31 BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENGUJIAN IV.1 Penentuan

advertisement
BAB IV
PEMBAHAS AN DAN HAS IL PENGUJIAN
IV.1
Penentuan Skenario Penilaian
M odel penilaian perusahaan yang lazim digunakan adalah dividend
discounted model (DDM ). M odel ini menilai suatu perusahaan berdasarkan
dividen yang dibagikan kepada para pemegang sahamnya. Namun, ada beberapa
perusahaan dengan laba yang cukup besar tidak pernah membayarkan
dividennya, atau tidak membayarkan dividen secara teratur, ataupun dividen
yang diberikan kepada pemegang saham tidak berhubungan langsung dengan
laba yang diperoleh perusahaan pada tahun berjalan. Untuk perusahaan seperti
ini, penggunaan DDM untuk menilai perusahaan akan menjadi kurang tepat.
Selain DDM , model penilaian perusahaan berdasarkan arus kas dapat
dibagi menjadi dua, yaitu free cash flow to equity (FCFE) dan free cash flow to
firm (FCFF). M odel penilaian FCFE digunakan apabila perusahaan memiliki
komposisi utang yang stabil, sementara model FCFF digunakan untuk
perusahaan yang memiliki komposisi utang yang tidak stabil. Penilaian
perusahaan dengan FCFE dengan mendiskontokan required rate of return on
equity (r), sedangkan penilaian perusahaan dengan FCFF merupakan penilaian
untuk keseluruhan perusahaan, dengan mendiskontokan biaya modal rata-rata
tertimbang (WACC). Dalam model FCFF, proporsi struktur modal perusahaan
merupakan salah satu kunci dalam memaksimalkan nilai perusahaan.
Selama periode 2005 – 2009, PT Astra International Tbk pernah satu kali
tidak membagikan dividen yang biasanya dibayarkan dua kali dalam satu tahun.
31 Hal ini terjadi pada tahun 2008, dimana perusahaan hanya membayarkan
dividennya satu kali saja. Perusahaan juga memiliki komposisi utang jangka
panjang (non-current liabilities) yang kurang stabil dan berfluktuasi antara
24,96% – 42,37%. Karena alasan-alasan tersebut di atas, maka penulis
menggunakan model penilaian FCFF dalam melakukan penelitian.
Di samping model penilaian, adapun tiga skenario penilaian untuk estimasi
harga wajar saham, antara lain:
1. stable growth, dimana tidak ada pertumbuhan tinggi atau perusahaan sudah
dalam pertumbuhan stabil. Stable growth umumnya digunakan apabila
tingkat pertumbuhan perusahaan lebih kecil atau sama dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi;
2. two-stage growth, dimana akan ada pertumbuhan tinggi pada suatu periode,
kemudian akan turun ke tingkat pertumbuhan stabil. Two-stage growth
umumnya digunakan apabila tingkat pertumbuhan perusahaan lebih tinggi
dari tingkat pertumbuhan ekonomi dan perusahaan memiliki keunggulan
kompetitif, akan tetapi keunggulan kompetitif tersebut dibatasi oleh waktu;
3. three-stage growth, dimana akan ada pertumbuhan tinggi pada suatu
periode, kemudian tingkat pertumbuhan akan menurun bertahap ke tingkat
pertumbuhan stabil. Three-stage growth umumnya digunakan apabila
tingkat pertumbuhan perusahaan lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan
ekonomi, dan perusahaan juga memiliki keunggulan kompetitif yang tidak
dibatasi oleh waktu.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan salah satu dari ketiga skenario
penilaian yang tersedia di atas, yaitu stable growth. PT Astra International Tbk.
32 merupakan perusahaan dengan enam lini bisnis dimana otomotif merupakan lini
yang terpenting dan memberikan kontribusi kurang lebih 50% bagi pendapatan
bersih perusahaan di tahun 2009.
Penulis menggunakan skenario stable growth dengan beberapa asumsi.
Pertama, banyak pesaing yang bergerak dalam bidang yang sama, bermain di
pasar dengan kompetisi yang kuat, sehingga tidak memungkinkan bagi
perusahaan untuk mencapai tingkat pertumbuhan tinggi yang bertahan lama,
sehingga digunakan tingkat pertumbuhan yang lebih kecil atau sama dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi.
Kedua, penulis juga berasumsi dengan keadaan sekarang ini, dimana di
Indonesia rentan oleh kemacetan, kemacetan tersebut terjadi di mana-mana dan
tidak hanya pada Ibukota DKI Jakarta saja. Salah satu faktor penyebab
kemacetan yaitu tingkat pelebaran jalan yang lebih lambat daripada tingkat
pertumbuhan kendaraan. Dengan keadaan seperti ini, lama kelamaan masyarakat
akan jenuh untuk memiliki atau membeli kendaraan baru, sehingga pendapatan
perusahaan cenderung stabil.
Ketiga, penulis mengasumsikan adanya AFTA (ASEAN Free Trade Area)
yang mempengaruhi perekonomian di Indonesia. Perkembangan terakhir yang
terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua
bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam, Indonesia, M alaysia,
Philippines, Singapura dan Thailand pada tahun 2010, dan bagi Cambodia, Laos,
Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015. Dengan adanya AFTA 2010, di mana
produk-produk luar negeri akan masuk ke Indonesia tanpa dipungut bea cukai,
maka produk-produk perusahaan lokal harus siap bersaing dengan produk luar
33 negeri tersebut. Hal ini akan berdampak pada penjualan perusahaan lokal yang
mungkin tingkat pertumbuhannya tidak sepesat seperti tahun sebelumnya.
Keempat, penulis berasumsi bahwa tingkat pertumbuhan perusahaan tidak
lebih dari tingkat pertumbuhan ekonomi karena harga baja domestik diprediksi
meningkat untuk pengiriman April – Juni 2010. Kenaikan harga baja domestik
dipengaruhi oleh melonjaknya harga bahan baku baja, dan permintaan baja di
China dan luar China yang meningkat. Perusahaan menggunakan bahan baku
baja dalam divisi otomotifnya. Apabila harga baja naik, maka harga pokok
produk juga akan meningkat, yang akan berdampak pada laba perusahaan yang
semakin kecil atau turun.
Oleh karena itu, penulis berasumsi bahwa tingkat pertumbuhan perusahaan
untuk tahun 2010 akan lebih kecil atau sama dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi dan menggunakan skenario stable growth dalam penelitian ini. Dalam
skenario penilaian stable growth, akan diuraikan perhitungan dan analisis biaya
modal
rata-rata
tertimbang serta
arus
kas
bebas
perusahaan
untuk
mengestimasikan harga wajar saham periode 2010.
IV.2
Analisis Biaya Modal Rata-rata Tertimbang
Penilaian saham dapat digunakan dengan dua cara, yaitu analisis
fundamental dan analisis teknikal. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
analisis fundamental, yaitu mengevaluasi nilai suatu saham dengan menggunakan
data-data keuangan untuk menilai kinerja perusahaan dan potensi pertumbuhan di
masa mendatang. Data-data historis ini akan digunakan untuk memprediksi
pergerakan saham ke depan.
34 Penelitian menggunakan data historis lima tahun yang lalu yaitu tahun
2005 sampai dengan 2009, yang diproyeksikan ke periode 2010 seiring dengan
pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010, sehingga dapat diketahui estimas i
harga wajar saham pada tahun 2010 dengan me-nilai sekarang-kan estimasi arus
kas bebas yang diperoleh perusahaan tahun 2010.
Estimasi harga wajar saham PT Astra International Tbk. menggunakan
pendekatan biaya modal rata-rata tertimbang (WACC). Untuk memperoleh
WACC, harus diketahui terlebih dahulu nilai dari tiap-tiap komponen biaya yang
berada di dalamnya, antara lain: biaya utang setelah pajak (kd (1 – T)), biaya
saham preferen (kp), dan biaya laba yang ditahan (ks).
Untuk menghitung biaya utang setelah pajak dan biaya saham preferen
(jika ada) relatif mudah, akan tetapi untuk menghitung biaya laba yang ditahan
cukup sulit. Berikut ini akan dibahas metode perhitungan biaya laba yang ditahan
dengan pendekatan capital asset pricing model (CAPM ), biaya utang, sampai
dengan WACC.
IV.2.1 Pendekatan CAPM
Pendekatan yang paling umum digunakan untuk menghitung biaya laba
yang ditahan (ks) atau disebut juga biaya ekuitas adalah dengan menggunakan
pendekatan Capital Asset Pricing Model (CAPM ).
Data-data yang diperlukan untuk menghitung biaya ekuitas yaitu harga
saham PT Astra International (ASII), Indeks Harga Saham Gabungan (IH SG),
dan tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) per tahun yang berubah-ubah
tiap bulan selama periode 2005 sampai dengan 2009.
35 Gambar IV.1 : Pergerakan Harga S aham AS II dan IHS G
40,000 3,000 ASII
IHSG
35,000 2,500 30,000 2,000 25,000 20,000 1,500 15,000 1,000 10,000 500 5,000 Jul 09
Jan 09
Jul 08
Jan 08
Jul 07
Jan 07
Jul 06
Jan 06
Jul 05
‐
Jan 05
‐
Berdasarkan grafik pergerakan harga saham ASII dan IHSG di atas, selama
periode 2005 – 2009 diketahui trend IHSG cenderung naik selama periode
Januari 2005 sampai dengan Februari 2008, kemudian IHSG terus menurun
tajam sampai dengan November 2008 hingga mencapai 1.241,54. Penurunan
IHSG dipengaruhi oleh krisis keuangan global tahun 2008, sehingga memaks a
Otoritas Bursa untuk melakukan penghentian perdagangan selama 3 hari untuk
mencegah terpuruknya bursa akibat sentimen negatif. Setelah itu IHSG kembali
naik sedikit demi sedikit. Peningkatan tajam terjadi pada Februari sampai dengan
Juli 2009. Titik terendah IH SG sebesar 1.029,61 pada April 2005 dan titik
tertinggi 2.745,83 pada Desember 2007.
Hampir sama dengan pergerakan IHSG, trend harga saham ASII terus naik
dari titik terendah Rp 9.100 pada November 2005 hingga mencapai titik tertinggi
Rp 34.700 pada Desember 2009. Harga saham ASII pernah jatuh drastis pada
36 Oktober 2008 menjadi Rp 9.350 dan harga tersebut merupakan penutupan
terendah saham ASII selama periode 2008. Namun seiring dengan pemulihan
IHSG, saham ASII naik tajam terutama pada bulan Februari 2009 sampai dengan
Juli 2009.
Pertama-tama, penulis melakukan perhitungan tingkat pengembalian harga
saham ASII yang disimbolkan dengan Ri, dan tingkat pengembalian IHSG yang
disimbolkan dengan Rm atau kM. kM merupakan tingkat pengembalian pasar.
Contoh perhitungan aritmatika tingkat pengembalian ASII dan IHSG pada bulan
Februari 2005 terhadap ASII dan IHSG bulan Januari 2005.
T ingkat Pengembalian ASII Feb 2005 =
Nilai ASII Feb 2005 - Nilai ASII Jan 2005
Nilai ASII Jan 2005
= (Rp 10.800 – Rp 10.050) / Rp 10.050 = 7,46%
T ingkat Pengembalian IHSG Feb 2005 =
Nilai IHSG Feb 2005 - Nilai IHSG Jan 2005
Nilai IHSG Jan 2005
= (1.073,83 – 1.045,44) / 1.045,44 = 2,72%
Berdasarkan perhitungan di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi
kenaikkan harga ASII pada Februari 2005 dibandingkan dengan bulan Januari
2005 yang menyebabkan tingkat pengembalian bernilai positif sebesar 7,46%.
Begitu pula dengan IHSG, tingkat pengembalian pasar naik sebesar 2,72% yang
artinya pasar saham secara keseluruhan semakin baik. Kinerja perusahaan yang
makin baik merupakan salah satu penyebab kenaikkan tingkat pengembalian
harga saham ASII melebihi tingkat pengembalian IH SG. Untuk perhitungan
bulan selanjutnya sama dengan contoh di atas, dan dilakukan sampai dengan
37 Desember 2009. Pergerakan tingkat pengembalian ASII dan IHSG periode 2005
sampai dengan 2009 dapat dilihat pada Gambar IV.2
Gambar IV.2 : Pergerakan Tingkat Pengembalian AS II dan IHS G
40%
30%
20%
10%
0%
‐10%
‐20%
ASII (Ri)
‐30%
IHSG (Rm)
‐40%
Aug 09
Feb 09
Aug 08
Feb 08
Aug 07
Feb 07
Aug 06
Feb 06
Aug 05
Feb 05
‐50%
Berdasarkan grafik pergerakan tingkat pengembalian ASII dan IH SG di
atas, selama periode 2005 – 2009 diketahui trend tingkat pengembalian IH SG
terus berfluktuasi, dengan titik terendah -31,42% pada Oktober 2008 dan titik
tertinggi 20,13% pada April 2009. Rata-rata tingkat pengembalian IHSG selama
periode 2005 – 2009 sebesar 1,51% per bulan atau 18,15% per tahun. Rata-rata
tingkat pengembalian IHSG dihitung dengan geometric average karena datanya
berfluktuatif.
GMR =
=
jml data
59
1 + tk. pengembalian
IHSG Feb 2005
1 + tk. pengembalian
1 + tk. pengembalian
x…x
IHSG Mar 2005
IHSG Des 2009
1 + 2,72% 1 + 0,59% 1 – 4,68% x … x 1 + 4,91% - 1 = 1,51%
38 -1
Hampir sama dengan tingkat pengembalian IHSG, trend tingkat
pengembalian A SII juga berfluktuasi dengan titik terendah -45,32% pada
Oktober 2008 dan titik tertinggi 32,99% pada Oktober 2007. Harga saham ASII
yang jatuh juga mempengaruhi tingkat pengembaliannya. Pada Oktober 2008
sewaktu tingkat pengembalian IH SG turun, ASII turun lebih tajam daripada
pasar. Hal ini menunjukkan bahwa A SII sensitif terhadap pasar. Tingkat
sensitivitas ini juga dapat dibuktikan dengan perhitungan beta perusahaan. Ratarata tingkat pengembalian ASII selama periode 2005 – 2009 sebesar 2,12% per
bulan atau 25,47%. Rata-rata tingkat pengembalian ASII dihitung dengan
geometric average karena datanya berfluktuatif.
GMR =
=
jml data
59
1 + tk. pengembalian
ASII Feb 2005
1 + tk. pengembalian
1 + tk. pengembalian
x…x
ASII Mar 2005
ASII Des 2009
1 + 7,46% 1 – 2,78% 1 + 0,48% x … x 1 + 7,26% - 1 = 2,12%
Kedua, penulis melakukan perhitungan beta yang disimbolkan dengan bi.
Beta ditentukan berdasarkan tingkat pengembalian A SII dan IH SG. Beta dihitung
dengan menggunakan fungsi SLOPE dalam software M icrosoft Excel.
Perhitungan beta sebagai berikut.
Beta =SLOPE(Ri;Rm) = 1,42
Ri merupakan tingkat pengembalian ASII per bulan, sedangkan Rm adalah
tingkat pengembalian IHSG per bulan selama periode 2005 – 2009. Beta yang
dihasilkan melalui perhitungan sebesar 1,42, sedangkan beta menurut Business &
Financial News, Breaking US & International News (www.reuters.com) pada
tanggal 25 Juli 2010 adalah sebesar 1,44. Beta hasil perhitungan dan reuters tidak
39 -1
berbeda jauh, oleh karena itu penulis menggunakan beta hasil perhitungan untuk
melakukan analisis selanjutnya.
Beta senilai 1,42 artinya harga saham ASII sensitif terhadap pasar dan juga
lebih agresif atau spekulatif daripada pasar. Apabila perekonomian pasar sedang
membaik, harga saham ASII dapat naik dengan pesat melebihi IHSG, ataupun
sebaliknya. Semakin besar nilai beta, berarti semakin besar pula resiko saham
tersebut.
Setelah tingkat pengembalian pasar (Rm) dan Beta (bi) telah diukur, maka
hal ketiga yang dilakukan adalah menentukan tingkat bunga BI (BI Rate) yang
disimbolkan dengan kRF. BI rate merupakan dasar tingkat pengembalian bebas
risiko yang menjadi acuan suku bunga bagi bank-bank di Indonesia. BI rate yang
digunakan adalah BI rate pada Desember 2009 yaitu sebesar 6,50% per tahun.
BI rate memiliki titik terendah hingga 6,50% pada A gustus sampai dengan
Desember 2009 dan memiliki titik tertingginya 12,75% pada Desember 2005
sampai dengan April 2006. Hal ini berarti mengestimasikan biaya ekuitas dimulai
dari 6,50% kemudian kenaikkan atau penurunannya mencerminkan risiko saham
seperti yang diukur oleh koefisien betanya.
Dari hasil perhitungan ketiga komponen biaya ekuitas, yaitu: tingkat
pengembalian pasar (kM), beta (bi) dan BI rate (kRF), maka akan didapat biaya
ekuitas dengan pendekatan CAPM . Tingkat pengembalian pasar (kM) yang
dipakai adalah 18,15% karena ks yang dipakai untuk menghitung WACC yang
relevan dengan FCFF adalah data setahun. Perhitungan biaya ekuitas dengan
pendekatan CAPM sebagai berikut.
40 ks
= kRF + (kM – kRF) b i
= 6,50% + (18,15% – 6,50%) 1,42 = 23,03%
Perhitungan biaya ekuitas (ks) beserta komponen-komponennya dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel IV.1 : Perhitungan ks dengan Pendekatan CAPM
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa selama periode 2005 –
2009 tingkat pengembalian harga saham A SII sebesar 2,12% per bulan atau
sebesar 25,47% per tahun. Tingkat pengembalian IH SG atau pasar sebesar 1,51%
atau sebesar 18,15% per tahun. Tingkat pengembalian ASII lebih besar daripada
tingkat pengembalian pasar yang artinya harga saham ASII bergerak lebih cepat
dibandingkan pasar dan menyebabkan harga saham A SII terus melonjak naik
melebihi rata-rata pergerakan pasar. Hal ini akan membuat para investor tertarik
untuk investasi pada saham ASII.
Setelah dilakukan perhitungan, koefisien beta yang menggambarkan
sensitivitas suatu saham terhadap pasar nilainya sebesar 1,42. Artinya apabila
pasar berubah 1%, maka saham ASII berubah sebesar 1,42%. Saham yang
koefisien betanya lebih dari 1,0 berarti saham tersebut lebih agresif daripada
pasar atau dengan kata lain, saham A SII bersifat spekulatif. Apabila beta naik
sebanyak 0,1; maka nilai ks naik sebesar 1,16%, hal ini menunjukkan bahw a
41 saham ASII beresiko tinggi. Sedangkan untuk BI Rate atau tingkat pengembalian
bebas risiko nilainya 6,50% per tahun pada Desember 2009.
Dengan metode CAPM , ketika dilakukan perhitungan diperoleh nilai ks =
23,03%. Biaya ekuitas (ks) yang diperoleh sebesar 23,03% menunjukkan tingkat
pengembalian minimum yang harus diharapkan manajemen untuk menjustifikasi
saldo laba ditahan dan menanamkannya kembali ke dalam bisnis daripada
membayarkannya kepada pemegang saham sebagai dividen. Dengan kata lain,
karena investor memiliki peluang untuk mendapatkan 23,03% jika laba
dibayarkan kepada mereka sebagai dividen, maka biaya kesempatan perusahaan
untuk ekuitas dari saldo laba ditahan adalah 23,03%. Nilai ks inilah yang akan
dijadikan dasar untuk menghitung WACC.
IV.2.2 Biaya Utang
Biaya utang pada umumnya adalah biaya yang ditanggung perusahaan
apabila perusahaan memiliki utang kepada pihak-pihak tertentu. M enentukan
nilai biaya utang (kd) pada suatu perusahaan tidak sesulit menentukan biaya laba
yang ditahan atau biaya ekuitas (ks).
Data-data yang diperlukan untuk menentukan biaya utang yaitu tingkat
bunga bebas resiko (kRF) atau BI rate Desember 2009, default spread for countr y
dan default spread for firm berdasarkan peringkat Pefindo (Pefindo rating) pada
catatan atas laporan keuangan 2009 yang disesuaikan dengan default spread for
rating classes: Early 2009 (Sumber: Damodaran, 2010: p.92).
42 Tabel IV.2 : Default Spreads for Rating Classes (Early 2009)
Rating
AAA
AA
A+
A
ABBB
BB
B+
B
BCCC
CC
C
D
Default Spread
1,25%
1,75%
2,25%
2,50%
3,00%
3,50%
4,25%
5,00%
6,00%
7,25%
8,50%
10,00%
12,00%
15,00%
Inte rest Rate of Bond
4,75%
5,25%
5,75%
6,00%
6,50%
7,00%
7,75%
8,50%
9,50%
10,75%
12,00%
13,50%
15,50%
18,50%
Rata-rata pefindo rating surat berharga yang diterbitkan memiliki peringkat
AA-, namum karena peringkat tersebut tidak ada dalam tabel di atas, maka
penulis mengambil peringkat satu level di bawah AA- yaitu peringkat A+.
Default spread for country dan default spread for firm pada peringkat A+
masing-masing bernilai 2,25% dan 5,75%. BI rate pada Desember 2009 sebesar
6,50%. Perhitungan biaya utang (kd) adalah sebagai berikut.
k d 2009 = k RF + Default spread for country + Default spread for firm
= 6,50% + 2,25% + 5,75% = 14,50%
Berdasarkan perhitungan di atas, dapat disimpulkan bahwa biaya utang
pada tahun 2009 cukup tinggi yaitu 14,50%, yang artinya perusahaan harus
membayar bunga yang tinggi untuk utang baru yang dipinjam perusahaan.
Perhitungan kd berdasarkan tingkat suku bunga Bank Indonesia yang dipengaruhi
oleh rating default spread for country dan default spread for firm pada
perusahaan tersebut.
43 Tarif pajak mempengaruhi biaya utang, dimana bunga yang dikenakan atas
utang tersebut adalah biaya yang dapat dikurangkan atau dengan kata lain bunga
akan memberikan pengurangan pajak yang mengurangi biaya utang bersih. Jadi,
penulis juga harus menentukan besarnya persentase pajak pada periode 2009.
Perhitungan persentase pajak untuk tahun 2009.
Pajak % 2009 =
=
Pajak 2009
Laba sebelum pajak 2009
Rp 3.958.000.000.000
= 24,13%
Rp 16.402.000.000.000
Berdasarkan hasil persentase pajak di atas, dapat diketahui bahwa secara
keseluruhan perusahaan membayar pajak tahun 2009 sebesar 24,13% dari laba
sebelum pajak pada tahun 2009. Penulis menghitung tarif pajak dengan
menggunakan pembayaran pajak yang dilakukan perusahaan berdasarkan laba
sebelum pajak pada laporan komersial perusahaan, tanpa memperhatikan
peraturan tarif pajak yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada periode
2009 yaitu sebesar 28% untuk Wajib Pajak Badan. Tarif pajak ini yang akan
digunakan untuk menentukan biaya utang setelah pajak. Tarif pajak menjadi
pengurang biaya utang, sehingga biaya utang setelah pajak adalah 11,00% yang
artinya perusahaan harus menyanggupi membayar suku bunga 11,00% kepada
kreditor apabila melakukan penambahan utang baru.
IV.2.3 Biaya Modal Rata-rata Tertimbang
Pada PT Astra International Tbk. biaya modalnya hanya menggunakan dua
sumber dana saja, yaitu utang jangka panjang dan laba ditahan atau ekuitas.
Dapat dinyatakan demikian, karena selama periode 2005 – 2009, perusahaan
44 tidak mengeluarkan saham preferen ataupun saham biasa baru untuk menambah
modalnya. Perusahaan hanya menggunakan utang jangka panjang dan ekuitas
saham sebagai sumber pendanaan perusahaan selama periode tersebut.
Data yang dibutuhkan untuk menghitung proporsi struktur modal
perusahaan adalah laporan keuangan perusahaan dalam bentuk neraca (balance
sheet) selama periode 2005 sampai dengan 2009. Total komponen modal
merupakan total keseluruhan sumber pendanaan (kewajiban jangka panjang dan
saham biasa atau ekuitas). Contoh perhitungan proporsi struktur modal
perusahaan tahun 2005.
W d 2005 = total utang jangka panjang 2005 / total komponen modal 2005
= Rp 15.018.298.000.000 / Rp 35.442.643.000.000 = 42,37%
W s 2005 = total saham biasa 2005 / total komponen modal 2005
= Rp 20.424.345.000.000 / Rp 35.442.643.000.000 = 57,63%
Pada perhitungan untuk tahun 2005 diperoleh proporsi struktur modal
perusahaan 42,37% utang dan 57,63% ekuitas biasa. Artinya, setiap penambahan
modal pada tahun 2005, akan terdiri atas 42,37% utang dan 57,63% ekuitas
biasa. Begitu pula perhitungan proporsi struktur modal dan penjelasan untuk
tahun 2006 sampai dengan 2009.
Setiap perusahaan akan memiliki sebuah struktur permodalan yang
optimal, yang didefinisikan sebagai campuran utang, dan saham biasa yang
menyebabkan harga sahamnya dapat dimaksimalkan. PT Astra International Tbk.
memiliki struktur modal yang tidak tetap setiap tahunnya selama periode 2005 –
2009, jadi penulis mengambil struktur permodalan tahun terakhir (tahun 2009)
yang dianggap sebagai struktur permodalan optimal perusahaan, yaitu terdiri dari
45 24,96% utang dan 75,04% ekuitas biasa. Artinya, setiap penambahan modal pada
perusahaan terdiri atas 24,96% utang dan 75,04% ekuitas atau saham biasa.
Setelah menentukan semua komponen WACC, yaitu rata-rata komponen
biaya utang setelah pajak, biaya laba ditahan, dan proporsi struktur modal
perusahaan, maka akan dapat menghitung WACC. Perhitungan WACC PT Astra
International Tbk. dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel IV.3 : Biaya Modal Rata-rata Tertimbang (WACC)
Berdasarkan hasil perhitungan WACC di atas, dapat disimpulkan bahwa
setiap penambahan satu rupiah pada modal PT Astra International Tbk. akan
terdiri dari 24,96 sen utang dengan biaya setelah pajak sebesar 11,00%; dan
75,04 sen ekuitas biasa dengan biaya 23,03%.
WACC bernilai 20,02%, artinya ekspektasi tingkat pengembalian yang
diminta oleh investor utang maupun ekuitas sebesar 20,02%. Selama PT Astra
International Tbk. tetap menjaga struktur permodalannya untuk selalu tepat pada
sasarannya, dan sepanjang komponen biayanya tetap bernilai sama, maka biaya
modal rata-rata tertimbangnya akan menjadi 20,02%.
IV.3
Free Cash Flow to Firm
Free cash flow to firm (FCFF) akan mencerminkan kas yang benar-benar
tersedia untuk didistribusikan kepada para investor dan lebih relevan untuk
46 digunakan ketika mengestimasikan nilai dari suatu perusahaan. Nilai dari operasi
sebuah perusahan akan bergantung pada seluruh arus kas bebas yang diharapkan
di masa mendatang. Oleh karena itu, penulis melakukan perhitungan arus kas
bebas (FCFF), yang kemudian akan dikombinasikan dengan biaya modal ratarata tertimbang untuk menentukan estimasi harga wajar saham.
Data yang diperlukan untuk menghitung arus kas bebas berasal dari laporan
keuangan PT Astra International Tbk. periode 2005 – 2009, komponen FCFF
yaitu, laba operasi setelah pajak (EBIT (1 – T)), penyusutan dan amortisasi
(depreciation and amortization), pengeluaran modal (capital expenditure), dan
perubahan modal kerja (change in working capital).
Berbeda dengan komponen FCFF lainnya, nilai EBIT (1 – T) tidak
didapatkan secara langsung dari laporan keuangan perusahaan. Perhitungan EBIT
dilakukan dengan menjumlahkan laba sebelum pajak penghasilan (profit befor e
income tax) pada laporan laba rugi dengan beban bunga (interest expense).
Kemudian dihitung nilai EBIT setelah pajak untuk tahun tersebut. Contoh
perhitungan EBIT (1 – T) tahun 2005 sebagai berikut.
EBIT 1 – T = laba sebelum pajak 2005 + beban bunga 2005 (1 – pajak (%)
= Rp 8.205.759.000.000 + Rp 423.236.000.000 (1 – 22,82%
= Rp 6.659.615.000.000
Grafik masing-masing komponen arus kas bebas dapat dilihat pada Gambar
IV.3 di bawah ini.
47 Trillions
Gambar IV.3 : Komponen FCFF Periode 2005 – 2009
14
12
10
8
6
4
2
0
‐2
2005
EBIT (1 ‐ T)
2006
2007
Depre. & Amort.
2008
CapEx
2009
Chg. in WC
EBIT (1 – T) perusahaan secara keseluruhan semakin meningkat dan naik
tajam pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2008. Pada tahun 2006 terjadi
penurunan nilai EBIT (1 – T) karena pendapatan perusahaan menurun sebesar
10% dari tahun 2005 yang diakibatkan menurunnya penjualan divisi otomotif
sebesar 19% dan peningkatan 4% pada divisi non-otomotif. Untuk depreciation
and amortization meningkat secara bertahap dari 2005 sampai dengan 2009.
Capital expenditure bergerak seiring dengan EBIT (1 – T), apabila EBIT (1
– T) tinggi, maka capital expenditure juga nilainya tinggi, tetapi nilainya tidak
melebihi EBIT (1 – T). Pada tahun 2005 capital expenditure hampir mendekati
nilai EBIT (1 – T) atau nilainya cukup tinggi karena perusahaan mengalokasikan
capital expenditure pada akuisisi 35% kepemilikan di PT Toyo Fuji Logistic
Indonesia. Pada tahun 2008, capital expenditure juga naik cukup tinggi dari
tahun sebelumnya karena dialokasikan pada peningkatan kepemilikan saham
48 pada PT M arga M andalasakti dari 34% menjadi 62,6%. Sedangkan untuk change
in working capital nilainya berfluktuasi, pada tahun 2006 dan tahun 2009 modal
kerja perusahaan bernilai negatif. Hal ini berarti perusahaan berhasil
meningkatkan modal kerja sendiri lebih banyak daripada tahun sebelumnya, atau
kegiatan operasi perusahaan berhasil menambah arus kas atau EBIT (1 – T).
Data-data yang diperlukan untuk menghitung arus kas bebas tersedia pada
laporan keuangan perusahaan, jadi dapat dengan mudah dilakukan perhitungan
arus kas bebas setiap tahunnya. FCFF dihitung selama periode 2005 sampai
dengan 2009. Berikut contoh perhitungan FCFF tahun 2005 dan tabel FCFF
selama periode 2005 – 2009.
FCFF = EBIT (1 - T) 2005 + Depreciation 2005 – Capital Expenditure 2005
– ∆ Working Capital 2005
FCFF = Rp 6.659.615.000.000 + Rp 1.597.296.000.000 – Rp 5.158.295.000.000
– Rp 2.519.000.000.000
= Rp 579.616.000.000
Tabel IV.4 : Free Cash Flow to Firm (FCFF)
49 Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa kas yang tersedia untuk
didistribusikan kepada para investor berfluktuasi, namun di akhir tahun 2009
nilainya meningkat. Pada tahun 2005, FCFF nilainya kecil karena perusahaan
melakukan beberapa pengeluaran modal (capital expenditure) yang cukup besar
antara lain joint venture 50:50 dengan Toyota Financial Service Corporation of
Japan pada 14 Oktober 2005, dan membeli 35% saham PT Toyo Fuji Logistic
Indonesia pada 9 Desember 2005. Ketersediaan FCFF untuk didistribusikan
kepada pemegang saham yang semakin meningkat merupakan salah satu faktor
yang akan membuat investor baru tertarik untuk berinvestasi atau membeli
saham PT Astra International Tbk.
Setelah menghitung FCFF periode 2005 sampai dengan 2009, selanjutnya
adalah menilai perusahaan dengan men-nilai sekarang-kan FCFF tahun 2010,
yaitu FCFF tahun 2009 di tambahkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi
Indonesia.
IV.4
Estimasi Harga Wajar S aham
Pada sub-bab sebelumnya telah dibahas mengenai biaya modal rata-rata
tertimbang (WACC) sebesar 20,02% dan free cash flow to firm (FCFF) tahun
2009 yang akan digunakan untuk melakukan penilaian harga wajar saham PT
Astra International Tbk. tahun 2010. M odel penilaian yang akan digunakan oleh
penulis untuk mengestimasi harga wajar saham yaitu model penilaian FCFF.
50 IV.4.1 Price to Book Value (PBV)
Pada perhitungan dengan model penilaian FCFF, akan didapatkan nilai
buku saham pada tahun 2010, maka untuk mendapatkan nilai wajar sahamnya,
harus diketahui rasio nilai pasar/nilai buku atau (PBV ratio) terlebih dahulu
selama 5 tahun terakhir yaitu periode 2005 – 2009.
Data yang diperlukan untuk melakukan perhitungan PBV ratio, yaitu harga
pasar per lembar saham per Desember periode 2005 – 2009 yang dapat diperoleh
melalui website umum, dan nilai buku per lembar saham yang diperoleh dari
laporan keuangan perusahaan. Nilai buku per lembar saham atau sering disebut
book value (BV) dihitung dengan melakukan pembagian antara jumlah ekuitas
perusahaan dengan jumlah saham beredar. Contoh perhitungan nilai buku per
saham tahun 2005.
Nilai buku per lembar saham 2005 =
=
Ekuitas saham biasa 2005
Jumlah saham beredar 2005
Rp 20.424.345.000.000
= Rp 5.045
4.048.355.314
Nilai buku per lembar saham tahun 2005 sebesar Rp 5.045 artinya nilai aset
perusahaan yang secara teoritis akan diterima pemegang saham jika perusahaan
tersebut dijual atau dilikuidasi sebesar Rp 5.045 per lembar saham. Untuk nilai
buku per lembar saham tahun 2006 – 2009 dilakukan dengan cara yang sama
seperti di atas. Setelah itu dilakukan perbandingan dengan harga pasar aktualnya
atau menghitung PBV ratio. Contoh perhitungan PBV ratio tahun 2005.
PBV ratio 2005 =
=
Harga pasar per lembar saham 2005
Nilai buku per lembar saham 2005
Rp 10.200
= 2,02
Rp 5.045
51 PBV ratio tahun 2005 sebesar 2,02 yang artinya nilai pasar saham harganya
2,02 kali daripada harga bukunya, perusahaan memiliki nilai/citra yang bagus
dalam bisnisnya yang tercermin dalam harga saham perusahaan. Untuk
perhitungan PBV ratio tahun 2006 – 2009 sama seperti perhitungan di atas.
Berikut ini tabel PBV ratio selama lima tahun terakhir (periode 2005 – 2009).
Tabel IV.5 : PBV ratio 2005 – 2009
Pada tabel di atas, diketahui bahwa pada tahun 2007, perusahaan memiliki
harga pasar yang bagus yaitu 4,10 kali dari nilai bukunya. Namun, pada tahun
2008, perusahaan terkena dampak krisis global sehingga PBV ratio menurun
menjadi 1,29 dan merupakan PBV ratio terkecil selama periode 2005 – 2009.
Pada tahun 2009 harga pasar saham perusahaan mulai meningkat sampai dengan
saat ini. Rata-rata PBV ratio selama periode 2005 – 2009 yaitu 2,75.
IV.4.2 Tingkat Pertumbuhan FCFF
Selain PBV ratio, untuk melakukan penilaian harga wajar saham, penulis
harus menentukan tingkat pertumbuhan FCFF berdasarkan scenario growth yang
telah dipilih dan dibahas pada awal bab IV ini. Penulis telah memilih skenario
52 stable growth dimana tingkat pertumbuhan perusahaan lebih kecil atau maksimal
sebesar tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2010. Pada dasarnya
pertumbuhan FCFF jarang sekali melewati pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan, maka pertumbuhan FCFF diasumsikan sama dengan pertumbuhan
ekonomi. Penulis melakukan estimasi harga wajar saham pada awal tahun 2010
dan juga pada awal April 2010
Pada awal Januari 2010, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan
ekonomi Indonesia di tahun 2010 sebesar 5,00% – 5,50% dengan tingkat inflas i
5% – 6% selama tahun 2010. Oleh karena itu, penulis menggunakan tingkat
pertumbuhan maksimal sebesar 5,50% untuk mengestimasi harga wajar saham
awal tahun 2010.
Pada April 2010, Bank Indonesia juga memperkirakan pertumbuhan
ekonomi Indonesia di tahun 2010 berkisar antara 5,50% – 6,00%. Oleh karena
itu, penulis menggunakan tingkat pertumbuhan 6,00% untuk mengestimasi harga
wajar saham awal April 2010.
IV.4.3 Estimasi Harga Wajar S aham Awal 2010
Setelah mengetahui tingkat pertumbuhan FCFF yang diharapkan untuk
tahun selanjutnya, maka dalam estimasi harga wajar saham dengan model
penilaian FCFF, penulis melakukan perhitungan secara bertahap.
Pertama-tama,
penulis
melakukan
perhitungan
nilai
perusahaan
berdasarkan FCFF tahun 2009 yang tumbuh sesuai dengan tingkat pertumbuhan
yang diharapkan, kemudian dibagi dengan selisih WACC dengan tingkat
pertumbuhan tersebut. Perhitungan nilai perusahaan sebagai berikut.
53 Nilai perusahaan Jan 2010 =
=
FCFF 2009 x (1 + tingkat pertumbuhan FCFF)
(WACC – tingkat pertumbuhan FCFF)
Rp 9.320.964.000.000 x (1 + 5,50%)
(20,02% – 5,50%)
= Rp 67.703.656.000.000
Nilai perusahaan
PT Astra International cukup
tinggi,
nilai ini
mencerminkan nilai perusahaan yang memiliki proyeksi arus kas yang besar
untuk didistribusikan kepada kreditor dan pemegang saham. Nilai perusahaan ini
juga merupakan prospek ke depan perusahaan yang akan tercermin dalam harga
sahamnya yang semakin tinggi. Nilai perusahaan merupakan total dari kewajiban
dan ekuitas yang terdapat pada perusahaan tersebut, maka untuk mendapatkan
nilai ekuitas biasa, total nilai perusahaan harus dikurangkan dengan book value
(BV) utang tahun 2009 sebesar Rp 40.006.000.000.000. Nilai ekuitas biasa
tersebut merupakan nilai yang tersisa bagi pemegang saham. Semakin besar nilai
ekuitas biasa, maka semakin besar estimasi harga buku saham perusahaan
tersebut. Estimasi harga buku saham tahun 2010 merupakan hasil bagi antara
nilai ekuitas biasa dengan jumlah saham yang beredar. Jumlah saham yang
beredar dari tahun 2005 sampai dengan 2009 jumlahnya tetap yaitu
4.048.355.314 lembar saham. Perhitungan nilai ekuitas biasa dan estimasi harga
buku saham tahun 2010 dengan tingkat pertumbuhan FCFF 5,50% adalah
sebagai berikut.
Nilai ekuitas biasa Jan 2010 = Nilai perusahaan Jan 2010 – Total kewajiban
= Rp 67.703.656.000.000 – Rp 40.006.000.000.000
= Rp 27.697.656.000.000
Estimasi harga buku saham Jan 2010 =
Nilai ekuitas biasa Jan 2010
Jumlah saham beredar
54 =
Rp 27.697.656.000.000
= Rp 6.842
4.048.355.314
Estimasi harga buku saham berdasarkan model penilaian FCFF sebesar Rp
6.842 per lembar saham atau mengarah ke Rp 6.850 per lembar saham. Untuk
mendapatkan harga wajar saham, maka estimasi harga buku saham harus
dikalikan dengan rata-rata PBV ratio sebesar 2,75. Perhitungan estimasi harga
wajar saham awal 2010 sebagai berikut.
Harga wajar saham Jan 2010 = Estimasi harga buku saham Jan 2010 x PBV ratio
= Rp 6.850 x 2,75 = Rp 18.870
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka estimasi harga wajar saham di
awal 2010 sebesar Rp 18.870 per lembar saham atau mengarah ke Rp 18.900 per
lembar saham. Harga wajar ini sangat berbeda jauh dengan harga aktual awal
Januari 2010 yaitu sebesar Rp 35.300. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan
asumsi yang digunakan oleh penulis dengan asumsi dari para investor marginal
di pasar. Penulis berpandangan pesimis dan hati-hati dalam menentukan setiap
perhitungan yang dipakai, sehingga menyebabkan harga wajar saham nilainya
berada di bawah harga pasar.
IV.4.4 Estimasi Harga Wajar S aham April 2010
Dalam mengestimasi harga wajar saham April 2010, pertama-tama
dilakukan perhitungan FCFF berdasarkan laporan keuangan kuartal pertama
tahun 2010 (belum diaudit). Kemudian, hasil FCFF kuartal pertama tahun 2010
tersebut ditambahkan dengan FCFF 2009 dan dikurangkan dengan FCFF kuartal
55 pertama tahun 2009 untuk mendapatkan FCFF selama setahun yang berakhir
tanggal 31 M aret 2010.
Tabel IV.6 : Perhitungan FCFF 2010
Dalam mengestimasi bulan April 2010, penulis menggunakan tingkat
pertumbuhan FCFF sebesar 6,00%. Sama halnya seperti di atas, dalam estimas i
harga wajar saham dengan model penilaian FCFF, penulis melakukan
perhitungan secara bertahap.
Pertama-tama,
penulis
melakukan
perhitungan
nilai
perusahaan
berdasarkan FCFF April tahun 2010 yang tumbuh sesuai dengan tingkat
pertumbuhan yang diharapkan, kemudian dibagi dengan selisih WACC dengan
tingkat pertumbuhan tersebut. Perhitungan nilai perusahaan sebagai berikut.
56 Nilai perusahaan Apr 2010 =
=
FCFF 2010 (Q1) x (1 + tingkat pertumbuhan FCFF)
(WACC – tingkat pertumbuhan FCFF)
Rp 9.372.036.000.000 x (1 + 6,00%)
(20,02% – 6,00%)
= Rp 70.835.745.000.000
Nilai perusahaan PT Astra International cukup tinggi pada April 2010
dibandingkan dengan Januari 2010, nilai ini mencerminkan keadaan perusahaan
yang semakin baik di tahun 2010. BV utang tahun 2009 dan jumlah saham yang
beredar sama yaitu Rp 40.006.000.000.000 dan 4.048.355.314 lembar saham.
Perhitungan nilai ekuitas biasa dan estimasi harga buku saham tahun 2010
dengan tingkat pertumbuhan FCFF 6,00% adalah sebagai berikut.
Nilai ekuitas biasa Apr 2010 = Nilai perusahaan Apr 2010 – T otal kewajiban
= Rp 70.835.745.000.000 – Rp 40.006.000.000.000
= Rp 30.829.745.000.000
Estimasi harga buku saham Apr 2010 =
=
Nilai ekuitas biasa Apr 2010
Jumlah saham beredar
Rp 30.829.745.000.000
= Rp 7.615
4.048.355.314
Estimasi harga buku saham berdasarkan model penilaian FCFF sebesar Rp
7.615 per lembar saham atau mengarah ke Rp 7.600 per lembar saham. Untuk
mendapatkan harga wajar saham, maka estimasi harga buku saham harus
dikalikan dengan rata-rata PBV ratio sebesar 2,75. Perhitungan estimasi harga
wajar saham April 2010 sebagai berikut.
Harga wajar saham Apr 2010 = Estimasi harga buku saham Apr 2010 x PBV ratio
= Rp 7.600 x 2,75 = Rp 20.936
57 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka estimasi harga wajar saham di
April 2010 sebesar Rp 20.936 per lembar saham atau mengarah ke Rp 20.900 per
lembar saham. Harga wajar ini sangat berbeda jauh dengan harga aktual awal
April 2010 yaitu sebesar Rp 44.500. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan
asumsi yang digunakan oleh penulis dengan asumsi dari para investor marginal
di pasar. Penulis berpandangan pesimis dan hati-hati dalam menentukan setiap
perhitungan yang dipakai, sehingga menyebabkan harga wajar saham nilainya
berada di bawah harga pasar.
Dari model penilaian FCFF yang diuraikan oleh penulis, dapat disimpulkan
bahwa estimasi harga wajar saham A SII berkisar diantara Rp 18.900 – Rp
20.900. Ini merupakan harga wajar saham yang aman secara teoritis yang
mengikuti tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010. Penulis
berpandangan pesimis, oleh karena itu estimasi harga wajar saham ini merupakan
harga minimum apabila perusahaan sedang dalam kondisi buruk (harga
terburuk). Estimasi harga wajar saham menghasilkan angka tersebut apabila
sampai akhir tahun 2010 PT Astra International Tbk. tidak melakukan stock split.
Apabila perusahaan melakukan stock split, maka estimasi harga wajar saham
nilainya akan semakin rendah. Stock split sudah diusulkan oleh beberapa
pemegang saham perusahaan, namun perusahaan sampai dengan bulan Juni 2010
belum melakukan stock split.
Hasil estimasi harga wajar saham ini berada dibawah harga aktualnya,
karena penulis berpandangan pesimis dalam menentukan komponen perhitungan
yang dipakai dalam model penilaian ini. Pelaku pasar cenderung menginginkan
58 harga yang lebih tinggi dari perkiraan riset, oleh karena itu, penulis
menggunakan pandangan pesimis. Di samping itu, analisis ini hanya
menggunakan analisis fundamental atau tidak dilengkapi dengan analisis
teknikal, maka secara fundamental, nilai saham ASII meningkat sesuai
pertumbuhan ekonomi.
Dengan nilai saham yang lebih tinggi di pasar (overvalue), maka investor
sebaiknya menjual saham ASII tersebut ataupun terus menahan saham tersebut
sampai dengan harga pasar saham yang lebih tinggi, sehingga investor akan
memperoleh capital gain yang lebih besar.
59 
Download