Pengetahuan Lokal Suku Moronene Dalam Sistem

advertisement
11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengetahuan Lokal
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) dijelaskan bahwa
pengetahuan berasal dari kata tahu yang berarti mengerti sesudah melihat atau
menyaksikan atau mengalami. Jadi pengetahuan adalah segala sesuatu yang
diketahui berkenan dengan sesuatu ha1 dan merupakan kumpulan pengalaman
dalam kurun waktu yang lama.
Konsep pengetahuan lokal menurut Mitchell et a1 ., (2000) berakar dari
sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Pengetahuan lokal
adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan
suatu kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu
yang lama (Babcock 1999). Sedangkan menurut Zakaria (1994), pada dasarnya
pengetahuan lokal (local knowledge) atau kearifan tradisional dapat didefinisikan
sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu
yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenan dengan modelmodel pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari. Kearifan
tersebut berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan
tentang hal-ha1 yang berkaitan dengan struktur lingkungan, fungsi lingkungan,
reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia, dan hubungan-hubungan yang
sebaiknya tercipta antara manusia (masyarakat) dan lingkungan alamnya. Kearifan
dalam banyak kasus sangat erat kaitannya dengan agama misalnya Agama Katolik
banyak mengilharni kearifan budaya masyarakat Timor-Timur (Baramuli, 1996),
Agama Islam pada masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan (Syahrir, 1996).
10
Kearifan lokal itu merupakan hasil pengamatan dan pengalaman
masyarakat di dalam proses interaksi yang terus menerus dengan lingkungan yang
ada di sekitarnya. Oleh karena kearifan lingkungan itu merupakan pengetahuan
yang ada di dalam suatu kebudayaan tertentu, maka corak suatu kearifan
tradisional itu dicirikan oleh corak kebudayaan dimana kearifan lingkungan
(ecological wisdom) menjadi bagian darinya. Sehingga citra lingkungan dapat
saja didasarkan pada ilmu pengetahuan yang bercorak rasionalistik dan
intelektualistik maupun pada sistem religi yang bercorak kosmis magis (Zakaria,
1994). Pengetahuan lokal masyarakat pada dasarnya adalah hasil dari berbagai
proses coba-coba yang dilakukan secara turun-temurun dan apa yang terbukti
berhasil, itu yang dikembangkan untuk mendukung lestarinya kehidupan.
Lestarinya kehidupan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan terjadi karena mereka telah menerapkan sistem pengelolaan yang
memperhatikan aspek konservasi baik didasari ataupun tidak. Salah satu
pengelolaan sumberdaya alam bagi masyarakat lokal adalah sistem konservasi
pertanian (Manik, 2000)
Dalam banyak masyarakat, pengetahuan lokal sebagai bentuk kearifan
bukan satu komoditas (seperti disiplin ilmu tertentu di universitas), tetapi
merupakan bagian integral indentitas sosiokultural kelompok masyarakat yang
mempunyai kaitan erat sekali dengan identitas etnis (Babcock, 1999). Dijelaskan
pula bahwa di Indonesia terdapat banyak kasus penggunaan kearifan masyarakat
dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan, seperti sistem produksi ikan air
tawar di kolam-kolam di Jawa Barat, atau cara masyarakat Bugis di sepanjang
11
pantai timur Sumatera yang mengolah daerah pasang surut yang ditanami padi dan
kelapa jika hasil padi mulai menurun.
Penerapan kearifan masyarakat, ada beberapa ha1 yang perlu ditegaskan,
yaitu pertama, bahwa kearifan masyarakat tidak perlu dibatasi hanya pada
masyarakat tradisional, pinggiran, terasing, miskin dan sebagainya. Kearifan
tersebut terdapat dimana-mana. Kedua, kita tidak perlu mempertentangkan antara
ilmu yang serba logis, rasional dan terstruktur, dengan kearifan atau pengetahuan
mereka yang tidak logis, tidak rasional dan sebagainya, karena pada dasarnya,
setiap manusia mempunyai kapasitas yang sama untuk bertindak rasional dan
logis berdasarkan fakta, asumsi-asumsi, peluang, hambatan dan nilai-nilai yang
mereka pegang (Babcock, 1999).
Pengetahuan
lokal
dalam
pengelolaan
lingkungan dan
pertanian
merupakan koreksi psikologis terhadap dampak negatif dari revolusi hijau yang
ditandai dengan perkembangan teknologi pertanian. Akibanya dari penerapan
teknologi tersebut adalah, ternyata signifikan dalam penurunan daya dukung
lingkungan bagi kehidupan di muka bumi (Haryadi, 1999). Untuk menanggulangi
ha1 tersebut, diperlukan kajian mengenai kearifan tradisional masyarakat yang
secara turun temurun terbukti dapat menyelamatkan lingkungan dan kehidupan
masyarakat itu sendiri. Seperti pengetahuan lokal sistem produksi sapi di Malang
Selatan telah memperkaya khasanah teknologi produksi ternak sapi dalam
pemanfaatan kawasan pertanian konservasi (Subagiyo et. al., 1999). Bahkan
dengan mengabaikan pengetahuan lokal ini, Pemerintah Kanada pada bulan juli
1992 mengumumkan penutupan tempat penangkapan ikan cod selama dua tahun
karena berkurangnya stok ikan sehingga mengakibatkan banyak nelayan
12
kehilangan lapangan kerja. Hal ini terjadi menurut Mitchell, et. al., (2000) karena
pemerintah mengabaikan peringatan pengetahuan nelayan setempat tentang
habitat dan migrasi ikan serta waktu penangkapan yang tepat.
Namun kearifan masyarakat ini mulai cenderung hilang seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan masyarakat, yang disinyalir oleh
(1999)
Babcock
bahwa hilangnya tersebut diakibatkan secara dominan oleh adanya
paradigma sains. Pendekatan ini sangat erat kaitannya dengan paradigma
pembangunan yang menganggap bahwa segala yang bersifat kecil, sederhana,
alami, pedesaan harus dirubah menjadi besar, kompleks, buatan manusia, dan
kekotaan. Demikian pula dengan sistem pendidikan dan kebijakan pemerintah
yang cenderung mengabaikan hak-hak adat masyarakat. Oleh karena itu
inventarisasi pengetahuan lokal merupakan agenda utama dalam pengelolaan
sumberdaya alam dan lingkungan seiring dengan kompleksnya persoalan
pembangunan dalam berbagai dimensi kehidupan sosial ekonomi, budaya dan
bahkan politik.
Untuk menerapkan pengetahuan lokal secara baik, maka perlu diadakan
pendekatan dan kerjasama dengan berbagai pihak. Mitchell, at. al., (2000)
menyarankan agar diadakan pendekatan kemitraan dan partisipasi yang lebih
sistemik dalam pengelolaan lingkungan agar kegagalan yang telah dicontohkan
oleh sistem penangkapan ikan cod di Lautan Atlantik oleh Pemerintah Kanada dan
kegagalan pemberantasan hama wereng di Indonesia tidak perlu terjadi karena
model yang dikembangkan ilmuwan seringkali tidak tepat. Sebab selaina ini
ilmuwan seringkali mengabaikan pengetahuan lokal. Dalam banyak situasi, sistem
13
pengetahuan lokal dapat memberikan "kebenaran mendasar" untuk membantu
mengkaj i asumsi dasar atau model bagi para pengelola atau penganalisa.
Apabila pengetahuan lokal dipahami oleh ilmuwan, banyak metode sosial
tradisional dalam mengumpulkan informasi terutama pemakaian survey dengan
kuisioner dan survey sosial mengantarkan apa yang disebut partisipasi lokal.
Tujuan partisipasi lokal adalah untuk membantu memberdayakan masyarakat
lokal,
dan
membimbing
mereka
dalaln
menentukan,
memahami
dan
menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Teknik ini dapat diterapkan bukan
hanya di negara berkembang akan tetapi juga di negara maju. (Mitchell, at. al.,
2000)
2.2. Sistem Pertanian Berkelanjutan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) dijelaskan bahwa sistem
adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga
membentuk suatu totalitas. Sedangkan pertanian adalah suatu kegiatan proses
hayati pada areal (lahan) tertentu dengan memanfaatkan anasir iklim (Reijntjes, et.
al., 1999).
Jadi sistem pertanian merupakan
seperangkat gagasan, elemen-elemen
kebudayaan, keterampilan, teknik, praktek, prasangka dan kebiasaan yang
terintegrasi secara fungsional dalam suatu masyarakat, berkaitan dengan
hubungan mereka dengan tanah dan pertaniannya (Rahardjo, 1999). Reijntjes, et.
al. (1999) mendefinisikan sistem pertanian adalah suatu susunan khusus kegiatan
usaha tani yang dikelola berdasarkan kemampuan fisik, biologis dan sosial
ekonomi serta sesuai dengan tujuan, kemampuan dan sumberdaya petani.
14
Pembahasan mengenai sistem pertanian telah dilakukan D. Whittlesey
dalam Rahardjo, (1 999)
mengemukakan ada sembilan corak sistem pertanian,
yakni : (1) bercocok tanam di ladang ; (2) bercocok tanam tanpa irigasi ; (3)
bercocok tanam menetap dengan irigasi sederhana berdasarkan tanaman pokok
padi; (4) bercocok tanam menetap dengan irigasi sederhana tanpa tanaman padi ;
(5) bercocok tanam lautan tengah ; (6) pertanian buah-buahan ; (7) pertanian
komersial ; (8) pertanian komersial dengan mekanisasi ; dan (9) pertanian
perkebunan mekanisasi. Sedangkan Smith dan Zofp dalam Rahardjo (1999)
mengemukakan bahwa sistem pertanian terdiri atas : (1) cocok tanam tepian
sungai ;(2) sistem bakar ; (3) sistem tajak ; (4) sistem bajak bersahaya ; (5) sistem
bajak yang telah maju ;dan (6) pertanian yang sistem pertanian mekanik.
Sistem pertanian sebagai proses hayati yang terjadi menunjukkan campur
tangan manusia atau hewan terhadap tanaman yang dibudidayakan. Campur
tangan tersebut dapat dilakukan dalam pengelolaan
tanah, pemupukan,
pemberantasan hama dan penyakit, pemupukan, penggunaan bibit unggul dan
pengairan yang tepat. Campur tangan manusia dalam sistem pertanian tradisional,
petani jarang atau tidak pernah mensuplai hara yang berasal dari pupuk kimia.
Ketersediaan hara terpenuhi melalui daur ulang hara dengan pengembalian sisa
tanaman atau ternak kedalam tanah. Artinya bahwa pertanian terutama di daerah
tropis sangat bergantung pada sumberdaya alam, pengetahuan, keterampilan dan
institusi lokal (Budianta, 1996). Sistem pertanian ini berkembang melalui proses
panjang secara coba-coba dimana akhirnya ditemukan keseimbangan antara
masyarakat dan basis sumberdaya. Sistem pengelolaan tradisional memiliki
keunggulan seperti biaya pelaksanaan yang rendah, lebih efektif bagi masyarakat,
hubungan komunikasi terus terjalin karena dikelola oleh lembaga adat atau desa
(Mardiyanto, 1997). Inilah yang kemudian memungkinkan sistem pertanian
tradisional disebut sistem pertanian berkelanjutan sebab seluruh kegiatan
pertanian selalu didasarkan pada proses yang alami dan berusaha menghindari
sesuatu yang mempunyai resiko diluar pengetahuan mereka (Manik, 2000).
Kata "keberlanjutan" sekarang ini digunakan secara meluas dalam lingkup
prorgram pembangunan dan pengelolaan sumberdaya. Menurut Reijntjes, et. al.,
(1999) keberlanjutan dapat diartikan sebagai "menjaga agar suatu upaya terus
berlangsung, kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar tidak merosot".
Dalam konteks pertanian, keberlanjutan pada dasarnya berarti kemampuan untuk
tetap produktif sekaligus tetap mempertahankan basis sumberdaya. Sedangkan
Technical Advisory Committee of the CGIAR dalam Reijntjes, et. al., (1999),
mendefinisikan bahwa "pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya
yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang
berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan
melestarikan sumberdaya alam".
Jika dikaitkan dengan pertanian berkelanjutan, maka pertanian tradisional
yang menggunakan hasil adaptasi dengan alam lingkungannya, maka sistem
pertanian tradisional sesungguhnya merupakan sistem pertanian berkelanjutan.
Hanya persoalannya bahwa sistem pertanian tradisional pada masa sekarang
kurang begitu menarik karena hasil yang dicapai dalam pertanian tidak besar
dibanding dengan memakai teknologi dan input yang tinggi. Reijntjes, et. al.,
(1999) mengatakan, sistem pertanian tradisional yang terus dikembangkan dalam
suatu interaksi budaya dan ekologi lokal dengan mengadaptasikan pada perubahan
dan nilai-nilai asing, maka sistem tersebut akan sangat n~embantu dalaln
produktifitas pertanian, tapi kalau tidak maka akan terjadi kerusakan sumberdaya
alam dan desintegrasi masyarakat lokal.
Namun demikian penerapan sistem pertanian berkelanjutan menurut
Budianta, (1996) bukan berarti sama sekali tidak menggunakan pupuk kimiawi
atau pupuk organik dan pertisida buatan, tetapi membatasi pemakaian berlebihan.
Model pertanian berkelanjutan memilih, menggunakan cara yang tepat dan praktis
melalui pengelolaan tanaman dan tanah yang efisien dan ekonomis. Pengelolaan
pertanian berkelanjutan disamping peningkatan produksi diperhatikan, sistem
ekologi tetap diperhatikan sebagai suatu konsep dinamis yang terhadap
kemungkinan perubahan kebutuhan populasi global yang terus meningkat,
sehingga pengelolaan sumberdaya merupakan perpaduan dari maksimalisasi
ekonomi dan minimalisasi ekologi. Artinya secara ekonomi sumberdaya alam
dapat dimanfaatkan secara optimal namun tetap memperhatikan kesimbangan
ekologi dan kelestarian sumberdaya tersebut agar dapat dimanfaatkan anak cucu
kita dimasa yang akan datang (Soemarwoto, 1997).
Sistem pertanian
tradisional merupakan kebudayaan tradisional yang
mengacu pada cara hidup (way of life) masyarakat desa yang belum dirasuki oleh
penggunaan teknologi modern serta sistem ekonomi uang. Atau dengan rumusan
lain, pola kebudayaan tradisional adalah produk dari besarnya pengaruh alam
terhadap masyarakat yang hidup bergantung pada alam. Besarnya pengaruh alam
terhadap pola kebudayaan masyarakat desa akan ditentukan oleh ; ( I ) sejauhmana
ketergantungan mereka terhadap pertanian ; (2) tingkat teknologi ; dan (3) sistem
produksi yang diterapkan (Rahardjo, 1999). Ketiga faktor tersebut bersama-sama
17
menjadi faktor determinan bagi terciptanya kebudayaan tradisional, yakni
kebudayaan tradisional akan tercipta apabila masyarakat amat tergantung kepada
pertanian, tingkat teknologi rendah dan produksi hanya untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
Kebudayaan tradisional biasanya identik dengan perladangan berpindah
sehingga terkadang dituding sebagai penyebab terjadinya degradasi lahan.
Argumentasi
ini didasarkan bahwa dengan penghasilan yang pas-pasan
memungkinkan mereka (petani) hanya mengandalkan jagung dan ubi kayu serta
petani sayur-sayuran di lereng-lereng bukit yang rentan terhadap laju degradasi
lahan, sehingga perlu ada konservasi. Namun program konservasi lahan bukan
satu-satunya jalan menanggulangi masalah degradasi lahan, terutama di lahan
kering, karena degradasi lahan sangat berkaitan dengan isu ekonomi secara
keseluruhan. Beberapa rekomendasi makro yang mungkin efektif untuk
menurunkan tingkat degradasi lahan, pengurangan tekanan penduduk, dan
peningkatan serta pemantapan strategi yang mampu meningkatkan pendapatan
petani seperti pembatasan luas lahan, diversifikasi tanaman dan lapangan kerja
serta agroindutri (Arifin,200 1).
Sebenarnya masyarakat telah mempraktekkan beberapa cara pertanian
konservasi yang disamping dapat mencegah degradasi lahan juga menambah
pendapatan keluarga seperti agroforestri yaitu perpaduan antara tanaman
kehutanan dan pertanian (Budianta, 1996). Aplikasi sistem pertanian-kehutanan
(agroforestry) sebenarnya telah banyak diterapkan di beberapa lokasi lahan kering
yang memiliki tingkat kemiringan curam, sekaligus sebagai pelengkap teknologi
konservasi lahan yang dipakai. Di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS)
18
Tulang Bawang di Lampung dan beberapa daerah lainnya di Indonesia, kombinasi
pohon durian dan kayu karet tua berada di puncak gunung, lalu tanaman mangga,
pohon cengkah dan lada tua serta kopi di bagian agak bawah. Pada bagian datar
petani umumnya menanam tanaman pangan dan palawija, yang biasanya juga
ditutupi rumput gajah untuk makanan ternak dan beberapa kayu bakar
disekitarnya (Arifin, 2001). Dijelaskan pula bahwa walaupun sistem pertanian
kehutanan masih menganut pola tradisional dalam kaidah sistem pertanian
berkelanjutan, akan tetapi sistem ini petani umumnya dapat memperoleh
pendapatan yang tidak kalah besar dibandingkan dengan petani lahan sawah tadah
hujan atau yang beririgasi seadanya yang hanya berproduksi tidak lebih dari dua
ton perhektar. Artinya bahwa, disana masih banyak kemungkinan untuk
meningkatkan pendapatan petani melalui sistem agroforestri dengan mengganti
tanaman keras dan buah-buahan dengan variaetas yang lebih baik dan
berproduktifitas tinggi.
Dalam kebijakan pembangunan pertanian 2001 -2004, digariskan beberapa
kebijakan umum dalam menentukan langkah-langkah pembangunan sektor
pertanian yang berhubungan dengan masyarakat pedesaan yang masih tradisional
yaitu mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman
sumberdaya pangan, kelembagaan dan budaya lokal dalam rangka menjamin
tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan pada
tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan tingkat pendapatan petani
dan nelayan serta peningkatan produksi (Anonim, 200 1).
19
2.3. Masyarakat Lokal dan Pengelolaan Sumberdaya Alam
Masyarakat lokal didefinisikan cukup beragam, namun beberapa elemen
dasar biasanya termasuk antara lain : (1) keturunan penduduk asli suatu daerah
yang kemudian dihuni oleh sekelompok masyarakat luar yang lebih kuat, (2)
sekelompok orang yang mempunyai bahasa, tradisi, budaya dan agama yang
berbeda dengan kelompok yang dominan, (3) selalu diasosiasikan dengan
beberapa tipe kondisi ekonomi masyarakat, (4) keturunan masyarakat pemburu,
nomadik, peladang berpindah, (5) masyarakat dengan hubungan sosial yang
menekankan
pada
kelompok,
pengambilan
keputusan
dan
pengelolaan
sumberdaya secara bersama (Mitchell, et. al., 2000).
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berbasis masyarakat,
tidak terlepas dari pandangan manusia yang menempatkan kepentingan manusia
sendiri disebut antroposentrisme (Soemanvoto, 2001). Hal ini didasarkan pada
kenyataannya bahwa berbagai kegiatan
manusia seperti ekonomi, telah
mempengaruhi lingkungan hidup karena penggunaan sumberdaya, produksi
limbah dan modifikasi lingkungan hidup. Dengan berbagai kerusakan ini
menyebabkan kepentingan manusia terganggu. Namun kemudian pandangan ini
mendapat kritikan dari berbagai pihak karena melihat bahwa persoalan lingkungan
bukan hanya kepentingan manusia sebab lingkungan hidup mempunyai nilai
(value) sebab kepentingan lingkungan juga mencangkup eksistensi mahluk lain
yang harus dihormati. Sebab dalam ha1 ini, pandangan antroposentris justru akan
mengabaikan kepentingan masyarakat tradisional yang kehidupannya sangat
tergantung pada kemurahan alam
20
Meskipun masyarakat lokal (petani) sudah menerapkan sistem modern
dalam pengelolaan sumberdaya alam dengan penggunaan input luar dan teknologi
yang tinggi, namun ciri pengelolaan lokal masih sering dijumpai. Ciri tersebut
menurut Subagiyo, et al., (1999) terlihat dalam sistem pertanian yang memiliki
prinsip: pandangan holistik, dimana ulnumnya petani masih percaya bahwa alam
memiliki suatu kekuatan gaib sehingga alam harus diperlakukan dengan hati-hati;
pertanian berdasarkan masyarakat seperti penggunaan tenaga kerja maupun dalam
pengelolaan berdasarkan sistem sosial budaya; pemanfaatan sumberdaya lokal
secara optimal; perlindungan tanah dan daur ulang unsur alami dan peminimalan
resiko; serta teknik-teknik yang khas setempat; masih kuatnya sistem budaya
dalam pengambilan keputusan bersama.
Dalam konteks partisipasi masyarakat setempat, pengelolaan sumberdaya
dapat dipandang sebagai proses belajar baik bagi masyarakat itu sendiri maupun
pada orang luar (modern) yang perlu mencontoh kearifan masyarakat setempat.
Artinya bahwa berbagai kepentingan dalarn pengelolaan sumberdaya dapat
dipertemukan
guna
menserasikan
antara
kebutuhan
pembangunan
dan
kepentingan lingkungan dimana manusia itu berada harus dilindungi. Sistem
pengetahuan lokal akan mendorong
terjadinya pendekatan kemitraan
dan
partisipasi yang lebih sistemik dalam pengelolaan sumberdaya (Mitchell, et. a!.,
2000).
Pada masyarakat modern, bila dikaji pentingnya lingkungan bagi
kehidupannya, sebenarnya kearifan ini pasti secara ekonomis menguntungkan.
Misalnya pada masyarakat kota yang telah terlatih dengan pola kebersihan,
disiplin dan etos kerja tinggi, maka ha1 ini dapat menekan biaya kesehatan,
21
kebiasaan menabung dan mencari penghasilan merupakan suatu upaya ekonomis
dalam mempertahankan eksistensinya (Babcock, 1999). Secara ekologis kearifan
masyarakat jelas mempertahankan eksistensi kelestarian sumberdaya alam baik
yang bersifat biotik maupun abiotik. Maka sebaiknya dalam melihat persoalan
lingkungan harus terkait antara tiga ha1 yang disingkat sebagai pendekatan ABC
(abiotic, biotic, cultural) sebagai konsep ekologi dalam pengelolaan sumberdaya
dan lingkungan. Secara ekologi kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan
memungkinkan pemeliharaan komunitas alami dan adanya konservasi yang secara
ekonomi tetap dapat dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan
tanpa perlu melakukan pemenuhan dari sumber lainnya dalam mendukung sistem
kehidupan dan pranata budaya masyarakat (Manan dan Arafah, 2000).
Namun demikian bahwa perbedaan pandangan dalam pengelolaan
sumber >days alam antara pemerintah dengan masyarakat lokal kerap terjadi, dan
bahkan antara petani tradisional dan modern. Seperti yang kemukakan oleh
Poenvanto (2000) bahwa pada masyarakat yang menerapkan sistem pertanian di
padang rumput yang sedikit agak intensif dan semi permanen, alang-alang
(Imperata cylindrica) sering dianggap sebagai penutup tanah, sumber pakan
ternak murah, tempat perburuan binatang dan bahan pembuat atap rumah.
Sebaliknya dalam pandangan pemerintah atau petani ekstensif, alang-alang adalah
jenis tanaman pengganggu, yang dapat merusak keadaan tanah, sumber utama
bahaya kebakaran dan saingan tanaman budidaya.
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan termasuk pembangunan
sistem pertanian dan usaha agribisnis yang menggunakan sumberdaya alam
(hayati) tidak akan berkelanjutan bila keanekaragaman hayati tidak dilestarikan.
22
Oleh karena itu upaya pelestarian sumberdaya keanekaragaman hayati perlu
ditempatkan
sebagai
bagian
dari
pembangunan
sistem
pertanian
yang
berkelanjutan. Upaya pelestarian itu dikembangkan dalam bentuk-bentuk kebun
koleksi plasma nutfah maupun pelestarian habitat alami (asli) ekosistem tanaman
disetiap
daerah
dengan
menumbuhkembangkan
kelembagaan
lokal
dan
melegalisasi hak ulayat masyarakat lokal (Anonim, 200 1).
Sehingga dalam
berbagai studi etnografi, perbedaan cara memandang
persoalan masyarakat lokal harus didasarkan kepentingan apa yang harus
dilakukan dalam pembinaan dan pemberdayaan oleh pemerintah. Sebab
masyarakat lokal tentu lebih tahu apa yang terbaik bagi mereka berdasarkan
pengalaman, sehingga orang luar dapat secara jernih mendeskripsikan secara tepat
serangkaian prilaku pada kejadian-kejadian dimana mereka berpartisipasi
(Poerwanto, 2000).
Download