pelaksanaan auditory verbal therapy (avt) dalam

advertisement
PELAKSANAAN AUDITORY VERBAL THERAPY (AVT) DALAM
MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN BERBAHASA ANAK
TUNARUNGU
Wagino & Ana Rafikayati
(Dosen PLB Fip Unesa, e-mail:[email protected] & Guru Yayasan Aurica
Surabaya, e-mail:[email protected])
Abstract; The purpose of this study is to describe the implementation of the AVT
which includes the planning phase, implementation phase, evaluation phase, the
constraints encountered, efforts are made, and institutional support to the
implementation of the AVT. This study used a qualitative approach to the type of
qualitative descriptive study. Source of research data is all that is involved in the
implementation of the Foundation Aurica AVT (chairman, habilitation coordinator,
therapists, students, and parents). Data collection techniques by the method of
interview, observation and documentation. Data analysis techniques with flow
analysis techniques include data reduction stage, the data display and verification.
The results show that AVT planning stages include a six-month target learning and
planning sessions. AVT implementation phase starts with conditioning the Ling 6
sound and then proceed to develop the five aspects of the language in which AVT
audition, language, speech, cognition and communication. AVT evaluation phase
includes the planning session and a six-month progress report.
Abstrak; Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pelaksanaan AVT yang
meliputi tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi, kendala-kendala
yang dihadapi, upaya-upaya yang dilakukan, dan dukungan lembaga terhadap
pelaksanaan AVT.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis
penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian adalah semua yang terlibat
dalam pelaksanaan AVT di Yayasan Aurica (ketua yayasan, koordinator habilitasi,
terapis, siswa, dan orang tua). Teknik pengumpulan data dengan metode wawancara,
observasi dan dokumentasi. Teknik analisis data dengan teknik flow analisis meliputi
tahapan reduksi data, display data dan verifikasi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tahap perencanaan AVT meliputi target belajar per 6 bulan dan planning
session. Tahap pelaksanaan AVT dimulai dengan conditioning dengan Ling 6 sound
dan kemudian dilanjutkan dengan mengembangkan 5 aspek berbahasa dalam AVT
yaitu audition, language, speech, cognition dan communication. Tahap evaluasi AVT
meliputi hasil planning session dan laporan perkembangan per 6 bulan.
Kata Kunci : Anak Tunarungu, Cochlear Implant, Auditory Verbal Therapy (AVT)
Anak tunarungu akibat gangguan fungsi pendengaran cenderung mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi secara verbal, baik secara ekspresif (bicara) maupun
reseptif (memahami pembicaraan orang lain). Keadaan tersebut menyebabkan anak
tunarungu mengalami hambatan dalam berkomunikasi dengan lingkungan orang
mendengar yang lazim menggunakan bahasa verbal sebagai alat komunikasi.
Metode komunikasi yang digunakan anak tunarungu, yaitu melalui membaca
ujaran (oral), melalui pendengaran (aural), bahasa isyarat (manual), dan dengan
kombinasi ketiga cara tersebut (komtal) (Kurnaeni, 2007). Dalam pelaksanaanya, di
sekolah-sekolah khusus anak tunarungu (SLB-B), metode komunikasi yang banyak
digunakan antara lain metode oral, manual dan komtal. Output atau tamatan dari
JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2013,VOLUME 9, NOMOR.1
SDLB-B kebanyakan melanjutkan ke SMPLB-B dan SMALB-B. Mereka cenderung
berada di lingkungan yang sama yakni lingkungan tunarungu. Sehingga keterampilan
komunikasi mereka tidak bisa berkembang akibat kominikasi yang terjadi hanya
terbatas di lingkungan mereka sendiri, padahal seharusnya anak tunarungu harus
dibekali dengan kemampuan untuk dapat berkomunikasi dengan dunia luar yang
mayoritas mendengar.
Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan (output) program Auditori Verbal
Therapy (AVT) di Amerika Serikat dan Kanada menunjukkan bahwa mayoritas
responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup "reguler".
Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam lingkungannya, masuk
ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi
tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat (Robertson & Flexer,
1993, Goldberg, 1997 dalam Sari, 2010). Hal ini ditegaskan dengan hasil wawancara
pada tanggal 27 maret 2011 kepada yayasan Aurica, diperoleh data bahwa ± 90 %
tamatan (output) dari yayasan Aurica dapat berintegrasi di sekolah reguler. Sedangkan
± 10 % lagi melanjutkan ke SLB dikarenakan banyak faktor antara lain intelegensi
anak rendah, keterlambatan deteksi ketunarunguan dan amplifikasi pendengaran,
kurangnya peran serta orang tua dalam penerapan AVT dan faktor-faktor lainya.
Hasil statistik dari program bayi mendengar (Infant Hearing Program) di
Kanada menunjukkan bahwa mayoritas orang tua anak tunarungu lebih memilih
Auditory Verbal Therapy (AVT) dalam mengajarkan komunikasi pada anak mereka.
Dari 120 bayi tunarungu dalam program intervensi dini, 80 memilih Auditory Verbal
Therapy (AVT), 7 memilih bahasa isyarat, 9 memilih komunikasi total dan 22 lagi
memilih pendekatan komunikasi lainya (Robinson : 125). Auditory Verbal Therapy
(AVT) adalah penerapan teknik, strategi, kondisi dan prosedur yang mempromosikan
akuisisi optimal bahasa lisan melalui mendengarkan, yang menjadi kekuatan utama
dalam memelihara perkembangan kehidupan pribadi, sosial dan akademik anak
tunarungu. (Estabrooks 1994:2). Dalam pelaksanaanya, AVT harus difasilitasi dengan
amplifikasi pendengaran baik melalui Alat Bantu Dengar (ABD) maupun cochlear
implant sebagai modal untuk memperoleh akses auditory. Tetapi pada anak tunarungu
sangat berat disarankan untuk menggunakan cochlear implant karena mereka tidak
dapat memperoleh manfaat yang optimal dari ABD.
Pelaksanaan AVT, modalitas yang digunakan adalah mendengar (aural) yang
diperoleh dari ABD dan cochlear implant. Dalam AVT anak dibekali kemampuan
untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain yang mendengar. Sehingga hasilnya
nanti anak dapat berkomunikasi secara verbal dengan orang lain seperti orang
mendengar pada umumnya.
Penelitian ini mendeskriptifkan tentang pelaksanaan AVT dalam
mengembangkan keterampilan berbahasa anak tunarungu pengguna cochlear implant.
Sebelumnya penelitian bertema sama pernah dilakukan oleh Miseri (2004) yang
berjudul “Pelaksanaan Metode Auditory Verbal Therapy dalam Mengembangkan
Kemampuan Berbahasa Anak Tunarungu di Klinik AVT Parents Support Group
Surabaya”. Miseri membahas tentang gejala-gejala gangguan bicara pada anak
tunarungu, pelaksanaan AVT, kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan AVT dan
peran serta orang tua dalam pengembangan bicara pada ATR dengan AVT. Penelitian
serupa juga pernah dilakukan oleh Juyanti (2010) yang berjudul “Pelaksanaan
Auditory Verbal Therapy bagi Anak Tunarungu di Lembaga Terapi Aurica Surabaya”.
Juyanti membahas tentang pelaksanaan AVT, kendala-kendala yang dihadapi, upaya
yang dilakukan untuk mengatasi kendala dan program-program yang mendukung
terapi.
Kedua hasil penelitian tersebut, ditemukan perbedaan dalam mendeskripsikan
pelaksanaan AVT. Miseri membagi penelitian AVT menjadi tiga tahap (tahap
88
Wagino & Rafikayat, Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy ….(87- 110)
persiapan, pelaksanaan, dan rekomendasi), sedangkan Juyanti mendeskripsikan
pelaksanaan AVT secara keseluruhan tanpa memisah-misahnya menjadi tahapantahapan. Selain itu jika Miseri menganggap pemberian stimulasi pendengaran pada
anak menjadi tahap persiapan AVT berbeda dengan Juyanti yang langsung
conditioning berupa tes Ling 6 sound.
Berpijak pada penelitian-penelitian sebelumnya, penelitian ini menelaah lebih
luas lagi dengan mendeskripsikan secara rinci tentang pelaksanaan AVT meliputi
tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi, kendala-kendala yang dihadapi
dan solusi pemecahanya serta dukungan sistem yang terlibat dalam pelaksanaan AVT
dalam mengembangkan keterampilan berbahasa anak tunarungu pengguna cochlear
implant di yayasan Aurica Surabaya. Perbedaan penelitian ini dari penelitianpenelitian sebelumnya adalah jika penelitian terdahulu berfokus pada anak tunarungu
pengguna ABD dan cochlear implant, di dalam penelitian ini subjek penelitian adalah
pengguna cochlear implant, hal ini dikarenakan subjek penelitian dalam penelitian
adalah anak tunarungu sangat berat yang kurang memperoleh manfaat jika hanya
menggunakan ABD.
Fokus umum dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah pelaksanaan
Auditory Verbal Therapy (AVT) dalam mengembangkan keterampilan berbahasa
anak tunarungu pengguna cochlear implant di Yayasan Aurica Surabaya ?”, yang
secara rinci dijabarkan dalam fokus kecil diantaranya; (1) Bagaimanakah tahap
perencanaan AVT ?, (2) Bagaimanakah tahap pelaksanaan AVT ?, (3) Bagaimanakah
tahap evaluasi AVT ?, (4) Apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
AVT di Yayasan Aurica Surabaya ?, (5) Bagaimanakah upaya-upaya yang dilakukan
untuk mengatasi kendala-kendala yang dihadapi ?, (6) Bagaimanakah dukungan
sistem lembaga terhadap pelaksanaan AVT di Yayasan Aurica Surabaya?. Adapun
tujuan umum penelitiannya adalah mendeskripsikan pelaksanaan Auditory Verbal
Therapy (AVT) dalam mengembangkan keterampilan berbahasa anak tunarungu
pengguna cochlear implant di Yayasan Aurica Surabaya.
METODE
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif
ditujukan untuk mendeskripsikan suatu keadaan atau fenomena-fenomena apa adanya.
Lokasi penelitian ini bertempat di Yayasan Aurica Surabaya yang beralamat di
Margorejo Indah III/A-408 Surabaya. Lokasi penelitian relatif mudah dijangkau baik
dengan kendaraan umum. Pemilihan lokasi ini karena yayasan Aurica memiliki
keunggulan-keunggulan sebagai berikut: (1) Yayasan Aurica adalah tempat terapi di
surabaya yang menggunakan Auditory Verbal Therapy (AVT), (2) Yayasan Aurica
berdiri sejak tahun 1999 dengan nama Klinik AVT Parents Support Group yang
kemudian berganti nama Yayasan Aurica pada tahun 2004. Berdasarkan hal tersebut
tentunya Yayasan Aurica memiliki banyak pengalaman dalam melakukan habilitasi
terhadap anak tunarungu, (3) Yayasan Aurica melakukan koordinasi yang baik
dengan orang tua, audiolog dan rumah sakit setempat sehingga pelayanan pada anakanak tunarungu menjadi lebih menyeluruh. (4) Sudah banyak anak tunarungu lulusan
Aurica yang dapat bersekolah di sekolah regular, (5) Yayasan Aurica memberikan
izin untuk mengadakan penelitian di tempat tersebut dan bersedia untuk memberikan
informasi.
Subjek atau sumber penelitian adalah anak tunarungu pengguna Cochlear
Implant dan melakukan terapi di Yayasan Aurica, dan ketua yayasan, koordinator
habilitasi, orang tua dan para terapis Yayasan Aurica untuk melengkapi data-data
yang lain terutama kendala-kendala yang dihadapi, upaya-upaya yang dilakukan
untuk menangani kendala-kendala dan dukungan sistem lembaga terhadap
89
JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2013,VOLUME 9, NOMOR.1
pelaksanaan AVT. Teknik pengumpulan datanya; (1) Wawancara ditujukan pada
ketua yayasan, koordinator habilitasi dan para terapis Yayasan Aurica; (2) Observasi
digunakan untuk memperoleh informasi secara langsung ke sumber data. Observasi
digunakan untuk melihat secara langsung pelaksanaan AVT (meliputi : materi yang
diberikan, teknik yang digunakan, alat dan alokasi waktu). Jenis teknik observasi yang
digunakan adalah observasi partisipan jadi peneliti mengamati dan ikut aktif dalam
pelaksanaan terapi secara langsungn, (3) Dokumentasi digunakan untuk memperoleh
informasi tentang data anak (meliputi hasil tes pendengaran dan hasil mapping),
perencanaan program (meliputi planning session dan Target belajar per 6 bulan), dan
evaluasi (meliputi hasil planning session dan Laporan perkembangan per 6 bulan).
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data (flow model)
Miles dan Huberman. Analisis data Miles dan Huberman terdiri atas tiga alur kegiatan
yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi (Sugiyono,
2009 : 246).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan berikut ini ditulis berdasarkan hasil pengumpulan data
melalui wawancara, observasi dan dokumentasi kepada reponden (sumber data). Data
yang diperoleh kemudian dianalisis dan dideskripsikan secara kualititatif dan
dikategorikan sesuai dengan tujuan penelitian. Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy
(AVT) dalam mengembangkan keterampilan berbahasa anak tunarungu pengguna
cochlear implant di yayasan aurica Surabaya meliputi :
Tahap Perencanaan Auditory Verbal Therapy (AVT)
Merencanakan program untuk anak perlu memperhatikan banyak hal. Faktorfaktor yang perlu diperhatikan dalam penyusunan program AVT diantaranya adalah
sebagai berikut; (1) Usia anak dideteksi mengalami gangguan pendengaran dan usia
penyediaan stimulasi pendengaran diberikan. Deteksi dan penyediaan stimulasi
pendengaran sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Ada penekanan kuat bahwa anakanak tunarungu harus sedini mungkin mendapatkan masukan bahasa untuk tujuan
pencegahan atau remediasi keterlambatan (Ramkalawan dan Davis, 1992; White,
1987; Itano dkk, 1998) dalam Nicholas dan Geers (2006). Jika gangguan pendengaran
tidak segera terdeteksi dan diintervensi, bagian dari otak yang memproses sinyal
auditori akan gagal menerima stimulasi dan perkembangan otak akan terhenti secara
permanen (Regy, 2008). Dalam rangka memanfaatkan masa keemasan “golden
periode” dari neurologis dan perkembangan bahasa, identifikasi gangguan
pendengaran, penggunaan amplifikasi yang tepat dan teknologi kedokteran dan
stimulasi pendengaran harus dilakukan sedini mungkin (Clopton dan Winfield, 1976;
Johnson dan Newport, 1989; Lennenberg, 1967; Marler, 1970; Newport, 1990) dalam
Slemenda (2008). Diagnosis dini, intervensi audiologi dan pendidikan sebaiknya
dilakukan pada usia 6 bulan, karena sangat penting untuk memanfaatkan periode
perkembangan optimal otak pendengaran (JCIH, 2007; Sharma dkk, 2005; Itano
dkk,1998) dalam Dornan dkk (2009:62). Hal ini serupa dengan bukti yang ditemukan
Moeller (2000) yang menyatakan bahwa banyak anak-anak dengan gangguan
pendengaran sensorineural mencapai kemampuan bahasa yang sama dengan anakanak mendengar lainya jika layanan intervensi yang komprehensif diberikan pada usia
6 bulan. Penanaman cochler implant (sebagai alat penstimuli pendengaran) harus
dilakukan pada usia dini, Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak
yang melakukan implantasi koklea lebih dini menunjukkan perkembangan bahasa
lebih cepat dibandingkan anak-anak yang di implant pada usia lebih dewasa. Selain
itu, implant di usia dini juga memiliki keuntungan dalam peningkatan pengalaman
pendengaran dan bahasa lisan selama periode perkembangan emas (Svirsky dkk, 2000
90
Wagino & Rafikayat, Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy ….(87- 110)
dalam Nicholas and Geers, 2006 ). Jadi kapan anak dideteksi mengalami gangguan
pendengaran dan kapan stimulasi pendengaran disediakan sangatlah mempengaruhi
hasil habilitasi. Jika anak didiagnosis dan distimulasi terlambat, tentu program yang
dirancangkan akan jauh terlambat dari umur kronologisnya karena program AVT
disesuaikan dengan usia mendengarnya (setelah cochlear implant diaktifkan), bukan
usia kronologisnya (dimulai saat kelahiran). Meskipun umur kronologis anak sudah
12 tahun, tetapi jika usia pemakaian implan baru 3 bulan, program AVT yang
direncanakan adalah usia 3 bulan bukan 12 tahun. Selain itu, anak juga telah
melewatkan periode kritis otak pendengaran padahal periode tersebut sangat penting
karena periode tersebut adalah masa paling peka dari otak pendengaran anak dalam
menerima stimulus pendengara. Merujuk pada data (D.PC.DA) diketahui bahwa ST
didiagnosis sejak 17 bulan sedangkan pemakaian cochlear implant dilakukan pada
usia 2 tahun 2 bulan. ST memiliki potensi untuk dikembangkan kemampuan
berbahasanya secara optimal karena ST didiagnosis dan intervensi berupa amplifikasi
pendengaran secara dini yakni tidak melebihi usia 3 tahun; (2) Sisa Pendengaran;
Hasil dari AVT juga dipengaruhi sisa pendengaran yang dimiliki anak. Sisa
pendengaran merupakan kemampuan dengar yang masih dimiliki anak tunarungu
untuk mendengarkan bunyi. Jika bunyi yang diterima tidak utuh oleh anak (yang
biasnya terjadi pada tunarungu sedang, berat dan sangat berat) tentunya komunikasi
verbal tidak dapat berjalan dengan optimal. Kekurangan dengaran ini dapat
berdampak pada bahasa ekspresif anak. Misalnya bunyi anak tidak bisa mndeteksi
bunyi /s/ karena memang bunyi /s/ sendiri berada pada intensitas 40 dB, akibatnya
setiap kata yang mengandung huruf /s/ anak tidak bisa misalnya “susu” menjadi “uu”,
atau pada kata “bisa” menjadi “bia”. Dewasa ini, telah ditemukan cochlear yang dapat
meningkatkan kemampuan dengar profound hearing loss yang dapat membantu anak
dalam berkomunikasi. Hal ini di perkuat oleh Osberger dkk (1993), Geers dan Moog
(1994) dalam Nicholas dan Geers (2006) yang menyatakan bahwa bagi anak-anak
dengan gangguan pendengaran sangat berat (profound hearing loss), riset telah
mendokumentasi manfaat yang signifikan dari cochlear implant untuk meningkatkan
kemampuan bahasa dan bicara. Dengan cochlear implant anak tunarungu sangat berat
(profound hearing loss) dapat mendengar sampai ± 30 dB dimana suara pembicaraan
mayoritas berada di intensitas tersebut. Dengan latihan mendengar yang komprehensif
dan konsisten anak akan dapat mendengar semua bunyi percakapan. Merujuk pada
data (D.PC.DA), setelah ST menggunakan coclear implant keluaran AB (Advanced
Bionics Corporation) kemampuan mendengar ST meningkat dari 100 dB menjadi 2535 dB.
Penyusunan program juga harus memperhatikan kecacatan yang dimiliki anak
selain ketunarunguan. Kecatatan yang sekaligus dimiliki anak bisa berupa (tuna
daksa, tuna grahita, autis. tunanetra dll) hal-hal tersebut sangat mempengaruhi hasil.
Jika anak memiliki multi handicap tentu hasilnya tidak boleh disamakan dengan anak
yang hanya murni tunarungu. Misalnya saja anak memiliki kecerdasan di bawah ratarata tentunya program yang diberikan tidak sebanyak anak dengan kognisi normal.
Suppes (1974) dalam Sunardi dan Sunaryo (2007 : 147) menyatakan bahwa kognisi
merupakan bidang yang luas meliputi semua keterampilan akademik yang
berhubungan dengan wilayah persepsi. Kognisi paling sedikit terdiri dari 5 proses,
yaitu : persepsi, memori, pemunculan ide-ide, evaluasi dan penalaran. Anak dengan
kognisi (kecerdasan) rendah akan mengalami hambatan dalam bahasa, persepsi,
konsentrasi, memori, pemunculan ide-ide, evaluasi dan penalaran sehingga materi
yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan anak. Jika pun diberikan target
seperti anak normal hasilnya tidak akan setara dengan anak normal (tidak on track).
Ini adalah akibat keterbelakanganya. Berdasarkan data (D.PC.DA), ST tidak memiliki
kecacatan lain selain ketunarunguan. Dengan demikian tentunya perkembangan ST
91
JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2013,VOLUME 9, NOMOR.1
tidak terhalang oleh faktor-faktor lain seperti kecerdasan rendah, kekakuan otot bicara
dll.
Merujuk pada data (D.PC.DA), Berikut ini adalah contoh program AVT pada
RST. Meskipun ST telah berumur 2 tahun 2 bulan, tetapi karena ST baru memakai CI
maka program AVT yang direncanakan harus dimulai dari awal (0 bulan) dimana dia
baru mendengar. Program yang harus dirancang dari awal (0 bulan) meliputi aspek
audition, speech, language dan communication sedangkan aspek cognition
disesuaikan dengan umur kronologikal anak. (1) Merujuk pada data (D.PC.TB), target
tersebut dibuat berdasarkan kurikulum judith I simser, St.Gabrielle, Auditory Skill
Programme dan panduan keterampilan mendengar setelah memakai cochlear implant
(oleh cochlear) dimana pada usia 0-6 bulan anak kurang lebih harus memiliki
kompetensi tersebut. Meskipun ST sudah berusia 2 tahun 2 bulan, tetapi program
yang direncanakan untuk ST harus dimulai dari 0 bulan. Hal tersebut dikarenakan
meskipun anak tersebut sudah berusia 2 tahun 2 bulan, tetapi pengalaman auditori
anak masih 0 karena ST tidak mendapatkan pengalaman auditori sejak lahir akibat
gangguan pendengaran yang dialaminya, sehingga program yang direncanakan
tentunya untuk anak usia 0-6 bulan. Sedangkan cognition tetap direncanakan untuk
anak usia ± 2 th, karena ketika anak tumbuh dan berkembang, kognisi anak juga ikut
berkembang sesuai usia kronologikalnya. Hal ini sesuai dengan Slemenda (2008)
yang menyatakan bahwa usia kronologi dimulai ketika anak lahir sedangkan usia
cochlear implant dimulai ketika implant diaktifkan. Usia cochlear digunakan sebagai
pedoman dimana bicara dan perkembangan bahasa seharusnya berdasar pada usia
cochlear implant.; (2) Setelah target jangka panjang (6 bulan) dibuat, kemudian
disusunlah planning session untuk per sesi yang dapat mencapai target belajar 6 bulan
tersebut. Salah satu planning session RST digambarkan pada tabel 4.2. Merujuk pada
data D.PC.PS, Planning session tersebut merupakan planning session pertama setelah
anak switch on. Rencana terapi yang akan dilakukan adalah mengetahui kemampuan
anak dalam mendeteksi bunyi Ling 6 sound, dan lebih fokus untuk mengembangkan
aspek audition. Hal tersebut dilakukan karena pada tahap awal usia 0-6 bulan
keterampilan berbahasa yang berkembang masih pada tahap reseptif (sadar suara dan
membedakan suara). Hal ini sesuai dengan Stith yang menyatakan bahwa anak-anak
dengan pendengaran normal belajar lebih mudah mendeteksi suara di lingkungan
mereka selama masa balita. Mereka mendengarkan dan belajar bahwa suara-suara
tertentu memiliki makna tertentu. Dengan cara ini, mereka belajar untuk mengenali,
memahami dan mengucapkan kata-kata. Jadi pada tahap mendengar ini anak diberi
stimulus sebanyak-banyaknya melalui mendengar agar anak beradaptasi dengan
pendengaran barunya. Mereka harus dibiasakan untuk belajar mendeteksi dan
mengenali suara di sekitar mereka. Mereka harus diajar bahwa mendengarkan
berguna dan diperlukan untuk berkomunikasi secara lisan.
Tahap Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy (AVT)
Pelaksanaan AVT pada anak yang baru, terapi dilakukan 2-3 kali seminggu.
Pada RST terapi dilakukan selama 3 kali dalam seminggu. Sedangkan tiap terapi, ST
membutuhkan waktu 1 jam. Dalam pelaksanaan terapi, ST didampingi oleh ibu ST
dan kadang didampingi oleh ayah ST. pendampingan tersebut dilakukan karena
filosofi AVT adalah orang tua yang berperan dalam menerapi anak. Terapis hanya
sebagai fasilitator saja yang kemudian diaplikasikan orang tua di rumah. Peran orang
tua sangatlah penting karena waktu anak kebanyakan dihabiskan dengan orang tua
bukanya dengan terapis yang hanya 1 jam saja. Tanpa peran orang tua hasil yang
didapatpun menjadi kurang maksimal.
92
Wagino & Rafikayat, Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy ….(87- 110)
Orang tua harus konsisten dalam menerapkan AVT, jangan sampai saat terapi
mengaplikasikan dengan cara AVT tetapi ketika di rumah masih diajarkan lip reading
atau bahasa isyarat, karena hal ini dapat mempengaruhi keberhasilan anak. Jika orang
tua berhalangan datang, harus digantikan orang yang dekat dengan anak misalnya
nenek, pengasuh dll. Pendampingan ini wajib dilakukan karena dari awal masuk
Yayasan Aurica sudah ada perjanjian dengan orang tua bahwa dalam melakuakan
terapi harus didampingi oleh orang tua agar orang tua dapat mengaplikasikan sesi
terapi di rumah.
Berdasarkan data (D.PS.AVT), pelaksanaan AVT dilakukan sesuai dengan
planning session yang telah dibuat. Pada tahap awal terapi, terapis melakukan
conditioning dengan tes Ling 6 sound. Tes ling 6 sound adalah tes deteksi bunyi
voice /a/,i/,u/,m/ dan voiceless sh/s/, bunyi yang berada pada level percakapan normal
(Ling dalam Estabrook, 1997 : 30). Ling 6 sound tersebut diperdengarkan karena
bunyi-bunyi tersebut mewakili setiap frekuensi pada banana speech. Banana speech
adalah area dalam audiogram dimana percakapan dan pembicaraan berada pada
frekuensi tersebut. Kisaranya adalah + 25-60 dB. Hal tersebut dapat dilihat pada
gambar 1
Gambar 1. Banana Speech (http://firstyears.org)
Masing-masing bunyi tersebut mewakili informasi kritis dalam jarak
frekuensi yang berbeda dari spektrum bicara (dari frekuensi rendah sampai frekuensi
tinggi). Jika anak dapat mendengar semua bunyi tersebut, kemampuan
pendengaranya, artinya anak dapat mendengar semua spektrum bicara pada 250-2000
Hz (Estabrook, 1997 : 31). Artinya jika anak bisa mendengar Ling 6 sound berarti
anak dapat mendengar sebagian besar spektrum bicara (dapat mendengar sebagian
besar bunyi bahasa). Berdasarkan data (D.PS.L6), pelaksanaan Ling 6 sound adalah
93
JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2013,VOLUME 9, NOMOR.1
sebagai berikut; (a) ST memegang ring dan didekatkan ke telinga, (b) ST mendengar
stimulus suara (salah satu Ling 6 sound), (c) Jika ST mendengar stimulus, dia
memasukkan stacking ring ke tongkatnya. Selanjutnya terapis melaksanakan terapi
sesuai dengan planning session. Berdasarkan data (D.PC.PS), setelah conditioning,
kemudian dilanjutkan dengan pengenalan sound word berupa benda-benda dan hewan
pada anak. Sound word adalah adalah suara yang digunakan untuk mewakili objek.
Misalnya, "aaa…" mewakili pesawat dan "moo" mewakili seekor sapi. Sound word
adalah bunyi-bunyi yang didesign agar bunyi lebih mudah didengar dan berbeda satu
sama lain (Estabrooks dan Schwartz, 1995). Sound word diberikan karena anak di
usia awal lebih mudah menjadi lebih akrab (familier) dengan suara yang sering
terdengar, sebelum mereka memahami kata-kata dan tentu sebelum mereka
mengucapkan kata-kata (Rhoades). Jenis kegiatan ini melibatkan menghubungkan
suara dengan benda, item seperti kendaraan transportasi, hewan atau kegiatan seharihari yang bermakna. Kegiatan yang secara konsisten terdengar mirip dengan benda
atau tindakan telah diimplementasikan selama bertahun-tahun oleh orang tua anak
tunarungu dan telah diteliti oleh ahli bahasa dan profesional (misalnya, Harding,
1983; Norris & Hoffman, 1994 dalam Rhoades) Ada banyak alasan mengapa orang
dewasa harus memfasilitasi pengembangan asosiasi sound word. Beberapa tujuan
adalah sebagai berikut: (a) Untuk mendorong anak untuk menyadari suara, (b) Untuk
menyadari bahwa suara itu berbeda-beda, (c) Untuk membantu anak memahami
bahwa suara yang berbeda memiliki arti yang berbeda, (d) Untuk mengembangkan
memory pendengaran, (e) Untuk menyoroti parameter kritis yang digunakan dalam
bahasa lisan, (f) Untuk melibatkan anak pada gilirannya dan interaksi perhatian, (g)
Untuk merangsang gerakan alat artikulasi anak dibutuhkan untuk bicara, (h) Untuk
membantu anak dalam memproduksi suara yang berbeda, (i) Untuk mengintegrasikan
dan mensinkronkan perilaku fisik dan sosial ke dalam interaksi vocal, (j) Untuk
mengembangkan 'niat komunikatif’, (k) Untuk mengembangkan keakraban
pendengaran dengan bahasa lisan, (l) Untuk mengaktifkan anak untuk menjadi
komunikator sebelum konsep berkomunikasi benar-benar dipahami (Rhoades).
Sound word dapat berupa alat transportasi, hewan dan aktivitas sehari-hari. Pada ST,
sound word yang diberikan masih berupa alat-alat transportasi dan hewan. Alat
transportasi yang diberikan yaitu mobil, pesawat dan kereta api, sedangkan hewan
yang dikenalkan yaitu bebek, anjing dan singa. Mobil memiliki sound word
brmmmm, dengan brmmm akan lebih baik untuk fokus pada stimulasi artikulasi bibir.
Banyak anak dengan gangguan pendengaran tidak memiliki riwayat pengalaman
mengoceh, dan alat artikulasi mereka lemah padahal Gerakan bibir dan lidah sangat
penting untuk bicara yang baik. Para dewasa harus memastikan bahwa bibir bergetar
disinkronisasikan dengan menggerakan mobil. Instruksi yang dilakukan terapis adalah
dalam mengenalkan sound word mobil adalah pertama-tama menyembunyikan mobil
terlebih dahulu, kemudian terapis berkata “ST ada mobil brmmm....” diulang berkalikali biasanya pengulangan dilakukan sebanyak 3 x kemudian benda (mobil)
diperlihatkan ke anak “ST ada mobil brmmm”. Pengulangan hanya diberikan pada
pembelajaran mendengar awal, setelah pada pembelajaran lanjut anak harus belajar
untuk memahami perintah hanya dalam satu kali instruksi. Dalam pelaksanaan terapi,
Terapis menggunakan teknik Acoustic highlighting pada kata brmmm sehingga anak
akan lebih fokus pada pengenalan sound word mobil yakni brmmm. Dengan teknik
acoustic hihglighting, suara akan lebih mudah didengar. acoustic hihglighting sangat
berguna dalam mengenalkan kosakata baru atau struktur bahasa baru (Cochlear,
2003). Aaaa (pesawat). Ini adalah vokal dasar yang baik yang mudah didengar oleh
anak-anak tunarungu (Rhoades). Dalam pelaksanaanya, bisa divariasi suprasegmental
(infleksi dan durasi). Dalam pelaksanaanya terapis berbicara dengan suara yang
berintonasi, aaa... bukan /a/, dengan intonasi pembiacaraan dapat lebih mudah
94
Wagino & Rafikayat, Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy ….(87- 110)
didengar dari pada nada suara yang datar. Hal ini sesuai dengan pendapat (Estabrooks
dan Schwartz, 1995) yang menyatakan bahwa beberapa peneliti memperkirakan
bahwa 50% dari informasi yang dipahami dari pembicaraan yang ber berintonasi.
Dalam pelaksanaanya, terapi melakukan varias-variasi agar anak tidak bosan. Terapis
menerbangkan pesawat ke atas dan ke bawah dan kadang berhenti. pesawat bergerak
berirama bersama dengan suara yang dibuat terapis misalnya, ketika pesawat
diterbangkan ke atas aaa.... kemudian tiba-tiba pesawatnya berhenti a-a-a. Variasi ini
dilakukan agar anak dapat membedakan nada panjang (aaa....) dan pendek tetapi
berkali-kali (a-a-a). U-u-u (kereta api). Dengan kereta api, terapis mengembangkan
pendengaran anak untuk suara frekuensi tinggi yang melibatkan pembulatan mulut
dan mendorong lidah ke bagian atap mulut (hal ini penting karena berpengaruh
terhadap bicara). Dalam pelaksanaanya kereta disembunyikan dahulu kemudian
terapis berkata “ST ada kereta api u-u-u”. Kwek-kwek (bebek). Bagian penting dari
suara ini adalah bahwa suara ini dimulai dan diakhiri dengan fonem / k /. Meskipun
vokal terjebak ditengah-tengah, kemungkinan akan tetap terdengar karena fonem
sangat kuat pada suara tersebut. Jika anak tidak tampaknya mendengar optimal
dengan pendengarannya, suara ini dapat disuarakan lembut atau berbisik dalam jarak
dekat dengan pendengaran anak, ini akan membantu anak lebih baik dalam
mendengar fonem /k/ (Rhoades). Guk guk (anjing) dan Aum.... (singa) memiliki nada
yang berebeda. Sound word ini biasanya digunakan pada tahap diskriminasi yang
sangat kontras (biasanya pada tahap diskriminasi awal). Guk guk (nada pendek
diperdengarkan dua kali) sedangkan aum.... (satu nada tinggi). ST masih pada tahap
deteksi, sehingga ST belum diminta untuk membedakan bunyi satu dengan yang lain.
Setelah sound word word benda berupa alat-alat transportasi dan hewan-hewan
diberikan selanjutnya untuk mengetahui kesadaran ST akan bunyi, terapis
membunyikan maracas di bawah meja “ST dengar ?” sambil menunjuk telinga
(meminta anak untuk mendengar), kemudian benda diperlihatkan pada anak dan
membunyikanya lagi “wah ada suara, cek cek cek”, ini suara maracas ST cek cek cek.
Kemudian dilanjutkan dengan bunyi musik dari hand phone (dilaksanakan dengan
cara sama)”.
Berdasarkan data (D.PS.T1) – (D.PS.T11), Teknik yang digunakan saat
pelaksanaan AVT bertujuan untuk memaksimalkan keterampilan mendengar anak
diantaranya (1) duduk bersebelahan dengan anak, (2) bicara pada jarak yang dekat
dengan CI, (3) menggunakan ruangan yang tenang, (4) menggunakan acoustic
highlighting, (5) berbicara dengan suara yang berintonasi, (6) meminta bantuan orang
lain untuk memanggil nama anak, (7) menggunakan tanda yang menunjukkan bahwa
anak diminta untuk mendengar, (8) memperdengarkan suara terlebih dahulu, (9)
menggunakan pengulangan, (10) menggunakan nada suara yang natural, (11)
mengajarkan anak untuk mendengar saja. Tujuan dari teknik-teknik tersebut adalah
agar anak terbiasa mendengar dan menggunakan modalitas pendengaran sebagai
modalitas utama dalam memperoleh informasi dan berkomunikasi dengan dunia yang
merupakan komunitas mendengar. Aspek-aspek yang dikembangkan dalam AVT
(audition, language, speech, cognition dan communication) merupakan semua
modalitas yang dibutuhkan dalam berkomunikasi di dunia orang mendengar.
Sehingga dapat disimpulkan jika ke 5 aspek tersebut dapat dikuasai anak dengan baik,
maka anak dapat berhasil mencapai tujuan AVT, yakni anak tunarungu dapat tumbuh
di sekolah reguler dan hidup di lingkungan umum, yang memungkinkan mereka untuk
menjadi mandiri, berpartisipasi menjadi warga negara yang berkonstribusi dalam
lingkungan sosial masyarakat yang mendengar (Estabrooks : 4).
95
JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2013,VOLUME 9, NOMOR.1
Tahap Evaluasi Auditory Verbal Therapy (AVT)
Setelah terapi dilaksanakan, selanjutnya adalah mengevaluasinya. Tahap
evaluasi meliputi hasil planning session dan laporan perkembangan anak per 6 bulan.
Merujuk pada data (D.E.HPS), dapat diketahui bahwa hasil planning session
merupan hasil yang dicapai anak setelah melakukan terapi. Hasil planning session dari
RST tersebut memperlihatkan bahwa RST masih belum terbiasa dengan pendengaran
barunya. ST masih kurang kooperatif ketika conditioning. Hal ini dikarenakan sesi
terapi tersebut dilakukan sehari setelah mengaktifkan cochlear implant, sehingga anak
masih belum bisa beradaptasi dengan pendengaran barunya. Hal ini juga terlihat
ketika bunyi maracas dan musik dari hand phone diperdengarkan, respon anak kurang
spontan. ST membutuhkan waktu agak lama dan butuh pengulangan sampai ST
menyadari bunyi (dapat ditdeteksi ketika ST mencari sumber suara). Ketika ST
dipanggil namanya ST menoleh/melihat tetapi cara memanggil harus dilakukan dekat
dengan alat. Tujuan utama AVT selama beberapa bulan pertama pasca implan adalah
untuk meningkatkan kesadaran suara. Dari hasil planning tersebut dapat disimpulkan
bahwa ST belum bisa beradaptasi dengan pendengaran barunya.
Laporan perkembangan per 6 bulan merupakan kumpulan hasil planning session
yang dilaksanakan selama 6 bulan kemudian dievaluasi dan disusunlah laporan
perkembangan per 6 bulan. Laporan perkembangan per 6 bulan adalah hasil yang
dicapai anak dalam melaksanakan terapi selama 6 bulan. Laporan perkembangan akan
memperlihatkan berhasil atau tidaknya anak dalam melaksanakan program yang
direncanakan pada target belajar per 6 bulan. Cara mengevaluasi pelaksanaan AVT
selama 6 bulan adalah dengan membandingkan target belajar dengan laporan
perkembangan. Setelah membandingkan target belajar ST dan hasil perkembangan ST
selama 6 bulan, merujuk pada data (D.PC.TB) dan (D.E.LP) hasil perbandingan
tersebut digambarkan pada tabel 1.
Tabel 1. Evaluasi Pelaksanaan AVT RST
Target belajar
Laporan perkembangan
AUDITION
- Mampu membedakan bunyi-bunyian dengan
konsisten misal : rebana maracas, kotak music dll
Bisa
- Mampu membedakan bunyi di lingkungan
sekitarnya misal : bunyi benda jatuh, ketukan pintu,
suara mobil datang, dll
Bisa
- Mampu mengidentifikasi benda dengan
menggunakan kata bantu (sound word)
- Berespon secara konsisten bila namanya dipanggil
meski sedang beraktivitas
- Mampu membedakan irama lagu yang cukup
berbeda
Bisa
Kadang-kadang
Bisa
LANGUAGE
- Paham kalimat perintah sederhana misal “berikan
mama/papa”, “ST ambil”
- Paham kalimat tanya sederhana misal “ST mau ?”,
“mana mama ?”
- Mampu mengidentifikasi kalimat sederhana melaui
96
Bisa
Wagino & Rafikayat, Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy ….(87- 110)
gambar misal “mama sedang makan
(nyam…nyam…),”ST tidur (sh…)”.
- Mengenal nama-nama orang disekitarnya, misal :
mama, papa, adik dll
Bisa
Bisa
- Paham anggota tubuh : tangan, kaki, kepala, mata,
hidung, mulut, telinga
Bisa
COGNITIF
- Paham angka 1-5
Belum bisa
- Paham jumlah benda 1-3
- Mampu membedakan besar-kecil, panjang-pendek
- Mampu menyusun puzzle minimal 6 keping
- Paham warna : merah, kuning, hijau, biru
Bisa
- Menyamakan bentuk : lingkaran, segitiga,
segiempat
Bisa
- Menyamakan pasangan benda : meja-kursi, sepatukaos kaki, rambut-sisir
Bisa
- Mengenal kategori : binatang, makanan, benda
Bisa
Bisa (merah dan kuning)
Belum bisa
- Menirukan membuat tanda plus (+)
Belum bisa
SPEECH
- Menirukan nada panjang dan pendek
Bisa
- Bersuara jika menginginkan sesuatu
Bisa
- Mengucapkan bunyi vocal /u/o/i/
- Mengucapkan bunyi konsonan
Belum bisa
COMMUNICATION
Bisa
- Paham menunggu giliran
Belum bisa
- Meminta bila menginginkan sesuatu (bisa dengan
mengucap “mau”)
Belum bisa
- Mampu berkonsentrasi ketika belajar
Bisa
Bisa
Bisa
Dengan membandingkan target belajar dengan laporan perkembangan, dapat
disimpulkan bahwa dari 26 kompetensi yang ditargetkan, ST telah menempuh 17
kompetensi, dan 1 kompetensi masih belum konsisten. Jadi ST telah melampaui ± 65
% dari target yang harus dicapai. Tidak tercapainya keseluruhan target dapat
disebabkan banyak faktor. Pada ST faktor tersebut lebih ke diri ST sendiri, ST kurang
memiliki motivasi belajar. Tempramenya juga agak buruk jika lagi tidak mood tapi
97
JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2013,VOLUME 9, NOMOR.1
tetap dipaksa belajar, ST biasanya mogok belajar. Gaya belajar ST yang unik dimana
jika ST langsung diminta tidak mau, tetapi ketika terapis dan mama melakukan
aktivitas yang menarik, ST malah ingin tahu. Jadi agar pelaksanaan AVT lebih
maksimal, terapis dan orang tua harus mengenal karakteristik masing-masing anak.
Karena setiap anak meiliki gaya belajar masing-masing dan karakteristik yang tidak
bisa disama ratakan satu sama lain.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi keberhasilan AVT. Faktor-faktor tersebut antara lain : (1) Usia
Pemakaian Cochlear Implant. Dalam rangka memanfaatkan “critical periode” dari
neurologis dan perkembangan bahasa, identifikasi gangguan pendengaran,
penggunaan amplifikasi yang tepat dan teknologi kedokteran dan stimulasi
pendengaran harus dilakukan sedini mungkin (Clopton dan Winfield, 1976; Johnson
dan Newport, 1989; Lennenberg, 1967; Marler, 1970; Newport, 1990) dalam
Slemenda (2008). Semakin dini anak mendapat stimulasi pendengaran melaui
cochlear implant maka anak akan memiliki potensi lebih besar untuk mendekati
kemampuan berbahasa anak mendengar pada umumnya. Hasil yang dicapaipun akan
berbeda antara anak yang menggunakan cochlear implant diusia dini dan di usia yang
lebih muda. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Svirsky dkk (2000) dalam Nicholas
and Geers (2006 ) yang menyatakan bahwa penanaman cochlea implant (sebagai alat
penstimuli pendengaran) harus dilakukan pada usia dini, Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa anak-anak yang melakukan implantasi koklea lebih dini
menunjukkan perkembangan bahasa lebih cepat dibandingkan anak-anak yang di
implant pada usia lebih dewasa. Selain itu, implant di usia dini juga memiliki
keuntungan dalam peningkatan pengalaman pendengaran dan bahasa lisan selama
periode perkembangan emas; (2) Kecerdasan Anak; Kecerdasan merupakan faktor
yang juga mempengaruhi keberhasilan AVT karena jika kecerdasan anak bagus (ratarata atau bahkan lebih) materi akan mudah ditangkap anak sehingga program bisa
tercapai bahkan sebelum waktu yang ditentukan. Dan sebaliknya jika kecerdasan anak
kurang (slow learner atau bahkan tunagrahita) materi yang diberikan pun
membutuhkan waktu yang lama dan pengulangan yang berulang-ulang. Selain daya
tangkap yang kurang, daya ingat anak dengan kognisi rendah pun kurang, sehingga
anak mudah lupa atas informasi yang diberikan sebelumnya. Anak dengan kondisi
demikian tidak dapat secara mudah mengingat kejadian-kejadian dan juga sulit dalam
mengaitkan kejadian-kejadian yang telah dilampaui dengan pengalaman baru
meskipun memiliki konsep yang sama (Partowisastro dan Hadisuparto, 1982 : 109).
Akibat hal tersebut, tentunya dibutuhkan usaha yang lebih keras dan waktu yang lebih
lama agar anak dapat melampaui target yang ditentukan, hasil yang dicapaipun belum
tentu sama dengan anak yang memiliki kognisi rata-rata; (3) Kesehatan Anak Secara
Umum; Kesehatan anak juga berpengaruh terhadap hasil yang diharapkan. Jika anak
dalam keadaan sakit materi yang diberikan kemungkinan besar tidak dapat ditangkap
anak dengan tidak maksimal. Hal itu dikarenakan jika anak dalam kondisi sakit akan
berpengaruh terhadap daya dan kegairahan belajar, kemampuan menangkap,
menyimpan dan menggunakan pengetahuan yang dipelajari (Yusuf, 2005 : 73).
Dampak dari sakit, materi yang seharusnya diberikan pada anak harus tertunda karena
anak dalam kondisi sakit. Maulana (2010 :112) menyatakan bahwa rata-rata anak
yang mempunyai kondisi kesehatan yang tidak stabil (sering tidak masuk) memiliki
prestasi akademik yang kurang optimal akibat ketertinggalanya ketika sakit. Jika anak
sering sakit, selain akan tertinggal dalam hal materi juga akan berdampak pada
terlewatkanya periode keemasan anak yang juga berdampak pada keoptimalan hasil
dimana seperti diketahui bahwa pelaksanaan habilitasi seharusnya dilakukan sedini
mungkin. Jadi kesehatan anak bukan hanya berdampak pada ketertinggalan materi
tetapi lebih jauh lagi berdampak pada terlewatkanya masa-masa kritiis anak untuk
98
Wagino & Rafikayat, Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy ….(87- 110)
mendapat masukan bunyi. Jika masukan bunyi tidak segera diberikan, selanjutnya
akan berdampak pada keterampilan berbahasa anak. Telah terbukti bahwa anak-anak
yang tidak mendapatkan input bahasa di usia dini, mereka beresiko berdampak pada
bahasa dan prestasi akademik yang buruk (Hart dan Risley, 1995). Ini juga telah
terbukti bahwa kemiskinan kemampuan berbahasa dan interaksi komunikatif antara
orang tua dan anak yang kurang di usia dini akan berdampak pada sosial emosi dan
perilaku anak (Prizant dan Meyer,1993; Baltaxe, 2001) dan akan berdampak pada
buruknya perkembangan bahasa (Rescorla, 2002; Scarborough, 1990; Ziegler dkk
2005; Salju, 1984), membaca (Scarborough dan Dobrich, 1990; Nathan dkk, 2004),
rendahnya kecerdasan verbal (Hart dan Rislely, 1995), miskin dalam sosial-emosional
dan pengembangan diri (Greenberg dan Kusche, 1993) dan beberapa diagnosis
kejiwaan (Toppelberg dan Shapiro, 2000) dalam Nicholas and Geers (2006). Karena
alasan yang telah diuraikan tersebut faktor kesehatan juga sangat mempengaruhi
keberhasilan AVT anak. (4) Kecacatan Lain yang Dimiliki Anak; Kecacatan yang
dimiliki anak juga mempengaruhi hasil AVT, anak yang hanya murni tunarungu
tentunya akan berbeda dengan anak multi handicap. Jika anak murni tunarungu, pada
saat terapi fokus terapi hanya pada pelaksanaan AVT tetapi jika multi handicap
tentunyanya AVT akan dikolaborasikandengan terapi lain yang menjadi kebutuhan
anak. Karena sifatnya kolaborasi tentunya materinya dibagi-bagi. Terapi yang
seharusnya 100 AVT menjadi dibagi-bagi sehingga porsi AVT menjadi berkurang.
Misalnya multi handicap yang dialami selain tunarungu adalah tuna daksa yang
membutuhkan terapi okupasi sekaligus Autis yang mebutuhkan terapi perilaku. Jika
dalam kondisi demikian AVT yang seharusnya pelaksananya 100 % menjadi 50 %
AVT, modifikasi perilaku 25 % dan terapi okupasi 25 % misalnya. Tentu hasil yang
dicapai tidak bisa disamakan dengan yang 100 % AVT. Waktu yang dibutuhkanpun
otomatis membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat mencapai hasil yang
ditargetkan; (5) Partisipasi Orang Tua; Dalam pelaksanaan AVT orang tua adalah
sebagai pelaku utama. Peran orang tua adalah yang paling penting dalam pelaksanaan
AVT. Hal ini sesuai dengan Sunardi dan Sunaryo (2007:48) diasumsikan bahwa orang
tua adalah lingkungan terdekat dengan anak, paling mengetahui kebutuhan
khususnya, paling berpengaruh, dan paling bertanggung jawab terhadap anaknya,
sedangkan fungsi tenaga ahli lebih sebagai konsultan atau salah satu “social support”
bagi keberhasilan anaknya.Kretschmer (1978), Ling (1990) dan Ross (1990) dalam
Estabrooks (1994 : 20) menyatakan bahwa anak tunarungu lebih mudah belajar
bahasa jika dalam aktivitas yang dekat dengan orang tua dan pengasuh. Merupakan
tugas orang tua untuk memberikan kekayaan interaksi bahasa lisan pada anak karena
orang tua berada di samping anak dari bangun tidur sampai tidur kembali. Sebagai
pemain kunci, mereka perlu mengembangkan pemahaman berbagai tahapan meliputi
tahapan mendengarkan, berbicara, bahasa, dan kognisi. Jadi keberhasilan anak
tergantung peran serta orang tua agar aktif dalam menangani anak.Stimulasi
pendengaran harus diberikan oleh orang tua sebagai pemain kunci dalam pelaksanaan
AVT. Peran orang tua sangatlah penting karena waktu anak kebanyakan dihabiskan
dengan orang tua di rumah bukanya dengan terapis yang hanya 1 jam saja. Tanpa
peran orang tua hasil yang didapatpun menjadi kurang optimal; (6) Karakteristik
Anak; Setiap anak memiliki karakteristik sendiri-sendiri, ada yang pemalu ada yang
mudah marah dsb. Terapis harus cermat dalam memahami karakteristik anak karena
dengan memahami karakteristik anak, pembelajaran akan bisa berlangsung lebih
optimal karena proses pembelajaran sesuai dengan anak.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan AVT, dapat
disimpulkan bahwa hasil yang akan dicapai tiap individu akan berbeda. Hasil
akhirnya dikembalikan pada potensi anak, fasilitas dan peran serta orang dalam
melaksanakan AVT pada anak. Jika semua faktor baik dalam artian anak di habilitasi
99
JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2013,VOLUME 9, NOMOR.1
secara dini, alat yang dipakai sesuai, kognisinya tidak terganggu, behaviornya bagus,
tidak memiliki kecacatan lain dan partisipasi orang tua juga bagus maka hanya butuh
± 18 bulan untuk dapat lulus terapi. Dengan waktu ± 18 bulan tersebut anak sudah
pada tahap Processing dan Comprehension di mana pada tahap tersebut anak telah
dapat melakukan; mengembangkan kosakata ( katagori dan abstraksi ), membuat
kalimat dan mengasosiasikannya dengan mendengar, mampu menjawab pertanyaan
(dimana , apa , siapa ), mengerti increasingly kalimat lengkap dengan 3 item,
mendengar cerita pendek dan mampu menjawab pertanyaan, dapat menjawab
pertanyaan , bagaimana , kenapa , apa selanjutnya, dapat mendengarkan cerita
panjang dan bisa menjawab pertanyaan, mengurutkan cerita dengan atau tanpa
bantuan visual , seperti gambar dan kartu, increase cognitive language /ketrampilan
berbahasa lebih lengkap, mampu mengikuti pecakapan dengan tema sehari hari,
mampu membuka dan menutup pembicaraan walaupun temanya tidak di ketahui
(Cochlear, 2003). Hasil tersebut tentunya tergantung banyak faktor yang telah
dikemukakan. Jadi waktu yang dibutuhkan bisa tepat waktu atau bahkan mundur dari
waktu yang telah ditargetkan sebelumya.
Kendala-Kendala yang Dihadapi dalam Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy (AVT)
di Yayasan Aurica Surabaya.
1. Kurangnya Partisipasi dan Kerjasama dari Orang Tua
Orang tua harus terlibat aktif dalam mengembangkan kemampuan berbahasa
anak tunaungu. Jika orang tua tidak memberikan stimulus suara di rumah maka
akan berdampak pada perkembangan anak. Jika anak di rumah didiamkan saja dan
tidak ada yang mengajak komunikasi si anak maka perkembangan anak menjadi
lambat bahkan stuck none. Hal ini sesuai dengan pendapat McDonald dan Gillete
dalam Sunardi dan Sunaryo (2007:193) yang menyatakan bahwa keterlambatan
perkembangan bahasa dan bicara anak tunarungu cenderung disebabkan
ketidakmampuan orangtua dan orang-orang lain yang signifikan dengan anak
tunarungu untuk berfungsi sebagai partner komunikasi yang baik.
2. Pemberian Habilitasi pada Anak Yang Tidak Konsisten
Ketidak konsistenan orang tua dalam berkomunikasi pada anak, dapat
berdampak pada perkembangan anak. Hal tersebut bisa saja terjadi ketika
mengikuti sesi terapi orang tua menggunakan AVT, tetapi ketika di rumah orang
tua memakai habilitasi lain misalnya lip reading atau bahasa isyarat. Padahal
modalitas visual memiliki kekurangan sebagai berikut; (a) Penglihatan mempunyai
karakteristik arah jangkauanya terpusat pada bidang di depanya, dibatasi oleh
ruang spasial, bersifat statis, dan menetap. Sedangkan pendengaran mempunyai
karakteristik dapat menjangkau segala arah, bersifat temporal, tidak dibatasi oleh
ruang, (b) Selain hal tersebut kelebihan dari indra pendengaran adalah indra
pendengaran merupakan satu-satunya indra yang mengatur apa-apa yang
dimengerti dari lingkunganya kepada sistem syaraf sehingga dalam keadaan tidur
pun indra pendengaran masih berfungsi (Efendi, 2006 : 73).
Jika ingin membelajarkan mendengar pada anak, anak harus mendengar
bukan melihat. Jika anak dibiasakan untuk melihat anak akan lebih mengandalkan
penglihatan daripada pendengaran. Karena mendengar butuh latihan dan
kebiasaan, maka latihlah anak untuk mendengar terlebih dahulu sebagai awal dari
kemampuan untuk berbicara (Listen, Learn and Talk).
3. Behavior Anak
100
Wagino & Rafikayat, Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy ….(87- 110)
Anak tunarungu umumnya mengalami hambatan dalam perilaku adaptif
dikarenakan anak tidak memperoleh input norma yang kebanyakan diinformasikan
secara verbal. Pada dasarnya melalui kelima indera, informasi diperoleh seseorang.
Kelima indra bekerja sama dalam arti yang kemudian sampaikan ke otak. Jika
salah satu indera mengalami gangguan (atau tidak berfungsi) akan terjadi distorsi
dalam pemerolehan informasi dari luar, sesuatu yang hilang atau kurang lengkap
dari seluruh informasi yang utuh (Sanders, 1962 dalam Bunawan dan Yuwati, 2000
: 4). Akibat gangguan dalam penyampaian informasi norma tersebut anak memiliki
perilaku yang kurang adaptif.
Selain hal tersebut, penyebab juga bisa dikarenakan kelemahan orang tua
dalam mendisiplinkan anak. Hubungan interaksional dan transaksional
menyebabkan saling mempengaruhi antara anak dengan orang tua, sehingga jika
pada anak terdeteksi mengalami masalah kelainan perilaku dapat dialamatkan
penyebabnya adalah pada orang tua. (Sameroff dkk, 1982 dalam Efendi, 2006 :
150).
Jika behavior anak kurang adaptif saat mengikuti terapi hal ini akan
berdampak pada materi yang seharusnya diberikan pada anak tidak tersampaikan.
Karena dalam mendengar perlu konsentrasi, jika anak sibuk sendiri tentunya anak
tidak berkonsentrasi dan materi yang disampaikan pun tidak ditangkap oleh anak
akibat perilakunya yang kurang kooperatif.
4. Mapping yang Kurang Tepat
Setelah anak memakai cochlear implant, masalah pendengaran pada anak
tidak selesai sampai disitu. Dalam waktu berkala cochlear implant harus dipetakan
(mapping). Pemetaan atau Mapping adalah proses untuk menyesuaikan suara yang
diterima oleh setiap pemakai. Proses pemetaan ini dilakukan dengan menggunakan
peralatan komputer. Proses ini akan dilaksanakan secara berkala yang
dimaksudkan untuk menyesuaikan fungsi alat sejalan dengan perkembangan
kemampuan pemakai dalam mendengar dan berbicara (Lehnhardt : 33 ). Jika
pemetaan atau mapping tidak tepat, maka akan yang akan terjadi adalah suara
terlalu pelan, keras atau bahkan feedback. Hal ini dapat mengganggu konsentrasi
anak karena anak tidak dapat mendengar dengan nyaman.
Jika anak kurang konsentrasi akibat feedback maka materi yang
disampaikanpun akan kurang optimal. Materi yang didapat bisa kurang, salah atau
bahkan anak tidak menangkap materi sama sekali. Selain kelima indra manusia,
konsentrasi adalah komponen yang dibutuhkan untuk memperoleh informasi.
Kurangnya konsentrasi atau pemusatan perhatian dapat menyebabkan ketidak
siapan untuk menerima informasi (belajar) (Baihaqi dan Sugiarmin, 2008:63).
5. Kondisi Kesehatan
Jika anak sering sakit tentunya akan mengganggu pelaksanaan terapi. Anak
yang seharusnya dijadwalkan melakukan terapi, akibat sakit pendidikanpun
menjadi terhenti. Padahal pendidikan harus dilakukan secara terus menerus. Jika
pembelajaran terhenti, anak akan cenderung lupa dengan materi yang sebelumnya
telah diberikan, akibatnya hasil yang ingin dicapai menjadi kurang optimal dan.
Rata-rata anak yang mempunyai kondisi kesehatan yang tidak stabil (sering tidak
masuk) memiliki prestasi akademik yang kurang optimal akibat ketertinggalanya
ketika sakit (Maulana, 2010 :112). Jadi jika dibandingkan dengan teman yang
dimulai dengan start yang sama dan kemampuan sama anak tersebut memiliki
prestasi akademik yang lebih rendah akibat ketertinggalanya karena sakit.
6. Keterbatasan yang Dimiliki Anak
101
JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2013,VOLUME 9, NOMOR.1
Keterbatasan yang dimiliki anak, misalnya kognisi anak, kecacatan lain
(multi handicap ) dll. Bila kognisi anak kurang, tentunya berdampak pada kesulitan
anak dalam menangkap informasi yang diberikan. Hal ini dikarenakan anak yang
memiliki kognisi rendah memiliki fleksibilitas mental yang kurang yang berakibat
pada kesulitan dalam pengorganisasian bahan yang dipelajari. Dampaknya
disamping sukar bagi anak untuk menangkap informasi yang kompleks,
pengetahuan dan ide-idenya menjadi terbatas, tidak memiliki cukup bahan untuk
melakukan penilaian terhadap situasi lingkungan dan memahaminya secara benar
sesuai hukum logika (Sunari dan Sunaryo, 2007 : 158).
Karena hal tersebut, materi yang diberikan pun membutuhkan waktu yang
lama dan pengulangan yang berulang-ulang. Selain daya tangkap yang kurang,
daya ingat anak dengan kognisi rendah pun kurang, sehingga anak mudah lupa atas
informasi yang diberikan sebelumnya. Anak dengan kondisi demikian tidak dapat
secara mudah mengingat kejadian-kejadian dan juga sulit dalam mengaitkan
kejadian-kejadian yang telah dilampaui dengan pengalaman baru meskipun
memiliki konsep yang sama (Partowisastro dan Hadisuparto, 1982 : 109). Akibat
hal tersebut, tentunya dibutuhkan usaha yang lebih keras dan waktu yang lebih
lama agar anak dapat melampaui target yang ditentukan, hasil yang dicapaipun
belum tentu sama dengan anak yang memiliki kognisi rata-rata.
Upaya-Upaya yang Dilakukan untuk Mengatasi Kendala-Kendala yang Dihadapi
1. Orang Tua yang Kurang Bisa Diajak Kerja Sama
Jika ditemuakan orang tua yang kurang bisa diajak kerja sama, upaya yang
dilakukan adalah dengan mengingatkan dan menasehati orang tua tentang
pentingnya stimulus diberikan di rumah selain pada saat sesi terapi.
Bronfrenbrenner dalam Sunardi dan Sunaryo (2007 : 18) menyatakan bahwa
keluarga merupakan altar pertama bagi anak. Kalau anak mendapatkan start yang
baik dalam keluarga, maka akan dapat dengan mudah masuk dalam kehidupan
berikutnya yang lebih luas. Keluarga adalah “critical system” tempat anak belajar
bagaimana memuaskan kehidupanya dan bagaimana menghadapi dunia. Setiap
anak mulai belajar melalui lingkungan terdekatnya, terutama melalui kontak
dengan ibunya. Selanjutnya melalui kontak dengan ayahnya serta anggota keluarga
lainya, dan baru kemudian secara bertahap belajar melalui lingkungan yang lebih
luas. Jika keluarga sebagai start awal sebagai tempat pertama belajar anak sudah
tidak mendukung, dikhawatirkan pada tahap berikutnya yang lebih luas anak akan
mengalami hambatan. Dan hal tersebut dapat berdampak pada terhambatnya
perkembangan anak baik potensi maupun psikologis anak.
Hal ini ditegaskan oleh Sunardi dan Sunaryo (2007 : 22) yang menyatakan
bahwa Orang tua yang kurang menjalankan fungsi, peran dan tanggung jawabnya
sebagai peletak dasar bagi perkembangan optimal anak, yang juga seing
berdampak pada krisis psikologis dan sosial yang berlarut-larut yang pada akhirnya
bermuara pada terhambatnya respon positif dan konstruksi terhadap kekurangan
yang dialami anak.
2. Orang Tua yang Tidak Konsisten dalam Melaksanakan AVT
Jika ditemukan orang tua yang tidak konsisten dalam melaksanakan AVT
terapis selalu mengingatkan dan memberi saran untuk mengkondisikan lingkungan
rumah untuk ,mengaplikasikan AVT. Rachmahana (2008) menjelaskan bahwa
sesungguhnya belajar terdiri dari 2 bagian, yaitu informasi baru dan personalisasi
informasi baru tersebut. Jika pada tahap pertama anak mengalami kebingungan
akibat penyampaianya berbeda, tentunya akan berakibat pada bagian kedua dimana
102
Wagino & Rafikayat, Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy ….(87- 110)
anak tidak dapat memproses informasi tersebut lebih dalam. Hal ini juga kan
berdampak pada gaya belajar anak. Anak akan terbiasa melihat (visual) dari pada
mendengar. Padahal anak nantinya akan hidup bersama orang-orang lain yang
mendengar. Visual boleh saja diberikan tapi anak harus mendengar dahulu baru
bantuan visual diberikan.
3. Behavior Anak Kurang Baik
Jika behavior anak kurang baik, Hal yang dilakukan terapis adalah
mendisiplinkan anak dengan modifikasi perilaku. Secara umum modifikasi
perilaku dapat diartikan sebagai segala tindakan yang bertujuan mengubah perilaku
yang kurang adaptif menjadi lebih adaptif (Purwanto, 2005 : 7). Bentuk mofikasi
perilaku yang biasanya dilakukan terapis adalah dengan prosedur aversi. Prosedur
aversi adalah prosedur modifikasi perilaku dengan melibatkan pengasosiasian
tingkah laku simtomatik dengan suatu stimulus yang tidak menyenangkan sampai
tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculanya (terhenti) (Corey
dalam Purwanto, 2005 : 198).
Kendali prosedur aversi yang dapat dilakukan denga 2 cara, penarikan (tidak
menghadirkan pengukuh positif) dan dengan hukuman. Tapi, dalam pelaksanaanya
bentuk modifikasi perilaku yang dilakukan adalah dengan cara pertama, hal yang
biasanya dilakukan jika perilaku anak tidak kooperatif (ngambek tidak mau
diterapi) yang dilakukan terapis adalah mengabaikan anak (membiarkan anak
ngambek) kemudian tetap menjalankan terapi tapi dilakukan dengan orang tua.
Jadi terapis dan orang tua menunjukkan aktivitas yang menyenangkan dalam
belajar. Hal yang biasanya terjadi, melihat aktivitas yang menarik dari orang tua
dan terapis, anak jadi ingin belajar dan ingin diterapi lagi.
Selain modifikasi perilaku, juga diperlukan kekonsistenan baik dari terapis
maupun orang tua untuk mendisplinkan anak. Jadi selain saat terapi, anak juga
harus mengikuti aturan ketika di rumah. Pihak keluarga harus membelajarkan
norma pada anak ketika di rumah. Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam
keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakan dasar-dasar perilaku bagi
anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan
ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tak sadar
diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya. Hal
demikian disebabkan karena anak mengidentifikasikan diri pada orang tuanya
sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain (Bonner dalam Habibi).
Selain menjaga dalam hal bertindak dan bersikap, orang tua harus tegas
dalam mendisiplinkan anak. Jadi pola asuh orang tua sangat berpengaruh terhadap
behavior anak. Kohn dalam Habibi menyatakan bahwa pola asuh merupakan sikap
orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap orang tua ini meliputi
cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupun hukuman, cara orang tua
menunjukkan otoritasnya, dan cara orang tua memberikan perhatian serta
tanggapan terhadap anaknya. Jadi, jika orang tua bisa memberikan pola asuh yang
baik dan dapat menunjukkan kekonsistenan dalam mengambil keputusan, tentu
perilaku anak dapat diperbaiki.
4. Mapping yang Kurang Tepat
Setelah implan dimasukkan dengan jalan operasi, anak biasanya tidak hanya
langsung menyalakan prosesor bicara dan langsung dapat mendengar suara. Seperti
halnya ketika membeli TV baru, ketika membawanya pulang, membukanya dan
menyalakannya, semua yang terlihat masih kosong karena belum diprogram. Sesi
pemrograman pertama disebut "tune-up". Ini adalah proses "tuning-in" implan
pasien dengan peralatan khusus, sehingga anak bisa mendengar suara pada tingkat
103
JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2013,VOLUME 9, NOMOR.1
yang sesuai melalui sistem CI. Proses pemrograman implan juga disebut
"pemetaan", karena kita memperoleh beberapa pengukuran pada elektroda, yang
kemudian disimpan ke dalam prosesor bicara Program ini kemudian disebut PETA
(Lehnhardt : 32).
Setiap pasien memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. CI disetel untuk
mencapai kemampuan pendengaran terbaik. Jika MAP tidak diatur dengan benar,
pasien tidak akan mampu mendeteksi semua suara dengan benar dan fungsi CI
tidak akan optimal. Hal yang dapat dilakukan terapis jika mapping kurang tepat
adalah dengan memberitahukan orang tua untuk segera membawa ke audiolog
untuk set mapping ulang.
5. Anak dalam Kondisi Sakit
Jika anak dalam kondisi sakit, hal yang dilakukan adalah menunggu anak
sembuh karena Jika anak dalam keadaan sakit materi yang diberikan kemungkinan
besar tidak dapat ditangkap anak dengan tidak maksimal. Hal itu dikarenakan jika
anak dalam kondisi sakit akan berpengaruh terhadap daya dan kegairahan belajar,
kemampuan menangkap, menyimpan dan menggunakan pengetahuan yang
dipelajari (Yusuf, 2005 : 73).
6. Anak Mengalamai Multi Handicap
Jika anak mengalamai multi handicap (misalnya gangguan motorik) selain
AVT terapis juga melakukan terapi okupasi pada anak di sela-sela aktivitas terapi.
Jadi terapis menggabungkan antara AVT dengan terapi lain yang dibutuhkan anak
(okupasi, dll). Suharsono dalam Sujarwanto (2005 : 10) mengemukakan terapi
okupasi adalah suatu terapi yang berdasarkan atas gerak di dalam suatu aktivitas.
Terapi okupasi berusaha memperbaiki kelainan dengan cara memberikan pekerjaan
(kegiatan) yang melibat otot-otot dan sendi-sendi tertentu. Jadi jika terapis
menemukan anak dengan multi handicap dengan gangguan motorik (okupasi)
kegiatan yang biasanya dilakukan adalah meronce, menggunting dan kegiatankegiatan yang melibatkan motorik halus. Penggabungan terapi tersebut dianggap
efektif karena disamping melibatkan indera pendengaran tetapi juga melibatkan
modalitas lain sesuai dengan kebutuhan anak (terapi okupasi, konsentrasi, perilaku
dll).
Dukungan Sistem Lembaga Terhadap Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy (AVT)
di Yayasan Aurica Surabaya
Dalam pelaksanaanya, AVT harus dilaksanakan orang tua dan bekerja sama
dengan berbagai bidang keilmuan yang mendukung keberhasilan habilitasi. Orang tua
sebagai pelaku utama dan audiolog, terapis, dan guru hanya sebagai konselor. Peran
orang tua adalah yang paling penting dalam pelaksanaan AVT. Hal ini sesuai dengan
Sunardi dan Sunaryo (2007:48) diasumsikan bahwa orang tua adalah lingkungan
terdekat dengan anak, paling mengetahui kebutuhan khususnya, paling berpengaruh,
dan paling bertanggung jawab terhadap anaknya, sedangkan fungsi tenaga ahli hanya
sebagai konsultan atau salah satu “social support” bagi keberhasilan anaknya. Ahliahli yang terlibat dalam AVT adalah sebagi berikut; (1) Intervensi medis sebagai
orang yang dapat menangkap kondisi kelainan anak, meliputi : (tes pendengaran),
penyediaan (CI) sebagai media untuk meningkatkan kemampuan mendengar dan
mapping, (2) Terapi, sebagai tempat habilitasi dan juga tempat orang tua untuk
mendapatkan informasi tentang AVT yang kemudian dapat diaplikasikan orang tua di
rumah, (c) Intervensi pendidikan, sebagai tempat anak belajar selayaknya anak-anak
seusianya tentunya sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan gaya belajar anak.
104
Wagino & Rafikayat, Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy ….(87- 110)
Dukungan sistem baik internal maupun eksternal memperkuat pelaksanaan
AVT. Hal ini dikarenakan pelaksanaan AVT akan lebih optimal jika kerja sama
dilakukan oleh berbagai pihak seperti keluarga, medis, audiolog, terapis, peralatan dan
intervensi pendidikan. Hal ini sesuai dengan tim model NYGH program AVT dalam
Estabrooks (1994:6) yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan AVT, tim-tim yang
terlibat antara lain anak dan keluarga, terapis AVT, audiolog, dokter THT, dokter
keluarga, terapis okupasi, pekerja sosial, fisioterapist, ahli genetik, psikolog, guru dan
ahli gangguan bicara dan bahasa.
Semua ahli tersebut bekerja sama dengan orang tua dan berkolaborasi secara
bersama-sama sesuai bidangnya dalam menangani anak tunarungu. Dalam Individual
with Disabilities Education Act Amendement (IDEA) dalam Sunardi dan Sunaryo
(2007:23) diamanatkan bahwa orang tua adalah fokus dalam peningkatan
perkembangan komunikasi, kognitif, sosial, emosional dan motorik anak dan dalam
pelaksanaanya dibutuhkan kerja sama/kolaborasi antara orang tua dan tenaga ahli
dalam memfasilitasi perkembangan anak.
Dari semua penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dukungan orang tua,
tenaga medis, tenaga habilitasi dan pendidikan sangatlah penting demi perkembangan
anak. Dalam pelaksanaanya orang tua tetap menjadi pemain utama dan para ahli
hanya sebagai pemain pendukung, jadi keberhasilan anak tergantung peran serta
orang tua dalam menangani anak.
Setelah melaksanakan penelitian di yayasan Aurica, ditemukan bahwa
pelaksanaan Auditory verbal therapy (AVT) meliputi hal-hal sebagai berikut; (1)
Tahap Perencanaan AVT, tahap perencanaan AVT meliputi target belajar per 6 bulan
dan planning session. Target belajar per 6 bulan merupakan target kemampuan yang
ingin dicapai dalam kurun waktu 6 bulan sedangkan planing session adalah rencana
pelaksanaan terapi dalam satu kali sesi terapi. Meskipun sebutan program tersebut
berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya, tetapi sifatnya masih bersifat sama
dimana target belajar per 6 bulan sama seperti program semester (Promes) dan
planning session sama seperti Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Aspek
yang dikembangkan dalam AVT di Aurica sesuai dengan kurikulum judith I simser
yang menjadi panduan dalam penyususnan program AVT. Aspek-aspek yang
dikembangkan meliputi audition, language, speech, cognition dan communication.
Dalam penyusunan program AVT di Aurica sesuai dengan panduan keterampilan
mendengar anak sesuai dengan usia mendengar (bukan usia kronologi) dimana hal
tersebut sesuai dengan panduan yang dianut oleh semua AVT; (2) Tahap Pelaksanaan
AVT, dalam penerapan teknik-teknik AVT di Aurica, ditemukan perbedaan dalam hal
penggunaan teknik hand cue. Hand cue adalah teknik AVT dimana dalam
penyampaian materi terapis harus menutupi mulut agar anak tidak membaca bibir
terapis. Di Aurica teknik tersebut tidak dilakukan lagi karena teknik tersebut dianggap
kurang natural dimana orang endengar pada umumnya ketika berbicara tidak menutup
mulutnya. Hal ini sesuai dengan keputusan federasi AVT sedunia dimana teknik hand
cue tidak boleh digunakan lagi. Setelah melakukan observasi di berbagai habilitasi
auditory yang menamakan diri AVT di Surabaya. Aurica adalah satu-satunya tempat
habilitasi auditory yang murni AVT dimana dalam pelaksanaanya benar-benar
memanfaatkan kemampuan fungsi pendengaran berbeda dengan habilitasi auditory
yang lain yang menggabungkan AVT dengan bina bicara (oral); (3) Tahap Evaluasi
AVT, pada tahap AVT di Aurica, pelaksanaanya relatif sama dengan teori AVT
dimana untuk melakukan evaluasi, yang perlu dilakukan adalah dengan melihat hasil
planning session dan laporan perkembangan per 6 bulan. Cara mengevaluasinya
adalah dengan membandingkan planning session dan target belajar per 6 bulan
dengan hasil planning session dan laporan perkembangan apakah target yang
direncanakan tercapai atau tidak. Keberhasilan AVT dipengaruhi oleh banyak faktor.
105
JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2013,VOLUME 9, NOMOR.1
Diantaranya usia pemakaian cochlear implant, kecerdasan anak, kesehatan anak
secara umum, kecacatan lain yang dimiliki anak dan partisipasi aktif orang tua; (4)
Kendala-Kendala yang Dihadapi. kendala-kendala dalam berlangsungnya
pembelajaran, dalam pelaksanaan AVT di Aurica ditemukan kendala-kendala antara
lain (a) kurangnya partisipasi dan kerjasama dari orang tua, (b) ketidak konsistenan
habilitasi yang diberikan pada anak, (c) behavior anak, (d) mapping yang kurang
tepat, kondisi kesehatan dan (e) keterbatasan yang memang dimiliki anak; (5) Upayaupaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala , adanya kendala dalam
pelaksanaan AVT harus segera ditangani, karena jika dibiarkan berlarut-larut akan
berdampak pada kemajuan belajar anak. Upaya-upaya yang dilakukan untuk
mengatasi kendala-kendala yang dihadapi antara lain: (a) Jika ditemuakan orang tua
yang kurang bisa diajak kerja sama, upaya yang dilakukan adalah dengan
mengingatkan dan menasehati orang tua. Jika nasehat tidak diindahkan oleh orang tua
hal yang dilakukan adalah dengan mengembalikan anak kepada orang tua, (b) Jika
ditemukan orang tua yang tidak konsisten dalam melaksanakan AVT, terapis selalu
mengingatkan dan memberi masukan untuk mengkondisikan lingkungan rumah untuk
,mengaplikasikan AVT, (c) Jika behavior anak kurang baik, hal yang dilakukan
terapis adalah mendisiplinkan anak tersebut untuk dapat mengikuti aturan, (d)
Mapping yang kurang tepat, hal yang dapat dilakukan adalah memberitahukan orang
tua untuk segera membawa ke audiolog untuk set mapping ulang, (e) Jika anak dalam
kondisi sakit hal yang dilakukan adalah menunggu anak sembuh, (f) Jika menemukan
anak dengan multi handicap, terapis menggabungkan antara AVT dengan terapi lain
yang dibutuhkan anak (okupasi, dll); (6) Dukungan sistem lembaga terhadap
pelaksanaan AVT , seperti halnya sekolah-sekolah umum lainya yang membutuhkan
kerja sama baik dari sistem lembaga maupun dengan lembaga lain, Yayasan Aurica
juga melakukan hal-hal tersebut. Selain kerja sama tim, yakni ketua yayasan,
koorditaor habilitasi, dan para terapis berlangsung dengan baik sesuai dengan
tanggung jawabnya masing-masing, Aurica juga bekerja sama dengan orang tua,
rumah sakit (dr. Sutomo dan RSAL Surabaya), Suplier Alat Bantu Dengar (ABD).
Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan. Hal tersebut dilakukan untuk medukung
pelaksanaan AVT agar lebih optimal jika dilakukan oleh semua ahli sesuai dengan
bidangnya masing-masing. Orang tua sebagai kunci utama keberhasilan AVT. Dalam
pelaksanaanya berhasil atau tidaknya anak adalah tergantung orang tua. Karena orang
tua yang berada sepanjang hari bersama anak bukanya terapis yang hanya 1 jam
dalam seminggu. Kerja sama dengan orang tua adalah dalam aspek keluarga. Rumah
sakit dalam hal ini rumah sakit dr. Sutomo dan RSAL Surabaya berkontribusi pada
pelaksanaan AVT di Aurica. Dukungan yang diberikan adalah rumah sakit sakitrumah sakit tersebut menjadi tempat rujukan siswa Aurica dalam hal tes pendengaran,
operasi cochlear implant dan mapping cochlear implant. Rumah sakit dalam
pelaksanaan AVT mendukung dalam aspek medis dan audologi. Dalam pelaksanaan
AVT penyediaan Alat Bantu Dengar (ABD) dan peralatanya (earmood, battery, dll)
sangatlah penting. Aurica bekerja sama dengan Suplier Alat Bantu Dengar (ABD)
untuk kemudahan dalam penyediaan ABD dan peralatanya. Supplier ABD dalam
pelaksanaan AVT mendukung dalam aspek peralatan. Aurica bekerja sama dengan
dinas kesehatan dalam hal hearing screening di sekolah-sekolah umum sesurabaya.
Hal ini dilakukan untuk menjaring anak tunarungu yang mungkin belum terdeteksi
dan untuk melakukan perawatan telinga pada anak. Hal ini biasanya dilakukan
bersama dokter THT. dalam pelaksanaan AVT mendukung dalam aspek sosialisasi
deteksi ketunaruguan.
Dukungan sistem baik internal maupun eksternal memperkuat pelaksanaan
AVT di Aurica. Hal ini dikarenakan pelaksanaan AVT akan lebih optimal jika kerja
sama dilakukan oleh berbagai pihak seperti keluarga, medis, audiolog, terapis,
106
Wagino & Rafikayat, Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy ….(87- 110)
peralatan dan intervensi pendidikan. Selain kerja sama- kerja sama tersebut, Aurica
membuka PAUD khusus anak tunarungu yang menggunakan fasilitas loop system
untuk pengoptimalan stimulus pendengaran. Kerja sama dengan dinas pendidikan
tersebut dilakukan untuk menyiapkan anak untuk masuk dunia prasekolah dalam hal
ini play group dan taman kanak-kanak di sekolah treguler. Bentuk kerja sama ini
mendukung pelaksanaan AVT dalam aspek intervensi pendidikan.
SIMPULAN DAN SARAN
Pelaksanaan Auditory verbal therapy (AVT) dalam mengembangkan
keterampilan berbahasa anak tunarungu pengguna cochlear implant di yayasan aurica
Surabaya, dapat disimpulkan sebagai berikut; (1) Tahap perencanaan AVT meliputi
target belajar per 6 bulan dan planning session. Target belajar per 6 bulan merupakan
target kemampuan yang ingin dicapai dalam kurun waktu 6 bulan sedangkan planing
session adalah rencana pelaksanaan terapi dalam satu kali sesi terapi. Penyusunan
planning session merujuk pada target per 6 bulan karena planning session adalah
bagian dari target belajar per 6 bulan. Aspek yang dikembangkan dalam AVT
meliputi audition, language, speech, cognition dan communication. Dalam
penyusunan program AVT yang menjadi panduan adalah kurikulum Judith I Simser
dan St. Gabrielle Australia. Dalam penyusunanya harus memperhatikan usia cochlear
implant, kognisi anak dan kecacatan lain yang dimiliki anak; (2) Tahap pelaksanaan
AVT dimulai dengan conditioning dengan Ling 6 sound dan kemudian dilanjutkan
dengan mengembangkan 5 aspek berbahasa dalam AVT yaitu audition, language,
speech, cognition dan communication. Materi yang diberikan disesuaikan dengan usia
mendengar anak (setelah cochlear implant diaktifkan), bukan usia kronologis anak
(dimulai saat kelahiran). Teknik-teknik yang digunakan dalam pelaksanaan AVT
bertujuan untuk memaksimal keterampilan mendengar anak, diantaranya : dengan
cara duduk bersebelahan dengan anak, bicara pada jarak yang dekat dengan cochlear
implant (CI), menggunakan ruangan yang tenang, menggunakan acoustic
highlighting, berbicara dengan suara yang berintonasi, meminta bantuan orang lain
untuk memanggil nama anak, menggunakan tanda yang menunjukkan bahwa anak
diminta untuk mendengar, memperdengarkan suara terlebih dahulu, menggunakan
pengulangan, menggunakan nada suara yang natural, mengajarkan anak untuk
mendengar saja. Tujuan dari teknik-teknik tersebut adalah agar anak terbiasa
mendengar dan menggunakan modalitas pendengaran sebagai modalitas utama dalam
memperoleh informasi dan berkomunikasi dengan dunia yang merupakan komunitas
mendengar; (3) Tahap evaluasi AVT meliputi hasil planning session dan laporan
120
perkembangan per 6 bulan. Cara mengevaluasinya
adalah dengan membandingkan
planning session dan target belajar per 6 bulan dengan hasil planning session dan
laporan perkembangan apakah target yang direncanakan tercapai atau tidak.
Keberhasilan AVT dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantaranya usia pemakaian
cochlear implant, kecerdasan anak, kesehatan anak secara umum, kecacatan lain yang
dimiliki anak dan partisipasi aktif orang tua; (4) Kendala-kendala yang dihadapi
dalam pelaksanaan AVT di Yayasan Aurica Surabaya antara lain kurangnya
partisipasi dan kerjasama dari orang tua, ketidak konsistenan habilitasi yang diberikan
pada anak, behavior anak, mapping yang kurang tepat, kondisi kesehatan dan
keterbatasan yang memang dimiliki anak; (5) Upaya-upaya yang dilakukan untuk
mengatasi kendala-kendala yang dihadapi antara lain: Jika ditemuakan orang tua yang
kurang bisa diajak kerja sama; upaya yang dilakukan adalah dengan mengingatkan
dan menasehati orang tua; Jika ditemukan orang tua yang tidak konsisten dalam
melaksanakan AVT, terapis selalu mengingatkan dan memberi masukan untuk
mengkondisikan lingkungan rumah untuk ,mengaplikasikan AVT; Jika behavior anak
107
JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2013,VOLUME 9, NOMOR.1
kurang baik, hal yang dilakukan terapis adalah mendisiplinkan anak tersebut untuk
dapat mengikuti aturan; Mapping yang kurang tepat, hal yang dapat dilakukan adalah
memberitahukan orang tua untuk segera membawa ke audiolog untuk set mapping
ulang; Jika anak dalam kondisi sakit hal yang dilakukan adalah menunggu anak
sembuh; Jika menemukan anak dengan multi handicap, terapis menggabungkan antara
AVT dengan terapi lain yang dibutuhkan anak (okupasi, dll); (6) Dukungan sistem
lembaga terhadap pelaksanaan AVT di Yayasan Aurica Surabaya adalah sangat baik
tim-tim yang terlibat baik ketua yayasan, koorditaor habilitasi, dan para terapis
bekerja sama sesuai dengan tugasnya untuk mendukung pelaksanaan AVT. Selain
kerjasama yang baik dari anggota yayasan, yayasan Aurica juga bekerja sama dengan
orang tua, rumah sakit (dr. Sutomo dan RSAL Surabaya), Suplier Alat Bantu Dengar
(ABD), Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan untuk medukung pelaksanaan AVT
agar lebih optimal. Selain dukungan-dukungan tersebut, Yayasan Aurica juga
mengadakan program-program yang dapat mendukung pelaksanaan AVT diantaranya
parent support group, home visit dan school visit, PAUD Aurica, hearing screening
dan seminar.
Simpulan yang didapat dapat digunakan untuk memberikan rekomendasi pada;
(1) Bagi Yayasan Aurica; (a) AVT merupakan pendekatan komunikasi bagi anak
tunarungu yang belum banyak digunakan di indonesia, sebaiknya AVT lebih
dikenalkan lebih luas kepada masyarakat baik melalui seminar maupun internet; (b)
AVT merupakan pendekatan komunikasi bagi anak tunarungu yang belum banyak
digunakan oleh keilmuwan pendidikan luar biasa, diharapkan ada bentuk kerja sama
dari pihak yayasan dengan lembaga pendidikan dalam hal ini universitas khususnya
pendidikan luar biasa untuk menambah pengetahuan calon guru-guru pendidikan luar
buasa tentang AVT; (c) Tenaga ahli profesional merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi keberhasilan AVT, diharapkan nantinya lembaga dapat mencetak
tenaga-tenaga profesional untuk menangani anak tunarungu baik kuantitas maupun
kualitas; (d) Pemberikan work shop kepada tenaga pendidik anak tunarungu akan
dapat semakin memperkenalkan AVT di masyarakat. Selain itu juga dapat membekali
tenaga pendidik dalam hal ini guru SLB-B agar memiliki keterampilan AVT sebagai
alternatif dalam menangani anak tunarungu; (2) Bagi guru pendidikan luar biasa;
AVT merupakan pendekatan komunikasi yang dapat digunakan sebagai alternatif
dalam menangani anak tunarungu di SLB; (3) Bagi orang tua anak tunarungu, AVT
merupakan pendekatan komunikasi yang dapat diterapkan pada anak, dan
Konsultasikan terlebih dahulu kepada ahli AVT dan Audiolog sebelum menerapkan
AVT kepada anak; (4) Bagi mahasiswa, AVT merupakan pendekatan komunikasi
yang dapat dipelajari dalam usaha mengembangkan kemampuan berbahasa anak
tunarungu, Bagi mahasiswa yang ingin melakukan penelitian lanjutan, disarankan
melakukan hal-hal sebagai berikut : Siapkan banyak waktu untuk mempelajari AVT,
karena materi AVT sangat banyak, Pelajari karekteristik anak karena hal tersebut
berpengaruh terhadap hasil (output), Lakukan pendekatan dengan sumber data, karena
hal tersebut dapat berpengaruh terhadap hasil pengumpulan data yang akan diperoleh.
DAFTAR ACUAN
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta :
Rineka Cipta
Baihaqi dan Sugiarmin. 2008. Memahami dan Membantu Anak ADHD. Bandung :
Refika Aditama
Battista dan Highhouse. 2011. Ear Institute of Chicago. Bilateral Cochlear Implants
(online), (http://audiologyonline.com diakses 26 juni 2011)
108
Wagino & Rafikayat, Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy ….(87- 110)
Bunawan, Lani dan Yuwati, CS. 2000. Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu.
Jakarta:Yayasan Santi Rama
Cochlear Limited. 2005. Listen Learn and Talk. Australia : SOS Printing Group
Dornan dkk. 2009. Longitudinal Study of Speech Perception, Speech, and Language
or Children with Hearing Loss in an Auditory Verbal Therapy Program
(online), Vol 109 (2-3). (http://ebookbrowse.com diakses 20 mei 2011)
Efendi, Mohammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta :
Bumi Aksara
Estabrooks, Warren. Tanpa Tahun. QESWHIC Education And Culture Socrates.
Auditory Verbal Practice (online), (http://www.qeswhic.eu diakses 20 mei
2011)
Estabrooks. W. 1994. Auditory Verbal Therapy For Parents And Professionals.
Washington DC, U.S.A. : Alexander Graham Bell Association for the deaf.
Estabrooks, W dan Schwartz, R. 1995. The ABCs of AVT: Analyzing Auditory Verbal
Therapy. Washington DC, U.S.A. : AG Bell
Gutomo, Sri. Mei 2009 edisi ke VII. “Dua Tahun Hari Kesehatan Pendengaran 3
Maret 2009.” Yayasan Aurica, hal. 1.
Habibi, Muazar. Tanpa Tahun. Bimbingan Bagi Orang Tua dalam Penerapan Pola
Asuh
untuk
Meningkatkan
Kematangan
Sosial
Anak
(online),
(http://damandiri.or.id diakses tanggal 16 juli 201)
Http://firstyears.org diakses 20 juni 2011
Juyanti, Reni. 2010. Pelaksanaan Auditory Verbal Therapy Bagi Anak Tunarungu di
Lembaga Terapi Aurica Surabaya. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya : JPLB
FIP Unesa.
Kurnaeni. 2007. Metode Pengajaran Bahasa Bagi Anak Tunarungu (online),
(http://dtarsidi.blogspot.com diakses 8 Maret 2011)
Lehnhardt, Monika. Tanpa Tahun. QESWHIC Education And Culture Socrates.
Implantable Devices (online), (http://www.qeswhic.eu diakses 23 mei 2011)
Lim dan Simser. 2005. Auditory verbal therapy for children with hearing impairment
(online), (http://www.annals.edu diakses 14 juni 2011)
Loizou. Plipipus C. 1998. Mimicking the human ear. IEEE signal processing
magazine.
Maulana, Mirza. 2010. Anak Autis; Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain
Menuju Anak Cerdas dan Sehat. Jogjakarta : Kata Hati
Miseri. 2004. Pelaksanaan Metode Auditory Verbal Therapy dalam Mengembangkan
Kemampuan Berbahasa Anak Tunarungu di Klinik AVT Parents Support Group
Surabaya. Skripsi tidak diterbitkan. Surabaya : JPLB FIP Unesa.
Moeler, Mary Pat. 2000. Pediatric. Early Intervention and Language Development in
Children
Who
Are
Deaf
and
Hard
of
Hearing
(online),
(http://www.pediatrics.org diakses 20 mei 2011)
Nicholas, J G dan Geers, A E .2006. NIH Public Access. Effects of Early Auditory
Experience on the Spoken Language of Deaf Children at 3 Years of Age
(online), (http://www.ncbi.nlm.nih.gov diakses 20 mei 2011)
Partowisastro, K dan Hadisuparto. 1982. Diagnosa dan Pemecahan Kesulitan
Belajar. Jakarta : Erlangga
Purwanto, Edi. 2005. Modifikasi Perilaku. Jakarta : Depdiknas
109
JURNAL PENDIDIKAN LUAR BIASA,APRIL 2013,VOLUME 9, NOMOR.1
Rachmahana, R S. 2008. Psikologi Humanistik dan Aplikasinya dalam Pendidikan
(online) Eltarbawi no.1 vol 1. 2008 (online) (http:// journal.uii.ac.id diakses 16
juli 201)
Robinson, Vicky. Tanpa tahun. Reach Canada. The Power of Parents (online),
(http://www.reach.ca diakses 10 juni 2011)
Sari, Marufi M. 2010. Pendidikan Luar Biasa (online)
(http://marufimusti
kasari.blogspot.com diakses 1 Agustus 2011)
Schramm, David dkk. Tanpa tahun. Reach Canada. Cochlear Implants for Adults
(online), (http://www.reach.ca diakses 10 juni 2011)
Slemenda, Jack. 2008. Auditory Verbal Therapy (online), (http://www.deafed.net,
diakses 21 mei 2011)
Stith, Joanna. Tanpa tahun. What is Auditory-Verbal Therapy?a Parent Packet
(online), (http//www.listeningforlife.com diakses 16 juni 2011
Somad, Permanarian dan Hernawati, Tati. 1996. Ortopedagogik Anak Tunarungu.
Bandung : Depdikbud
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung :
Alfabeta
Sujarwanto. 2005. Terapi Okupasi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta :
Depdiknas
Sukmadinata. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya
Sunardi Dan Sunaryo. 2007. Intervensi Dini Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta :
Depdiknas
Tucker dan Wallace. Tanpa tahun. Building Listening and Spoken Language (online),
(http://www.infanthearing.org diakses 10 juni 2011)
Yusuf, Munawir. 2005. Pendidikan Bagi Anak Dengan Problema Belajar. Jakarta :
Depdiknas
110
Download