduksi data peneliti melakukan pemilihan,
penyederahanaan dan abstraksi dari data yang diperoleh. Dalam tahap ini peneliti
mebuat transkip hasil wawancara, melakukan koding data, dan menarasikan hasil
observasi, dan memilih serta menyederhanakan dokumen yang sesuai dengan
penelitian, Pengelompokan data sesuai dengan kata kunci tertentu dilakukan pada
tahap ini. Sehingga data yang didapat telah terkelompok sesuai dengan kata kuncinya
masing-masing. pada tahap ini peneliti juga akan melakukan pemilihan data-data
yang sesuai dengan tema penelitian.
Kedua, setelah melakukan pemilihan data pada tahap penyajian data peneliti
mulai mendeskripsikan data yang diperoleh dengan cara menuliskan dan
menarasikannya. Peneliti mulai mengabungkan data yang didapat dari wawancara,
observasi dan dokumentasi kedalam sebuah narasi yang komprehensif. Pada tahap ini
peneliti mulai menganalis data yang didapat dengan teori yang dipilih. Selain itu
peneliti juga mengelompokkan data-data sesuai dengan sistematika bab yang telah
disusun.
Dalam melakukan analisis data peneliti menggunakan metode triangulasi.
Metode ini bertujuan untuk menguji tingkat kebenaran data yang didapat dari
wawancara, observasi, dan dokumentasi. Dalam proses ini peneliti akan melakukan
konfirmasi sampai mendapatkan data yang paling valid.. Dengan mengelaborasi data
dari hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi maka tingkat kebenaran data
semaki tinggi. Sementara ini dalam menganalisis data wawancara peneliti
menerapkan sistem“saturation point” yang artinya peneliti akan menggali data
sampai pada titik jenuhnya. Memasukkan data-data kuantitatif dari hasil dokumentasi
juga akan digunakan untuk menambah validasi data yang diperoleh.
29
Ketiga, pada tahap akhir yakni penarikan kesimpulan dan verifikasi. Pada
tahap ini peneliti melakukan penarikan kesimpulan yang tidak lain adalah
menemukan jawaban dari rumusan masalah yang tela ditentukan sebelumnya dengan
megacu pada data yang telah didapat.
6LVWHPDWLND%DE
Penelitian ini akan disajikan dalam lima bab dengan model vertical. penulis
menyusun bab secara runtut kebawah dengan meulai penjelasan dari yang paling
umum menuju inti permasalahan dan berakhir pada kesimpulan akhir. Penjelasan
dari masing-masing bab adalah sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penelitian terdahulu, kerangka teori,
definisi konseptual, definisi operasional, dan metode penelitian.
Bab II, MasuknyaBisnis dalam Ranah Politik. di Kabupaten Malang. Untuk
memberikan pemahaman terhadap kasus yang diangkat pada studi ini maka peneliti
perlu untuk menjelaskan tentang kondisibisnis dan politik di Kabupaten Malang.
Pada bagian ini penulis menjelaskan secara ringkas bagaimana bisnis masuk dalam
dunia politik di era otonomi daerah dan munculnya pengusaha lokal. Sementara
kondisi politik dijelaskan oleh peneliti dengan memotret Pemilukada di Kabupaten
Malang.
Bab III, Relasi Pengusaha dan Penguasa di Kabupaten Malang. Bagian ini
merupakan bagian inti dari penelitian ini. Pada bagian ini akan fokus melihat
bagaimana patronase dibangun oleh Pengusaha di Kabupaten Malang. Selanjutnya
dijelaskan pula bagaimanabentuk riil bekerjanya relasi patronase di Kabupaten
Malang yang sedikitnya melalui dua cara yakni melalui relasi mutual hostage dan
politik transaksional. Pada bagian akhir bab ini penulis juga menambahkan temuan di
30
lapagan terkait dengan upaya pengusaha membangun citra positif di tengah
masyarakat umum.
Bab IV, Patronase dan Demokrasi Lokal:Membaca Relasi PengusahaPenguasa Dalam Pemilukada Kabupaten Malang. Bab ini sifatnya lebih mengarah
pada penajaman dari bab sebelumnya. Pada bagian ini penulis mencoba mengambil
contoh kasus nyata praktik relasi antara pengusaha dengan penguasa di Kabupaten
Malang dalam praktik pemilukada. Pilihan kasus pemilukada karena pertimbangan
kebaruan data dan kemudahan dalam pencarian data.
Bab V, Penutup. Bagian penutup dari bab ini akan berisikan kesimpulan
secara komprehensif dan agenda ke depan.
31
Download