BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB DAN

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB DAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN
2.1
Tinjauan Umum Tentang Tanggung Jawab
2.1.1. Pengertian dan Lahirnya Tanggung Jawab
Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah keadaan
wajib menanggung segala sesuatunya. Berkewajiban menanggung, memikul
tanggung jawab, menanggung segala sesuatunya, dan menanggung akibatnya.
Tanggung jawab hukum adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau
perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti
berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban. Adapun pengertian
tanggung jawab hukum menurut para ahli sarjana.
Menurut Ridwan Halim, tanggung jawab hukum adalah sebagai sesuatu
akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan
kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung jawab hukum diartikan
sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berprilaku menurut cara tertentu
tidak menyimapang dari peraturan yang telah ada12. Selain Ridwan Halim,
Purbacaraka juga berpendapat bahwa, “tanggung jawab hukum bersumber atau
lahir atas penggunaan fasilitas dalam penerepan kemampuan tiap orang untuk
menggunakan
hak
dan/atau
melaksanakan
12
kewajibannya”.
Lebih
lanjut
Ridwan Halim, 1988, Hukum Administrasi Negara Dalam Tanya Jawab, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 23.
19
20
ditegaskan, setiap pelaksanaan kewajiban dan setiap penggunaan hak baik yang
dilakukan secara tidak memadai maupun yang dilakukan secara memadai pada
dasarnya tetap harus disertai dengan pertanggung jawaban, demikian pula dengan
pelaksanaan kekuasaan.13
Pertanggung jawaban dalam hal perlindungan hukum dapat lahir dari
hubungan hukum. Dapat disebutkan pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak
yang saling memerlukan. Pelaku usaha perlu menjual barang dan jasanya kepada
konsumen. Konsumen memerlukan barang dan jasa yang dihasilkan pelaku usaha.
Sehingga, kedua belah pihak saling memperoleh manfaat atau keuntungan.
Namun, dalam praktek sering kali konsumen dirugikan oleh pelaku usaha yang
nakal. Karena ketidak tahuan konsumen akan hak-haknya, akibatnya konsumen
menjadi korban pelaku usaha yang culas. Menurut UUPK, hubungan hukum
antara konsumen dengan pelaku usaha didasarkan pada perjanjian yang bersifat
transaksional. Jadi walaupun tidak diatur dalam suatu perjanjian yang bersifat
kontraktual, namun terjadi transaksi pembelian barang atau jasa dan disini
konsumen merasa dirugikan, maka konsumen berhak menuntut pelaku usaha yang
mengabaikan hak-hak konsumen.
Terjadi pengalihan barang dari satu pihak ke pihak lain, maka secara garis
besar pihak-pihak yang terlibat dapat dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu:
Pada kelompok pertama, kelompok penyedia barang atau penyelenggara jasa,
pada umumnya pihak ini berlaku sebagai:
a. Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa (investor)
13
Purbacaraka, 2010, Perihal Keadah Hukum, Citra Aditya, Bandung, h.37.
20
21
b. Penghasil atau pembuat barang/jasa (produsen/pelaku usaha)
c. Penyalur barang atau jasa. 14
Sedangkan dalam kelompok kedua terdapat:
a. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa dengan tujuan
memproduksi (membuat) barang atau jasa lain; atau mendapatkan barang atau
jasa itu untuk dijual kembali (tujuan komersial).
b. Pemakai atau pengguna (konsumen) barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya (non komersial).15
1. Hubungan Langsung
Hubungan langsung yang dimaksud pada bagian ini adalah hubungan
antara pelaku usaha dengan konsumen yang terkait secara langsung dengan
perjanjian. Tanpa mengabaikan jenis perjanjian-perjanjian lainnya, pengalihan
barang dari pelaku usaha kepada konsumen pada umumnya dilakukan dengan
perjanjian jual-beli, baik yang dilakukan secara lisan maupun tertulis. Salah satu
bentuk perjanjian tertulis yang banyak dikenal adalah perjanjian baku, yaitu
perjanjian yang banyak dipergunakan jika salah satu pihak sering berhadapan
dengan pihak lain dalam jumlah yang banyak dan memiliki kepentingan yang
sama. Perjanjian baku yang banyak ditemukan dalam praktik pada dasarnya
dilakukan berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam pasal
1338 ayat 1 KUHPer, yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah,
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sedangkan
14
Ahmadi Miru, 2011, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di
Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.33-34.
15
Ibid.
21
22
pengertian sah adalah telah memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan pasal
1320 KUHPer, sebagai berikut :
a. Kata sepakat mereka yang mengikat diri
b. Adanya kecakapan untuk mengadakan perikatan
c. Mengenai suatu objek tertentu dan
d. Mengenai causa yang diperbolehkan
Namun demikian, dipenuhinya keempat syarat di atas belum menjamin
sempurnanya perjanjian yang dimaksud, karena masih ada ketentuan ain yang
harus duperhatikan untuk menentukan apakah perjanjian tersebut sah tanpa ada
alasan
pebatalan,
sehingga
perjanjian
tersebut
mengikat
sebagaimana
mengikatnya undang-undang, Ketentuan yang dimaksud adalah kesempurnaan
kata sepakat karena apabila kata sepakat diberikan dengan adana kepaksaan,
kkhilafan atau penipuan, amak perjanjian tersebut tidak sempurna sehingga masih
ada kemungkinan diatalkan. Perjanjian demikian biasa disebut perjanian yang
mengandung cacat kehendak.16
2. Hubungan tidak langsung
Hubungan tidak langsung yang dimaksudkan pada bagian ini adalah
hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen yang tidak secara langsung
terkait dengan perjanjian, karena adanya pihak diantara pihak konsumen dengan
pelaku usaha. Ketiadaan hubungan langsung dalam bentuk perjanjian antara pihak
pelaku usaha dengan konsumen ini berarti bahwa pihak konsumen yang dirugikan
tidak berhak menuntuk ganti kerugian kepada pelaku usaha dengan siapa dan
tidak memiliki hubungan perjanjian, karena dalam hal hukum perikatan tidak
16
Ibid.
22
23
hanya perjanjian yang melahirkan (merupakan sumber) perikatan, akan tetapi
dikenal ada dua sumber perikatan, yaitu perjanjian dan undang-undang. Sumber
perikatan yang berupa undang-undang ini masih dapat dibagi lagi dalam undangundang saja dan undang-undang karena perbuatan manusia, yaitu sesuai dengan
hukum dan yang melanggar hukum.
Berdasarkan pembagian sumber perikatan diatas, maka sumber perikatan
yang terakhir, yaitu undang-undang karena perbuatan manusia yang melanggar
hukum merupakan hal yang penting dalam kaitan denga perlidungan konsumen.
Perbuatan melanggar hukum dalam KUHPer diatur dalam pasal 1365, yaitu: “Tiap
perbuatan melanggar hukum yang menyebabkan kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian itu”.
Berdasarkan ketentuan diatas, maka bagi konsumen yang dirugikan karena
mengkonsumsi suatu produk, tidak perlu harus terikat perjanjian untuk menuntut
ganti kerugian, akan tetapi dapat juga menuntut dengan alasan bahwa pelaku
usaha melakukan perbuatan melanggar hukum, dan dasar tanggung gugat pelaku
usaha adalah tanggung gugat yang didasarkan adanya kesalahan pelaku usaha.17
Terhadap konsumen yang mempunyai hubungan kontraktual dengan pelaku usaha
dapat dilindungi kepentingannya berdasarkan isi kontrak/perjajian, tetapi tidak
demikian halnya dengan konsumen yang tidak terikat secara kontraktual dengan
pelaku usaha.
17
Ibid, h 36.
23
24
2.1.2. Prinsip Tanggung Jawab
Prinsip tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam
hukum perlindungan konsumen. dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen
diperlukan kehati-hatian dalam menganlisis siapa yang harus bertanggung jawab
dan seberapa jauh tanggng jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.18
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat
dibedakan sebagai berikut:
1. Kesalahan (liability based on fault)
2. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability)
3. Praduga tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability)
4. Tanggung jawab mutlak (strict liability)
5. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability). 19
Adapun penjelasan dari prinsip-prinsip tanggung jawab :
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan adalah prinsip yang cukup
umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam KUHPer, khususnya
pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini
menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara
hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Dalam pasal 1365
KUHPer yang lazim dikeanal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum,
mengharuskan terpenuhnya empat unsur pokok, yaitu:
a. Adanya perbuatan;
b. Adanya unsur kesalahan;
c. Adanya kerugian yang diterima;
18
Shidarta, 2000, Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, h.59.
19
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit. h.92.
24
25
d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab (presumption of liability),
Prinsip ini meyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia
membutikan ia tidak berselah. Jadi beban pembuktian ada ada si tergugat.
3. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab (presumption of
nonliability), Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip ini untuk
tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi
konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara
common sense dapat dibenarkan. Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah
hukum pengangkutan, kehilngan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi
tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen)
adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut (pelaku
usaha) tidak dapat diminta pertanggung jawaban.
4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability), Prinsip tanggung jawab
mutlak sering diidentikan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute
liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua
terminologi diatas. Strict liability adalah prinip tanggung jawab yang
menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada
pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari
tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Sebaliknya, absolute liability
adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian.
5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan (limitation of liability principle),
prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha
25
26
untuk mencantumkan sebagai klasula eksonerasi dalam perjanjian standar yang
dibuat. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan bila film ingin
dicuci/dicetak itu hilang dan/atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas),
maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu
rol film baru. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila
ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UUPK seharusnya pelaku
usaha tidak boleh secara sepihak menetukan klausul yang merugikan
konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada
pembatasan mutlak harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
jelas.20
2.2
Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan
konsumen
adalah
istilah
yang
dipakai
untuk
menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam
usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan
konsumen itu sendiri. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memerikan perlindungan kepada
konsumen.
Rumusan pengertian perlindungan konsumen pada kalimat yang
menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan
sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan
20
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., h.100.
26
27
pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.21 Meskipun
undang-undang ini disebutkan UUPK namun bukan berarti kepentingan pelaku
usaha tidak ikut menjadi perhatian, teristimewa karena keberadaan perekonomian
nasional banyak ditentukan oleh para pelaku usaha.
2.2.1
Pengertian Konsumen
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-
Amerika), atau consument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument
itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harfifah arti consumer adalah
(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan
penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok
atau pengguna tesebut. Begitu pula kamus bahasa Inggris-Indoesia memberi arti
kata consumer sebagai pemakai atau konsumen22. Pengertian konsumen menurut
Pasal 1 angka 2 UUPK tentang Perlindungan Konsumen yakni “Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan”.
Az. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni :
a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan
untuk tujuan tertentu.
21
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h.1.
22
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, h.22.
27
28
b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa untuk
digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan
(tujuan komersial).
c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan
barang dan/jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan
atau rumah tangga dan tidak untuk diprdagangkan kembali (nonkomersial). 23
Bagi konsumen akhir, mereka memerlukan produk kosumen (barang atau
jasa) yang aman bagi kesehatan tubuh atau keamanan jiwa, serta pada umumnya
untuk kesejahteraan keluarga atau rumah tangganya. Karena itu yang diperlukan
adalah kaidah-kaidah hukum yang menjamin syarat-syarat aman setiap produk
yang akan dikonsumsi oleh manusia. Perlindungan itu sesungguhnya berfungsi
menyeimbangkan kedudukan konsumen dan pengusaha, dengan siapa mereka
saling berhubungan dan saling membutuhkan. Keadaan seimbang diantara para
pihak yang saling berhubungan, akan lebih menerbitkan keserasian dan
keselarasan materiil, tidak sekedar formil, dalam kehidupan manusia.
2.2.2
Hak dan Kewajiban Konsumen
Dalam upaya meningkatkan perlindungan hidup terhadap konsumen serta
mewujudkan tercapainya perlindungan dan kesejahteraan konsumen, maka
konsumen sendiri memiliki hak-hak konsumen serta kewjiban yang perlu
dipahami dan diterapkan. Yang dimaksud dengan Hak adalah kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi tidak tunduk orang lain, tidak dengan
23
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, h.25.
28
29
mempergunakan kekuatannya sendiri, tetapi berdasarkan pendapat umum atau
kekuatan umum24.
Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UUPK adalah sebagai
berikut :
a. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/jasa yang
digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta diskriminatif;
h. Hak untuk mendaptkan kompensansi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 25
Selanjutnya masing-masing hak tersebut dapat diuraikankan sebagai
berikut:
a. Hak atas keamanan dan keselamatan
Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin
keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang
24
Sunarjati Hartono, 1991, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h.36.
25
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit, h. 31.
29
30
diperolehnya, sehinggan konsumen dapat terjindar dari kerugian (fisik maupun
psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk.
b. Hak untuk memperoleh informasi
Hak atas informasi sangant penting, karena tidak memadainya informasi yang
disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk
cacat produk. Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar
konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk,
karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang
diinginkan/sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan
dalam penggunaan produk.
c. Hak untuk didengar
Hak yang erat kaitannya dengan hak untu mendapatkan informasi adalah hak
untuk didengar. Ini disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak yang
berkepentingan atau berkompetensi sering tidak cukup memuaskan konsumen.
d. Hak untuk memilih
Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya.
Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas
untuk membeli atau tidak membeli. Seandainnya membeli, ia juga bebas
menentukan produk mana yang akan dibeli.
e. Hak untuk mendapatkan produk dan jasa sesuai dengan nilai tukar yang
diberikan
30
31
Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang
tidak wajar.Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebaga penggantinya.
f. Hak untuk memperoleh ganti kerugian
Hak atas ganti kerugian ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang
telah menjadi rusak (tidak seimbang akibat adanya penggunaan barang dan jasa
yang tidak memenuhi harapan konsumen). Hak ini sangat terkait dengan
penggunaan produk yang telah merugikan konsumen, baik yang berupa
kerugian materi, maupun kerugian yang menyangkut diri (sakit,cacat, bahkan
kematian).
g. Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum
Hak ini tentu saja dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang
telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum.
h. Hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
Hak atas lingkungan yang bersih dan sehat ini sangat penting bagi setiap
konsumen dan lingkungan. Hak untuk memperoleh lingkungan bersih dan
sehat serta hak untuk memperoleh informasi tentang lingkungan ini diatur
dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.
i. Hak utuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang
Persaingan curang aau dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 disebut
dengan “persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi seorang pengusaha
berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan
usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan
31
32
alat atau sara yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam
pergaulan perekonomian.
j. Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen
Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru.
Oleh karena itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari
hak-haknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri sejalan dengan
kesadaran hukum. Makin tinggi kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi
penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan
konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat
melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat.
Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak konsumen yang harus dipenuhi
pelaku usaha, maka konsumen juga harus memenuhi kewajibannya. Menurut
pasal 5 UUPK, kewajiban konsumen adalah :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan kesalamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembeliaan barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
32
33
2.3
Pelaku Usaha
2.3.1
Pengertian Pelaku usaha
Dalam pasal 1 angka 3 UUPK disebutkan pelaku usaha adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjia menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Penjelasan
undang-undang: Pelak usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah
perusahaan, kooporasi, BUMN, importer, pedagang, distributor, dan lain-lain.26
Pengertian pelaku usah yang bermakna sedemikian luas tersebut bertujuan untuk
memudahkan konsumen dalam menuntut ganti kerugian. Konsumen yang
dirugikan akibat mengkonsumsi suatu produk tidak akan begitu kesulitan dalam
menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena banyak pihak yang dapat
digugat.27
Adapun ruang lingkup yang diberikan sarjana ekonomi yang tergabung
dalam Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) mengenai pelaku usaha adalah
sebagai berikut:
a. Investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai
kepentingan seperti perbankan, penyedia dana, dsb.
b. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau
jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa yang lain (bahan baku, bahan
26
Az. Nasution,2011, Hukum Perkindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media,
Jakarta, h.32.
27
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Op,cit, h.9.
33
34
tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Pelaku usaha dalam katagori ini
dapat terdiri dari orang dan/atau badan yang memproduksi sandang, orang
dan/atau badan usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian,
perbankan, orang/badan yang berkaitan dengan obat-obatan dan kesehatan.
c. Distribusi, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan
barang dan/jasa tersebut kepada masyarakat. Orang atau badan yang
melaksanakan distribusi disebut distributor. Distributor meliputi agen, eksportir
dan importer, dan pedagang (grosir dan pengecer).
Dapat disebutkan, bahwa pelaku usaha yang terdiri dari agen, distributor,
grosir dan pedagang eceran. Menurut hukum, pelaku usaha tersebut dapat dimintai
pertanggungjawaban atas kerugian yang diderita konsumen. Kajian atas
perlindungan terhadap konsumen tidak dapat dipisahkan dari telaah terhadap hahak dan kewajiban konsumen.
2.3.2
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Untuk kegiatan menjalankan usaha, undang-undang memberikan sejumlah
hak, kewajiban dan larangan kepada pelaku usaha. Pengaturan tentang hak,
kewajiban dan larangan itu dimaksudkan untuk menciptakan hubungan yang
sangat sehat antara pelaku usaha dan konsumenya. Yang menjadi hak-hak dari
pelaku usaha menurut Pasal 6 UUPK Tentang Perlindungan Konsumen adalah
sebagai berikut:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
34
35
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beretikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
merugikan konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak-hak pelaku usaha diatas juga disertai dengan berbagai kewajiban yang
diemban oleh UUPK sesuai dengan Pasal 7 sebagai berikut:
a. Beritikad baik daam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan,
dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau jasa diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.
35
36
2.4
Obat Tradisional
2.4.1. Pengertian Obat Tradisional
Obat tradisional merupakan obat-obatan yang dibuat dari bahan alami
secara tradisional. Obat ini merupakan resep yang berdasarkan nenek moyang atau
sudah ada sejak jaman dahulu. Dalam UU Kes pasal 1 angka 9, menyebutkan obat
tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (gelanik) atau campuran dari bahan tersebut
yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Jadi dapat dikatakan
obat tradisional merupakan suatu ramuan dari berbagai macam campuran alami
dari alam yang sifat dan jenis kandungannya sangat beragam yang secara turun
temurun diwariskan kepada generasi selanjutnya dengan berdasarkan pengalaman
dan telah di yakini dapat memberikan manfaat bagi kesehatan.
2.4.2. Macam Dan Bentuk Obat Tradisional
Obat tradisional sering kali disebut obat bahan alam yang diproduksi di
Indonesia. Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat
pembuktian khasiat, adapun macam-macam obat tradisional:
a. Jamu: Obat tradisional yang disediakan dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan
cairan yang berisi bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu serta
digunakan secara tradisional.
b. Obat herbal terstandar : Obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau
penyarian bahan alam yang dapat berupa tanaman obat, hewan, maupun
mineral. Untuk melaksanakan proses ini membutuhkan peralatan yang lebih
36
37
kompleks dan berharga mahal, ditambah dengan tenaga kerja yang mendukung
dengan pengetahuan maupun keterampilan pembuatan ekstrak.
c. Fitofarmaka : Obat tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan
obat modern karena proses pembutannya yang telah terstandar, ditunjang
dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia.28
Obat tradisional tersedia dalam berbagai bentuk yang dapat diminum atau
ditempelkan pada permukaan kulit. Adapun bentuk-bentuk obat tradisional:
a. Larutan
b. Serbuk
c. Tablet
d. Pil
e. Kapsul29
28
Priyanto, 2008, Farmakologi Dasar, Leskonfi, Jakarta, h.10
29
Anief, 2000, Ilmu Meracik Obat Teori Dan Praktek, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, h.32.
37
Download