BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis 2.1.1 Definisi Psoriasis

advertisement
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Psoriasis
2.1.1 Definisi
Psoriasis adalah suatu penyakit kulit autoimun bersifat kronis yang
ditandai dengan adanya hiperproliferasi epidermis, diferensiasi keratinosit
epidermis yang berlangsung singkat dan inflamasi kulit disertai dengan fenomena
tetesan lilin, Auspitz dan Koebner (Gudjonsson dkk., 2012; Traub dkk., 2007).
Karakteristik lesi yang paling utama adalah adanya plak eritematoskuamosa
berbatas tegas, umumnya mengenai daerah ekstensor ekstremitas terutama siku
dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genitalia (Gudjonsson dkk.,
2012; Griffiths dkk., 2010).
2.1.2 Epidemiologi
Psoriasis ditemukan di seluruh dunia, namun prevalensinya bervariasi dari
0,1% sampai 11,8% (Neimann dkk., 2006). Prevalensi di Amerika Serikat
berkisar antara 2,2% hingga 2,6%, dengan sekitar 150.000 kasus baru terdiagnosis
setiap tahunnya. Laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan yang sama
untuk terkena penyakit ini (Gudjonsson dkk., 2012).
Winta dkk melaporkan di RSUP dr. Kariadi terdapat 198 kasus (0,97%)
psoriasis selama rentang waktu 5 tahun (2003-2007) (Winta dkk., 2008). Kisaran
umur penderita yang terbanyak adalah antara 25-35 tahun, 70%-90% pasien mulai
7
8
mengalami gejala sebelum umur 40 tahun, sedangkan 10% pada masa anak-anak
(Jacoeb, 2003; Sugianto, 2009).
Psoriasis dapat terjadi pada semua umur, tetapi jarang pada umur di bawah
10 tahun. Paling sering terjadi antara umur 15 sampai 30 tahun (Gudjonsson dkk.,
2008; Griffiths dkk., 2010). Onset sebelum umur 40 tahun umumnya
menunjukkan kerentanan genetik yang lebih besar dan tentu saja lebih parah
bahkan berdampak pada berulangnya psoriasis (Krueger dkk., 2013). Banyak
penelitian menunjukkan bahwa jika psoriasis timbul lebih awal, akan dapat
menetap seumur hidup dan bermanifestasi dalam jangka waktu yang tidak dapat
ditentukan. Studi longitudinal menunjukkan remisi spontan dapat terjadi pada
sekitar sepertiga pasien psoriasis dengan frekuensi yang bervariasi ( Elder, 2012).
2.1.3 Faktor pencetus
Faktor genetik dapat mencetuskan psoriasis, namun faktor lingkungan
ternyata juga berperan penting pada patogenesis psoriasis. Beberapa penelitian
membuktikan adanya hubungan antara Human leucocyte antigen (HLA), yaitu
HLA-B13, -B17, -B39, -B57, -CW6, -CW7, -DR4, -DR7, dan analisis
kromosomal dengan kejadian psoriasis. Faktor pencetus eksternal antara lain
trauma fisik seperti garukan, stres psikologik, paparan sinar matahari,
pembedahan, obat-obatan dan infeksi dapat mencetuskan psoriasis pada individu
yang telah mempunyai predisposisi genetik (Habif, 2004). Faktor pencetus
tersebut selain memperberat psoriasis juga dapat menimbulkan kekambuhan yang
berat. Beberapa obat yang dilaporkan dapat mengeksaserbasi psoriasis antara lain
beta blocker, ACE (angiotensin converting enzyme) inhibitor, antimalaria, dan
9
litium. Infeksi bakteri, virus, dan jamur juga dilaporkan dapat mencetuskan
psoriasis (Griffiths dkk., 2005).
2.1.4 Etiologi dan patogenesis
Berdasarkan pada penelitian di populasi, risiko psoriasis adalah suatu hasil
turunan yang telah diperkirakan berkisar 41 persen jika kedua orang tua terkena,
14 persen jika salah satu orang tua terkena, 6 persen jika satu saudara kandung
terkena, dan 2 persen jika tidak ada orang tua atau saudara kandung yang terkena.
Kembar monozigot bervariasi mulai dari 35 persen sampai 73 persen dari
berbagai penelitian. Variasi dan fakta bahwa angka ini tidak mendekati 100
persen, mendukung suatu peran faktor lingkungan (Gudjonsson dkk., 2012).
Pada penelitian-penelitian yang mempelajari kaitan faktor genetik,
diidentifikasi beberapa lokus gen yang berperan dalam patogenesis psoriasis yaitu
6p (PSORS1), 17q25 (PSORS2), 4q34 (PSORS3), 1q21 (PSORS4), 3q21
(PSORS5), 19p13 (PSORS6), 1p32 (PSORS7), 16q (PSORS8), dan 4q31
(PSORS9) (Mahajan dkk., 2013). Diantara lokus gen suseptibel psoriasis tersebut
(PSORS 1-9), didapatkan hubungan yang paling kuat terhadap insiden psoriasis
yaitu gen PSORS1 (Chandran dkk., 2010). PSORS1 terletak pada major
histocompatibility complex (MHC), kromosom 6p21.3, tempat dari gen HLA. Alel
HLA multipel telah dihubungkan dengan psoriasis, khususnya HLA-B13, HLA
B37, HLA-B46, HLA-B57, HLA-Cwl, HLA-cw6, HLA-DR7, dan HLA DQ9.
Kebanyakan alel ini berada dalam ketidakseimbangan pertalian dengan HLACw6, yang menunjukkan risiko relatif tertinggi untuk terjadinya psoriasis pada
populasi kaukasian(Mahajan dkk., 2013; Chandran dkk., 2010) . Hanya sekitar 10
10
persen karier HLA-Cw6 berkembang menjadi psoriasis, dan telah diperkirakan
bahwa PSORS1 berjumlah sekitar sepertiga sampai setengah dari variasi
kecenderungan genetik terhadap psoriasis. Sehingga, sangat mungkin bahwa gen
non-MHC tambahan juga terlibat (Pelsyak, 2012). Setelah PSORS1, lokus
psoriasis yang paling rentan adalah PSORS2 (17q24-25). Lokus lain yang
dinyatakan juga terlibat adalah PSORS4 (1q21.3), PSORS5 (3q21), PSORS8
(16q12-q13), dan PSORS9 (4q28-q31) (Mahajan dkk., 2013) .
Patogenesis psoriasis diperankan oleh sistem imunitas baik sistem
imunitas alami maupun adaptif yang menginduksi sel-sel residen kulit seperti
keratinosit, fibroblast dan sel endotelial. Sel T yang telah teraktivasi diketahui
berperan penting dalam patogenesis psoriasis (Nograles dkk., 2010). Dengan
adanya TGF-ß, dan IL-6 maka sel T naif akan bertransformasi menjadi Th17. Sel
yang telah terakivasi ini akan memasuki sirkulasi dan mengalami ekstravasasi
melalui
endotel
menuju
tempat
inflamasi
di
kulit
sehingga
terjadi
ketidakseimbangan Th1-Th2-Th17 (Betteli dkk., 2006). Antigen precenting cells
(APC) seperti sel dendritik dan makrofag menghasilkan interleukin 23. Sel
dendritik pada lesi psoriasis, memiliki peranan dalam mengawali respon imun
spesifik dan induksi self tolerance, namun peranan spesifik dari masing-masing
subset masih belum jelas. Interleukin 23 yang dihasikan oleh sel dendritik dan
makrofag menyebabkan aktivasi Th 17 untuk menghasilkan IL-17 dan IL-22. Sel
Th 17 merupakan afektor sel CD4+ yang berperanan baik dalam imunitas
nonspesifik maupun adaptif untuk melawan patogen. (Martin dkk., 2013).
11
Keratinosit berperan dalam patogenesis psoriasis sebagai penghasil utama
sitokin proinflamasi, kemokin dan growth factor serta mediator inflamasi lainnya
seperti eikosanoid dan mediator imunitas alami antara lain katelisidin, defensin,
dan protein S100. Keratinosit pada psoriasis diaktifkan melalui suatu jalur
alternatif diferensiasi keratinosit. Jalur ini diaktivasi sebagai respon terhadap
stimulasi imunologi pada psoriasis, akan tetapi mekanisme bagaimana peristiwa
ini terjadi saat ini masih belum diketahui. Selanjutnya didapatkan peran faktor
angiogenik yang dihasilkan oleh keratinosit menyebabkan proliferasi vaskuler
dermis yang abnormal dan angiogenesis. Pada lesi psoriasis tipe plak didapatkan
peningkatan kadar vascular endothelial growth factor (VEGF) (Maharajan dkk.,
2013).
Gambar 2.1 Patogenesis psoriasis (Chiricozzi A, dkk., 2013).
12
2.1.5 Manifestasi klinis psoriasis
Psoriasis vulgaris atau psoriasis dengan lesi plak kronis merupakan
presentasi klasik dan yang paling sering terjadi pada psoriasis. Gambaran klasik
lesi psoriasis adalah plak eritema berbatas tegas, meninggi dan ditutupi oleh
skuama putih. Lesi dapat bervariasi mulai dari papul kecil hingga plak yang
menutupi sebagian permukaan tubuh. Psoriasis cenderung merupakan erupsi yang
simetris. Tanda Auspitz adalah tanda berupa bintik-bintik perdarahan yang
merupakan pelebaran kapiler bila skuama disisihkan selain kulit eritema yang
homogen dan mengkilap. Fenomena berupa munculnya lesi psoriasis setelah
mendapat trauma pada kulit yang awalnya tidak ada lesi, sering muncul selama
serangan disebut sebagai fenomena koebner, yang muncul 7-14 hari setelah
cedera. Tanda tetesan lilin juga dapat ditemukan pada pasien psoriasis. Lesi baru
bermula sebagai lesi pin point yang berkembang dan bergabung menjadi satu
dengan lesi lain menjadi lesi plak (Pelsyak, 2012; Patel, 2011). Psoriasis vulgaris
merupakan bentuk yang terjadi pada sekitar 90% kasus. Psoriasis secara umum
adalah seperti psoriasis vulgaris dengan pola distribusi yang simetris. Lesi dapat
terlokalisir dimanapun, tetapi wajah biasanya terhindar dari lesi dibandingkan
dengan bagian ekstensor yaitu siku dan lutut serta kulit kepala adalah bagian
tubuh yang paling sering terlibat (Newman dkk., 2008; Gudjonsson dkk., 2012).
Kelainan kuku ditemukan pada 40 persen kasus dan jarang dijumpai jika tidak ada
penyakit kulit di tempat lain. Pitting nail adalah bentuk yang banyak dijumpai dan
lebih sering mengenai jari-jari tangan dibanding kaki. Daerah yang terlibat
lainnya termasuk telinga, glans penis, daerah perianal dan derah yang mengalami
trauma berulang (Traub, 2007; Patel, 2011).
13
Gambar 2.2(A-F) Lesi klasik pada psoriasis (Gudjonsson dkk., 2012)
Psoriasis digolongkan menjadi beberapa subtipe. Psoriasis inversa terjadi
pada daerah intertriginosa dan lipatan kulit berwarna merah, mengkilap dan
biasanya tanpa skuama. Psoriasis inversa ini terjadi sekitar 2-6% dari seluruh
pasien psoriasis (Kurian dkk., 2011).
Sebopsoriasis sering dibingungkan dengan dermatitis seboroik, ditandai
dengan sisik berminyak di daerah alis, cekungan nasolabial, dan daerah
postaurikular dan presternal (Chaudhari dkk., 2008).
Psoriasis gutata akut pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda berkisar
dua minggu setelah infeksi streptococcus B haemoliticus seperti tonsilitas atau
pharingitis atau infeksi virus. Manifestasi berupa erupsi papular eritema ukuran
diameter kurang dari 1 cm pada badan dan ekstremitas. Psoriasis gutata akut
biasanya sembuh dengan sendirinya, membaik dalam 3 sampai 4 bulan. Suatu
14
studi menyatakan bahwa hanya sepertiga individu dengan psoriasis gutata
berkembang menjadi plak psoriasis klasik (Newman dkk., 2008: Traub dkk.,
2007).
Psoriasis pustulosa juga merupakan erupsi psoriasis akut. Pasien mengeluh
panas badan, pustul kecil steril monomorfik , nyeri dan sering dipicu oleh infeksi
kambuhan atau penghentian mendadak dari steroid topikal superpoten atau
sistemik. Hal ini dapat terlokalisir pada telapak tangan maupun kaki (psoriasis
palmoplantar) atau dapat menyeluruh dan berpotensi mengancam nyawa (Kurian,
2011; Newman dkk., 2008).
Psoriasis eritrodermi juga mengancam nyawa, melibatkan seluruh
permukaan tubuh dan dapat menyebabkan hipotermi, hippoalbuminemia, uremia
dan infeksi serta gagal jantung. Sehingga pasien perlu perawatan untuk mencegah
hal-hal tersebut diatas (Pelsyak, 2012; Newman dkk., 2008).
Manifestasi ekstrakutan dari psoriasis melibatkan kuku dan persendian.
Psoriasis kuku terjadi pada sekitar 10-50 persen pasien psoriasis dan paling sering
bermanifestasi sebagai pitting. Perubahan kuku lainnya dapat termasuk onikolisis,
perubahan warna, penebalan dan distropi (Gudjonsson dkk., 2012; Patel dkk.,
2011).
Psoriasis artropati adalah komplikasi dari psoriasis yang terjadi pada 510% pasien dan dapat juga terjadi pada pasien tanpa manifestasi kulit psoriasis.
Manifestasi yang paling sering adalah arthritis dengan gejala yang sama dengan
arthritis rheumatoid. Gejala yang patognomonik adalah arthritis pada sendi
interphalangeal dari tangan. Kadang monoartritis dan poliartritis dari sendi besar
15
dapat terjadi. Pasien dengan psoriasis artropati, peningkatan frekuensi dari HLAB27 dan HLA-Bw38 telah ditemukan (Lebwohl, 2001; Kurian, 2011) .
2.1.6 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan histopatologi jarang diperlukan untuk membuat diagnosis
psoriasis, namun dapat dilakukan pada kasus yang sulit. Gambaran histopatologi
dari psoriasis vulgaris bervariasi berdasarkan stadium lesi, namun secara umum
akan terdapat parakeratosis, rete ridges yang mengalami elongasi, penipisan
suprapapilari epidermis dan hilangnya lapisan granuler. Pada dermis, elongasi dan
oedema dari papilanya terlihat dengan dilatasi dan infiltrat inflamasi (Pelsyak,
2012).
Pemeriksaan
khusus
berupa
teknik
Immunostaining
memberikan
kontribusi untuk memaparkan patogenesis dari psoriasis serta mengamati respon
terhadap terapi namun tidak lazim digunakan untuk membuat diagnosis atau
pertimbangan terapi (Lebwohl, 2001; Gudjonsson, 2012).
2.1.7 Diagnosis psoriasis
Diagnosis psoriasis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, dan dapat
dibantu oleh pemeriksaan biopsi kulit. Manifestasi klinis psoriasis vulgaris berupa
lesi plak eritema berbatas tegas dan ditutupi oleh skuama berwarna putih tebal.
Tampak bintik-bintik perdarahan akibat pelebaran kapiler (tanda Auspitz).
Fenomena Koebner atau respon isomorfik lebih sering terjadi selama masa
perkembangan penyakit (Langley dkk., 2005; Gudjonsson dkk., 2012). Klinisi
juga sebaiknya menggali riwayat penyakit pada penderita termasuk riwayat
16
keluarga, faktor modifikasi/lingkungan, dan kemungkinan penyakit penyerta
lainnya (Kuchekar dkk., 2011; Gudjonsson dkk., 2012).
Salah satu teknik yang digunakan untuk mengukur derajat keparahan
psoriasis yaitu dengan menggunakan skor Psoriasis Area and Severity Index
(PASI) (Bonifati dan Berardesca, 2007; Kenneth, 2005). Skor PASI merupakan
gold standar pengukuran yang digunakan untuk mengetahui derajat keparahan
dan luas lesi psoriasis. Pada uji klinis, perubahan skor PASI digunakan untuk
menilai kemajuan terapi. Klinisi berpendapat bahwa keberhasilan pengobatan
psoriasis ditunjukkan dengan adanya perbaikan skor PASI hingga lebih atau sama
75%, walaupun perbaikan skor PASI <75% masih menunjukkan adanya perbaikan
klinis psoriasis (Feldman dkk., 2005).
2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan psoriasis didasarkan pada luas area tubuh yang terkena.
Bila area tubuh yang terkena kurang dari 10 persen pilihan pengobatannya adalah
pengobatan topikal dan dapat dikombinasi dengan fototerapi. Apabila area tubuh
yang terkena lebih dari 10 persen yang termasuk kategori sedang adalah
kombinasi antara terapi topikal, fototerapi dan pusat perawatan harian. Sedangkan
untuk kategori berat dengan keterlibatan lebih dari 30 persen area permukaan
tubuh diperlukan pengobatan sistemik, dikombinasi dengan pusat perawatan
harian, fototerapi dan terapi topikal (Chaudhari dkk., 2008; Prodanovic dan
Korman, 2008). Beberapa peneliti juga mempergunakan skor PASI untuk
menentukan tingkat keparahan psoriasis sehingga dapat ditentukan pilihan terapi
dan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi (Gudjonsson, 2012).
17
Dalam
memilih
regimen
pengobatan
sangatlah
penting
untuk
mendiskusikan mengenai berat tidaknya penyakit serta tanggapan pasien terhadap
penyakitnya sendiri. Pada beberapa studi 40 persen penderita psoriasis merasa
frustasi karena kegagalan dalam terapi dan 32 persen dilaporkan sudah tidak
terlalu antusias dengan pengobatan. Oleh karena psoriasis adalah penyakit yang
kronis maka sangat penting untuk memahami aman tidaknya suatu terapi jika
digunakan jangka panjang. Pada kebanyakan terapi, durasi pengobatan dibatasi
oleh karena adanya potensi akumulasi toksisitas serta adanya penurunan
efektivitas pengobatan seiring waktu (takifilaksis) (Lebwohl dan Ali, 2001;
Kurian dan Barankin, 2011).
Pengobatan anti psoriasis berspektrum luas baik secara topikal maupun
sistemik telah tersedia. Sebagian besar obat-obatan ini memberikan efek
imunomodulator(Gudjonsson dan Elder, 2012).
2.1.8.1 Pengobatan topikal
Pilihan pengobatan topikal antara lain kortikosteroid, vitamin D 3 dan
analognya, antralin, coal tar, tazaroten, inhibitor kalsineurin topikal, dan emolien
(Reichrath dan Nurnberg, 2009). Kortikosteroid topikal sering sebagai terapi lini
pertama pada psoriasis ringan dan sedang. Perbaikan biasanya dicapai dalam
waktu 2-4 minggu, dengan terapi pemeliharaan yaitu dengan pemakaiannya yang
intermiten (biasanya terbatas pada akhir minggu). Terjadinya takifilaksis pada
pengobatan dengan kortikosteroid topikal adalah kejadian
yang biasa.
Penggunaan topikal kortikosteroid jangka panjang bisa menyebabkan atrofi kulit,
telangiektasi, striae dan supresi adrenal (Van de Kerkhof, 2003). Kortikosteroid
18
topikal menjadi terapi andalan untuk psoriasis di Amerika Serikat maupun di
banyak negara meskipun telah banyak diperkenalkan agen non steroid yang sama
efektifnya dengan kortikosteroid salah satunya adalah vitamin D topikal (Shaaban
dan El-Samad, 2011).
Vitamin D bekerja dengan berikatan dengan reseptor vitamin D 3 , yang
merupakan anggota lain dari superfamili reseptor hormon inti, Vitamin D 3 bekerja
dengan
meregulasi pertumbuhan sel, diferensiasi dan fungsi imun, dan juga
metabolisme kalsium dan fosfor. Vitamin D digunakan untuk menghambat
proliferasi dari keratinosit pada kultur dan untuk mengatur proses diferensiasi
epidermal. Selain itu, vitamin D menghambat produksi berbagai sitokin
proinflamasi melalui klon sel T psoriasis termasuk IL-2 dan IFN-γ ( Menter, 2009;
Gudjonsson dkk., 2012).
Analog dari vitamin D yang telah digunakan sebagai terapi penyakit kulit
adalah kalsipotrien (kalsipotriol), takalsitol dan maxakalsitol. Pada studi jangka
pendek, ditemukan bahwa kortikosteroid topikal yang poten lebih superior
daripada kalsipotrien. Jika dibandingkan dengan
penggunaan antralin dalam
jangka waktu yang singkat atau coal tar 15%, ternyata kalsipotrien lebih efektif.
Efikasi dari kalsipotrien tidak berkurang meskipun digunakan sebagai terapi
jangka panjang. Kalsipotrien digunakan dua kali sehari dan lebih efektif daripada
penggunaan sekali sehari. Adanya hiperkalsemia merupakan satu-satunya hal
utama yang perlu diperhatikan dalam persiapan penggunaan vitamin D topikal.
Jika jumlah yang digunakan tidak melampaui jumlah yang direkomendasikan
19
yaitu 100 g/minggu, pemakaian kalsipotrien relatif aman (Menter, 2009;
Gudjonsson dkk., 2012).
Dithranol ( 1,8- dihidroksi-9-antron) diakui sebagai terapi terapi psoriasis
plak kronis. Sering digunakan sebagai terapi pada psoriasis. Bisa dikombinasikan
dengan fototerapi UVB dengan hasil yang baik (rejimen Ingram). Efek samping
yang paling sering adalah dermatitis kontak iritan dan dapat mewarnai baju, kulit,
rambut dan kuku. Antralin memiliki aktivitas anti proliperatif pada keratinosit
manusia serta efek anti inflamasi yang poten. (Menter, 2009 ; Gudjonsson dkk.,
2012).
Goeckerman memperkenalkan penggunaan coal tar mentah dan sinar UV
sebagai terapi psoriasis pada tahun 1925. Tar bekerja dengan menekan sintesis
DNA dan menurunkan aktivitas mitotik pada lapisan basal epidermis, dan
beberapa komponen dari tar memiliki akivitas anti inflamasi. Tar sering
dikombinasikan dengan asam salisilat (2%-5%), yang mana memiliki efek
keratolitik dan memudahkan penyerapan dari coal tar (Menter, 2009 ; Gudjonsson
dkk., 2012).
Tazaroten adalah generasi ketiga retinoid, diduga cara kerjanya dengan
membentuk reseptor asam retinoid, akan tetapi target molekularnya belum
diketahui.
Sering terjadi iritasi lokal jika digunakan sebagai monoterapi dan
ditambahkan ditengah-tengah penggunaan fototerapi (Menter, 2009 ; Gudjonsson
dkk., 2012).
Takrolimus dapat memblok baik sinyal transduksi dari limfosit T maupun
transkripsi Il-2 serta membentuk kesatuan dan menghambat kalsineurin.
20
Pimekrolimus adalah inhibitor kalsineurin dan bekerja dengan cara yang sama
dengan takrolimus dan CsA. Agen ini sebagai terapi psoriasis pada wajah dan
psoriasis inversa, memberikan terapi yang efektif (Martin, 2009 ; Gudjonsson
dkk., 2012).
Asam salisilat sebagai agen topikal keratolitik, mekanisme kerjanya juga
mengurangi adesi keratinosit dan menurunkan pH dari stratum korneum. Asam
salisilat sering dikombinasikan dengan terapi topikal yang lain seperti
kortikosteroid dan coal tar (Menter, 2009 ; Gudjonsson dkk., 2012).
Perawatan kulit dengan emolien seharusnya dilakukan selama masa
pengobatan untuk mencegah kulit kering. Emolien dapat mengurangi skuama,
mengurangi nyeri lecet dan membantu mengontrol rasa gatal. Penambahan urea
(sampai 10 %) berguna untuk meningkatkan hidrasi dari kulit dan melepaskan
skuama pada lesi awal. Penggunan emolien lunak di atas lapisan terapi topikal
yang tipis dapat meningkatkan hidrasi dan
mengurangi
biaya pengobatan
(Menter, 2009 ; Gudjonsson dkk., 2012).
2.1.8.2 Fototerapi
Fototerapi dengan UVB dan fotokemoterapi dengan menggunakan
psoralen
topikal
atau
sistemik dikombinasikan
dengan
UVA biasanya
diindikasikan untuk kasus psoriasis. UVB 311nm memberikan hasil yang lebih
baik bila dibandingkan dengan UVB konvensional dengan efek eritema yang lebih
sedikit, tetapi relatif lebih mahal (Azfar dan Voorhees, 2008).
Dosis terapi UVB antara 50-75 % dari minimal eritema dose, diberikan
dua atau lima kali setiap minggu. Terapi diberikan sampai remisi total tercapai
21
atau sampai tidak ada perbaikan yang akan didapat jika terapi dilanjutkan.
Narrowband (312 nm) UVB (NB-UVB) fototerapi lebih efektif dibandingkan
dengan
broadband
konvensional
UVB
(290-320
nm)
dengan
melihat
keberhasilannya baik dalam membersihkan maupun dalam hal waktu remisi.
Pancaran supraeritematogenik
yang dimiliki oleh UVB dan PUVA diketahui
menghasilkan klirens psoriasis yang lebih cepat, namun ada faktor lain seperti
intoleransi dari kulit normal disekitar lesi karena lesi psoriasis sering dapat lebih
tahan terhadap paparan UV yang lebih tinggi. Laser eksimer monokromatik 308
nm bisa menghantarkan dosis supraeritematogenik seperti yang dimiliki oleh
UVB dan PUVA ( sampai dengan 6 MED, biasanya dalam jarak 2-6 MED)
secara terfokus pada lesi kulit. Dosis ditentukan berdasarkan kondisi kulit pasien
dan ketebalan dari plak dengan dosis berikutnya berdasarkan respon dari terapi
atau perkembangan dari efek samping (Honigsmann, 2001; Gudjonsson dkk.,
2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Osmancevic di Swedia didapatkan
perbaikan pada semua pasien psoriasis dengan penurunan skor PASI serta
peningkatan kadar 25(OH)D setelah dilakukan fototerapi, tidak terdapat korelasi
antara dosis UVD dengan peningkatan 25(OH)D (Osmancevic, 2012).
2.1.8.3 Agen oral sistemik
Pilihan pengobatan sistemik antara lain adalah metotreksat yang
merupakan obat yang sangat efektif untuk pengobatan psoriasis. Obat ini
diperkirakan bekerja secara langsung menghambat hiperproliferasi epidermal
dengan jalan menghambat dihidrofolat reduktase. Metotreksat memiliki efek
22
samping terhadap sistem hemopoetik dan merusak hati (Shah dan Weinberg,
2008; Robinson dan Korman, 2008; Afifi dkk., 2005). Jika terjadi hepatotoksik,
supresi hematopoetik, infeksi aktif, mual dan pneumonitis, maka pengobatan
dengan MTX harus dihentikan. Metotreksat bersifat teratogenik dan sebaiknya
tidak diberikan pada wanita hamil (Strober, 2006; Gudjonsson dkk., 2012).
Retinoid yang merupakan derivat vitamin A memberikan hasil yang baik
pada pasien psoriasis pustular dan psoriasis gutata, efek sampingnya berupa
kekeringan pada mukokutan, hipertrikosis, pruritus dan paronikia (Afifi dkk,
2005). Siklosporin merupakan alternatif terapi yang merupakan inhibitor spesifik
dari sel T, efek samping yang dapat terjadi adalah hipertensi dan gagal ginjal.
Obat sistemik yang lain seperti kortikosteroid tetapi jarang dipergunakan
mengingat efek remisi yang cepat dari psoriasis (Robinson dan Korman, 2008).
Azathioprin, asam fumarat, sulphasalasin, hidroksiurea dan FK506 adalah
pengobatan sistemik lainnya yang belum terdaftar sebagai pengobatan psoriasis,
namun akan dapat membantu jika obat lain tidak memberikan efek atau adanya
kontraindikasi pengobatan (Azfar dan Voorhees, 2008; Afifi dkk, 2005).
Pemberian vitamin D oral pernah dicobakan pada penelitian yang
dilakukan oleh Finamor dkk. pada pasien psoriasis di Brazil tahun 2013.
Penelitian ini memberikan vitamin D oral dengan dosis 35.000 IU perhari selama
6 bulan. Skor PASI secara signifikan mengalami perbaikan pada semua passion
psoriasis yang ikut dalam penelitian ini tanpa adanya efek samping (Finamor dkk.,
2013).
23
2.1.8.4 Terapi kombinasi
Terapi kombinasi diberikan untuk mendapatkan meningkatkan efikasi dan
mengurangi efek samping pengobatan sehingga menghasilkan perbaikan yang
lebih besar dengan dosis yang sama dengan pengobatan tunggal. Data mengenai
kombinasi terapi biologi dengan sistemik yang lain atau agen topikal masih
belum banyak tersedia, tapi beberapa kombinasi biasanya digunakan sebagai
terapi artritis inflamasi, seperti kombinasi MTX dan agen anti-TNF yang juga
bermanfaat sebagai terapi penyakit psoriasis yang rekalsitran (Gudjonsson dkk.,
2012).
2.2 Vitamin D
Vitamin D adalah nutrisi larut lemak dimana manusia memperoleh dari
makanan dan juga sintesis di kulit dari paparan matahari (Glowacki dan Leboff,
2010). Peran utama vitamin D yang diakui adalah dalam pembentukan tulang,
namun dengan semakin banyaknya penelitian yang berbasis bukti maka fungsi
vitamin D semakin diakui berfungsi pada berbagai jaringan dalam tubuh termasuk
otak, jantung, otot, sistem kekebalan tubuh dan kulit. Defisiensi vitamin D
dicurigai berperan dalam berbagai penyakit dengan perjalanan yang panjang
seperti
kanker,
penyakit
autoimun,
jantung
dan
gangguan
neurologis.
Keterlibatannya dalam patogenesis penyakit kulit telah menjadi subyek dalam
banyak penelitian selama beberapa tahun terakhir (Mostafa dan Hegazy, 2014).
24
2.2.1 Sejarah vitamin D
William Fletcher pada tahun 1905 menjadi ilmuwan pertama yang
menetapkan bahwa penyakit yang terjadi akibat faktor-faktor khusus (vitamin)
dihilangkan dari makanan. Dia meneliti penyebab penyakit beri-beri saat
menemukan perbedaan antara orang yang makan nasi yang masih terbungkus
sekam dengan yang telah dihilangkan sekamnya. Dia percaya bahwa ada nutrisi
khusus yang terkandung dalam sekam padi. Pada saat yang sama ahli biokimia
Frederick Gowland Hopkins menemukan bahwa faktor-faktor spesifik dalam
makanan penting untuk kesehatan. Ilmuwan asal Polandia Cashmir Funk
menamakan nutrisi khusus pada makanan sebagai “vitamine” yang berasal dari
kata vita yang artinya kehidupan dan amine yang berasal dari kata thiamin,
merupakan senyawa yang terisolasi dalam sekam padi (Osmancevic, 2009).
Daniel Whistler mendeskripsikan gambaran klinis ricketsia untuk pertama
kalinya di Universitas Lugdunum Batovarum pada tahun 1645. Asal-usul penyakit
ini sebagian besar tidak diketahui sampai ditemukan vitamin D sebagai senyawa
gizi oleh Mellanby di awal abad ke-20 (Bouillon dkk., 2008; Wacker dan Holick,
2013). Ricketsia secara bertahap mengalami perbaikan setelah mendapat paparan
sinar matahari atau setelah minum minyak hati ikan yang kaya vitamin D
(Atapattu, 2013). Pengetahuan tentang vitamin D semakin berkembang setelah
ditemukannya metabolism kompleks vitamin D, sebanyak lebih dari 41 metabolit
terutama 25-hydroxyvitamin D (25-OHD) dan 1,2 dihydroxyvitamin D [1,25(OH) 2 D] dan regulasi kompleks produksi ginjal dari produk aktif [1,25-(OH) 2 D]
sebagai hormon steroid (Bouillon dkk., 2008). Vitamin D
diklasifikasikan
25
sebagai vitamin pada awal abad ke-20 dan pada pertengahan abad ke-20 sebagai
prohormon. Kemampuan untuk menghasilkan jumlah yang cukup vitamin D3
dengan paparan cahaya matahari yang cukup menunjukkan bahwa vitamin D
sebenarnya tidak vitamin. Sekarang diketahui bahwa vitamin D dimetabolisme
menjadi hormon steroid 1,25-dihydroxyvitamin D 3 [(1,25(OH) 2 D 3 ] atau calcitriol.
Sebelumnya telah dilakukan pengamatan bahwa metabolit vitamin D berinteraksi
dengan protein dalam ekstra intestinal yang menyebabkan identifikasi dari
Vitamin D receptor (VDR). Vitamin D receptor mengaktivasi faktor transkripsi
yang berinteraksi dengan coregulators dan kompleks preinisiasi transkripsional
untuk mengubah tingkat target transkripsi gen. Kehadiran VDR pada jaringan
yang tidak berpartisipasi pada hemostasis ion mineral menyebabkan penemuan
dari sejumlah fungsi lain pada hormon vitamin D. Kemampuan 1,25(OH) 2 D 3
untuk menghambat pertumbuhan dan merangsang diferensiasi berbagai jenis sel
menunjukkan fungsi beragam vitamin D untuk mencegah kanker, modulasi sistem
imun dan mengendalikan berbagai sistem endokrin (Dusso dkk.,2005).
2.2.2 Nomenklatur
Ada dua bentuk vitamin D yang tersedia yaitu vitamin D 2 (ergokalsiferol)
dan vitamin D 3 (kolekalsiferol) (Glowacki dan Leboff, 2010). Vitamin D 3
diproduksi pada kulit sebagai hasil iradiasi ultraviolet dari 7-dehydrocholesterol
(7-DHC) sedangkan vitamin D 2 dihasilkan dari iradiasi ultraviolet tumbuhan yang
mengandung sterol ergosterol seperti jamur dan ragi (Osmancevic, 2009). Selain
perbedaan pada metabolismenya, terdapat perbedaan kimia antara vitamin D2 dan
D3 pada rantai samping. Berbeda dengan vitamin D3, vitamin D2 memiliki ikatan
26
ganda antara karbon 22 dan 23 dan gugus metal pada karbon 24, namun secara
umum, aktivitas biologisnya hampir sama (Chung dkk., 2009; Osmancevic, 2009).
Gambar 2.3 Struktur vitamin D3 dan D2 prekursor
masing masing 7-dehydrocholesterol dan ergosterol
(Osmancevic, 2009)
2.2.3 Metabolisme vitamin D
Pernyataan bahwa vitamin D 3 hanya merupakan prekursor untuk bentuk
fungsional aktif, 1α,25-dihydroxyvitamin D 3 , dapat dikatakan salah satu
perkembangan yang paling penting dalam penelitian vitamin dalam pertengahan
abad ke-20. Penemuan dua langkah aktivasi yang terlibat dalam metabolisme
vitamin D 3 menjadi hormon 1,25-(OH) 2 D 3 dapat menjelaskan tentang peran
vitamin D dalam peristiwa fisiologis yang terlibat dalam kalsium dan fosfat
homeostasis (Burger, 2010; Tanghetti, 2009).
Diperkirakan bahwa antara 90% sampai 95% dari semua orang
memperoleh kebutuhan vitamin D dari paparan sinar matahari (Holick, 1994).
Kemungkinan lain, vitamin D, baik dalam bentuk vitamin D2 atau D3, dapat
27
diperoleh dari sumber makanan. Terdapat sedikit vitamin D yang secara alami ada
pada makanan. Sumber makanan alami yaitu lemak ikan, hati sapi dan kuning
telur, namun banyak makanan yang kini telah difortifikasi dengan vitamin D
(Dusso dkk.,2005; Chung dkk.,2009). Kedua vitamin ini menjalani proses aktivasi
yang sama, yang melibatkan 25-hydroxylation pertama kali di hati, diikuti 1αhydroxylation pada ginjal, untuk membuat senyawa biologis aktif masing-masing
1,25-(OH) 2 D 3 dan 1,25-(OH) 2 D 2 . Ada sedikit bukti bahwa kedua bentuk aktif
berbeda dalam tempat dan mekanisme kerjanya, tetapi kebanyakan yang diketahui
adalah sintesis dan kerja dari 1,25-(OH) 2 D 3 maka lebih banyak sumber yang
membahas tentang senyawa D 3 ini (Miller dan Gallo, 2010; Samuel dan Sitrin,
2008).
Produksi vitamin D yang terjadi di kulit dibawah pengaruh sinar UVB
merupakan reaksi fotokimia murni tanpa ada enzim yang terlibat. Reaksi ini
tergantung pada waktu dalam hari, musim, lokasi, warna kulit dan usia. Reaksi ini
memerlukan konsentrasi yang cukup besar 7-dehydrocholesterol (7DHC) dan
UV-B 290-315 nm. 7-dehydrocholesterol merupakan hasil akhir sintesis de novo
kolesterol normal dan biasanya ada dalam konsentrasi rendah (Bouillon dkk.,
2008; Romagnoli dkk.,2013).
Paparan sinar matahari ke kulit menginduksi konversi photolitik 7dehydrocholesterol menjadi previtamin D3 diikuti isomerisasi termal menjadi
vitamin D3 (Dusso dkk., 2005; Chung dkk., 2009). Setelah terbentuk, vitamin D3
dikeluarkan dari membran plasma keratinosit dan ditarik ke dalam kapiler dermis
oleh DBP. Vitamin D kemudian dilepaskan ke sistim limfatik dan memasuki
28
darah vena, yang diikat oleh DBP dan lipoprotein kemudian diangkut menuju
hepar (Nezhad dkk.,2013). Langkah pertama pada aktivasi metabolik vitamin D
(D3,D2 dan metabolit lainnya) adalah hidroksilasi karbon 25, yang terjadi primer
pada hepar. Beberapa sitokrom p-450 hepar telah menunjukkan mengandung 25hydroxylasevitamin D. Kadar 25(OH)D meningkat secara proporsional dengan
asupan vitamin D, dan dengan alasan ini kadar plasma 25(OH)D biasanya
digunakan sebagai indikator status vitamin D (Dusso dkk.,2005).
Bioaktivasi vitamin D, pembentukan 1,25-dihydroxyvitamin D [1,25(OH) 2 D] dari 25-hydroxyvitamin D, terjadi dalam kondisi fisiologis, terutama
pada ginjal, namun beberapa kondisi dapat mempengaruhi kadar dalam sirkulasi
seperti kehamilan, gagal ginjal kronis, sarkoidosis, tuberkulosis, granulomatus dan
rheumatoid arthritis. Produksi 1,25 (OH) 2 D ekstrarenal terutama berfungsi
sebagai faktor autokrin atau parakrin dengan fungsi sel spesifik. Regulasi 1αhydroxylase ekstrarenal sangat berbeda dari enzim ginjal, sesuai dengan fungsi
autokrin atau parakrin yang secara lokal memproduksi 1,25(OH) 2 D 3 . Sampai saat
ini, 1α-hydroxylase diketahui terdapat pada beberapa sel dan jaringan yaitu
prostat, panyudara, kolon, paru, sel β pankreas, monosit dan sel paratiroid. Ratarata 1,25(OH) 2 D 3 mengalami sintesis dan degadrasi dibawah kontrol faktor lokal
seperti sitokin dan faktor pertumbuhan yang mengoptimalkan kadar 1,25(OH) 2 D 3
untuk fungsi sel spesifik ini melalui mekanisme yang masih belum sepenuhnya
dipahami (Dusso dkk.,2005).
Kekurangan vitamin D merupakan masalah yang luas. Vitamin D 3
diproduksi di kulit atau dari asupan makanan yang disimpan dalam lemak tubuh
29
akan dilepaskan ke dalam sirkulasi pada kondisi dimana produksi vitamin D 3 pada
kulit tidak memadai. Vitamin D tidak disirkulasi lama didalam darah, tapi akan
segera diambil oleh jaringan adipose untuk disimpan di hati untuk metabolisme
selanjutnya. Pada manusia simpanan vitamin D pada jaringan dapat berbulanbulan bahkan tahun. Pertama kali akan teraktivasi di hati sebelum berfungsi pada
masing-masing target organ (Reichrath dan Nurnberg, 2009).
Pengamatan pada subyek dengan paparan yang konstan dari UVB tinggi
yang tinggal dekat dengan khatulistiwa memiliki rata-rata level serum 25(OH)D
107nmol-1 yang memberikan asumsi bahwa level diatas 100 nmol-1 dapat
dianggap memadai dimana tidak ada gangguan fungsi vitamin D tubuh yang
terjadi (Glowacki dan Leboff, 2010). Hipovitaminosis D lazim terjadi pada orang
tua karena aktivitas diluar ruangan yang terbatas dan penurunan kapasita sintesis
vitamin D pada kulit bila dibandingkan dengan orang dewasa muda. Dalam
sebuah survei epidemiologi di 11 negara Eropa, kekurangan vitamin D ditemukan
pada 36% subyek laki-laki tua dan 47% pada subyek perempuan tua (Reichrath
dan Nurnberg, 2009; Ricketts dan Rothe, 2010).
Anak-anak maupun orang dewasa dengan obesitas kolekalsiferol disimpan
lebih dalam pada lemak tubuh, sehingga bioavailabilitas kurang (Osmancevic,
2009). Kondisi ini menyebabkan orang-orang dengan obesitas hanya mampu
meningkatkan kadar vitamin D dalam darahnya sekitar 50% dari orang yang
bukan obesitas (Wortsman dkk., 2000). Obesitas dikaitkan dengan tingginya
kejadian dan aktivitas psoriasis serta dapat mempengaruhi pendekatan terapi dan
respon klinis untuk pengobatan sistemik (Hercogova dkk, 2010). Orgaz-molina
30
dkk mendapatkan bahwa serum 25-hydroxyvitamin D pada pasien psoriasis secara
signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kontrol dan berbanding terbalik
dengan obesitas. Pasien psoriasis dengan indeks masa tubuh lebih atau sama
dengan 27 mempunyai kecenderungan untuk memiliki insufisiensi vitamin D
(Orgaz-molina dkk., 2012). Kondisi ini juga ditunjukkan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Wilson yaitu terdapat korelasi yang negatif antara kadar vitamin D
dengan IMT (r= -0,4, p< 0,001) (Wilson, 2013).
Vitamin D bekerja dengan berikatan dengan reseptor vitamin D, yang
merupakan anggota protein dari superfamili reseptor hormon inti. Cara kerjanya
dengan mengatur pertumbuhan sel, diferensiasi dan fungsi imun serta untuk
metabolisme kalsium dan fosfor. Vitamin D telah terbukti berperan menghambat
proliferasi keratinosit pada kultur dan mengatur proses diferensiasi epidermis.
Selain itu vitamin D juga menghambat produksi dari berbagai sitokin pro
inflamasi termasuk IL-2 dan IFN-‫( ץ‬Reichrath dan Nurnberg, 2009; Ricketts dan
Rothe, 2010; Shaaban dan El-Samad, 2011).
2.2.4 Fungsi vitamin D pada kulit
Selain signifikansinya dalam homeostasis kalsium dan metabolisme tulang,
bentuk aktif vitamin D, 1,25-dihydroxyvitamin D 3 [1,25 (OH) 2 D 3 ; calcitriol]
menunjukkan efek melalui VDR di lebih dari 30 jaringan yang berbeda. Salah
satu target jaringan untuk 1,25 (OH) 2 D 3 adalah kulit. Dimana keratinosit
memiliki VDR (Shaaban dan El-Samad, 2011).
Kulit adalah organ yang unik dalam sintesis vitamin D karena dapat
mensintesis vitamin D setelah radiasi UV dan mampu mengaktivasi metabolisme
31
vitamin D menjadi 25-OHD dan 1,25 (OH) 2 D. Metabolisme ini dapat
mengekspresikan VDR dan merespon aktivasi VDR untuk induksi atau regresi
multipel gen. Vitamin D receptor merupakan anggota superfamili nuklear. Pada
mamalia VDR terdapat pada jaringan metabolik seperti usus, ginjal, kulit dan
kelenjar tiroid. Vitamin D receptor aktif mengikat vitamin D respon elements
(VDREs) yang terletak di daerah promoter gen target, sehingga mengendalikan
transkripsi gen.
Kulit merupakan satu-satunya jaringan yang mampu mensintesis dan
mengaktivasi vitamin D serta aktivasi autokrin atau parakrin oleh hormon vitamin
D. Seperti kalsium, 1,25-(OH) 2 D merangsang diferensiasi keratinosit epidermis.
Analisis in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa dua jalur ini bertindak secara
sinergis (Bouillon dkk., 2008; Wu dan Sun,2011). Studi pada kultur keratinosit
menunjukkan bahwa peningkatan kalsium dan terapi dengan 1,25-(OH) 2 D
menurunkan proliferasi keratinosit dan merangsang diferensiasi keratinosit.
Beberapa penelitian melalui percobaan in vitro menyebutkan bahwa 1,25(OH) 2 D 3 menginduksi diferensiasi keratinosit, dimana hal ini pertama kali
dilaporkan oleh Hosomi dkk. Namun seberapa penting efek diferensiasinya secara
in vivo masih sulit untuk dinilai (Samuel dan Sitrin, 2008). Analisis in vivo pada
tikus tanpa VDR signifikan menunjukkan kelainan pada diferensiasi keratinosit
epidermis setelah 2 minggu kehidupan. Namun pencegahan hipokalsemia pada
tikus tanpa VDR mencegah fenotip ini, menunjukkan bahwa normalisasi kalsium
dapat mengkompensasi adanya VDR. Selain pada keratinosit epidermis, VDR
32
juga terdapat pada outer root sheath, folikel rambut, serta kelenjar sebaceous
(Bouillon dkk., 2008; Wu dan Sun,2011).
Kultur keratinosit manusia yang dipaparkan kalsitriol menunjukkan
inhibisi dari pertumbuhan dan pematangan yang dipercepat. Efek pada proliferasi
sel dan diferensiasi melalui VDR ini yang dijadikan konsep penggunaan 1,25
(OH) 2 D 3 untuk psoriasis. Kalsitriol dan analognya bekerja sebagai antiproliferasi
dan prodiferensiasi sebagaimana aktivitas imunoregulator. Ligan VDR secara
langsung mempengaruhi aktivasi sel-T dan memodulasi fenotif dan fungsi dari
antigen presenting cells dan sel dendritik. Analog vitamin D termasuk
kalsipotrien, 1,24-dihydroxyvitamin D3 dan 1,25 (OH) 2 D 3 dianggap sebagai basis
pertama pengobatan untuk psoriasis. Mereka menunjukkan khasiat yang sama
seperti kortikosteroid topikal poten dan ditoleransi dengan baik bahkan untuk
penggunaan jangka panjang (Glowacki dan Leboff, 2010; Reichrath dan
Nurnberg, 2009).
2.2.5 Mekanisme immunomodulasi vitamin D
Sel dendritik adalah target utama untuk aktivitas imunomodulator dari
1,25(OH)2D3 dengan cara menghambat diferensiasi dan pematangan sel
dendritik, yang mengarah pada penurunan regulasi ekspresi MHC-II, stimulasi
molekul (CD40, CD80, dan CD86) dan penurunan produksi IL-12. 1,25(OH)2D3
mensupresi Th1 dan TH17, merangsang sitokin, menginduksi sel Treg,
menginduksi IL-4 memproduksi Th2 dan meningkatkan fungsi NKT. Diferensiasi
dan maturasi sel B juga terhambat. Th sebagai CD4+ helper cell subsets (th1, Th2,
Th3-Treg, Th17) yang berasal dari sel T naïf (Th0). Pada gambar dibawah garis
33
tipis(kiri) mengindikasikan sitokin yang menginduksi diferensiasi sel T0 dan
panah tebal (kanan) menunjukkan sitokin yang dihasilkan oleh Th cell subset.
Semua sel T yang telah diuji mengekspresikan VDR. Sel B dan sel NKT juga
dilaporkan. Lingkaran kuning menunjukkan sitokin/penghambatan aktivitas oleh
vitamin D. sebaliknya lingkaran hijau menunjukkan sitokin ditingkatkan oleh
vitamin D. Selain itu 1,25(OH)2D3 meningkatkan produksi IL-10 dan memicu
apoptosis sel dendritik. Sintesis aktif 1,25(OH)2D3 tampak merangsang
autoregulasi dengan menghambat diferensiasi prekursor monosit menjadi sel
dendritik imatur dan kemampuan berikutnya dari sel dendritik imatur mengalami
diferensiasi terminal dalam menanggapi rangsangan maturasi (Boudal dan Attar,
2012).
Gambar 2.4 Mekanisme yang terlibat dalam modulasi respon imun
oleh vitamin D (Boudal dan Attar, 2012)
34
2.2.6 Vitamin D dan psoriasis
Vitamin D memegang peranan penting sebagai regulator sistem imun pada
limfosit T CD4+ serta pada produksi dan kerja beberapa sitokin. Terdapat
beberapa bukti yang meyakinkan fungsi vitamin D dalam pembentukan dan atau
pemeliharaan imunologi self tolerance, sehingga semakin banyak studi yang
mempelajari hubungan antara vitamin D dengan psoriasis plak kronis (Gisondi
dkk., 2012). Mekanisme pasti defisiensi vitamin D berkontribusi pada patogenesis
psoriasis yang kompleks belum sepenuhnya dipahami. Beberapa jalur telah
dikemukakan termasuk hilangnya fungsi anti-proliferasi vitamin D, seperti yang
telah dikemukakan bahwa kultur keratinosit manusia yang dipaparkan kalsitriol
menunjukkan penghambatan pertumbuhan dan kecepatan maturasi (Holick,
2003).
Inflamasi dan angiogenesis juga sebagai pilar dalam patogenesis psoriasis,
hilangnya aktivitas anti inflamasi dan antiangigenik vitamin D bisa mewakili
penjelasan lain untuk kontribusi kekurangan vitamin D pada psoriasis (Botti dkk.,
2012; Picotto dkk., 2012). 1,25-dihydroxyvitamin D3 diketahui dapat menekan
proliferasi sel Th1 dan Th17, serta menginduksi Treg, hal ini merupakan jalur
alternatif yaitu defisiensi vitamin D dapat terjadi pada kondisi psoriasis dengan
proliferasi sel Th1 dan Th17 pada satu sisi dan penghambatan sel Treg pada sisi
lainnya (Sugiyama dkk., 2005).
Vitamin D3 melalui vitamin D receptor (VDR) mengatur pertumbuhan
dan diferensiasi keratinosit. Juga memiliki pengaruh terhadap fungsi imun dari sel
dendritik dan limfosit T sehingga kadar vitamin D yang rendah juga mungkin
35
memiliki implikasi penting dalam patogenesis psoriasis (Swchwalfenberg GK,
2011). Banyak studi terbaru juga menunjukkan adanya defisiensi vitamin D pada
pasien psoriasis, dan bukti-bukti semakin berkembang (Orgaz-molina, et all,
2012). Selain itu, turunan vitamin D topikal memiliki efek imunomodulator pada
monosit, makrofag, sel T dan sel dendritik, dan sedang banyak dipergunakan
sebagai monoterapi atau kombinasi dengan steroid untuk pengobatan psoriasis
secara topikal (Menter A et all, 2009). Selain itu, telah diusulkan bahwa radiasi
sinar narrowband ultraviolet (UV) B dapat memberikan efek menguntungkan
pada psoriasis dengan meningkatkan kadar vitamin D endogen sebagai fototerapi
telah terbukti meningkatkan kadar serum vitamin D pada pasien dengan psoriasis
(Ryan dkk., 2010).
Gambar 2.5 Jalur kerja vitamin D pada keratinosit
(Lehman, 2007)
36
Gambar 2.6 Efek Immunomodulator Vitamin D pada sel imun
(Yang dkk., 2013)
Gambar 2.7 Skema metabolisme dan mekanisme kerja vitamin D pada
psoriasis (Osmancevic, 2012)
Download