Masyarakat Sipil dan Pengelolaan Keberagamaan (Studi atas

advertisement
BAB II
KONSEP NEGARA HUKUM, HAM DAN CIVIL SOCIETY DALAM
MASYARAKAT PLURAL
A. Konsep Negara Hukum Pancasila
Konsep negara hukum, pada awalnya sangat dekat dengan tradisi politik
negara-negara Barat, yaitu freedom under the rule of law. Hamdan Zoelva yang
mengutip Tamanaha, menjelaskan bahwa liberalisme yang lahir antara akhir abad
ke-17 dan awal abad ke-18 menempati ruang yang sangat esensial bagi konsep
negara hukum dan negara hukum pada masa kini.1
Secara embrionik, gagasan negara hukum telah disinggung oleh Plato
ketika ia memperkenalkan konsep Nomoi. Plato mengemukakan bahwa
penyelenggaraan negara yang baik adalah yang didasarkan pada hukum yang baik.
Gagasan ini kemudian dipertegas oleh muridnya Aristoteles yang ditulis dalam
bukunya Politica. Senada dengan Plato, konsep negara hukum menurut
Aristoteles adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan
kepada warga negaranya. Meski ide negara hukum telah ada sejak abad ke- 17,
namun konsep negara hukum baru berkembang secara eksplisit pada abad ke-19
dengan munculnya istilah rechtsstaat yang bertumpu pada tradisi eropa
kontinental, dan the rule of law yang bertumpu pada tradisi anglo saxon.2
1
Hamdan
Zoelva.
Negara
Hukum
dalam
Perspektif
Pancasila,
(https://hamdanzoelva.wordpress.com/2009/05/30/negara-hukum-dalam-perspektif-Pancasila/,
diunduh pada 10 Desember 2014.
2
Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), 2-3.
17
Menurut Jimly Asshiddiqie konsep negara hukum dengan istilah rechtstaat
telah dikembangkan oleh Imanuel Kant, F.J Stahl, Fichte dan lain-lain. Sedangkan
negara hukum dengan istilah the rule of law dikembangkan atas kepeloporan A. V
Dicey. Dengan mengutip Stahl, Jimly mengungkapkan empat ciri ataupun elemen
penting yang harus ada dalam negara hukum (rechtsstaat) yaitu:
1. perlindungan hak asasi manusia;
2. pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia;
3. peradilan tata usaha negara (administrasi);
4. pemerintahan berdasarkan perundang-undangan.3
Sementara itu, Dicey menguraikan unsur-unsur negara hukum (the rule of
law) yang lahir dari tradisi anglo-amerika, sebagai berikut:
1. supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law);
2. kedudukan yang sama didepan hukum (equality before the law);
3. terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang (due process of
law).4
Meski berasal dari tradisi dan latar belakang berbeda, baik rechtsstaat
maupun the rule of law lahir atas dasar yang sama, yakni perlindungan terhadap
hak-hak dan kebebasan individu serta pembatasan kekuasaan negara. Perumusan
ciri negara hukum dari konsep rechtsstaat dan the rule of law sebagaimana
diungkapkan oleh Stahl dan Dicey di atas, kemudian dikembangkan dan
diintegrasikan pada perincian baru yang lebih memungkinkan untuk menandai
ciri-ciri negara hukum modern masa kini. The International Commisison of Jurist
3
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Mahkamah
Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, 2004), 122.
4
Ibid.
18
pada konverensinya di Bangkok tahun 1965 mencirikan konsep negara hukum
yang dinamis yakni:
1. perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu
konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh
perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2. adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3. adanya pemilihan umum yang bebas;
4. adanya kebebasan menyatakan pendapat;
5. adanya kebebasan berserikat, berorganisasi dan beroposisi;
6. adanya pendidikan kewarganegaraan.5
Sudargo Gautama mengemukakan, bahwa teori negara hukum pada
hakikatnya menjunjung tinggi sistem hukum yang menjamin kepastian hukum dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu suatu negara yang
berdasarkan hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu,
termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya. Karena pada
dasarnya, negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan
diri dari tindakan sewenang-wenang penguasa.6
Mahfud MD menambahkan, selain perlindungan terhadap hak-hak
individu untuk menggunakan hak asasinya, konsep negara hukum juga didasari
atas suatu pemahaman bahwa hukum ditentukan oleh rakyat dan untuk mengatur
hubungan diantara sesama rakyat. Begitu dekatnya hubungan antara paham negara
5
Hamdan Zoelva, Negara Hukum dan Demokrasi: Peran Mahkamah Konstitusi dalam
Menegakkan Negara Hukum dan Demokrasi dalam “Negara Hukum yang Berkeadilan” (Bandung:
FH. Universitas Padjajaran, 2011), 623.
6
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum (Bandung: Alumni, 1983), 3.
19
hukum dan kerakyatan, muncul sebutan negara hukum yang demokratis
(democratische rechstaat) yang mensyaratkan demokrasi sebagai salah satu asas
negara hukum. Ide tentang perlindungan hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat
akan menuntut suatu sistem negara hukum yang demokratis.7
Landasan pemikiran inilah yang kemudian melahirkan konsep negara
hukum Barat sebagaimana dirumuskan oleh beberapa ahli, yakni pandangan
negara hukum yang didasari oleh semangat liberalisme dan demokrasi dengan
pembatasan kekuasaan negara terhadap hak-hak individu. Di samping itu,
rumusan-rumusan yang telah dipaparkan dengan jelas memperlihatkan bahwa
konsep negara hukum sesungguhnya bermuara pada satu hal pokok, yakni
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Dimana dalam
sebuah negara hukum, negara (pemerintah) harus tunduk dan mengikuti hukum
serta undang-undang yang ada, semua orang tanpa kecuali harus tunduk pada
hukum secara sama, yakni tunduk pada hukum yang adil. Dengan demikian,
perlindungan hak-hak fundamental warga negara dengan ketundukan para
pemegang kekuasaan negara pada hukum adalah merupakan esensi dari suatu
negara hukum.
Selain terdapat persamaan esensial dari rumusan-rumusan di atas, terlihat
pula perbedaan beberapa unsur dari konsep negara hukum dimasing-masing era
dan tempat dimana konsep itu lahir. Hal ini mengindikasikan bahwa konsep
negara hukum pada dasarnya tidak bermakna seragam, tetapi dimaknai berbeda
dalam ruang dan waktu. Dengan kata lain, konsepsi negara hukum sangat
7
Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi (Yogyakarta:Gama Media, 1999), 126-
127.
20
tergantung pada pengaruh kesejarahan, idiologi, falsafah bangsa serta setting
sosial budaya di suatu negara. Maka, untuk mengetahui secara tepat konsep
negara hukum Indonesia, terlebih dahulu perlu diketahui gambaran sejarah
perkembangan pemikiran yang mendorong lahirnya konsep negara hukum
Indonesia.
Secara historis, sejak berdirinya negara Indonesia pada 17 Agustus 1945,
para pendirinya telah menetapkan bangsa ini sebagai negara hukum. Hal tersebut
dapat dilihat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut UUD 1945 pra amandemen, yakni penjelasan umum
mengenai sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa “Negara
Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan tidak
berdasarkan kekuasaan (machtsstaat)”. Dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) pasca
amandemen menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Rumusan tersebut oleh Soepomo diartikan bahwa negara harus tunduk pada
hukum, peraturan-peraturan hukum dan berlaku bagi seluruh badan serta alat-alat
perlengkapan negara.8
Dengan ungkapan lain, rumusan tersebut mencerminkan bahwa konstitusi
Indonesia (UUD 1945) juga menghendaki pembatasan kekuasaan negara oleh
hukum, sebagaimana konsep negara hukum Barat. Ini sekaligus membuktikan
bahwa munculnya ide negara hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh konsep
negara hukum barat (rechtsstaat), sebagai konsekuensi dari kolonialisasi Belanda
yang telah menjajah Indonesia lebih kurang 350 Tahun.
8
Teguh Prasetyo dan Arie Purnomisidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila
(Bandung: Nusa Media, 2014), 1.
21
Meskipun awal kelahirannya diinspirasi dari konsep negara hukum Barat,
akan tetapi dalam tataran implementasi, negara hukum Indonesia memiliki
karakteristik yang berbeda, sesuai dengan dinamika sejarah yang melingkupinya.
Berbeda dengan latar belakang lahirnya pemikiran negara hukum Barat yang lahir
sebagai perjuangan melawan kekuasaan absolut para raja,9 pemikiran atau ide
negara hukum Indonesia didasari oleh semangat kebersamaan dari seluruh elemen
bangsa untuk membebaskan diri dari kolonialisme dengan cita-cita terbentuknya
bangsa baru bernama Indonesia yang merdeka, bersatu berdaulat adil dan
makmur. Hal tersebut terlihat dalam rumusan Pembukaan UUD 1945, sebagai
pernyataan kehendak lahirnya negara Indonesia dan dasar filosofis tujuan
negara.10
Teguh Prasetyo dan Arie Purnomosidi dengan berdasarkan kajian dan
pemahaman terhadap unsur-unsur negara hukum Indonesia, menyimpulkan bahwa
konsep negara hukum yang diimplementasikan di Indonesia baik pada saat
berlakunya UUD 1945 pra amandemen maupun dalam UUD 1945 amandemen,
memiliki ciri khas Indonesia yang terkandung dalam Pancasila. Dengan
argumentasi tersebut, Negara Hukum Indonesia disebut dengan negara hukum
Pancasila, yakni suatu negara hukum yang berlandaskan pada nilai-nilai, identitas
dan karakteristik yang terdapat dalam Pancasila. Landasan nilai-nilai Pancasila
dapat ditemukan pada lima sila dalam Pancasila, sedangkan identitas dan
9
Menurut Paul Scholten, gagasan negara hukum muncul sebagai reaksi terhadap kerajaan
yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang terkenal sebagai Bill of Rights 1689, yang berisi
hak dan kebebasan dari warga negara serta peraturan pengganti Raja di Inggris. Bahder Johan
Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia (Bandung: CV Mandar Maju, cet. III, 2014), 3.
10
Ibid.
22
karakteristik yang ada dalam falsafah Pancasila adalah Ketuhanan, kekeluargaan,
gotong-royong dan kerukunan.11
Disisi lain, konsep negara hukum Pancasila mempunyai keistimewaan
tersendiri terkait dengan budaya dan corak masyarakat Indonesia yang pluralis.
Oleh karena itu, konsep negara hukum Indonesia harus disesuaikan dengan
struktur sosial masyarakat Indonesia serta harus bisa mengikuti perkembangan
zaman dengan berlandaskan pada cita-cita negara Indonesia modern.12 Ini penting
dilakukan agar negara hukum Indonesia dapat mewujudkan kesejahteraan dan
keadilan bagi warga negaranya. Meminjam istilah Satjipto Rahardjo, agar
Indonesia sebagai negara hukum dapat benar-benar menjadi rumah yang
membahagiakan bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.13
Lebih lanjut, Teguh dan Arie mengidentifikasi unsur-unsur dalam negara
hukum Pancasila yang telah disesuaikan dengan perkembangan saat ini, dengan
mengacu pada pendapat beberapa ahli terutama dari Jimly Asshidiqie.
Menurutnya terdapat dua belas unsur penting yang harus ada dalam negara hukum
Pancasila masa kini, yaitu: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) supremasi Hukum
(supremacy of law); 3) pemerintahan berdasarkan hukum; 4) demokrasi; 5)
pembatasan kekuasaan negara; 6) pengakuan dan perlindungan HAM; 7) asas
persamaan di depan hukum; 8) impeachment (pemakzulan); 9) kekuasaan
kehakiman yang bebas dan merdeka; 10) peradilan tata negara (mahkamah
konstitusi); 11) peradilan tata usaha negara; 12) negara kesejahteraan (welfare
11
Teguh, Membangun Hukum...46-48.
Ibid, 39.
13
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta: Genta
Press, 2008), 14.
12
23
state).14 Unsur-unsur ataupun prinsip-prinsip dari negara hukum Pancasila sebagai
sebuah konsep sebagaimana disebutkan di atas, merupakan nilai yang diambil dan
“diramu” dari keseluruhan proses lahirnya negara Indonesia, dasar falsafah serta
cita hukum negara Indonesia.15
Melalui penelusuran sejarah perkembangan pemikiran konsep negara
hukum akan didapatkan bahwa negara hukum berdasarkan Pancasila secara tegas
menempatkan agama (Ketuhanan) sebagai elemen yang sangat penting, yang
berbeda dari konsep negara hukum Barat yang memisahkan antara agama dan
negara (sekuler). Namun ini juga tidak berarti bahwa negara Indonesia adalah
negara agama (teokrasi), yang hanya mendasarkan pada satu agama tertentu,
melainkan negara yang mengakui dan menjadikan nilai luhur semua agama di
Indonesia sebagai pijakannya, sesuai dengan realitas Indonesia yang majemuk.
Penyebutan kata „Allah‟ dalam pembukaan UUD 1945 menunjukkan
bahwa prinsip Ketuhanan menjadi elemen utama dari elemen negara hukum
Indonesia, yang khas, yang membedakan dengan negara hukum yang dikenal
secara umum. Selain itu, adanya pluralitas budaya, suku, etnis dan agama yang
dimiliki oleh bangsa ini, menjadi keunikan dan kekayaan tersendiri jika dikelola
dengan baik sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi oleh founding people.16
14
Ibid, 60-134.
Dalam konstitusi negara Indonesia, cita negara hukum menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Maka, istilah
cita hukum (Rechtsidee) berarti konsep-konsep hukum menurut bangsa Indonesia (Pancasila).
Teguh Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum berdasarkan Pancasila (Yogyakarta: Media Perkasa,
2013), 66-68.
16
Pancasila yang terumus dalam Pembukaan UUD 1945 adalah modus vivendi atau
kesepakatan luhur bangsa Indonesia. Pancasila sangat relevan dengan realitas bangsa Indonesia
yang plural. Pancasila akan menjadi ruang bagi bertemunya kompromi berbagai kepentingan yang
semula saling bertentangan secara diametral. Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara
Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta : Pustaka LP3ES, 2007), 35.
15
24
Berkaitan dengan model relasi agama dan negara, John Titaley
meyakinkan bahwa konsep negara Pancasila merupakan model terbaik diantara
bangsa-bangsa di dunia, yang khas Indonesia, unik dan memiliki signifikansi
universal. Salah satu argumen yang dikemukakan adalah presentasi MM Thomas
yang menggambarkan empat model yang dibentuk oleh negara Asia dalam
menghadapi sekularisasi.17
Pertama, Negara sekularistik; bentuk negara yang melarang agama dan
tidak mendukung eksistensi agama. Contoh: RRC selama revolusi. Kedua, Negara
sekuler; bentuk negara yang mengizinkan agama eksis dan diakui negara, tetapi
agama tidak boleh dicampuradukkan dengan politik. Contoh: india. Ketiga,
Negara agama; negara ketika sebuah agama tertentu diakui sebagai agama resmi
dan mendiskriminasi agama lain. Contoh: Pakistan. Dan keempat, Negara
Pancasila; negara ketika agama dan aliran kepercayaan serta pandangan hidup
diijinkan untuk mempunyai hubungan dengan kehidupan politik. Contoh:
Indonesia. Dalam negara Pancasila, agama tertentu tidak dijadikan menjadi dasar
negara, tetapi negara mengambil nilai-nilai agama dalam konstitusi.18
Senada dengan Titaley, dalam buku “Negara Paripurna” Yudi Latif
mengungkapkan bahwa Pancasila adalah penjelmaan falsafah bangsa Indonesia
yang paling realistis karena berpijak pada sejarah pembentukan nusantara itu
sendiri. Soekarno pernah mengatakan bahwa Indonesia adalah tamansari
peradaban dunia. Di tamansari peradaban dunia inilah telah hidup berbagai
macam suku bangsa dengan warna kulit, bahasa serta keyakinan yang berbeda.
17
John A. Titaley, Religiositas di Alenia Tiga, Pluralisme, Naionalisme dan Transformasi
Agama-agama (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 155-156.
18
Ibid.
25
Bhineka Tunggal Ika adalah sebuah keniscayaan dalam proses pembentuk bangsa
Indonesia. Untuk itu toleransi, pluralisme dan Ketuhanan yang berakar pada
sejarah pembentukan bangsa harus terus menerus dibina dan dijaga eksistensinya.
Karena tanpa itu kita hanya tinggal menunggu kehancuran Indonesia.19
Titaley menambahkan, pada alenia ketiga pembukaan UUD 1945,
pernyataan “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa...” yang awalnya
berbunyi “Atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa...” mengindikasikan
bahwa negara baru bernama Indonesia saat itu mengakui dan menggunakan kata
“Tuhan” sebagai perwujudan “Yang Mutlak”, yang merupakan representasi semua
agama di Nusantara--bahkan yang tidak diakui sebagai agama- dan menjadikan
seluruh masyarakat Indonesia setara, sederajat dan manusiawi dihadapan hukum
dan dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Namun sayang, konsep keberagamaan Pancasila yang disebutnya sebagai
model keberagamaan inklusif transformatif ini telah dicedirai dan sering diingkari
oleh para pemimpin bangsa.20 Atas dasar pengakuan akan keberadaan dan
kemahakuasaan tersebut, negara hukum Pancasila wajib menjamin kebebasan
beragama sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan.
1.
negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
2.
negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Pasal tersebut jelas menyatakan tentang hak beragama di Indonesia yang
dijamin oleh Undang-undang sebagai hak semua warga negara yang sah dan
19
Yudi Latif, Negara Paripurna:Historisitas,Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2011), 3.
20
Titaley, Religiositas di Alenia...153-154.
26
setara yang merupakan landasan yuridis formal untuk keyakinan umat beriman.
Tugas dan fungsi negara juga sangat jelas dinyatakan yakni untuk melindungi,
menjamin, memfasilitasi serta memberi pelayanan kepada setiap warga negara
untuk menjalankan setiap bentuk praktik keagamaan secara netral dan fair.
Dalam konteks kebebasan beragama di negara hukum Pancasila, Teguh
dan Arie berpandangan bahwa negara hanya boleh melakukan intervensi dalam
masalah-masalah administratif seperti penyediaan sarana dan prasarana (tempat
ibadah) serta penyelesaian konflik antarumat beragama secara adil. Jadi urusan
tatacara dan ajaran dari agama-agama sama sekali bukan urusan negara.21
Dengan demikian, dalam konteks negara hukum Indonesia--yang merujuk
pada prinsip negara hukum Pancasila mutakhir-, kebebasan beragama hanya bisa
diwujudkan jika negara (Pemerintah) benar-benar menyadari keragaman
(pluralitas) masyarakat sebagai kenyataan normatif yang mendasari pendirian
Indonesia. Sehingga semua pihak dapat diperlakukan secara sama dan setara
dihadapan hukum yang adil.
Dengan asumsi tersebut, Pemerintah ditingkat nasional hingga lokal harus
secara konsisten menghindari praktik sewenang-wenang, diskriminatif dan
melanggar hak asasi manusia. Disamping itu, secara konsekuen dan tegas dapat
menindak segala bentuk kekerasan dan intoleransi yang mengancam kebebasan
beragama di negara bhineka tungggal ika.
Tanda tanya besar yang perlu diajukan kemudian, jika negara hukum
Pancasila telah dengan jelas menjamin kebebasan beragama warga negaranya,
21
Prasetyo, Membangun Hukum...67-68.
27
mengapa pelanggaran terhadap kebebasan beragama tetap menjadi masalah serius
di bumi Pancasila?
Menurut Satjipto Rahardjo, dalam suatu konsep negara hukum disyaratkan
untuk selalu menjunjung tinggi adanya sistem hukum yang menjamin kepastian
hukum dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.22 Maka, diperlukan
suatu sistem hukum yang dapat menjamin dan melindungi hak-hak warga negara
termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama. Jika sistem merupakan suatu
kesatuan yang terdiri dari elemen yang saling berinteraksi, maka hukum sebagai
sebuah sistem merupakan suatu kesatuan utuh yang terdiri dari unsur-unsur yang
berkaitan erat satu dengan yang lain.
Teguh Prasetyo mencatat, sistem hukum merupakan suatu sistem yang
terbuka. Dalam sistem hukum yang terbuka kesatuan unsur-unsur dari sistem
hukum dipengaruhi faktor dari luar sistem, begitupun sebaliknya unsur-unsur
dalam sistem juga mempengaruhi unsur diluar sistem hukum tersebut. Oleh
karena itu, hukum selalu mengalami perkembangan mengikuti perkembangan
yang terjadi diluar sistem hukum itu sendiri.23
Terdapat tiga aspek dari sistem hukum menurut Lawrence Meir Friedman,
sebagaimana dikutip Teguh Prasetyo dan A. Halim Barkatullah, yaitu structure,
substance dan culture, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut.
1. Struktur hukum, (legal structure), yakni terkait lembaga-lembaga yang
berwenang membuat dan melaksanakan undang-undang. Seperti lembaga
pengadilan, lembaga legislatif dan penegak hukum.
22
Satjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia (Bandung: Alumni, 1978), 11.
Prasetyo, Hukum dan Sistem Hukum...40.
23
28
2. Substansi hukum, (legal substance) yakni menyangkut isi, materi atau
bentuk dari peraturan hukum atau perundang-undangan.
3. Budaya hukum (legal culture), yakni menyangkut kepercayaan akan nilai,
pikiran dan harapan masyarakat.24
Hukum akan berperan dengan baik manakala ketiga aspek subsistem yaitu
struktur, substansi dan budaya hukum saling berinteraksi dan memainkan peranan
sesuai fungsinya, sehingga hukum akan berjalan secara serasi dan seimbang
sebagaimana mestinya. Namun apabila ketiga subsistem hukum tidak berfungsi
dengan baik, maka akan muncul problem dalam upaya memfungsikan hukum.25
Dalam suatu negara hukum, ketiga elemen sistem hukum tersebut harus
menjadikan hukum sebagai panglima agar sistem hukum dapat bersinergi dan
selaras mewujudkan keadilan bagi semua. Dalam konteks negara hukum
Pancasila, ketiga subsistem baik kelembagaan, isi peraturan maupun budayanya
harus menginternalisasikan nilai-nilai dan falsafah yang ada dalam Pancasila.
Apabila hukum atau peraturan justru menimbulkan konflik di masyarakat,
kemungkinan terjadi ketidak cocokan antara salah satu atau ketiga sub sistem
hukum diatas. Jika budaya hukum dalam masyarakat secara umum menghargai
pluralisme sebagaimana tercermin dalam Pancasila, namun lembaga hukum
ataupun pemerintah serta substansi hukum bertentangan dengan nilai-nilai dan
falsafah Pancasila maka bisa dipastikan akan menimbulkan chaos di masyarakat.
Sebaliknya, jika materi hukum telah sesuai dengan Pancasila namun otoritas
24
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum:
Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan dan Bermartabat (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2012), 312.
25
Ibid.
29
lembaga dan budaya masyarakat tidak berkiblat pada kenyataan pluralisme bangsa
sebagaimana dijunjung dalam Pancasila, maka hukum tidak akan memberikan
keadilan bagi masyarakat. Begitu seterusnya, sehingga ketiga subsistem harus
sejalan agar hukum berfungsi dengan baik.
Di negara yang beraneka tradisi, suku, ras, bahasa dan agama seperti
Indonesia, dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat berbagai kepentingan. Di
antara kepentingan itu ada yang berselaras dengan kepentingan yang lain, tetapi
ada juga kepentingan yang memicu konflik dengan kepentingan lain. 26 Dalam
konteks ini pula hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu untuk
mencapai tujuannya.
Roscoe Pound berpandangan bahwa dalam fungsi hukum tercakup dua hal.
Pertama, hukum berfungsi sebagai rekayasa sosial (law as tool a social
engineering). Fungsi hukum sebagai sarana untuk mengadakan pembaruan
(rekayasa sosial) mengehendaki agar perilaku masyarakat diarahkan sesuai
dengan hukum. Kedua, hukum sebagai kontrol sosial (law as tool as social
control). Fungsi hukum sebagai sarana untuk pengendalian sosial (kontrol sosial)
adalah hukum berfungsi sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga
masyarakat dari ancaman-ancaman maupun perbuatan yang membahayakan diri
dan harta bendanya.27
Dalam konteks sosiologi hukum, fungsi hukum adalah untuk menertibkan
dan mengatur pergaulan serta menyelesaikan konflik yang terjadi dalam
26
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2004, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama), 130.
27
Soerdjono Soekamto, Beberapa Aspek Sosio Yuridis Dalam Masyarakat (Bandung:
Alumni, 1983), 270.
30
masyarakat.28 Sedangkan tujuan hukum seringkali diungkapkan dengan tiga hal
yang menentukan satu sama lain yakni kepastian, ketertiban (keteraturan) dan
keadilan.29 Maka, sebagaimana tujuan dan fungsi hukum, keberadaan hukum
menjadikan konflik tidak lagi dipecahkan menurut siapa yang paling kuat,
melainkan berdasarkan peraturan yang berorientasi pada keadilan, yakni
berorientasi pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai objektif dengan tidak
membedakan antara yang kuat dan yang lemah.
Ketika hukum telah dijadikan panglima dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, maka pola kehidupan dan sikap masyarakat maupun aparat negara
yang cenderung menyimpang dari norma hukum Pancasila akan dapat
dikendalikan dan mengalami perubahan. Dengan demikian, pendekatan sosiologis
juga diperlukan untuk menciptakan pola-pola baru agar masalah-masalah sosial
dapat dipecahkan dan mencapai tujuan dan fungsi sosial yang diharapkan,
sebagaimana termaktub dalam nilai-nilai dasar Pancasila.
B. Konsep Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Beragama
Terdapat tiga konsep dasar penyelenggaraan negara telah lahir dari paham
yang menolak kekuasaan absolut menyusul renaissance yang bergelora di dunia
barat, yakni perlindungan hak asasi manusia, demokrasi dan negara hukum.
Dalam paham ini dikatakan, pemerintah berkuasa karena rakyat bukan lagi
sebagai wakil Tuhan. Pemerintah berkuasa karena rakyat memberi kuasa
28
Soerdjono Soekamto, Suatu Tinjaun Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-masalah Sosial
(Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 1989), 274.
29
Lili Rasjidi dan I.B Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Sebuah Sistem (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1993), 127.
31
menyelenggarakan pemerintahan negara agar dapat memberi perlindungan atas
hak asasi manusia. Untuk melindungi hak asasi manusia negara harus dibangun di
atas prinsip negara hukum agar ada instrumen yang mengawasi dan mengadili jika
terjadi pelanggaran hak asasi manusia.30 Dengan kata lain, konsekuensi dari
negara hukum dan demokrasi adalah negara berkewajiban untuk melindungi hakhak asasi warganya, termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama.
Hak asasi manusia (HAM) merupakan suatu konsep etika politik modern
dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan
kemanusiaan. Gagasan ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang
bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya. Konsep HAM
berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan
bermartabat (human dignity). Karena itu, esensi dari konsep HAM adalah
penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa
diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun, serta pengakuan
terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi.31
Deklarasi Universal hak asasi manusia (Universal Declaration of Human
Rights) PBB pada 10 Desember 1948 atau dikenal dengan DUHAM merupakan
pernyataan definitif pertama tentang hak asasi manusia dan yang menyebutkan
secara jelas hak-hak yang bersifat universal. Meski secara gagasan, paradigma dan
kerangka konseptual telah ada sebelumnya dalam sejumlah dokumen historis
30
Nasution. Negara Hukum...9
Paul S. Baut dan Beny Harman, Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia (Jakarta:YLBHI
1988), vi.
31
32
seperti Magna Charta (1215), Bill of Rights England (1689), Rights of Man
France (1789), Bill of Rights USA (1791), Rights of Russian People (1917).32
Jan Materson dari komisi HAM PBB, dalam Teaching Human Rights
United Nation sebagaimana dikutip Baharudin Lopa menyatakan “Human Rights
could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and
without which can not live as human being”. Sementara John Locke
mengungkapkan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan
langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh
karenanya tidak ada kekuasaan dan keadaan apapun di dunia yang dapat
mencabutnya.33
Di Indonesia, definisi HAM secara terperinci diatur dalam UU Nomor 39
Tahun 1999 dimana jaminan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan
menjadi bagian fundamental hak asasi manusia. Pada Pasal 1 disebutkan “hak
asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia”, Dengan kata lain, hak beragama yang merupakan hak asasi
manusia, adalah hak setiap manusia yang dibawa sejak lahir dan bersifat kodrati
(fundamental) sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa -bukan pemberian
32
Peter Baehr, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2001)
33
Dede Rosyada, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta:
Prenada Media, 2003), 200-201.
33
manusia ataupun lembaga kekuasaan- yang harus dihormati dan dilindungi oleh
setiap individu, masyarakat dan negara.
Prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam dokumen hak asasi
manusia internasional (DUHAM) secara jelas disebutkan pada Pasal 18: “Setiap
orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini
mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan
untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran,
peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain, dimuka umum atau secara pribadi.”34
Selain dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Hak kebebasan
beragama dan berkeyakinan dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Kovenan ini telah diratifikasi
pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Isi dari kovenan tersebut
adalah sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir,
berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau
menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan,
baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum
atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan
ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran; (2) Tidak seorang pun boleh
dipaksa sehingga menggangu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu
agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.35
34
Baut, Kompilasi Hukum...81.
Ismail Hasani dan Nipospos Bonar Tigor (ed.), Mengatur Kehidupan Beragama;
Menjamin Kebebasan Beragama? Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan (Pustaka Masyarakat Setara, 2011), 24.
35
34
Maka dalam perspektif HAM, hak kebebasan beragama dan berkeyakinan,
tercakup dalam delapan komponen utama sebagai berikut:
1. Kebebasan Internal. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk
menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya
sendiri termasuk untuk berpindah agama dan keyakinannya.
2. Kebebasan Eksternal. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara
individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk
memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan
peribadahannya.
3. Tidak ada Paksaan. Tidak seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan
yang akan mengurangi kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi
suatu agama atau keyakinan yang menjadi pilihannya.
4. Tidak Diskriminatif. Negara berkewajiban untuk menghormati dan
menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di
dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk:
asli atau pendatang, serta asal usulnya.
5. Hak dari Orang Tua dan Wali. Negara berkewajiban untuk menghormati
kebebasan orang tua, dan wali yang sah, jika ada untuk menjamin bahwa
pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya sesuai dengan
keyakinannya sendiri.
35
6. Kebebasan Lembaga dan Status Legal. Aspek vital dari kebebasan
beragama
atau
berkeyakinan
bagi
komunitas
keagamaan
adalah
berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh karena itu
komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau
berkeyakinan termasuk di dalamnya hak kemandirian dalam pengaturan
organisasinya.
7. Pembatasan yang dijinkan pada Kebebasan Eksternal. Kebebasan untuk
menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh
undang-undang, dan itupun semata-mata demi kepentingan melindungi
keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum, serta
dalam rangka melindungi hak-hak asasi dan kebebasan orang lain.
8. Non-Derogability. Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama
atau berkeyakinan dalam keadaan apapun dan atas alasan apapun.36
Jika kebebasan beragama dan berkeyakinan termasuk dalam hak individu
yang tidak bisa ditunda pemenuhannya (non derogable rights), maka kebebasan
beragama merupakan hak asasi manusia yang fundamental yang harus dijamin
dan dilindungi oleh negara. Prinsip non derogable rights menegaskan tentang
hak-hak mendasar yang bersifat absolut dan oleh karena itu tak dapat
ditangguhkan dalam situasi dan kondisi apapun.
Hak-hak yang tercantum dalam prinsip non drogable rigths ini mencakup
hak hidup, hak atas keutuhan diri, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk bebas
beragama, berpikir dan berkeyakinan, hak untuk diperlakukan sama didepan
36
Nur Kholis Hidayat, Peradilan Kasus-Kasus Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
(Jakarta: LBH, 2011), 20-21.
36
hukum, hak untuk tidak dipenjara atas kegagalannya memenuhi kewajiban
kontraktual, serta hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku
surut. Dengan demikian, segala jenis tindakan yang dapat mengakibatkan
hilangnya hak seseorang ataupun kelompok untuk bebas bergama, dapat
dikategorikan sebagai pelanggran HAM.37
Musdah Mulia dengan mengutip Nowak, menjelaskan bahwa kebebasan
beragama dalam bentuk kebebasan mewujudkan, mengimplementasikan, atau
memanifestasikan agama dan keyakinan seseorang, seperti tindakan berdakwah
atau menyebarkan agama atau keyakinan dan mendirikan tempat ibadah
digolongkan dalam kebebasan bertindak (freedom to act). Kebebasan beragama
dalam bentuk ini diperbolehkan untuk dibatasi dan bersifat bisa diatur atau
ditangguhkan pelaksanaannya. Namun, penundaan pelaksanaan, pembatasan atau
pengaturan itu hanya boleh dilakukan berdasarkan undang-undang.38
Adapun alasan yang dibenarkan untuk melakukan penundaan pelaksanaan,
pembatasan, atau pengaturan itu adalah semata-mata perlindungan atas lima hal,
yaitu public safety; public order; public health; public morals;protection of rights
and freedom of others, sebagaimana penjelasan dibawah ini.
1. Restriction For The Protection of Public Safety (Pembatasan untuk
Melindungi Keselamatan Masyarakat). Pembatasan disini mencakup
tentang larangan terhadap ajaran agama yang membahayakan keselamatan
37
Ibid.
Musdah Mulia, HAM dan Kebebasan Beragama (Disampaikan pada acara Konsultasi
Publik untuk Advokasi terhadap RUU KUHP diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi
KUHP, tgl 4 Juli 2007 di Jakarta)
38
37
pemeluknya. Sebagai contoh, ajaran agama yang ekstrim, yang
menghalalkan bom bunuh diri, baik secara individu maupun secara masal.
2. Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan untuk
Melindungi Ketertiban Masyarakat). Pembatasan dalam kebebasan
memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum atau
masyarakat. Di antaranya, aturan tentang keharusan mendaftar ke badan
hukum bagi organisasi keagamaan masyarakat atau keharusan mendirikan
tempat ibadah pada lokasi yang diperuntukkan untuk umum
3. Restriction For The Protection of Public Health (Pembatasan untuk
Melindungi Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijinkan berkaitan
dengan kesehatan publik ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan
kepada pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau
penyakit lainnya. Pemerintah mewajibkan melakukan vaksinasi atau
mengambil sikap ketika ada ajaran agama tertentu yang melarang
vaksinasi, transfusi darah, melarang penggunaan infus dan seterusnya.
4. Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi
Moral Masyarakat). Misalnya, melarang implementasi ajaran agama yang
menyuruh penganutnya bertelanjang bulat ketika melakukan ritual.
5. Restriction For The Protection of The Fundamental Rigths and Freedom
of Others (Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan
orang lain). (1) Proselytism (Penyebaran Agama): Pemerintah dapat
membatasi kebebasan seseorang dalam memanifestasikan agama mereka
melalui aktivitas-aktivitas misionaris. Ini dilakukan dalam rangka
38
melindungi agar kebebasan beragama orang lain tidak terganggu atau
dikonversikan. (2) Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari
agama atau kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari
orang lain, seperti hak hidup, hak untuk bebas dari kekerasan,
perbudakan, kekejaman dan juga eksploitasi hak-hak pada kaum
minoritas.39
Dengan demikian, tujuan utama tindakan penundaan pelaksanaan,
pengaturan atau pembatasan kebebasan beragama di atas adalah dalam kerangka
untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan manusia atau hak milik warga
negara.
Dalam hal kebebasan beragama di Indonesia, secara legalistik-formal,
republik ini telah menjaminnya sebagai hak sipil warga negara yang dijamin oleh
undang-undang, ini dapat ditemukan dalam pasal 28 dan pasal 29 UUD 1945 yang
secara jelas telah mengatur hal tersebut. Pasal 28 (e) ayat 1, 2 dan 3 undangundang hasil amandemen, menyebutkan:
1. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
fikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya
2. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya
3. Setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat,
berkumpul
dan
mengeluarkan pendapat
39
Siti Musdah Mulia, Potret Kebebasan Beragama dan Berkayakinan di Era Reformasi.
Makalah disajikan dalam Lokakarya Nasional Komnas HAM, Penegakan HAM dalam 10 Tahun
Reformasi (Jakarta: Hotel Borobudur, 2008)
39
Pasal di atas dipertegas dengan pasal 29 ayat 1 dan 2 dimana negara harus
menjamin keberlangsungan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
1. Negara berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa
2. Negara menjamin kebebasan individu untuk menjalankan kewajiban
menurut agama dan kepercayaannya.
Pasal-pasal ini kemudian dikuatkan dengan UU nomor 39 tahun 1999 ayat
1 dan 2 dengan redaksi sebagai berikut:
1. Setiap orang berhak memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu
2. Negara menjamin kemerdekaan kemerdekaan tiap orang memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan
kepercayaannya itu.
Pasal-pasal di atas telah secara gamblang dinyatakan tentang hak
beragama dan berkeyakinan di Indonesia yang dijamin oleh konstitusi sebagai hak
semua warga negara yang sah dan setara yang merupakan landasan yuridis formal
untuk keyakinan umat beriman di Indonesia. Selain itu, Pemerintah juga telah
meratifikasi beberapa kovenan internasional yang memberikan jaminan kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Maka, amanat konstitusi tersebut sudah seharusnya
menjadi panduan dalam memproduksi kebijakan dibawahnya.
Nurkholis Hidayat mencatat, ketentuan jaminan nasional dan internasional
terdapat dalam beberapa instrumen antara lain: DUHAM Pasal 18, UUD 1945
Pasal 28e dan 29, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 4 dan 22, UU
Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan ICCPR atau kovenan tentang hak sipil
40
dan politik, UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang pengesahan CERD atau kovenan
Penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial, UU Nomor 11 Tahun 2005
tentang Ecosob atau Kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya.40 Maka, prinsip
kebebasan beragama di Indonesia di samping mengacu pada instrumen hukum
internasional mengenai HAM (DUHAM), juga mengacu pada konstitusi dan
sejumlah Undang-undang lainnya yang berkaitan dengan penegakan HAM.
Namun, dalam implementasi DUHAM yang merupakan tonggak
bersejarah peradaban manusia tersebut mengalami hambatan pelaksanaan
dikarenakan asumsi deklarasi ini adalah karya manusia yang tidak bisa melebihi
wahyu Tuhan sebagaimana klaim yang difatwakan oleh para pemuka agama di
beberapa belahan dunia. Akibatnya, negara yang seharusnya mendapat wewenang
penuh untuk melindungi perwujudan HAM tidak sanggup melaksanakan
kewajibannya ketika berhadapan dengan klaim tersebut. Oleh karenanya, menurut
Titaley, mengatasi eksklusivisme menjadi penting dalam relasi agama, negara dan
HAM. Selama eksklusivisme ini masih kental dalam kehidupan beragama
masyarakat, maka masalah masih akan terus terjadi di negeri Pancasila ini.41
Dalam masyarakat yang multi-SARA seperti Indonesia, agama memang
lebih dimaknai sebagai organisasi sosial dari pada seperangkat nilai dan
spiritualitas. Agama tidak hanya menjadi urusan pribadi antara hamba dengan
Tuhannya, tetapi juga sebagai landasan dan rujukan dalam setiap tindakan sosial,
politik, ekonomi dan budaya. Konsekuensi logis yang harus ditanggung, adalah
terjadinya tarik menarik antara agama dan kekuasaan, serta kompetisi dalam satu
40
Hidayat, Peradilan Kasus-Kasus...19.
Titaley, Religiositas di Alenia...1-2.
41
41
organisasi agama ataupun dengan agama lain. Kompetisi tersebut sesungguhnya
wajar terjadi dalam masyarakat, akan tetapi ketika kompetisi melebar ke arena
politik kekuasaan, yang terjadi kemudian adalah kontestasi merebut ruang publik
dan pengaruh politik. Disinilah sebuah regulasi yang adil dan dapat
mempertahankan kemajemukan menjadi sebuah kebutuhan.
C. Dari SKB ke PBM: Upaya Negara dalam Mengelola Kehidupan
Beragama
Tujuan negara Indonesia sebagai negara hukum mengandung konsekuensi
bahwa negara berkewajiban untuk melindungi hak-hak asasi warganya, baik
dalam bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan agama.
Sebagai negara yang bertanggungjawab atas terciptanya kerukunan
antarumat beragama, Pemerintah kemudian melakukan berbagai upaya dalam
menjaga hubungan harmonis antarumat beragama. Salah satunya dengan
membenahi peraturan tentang “Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam
Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadah
Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya” dalam Surat Keputusan Bersama (selanjutnya
disebut SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri dengan Nomor
01/BER/MDN-MAG/1969, yang telah dikeluarkan pada 13 Desember 1969.42
Regulasi ini lahir untuk menjawab tantangan baru hubungan antaragama
pada masa Orde Baru. SKB ini tidak secara khusus mengatur tentang pendirian
rumah ibadah. Peraturan tersebut secara umum mengatur tentang pengembangan
42
Dokumen SKB Nomor 1 tahun 1969.
42
dan penyiaran agama yang di dalamnya terkait dengan keberadaan rumah ibadah.
Pada Pasal pendirian rumah ibadah, SKB Dua Menteri ini menyatakan bahwa
pendirian rumah ibadah harus mendapatkan ijin dari kepala daerah setempat. Ijin
pendirian rumah ibadah akan dikeluarkan jika. pemohon telah mendapatkan
rekomendasi dari kepala perwakilan Departemen Agama, peneliti planologi, dan
persetujuan dari masyarakat setempat.43
Namun, maraknya konflik tempat ibadah yang memuncak di tahun 2005
semakin memicu ketegangan sosial diantara kelompok agama. SKB tersebut
dinilai banyak kalangan multitafsir dan diskriminatif. Maka Pemerintah-pun
terdesak memperbarui regulasi rumah ibadah yang terdapat dalam SKB no 01
tahun 1969, sehingga regulasi yang khusus mengatur tentang rumah ibadah segera
direalisasikan. Satu tahun kemudian, pada 2006 Pemerintah menerbitkan
Peraturan Bersama Menteri (selanjutnya disebut PBM) tentang “Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama
dan Pendirian Rumah Ibadah” no 8 dan 9 tahun 2006.44
PBM ini sangat detail mengatur kewenangan pemeliharaan kerukunan
umat beragama, mekanisme perijinan rumah ibadah, dan penyelesaian jika terjadi
konflik. PBM terdiri dari 30 Pasal yang dibagi dalam 10 bab, yakni: (1) Ketentuan
Umum; (2) Tugas Kepala Daerah; (3) Tugas dan Peran Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB); (4) Pendirian Rumah Ibadah (5) Rumah Ibadah Sementara;
(6) Ijin Sementara Pemanfaatan Gedung; (7) Penyelesaian Perselisihan; (8)
43
44
Ihsan Ali Fauzi, Kontroversi Gereja di Jakarta (Yogyakarta: CRCS UGM, 2011), 34.
Suara Merdeka, 23 Maret 2006, Menag: Sudah Tidak Multitafsir.
43
Pengawasan dan Pelaporan; (9) Sumber Dana FKUB; dan (10) Mekanisme
Peralihan dan Penutup. PBM ini antara lain mengatur bahwa pendirian rumah
ibadah wajib memenuhi syarat, yaitu (1) Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk
(KTP) 90 orang pengusul rumah ibadah yang disahkan oleh pejabat sesuai dengan
batas wilayah setempat, (2) KTP 60 orang warga setempat yang disahkan oleh
kepala desa atau lurah, (3) Rekomendasi tertulis dari kantor Departemen Agama
kabupaten atau kota setempat, (4) Rekomendasi dari FKUB kabupaten setempat
Rekomendasi tersebut harus didasarkan pada musyawarah mufakat dan tidak
dapat dilakukan dengan voting.45
Oleh Pemerintah PBM ini dianggap lebih baik karena disusun berdasarkan
berbagai pengalaman penerapan SKB sebelumnya, sehingga kekurangan yang ada
bisa
diperbaiki.
Namun,
setelah
hampir
sembilan
tahun
PBM
ini
diimplementasikan, celah diskriminasi justru semakin lebar terjadi pada warga
minoritas. Seperti di Bali, warga muslim yang merupakan minoritas tetap sulit
untuk mendirikan rumah ibadah, dan warga Kristen kesulitan mendirikan
bangunan di wilayah yang mayoritas Islam, begitu pula sebaliknya. Kesulitan ini
lebih disebabkan karena PBM nomor 8 dan 9 tahun 2006 terlalu rigid mengatur
hal-hal yang bersifat administratif.46
45
Dokumen PBM Nomor 8 dan 9 tahun 2006.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Tim dari Paramadina dan CRCS, menyimpulkan
bahwa peluang diskriminasi dapat dilihat dalam beberapa hal yaitu: pertama, politisasi
kewenangan pemerintah daerah dalam megeluarkan IMB. Kedua, keanggotaan FKUB berdasarkan
presentasi jumlah pemeluk agama, mengakibatkan minoritas selalu kalah dalam voting meski
tertera bahwa keputusan FKUB harus dengan musyawarah mufakat. Ketiga, persyaratan dukungan
60 KTP seringkali melahirkan diskriminasi pada masyarakat yang kurang toleran. Fauzi,
Kontroversi Gereja...37-38 .
46
44
Berdasarkan konstitusi, regulasi negara, dan sejumlah instrumen hukum
internasional sebagaimana disebutkan pada sub bab sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa tidak ada alasan bagi siapapun, termasuk negara untuk
melarang umat beragama mendirikan rumah ibadah. Jadi, pendirian rumah ibadah
merupakan hak setiap individu atau kelompok masyarakat. Mengutip Dawam
Rahardjo, pendirian rumah ibadah seharusnya tidak lebih sulit dari pada pendirian
bangunan lainnnya seperti pendirian panti pijat ataupun klub malam. Karena pada
hakikatnya pendirian rumah ibadah tak memiliki bahaya apapun, sebaliknya hal
itu akan menjadi berkah bagi semua orang, dikarenakan kehadiran rumah ibadah
meniscayakan hadirnya manusia-manusia beriman yang berakhlak mulia.47
Menurut Nella Sumika Putri, pada dasarnya pembatasan kebebasan
beragama yang dilakukan oleh Pemerintah diperkenankan dan tidak melanggar
HAM sepanjang berkaitan dengan forum externum (kebebasan memanifestasikan
ajaran yang dipeluknya) dan dilaksanakan tanpa ada diskriminasi. Hal ini pun
dengan catatan bahwa pembatasan hanya boleh didasarkan pada undang-undang.
Akan tetapi, karena PBM no 8 dan 9 tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah
bukan merupakan produk undang-undang dan dalam pengimplementasiannya
melahirkan diskriminasi dan ketidakadilan, maka dapat dikatakan PBM tersebut
merupakan produk yang inkonstitusional.48
Maka dalam konteks tersebut, keberadaan regulasi yang secara
komprehensif menjamin terlaksananya hak beragama dan berkeyakinan semakin
47
Dawam Rahardjo, Kebebasan Beragama Bukan Karunia Pemerintah (Jakarta: Veritas
Dei vol 6 Juni 2012 Tahun III), 5.
48
Nella Sumika Putri, Pelaksanaan Kebebasan Beragama di Indonesia (External Freedom)
dihubungkan Ijin Pembangunan Rumah Ibadah (Bandung: Jurnal Dinamika hukum Unpad, vol. 11
no. 2 Mei2011), 237.
45
mendesak diejawantahkan. Regulasi yang dapat memberikan kepastian hukum
bagi setiap warga negara Indonesia dalam melaksanakan haknya atas kebebasan
untuk beragama dan berkeyakinan di negara multi-SARA ini.
Dengan hadirnya regulasi pendirian rumah ibadah yang adil, netral dan
non-diskriminatif maka akan dapat mencegah regulasi sosial yang diciptakan oleh
kelompok-kelompok diluar institusi negara. Karena pada realitasnya, regulasi
sosial lebih membatasi kebebasan beragama dibanding regulasi yang dibuat
negara, disebabkan negara seringkali tunduk pada tekanan sosial dari kelompokkelompok yang mengatasnamakan mayoritas.
D. Konsep Civil Society dalam Masyarakat Plural
Secara analitis, konsep civil society bukanlah merupakan suatu konsep
yang final dan „siap pakai‟, melainkan sebuah wacana yang harus dipahami
sebagai sebuah proses yang terus berkembang dan berdialog dengan zamannya.
Oleh karena itu diperlukan sebuah analisa historik dalam rangka memahami dan
menemukan ciri atau konsep civil society yang relevan dengan setting sosialkultural, politik dan ekonomi suatu bangsa. Dalam kajian ini, konsep civil society
dipakai untuk menjelaskan sejauh mana suatu kelompok gerakan masyarakat
dapat disebut sebagai bagian dari civil society.
Di Indonesia, sebagai sebuah terminologi, civil society memiliki
penerjemahan
yang
berbeda-beda.
Diantara
terjemahan
tersebut
adalah
masyarakat sipil, masyarakat madani, masyarakat kewargaan, masyarakat warga
dan civil society (tanpa diterjemahkan). Dalam studi ini, penulis menggunakan
46
istilah
masyarakat
sipil
sebagai
terjemahan
dari
civil
society
untuk
menggambarkan sebuah konsep atau tatanan komunitas masyarakat yang
mengedepankan toleransi, demokrasi dan berkeadaban serta menghargai
pluralisme sebagai sebuah keharusan dalam konteks keindonesiaan.
Secara historis, wacana mengenai civil society (masyarakat sipil) bermula
dan berkembang dalam tradisi pemikiran politik Barat dan telah melalui
perjalanan sejarah sejak zaman Yunani kuno. Wacana masyarakat sipil merupakan
konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat Eropa Barat
yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan feodal menuju
kehidupan masyarakat industri kapitalis.49
Gagasan masyarakat sipil telah ada dalam pembicaraan tentang filsafat
sosial pada abad ke-17 hingga akhir abad ke-19 di Eropa.50 Bahkan menurut
beberapa sarjana, wacana masyarakat sipil telah mengemuka sejak abad ke-4 SM
dalam pemikiran Aristoteles (384-322 SM), yang dipahami dengan istilah
koinonia politike (masyarakat politik). Istilah ini dikemukakan Aristoteles untuk
menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di
dalamnya bekedudukan sama didepan hukum (ethos).51 Dalam konsep Aristoteles
gagasan masyarakat sipil adalah sebuah ide tentang keadilan bagi semua warga
negara untuk diperlakukan setara tanpa membedakan apapun.
49
M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan
Sosial (Jakarta: LP3ES, 1999), 133.
50
Ibid.
51
Ethos dalam masa itu dipahami sebagai seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya
berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan (virtue) dari
berbagai bentuk interaksi diantarawarga negara. Jean L.Cohen dan Andrew Arato, Civil Society
and Political Theory (Cambridge: MIT Press, 1992), 84-85.
47
Konsepsi Aristoteles ini kemudian diikuti oleh Marcus Tullius Cicero
(106-43 SM) yang mula-mula menggunakan istilah dari bahasa latin societies
civilies, yang secara harfiah diterjemahkan dengan civil society. Lahirnya istilah
tersebut berkaitan dengan warga romawi yang hidup di kota yang telah memiliki
hukum sipil (civil law) sebagai ciri masyarakat beradab berhadapan dengan warga
diluar romawi yang dianggap belum beradab (barbarian). Dalam jangka waktu
cukup lama, istilah tersebut menghilang dan baru muncul kembali pada
pertengahan 1950-an hingga 1960-an.52
Thomas Hobes, John Locke dan JJ. Rousseau adalah orang yang
menghidupkan kembali istilah civil society (masyarakat sipil) di alam modern.
Hobbes, Locke dan Rousseau memahami masyarakat sipil sebagai tahapan lebih
lanjut dari natural society (masyarakat alami) dengan mentautkan asal-usul negara
atau masyarakat politik sebagai hasil dari kontrak sosial. Terlepas dari perbedaan
gagasan diantara mereka, ketiga tokoh ini hendak menggambarkan satu bentuk
masyarakat beradab sebagaimana dicita-citakan Aristoteles dan Cicero. Baik
dalam pandangan Hobes, Locke maupun Rousseau belum dikenal perbedaan
antara masyarakat sipil, masyarakat politik dan negara.53 Dengan kata lain,
mereka meyakini masyarakat sipil sebagai kebalikan dari masyarakat alami dan
ketiganya masih mengidentikkan negara, masyarakat politik dan masyarakat sipil
sebagai entitas yang sama, yang membedakan dengan masyarakat alami.
Arief Budiman memiliki pandangan senada terkait sejarah lahirnya
gagasan masyarakat sipil. Menurutnya, kehadiran konsep masyarakat sipil di
52
Rahardjo, Masyarakat Madani...137.
Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society, Wahana dan Aksi Ornop di Indonesia
(Jakarta:LP3ES, 2006), 44.
53
48
Eropa tidak dapat dilepaskan dari munculnya konsep natural society (masyarakat
alami). Ini adalah sebuah konsep tentang masyarakat dimana mereka hidup secara
alamiah dan belum mengenal hukum kecuali hukum alam (hukum rimba). Untuk
mengatasi hal yang memungkinkan adanya pertentangan antar kelompok atau
antar individu, rakyat kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada suatu badan
yang disebut sebagai negara. Badan ini kemudian berkembang dan mempunyai
kekuasaan yang sangat besar yang mampu mengontrol semua kehidupan
masyarakat. Kekuatan dan hukum alam kemudian digantikan dengan kekuatan
dan hukum politik yang dikenal sebagai political society (masyarakat politik).54
Perbedaan antara masyarakat sipil dan negara baru muncul pada
pandangan G. W. F Hegel yang kemudian diikuti Karl Marx dan Antonio Gramsci
yang me-vis-a-vis-kan masyarakat sipil dengan negara, dan tidak lagi
menyamakan masyarakat sipil dengan pemerintahan sipil (negara). Ketiga tokoh
ini menekankan konsep masyarakat sipil sebagai elemen ideologi kelas dominan
(borjuis) yang melawan tindakan sewenang-wenang negara.55 Dengan demikian,
Hegel dan pengikutnya telah mengembangkan konsep masyarakat sipil dengan
menambahkan domain masyarakat ekonomi yang menyatu dengan masyarakat
sipil dan memisahkan domain masyarakat politik yang identik dengan negara.
Pada periode berikutnya, konsep tentang masyarakat sipil dikembangkan
oleh Alexis de‟ Tocqueville, sebagai reaksi atas pemikiran Hegel. Meski ia sendiri
merupakan orang berkebangsaan Perancis, namun ia telah memberikan gambaran
cukup komperhensif mengenai konsep masyarakat sipil dalam konteks demokrasi
54
Arief Budiman, State and Civil Society in Indonesia (Clayton: Center of Southheast Asian
Studies Monash University, 1990), 3-4.
55
Ibid, 48-50.
49
Amerika Serikat. Pada awal pembentukannya, demokrasi di sana dijalankan
melalui masyarakat sipil berupa pengelompokan sukarela dalam masyarakat yang
concern membuat keputusan pada tingkat lokal dan menghindari intervensi
negara. Dalam konteks ini, teori masyarakat sipil dikembangkan sebagai
komunitas penyeimbang kekuatan bagi negara agar tidak bertindak sewenangwenang.
Tocqueville berpandangan bahwa kekuatan politik dan masyarakat sipil
telah menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Masyarakat sipil
dalam konteks ini digambarkannya sebagai masyarakat yang
menjunjung
pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik. Dengan prasyarat tersebut
Tocqueville mengasumsikan warga negara akan mampu mengimbangi dan
mengontrol kekuatan negara.56 Disini, Tocqueville masih mengidentikkan domain
masyarakat politik dengan negara, meski di sisi lain ia juga telah mengembangkan
gagasan
Gramsci
dengan
memisahkan
atau
mendikotomikan
hubungan
masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi.57
Berbeda dengan para pendahulunya yang memposisikan masyarakat sipil
sebagai kelompok subordinatif negara. Paradigma yang diusung Tocqueville ini
lebih menekankan pada masyarakat sipil yang tidak apriori subordinatif terhadap
negara. Konsep masyarakat sipil dalam pengertian ini merupakan suatu entitas
yang keberadaanya mampu melampaui batas-batas kelas dan dapat menjadi
kekuatan penyeimbang (balancing force) terhadap kecenderungan intervensionis
negara. Pada saat yang sama, masyarakat sipil mampu melahirkan kekuatan kritis
56
Alexis de Tocqueville, Democracy in America (New York: Alferd A Knopf, 1994).
Culla, Rekonstruksi Civil... 48
57
50
reflektif (reflective force) yang dapat mencegah atau mengurangi derajat konflik
dalam masyarakat. Timbulnya konflik dalam masyarakat oleh Tocqueville disebut
sebagai akibat dari proses formasi sosial modern yang mendorong terjadinya
formalisme dan kekuatan birokratis.58
Bagi Tocqueville, masyarakat sipil bertanggung jawab mengontrol negara
yang cenderung despotik. Karena itu, masyarakat sipil harus mencari dan
menemukan perangkat yang dapat digunakan untuk membatasi kekuasaan negara,
misalnya dengan pembagian kekuasaan atau pemilihan umum secara periodik.
Kontrol kekuasaan tetap dipegang oleh masyarakat sipil. Interaksi asosiasiasosiasi bebas dan mandiri yang mampu mengimbangi kekuasaan negara, oleh
Tocqueville disebut sebagai independent eye of civil society.59
Penjelasan tentang teori masyarakat sipil dalam paradigma Tocquevellian
di atas menuju pada satu definisi bahwa masyarakat sipil merupakan suatu
komunitas atau kelompok masyarakat yang memposisikan diri sebagai
penyeimbang kekuatan (balancing force) agar kekuatan besar yang dimiliki oleh
negara tidak menghegemoni dan memasung kebebasan masyarakat yang sejatinya
adalah pemilik negara. Karakteristik yang dapat disarikan dari konsep Tocqueville
dalam konteks Amerika Serikat adalah, 1) menjunjung pluralitas; 2) bersifat
otonom (mandiri); 3) egaliter; 4) memiliki kapasitas politik; 5) bersikap kritis dan
reflektif terhadap segala kebijakan negara.
Konsep
tentang
masyarakat
sipil
kontemporer
dengan
kerangka
pemahaman lebih luas, dikemukakan oleh Jean Louis Cohen dan Andrew Arato.
58
M. AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1997), 84-85..
Neera Chandoke, The State and Civil Society: Exploration in Political Theory (New
Delhi: Sage Publications, 1995), 161.
59
51
Kedua
ilmuwan
ini
mengembangkan
konsep
masyarakat
sipil
dengan
menyebutkan:
...a sphere of social interaction between economy and state, compose
above all of the intimate sphere (especially the family), the sphere of
associations (especially voluntary associations), social movements, and
forms of public communications60
Dalam pengertian ini masyarakat sipil merupakan suatu ruang interaksi
sosial antara ekonomi dan negara. Pemahaman terhadap ruang disini adalah suatu
ruang asosiasi bersifat sukarela yang terwujud dalam gerakan-gerakan sosial dan
bentuk-bentuk komunikasi publik. Selanjutnya ia menciptakan bentuk-bentuk
konstitusi-diri dan memobilisasi diri serta diinstitusionalisasi dan digeneralisasi
melalui hukum dan hak-hak subjektif.
Menurut Cohen dan Arato masyarakat sipil adalah wilayah sosial di luar
lembaga resmi yang tidak hanya mengontrol proses ekonomi, namun juga
mengkritik dan mengontrol negara, sekaligus mengkritik dan memisahkan
masyarakat politik sebagai domain yang tunggal. Dengan demikian masyarakat
sipil mengacu pada kehidupan individu dalam organisasi yang bekerjasama
membangun ikatan sosial, menggalang solidaritas kemanusiaan di atas prinsipprinsip egaliterianisme dan inklusivisme universal.
Bagi Cohen dan Arato masyarakat sipil bukan hanya pelaku, melainkan
juga penghasil ruang publik politis. Ruang publik politis yang dihasilkan aktoraktor masyarakat sipil dicirikan oleh pluralitas (kelompok non formal dan
kelompok sukarela), publisitas (media massa dan institusi budaya), privasi (moral
60
Cohen, Civil Society...ix.
52
dan pengembangan diri) serta legalitas (struktur hukum dan hak-hak dasar).
Sedangkan karakter dari masyarakat sipil minimal harus memiliki empat prasyarat
yang harus dipenuhi yaitu otonom (autonomy); wilayah publik yang bebas (free
public sphere); wacana publik (public discource); dan interaksi berdasarkan
prinsip-prinsip kewarganegaraan (citizenship).61
Melalui penelusuran historik di atas, terlihat bahwa konsep masyarakat
sipil sangat beragam, tidak hanya dalam terminologi tapi tentunya dalam gagasan
yang berkelindan disetiap terminologi yang muncul dan berkembang seiring
perkembangan sejarahnya. Dari masa Aristoteles yang memaknai masyarakat sipil
sebagai satu entitas dengan negara, hingga era Cohen dan Arato yang memandang
masyarakat sipil sebagai entitas yang berbeda dengan domain negara, masyarakat
politik dan masyarakat ekonomi. Penulis akan menghadapi masalah ketika harus
mengadopsi dan menerapkan konsep teori-teori Barat tanpa memperhatikan
konteks sejarah serta pengalaman negeri non-Barat yang berbeda.
Dalam pengelompokan pandangan masyarakat sipil, tampak bahwa
masyarakat sipil menjadi prasyarat utama yang diperlukan dalam sebuah proses
demokratisasi, dimana prinsip egalitarianisme dan supremasi hukum dijunjung
tinggi. Ini semakin diperjelas oleh Tocqueville yang mengambil pengalaman
demokrasi Amerika, bahwa tujuan masyarakat sipil adalah sebagai wadah
asosiasi untuk berpartisipasi dalam mengawal, menjaga, dan mengawasi
pemerintah dengan segala kebijakannya agar tidak hegemonik dan otoriter.
Dengan harapan, pemerintah akan menjalankan fungsinya untuk menjamin hak
61
Ibid, 46-61
53
milik, kehidupan, pluralitas dan kebebasan para anggotanya serta tidak
mendominasi masyarakat.
Dalam kajian ini penulis mengidentifikasi beberapa karakteristik
masyarakat sipil yang dikemukakan oleh beberapa sarjana Indonesia untuk
menjadi pijakan dalam merumuskan sebuah konsep masyarakat sipil yang lebih
spesifik, aktual dan kontekstual dengan keindonesiaan saat ini. Identifikasi ini
bermanfaat untuk menganalisa sejauh mana sebuah asosiasi, organisasi,
komunitas ataupun
kelompok masyarakat bisa disebut sebagai bagian dari
masyarakat sipil yang dapat mendorong laju demokrasi di negeri berbhineka ini.
AS Hikam dengan memegang konsep Tocqueville, mendiskripsikan
konsep masyarakat sipil Indonesia sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang
terorganisasi dan bercirikan antara lain 1) kesukarelaan (voluntary); 2)
keswasembadaan
(self-generating);
3)
keswadayaan
(self-supporting);
4)
kemandirian tinggi berhadapan dengan negara; dan 5) keterkaitan dengan normanorma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Apabila esensi dari
masyarakat sipil adalah ketundukan pada norma hukum, maka dalam konteks
negara hukum pancasila, masyarakat sipil adalah masyarakat yang mengacu pada
identitas, nilai-nilai serta karakteristik dalam Pancasila. Ketiga norma tersebut
terkandung dalam lima sila pancasila dan nilai-nilai komunal seperti gotongroyong, kekeluargaan, toleransi dan ketuhanan.
Hikam menjelaskan bahwa pada konteks ruang politik, masyarakat sipil
adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan
refleksi mandiri dan tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material maupun
54
terserap dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalam masyarakat
sipil tersirat pentingnya ruang publik yang bebas (free public sphere) tempat
dimana komunikasi yang bebas dapat dilakukan oleh warga masyarakat.62
Menurut Bahtiar Effendy, sebagai sebuah konsep masyarakat sipil
memang memiliki banyak pandangan. Namun ada satu kesamaan garis besar
bagaimana konsep tersebut dipahami, yakni istilah “civilitas” yang merupakan inti
dari konsep tersebut. Terdapat tiga ciri pokok dari masyarakat sipil menurutnya
yakni toleran terhadap perbedaan cara pandang, pembatasan kekuasaan negara
dan kebebasan berekspresi dalam menentukan pilihan jalan hidup.63
Dede Rosyada berpandangan bahwa dalam merealisir wacana masyarakat
sipil diperlukan prasyarat yang bersifat universal. Prasyarat ini tidak dapat
dipisahkan satu sama lainnya, melainkan satu kesatuan integral yang menjadi
dasar dan nilai bagi eksistensi masyarakat sipil. Dalam konteks ini Dede
mengidentifikasi syarat masyarakat sipil Indonesia dalam lima hal: 1) ruang
publik yang bebas, 2) demokratis, 3) toleran, 4) pluralisme, 5) keadilan sosial.64
Merujuk pada definisi serta ciri-ciri yang dikemukakan oleh beberapa
sarjana di atas, penulis mengidentifikasi karakeristik masyarakat sipil di negara
hukum pancasila sebagai berikut:
1. Sukarela, Swasembada dan Swadaya
Adanya suatu komunitas bersifat sukarela (tanpa paksaan) yang menjamin
berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung
62
Hikam, Demokrasi dan...3
Bahtiar Effendy, Masa Depan Civil Society di Indonesia dalam “Masyarakat Agama dan
Pluralisme Keagamaan” (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 162
64
Dede Rosyada...247-250
63
55
oleh kondisi kehidupan material (swasembada) dan tidak menjadi
subordinasi negara dengan terserap dalam jaringan-jaringan kelembagaan
politik resmi (swadaya).
2. Otonom
Sebuah komunitas gerakan masyarakat sipil harus mampu mengambil
sikap yang mandiri, independen serta bebas intrvensi negara, ataupun
pihak lain seperti masyarakat ekonomi maupun masyarakat politik.
3. Ruang dan wacana publik yang bebas
Individu-individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan
transaksi wacana pada ruang publik yang bebas tanpa mengalami distorsi
dan kekhawatiran. Masyarakat berhak melakukan kegiatan secara merdeka
dalam
menyampaikan
pendapat,
berserikat,
berkumpul
serta
mempublikasikan informasi kepada publik.
4. Demokratis
Sebuah asosiasi masyarakat sipil secara ekspisit harus mensyaratkan
tumbuhnya demokrasi dan memberikan kesadaran bahwa warga negara
adalah pemilik negara
5. Egaliter
Dalam interaksinya masyarakat sipil dapat berlaku santun dengan
sekitarnya tanpa membedakan suku, agama, ras maupun golongan.
56
6. Toleran
Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat sipil
untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas
yang dilakukan orang lain.
7. Pluralisme
Komunitas masyarakat sipil harus berlandaskan pada penghargaan
terhadap kemajemukan bangsa. Pluralisme tidak hanya dipahami dengan
sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk,
tetapi disertai dengan menyadari dan bersikap tulus menerima kenyataan
pluralisme bernilai positif dan merupakan rahmat Yang Kuasa.
8. Keadilan sosial
Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian
yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang
mencakup seluruh aspek kehidupan.
9. Pembatasan kekuasaan negara
Tugas masyarakat sipil adalah mengontrol Negara dengan membatasi
kekuasaan
negara.
Masyarakat
dapat
melakukan
partisipasi
dan
mengkritisi kebijakan-kebijakan publik dalam sebuah negara dan
berinteraksi, dengan semangat toleransi.
10. Terikat dengan norma hukum
Hubungan baik antara masyarakat sipil dengan negara, tidak berarti bahwa
masyarakat sipil dapat merebut kekuasaan atas negara atau mendapatkan
posisi dalam negara.
57
Apabila gerakan kemasyarakatan adalah pertanda kehadiran masyarakat
sipil, maka kararakeristik masyarakat sipil Indonesia dalam studi ini akan menjadi
indikator dan alat analisa, apakah sebuah asosiasi, organisasi, komunitas atau
suatu kelompok gerakan masyarakat dapat dikatakan sebagai bagian dari
masyarakat sipil, atau justru sebaliknya akan berwujud kelompok gerakan yang
menghegemoni negara dan kelompok yang lain (uncivil society).
58
Download