BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat mulai melakukan kegiatan pinjam meminjam uang sejak
mengenal uang sebagai alat pembayaran. Kegiatan pinjam meminjam uang kini
dianggap sesuatu yang sangat penting oleh sebagian masyarakat dengan tujuan
untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya serta dapat membantu kegiatan usaha
yang sedang dijalankan oleh masyarakat.
Memanfaatkan waktu yang relatif singkat untuk melakukan pencarian dana
dengan cara menggali sendiri sangat tidak mudah. Keterbatasan kemampuan
sebagian besar orang dalam menghadapi kesulitan dana menyebabkan orang
melakukan peminjaman uang atau berhutang dengan pihak lain. Namun seiring
berkembangnya jaman, peminjaman uang dengan pihak lain tidak lagi disebut
hutang, melainkan kredit. Kredit yang dipinjam kepada pihak lain akan
dikembalikan pada saat jatuh tempo pembayaran.
Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang ditentukan oleh undang –
undang dengan fungsinya sebagai penyalur kredit kepada masyarakat. Fasilitas
kredit yang disalurkan oleh bank memang lebih dikenal secara umum oleh
masyarakat. Sebagian besar orang yang menjalankan usaha di daerah perkotaan
dapat dengan mudah memperoleh fasilitas kredit. Berbeda halnya dengan orang
yang menjalankan usahanya di daerah pedesaan. Masyarakat yang menjalankan
usahanya di daerah pedesaan mengalami kesulitan memperoleh fasilitas kredit
2
karena lembaga perbankan lebih memfokuskan memberikan fasilitas kredit di
daerah perkotaan.
Kesulitan yang dihadapi masyarakat pedesaan akan fasilitas kredit merupakan
salah satu alasan yang melatarbelakangi diselenggarakannya suatu seminar kredit
pedesaan pada tanggal 20 – 21 Februari 1984 di Semarang. Salah satu dari hasil
seminar tersebut adalah pembentukan lembaga dana kredit pedesaan untuk
memfasilitasi masyarakat pedesaan. Hasil seminar yang diprakarsai oleh Menteri
Dalam Negeri tersebut menjadi titik terang bagi kehidupan perekonomian
masyarakat di pedesaan1.
Hasil dari seminar kredit pedesaan yang diselenggarakan di Semarang
tersebut mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah Provinsi Bali.
Dukungan ini terbukti dari adanya tindak lanjut dan inisiatif Pemerintah Daerah
Provinsi Bali untuk kemudian Gubernur mengeluarkan Surat Keputusan No. 972
Tahun 1984 tentang Pendirian Lembaga Perkreditan Desa di Provinsi Daerah
Tingkat I Bali2.
Lembaga Perkreditan Desa, selanjutnya disebut LPD merupakan suatu bentuk
lembaga ekonomi milik desa pakraman yang diatur dalam peraturan khusus.
Peraturan tersebut adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor. 8 Tahun 2002
tentang Lembaga Perkreditan Desa, Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor. 20
Tahun 2002, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor. 3 (selanjutnya
disebut Perda LPD No. 8/2002), sebagaimana telah diubah sebanyak 2 (dua) kali
1
Ida Bagus Darsana, 2010, “Peranan dan Kedudukan LPD Dalam Sistem
Perbankan di Indonesia”, Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana, Nomor 1,
Januari 2010, hal. 12.
2
Ibid.
3
dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor. 3 Tahun 2007 tentang Perubahan
Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga
Perkreditan Desa, Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2007 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3 (selanjutnya disebut Perda
LPD No. 3/2007) dan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun
2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa, Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun
2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4 (selanjutnya
disebut Perda LPD No. 4/2012).
Berdasarkan Pasal 2 angka 1 Perda LPD No. 8/2002, menyatakan bahwa:
“LPD merupakan badan usaha keuangan milik desa yang melaksanakan kegiatan
usaha di lingkungan desa dan untuk krama desa”. Ketentuan dalam Pasal 2 angka
1 Perda LPD No. 8/2002 menunjukkan bahwa LPD merupakan suatu bentuk
lembaga ekonomi, yang oleh Perda diakui dan dikukuhkan dalam status hukum
sebagai suatu bentuk badan usaha keuangan. Bentuk badan usaha keuangan LPD
bersifat khusus karena hanya menyelenggarakan kegiatan usaha dalam wilayah
desa pakraman3.
Pasal 7 ayat (1) Perda LPD No. 8/2002 berkaitan dengan lapangan usaha yang
dijalankan oleh LPD. Lapangan usaha LPD mencakup:
a. Menerima dan menghimpun dana dari krama desa dalam bentuk keuangan
dan deposito;
b.Memberikan pinjaman hanya kepada krama desa;
3
I Nyoman Nurjaya et. al, 2011, Landasan Teoritik Pengaturan LPD (Sebagai
Lembaga Keuangan Komunitas Masyarakat Hukum Adat Bali), Udayana
University Press, Denpasar,hal. 36.
4
c. Menerima pinjaman dari lembaga–lembaga keuangan maksimum sebesar
100% dari jumlah modal, termasuk cadangan dan laba ditahan, kecuali
batasan lainnya dalam jumlah pinjaman atau dukungan/bantuan dana;
d.Menyimpan kelebihan likuiditasnya pada BPD dengan imbalan bunga
bersaing dan pelayanan yang memadai.
Berdasarkan substansi ketentuan Perda di atas, menunjukkan bahwa LPD
merupakan suatu badan usaha keuangan khusus. Adapun ciri – ciri LPD sebagai
lembaga keuangan khusus, yaitu sebagai berikut4:
a. Merupakan milik desa pakraman
b. Dibentuk dan dikelola oleh desa pakraman;
c. Menyelenggarakan fungsi – fungsi kelembagaan keuangan komunitas desa
pakraman, seperti menerima/menghimpun dana dari krama desa,
memberikan pinjaman hanya kepada krama desa, dan mengelola keuangan
lembaga tersebut, hanya pada lingkungan desa pakraman; dan
d. Menyelenggarakan fungsi usaha sebagai lembaga usaha keuangan internal
desa pakraman, atau sejauh jauhnya antardesa pakraman.
Salah satu usaha yang dijalankan oleh LPD seperti tersebut di atas adalah
memberikan kredit kepada masyarakat. Pemberian kredit merupakan kegiatan
utama dari LPD yang mengandung resiko paling tinggi dan dapat mempengaruhi
kesehatan dan kelangsungan dari LPD selaku kreditor.
Setiap LPD yang melakukan kegiatan pemberian fasilitas kredit harus
melaksanakan pengawasan kredit. Pengawasan dalam hal ini lebih dikhususkan
pada siapa yang berhak mengawasi dan peran tim pengawas melakukan tugasnya.
Pengawasan tidak hanya ditujukan terhadap nasabah sebagai pihak debitor namun
4
Ibid.
5
pengawasan juga penting dilakukan terhadap karyawan LPD yang berwenang
dalam hal pemberian kredit.
LPD merupakan salah satu aset dan sumber pendapatan desa adat sehingga
memerlukan pengelolaan yang baik oleh pengurus dan badan pengawas.
Pengawasan kredit yang memadai baik secara internal maupun eksternal perlu
dimiliki oleh setiap LPD guna mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang
oleh berbagai pihak dan praktek-praktek keuangan yang dapat mempengaruhi
kesehatan LPD.
Definisi kredit diatur dalam Pasal 1 angka 11 Undang - Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan dari Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790), selanjutnya disebut UndangUndang Perbankan. Pasal 1 angka 11 Undang - Undang Perbankan menyatakan
bahwa: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga”.
Definisi kredit yang terkandung di dalam Undang-Undang Perbankan di atas
terlalu sempit karena hanya membatasi kredit pada penyediaan dana oleh bank.
Sesungguhnya definisi kredit lebih luas dari pada itu. Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/2/PBI/2005 (selanjutnya disebut PBI No. 7/2/2005). Pada Pasal 1 angka
5 PBI No. 7/2/PBI/2005 dijelaskan bahwa:
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
6
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk5:
a. Cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang
tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;
b. Pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;
c. Pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
Pemberian fasilitas kredit oleh LPD hendaknya harus dipertimbangkan
terlebih dahulu seluk beluk tentang nasabahnya. Pertimbangan tersebut
didasarkan atas penilaian yang dilakukan oleh LPD agar memperoleh kepercayaan
tentang nasabahnya. Penilaian ini penting untuk dilakukan karena pemberian
kredit merupakan salah satu kegiatan usaha yang memiliki tingkat resiko yang
sangat tinggi terhadap kesehatan LPD.
Pihak debitor yang mengajukan kredit kepada LPD, hendaknya menyiapkan
benda yang akan dijadikan jaminan kredit. Selain sebagai pengaman kredit yang
akan diberikan, barang yang akan digunakan sebagai jaminan kredit oleh pihak
debitor akan dapat membantu LPD untuk menentukan besarnya kredit yang akan
dikeluarkan oleh pihak LPD.
Jaminan kredit yang disetujui dan diterima oleh LPD selanjutnya akan
mempunyai beberapa fungsi dan salah satunya adalah untuk mengamankan
pelunasan kredit bila pihak nasabah cidera janji. Jaminan kredit mempunyai
peranan penting bagi pengamanan pengembalian dana LPD yang disalurkan
kepada pihak peminjam melalui pemberian kredit.
Pada dasarnya jenis jaminan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu
jaminan materiil (kebendaan) dan jaminan immateriil (perorangan). Jaminan
5
Sentosa Sembiring, 2012, Hukum Perbankan, CV. Mandar Maju, Bandung,
(selanjutnya disingkat Sentosa Sembiring I), hal. 149.
7
perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tetapi
hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin
pemenuhan perikatan yang bersangkutan. Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri
kebendaan dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu
dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan6.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan juga memberikan definisi mengenai
pengertian jaminan materiil (kebendaan) dan jaminan immateriil (perorangan).
Kedua jaminan tersebut dijelaskan sebagai berikut7:
Jaminan materiil adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda,
yang mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan
terhadap siapa pun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Jaminan
immateriil (perorangan) adalah jaminan yang menimbulkan hubungan
langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur
tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya.
Perangkat perundang – undangan yang memberikan dasar perlindungan
penyaluran kredit melalui lembaga jaminan kebendaan yaitu Pasal 1131 dan 1132
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, selanjutnya dalam penulisan ini disebut
KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata, menyatakan bahwa: “Segala kebendaan si
berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatannya perseorangan”.
Berdasarkan rumusan Pasal 1131 KUHPerdata tersebut, menunjukkan bahwa
objek yang dijadikan jaminan pelunasan utang tidak pasti. Komunikasi antara
pihak debitor dan kreditor untuk mencapai kesepakatan dalam membuat
6
Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Rajawali
Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim HS I), hal. 23.
7
Ibid.
8
perjanjian jaminan tidak diperlukan karena dalam hal ini kedua belah pihak
tersebut bersifat pasif8.
Dasar perlindungan pemberian kredit juga diatur di dalam Pasal 1132
KUHPerdata. Pasal 1132 KUHPerdata, menegaskan:
Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama - sama bagi semua orang yang
mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda - benda itu dibagi-bagi
menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing - masing,
kecuali apabila diantara para kreditor itu ada alasan - alasan yang sah untuk
didahulukan.
Jaminan yang terkandung di dalam Pasal 1132 KUHPerdata di atas
menimbulkan kekhawatiran dan dirasa kurang menjamin pelunasan piutang pihak
kreditor. Hal ini dikarenakan pihak kreditor tidak mengetahui berapa jumlah harta
kekayaan yang akan digunakan untuk membayar utang-utangnya kepada kreditor,
serta tidak diketahui debitor memiliki utang dengan siapa saja9.
Benda yang paling umum dipergunakan sebagai jaminan dalam pemberian
fasilitas kredit oleh LPD adalah tanah yang sudah mempunyai alas hak, yaitu
berupa sertifikat hak milik atas tanah. Jaminan kredit dengan sertifikat hak milik
atas tanah dirasa lebih menguntungkan bagi pihak LPD karena secara ekonomis,
harga jual tanah akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Berbeda halnya
dengan
jaminan
kredit
menggunakan
barang
bergerak
yang
memiliki
kemungkinan penurunan harga setiap waktu.
LPD sebagai lembaga keuangan tentunya memerlukan suatu perlindungan
hukum dalam memberikan kredit kepada debitor yang menggunakan jaminan
8
Gatot Supramono, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit, Rineka Cipta,
Jakarta, (selanjutnya disingkat Gatot Supramono I), hal. 198.
9
Rachmadi Usman, 2009, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika,
Jakarta, (selanjutnya disingkat Rachmadi Usman I), hal. 75.
9
sertifikat hak milik atas tanah. Perlindungan hukum tersebut diimplementasikan
dalam suatu lembaga jaminan khusus hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan.
Lembaga jaminan hak atas tanah ini mampu memberikan kedudukan kedudukan
yang diistimewakan bagi LPD selaku kreditor.
Definisi Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang - Undang
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda - Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor. 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3632), selanjutnya disebut
UUHT. Pasal 1 angka 1 UUHT, menyatakan bahwa:
Hak tanggungan atas tanah beserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah,
yang selanjutnya disebut hak tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan
pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok–Pokok Agraria, berikut atau tidak
berikut benda – benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditor – kreditor lainnya.
Sebagai lembaga jaminan hak kebendaan, Hak Tanggungan memiliki ciri dan
sifat. Adapun yang menjadi ciri dan sifat dari Hak Tanggungan adalah sebagai
berikut10:
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada
pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference;
2. Selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapa pun benda itu
berada atau disebut dengan droit de suit;
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan;
dan
4. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya.
10
M. Bahsan, 2010, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan
Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 22.
10
Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (1) dan (2) UUHT memberikan kepastian
hukum kepada kreditor sebagai pemegang Hak Tanggunan. Pasal 10 ayat (2)
UUHT, menyatakan bahwa: “Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan
perundang – undangan yang berlaku”.
Selanjutnya Pasal 13 ayat (1) dan (2) UUHT merupakan ketentuan yang tidak
dapat disimpangi. Pasal 13 ayat (1) dan (2) UUHT menyatakan bahwa:
(1) Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan;
(2) Selambat – lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta
Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
Substansi dari Pasal 10 ayat (2) UUHT menunjukkan pemberian Hak
Tanggungan dilakukan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan, selanjutnya
disebut APHT. Kewajiban pembuatan APHT berkonsekuensi terhadap keberadaan
barang jaminan dikaitkan dengan Pasal 13 ayat (1) dan (2) UUHT yang
mewajibkan pendaftaran pemberian Hak Tanggungan dilakukan selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT.
Jadi,
dapat
dikatakan bahwa
pemberian
Hak Tanggungan
dengan
menggunakan APHT merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh LPD
sebagai lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit dengan jaminan
sertifikat hak milik atas tanah. Kewajiban itu dilakukan agar pemberian Hak
Tanggungan dapat didaftarkan. Pendaftaran Hak Tanggungan merupakan syarat
mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak
Tanggungan terhadap pihak ketiga.
11
Berdasarkan hasil penjajakan tahap awal, dalam pemberian fasilitas kredit
dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah pada LPD Desa Pakraman Sanur
tidak dipenuhi dengan APHT. Hal ini berarti dijumpai LPD di Kota Denpasar
dalam penyaluran kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah hanya
dilakukan dengan pembuatan perjanjian pokok, yaitu perjanjian utang piutang,
tanpa diikuti dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu APHT sebagai
perjanjian tambahan (accessoir) sehingga tidak dapat didaftarkan di Kantor
Pertanahan. Pihak LPD Desa Pakraman Sanur selaku kreditor tidak melaksanakan
ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (1) dan (2)
UUHT tersebut di atas.
Penyertaan APHT yang tidak dilaksanakan pada saat pemberian kredit
dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah menjadikan kedudukan LPD Desa
Pakraman Sanur tersebut lemah jika debitor (nasabah) mengalami permasalahan
dalam memenuhi kewajiban yang tertera di dalam perjanjian utang piutang.
Pemberian Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT, sudah
tentu tidak akan dapat didaftarkan sehingga sertifikat Hak Tanggungan yang
mempunyai kekuatan eksekutorial tidak dapat diterbitkan. Sertifikat hak
tanggungan
memuat irah - irah dengan kata - kata “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang merupakan hak
dari pemegang Hak Tanggungan untuk menjual benda yang menjadi objek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat adanya kesenjangan antara pelaksanaan
(das sein) dan pengaturan (das sollen), menarik untuk diteliti dan diangkat karya
12
ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul: “PENGAWASAN PEMBERIAN
KREDIT DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT HAK MILIK ATAS TANAH
TANPA AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN PADA LEMBAGA
PERKREDITAN
DESA
DI
KOTA
DENPASAR”.
Dari
penelusuran
kepustakaan, ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan jaminan Hak
Tanggungan yang diatur di dalam UUHT, yaitu:
Tesis dari I Nyoman Gede Mudita, SH, NIM 0620112024, alumni
mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya Tahun 2007,
dengan judul tesis adalah Kedudukan Akta Pengikatan Jaminan Yang Dibuat Oleh
Notaris/PPAT Dalam Pemberian Kredit Oleh Lembaga Perkreditan Desa (LPD).
Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang ditulis dalam tesis ini adalah
bagaimanakah
kedudukan
akta
pengikatan
jaminan
yang
dibuat
oleh
Notaris/PPAT dalam pemberian kredit oleh Lembaga Perkreditan Desa (LPD),
bagaimanakah tanggungjawab Notaris/PPAT terhadap akta pengikatan jaminan
yang telah dibuat, dan bagaimanakah peranan Notaris/PPAT dalam hal terjadinya
kredit macet di Lembaga Perkreditan Desa (LPD)11.
LPD yang dipilih sebagai tempat penelitian dalam tesis ini adalah 4 (empat)
LPD di Kabupaten Badung. Ketiga permasalahan yang dikemukakan oleh I
Nyoman Gede Muditha dalam tesis yang ditulisnya menunjukkan bahwa LPD di
Kabupaten Badung dalam pemberian fasilitas kredit dengan jaminan benda
bergerak maupun tidak bergerak sudah menggunakan akta notaris/PPAT.
11
I Nyoman Gede Mudita, 2007, “Kedudukan Akta Pengikatan Jaminan Yang
Dibuat Oleh Notaris/PPAT Dalam Pemberian Kredit Oleh Lembaga Perkreditan
Desa (LPD)”, Tesis Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hal. 10.
13
Tesis dari Ni Nyoman Rumbiani, SH, NIM 1092461029, alumni mahasiswi
Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Tahun 2013, dengan judul tesis
Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Atas Tanah Pada Lembaga Perkreditan
Desa Di Kabupaten Gianyar. Adapun yang menjadi pokok permasalahan adalah
persyaratan apakah yang harus dipenuhi oleh bukan krama desa (krama tamiu)
dalam mengajukan permohonan kredit di LPD Kabupaten Gianyar dan
bagaimanakah tanggung jawab serta upaya hukum yang dilakukan oleh LPD di
Kabupaten Gianyar apabila debitor wanprestasi12.
Tesis dari Haryati, SH, NIM B.002.95.0156, alumni mahasiswi Magister Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro Tahun 1999, dengan judul tesis Proses
Pembebanan Hak Tanggungan. Adapun yang menjadi pokok permasalahan adalah
bagaimanakah proses pembebanan hak tanggungan setelah keluarnya hak
tanggungan, sejauh manakah akta pemberian hak tanggungan dalam pembebanan
hak tanggungan dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum,
dan bagaimanakah proses pendaftaran hak tanggungan menurut Undang-Undang
Hak Tanggungan13.
Berdasarkan penelusuran dari beberapa tesis dengan judul dan pokok
permasalahan seperti yang dijelaskan tersebut di atas, menunjukkan bahwa
penelitian dengan judul Pengawasan Pemberian Kredit Dengan Jaminan Sertifikat
12
Ni Nyoman Rumbiani, 2013, “Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Atas
Tanah Pada Lembaga Perkreditan Desa Di Kabupaten Gianyar”, Tesis Fakultas
Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 17.
13
Haryati, 1999, “Proses Pembebanan Hak Tanggungan”, Tesis Fakuktas
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 6. Serial online (cited on 2000
jun 02), available from URL: http://eprints.undip.ac.id/12977/1/1999H438.pdf,
diakses tanggal 3 Februari 2013.
14
Hak Milik Atas Tanah Tanpa Akta Pemberian Hak Tanggungan Pada Lembaga
Perkreditan Desa Di Kota Denpasar belum ada yang membahasnya. Begitu juga
dengan permasalahan yang dikaji memiliki perbedaan dengan permasalahan
dalam tesis di atas, sehingga tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
keorisinalannya dan keasliannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan LPD selaku kreditor dalam penyelesaian
perjanjian kredit macet dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang
tidak diikat dengan APHT?
2. Bagaimanakah pelaksanaan pengawasan dari badan pengawas internal dan
eksternal terhadap praktek pemberian kredit oleh LPD dengan jaminan
sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum
dan tujuan yang bersifat khusus. Kedua tujuan penelitian tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum
dalam bidang Hukum Jaminan mengenai pemahaman terhadap pengawasan
pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tanpa APHT pada
LPD di Kota Denpasar.
15
1.3.2 Tujuan Khusus
Berdasarkan tujuan umum tersebut, penelitian ini dilaksanakan untuk
mencapai tujuan yang bersifat khusus, yaitu:
1. Untuk mengkaji dan menganalisis kedudukan LPD selaku kreditor dalam
penyelesaian perjanjian kredit macet dengan jaminan sertifikat hak milik
atas tanah yang tidak diikat dengan APHT.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis lebih mendalam mengenai pelaksanaan
pengawasan dari badan pengawas internal dan eksternal terhadap praktek
pemberian kredit oleh LPD dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah
yang tidak diikat dengan APHT.
1.4 Manfaat Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat memberikan
manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah
pengetahuan di bidang Ilmu Hukum Jaminan berkaitan dengan pengawasan
pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tanpa APHT pada
LPD di Kota Denpasar.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
kepada LPD, masyarakat, dan penulis sendiri.
16
1. Bagi LPD, hasil penelitian ini akan dapat memberikan pemahaman
berkenaan pentingnya APHT dalam memberikan kepastian hukum untuk
pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah.
2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan lebih luas mengenai pentingnya pembuatan APHT pada saat
pembebanan Hak Tanggungan, serta dapat mengetahui pelaksanaan
pengawasan dari badan pengawas internal dan eksternal terhadap praktek
menyimpang terhadap UUHT yang dilakukan oleh LPD.
3. Bagi penulis sendiri, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan di bidang Hukum Jaminan mengenai pelaksanaan pengawasan
pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tanpa
APHT pada LPD di Kota Denpasar.
1.5 Landasan Teoritis
Teori adalah suatu prinsip atau ajaran pokok yang dianut untuk mengambil
suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Landasan teori merupakan ciri
penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori merupakan alur
penalaran atau logika (flow of reasoning/logic), terdiri dari seperangkat konsep
atau variable, definisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis14. Teori
adalah seperangkat gagasan yang berkembang di samping mencoba secara
14
J.Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta,
Jakarta, hal.194.
17
maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya
memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum15.
Teori dalam penelitian empiris selain berfungsi untuk menjelaskan fakta, juga
harus mampu meramalkan atau membuktikan fakta-fakta atau kejadian-kejadian16.
Landasan teori dalam penulisan tesis ini menggunakan beberapa teori dan konsep
hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Teori sistem hukum
Teori tentang sistem hukum dikemukakan pertama kali oleh Lawrence M.
Friedman yang membagi sistem hukum menjadi 3 (tiga) unsur, yaitu struktur
hukum, substansi hukum, dan budaya hukum (kultur hukum). Tiga unsur dari
sistem hukum ini diteorikan oleh Lawrence M.Friedman sebagai Three Elements
of Legal System (tiga elemen dari sistem hukum). Menurut Lawrence M.
Friedman dalam Achmad Ali yang dimaksud dengan unsur-unsur sistem hukum
tersebut adalah17:
a. Struktur hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada
beserta aparatnya, mencakup antara lain kepolisian, dengan para polisinya,
kejaksaan dengan jaksanya, pengadilan dengan hakimnya, dan lain-lain;
b. Substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas
hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan
pengadilan;
c. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinankeyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari
penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan
berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.
15
H.R.Otje Salman dan Anton F.Susanto, 2005, Teori Hukum, Refika
Aditama, Bandung, hal.21.
16
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV Mandar
Maju, Bandung, hal. 141.
17
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 204.
18
Friedman menggunakan cara lain untuk menggambarkan 3 (tiga) unsur sistem
hukum. Jadi, ketiga unsur sistem hukum dapat digambarkan, seperti struktur
hukum diibaratkan sebagai mesin, substansi hukum diibaratkan sebagai apa yang
dikerjakan dan apa yang dihasilkan mesin tersebut, sedangkan kultur atau budaya
hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan
dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin tersebut
digunakan18.
Selain ketiga unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman, Achmad
Ali menambahkan 2 (dua) unsur sistem hukum. Unsur tersebut antara lain, yaitu19:
a.
b.
Profesionalisme, yang merupakan unsur kemampuan dan keterampilan
secara person dari sosok-sosok penegak hukum;
Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan keterampilan
secara person dari sosok-sosok penegak hukum, utamanya kalangan
petinggi hukum.
Memahami hubungan antara kepemimpinan atau leadership, John Baldoni
dalam kata pengantar bukunya yang berjudul “Great Comunnication Secrets of
Great Leaders”, mengemukakan bahwa: “So in every real sense, leadership
effectiviness, both for presidents and for anyone in a position of authority,
depends to a high degree upon good comunnication”20. (Jadi, dalam segala
pengertian nyata, keefektifan kepemimpinan baik bagi presiden maupun setiap
pejabat bergantung pada seberapa tinggi tingkat kebaikan komunikasi).
18
Frans Hendra Winarta, 2012, “Membangun Profesionalisme Aparat
PenegakHukum”,availablefrom:URL:http://www.franswinarta.com/EZPDF/Mem
bangun%20Profesionalisme%20Aparat%20Penegak%20Hukum %2030.5.12.pdf,
diakses tanggal 12 Agustus 2013.
19
Achmad Ali, loc.cit.
20
Achmad Ali, loc.cit.
19
Bagi Baldoni, faktor kepemimpinan sangat erat hubungannya dengan
kemampuan pemimpin melakukan komunikasi yang optimal, sehingga dia mampu
membangun trust atau kepercayaan. Komunikasi hukum dan sosialisasi hukum
adalah sub elemen dari elemen kepemimpinan dalam suatu sistem hukum. Dengan
kata lain, komunikasi hukum dan sosialisasi hukum merupakan faktor yang sangat
essensial bagi efektivitas hukum. Melalui komunikasi, seorang pemimpin ataupun
penegak hukum, membangun “trust” dari masyarakatnya21.
Komunikasi dan efektifitas hukum memiliki suatu keterkaitan. Kaitan antara
komunikasi dan efektivitas hukum adalah digambarkan sebagai berikut22:
Komunikasi
Hukum
melahirkan
Trust
(Kepercayaan)
mewujudkan
Efektifitas
Hukum
Unsur – unsur sistem hukum dapat diimplementasikan ke dalam sistem kerja
LPD. Dalam sistem kerja LPD, bagian-bagian yang dapat dikelompokkan dalam
struktur, substansi, kultur hukum, profesionalisme, dan kepemimpinan adalah
sebagai berikut:
Struktur hukum yaitu institusi-institusi hukum yang berwenang untuk
mengeluarkan suatu peraturan, membina, serta mengawasi sistem kerja di LPD,
antara lain badan pengurus. Badan pengurus terdiri dari seorang kepala LPD, tata
usaha, dan kasir; serta badan pengawas internal LPD yang terdiri dari ketua dan
sekurang – kurangnya 2 (dua) orang anggota, serta badan pengawas eksternal
LPD.
21
22
Achmad Ali, loc.cit.
Achmad Ali, op.cit, hal. 206.
20
Ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh LPD sendiri, beserta ketentuan
yang tercantum di dalam Undang-Undang dapat digolongkan sebagai elemen
yang termuat di dalam substansi pada sistem kerja LPD. Ketentuan yang
tercantum di dalam Undang –Undang tentunya terkait dengan cakupan usaha yang
dijalankan oleh LPD.
Kultur hukum yaitu cara - cara dalam melaksanakan ketentuan hukum yang
berkaitan dengan usaha yang akan dijalankan oleh LPD. Cara-cara yang dilakukan
oleh LPD juga dapat menjadi elemen dari kultur hukum yang membawa pengaruh
terhadap kesehatan LPD karena kebiasaan LPD menjalankan usahanya
menyimpang dari aturan hukum yang berlaku.
Profesionalisme dan kepemimpinan dalam sistem kerja LPD meliputi
kemampuan dan keterampilan dari tim badan pengawas internal dan eksternal
LPD. Kedua tim pengawas berwenang mengawasi kinerja LPD agar tidak
menyimpang dari ketentuan – ketentuan yang terkait terhadap pemberian kredit
kepada pihak debitor.
Teori sistem hukum ini digunakan sebagai pisau analisis terhadap
permasalahan pertama dan kedua karena permasalahan yang dikaji beranjak dari
adanya kesenjangan antara das sollen dengan das sein. Kesenjangan antara das
sollen dengan das sein terjadi karena ketiga unsur sistem hukum di atas tidak
berjalan dengan baik, terutama terhadap apa yang menyebabkan LPD memberikan
fasilitas kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tanpa APHT.
Untuk mengetahui apa yang menyebabkan LPD melakukan penyimpangan
terhadap substansi dari UUHT dilakukan dengan cara menelaah struktur hukum,
21
substansi hukum, kultur hukum, profesionalisme dan kepemimpinan. Beberapa
unsur dalam sistem hukum ini dapat mempengaruhi LPD dalam memberikan
kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan
APHT sehingga bertentangan dengan Pasal 10 ayat (2) UUHT.
2. Teori Kepastian Hukum
Suatu aturan hukum, baik itu berupa undang-undang maupun hukum tidak
tertulis, menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam hidup
bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam
hubungannya dengan masyarakat. Pelaksanaan dari undang-undang tersebut akan
menimbulkan suatu kepastian hukum. Roscoe Pound menyebutkan bahwa
kepastian hukum memungkinkan adanya predictability23.
Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama, adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan; dan kedua, berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat
umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh negara terhadap individu24.
Teori kepastian hukum digunakan sebagai pisau analisis terhadap
permasalahan pertama, yaitu mengenai kedudukan LPD selaku kreditor dalam
penyelesaian kredit macet dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang
tidak diikat dengan APHT. Pihak LPD selaku kreditor dalam memberikan kredit
dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah wajib mematuhi substansi dari
UUHT. UUHT
23
telah
mengakomodasi
kepentingan-kepentingan
serta
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I), hal. 137.
24
Ibid.
22
perlindungan bagi LPD, sehingga pihak LPD selaku kreditor akan diberikan
kepastian hukum mengenai kedudukannya sebagai pemegang Hak Tanggungan.
3. Teori Kewenangan
Goorden memberikan pendapat bahwa wewenang itu terjadi pada saat
pembuat undang-undang memberikan keseluruhan hak dan kewajiban secara
eksplisit kepada subjek hukum publik25. Berbeda halnya dengan Stourt, Beliau
mengungkapkan bahwa wewenang dapat dimaknai sebagai pengertian yang
berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai
keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan
wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum
publik26.
Bagir
Manan27memberikan
komentar
mengenai
wewenang.
Beliau
menyatakan bahwa wewenang memiliki perbedaan makna dengan kekuasaan
(macht). Pengertian kekuasaan lebih menekankan pada hak untuk berbuat dan
tidak berbuat, sedangkan wewenang lebih menekankan pada hak dan kewajiban
(rechten en plichten).
Mengenai sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan
sangat penting karena berhubungan dengan pertanggungjawaban hukum dan
penggunaan wewenang tertentu. Pada hakikatnya, sumber kewenangan dapat
diperoleh dari peraturan perundang-undangan, baik secara langsung (atribusi),
25
Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, PT.RajaGrafindo Persada,
Jakarta, hal. 98.
26
Ibid.
27
H.Murtir Jeddawi, 2012, Hukum Administrasi Negara, Total Media,
Yogyakarta, hal. 74.
23
ataupun pelimpahan (delegasi dan sub delegasi), serta atas dasar penugasan
(mandat)28. Ketiga jenis kewenangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut29:
a. Atribusi, yaitu pembuat undang-undang memberikan suatu wewenang
pemerintahan kepada organ pemerintah. Bentuk tanggung jawab dan
tanggung gugat terletak pada badan atau jabatan yang diberikan wewenang
tersebut. Kewenangan hanya berhak digunakan oleh badan/jabatan yang
bersangkutan;
b. Delegasi, yaitu peralihan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan (pemberi delegasi) kepada organ pemerintahan lainnya
(penerima delegasi). Peralihan wewenang tersebut harus berdasarkan
peraturan
perundang-undangan.
Pemberi
delegasi
tidak
boleh
menggunakan kewenangan tersebut selama belum ada pencabutan atas
kewenangan tersebut.
c. Mandat, yaitu kewenangan organ pemerintah dijalankan oleh organ lain
atas namanya dan seijinnya. Biasanya mandat ini sering terjadi dalam
hubungan antara atasan dan bawahan. Pemberi maupun penerima mandat
dapat menggunakan kewenangan tersebut, akan tetapi yang bertanggung
jawab atas kewenangan tersebut hanyalah pemberi mandat.
Pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi ini terdapat beberapa
syarat di dalamnya. Adapun syarat – syarat tersebut, antara lain30:
28
Sjachran Basah, 2000, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Pidana
Administrasi Negara, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 66.
29
Ibid.
30
H.Murtir Jeddawi, op.cit, hal. 75.
24
a. Wewenang yang dilimpahkan tidak dapat lagi digunakan oleh pemberi
delegasi;
b. Wewenang yang dilimpahkan hanya dimungkinkan apabila ditentukan
dalam suatu peraturan perundang-undangan;
c. Wewenang yang dilimpahkan tidak berlaku dalam hubungan rutin antara
atasan dan bawahan;
d. Penerima delegasi memiliki hak untuk meminta suatu penjelasan akan
wewenang yang dilimpahkan tersebut kepada pemberi delegasi;
e. Pemberi delegasi memberikan suatu petunjuk akan penggunaan atas
wewenang yang dilimpahkan tersebut kepada penerima delegasi.
Teori kewenangan memiliki relevansi dengan permasalahan mengenai
pengawasan oleh
badan pengawas internal dan eksternal terhadap praktek
pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat
oleh APHT. Dalam hal ini, teori kewenangan digunakan untuk menganalisis
mengenai apa dasar kewenangan badan pengawas eksternal dan internal untuk
mengawasi jalannya kegiatan keuangan yang dilakukan oleh LPD.
4. Teori Good Corporate Governance (GCG) Perbankan Indonesia
Tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), selanjutnya
disebut GCG merupakan struktur yang oleh stakeholder, pemegang saham,
komisaris, dan manajer menyusun tujuan perusahaan dan sarana untuk mencapai
tujuan tersebut dan mengawasi kinerja31. Adapun Center for European Policy
31
Moh Wahyudin Zarkasyi, 2008, Good Corporate Governance Pada Badan
Usaha Manufaktur, Perbankan, dan Jasa Keuangan Lainnya, Alfabeta, Bandung,
hal. 35.
25
Study (CEPS), memformulasikan GCG adalah seluruh sistem yang dibentuk mulai
dari hak (right), proses dan pengendalian baik yang ada di dalam maupun di luar
manajemen perusahaan. Hak yang dimaksud disini adalah hak dari seluruh
stakeholders dan bukan hanya terbatas kepada satu stakeholders saja32.
Menurut Noensi, seorang pakar GCG dari Indo Consult, mendefinisikan GCG
adalah menjalankan dan mengembangkan perusahaan dengan bersih, patuh pada
hukum yang berlaku, dan peduli terhadap lingkungan yang dilandasi dengan nilainilai sosial budaya yang tinggi33. Dalam rangka economy recovery, pemerintah
Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) memperkenalkan dan
mengintroduksi konsep GCG sebagai tata cara kelola perusahaan yang sehat34.
Pedoman GCG Perbankan Indonesia merupakan pelengkap dan bagian yang
tak terpisahkan dari Pedoman Umum GCG yang dikeluarkan oleh Komite
Nasional Kebijakan Corporate Governance dan dimaksudkan sebagai pedoman
khusus bagi perbankan untuk memastikan terciptanya bank dan sistem perbankan
yang sehat35. Sebagai lembaga intermediasi dan lembaga kepercayaan, dalam
melaksanakan kegiatan usahanya bank harus menganut prinsip – prinsip, yaitu36:
a.
Keterbukaan (Transparency)
Bank harus mengungkapkan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas,
akurat dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh stakeholders
sesuai dengan haknya. Prinsip keterbukaan yang dianut oleh bank tidak
32
Adrian Sutedi, 2011, Good Corporate Governance, Sinar Grafika, Jakarta,
(selanjutnya disebut Adrian Sutedi I), hal. 1
33
Ibid.
34
Ibid, hal. 2.
35
Moh Wahyudin Zarkasyi, op.cit, hal. 113
36
Moh Wahyudin Zarkasyi, loc.cit.
26
mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan rahasia bank sesuai
dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku, rahasia jabatan, dan
hak – hak pribadi. Kebijakan bank harus tertulis dan dikomunikasikan kepada
pihak yang berkepentingan (stakeholders) dan yang berhak memperoleh
informasi tentang kebijakan tersebut;
b.
Akuntabilitas (Accountability)
Bank harus menetapkan tanggung jawab yang jelas dari masing – masing
organ organisasi yang selaras dengan visi, misi, sasaran usaha, dan strategi
perusahaan. Bank harus meyakini bahwa semua organ organisasi bank
mempunyai kompetensi sesuai dengan tanggung jawabnya dan memahami
perannya dalam pelaksanaan GCG;
c.
Tanggung Jawab (Responsibility)
Untuk menjaga kelangsungan usahanya, bank harus berpegangan pada 2
(dua) hal penting. Pertama, berpegang pada prinsip kehati – hatian
(prudential banking practise) dan menjamin dilaksanakannya ketentuan yang
berlaku. Kedua, Bank harus bertindak sebagai good corporate citizen
(perusahaan
yang baik) termasuk peduli terhadap lingkungan dan
melaksanakan tanggung jawab sosial;
d.
Independensi (Independency)
Bank harus menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh
stakeholder manapun dan tidak terpengaruh oleh kepentingan sepihak serta
bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest). Bank dalam mengambil
keputusan harus obyektif dan bebas dari segala tekanan dari pihak manapun.
27
e.
Kewajaran (Fairness)
Bank harus senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders
berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran (equal treatment). Bank harus
memberikan kesempatan kepada seluruh stakeholders untuk memberikan
masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan bank serta
mempunyai akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip keterbukaan.
Teori GCG digunakan sebagai pisau analisis terhadap permasalahan kedua,
yaitu mengenai pengawasan dari badan pengawas internal dan eksternal terhadap
praktek pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang
tidak diikat dengan APHT. GCG pada perbankan di Indonesia dapat diterapkan
untuk menciptakan tata kelola LPD yang baik. Tata kelola LPD yang baik, salah
satunya dapat diwujudkan dengan meningkatkan keaktifan dan keikutsertaan
badan pengawas baik internal dan eksternal dalam mengawasi kinerja LPD.
Pengawasan
dari
badan
pengawas
internal
dan
eksternal
merupakan
impelementasi dari prinsip akuntabilitas yang diisyaratkan dalam GCG.
5. Teori The Five Of Credit Analysis (5C’s) dan 7P
Sebelum suatu fasilitas kredit diberikan, LPD harus merasa yakin bahwa kredit
yang diberikan benar – benar akan kembali. Keyakinan tersebut diperoleh dari
hasil penilaian kredit sebelum kredit tersebut disalurkan. Penilaian kredit oleh
bank dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan keyakinan tentang
nasabahnya. Biasanya kriteria penilaian yang harus dilakukan oleh LPD untuk
mendapatkan nasabah yang benar – benar menguntungkan dilakukan dengan
28
analisis 5C’s. Adapun penjelasan untuk analisis 5C’s kredit adalah sebagai
berikut37:
a. Character
Suatu keyakinan bahwa sifat atau watak dari orang – orang yang akan
diberikan kredit benar – benar dapat dipercaya. Hal ini tercermin dari latar
belakang si nasabah baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang
bersifat pribadi.
b. Capacity
Untuk melihat nasabah dalam kemampuannya dalam bidang bisnis juga
dihubungkan dengan pendidikannya, kemampuan bisnis juga diukur dengan
kemampuannya dalam memahami ketentuan - ketentuan pemerintah.
c. Capital
Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif, dilihat dari laporan
keuangan (neraca dan laporan laba rugi) dengan melakukan pengukuran,
seperti dari segi likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, dan ukuran lainnya.
Capital juga harus dilihat dari sumber mana saja modal yang ada sekarang
ini.
d. Collateral
Jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun non
fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan. Jaminan
juga harus diteliti keabsahannya dan dibuatkan suatu perjanjian pengikatan
37
Kasmir, 2011, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hal. 109-110.
29
jaminan sehingga jika terjadi suatu masalah, maka jaminan yang dititipkan
akan dapat dipergunakan secepat mungkin.
e. Condition
Menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi dan politik sekarang
dan di masa akan datang sesuai sektor masing – masing, serta prospek usaha
dari sektor yang dijalankan oleh nasabah. Penilaian prospek bidang usaha
yang dibiayai hendaknya benar – benar memiliki prospek yang baik sehingga
kemungkinan kredit tersebut bermasalah relatif kecil.
Penilaian kredit dengan metode analisis 7P juga dapat diterapkan dalam
memberikan penilaian kepada debitor dalam mengajukan suatu permohonan
kredit. Penilaian kredit dengan metode analisis 7P adalah sebagai berikut38:
a.
Personality, yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah
lakunya sehari - hari maupun masa lalunya.
b.
Party, yaitu mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi tertentu atau
golongan - golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas, serta karakternya.
c.
Perpose, yaitu mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit, termasuk
jenis kredit yang diinginkan nasabah.
d. Prospect, yaitu menilai usaha nasabah di masa yang akan datang
menguntungkan atau tidak, atau dengan kata lain mempunyai prospek atau
sebaliknya.
e.
Payment, yaitu ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit yang
telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk pengembalian kredit.
38
Ibid, hal. 110-111.
30
f.
Profitability, yaitu untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam
mencari laba.
g.
Protection, yaitu bagaimana menjaga agar usaha dan jaminan mendapatkan
perlindungan.
Pihak LPD selaku kreditor seharusnya secara profesional menerapkan prinsip
kehati - hatian yang dikenal dengan prinsip 5C’s dan 7P dalam memberikan kredit
kepada debitor. Prinsip 5C’s dan 7P ini dapat diterapkan sejalan dengan tahapan tahapan yang harus dilalui oleh pihak debitor pada saat mengajukan permohonan
kredit di LPD.
Sertifikat tanah yang diserahkan pihak debitor kepada LPD merupakan bagian
dari unsur collateral yang disyaratkan dalam prinsip 5C’s dan 7P. Sertifikat yang
akan dijadikan jaminan kredit tersebut harus dilakukan pengecekan terhadap
keabsahannya
serta
dibuatkan
perjanjian
pengikatan
jaminan
dengan
menggunakan APHT.
6. Konsep Pengawasan
Schermerhorn mendefinisikan pengawasan sebagai pengambilan tindakan
demi tercapainya hasil yang diharapkan sesuai dengan ukuran yang telah
ditetapkan39. Henry Fayol mengungkapkan bahwa: “Control consist in verifying
whetver everything occurs in comformity with the plan adopted, the instruction
issued and principles established. It has objective to point out weakness and
39
Ernie Tisnawati Sule dan Kurniawan Saefullah, 2005, Pengantar
Manajemen, Kencana, Jakarta, hal. 317.
31
errors in order to rectify then prefent recurrance”40. (Pengawasan mencakup
upaya memeriksa apakah semua terjadi dengan rencana yang ditetapkan, perintah
yang dikeluarkan, dan prinsip yang dianut. Juga dimaksudkan untuk mengetahui
kelemahan dan kesalahan agar dapat dihindari kejadiannya di kemudian hari).
Berdasarkan definisi para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pengawasan
merupakan
tindakan
untuk
mengendalikan
suatu kegiatan
yang sudah
direncanakan, apakah kegiatan tersebut sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan atau sebaliknya. Apabila terjadi pelanggaran, para pihak yang
berwenang
sebagai
controlling
(pengawasan)
berkewajiban
memberikan
pengarahan agar sistem kerja tidak menyimpang dari ketentuan yang telah
ditetapkan.
Konsep pengawasan digunakan sebagai pisau analisis terhadap permasalahan
kedua. Konsep pengawasan memberikan pemahaman bahwa badan pengawas
LPD, baik internal maupun eksternal berkewajiban untuk melakukan suatu
perbaikan dalam menyikapi praktek yang dilakukan oleh LPD, yaitu pemberian
fasilitas kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tanpa diikat APHT.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disusun bagan kerangka berpikir yang
menghubungkan antara latar belakang permasalahan, judul, permasalahan yang
dikaji, penggunaan teori, serta jawaban sementara dari permasalahan. Adapun
kerangka berpikir yang dimaksud adalah sebagai berikut:
40
Sofyan Safri Harahap, 2001, System Pengawasan Manajemen, Penerbit
Quantum, Jakarta, hal. 10.
32
BAGAN KERANGKA BERPIKIR
PENGAWASAN PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT HAK
MILIK ATAS TANAH TANPA AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN PADA
LEMBAGA PERKREDITAN DESA DI KOTA DENPASAR
Pasal 10 ayat (2) UUHT, menyatakan bahwa: “Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang –
undangan yang berlaku”. Namun, dalam kenyataannya terdapat LPD yang dalam proses pemberian
kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT, sehingga
pemberian Hak Tanggungan tidak dapat didaftarkan.
Teori Sistem
Hukum
Teori
Kepastian
Hukum
Teori Sistem
Hukum
Bagaimanakah kedudukan
LPD selaku kreditor dalam
penyelesaian perjanjian
kredit macet dengan jaminan
sertifikat hak milik atas tanah
yang tidak diikat dengan
APHT?
Teori The Five
Of Credit
Analysis dan 7P
Jaminan hak atas tanah yang akan
dibebani hak tanggungan tidak
didaftarkan, maka kedudukan LPD
dalam perjanjian tersebut sebagai
kreditor konkuren (Pasal 1132
KUHPerdata).
Bagaimanakah pelaksanaan
pengawasan dari badan
pengawas internal dan
eksternal terhadap praktek
pemberian kredit oleh LPD
dengan jaminan sertifikat hak
milik atas tanah yang tidak
diikat dengan APHT?
Badan pengawas internal dan
eksternal berwenang untuk
mengawasi baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap
praktek menyimpang yang dilakukan
oleh LPD, yaitu pemberian kredit
dengan jaminan sertifikat hak milik
atas tanah tanpa diikat APHT.
Teori GCG
Perbankan
Indonesia
Teori
Kewenangan
Konsep
Pengawasan
33
Berdasarkan bagan di atas, dapat dijelaskan bahwa pemilihan judul penelitian
Pengawasan Pemberian Kredit Dengan Jaminan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah
Tanpa Akta Pemberian Hak Tanggungan Pada Lembaga Perkreditan Desa Di
Kota Denpasar dilatarbelakangi dengan adanya kesenjangan antara das sollen dan
das sein. Das sollen dalam penelitian ini yaitu Pasal 10 ayat (2) UUHT dan das
sein yaitu kenyataan yang terjadi di LPD.
Pasal 10 ayat (2) UUHT, menyatakan bahwa: “Pemberian Hak Tanggungan
dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai
dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku”. Namun, dalam prakteknya
terdapat LPD dalam memberikan kredit dengan jaminan sertifikat jak milik atas
tanah yang tidak diikat dengan APHT, sehingga pemberian Hak Tanggungan ini
tidak dapat didaftarkan.
Berdasarkan kesenjangan antara das sollen dengan das sein tersebut, maka
dapat dirumuskan 2 (dua) permasalahan. Permasalahan pertama, yaitu
bagaimanakah kedudukan LPD selaku kreditor dalam penyelesaian perjanjian
kredit macet dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat
dengan
APHT.
Permasalahan
kedua,
yaitu
bagaimanakah
pelaksanaan
pengawasan dari badan pengawas internal dan eksternal terhadap praktek
pemberian kredit oleh LPD dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang
tidak diikat dengan APHT.
Permasalahan pertama dianalisis dengan teori sistem hukum, teori kepastian
hukum, dan teori the five of credit analysis (5C’s) dan 7P. Adapun hasil
pembahasannya adalah jaminan hak atas tanah yang akan dibebani hak
34
tanggungan tidak didaftarkan, maka kedudukan LPD dalam perjanjian tersebut
adalah sebagai kreditor konkuren (Pasal 1132 KUHPerdata).
Permasalahan kedua dianalisis dengan teori kewenangan, teori sistem hukum,
teori GCG perbankan Indonesia, dan konsep pengawasan. Adapun hasil
pembahasannya adalah badan pengawas eksternal dan internal berwenang untuk
mengawasi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap praktek
menyimpang yang dilakukan oleh LPD yaitu pemberian kredit dengan jaminan
sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT.
1.6 Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian, data merupakan faktor pendukung untuk mengkaji
suatu permasalahan yang akan diteliti. Data – data yang akan digunakan dapat
diperoleh dengan metode penelitian sebagai berikut:
1.6.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah penelitian hukum empiris
karena beranjak dari adanya kesenjangan antara das sollen dengan das sein, yaitu
dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT menentukan bahwa: “Pemberian Hak Tanggungan
dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku”.
Namun
dalam
kenyataannya terdapat LPD yang dalam proses pemberian kredit dengan sertifikat
hak milik atas tanah tidak menyertai APHT, sehingga pemberian Hak
Tanggungan ini tidak didaftarkan.
35
1.6.2 Jenis Pendekatan
Dalam suatu penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Informasi di
dapat dari berbagai aspek melalui pendekatan guna menjawab isu hukum yang
akan dikaji oleh peneliti. Pendekatan - pendekatan yang digunakan di dalam
penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach),
pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach)41.
Untuk membahas permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian tesis ini,
menggunakan beberapa pendekatan. Adapun pendekatan yang digunakan, yaitu:
1.
Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu pendekatan
yang dilakukan untuk meneliti ketentuan mengenai jaminan hak atas
tanah, khususnya pemberian hak tanggungan yang dilakukan dengan
pembuatan akta APHT, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2)
UUHT.
2.
Pendekatan kasus (case approach), yaitu pendekatan yang dilakukan
untuk meneliti pengawasan pemberian kredit dengan jaminan sertifikat
hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT pada LPD di Kota
Denpasar.
1.6.3 Sifat Penelitian
Penelitian tesis ini bersifat deskriptif karena ingin menggambarkan kenyataan
yang terjadi di LPD Kota Denpasar. Kenyataan tersebut mengenai pengawasan
41
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Prenada Media Group,
Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki II), hal.93.
36
pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat
dengan APHT pada LPD di Kota Denpasar.
Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu
individu, gejala, keadaan, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada
tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.
Dalam penelitian ini teori – teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, dan
literatur sudah mulai ada dan bahkan jumlahnya cukup memadai sehingga dalam
penelitian ini hipotesis boleh ada dan boleh juga tidak.
1.6.4 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ditentukan secara purposive, yaitu pada LPD di Kota
Denpasar. Adapun yang menjadi pertimbangan bahwa terdapat LPD yang
memberikan fasilitas kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang
tidak diikat dengan APHT. Di samping itu, faktor lokasi antara LPD dengan
kantor-kantor PPAT yang cukup berdekatan juga menjadi pertimbangan
pemilihan LPD di Kota Denpasar.
1.6.5 Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari 2 (dua) jenis data.
Adapun 2 (dua) jenis data yang digunakan, yaitu:
a.
Data primer
Data primer bersumber dari penelitian yang langsung dilaksanakan di
LPD Kota Denpasar. Data yang didapat secara langsung merupakan
informasi yang diberikan oleh para informan, yaitu Kepala LPD se-Kota
Denpasar.
37
b.
Data sekunder
Data sekunder bersumber dari data – data yang sudah terdokumenkan
dalam bentuk bahan – bahan hukum. Bahan hukum yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu:
1.
Bahan hukum primer
Bahan hukum primer bersumber dari peraturan perundangundangan yang terkait dengan permasalahan yang dikaji. Peraturan
perundang – undangan tersebut, antara lain:
a.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
b.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3632).
c.
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan dari Undang – Undang No.7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor. 182, Tambahan Lembaran Negara
Nomor. 3790).
d.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999
Tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3843);
38
e.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3889);
f.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4357);
g.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4432);
h.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Tahun
2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5253);
i.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696);
39
j.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun
1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3746);
k.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang
Lembaga Perkreditan Desa (Lembaran Daerah Provinsi Bali
Nomor. 20 Tahun 2002, Tambahan Lembaran Daerah
Provinsi Bali Nomor 3);
l.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2007 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8
Tahun 2002 Tentang Lembaga Perkreditan Desa (Lembaran
Daerah Provinsi Bali Tahun 2007 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3);
m.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor
8 Tahun 2002 Tentang Lembaga Perkreditan Desa (Lembaran
Daerah Provinsi Bali Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan
Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4);
n.
Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2008 Tentang
Pengurus Dan Pengawas Internal Lembaga Perkreditan Desa
(Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2008 Nomor 16);
40
o.
Keputusan Gubernur Bali Nomor 95/01-C/HK/2003 Tentang
Pelimpahan Wewenang Pengawasan Lembaga Perkreditan
Desa Di Provinsi Bali Kepada Bank Pembangunan Daerah
Bali;
p.
Peraturan Walikota Denpasar Nomor 40 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Pembinaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Di
Kota Denpasar (Berita Daerah Kota Denpasar Tahun 2006
Nomor 37);
q.
Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/109/HK/2012
Tentang Monitoring Dan Evaluasi Lembaga Perkreditan Desa
Kota Denpasar Tahun 2012;
r.
Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/689/HK/2012
Tentang Pembentukan Tim Pengawas Internal Lembaga
Perkreditan Desa Kota Denpasar Tahun 2012.
2.
Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder bersumber dari literatur-literatur, makalahmakalah, atau hasil penelitian yang berkaitan dengan permasalahan
yang diteliti.
1.6.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer atau data lapangan dalam penelitian ini
adalah menggunakan metode wawancara. Wawancara atau interview adalah
situasi antara pribadi bertatap muka (face to face) ketika seseorang yakni
pewawancara mengajukan pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban
41
yang relevan dengan masalah penelitian42. Secara umum, wawancara dapat dibagi
ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu standardized interview (wawancara berencana) dan
unstandardized interview (wawancara tidak berencana)43.
Model wawancara berencana biasanya daftar pertanyaan (kuesioner) telah
disiapkan sebelumnya dan disusun secara sistematis. Kuesioner yang terstruktur
dan sistematis ini kemudian oleh pewawancara ditanyakan kepada responden
dengan cara membacakannya kepada responden untuk dijawab. Semua responden
yang terpilih diajukan kuesioner yang sama, kata-kata sama dengan pola dan
sistematika yang seragam44.
Sebaliknya, wawancara tidak berencana adalah wawancara yang sebelumnya
tidak dibekali dengan persiapan penyusunan daftar pertanyaan secara terpola dan
sistematis yang mengharuskan dipatuhi pewawancara. Namun demikian tidak
berarti wawancara model ini dapat dilakukan asal-asalan, lebih mudah dilakukan,
dan apalagi tidak berkualitas45. Dalam penelitian ini dipergunakan teknik
wawancara berencana, pertanyaan yang diajukan dalam wawancara kemudian
dikembangkan lagi dengan cara memperdalam keterangan yang diberikan oleh
informan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang lebih
kompleks dan mendetail mengenai permasalahan yang akan diteliti.
Adapun yang diwawancarai dalam penelitian ini diantaranya adalah beberapa
informan yaitu para Kepala LPD di Kota Denpasar.Untuk pengumpulan data
42
Amirudin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 82.
43
Bagong Suyanto dan Sutinah, 2011, Metode Penelitian Sosial, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hal. 77.
44
Ibid.
45
Ibid.
42
sekunder atau data kepustakaan adalah digunakan teknik mencari dan
mengumpulkan buku–buku literatur terkait permasalahan yang dikaji serta
membaca dan memahami literatur tersebut.
1.6.7 Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Dalam penelitian ini akan menggunakan teknik pengambilan sampel dari
sejumlah populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh LPD di Kota
Denpasar, yaitu berjumlah 35 (tiga puluh lima) LPD yang berlokasi di Kecamatan
Denpasar Utara, Denpasar Timur, Denpasar Selatan, dan Denpasar Barat46. Di
masing – masing kecamatan akan diambil sampel secara purposive dengan teknik
snowball sampling, yaitu penelitian akan dihentikan apabila data dari ke- 35
(tigapuluh lima) populasi tersebut telah menunjukkan titik jenuh.
1.6.8 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Dalam penelitian ini data dianalisis secara kualitatif atau juga sering dikenal
dengan analisis deskriptif kualitatif. Keseluruhan data yang terkumpul baik dari
data primer maupun data sekunder, diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan,
kemudian dianalisis dengan teori dan konsep
yang relevan, sehingga dapat
menjawab permasalahan yang akan diteliti dan akhirnya data tersebut disajikan
secara deskriptif kualitatif dan sistematis.
46
http://bankdata.denpasarkota.go.id/bankdata/LPD_2010.pdf, diakses tanggal
4 Maret 2013.
43
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit di LPD
2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Kredit
Perjanjian sebagaimana didefinisikan oleh ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata
berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Perjanjian memiliki
kekuatan mengikat bagi para pihak yang terlibat di dalamnya untuk dapat
melaksanakan hak dan kewajiban. Perjanjian ditujukan untuk memperjelas
hubungan hukum dan memberikan kepastian dalam penyelesaian suatu
sengketa47.
Handri Raharjo melakukan penyempurnaan terhadap definisi perjanjian
dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut di atas. Handri Raharjo mengungkapkan
bahwa perjanjian sebagai berikut48:
Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat
antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, di antara mereka (para
pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang
satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban
untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah
disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.
47
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi
Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Ke Dalam Perancangan Kontrak,
Udayana University Press, Denpasar, hal. 28.
48
Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, hal. 42.
44
Van Dunne dalam teori barunya tidak hanya melihat perjanjian semata-mata,
tetapi juga melihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya.
Pembuatan suatu perjanjian dapat dilakukan dengan 3 (tiga) tahap, yaitu49:
a. Tahap pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan;
b. Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara
para pihak;
c. Tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.
Linda A. Spagnola memberikan pendapatnya mengenai perjanjian. Linda A.
Spagnola mengungkapkan bahwa: “A contract must be certain in its terms . It is
generally accepted that there are four elements that must be certain in a contract
in order for there to be a valid offer: parties, price, subject matter, and time for
performance”50. (Persyaratan-persyaratan sebuah kontrak harus pasti. Agar
sebuah kontrak dapat dikatakan sah, ada empat elemen yang pada umumnya
diterima sebagai sesuatu yang harus pasti dalam sebuah kontrak, yaitu: para pihak,
harga, permasalahan dan waktu pelaksanaannya).
Istilah perjanjian atau kontrak dalam sistem hukum nasional memiliki
pengertian yang sama. Roger Vickery dan Wayne Pendleton mengungkapkan
pendapatnya mengenai kontrak, bahwa:
A valid contract is an agreement made between two or more parties (including
bussiness organisations) that creates rights and obligations that are
enforceable by law. People may make hundreds of thousands of agreement in
49
Salim HS, 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika,
Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim. HS II), hal. 161.
50
Linda A. Spagnola, 2008, Contacts For Paralegals (Legal Principles and
Practical Applications), McGraw-Hill Companies, United States, hal. 4.
45
their lifetime, but only some will be classified as contracts and not all of these
will be valid and legally enforceable51.
(Sebuah kontrak yang sah merupakan perjanjian yang dibuat diantara dua atau
lebih pihak (termasuk badan usaha) yang menciptakan hak dan kewajiban yang
dapat dilaksanakan menurut hukum yang berlaku. Orang dapat membuat
ratusan ribu kesepakatan selama masa hidupnya, tetapi hanya beberapa yang
dapat digolongkan sebagai kontrak atau tidak semua yang digolongkan sebagai
kontrak ini resmi dan dapat dilaksanakan secara sah).
H. Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis mengungkapkan bahwa:
“Perjanjian adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang atau beberapa
orang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya untuk melakukan sesuatu
perbuatan tertentu. Di dalam hukum kalau perbuatan itu mempunyai akibat
hukum maka perbuatan tersebut diistilahkan dengan perbuatan hukum”52.
Pengertian perjanjian juga dikemukakan oleh pakar lainnya. Subekti
mengatakan bahwa: “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji
terhadap seseorang lainnya lainnya atau dimana kedua orang tersebut saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal”53.
Budiono Kusumohamidjojo menyatakan bahwa: “Dalam sistem common law,
perjanjian dipahami sebagai perjumpaan nalar, yang lebih merupakan perjumpaan
pendapat atau ketetapan maksud. Perjanjian adalah perjumpaan dari dua atau lebih
nalar tentang suatu hal yang telah dilakukan atau yang akan dilakukan”54.
51
Roger Vickery and Wayne Pendleton, 2003, Australian Business Law
Principles & Applications, Pearson Education Australia, New South Wales, hal.
186.
52
H. Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian
Dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 1.
53
Subekti dalam Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis
Dalam Perspektif Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung, hal. 41.
54
Budiono Kusumohamidjojo, 2001, Panduan Untuk Merancang Kontrak,
Grasindo, Jakarta, hal. 6.
46
Dalam
perkembangannya
pengertian
perjanjian
banyak
mengalami
perubahan. Hal ini dapat dilihat dari definisi Hofmann yang menyatakan perikatan
adalah: “Suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum
sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitor atau
para debitor) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu
terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu”55.
Istilah perjanjian juga dapat disamakan dengan kontrak. Sehubungan dengan
definisi kontrak, Catherine Elliott dan Frances Quinn berpendapat bahwa:
Normally a contract is formed when an effective acceptance has been
communicated to be offeree. A communication will be treated as an offer if it
indicates the terms on which the offeror is prepared to make a contract (such
as the price of the goods for sale), and gives a clear indication that the offeror
intends to be bound by those terms if they are accepted by the offeree.
Acceptance of an offer means unconditional agreement to all the terms of that
offer56.
(Biasanya sebuah kontrak terbentuk ketika penerimaan efektif telah
dikomunikasikan kepada pihak penerima penawaran. Komunikasi akan
dianggap sebagai penawaran apabila penawaran tersebut memuat persyaratanpersyaratan yang dibuat oleh pihak yang menawarkan untuk membuat sebuah
kontrak (misalnya, harga barang yang akan dijual), dan memberikan
pernyataan yang jelas bahwa pihak yang menawarkan bermaksud untuk terikat
dengan persyaratan-persyaratan tersebut apabila persyaratan-persyaratan
tersebut diterima oleh pihak penerima penawaran. Penerimaan suatu
penawaran berarti kesepakatan tanpa syarat terhadap semua persyaratan yang
ditawarkan tersebut).
Pengertian kredit yang diatur dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang
Perbankan. Pasal 1 angka 11 Undang – Undang Perbankan, menyatakan bahwa:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
55
Hofmann dalam Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak
Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma, dan Kesesatan Penalaran dalam
UUHT), LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hal. 133.
56
Catherine Elliott and Frances Quinn, 2005, Contract Law, Perason
Education Limited, England, hal.10.
47
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Definisi kredit yang tercantum dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang
Perbankan tersebut di atas mencerminkan bahwa dasar dari perjanjian kredit
adalah perjanjian pinjam meminjam di dalam KUHPerdata. Pasal 1754
KUHPerdata menyatakan bahwa:
Perjanjian pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini
akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama
pula.
Marian Darus Badrulzaman menentang pernyataan yang dikemukan oleh
Marhaenis Abdul Hay mengenai perjanjian kredit mendekati perjanjian pinjam
meminjam yang termaktub di dalam Pasal 1754 KUHPerdata. Mariam Darus
Badrulzaman mengungkapkan bahwa perjanjian kredit adalah kesepakatan antara
pihak pemberi dan penerima kredit yang mendahului perjanjian penyerahan
uang57.
Winedsheid berpendapat bahwa perjanjian kredit adalah: “perjanjian dengan
syarat tangguh (condition prestart) yang pemenuhannya bergantung pada
peminjam yakni kalau penerima kredit menerima dan mengambil pinjaman itu”58.
Pengertian perjanjian seperti yang dikemukakan oleh Winedsheid diatur dalam
Pasal 1253 KUHPerdata.
57
Neni Sri Imaniyati, 2010, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia,
PT.Refika Aditama, Bandung, hal. 146.
58
Ibid, hal. 145.
48
Berbeda halnya dengan Goudekte yang mengungkapkan bahwa: “Perjanjian
kredit yang di dalamnya terdapat perjanjian pinjam uang adalah perjanjian yang
bersifat konsensual dan obligatoir. Perjanjiian ini mempunyai kekuatan mengikat
sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata”59.
Munir Fuady juga memberikan kritik terhadap pernyataan yang dikemukakan
oleh Marhaenis Abdul Hay mengenai perjanjian kredit mendekati perjanjian
pinjam meminjam yang termaktub di dalam Pasal 1754 KUHPerdata. Munir
Fuady menegaskan bahwa60:
Sifat perjanjian kredit bukanlah perjanjian pinjam pakai habis yang tunduk
pada Pasal 1754 KUHPerdata melainkan merupakan kelompok perjanjian
umum (tidak bernama) yang tunduk pada ketentuan - ketentuan umum tentang
perjanjian ditambah dengan ketentuan dalam pasal - pasal kontrak dan
kebiasaan dalam praktek yurisprudensi.
Secara sederhana dapat pula dikemukakan bahwa kredit adalah kepercayaan
antara pihak kreditor dan pihak debitor. Jadi apa yang disepakati wajib untuk
ditaati. Dari definisi tersebut tampak bahwa suatu hubungan hukum antara pihak
kreditor dan pihak debitor berawal dari adanya suatu perjanjian yang dalam
praktek lebih dikenal dengan sebutan perjanjian kredit bank61.
Beranjak dari beberapa definisi di atas, dapat diuraikan bahwa kredit
memiliki beberapa unsur. Adapun unsur – unsur tersebut, antara lain62:
59
Ibid.
Ibid, hal. 146.
61
Sentosa Sembiring, 2008, Hukum Perbankan, Mandar Maju, Bandung,
(selanjutnya disingkat Sentosa Sembiring II), hal. 51.
62
Nasroen Yasabari dan Nina Kurnia Dewi, 2007, Penjaminan Kredit,
Mengantar UKMK Mengakses Pembiayaan, PT. Alumni, Bandung, hal. 8-9.
60
49
a.
Kepercayaan adalah keyakinan dari pihak kreditor dalam hal pengembalian
uang, barang, dan jasa yang akan dilakukan oleh pihak debitor berdasarkan
atas jangka waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
b.
Waktu merupakan unsur yang memberikan pemahaman bahwa nilai uang
yang ada saat ini akan menjadi lebih tinggi di masa yang akan datang karena
suatu masa yang mengakibatkan pemisahan antara pemberian prestasi dengan
kontraprestasi.
c.
Resiko adalah suatu akibat yang ditimbulkan dari adanya waktu yang cukup
lama dari prestasi dan kontraprestasi yang akan diterima di masa akan datang.
Jadi, tingkat resiko sangat ditentukan oleh lamanya jangka waktu yang
ditetapkan saat pemberian kredit. Timbulnya resiko yang tinggi menyebabkan
adanya jaminan dalam pemberian kredit.
d.
Prestasi adalah suatu benda yang dijadikan objek transaksi kredit oleh pihak
kreditor dan debitor. Uang merupakan obyek transaksi kredit yang paling
umum digunakan oleh pihak kreditor dan debitor dalam praktek perkreditan.
e.
Bunga atau margin merupakan jumlah perhitungan dari beberapa elemen,
meliputi biaya modal (cost of fund), biaya umum (overhead cost), serta biaya
atau premi risiko yang berperan sebagai kompensasi bagi pemberi kredit.
2.1.2 Asas dan Syarat Sahnya Perjanjian Kredit
Dalam hukum perjanjian dikenal ada beberapa macam asas. Adapun asasasas yang melatarbelakangi pembuatan perjanjian kredit, yaitu63:
63
Gatot Supramono I, op.cit, hal. 164-165.
50
a.
Asas konsensualisme
Konsensualisme merupakan kesepakatan. Perjanjian lahir atau terjadi dengan
adanya kata sepakat dari para pihak yang akan mengadakan suatu perjanjian.
Kesepakatan dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan para pihak yang
menjadikan perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak yang terlibat di
dalamnya. Asas ini dijumpai dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata.
b.
Asas kebebasan berkontrak
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan membuat
perjanjian mempunyai kebebasan untuk menentukan isi yang akan dituangkan
dalam perjanjian yang akan dibuat asalkan tidak bertentangan dengan kepatutan,
kebiasaan, dan undang-undang. Asas inilah yang menyebabkan suatu perjanjian
bersifat terbuka. Asas ini termaktub dalam Pasal 1339 KUHPerdata.
c.
Asas kepribadian
Pada umumnya seseorang hanya diperbolehkan mengikatkan dirinya sendiri
dalam suatu perjanjian. Adapun konsekuensi dari diterapkannya asas ini adalah
tidak dimungkinkannya pihak ketiga untuk turut serta dalam pembuatan perjanjian
karena pihak tersebut berada di luar perjanjian. Asas ini tercantum di dalam Pasal
1315 KUHPerdata.
d.
Asas itikad baik
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Para pihak yang terlibat
dalam suatu perjanjian harus melaksanakan substansi yang tercantum di dalam
perjanjian yang telah mereka sepakati dengan penuh kejujuran agar sesuai dengan
51
maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut. Asas itikad baik tercantum dalam
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.
e.
Asas keadilan
Asas keadilan menekankan kepada substansi dalam perjanjian yang dibuat
oleh kedua belah pihak harus mencerminkan adanya keseimbangan antara hak dan
kewajiban sehingga perjanjian yang akan dibuat tidak menimbulkan kesan
tumpang tindih yang dapat merugikan salah satu pihak. Asas ini diatur dalam
Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata.
f.
Asas kepatutan
Selain memperhatikan ketentuan dalam undang-undang, suatu perjanjian
yang akan dibuat oleh para pihak hendaknya juga memperhatikan kebiasaan,
kesopanan, dan kepantasan yang berlaku di dalam masyarakat sehingga perjanjian
itu dibuat secara patut. Asas kepatutan diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata.
g.
Asas kepercayaan
Asas kepercayaan juga penting untuk diimplementasikan dalam suatu
perjanjian. Kepercayaan mengandung arti bahwa para pihak yang terlibat dalam
suatu perjanjian harus saling percaya satu dengan yang lainnya dalam memenuhi
kewajiban seperti yang tercantum di dalam perjanjian.
Suatu perjanjian kredit disebut sah dan dapat dipertanggungjawabkan apabila
telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Pasal 1320 KUHPerdata.
Syarat-syarat tersebut terdapat 4 (empat) macam, yaitu:
52
1.
Kesepakatan
Menurut Riduan Syahrani, kesepakatan mengandung makna bahwa: “Para
pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau
saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak
dengan tidak ada paksaan, kekeliruan, dan penipuan”64. Sahnya kata sepakat juga
perlu dilihat dari segi proses pembentukan kehendak tersebut. Pasal 1321
KUHPerdata, menentukan bahwa: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu
diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan dan penipuan”.
Adapun unsur kesepakatan terdiri dari offerte (penawaran) dan acceptasi
(penerimaan)65. “Two essential elements of a contract are: (1) an offer, either
expressed or implied; and (2) an acceptance, either expressed or implied66.Offer a
definite promise to be bound provided that certain specified terms are accepted.
An acceptance is a final and unqualified assent to all the terms are accepted67”.
(Dua elemen penting dalam kontrak, yaitu: (1) penawaran yang dinyatakan secara
tersurat atau tersirat; dan (2) penerimaan yang dinyatakan secara tersurat atau
tersirat. Penawaran janji tertentu untuk terikat akan berlaku apabila persyaratanpersyaratan
tertentu
yang
dinyatakan
diterima.
Penerimaan
merupakan
persetujuan final dan tanpa syarat terhadap semua persyaratan yang diterima).
64
Riduan Syahrani, 2006, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata,
PT.Alumni, Bandung, hal. 205.
65
Handri Raharjo, op.cit, hal. 47.
66
John D. Ashcroft and Janet E. Ashcroft, 2008, Law Bussiness, Thomson
Eiger Education, USA, hal. 55.
67
Cavendish, 2004, Contract Law, Cavendish Publishing Limited, Great
Britain, hal. 2.
53
2.
Kecakapan
Kecakapan merupakan kemampuan para pihak untuk melakukan suatu
perbuatan hukum. Untuk melakukan perbuatan hukum, para pihak tidak hanya
memiliki hak dan kewajiban, tetapi juga harus didukung oleh kecakapan.
Pentingnya arti kecakapan menurut hukum tentunya mempunyai 2 (dua)
maksud, yaitu pertama, maksud yang dilihat dari sudut rasa keadilan, yaitu
perlunya orang yang membuat perjanjian mempunyai cukup kemampuan untuk
menginsyafi secara benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan
perbuatan tersebut. Dan kedua, maksud yang dilihat dari sudut ketertiban
umum, yang berarti orang yang membuat perjanjian itu berarti
mempertaruhkan kekayaannya. Artinya, orang tersebut harus seorang yang
sungguh-sungguh berhak bebas berbuat atas harta kekayaannya68.
Dalam KUHPerdata tidak menentukan orang yang cakap bertindak secara
hukum, namun sebaliknya menentukan orang-orang yang tidak memiliki
kecakapan. Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
Tak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah:
a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c. Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan undang-undang, dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat persetujuan-persetujuan tertentu.
Seseorang dapat melakukan suatu perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa.
Untuk mengetahui tingkat kedewasaan seseorang, terdapat beberapa peraturan
yang dapat dijadikan acuan, yaitu69:
a.
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
68
Richard Burton Simatupang, 2007, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka
Cipta, Jakarta, hal. 29.
69
Gatot Supramono I, op.cit, hal. 169.
54
Lembaran Negara Nomor 3019), selanjutnya disebut Undang-Undang
Perkawinan menyebutkan bahwa: “Untuk melangsungkan perkawinan
seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus
mendapat izin kedua orang tua”.
b.
Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979
Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143),
menyatakan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21
(duapuluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.
c.
Pasal 330 KUHPerdata mengatur tingkat kedewasaan seseorang, yaitu:
Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap duapuluh satu
tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap duapuluh satu
tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua,
berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur
dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam dalam bab ini.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
seseorang yang berumur 21 (dua puluh satu) tahun ke atas disebut dewasa, kecuali
di bawah umur tersebut yang bersangkutan pernah kawin. Orang yang belum
berumur 21 (duapuluh satu) tahun dikatakan sudah dewasa, dengan perkawinan
itu pasangan suami istri telah memiliki rumah tangga sendiri dan cakap bertindak
sebagai orang dewasa70.
Mengenai orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan diatur dalam Pasal
433 KUHPerdata. Pasal 433 KUHPerdata menyatakan bahwa:
70
Gatot Supramono I, loc.cit.
55
Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau
mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang
cakap mempergunakan pikirannya.
Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena
keborosannya.
Dalam KUHPerdata mengatur tentang orang perempuan tidak cakap
melakukan perbuatan hukum. Namun, dalam perkembangan hukum keadaan telah
mengubah kedudukan wanita menjadi sama dengan kedudukan kaum pria. Di
negara Belanda sendiri sejak tahun 1958 telah memiliki KUHPerdata yang baru,
wanita telah cakap melakukan perbuatan hukum71.
Kedudukan antara kaum wanita dan pria diatur di dalam Pasal 31 Undang –
Undang Perkawinan. Ketentuan dalam Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan
menetapkan bahwa:
(1)Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat;
(2)Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum;
(3)Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan tersebut di atas,
maka suami istri berhak melakukan perbuatan hukum, sehingga sekarang wanita
sudah cakap untuk membuat perjanjian. Hal ini juga dapat dijumpai dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3277)72.
71
72
Gatot Supramono I, op.cit, hal. 170.
Gatot Supramono I, loc.cit.
56
3.
Suatu hal tertentu
Syarat ketiga mengenai sahnya perjanjian adalah hal tertentu. Hal tertentu
menyangkut objek perjanjian, baik berupa barang dan jasa yang dapat dinilai
dengan uang. Pasal 1132 KUHPerdata menentukan bahwa: “Hanya barang-barang
yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan”. Hal itu berarti
pokok perjanjian harus dapat dinilai dengan uang atau setidaknya sanksi atas
pelanggaran perjanjian adalah ganti rugi uang atau benda yang bernilai uang73.
Ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata juga mengatur mengenai objek perjanjian
harus tertentu. Pasal 1333 KUHPerdata, menentukan bahwa: “Suatu persetujuan
harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan
jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal
jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”. Berdasarkan subtansi dari
Pasal 1333 KUHPerdata tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam perjanjian
harus jelas apa yang menjadi objeknya dengan tujuan agar perjanjian dapat
dilaksanakan dengan baik74.
4.
Suatu sebab yang halal
Sebab yang dimaksud disini adalah isi perjanjian itu sendiri atau tujuan dari
para pihak yang mengadakan perjanjian75. Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan
bahwa: “Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”.
73
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, hal. 58.
Gatot Supramono I, loc.cit.
75
I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit, hal. 57.
74
57
Apabila keempat syarat perjanjian tersebut tidak terpenuhi, maka akan
menimbulkan akibat hukum bagi suatu perjanjian. Apabila para pihak tidak
memenuhi syarat pertama dan kedua sahnya perjanjian, maka perjanjian yang
dibuat dapat dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat mengajukan kepada
pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya76. Begitu juga
dengan tidak terpenuhinya syarat sahnya perjanjian yang ketiga dan keempat,
maka perjanjian yang dibuat menjadi batal demi hukum. Artinya, dari semula
perjanjian itu dianggap tidak ada77.
Selain harus memenuhi keempat syarat sahnya perjanjian. Pembuatan
perjanjian kredit juga harus memenuhi unsur-unsur perjanjian. Adapun unsurunsur perjanjian tersebut meliputi78:
a.
Unsur essensialia adalah unsur mutlak yang harus ada dalam pembuatan suatu
perjanjian kredit. Misalnya, jumlah hutang pokok yang dipinjam oleh debitor.
Jika jumlah hutang pokok tidak dicantumkan, maka perjanjian kredit ini tidak
bermakna apa-apa.
b.
Unsur naturalia adalah unsur yang selalu dianggap ada dalam perjanjian
walaupun para pihak tidak menuangkannya dalam perjanjian. Namun, unsur
naturalia sudah diatur di dalam undang-undang.
76
H.Salim HS, H.Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, 2008, Perancangan
Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, hal.
11.
77
Ibid.
78
R.Soeroso, 2010, Perjanjian di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan
dan Aplikasi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal.16-17.
58
c.
Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap yang dapat mengikat kedua belah
pihak yang terlibat dalam perjanjian, jika kedua belah pihak menghendaki
adanya unsur tersebut.
2.1.3 Bentuk Perjanjian Kredit
Dalam praktek sehari-hari yang dilakukan oleh pihak kreditor dan debitor
tentunya dihadapkan oleh bentuk-bentuk perjanjian kredit. Perjanjian kredit dapat
digolongkan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu:
a.
Perjanjian kredit dengan akta otentik
Dalam Black Law Dictionary, yang diartikan dengan akta otentik atau acte
authentique adalah: “A deed executed with certain prescribed formalities, in the
presence, of notary, mayor, greffer, or functionary qualified to act in the place in
which it is drawn up”. (Akta yang dibuat dengan beberapa formalitas tertentu,
dihadapan seorang notaris, walikota, panitera, atau pejabat yang memenuhi syarat
sesuai dengan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan)79.
Definisi dari akta notariil diatur dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4432), selanjutnya disebut UUJN. Pasal 1 angka 7 UUJN
menyatakan bahwa: “Akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau
dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undangundang ini”.
79
H.Salim HS, H.Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, op.cit, hal. 33.
59
Akta notaris sebagaimana diuraikan di dalam UUJN tersebut di atas
mempunyai sifat otentik. Pasal 1870 KUHPerdata, menentukan bahwa: “Suatu
akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau
orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang
apa yang dimuat di dalamnya”.
Selain diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata, akta otentik juga diatur dalam
Pasal 1868 KUHPerdata sehingga kedua pasal ini saling bertalian satu sama lain.
Pasal 1868 KUHPerdata, menyatakan bahwa: “Suatu akta otentik ialah suatu akta
yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau
dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta
dibuatnya”.
Akta notaris selain sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
sesuai dengan bunyi Pasal 1337 Jo Pasal 1338 KUHPerdata, juga merupakan
salah satu alat bukti tertulis sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1866
KUHPerdata. Pasal 1866 tertulis sebagai berikut: “Alat-alat bukti terdiri atas:
Bukti tulisan; bukti dengan saksi-saksi; persangkaan-persangkaan; pengakuan;
sumpah. Segala sesuatu dengan mengindahkan aturan-aturan yang ditetapkan
dalam bab-bab berikut”.
Akta notaris adalah akta otentik yang memiliki kekuatan hukum dengan
jaminan kepastian hukum sebagai alat bukti tulisan yang sempurna (volledig
bewijs), tidak memerlukan tambahan alat pembuktian lain, dan hakim terikat
karenanya. Grosse akta notaris kedudukannya sama dengan vonis keputusan
60
hakim yang tetap dan pasti (inkracht van gewijsde) dan mempunyai kekuatan
eksekutorial80.
K. Wantjik Saleh memberikan tanggapan mengenai akta otentik sebagai alat
pembuktian yang sempurna. K. Wantjik Saleh mengungkapkan bahwa81:
Menurut undang-undang suatu akta resmi mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak memajukan suatu
akta resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap bahwa apa yang
dituliskan di dalam akta itu sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim
tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Dikemukakan pula oleh Irawan Soerodjo, bahwa terdapat 3 (tiga) unsur
esensialia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik. Ketiga unsur
essensalia tersebut, yaitu82:
1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
2. Dibuat oleh dan dihadapan Pejabat Umum;
3. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang
untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.
Keotentikan suatu akta tidak cukup hanya dibuat oleh pejabat yang
berwenang akan tetapi pembuatannya juga harus memenuhi syarat dan ketentuan
yang ditetapkan oleh undang-undang. Suatu akta yang dibuat oleh notaris akan
kehilangan otentisitasnya jika akta itu tidak memenuhi syarat bentuk
(vormvoorschrift) sebagaimana ditentukan oleh undang-undang83.
80
Andi Prajitno, 2010, Pengetahuan Praktis tentang Apa dan Siapa Notaris di
Indonesia, CV. Putra Media Nusantara, Surabaya, hal. 51.
81
Ibid.
82
Irawan Soerodjo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia,
Arloka, Surabaya, hal. 148.
83
H.Husni Tamrin, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris,
LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hal. 12.
61
Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta otentik harus mengikuti
syarat bentuk akta yang diatur di dalam Pasal 38 UUJN. Adapun syarat bentuk
akta yang termuat di dalam Pasal 38 ayat (1, 2, 3, dan 4) UUJN, adalah sebagai
berikut:
(1)Setiap akta Notaris terdiri atas:
a. awal akta atau kepala akta;
b. badan akta; dan
c. akhir atau penutup akta.
(2)Awal akta atau kepala akta memuat:
a. judul akta;
b. nomor akta;
c. jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan notaris
(3)Badan akta memuat:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,
jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang
mereka wakili;
b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang
berkepentingan; dan
d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan serta jabatan,
kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
(4)Akhir atau penutup akta memuat:
a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) huruf l atau pasal 16 ayat (7);
b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau
penerjemahan akta apabila ada;
c. nama lengkap, tempat tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan
tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan
akta atau uraikan tentang adanya perubahan yang dapat berupa
penambahan, pencoretan, atau penggantian.
Jadi, perjanjian kredit yang dibuat oleh notaris harus mengikuti bentuk akta yang
telah ditentukan dalam Pasal 38 UUJN. Hal ini bertujuan untuk memudahkan
proses pembuktian apabila di kemudian hari terjadi perselisihan antara pihak
debitor dengan kreditor karena perjanjian kredit dalam bentuk akta otentik
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.
62
Otentisitas suatu akta dapat ditentang hanya berdasarkan alasan kepalsuan84.
Hal ini tercantum di dalam Pasal 1872 KUHPerdata, menyatakan bahwa: “Jika
suatu akta otentik, yang berupa apa saja, dipersangkakan palsu, maka
pelaksanaannya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan Reglemen
Acara Perdata”.
Kepalsuan yang tercantum di dalam Pasal 1872 KUHPerdata dapat terjadi
dalam 2 (dua) kemungkinan, yaitu kepalsuan yang dilakukan oleh pejabat
pembuat akta dan kepalsuan yang dilakukan oleh pihak tertentu setelah akta
dibuat. Kepalsuan yang pertama disebut sebagai kepalsuan intelektual karena
dilakukan oleh orang (pejabat) yang mempunyai pengetahuan, sedangkan
kepalsuan kedua merupakan kejahatan biasa (pemalsuan akta) yang dapat
dilalukakan oleh siapa saja85.
b.
Perjanjian kredit di bawah tangan
Pengertian akta di bawah tangan (onderhandse acte) adalah akta yang sengaja
dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari pejabat umum yang
berwenang. Akta demikian dibuat semata-mata oleh para pihak yang
berkepentingan86.
Akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna layaknya akta otentik apabila para pihak mengakuinya dan tidak ada
84
Ibid.
Ibid, hal. 15.
86
R. Soeroso, op. cit, hal.8.
85
63
penyangkalan dari salah satu pihak87. Hal ini dapat tercantum di dalam Pasal 1875
KUHPerdata. Pasal 1875 KUHPerdata, menyatakan bahwa:
Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu
hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap
sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya
serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak daripada mereka,
bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik dan demikian pula berlakulah
ketentuan Pasal 1871 untuk tulisan itu.
Perjanjian kredit pada umumnya dibuat di bawah tangan dengan bentuk
perjanjian baku atau istilah dalam bahasa Inggrisnya disebut standard contract.
Mariam Badrulzaman mengemukakan pendapatnya mengenai standard contract,
yaitu: “Suatu kontrak yang isinya telah ditentukan oleh pihak kreditor kemudian
diserahkan kepada pihak debitor”88. Sutan Remy Sjahdeini juga memberikan
pengertian mengenai perjanjian baku. Perjanjian baku adalah perjanjian yang di
dalamnya mengandung klausula – klausula yang telah ditetapkan oleh pihak
pertama, sehingga pihak kedua atau pihak lainnya tidak memiliki kesempatan
untuk melakukan suatu perubahan terhadap isi perjanjian tersebut, kecuali hal-hal
yang menyangkut mengenai identitas dari objek perjanjian tersebut89.
Perjanjian baku dibuat untuk menghemat waktu dan tidak memerlukan waktu
yang lama untuk melakukan negosiasi antara pihak kreditor dan debitor. Jadi,
87
Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Di Indonesia, Mandar
Maju, Bandung, hal. 33.
88
Gatot Supramono I, op.cit, hal. 174.
89
Sutan Remy Sjahdeini dalam Salim.HS, 2007, Perkembangan Hukum
Kontrak Di Luar KUHPerdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Salim. HS III), hal. 146-147.
64
kontrak baku muncul dengan latar belakang sosial, ekonomi, dan praktis 90. Pada
prakteknya, perjanjian kredit antara pihak kreditor dan debitor menerapkan
penggunaan perjanjian baku (standard contract). Ketika pihak kreditor
mengambil keputusan untuk menyetujui permohonan kredit yang diajukan oleh
pihak debitor, maka pihak kreditor akan menyerahkan perjanjian kredit dalam
bentuk formulir kepada pihak debitor.
Perjanjian kredit dalam bentuk formulir yang diserahkan kepada pihak
kreditor kepada debitor biasanya sudah dimuat mengenai ketentuan tentang pokok
pinjaman, jangka waktu peminjaman kredit, bunga, serta barang yang digunakan
sebagai jaminan dalam peminjaman kredit. Pihak debitor diminta untuk
memberikan tanggapannya terhadap isi dari formulir tersebut, apakah pihak
debitor menyetujui atau tidak.
Pihak debitor biasanya menyetujui saja apa yang tercantum di dalam formulir
tersebut karena apabila tidak disetujui maka kredit yang diajukan oleh debitor
tidak akan dicairkan oleh pihak kreditor. Jadi, pihak debitor berada di posisi yang
sangat sulit ketika dihadapkan dengan perjanjian kredit dalam bentuk perjanjian
baku (standard contract).
2.1.4 Kedudukan LPD Dalam Sistem Perbankan
Dasar pijakan konstitusional pembentukan LPD ditemukan dalam Bab VI
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1954 (selanjutnya
90
Gemala Dewi, 2007, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan
Perasuransian Syariah di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.
205.
65
disebut UUDNRI 1945), khususnya Pasal 18 dan Pasal 18B ayat (2). Pasal 18
UUDNRI 1945 menyatakan bahwa:
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang
diatur dengan undang-undang;
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan;
(3) Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum;
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis;
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat;
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan;
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.
Ketentuan konstitusi sebagai dasar pijakan pembentukan LPD juga diatur di
dalam Pasal 18B ayat (2) UUDNRI 1945. Pasal 18B ayat (2) UUDNRI 1945,
menentukan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Pemerintah Provinsi Bali menindaklanjuti ketentuan yang tercantum dalam
Pasal 18 dan 18B ayat (2) UUDNRI 1945 dengan membentuk Perda LPD.
Dibentuknya Perda LPD hingga saat ini berhasil membuat LPD menjadi lembaga
keuangan kultural, yang dibentuk dalam visi dan misi kultural, dalam sifat yang
66
sangat khas, karena dibentuk oleh desa pakraman, beroperasi di dalam wilayah
desa pakraman, dan terbatas melayani wilayah desa pakraman91.
Pada tahun 2005, LPD mendapat sorotan dari banyak pihak, terutama
lembaga-lembaga keuangan, termasuk Bank Indonesia. Melihat status dan cara
kerja dari LPD, Bank Indonesia menuntut agar LPD mentaati ketentuan-ketentuan
perbankan, sehingga pada tanggal 7 September 2009 Gubernur Bank Indonesia
bersama-sama dengan 2 (dua) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Koperasi dan
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (selanjutnya disebut UMKM) menerbitkan
Keputusan Bersama Nomor 351.1/KMK.010/2009, Nomor 900-639 A Tahun
2009, Nomor 01/SKB/M.KUKMK/IX/2009 dan Nomor 11/43A/KEPGB1/2009
tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro92.
Pada diktum pertama keputusan tersebut mensyaratkan bahwa LPD harus
masuk sebagai lembaga keuangan mikro, yang dengan demikian harus memenuhi
diktum pertama Keputusan itu. Untuk pemenuhan terhadap diktum utama
keputusan tersebut, maka LPD harus mengalihkan bentuk badan hukum keuangan
tertentu, Bank Perkreditan Rakyat (selanjutnya disebut BPR) atau Koperasi atau
Badan Usaha Milik Desa93.
Surat Keputusan Bersama (selanjutnya disebut SKB) tersebut tidak berlaku
terhadap LPD karena disebutkan bahwa SKB itu berlaku terhadap lembaga
keuangan yang dibentuk pemerintah sedangkan LPD tidak. SKB itu dari segi tata
urutan peraturan perundang-undangan berada di bawah Perda karena itu dapat
91
I Nyoman Nurjaya et. al, op. cit, hal.4
I Nyoman Nurjaya et.al, loc.cit.
93
I Nyoman Nurjaya et.al, loc.cit.
92
67
diabaikan, LPD tidak dapat dikualifikasikan sebagai lembaga keuangan mikro
karena sifat khasnya , namun kehadiran SKB itu tetap menganggu rasa aman LPD
untuk beroperasi seperti sedia kala94.
SKB tersebut di atas merupakan kelanjutan dari kewenangan Gubernur Bank
Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 Undang-Undang Perbankan.
Pasal 58 Undang-Undang Perbankan, menyatakan bahwa:
Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari
(LPN), Lembaga Perkreditan Desa(LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan
Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga
Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan/atau
lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu diberikan status
sebagai Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Undang-Undang ini dengan
memenuhi persyaratan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 58 Undang-Undang Perbankan
tidak memberikan penjelasan lanjutan apapun tentang LPD. Ida Bagus Wyasa
Putra memberikan kritik terhadap ketentuan Pasal 58 Undang-Undang Perbankan
tersebut. Beliau mengemukakan bahwa95:
LPD Desa Pakraman tidak mungkin diberi perlakuan sama dengan lembagalembaga keuangan kerakyatan lainnya karena sifat khas dan sifat khususnya
yang sangat berbeda dengan lembaga-lembaga keuangan kerakyatan lainnya.
LPD Desa Pakraman memiliki latar belakang, alasan, motif, visi, misi
pendirian, sistem kepemilikan, sistem kelembagaan, wilayah operasi, dan
tujuan-tujuan yang sangat berbeda dengan lembaga-lembaga keuangan
kerakyatan lainnya.
Sukandia juga memberikan kritiknya terhadap Pasal 58 Undang-Undang
Perbankan. Sukandia mengungkapkan bahwa96:
LPD Desa Pakraman memiliki rumah konstitusi yang berbeda dengan rumah
konstitusi lembaga keuangan kerakyatan lainnya. Setiap penyamaan perlakuan
94
I Nyoman Nurjaya et.al, loc.cit.
I Nyoman Nurjaya et.al, op.cit,hal. 7.
96
I Nyoman Nurjaya et.al, op.cit, hal. 8.
95
68
terhadap LPD Desa Pakraman dengan lembaga keuangan lainnya, secara
mengabaikan karakteristik Desa Pakraman, menimbulkan potensi pelanggaran
terhadap hak-hak konstitusional terhadap lembaga keuangan komunitasnya.
Pendapat pakar hukum di atas mengenai kedudukan LPD dalam sistem
perbankan juga diperkuat dengan norma hukum yang terkandung di dalam Pasal
39 ayat (1), (2), dan (3) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394), selanjutnya
disebut UULKM. Pasal 39 ayat (1), (2), dan (3) UULKM, menyatakan bahwa:
(1)Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Bank Desa, Lumbung Desa, Bank
Pasar, Bank Pegawai, Bank Kredit Desa (BKD), Bank Kredit Kecamatan
(BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan
Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha
Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), dan/atau
lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu tetap dapat
beroperasi samapi dengan 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
berlaku.
(2)Lembaga - lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh
izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) tahun terhitung
sejak Undang-Undang ini berlaku.
(3)Lembaga Perkreditan Desa dan Lumbung Pinatih Nagari serta lembaga
sejenis yang telah ada sebelum undang-undang ini berlaku, dinyatakan
diakui keberadaannya berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk pada
Undang-Undang ini.
Berdasarkan pendapat para pakar hukum di atas dan setelah mendapat
penguatan dari Pasal 39 ayat (1), (2), dan (3) UULKM, dapat disimpulkan bahwa
kedudukan LPD Desa Pakraman tidak dapat dipersamakan dengan lembaga
keuangan lainnya. Hal ini disebabkan karena LPD Desa Pakraman memiliki sifat
yang khas karena kepemilikan dan pengorganisasiannya dipengaruhi oleh adanya
adat istiadat masyarakat Bali, serta memiliki rumah konstitusi yang berbeda
dengan lembaga keuangan lainnya.
69
2.1.5 Kegiatan Usaha LPD
Dalam menjalankan kegiatan usahanya, LPD harus berpedoman pada Pasal 7
Perda LPD No. 8/2002. Pasal 7 Perda LPD No. 8/2002, menyatakan bahwa:
Lapangan usaha LPD mencakup:
a. Menerima/menghimpun dana dari Krama Desa dalam bentuk tabungan dan
deposito;
b. Memberikan pinjaman hanya kepada Krama Desa;
c. Menerima pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan maksimum sebesar
100 % dari jumlah modal, termasuk cadangan dan laba di tahan, kecuali
batasan lain dalam jumlah pinjaman atau dukungan/bantuan dana.
d. Menyimpan kelebihan likuiditasnya pada BPD dengan imbalan bunga
bersaing dan pelayanan yang memadai.
Pada prinsipnya, kegiatan usaha LPD dapat digolongkan dalam 4 (empat)
bagian. Adapun kegiatan usaha dari LPD, yaitu97:
a.
Mengolah pinjaman mulai dari permohonan, persetujuan, sampai pada
penyiapan dan penandatanganan surat perjanjian pinjam meminjam;
b.
Menerima uang baik dari nasabah (penerimaan angsuran pokok, tabungan,
bunga pinjaman, dan simpanan berjangka) maupun dari pihak lain (misalnya
pinjaman dari LPD lain);
c.
Mengeluarkan uang untuk pemberian pinjaman pencairan tabungan dan
simpanan berjangka, pelunasan pinjaman yang diterima, pembayaran biaya
(misalnya bunga simpanan berjangka dan biaya sehari-hari). Pembayaran
tabungan dari bunga simpanan berjangka dapat dilakukan di rumah nasabah
oleh petugas keliling;
97
Pemerintah Kota Denpasar, 2006, Pedoman Pembinaan LPD di Kota
Denpasar, Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah, Kota Denpasar, (selanjutnya
disebut Pemerintah Kota Denpasar I), hal. 4.
70
d.
Memberikan jasa perbankan lain kepada nasabah,
misalnya pembayaran
tagihan listrik. LPD dapat menerima dari nasabah secara tunai atau dengan
pemindahbukuan tabungan.
2.2 Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan
2.2.1 Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan
Pasca diberlakukannya UUHT, maka hak atas tanah yang akan dijadikan
jaminan utang piutang tidak lagi mempergunakan jaminan hipotik. Untuk
menciptakan unifikasi hukum, maka hak atas tanah yang dijadikan jaminan
pelunasan dalam perjanjian utang piutang sekarang menggunakan jaminan Hak
Tanggungan.
Kelahiran UUHT didasarkan atas pertimbangan untuk memberikan kepastian
hukum bagi para pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usahanya dalam
memberikan fasilitas kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah. Selain
itu, kelahiran UUHT juga merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor
104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043), selanjutnya disebut UUPA.
Rachmadi Usman, menyatakan bahwa dengan berlakunya UUHT, maka
dinyatakan tidak berlaku lagi98:
a. Ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam
Staatsblad 1908 Nomor 542 juncto Staatsblad 1909 Nomor 586 dan
Staatsblad 1909 Nomor 584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad
1937 Nomor 190 juncto Staatsblad 1937 Nomor 191;
b. Ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku Kedua
KUHPerdata sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
98
Rachmadi Usman, 2011, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Rachmadi Usman II), hal. 306.
71
Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUHT. Pasal 1 angka 1
UUHT, menyatakan bahwa:
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah,
yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut
atau tidak berikut benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.
Berdasarkan definisi Hak Tanggungan di atas, terdapat beberapa elemen
pokok. Adapun elemen pokok tersebut adalah99:
1.
UUHT adalah hak jaminan.
UUHT adalah realisasi dari Pasal 51 UUPA jo. Pasal 1131 KUHPerdata.
Pasal 1131 KUHPerdata, menyatakan bahwa: “Segala kebendaan si berutang, baik
yang bergerak maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan
untuk segala perikatan perseorangan”.
Hak jaminan juga diatur dalam Pasal 1162 KUHPerdata. Pasal 1162
KUHPerdata, menentukan bahwa: “Hak Tanggungan adalah suatu kebendaan atas
benda-benda tak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya bagi
pelunasan suatu perikatan”.
2.
Obyek UUHT adalah hak atas tanah
Ketentuan ini merupakan realisasi dari Pasal 25, 33, 39, dan 51 UUPA.
Ketentuan – ketentuan tersebut menyatakan bahwa objek Hak Tanggungan adalah
hak atas tanah.
99
Mariam Daruz Badrulzaman, 2009, Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar
Maju, Bandung, hal. 15-17.
72
3.
Berikut atau tidak berikut benda lain (bangunan, tanaman) yang melekat
(tertancap) sebagai kesatuan dengan tanah.
UUHT melihat bahwa kebutuhan menuntut untuk diterapkannya asas
perlekatan yang tidak dikenal hukum adat. Tanah yang di atasnya tertancap
bangunan dapat menaikkan nilai tanah. Kreditor akan memperoleh jaminan yang
tinggi harganya seimbang dengan besar jumlah kredit yang akan diberikan kepada
debitor, dibandingkan jika yang dijaminkan hanya tanahnya saja.
Hukum adat tidak mengenal asas perlekatan, tetapi mengenal asas pemisahan
horizontal, sedangkan KUHPerdata menganut asas perlekatan tetapi tidak
menganut asas pemisahan horizontal. UUHT menganut kedua asas ini, sepanjang
diperjanjikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini tercantum dalam
Pasal 4 ayat (4) dan (5) UUHT. Pasal 4 ayat (4) UUHT, menentukan bahwa:
Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan,
tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas
tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian
Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Penerapan asas tersebut di atas juga diatur di dalam Pasal 4 ayat (5) UUHT.
Pasal 4 ayat (5) UUHT, menyatakan bahwa:
Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan
atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan
serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh
pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.
73
4.
Untuk pelunasan utang tertentu
Tujuan dari Hak Tanggungan tidak hanya sekedar melunasi utang yang
timbul dari perjanjian kredit, akan tetapi kewajiban memenuhi suatu perikatan.
Hal ini mengacu pada Pasal 3 UUHT, yang menyatakan bahwa:
Utang yang dijaminkan pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa
utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau
jumlah yang ada pada saat permohonan eksekusi. Hak Tanggungan diajukan
dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang
menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkutan.
Konsep yang terkandung di dalam Pasal 3 UUHT juga terdapat di dalam
Pasal 1162 KUHPerdata. Pasal 1162 KUHPerdata, menentukan bahwa: “Hak
Tanggungan adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak untuk
mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan”.
5.
Kreditor mempunyai kedudukan utama
Kedudukan utama bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan diatur dalam
angka (4) Penjelasan Umum atas UUHT. Penjelasan Umum angka (4) UUHT,
menyatakan bahwa:
Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang
tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji,
kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum
tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditorkreditor lain.
2.2.2 Asas-Asas Hak Tanggungan
Sebagai lembaga hak jaminan kebendaan, maka Hak Tanggungan memiliki
sejumlah asas hukum yang dapat ditemukan dalam Pasal-Pasal Batang Tubuh
74
maupun Penjelasan UUHT. Adapun asas-asas dari Hak Tanggungan adalah
sebagai berikut100:
a.
Ketentuan hak tanggungan bersifat memaksa
Substansi yang mengatur mengenai Hak Tanggungan di dalam UUHT tidak
dapat disimpangi dan bersifat memaksa, kecuali UUHT menentukan lain.
Ketentuan Hak Tanggungan yang bersifat memaksa dapat dijumpai dalam Pasal 6,
11, 12, 13, 14, dan 15 UUHT.
b.
Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheid) atau tidak dapat
dipisah-pisahkan (onsplitsbaarheid).
Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi dan tidak dapat
dipisah-pisahkan, artinya secara utuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian
daripadanya dibebani Hak Tanggungan. Jika sebagian hutang yang dijamin
dengan Hak Tanggungan telah dilunasi, itu bukan berarti sebagian objek Hak
Tanggungan terbebas dari beban Hak Tanggungan, melainkan seluruh objek Hak
Tanggungan tetap dibebani oleh Hak Tanggungan sampai hutang tersebut dibayar
lunas oleh debitor.
Ketentuan mengenai asas tidak dapat dibagi-bagi dan tidak dapat dipisahpisahkan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUHT. Pasal 2 ayat (1) UUHT,
menyatakan bahwa: “Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi,
kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)”.
100
Rachmadi Usman I, op.cit, hal. 337-350.
75
Substansi dalam Pasal 2 ayat (1) UUHT di atas, memberikan pemahaman
bahwa bagian objek Hak Tanggungan yang hutangnya telah terlunasi tidak
dimungkinkan untuk dilakukannya roya partial. Namun ketentuan bahwa Hak
Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi atau tidak dapat dipisah-pisahkan dapat
disimpangi sepanjang hal tersebut diperjanjikan oleh para pihak dan segera
dituangkan ke dalam APHT.
Penyimpangan terhadap asas Hak Tanggungan yang tidak dapat dibagi-bagi
atau tidak dapat dipisahkan-pisahkan dapat dijumpai dalam Pasal 2 ayat (2)
UUHT. Pasal 2 ayat (2) UUHT, menyebutkan bahwa:
Apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat
diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan,
bahwa pelunasan utang yang dijaminkan dapat dilakukan dengan cara angsuran
yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang
merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak
Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya
membebani sisa utang yang belum dilunasi.
Selain dalam Pasal 2 ayat (2) UUHT, penyimpangan terhadap asas tidak
dapat dibagi-bagi ataupun tidak dapat dipisah-pisah dari Hak Tanggungan
ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UUHT. Penjelasan Pasal 2 ayat (2)
UUHT, menyatakan bahwa:
Ketentuan ini merupakan perkecualian dari asas yang ditetapkan pada ayat (1)
menampung kebutuhan perkembangan dunia perkreditan, antara lain untuk
mengakomodasi keperluan pendanaan pembangunan kompleks perumahan
yang semula menggunakan kredit untuk pembangunan seluruh kompleks dan
kemudian akan dijual kepada pemakai satu per satu, sedangkan untuk
membayarnya pemakai akhir ini juga menggunakan kredit dengan jaminan
rumah yang bersangkutan.
76
c.
Hak tanggungan mengikuti benda yang dijaminkan (droit de suite) dalam
tangan siapapun berada.
Droit de suite merupakan sifat dari Hak Tanggungan. Artinya, benda yang
dijaminkan dengan Hak Tanggungan tetap mengikuti dalam tangan siapa pun
benda itu berada walaupun dialihkan. Sifat droite de suite Hak Tanggungan diatur
dalam Pasal 7 UUHT. Pasal 7 UUHT, mengatur bahwa: “Hak Tanggungan tetap
mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada”.
Sifat droite de suite ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap
pelunasan piutang yang menjadi hak kreditor selaku pemegang Hak Tanggungan,
walaupun benda yang dijadikan objek Hak Tanggungan beralih ke pihak ketiga.
Dalam hal pengalihan ini, kreditor selaku pemegang Hak Tanggungan tetap
memiliki hak untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan apabila debitor
lalai terhadap pelunasan kewajibannya.
d.
Hak tanggungan bertingkat (terdapat peringkat yang lebih tinggi di antara
kreditor pemegang Hak Tanggungan)
Asas Hak Tanggungan bertingkat ini diatur di dalam Pasal 5 UUHT. Pasal 5
UUHT, menentukan bahwa:
(1) Suatu objek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak
Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang;
(2) Apabila suatu objek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak
Tanggungan, peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan
menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan;
(3) Peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama
ditentukan menurut tanggal pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
yang bersangkutan.
Pasal 5 UUHT tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa pemilik benda
yang menjadi objek jaminan Hak Tanggungan berwenang untuk membebankan
77
kembali benda yang sama sebagai objek jaminan Hak Tanggungan guna
pelunasan utang lainnya sehingga akan menimbulkan suatu perjenjangan bagi
kreditor selaku pemegang Hak Tanggungan. Pemahaman lain yang diketahui dari
bunyi Pasal 5 UUHT adalah kelahiran Hak Tanggungan merupakan momentum
yang sangat penting.
Kelahiran Hak Tanggungan disesuaikan dengan tanggal pendaftaran Hak
Tanggungan tersebut di Kantor Pertanahan. Jadi, Hak Tanggungan yang
didaftarkan terlebih dahulu menduduki jenjang pertama dibandingkan dengan
kreditor lainnya yang berkedudukan sebagai pemegang objek jaminan Hak
Tanggungan yang sama.
e.
Hak Tanggungan membebani hak atas tanah tertentu (asas spesialitas)
Asas spesialitas merupakan suatu keharusan untuk pencantuman uraian
mengenai subjek, objek, hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan, beserta
nilai tanggungannya secara spesifik ke dalam APHT. Pasal 11 ayat (1) juncto
Pasal 8 UUHT mengatur mengenai asas spesialitas dari Hak Tanggungan. Pasal
11 ayat (1) UUHT, menjelaskan bahwa:
Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan:
a. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;
b. domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan apabila
diantara mereka ada yang berdomisili di luar indonesia, baginya harus pula
dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili
pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang terpilih;
c. penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1);
d. nilai tanggungan;
e. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.
78
Asas spesialitas juga diatur di dalam Pasal 8 UUHT. Pasal 8 UUHT,
menentukan bahwa:
(1) Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan;
(2) Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus pada pemberi Hak
Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.
Asas spesialitas hanya dapat terpenuhi apabila obyek Hak Tanggungan telah
ada dan telah diketahui pula tanah itu tanah yang mana karena jika tidak ada
obyek maka ciri-ciri yang melekat dari obyek Hak Tanggungan itu tidak dapat
diketahui secara pasti. Selain itu, Hak Tanggungan juga dapat dibebankan
terhadap benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut yang baru akan ada.
Hal ini berarti wujud dari obyek Hak Tanggungan belum dapat diketahui secara
pasti, sehingga asas spesialitas tidak hanya berlaku sepanjang mengenai bendabenda yang berkaitan dengan tanah.
f.
Hak Tanggungan wajib didaftarkan (asas publisitas)
Asas publisitas dalam pemberian Hak Tanggungan dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Asas
publisitas ini mengharuskan adanya suatu pendaftaran dalam pemberian Hak
Tanggungan, sehingga diketahui secara terbuka serta mengikat pihak ketiga.
Ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban pendaftaran Hak Tanggungan
ini terdapat dalam Pasal 13 ayat (1) UUHT. Pasal 13 ayat (1) UUHT, menyatakan
bahwa: “Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan”.
Asas publisitas merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan yang
dibebankan dengan suatu hak atas tanah sehingga dapat mengikat pihak ketiga.
79
Pendaftaran pemberian Hak Tanggungan memungkinkan pihak ketiga untuk dapat
mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan.
g.
Hak Tanggungan dapat disertai janji-janji tertentu
Janji-janji tertentu dapat juga diberikan pada saat pemberian Hak Tanggungan
yang kemudian dicantumkan di dalam APHT. Janji-janji yang dapat dicantumkan
dalam pemberian Hak Tangungan diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT. Janji –
Janji tersebut antara lain dapat berupa janji mengenai pembatasan kewenangan
pemberi Hak Tanggungan akan objek Hak Tanggungan, pemberian kewenangan
kepada penerima Hak Tanggungan, janji akan hak dari pemegang Hak
Tanggungan, serta janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan.
Janji – janji yang termuat dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT tersebut di atas
bersifat fakultatif karena dalam pemberian Hak Tanggungan janji-janji tersebut
boleh dicantumkan boleh juga tidak di dalam APHT. Selain bersifat fakultatif,
janji-janji tersebut juga bersifat tidak limitatif karena dapat diperjanjikan janjijanji lain di luar dari janji-janji yang diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT.
h.
Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti
UUHT memberikan suatu kemudahan terhadap pelaksanaan eksekusi objek
Hak Tanggungan. Kemudahan tersebut tercantum dalam Pasal 6 dan Pasal 14 ayat
(2) dan (3) UUHT. Pasal 6 UUHT, menyebutkan bahwa: “Apabila debitor cidera
janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek
Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.
80
Kemudahan lainnya dalam pelaksanaan eksekusi obyek Hak Tanggungan
diatur dalam Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT. Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT,
menentukan bahwa:
(1) Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
TUHAN YANG MAHA ESA”;
(2) Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai
pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
Berdasarkan kemudahan-kemudahan yang telah diberikan oleh UUHT, maka
dalam hal debitor cidera janji, kreditor selaku pemegang Hak Tanggungan dapat
melakukan eksekusi secara langsung tanpa memerlukan lagi suatu fiat dari
pengadilan. Hal ini dikarenakan kreditor memiliki hak penuh sebagai pemegang
sertifikat Hak Tanggungan yang dapat digunakan sebagai dasar hukum apabila
akan mengeksekusi obyek Hak Tanggungan.
2.2.3 Pemberian Hak Tanggungan Dilakukan Dengan Perjanjian Tertulis
yang Dituangkan Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
Pemberian Hak Tanggungan diawali dengan janji untuk memberikan Hak
Tanggungan sebagai pelunasan hutang yang tertuang di dalam perjanjian hutang
piutang atau lebih dikenal dengan perjanjian kredit. Perjanjian kredit merupakan
dasar atau tahap awal dalam proses pemberian Hak Tanggungan.
Janji untuk memberikan Hak Tanggungan yang tercantum di dalam perjanjian
kredit selanjutnya ditindaklanjuti dengan pembuatan perjanjian tertulis yang
dituangkan dalam APHT. APHT merupakan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah,
selanjutnya disebut akta PPAT.
81
Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746), selanjutnya disebut
Peraturan Jabatan PPAT. Pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa: “Akta PPAT adalah
akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun”.
APHT merupakan salah satu bagian dari akta PPAT digunakan untuk
memformulasikan perbuatan hukum yang menjadikan hak atas tanah sebagai
jaminan hutang. Ketentuan Pasal 10 ayat (2) UUHT, menyatakan bahwa:
“Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Berdasarkan uraian Pasal 10 ayat (2) UUHT, maka pemberian Hak
Tanggungan tersebut harus dilakukan dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh
PPAT. APHT yang dibuat oleh PPAT tergolong ke dalam akta otentik karena
dibuat oleh pejabat umum dengan susunan dan bentuk akta yang telah ditetapkan
oleh Badan Pertanahan Nasional101.
Hal ini dipertegas dalam Pasal 1 angka 4 Penjelasan Umum atas UUHT.
Pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa: “Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat
umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah,
101
Rachmadi Usman I, op.cit, hal. 404.
82
akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak
Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
2.2.4 Lahir dan Berakhirnya Hak Tanggungan
Pasal 13 ayat (1) UUHT memberikan pemahaman bahwa terhadap
pembebanan Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pasal
13 ayat (5) Jo ayat (4) UUHT juga menyatakan bahwa Hak Tanggungan lahir
pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan lengkap dengan surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftarannya. Jadi, Hak Tanggungan itu lahir dan baru
mengikat setelah dilakukan pendaftaran. Jika tidak dilakukan pendaftaran, maka
pembebanan Hak Tanggungan tidak diketahui oleh pihak ketiga serta tidak
memiliki kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga102.
Mengenai berakhirnya Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 18 ayat (1)
UUHT. Ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) UUHT menjelaskan bahwa:
Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:
a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri;
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Adrian Sutedi memberikan penjelasan mengenai 4 (empat) point dalam Pasal
18 ayat (1) UUHT di atas mengenai berakhirnya Hak Tanggungan. Beliau
menjelaskan bahwa103:
102
Adrian Sutedi, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta,
(selanjutnya disebut Adrian Sutedi II), hal. 79
103
Ibid, hal.79-84.
83
a.
Hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan
Hak Tanggungan sebagai hak accessoir menjadi hapus karena hapusnya
hutang debitor dalam perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian hutang piutang atau
lebih dikenal dengan perjanjian kredit. Hak Tanggungan hanya berfungsi sebagai
perjanjian tambahan yang menjamin pelunasan hutang dari pihak debitor.
Kantor Pertanahan melakukan pencoretan terhadap buku tanah dan sertifikat
Hak Tanggungan setelah Hak Tanggungan hapus. Sertifikat Hak Tanggungan
beserta buku tanah yang bersangkutan ditarik dan dinyatakan tidak berlaku lagi di
Badan Pertanahan Nasional. Pencoretan yang dilakukan oleh Badan Pertanahan
Nasional dilakukan atas dasar permohonan yang diajukan oleh pihak yang
berkepentingan dengan cara melampirkan sertifikat Hak Tanggungan yang telah
diberi catatan oleh pihak kreditor bahwa hutang yang telah dijamin dengan Hak
Tanggungan tersebut telah lunas.
b.
Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan
Hapusnya Hak Tanggungan tersebut karena dilepaskan oleh pemegang Hak
Tanggungan. Pelepasan tersebut dilakukan dengan cara pembuatan pernyataan
tertulis oleh pemegang Hak Tanggungan mengenai pelepasan Hak Tanggungan,
lalu pernyataan tertulis tersebut diserahkan kepada pemberi Hak Tanggungan.
c.
Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri
Hak Tanggungan hapus yang disebabkan oleh pembersihan Hak Tanggungan
berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri ini dilakukan atas
dasar pengajuan permohonan oleh pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak
84
Tanggungan. Hal ini bertujuan agar tanah yang akan dibelinya tersebut telah
terbebas dari pembebanan Hak Tanggungan.
d.
Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan
Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan
utang yang terjadi karena perjanjian pinjam meminjam menjadi terhapus juga.
Konsekuensi yang terjadi karena hapusnya hak atas tanah adalah terjadi
perubahan kedudukan kreditor, yaitu kedudukan kreditor pemegang Hak
Tanggungan berubah dari kreditor preferen menjadi kreditor konkuren. Hapusnya
hak atas tanah dapat terjadi karena kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
1) Jangka waktunya berakhir, kecuali hak atas tanah yang dijadikan obyek Hak
Tanggungan diperpanjang sebelum berakhir jangka waktunya. Hak
Tanggungan mana tetap melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan;
2) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir;
3) Karena suatu syarat batal dipenuhi;
4) Tanahnya musnah;
5) Dilepaskannya dengan sukarela oleh yang mempunyai hak atas tanah.
2.3
Tinjauan Umum Pengawasan Perbankan dan LPD
2.3.1 Kewenangan Bank Indonesia Dalam Pengawasan Perbankan
Mengenai masalah pembinaan dan pengawasan bank ditentukan dalam Pasal
29
Undang-Undang
Perbankan.
Pasal
29
Undang-Undang
Perbankan,
menyebutkan bahwa:
(1) Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia;
(2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan
kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha
85
bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehatihatian;
(3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip syariah
dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara
yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang
mempercayakan dananya kepada bank;
(4) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai
kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi
nasabah yang dilakukan melalui bank;
(5) Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Sejalan dengan itu, Bank Indonesia diberi kewenangan, tanggung jawab, dan
kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
bank dengan menempuh upaya-upaya, baik yang bersifat preventif maupun
represif. Dalam rangka menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan
dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian, maka bank
wajib memiliki serta menerapkan sistem pengawasan intern104.
Tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank, diatur dalam
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(selanjutnya disebut Undang-Undang Bank Indonesia). Pasal 24 Undang-Undang
Bank Indonesia, menentukan bahwa:
Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf
c, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas
kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari Bank, melaksanakan
104
Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hal. 180.
86
pengawasan Bank, dan mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Dalam hal pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia
tentunya harus mengacu pada Undang-Undang Perbankan. Sejalan dengan tugas
Bank Indonesia di bidang pengawasan, maka terdapat 4 (empat) kewenangan
terhadap bank yang harus dilakukan, yaitu105:
a.
Kewenangan memberikan izin (power to license)
Kewenangan pemberian izin merupakan tahap awal dalam menetapkan tata
cara, perizinan dan persyaratan yang diberikan oleh otoritas pengawas untuk
mendirikan sebuah bank. Pemberian izin ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
pendirian bank yang tidak dipersiapkan dengan baik, digunakan untuk
kepentingan pribadi tanpa mengindahkan kepentingan umum, serta pendirian
bank yang tidak didukung dengan jumlah modal yang cukup.
Pendirian sebuah bank tentunya mengacu kepada pedoman yang akan
dijadikan sebagai acuan. Adapun 3 (tiga) hal yang menjadi dasar pendirian bank,
yaitu akhlak dan moral calon pemilik dan pengurus bank, kemampuan
menyediakan dana dalam jumlah tertentu untuk modal bank, serta kesungguhan
dan kemampuan dari para calon pemilik dan pengurus bank dalam melakukan
kegiatan usaha bank.
b. Kewenangan untuk mengatur (power to regulate)
Penciptaan suasana perbankan yang sehat dan pemenuhan jasa perbankan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
105
Ibid, hal. 175-177.
maka Bank
Indonesia memiliki
87
kewenangan untuk menetapkan suatu kebijakan yang menyangkut aspek kegiatan
usaha perbankan. Kebijakan yang ditetapkan Bank Indonesia dapat berupa, jenis
usaha yang dapat dilakukan, risiko, exposure yang diambil oleh bank, serta
pengaturan likuiditas dan solvabilitas bank.
c.
Kewenangan untuk mengendalikan/mengawasi (power to control)
Kewenangan untuk
mengendalikan
atau
mengawasi
ini
merupakan
kewenangan yang paling mendasar yang diperlukan oleh otoritas pengawas bank.
Pengawasan terhadap bank harus dilakukan, yaitu pengawasan langsung dan
pengawasan tidak langsung.
Pengawasan bank secara tidak langsung merupakan pengawasan alat pantau,
seperti laporan berkala yang disampaikan kepada bank, laporan hasil pemeriksaan,
keterangan, penjelasan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, serta informasi lainnya. Artinya, Bank Indonesia tidak melakukan
pengawasan langsung ke bank. Hal ini diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang
Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa:
(1) Bank Indonesia mewajibkan Bank untuk menyampaikan laporan,
keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia;
(2) Apabila diperlukan, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenakan pula terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait,
dan pihak terafiliasi dari Bank.
Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan secara tidak langsung terhadap
perusahaan yang masih satu kelompok dengan bank karena menerima fasilitas
tertentu, yaitu perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak
terafiliasi dari bank bersangkutan. Pengawasan tersebut dilakukan oleh Bank
Indonesia dengan pertimbangan bahwa Bank Indonesia merasa tidak cukup hanya
88
menilai dari data-data yang disampaikan oleh bank sehingga perlu mewajibkan
pihak ketiga tersebut menyampaikan laporan ke Bank Indonesia.
Selain berwenang untuk melakukan pengawasan secara tidak langsung, Bank
Indonesia juga berwenang untuk melakukan pengawasan secara langsung.
Pengawasan ini dilakukan dengan cara mendatangi bank baik secara berkala
maupun setiap waktu bila diperlukan untuk itu.
Adapun tujuan dilakukannya pengawasan secara langsung oleh Bank
Indonesia adalah untuk mengetahui kepatuhan bank terhadap peraturan yang
berlaku serta mengetahui kebenaran akan informasi kegiatan usaha bank yang
disampaikan kepada Bank Indonesia. Jika diperlukan, Bank Indonesia dapat
melakukan pemeriksaan terhadap satu perusahaan yang masih satu kelompok
dengan bank karena mendapat fasilitas tertentu, yaitu terhadap perusahaan induk,
perusahaan anak, pihak terafiliasi, dan debitur bank.
Pemeriksaan secara selektif dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap group
bank dan debitor dengan tujuan untuk memperoleh data yang mendukung
terhadap pemeriksaan bank yang bersangkutan. Untuk memperlancar proses
pengawasan, maka pihak bank dan pihak lainnya yang diwajibkan untuk
memberikan keterangan, mengenai:
1. Keterangan dan data yang diminta;
2. Kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen sarana fisik yang
berkaitan dengan kegiatan usahanya;
3. Hal-hal lain yang diperlukan.
89
Dalam menjalankan kewenangannya, Bank Indonesia dapat menugaskan
pihak ketiga untuk melakukan pengawasan terhadap bank. Pihak ketiga tersebut
harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan pemeriksaan, misalnya akuntan
publik. Pemeriksaan bank dapat dilakukan oleh pihak ketiga sendiri maupun
bersama-sama dengan Bank Indonesia. Bagi pihak ketiga yang ditugaskan
melakukan pemeriksaan terhadap bank diwajibkan untuk
merahasiakan
keterangan dan data yang diperoleh dalam pemeriksaan.
d.
Kewenangan untuk mengenakan sanksi (power to impose sanction)
Kewenangan dalam penjatuhan sanksi terhadap bank bertujuan untuk
melakukan perbaikan atas kesalahan ataupun penyimpangan yang dilakukan oleh
bank. Pengenaan sanksi merupakan perwujudan dari suatu pembinaan agar bank
tidak
melakukan
penyimpangan-penyimpangan
selanjutnya
yang
dapat
mempengaruhi kesehatan bank itu sendiri.
2.3.2 Peralihan Fungsi Pengawasan Perbankan Dari Bank Indonesia Kepada
Otoritas Jasa Keuangan
Pembentukan lembaga khusus untuk pengawasan bank ditegaskan dalam
Pasal 34 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Bank Indonesia. Pasal 34 ayat (1)
Undang-Undang Bank Indonesia, menegaskan bahwa: “Tugas mengawasi Bank
akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen,
dan dibentuk dengan Undang-Undang”. Selanjutnya, Pasal 34 ayat (2) UndangUndang Bank Indonesia, menyatakan bahwa: “Pembentukan lembaga pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31
Desember 2002”.
90
Menindaklanjuti ketentuan dalam Pasal 34 Undang-Undang Bank Indonesia,
maka pemerintah menyetujui dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5253), selanjutnya disebut Undang-Undang OJK. Pasal 1 angka
(1) Undang-Undang OJK, menyatakan bahwa: “Otoritas Jasa Keuangan, yang
selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independent dan bebas dari
campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang ini”.
Pasal
34
Undang-Undang
Bank
Indonesia
mengamanatkan
bahwa
pembentukan OJK selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2002. Namun
sampai terlampauinya jangka waktu tersebut, maka dipertegas kembali bahwa
OJK akan dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2010106.
Kemunduran akan batas waktu dalam pembentukan OJK, didasari dengan
pertimbangan terhadap kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur lembaga
pengawas tersebut dalam menerima pengalihan pengawasan bank dari Bank
Indonesia107. Untuk mengimplementasikan Pasal 34 Undang-Undang Bank
Indonesia tersebut di atas, maka pada tanggal 31 Desember 2013 akan dilakukan
peralihan fungsi pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
perbankan dari Bank Indonesia kepada OJK108.
106
Ibid.
Ibid, hal. 185.
108
Ibid, hal. 237.
107
91
2.3.3 Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Pengawasan Perbankan
Tujuan dibentuknya OJK dapat dijumpai dalam ketentuan Pasal 4 UndangUndang OJK. Selengkapnya ketentuan dalam Pasal 4 Undang-Undang OJK
ditentukan bahwa:
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan:
a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan
dan stabil;
c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.
Fungsi OJK ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang OJK. Pasal ini
selengkapnya menentukan bahwa: “OJK berfungsi menyelenggarakan sistem
pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di
dalam sektor jasa keuangan”.
Lebih lanjut mengenai tugas pengaturan dan pengawasan juga ditemukan
dalam Pasal 6 Undang-Undang OJK. Pasal 6 Undang-Undang OJK, menyebutkan
bahwa:
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya.
Pengawasan kewenangan terhadap sektor jasa keuangan, khususnya sektor
perbankan akan dilimpahkan secara resmi kepada OJK semenjak Undang Undang OJK diterbitkan.Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan
di sektor perbankan, maka Pasal 7 Undang-Undang OJK memberikan wewenang
kepada OJK untuk:
a. pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
92
1) perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,
rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia,
merger, konsolidasi, dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank;
dan
2) kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana; penyediaan dana, produk
hibridasi, dan aktivis di bidang jasa.
b. pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1) likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan, modal
minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap
simpanan, dan pencadangan bank;
2) laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3) sistem informasi debitur;
4) pengujian kredit (credit testing);
5) standar akuntansi bank.
c. pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1) manajemen resiko;
2) tata kelola bank;
3) prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang;
4) pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan;dan
5) pemeriksaan bank.
Untuk pencapaian terhadap tujuan awal dibentuknya OJK, maka OJK perlu
memiliki kewenangan dalam melakukan tugas pengaturan dan pengawasan
perbankan guna membantu untuk mengimplementasikan ketentuan-ketentuan
yang tercantum di dalam Undang-Undang OJK. Tujuan dari dibentuknya
kewenangan OJK dalam Undang-Undang OJK adalah untuk mewujudkan sistem
perbankan yang stabil, berkelanjutan, serta agar dapat berjalan dengan tertib,
teratur, adil, transparan dan akuntabel109.
2.3.4 Pengawasan LPD
Dalam rangka menciptakan tertib administrasi dalam pengelolaan LPD di
Kota Denpasar, maka peran serta badan pengawas sangat diperlukan untuk
meningkatkan kinerja dan profesionalisme LPD. Pengawasan terhadap LPD diatur
109
Ibid, hal. 228.
93
dalam Pasal 12 dan Pasal 18 Perda LPD No. 8/2002. Pasal 12 Perda LPD No.
8/2002 mengenai badan pengawas internal LPD menentukan bahwa:
(1) Pengawas terdiri dari Ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
anggota;
(2) Ketua dijabat oleh Bendesa karena jabatannya;
(3) Ketua Pengawas dari LPD yang dibentuk berdasarkan Pasal 4, dijabat
secara bergilir diantara Bendesa berdasarkan kesepakatan;
(4) Anggota Pengawas dipilih oleh Krama Desa;
(5) Ketua dan Anggota Pengawas tidak dapat merangkap sebagai Pengurus.
Tugas dari badan pengawas tidak diatur di dalam Perda LPD, akan tetapi
diatur dalam suatu peraturan khusus, yaitu Peraturan Gubernur Bali Nomor 16
Tahun 2008 tentang Pengurus dan Pengawas Internal Lembaga Perkreditan Desa
(selanjutnya disebut Peraturan Gubernur No. 16/2008). Pasal 11 Peraturan
Gubernur No. 16/2008, menentukan bahwa:
Pengawas mempunyai tugas:
a. Mengawasi pengelolaan LPD;
b. Memberikan petunjuk kepada pengurus;
c. Memberikan saran, pertimbangan dan ikut menyelesaikan permasalahan;
d. Mensosialisasikan keberadaan LPD;
e. Mengevaluasikan kinerja pengurus secara berkala; dan
f. Menyusun dan menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada paruman
desa.
Selain badan pengawas internal, LPD juga perlu mendapat pengawasan
secara eksternal. Pasal 18 Perda LPD menentukan bahwa: “Pengawasan eksternal
LPD dilakukan oleh gubernur”. Namun dalam penjelasan Pasal 18 Perda LPD No.
8/2002, disebutkan bahwa: “Gubernur melimpahkan tugas pengawasan kepada
Bank Pembangunan Daerah (BPD)”.
Namun, Perda LPD No. 4/2012 mengubah total ketentuan Pasal 18.
Ketentuan Pasal 18 Perda LPD No. 4/2012, menjadi:
(1) Gubernur bersama MUDP melakukan pembinaan.
94
(2) Gubernur menugaskan pembinaan umum kepada Badan Pembina Umum
Provinsi dan Badan Pembina Umum Kabupaten/Kota.
(3) Gubernur dengan pertimbangan MUDP menugaskan LPLPD
melaksanakan pendampingan teknis dalam pemberdayaan LPD.
(4) Atas permintaan Krama Desa melalui paruman, sekali dalam 1 (satu) tahun
harus dilakukan audit.
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 Perda LPD No.4/2012, memberikan
pemahaman bahwa pengawasan eksternal oleh BPD tidak berlaku lagi. Namun,
pada kenyataannya BPD tetap melakukan pengawasan eksternal terhadap LPD
berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Walikota Denpasar.
95
BAB III
KEDUDUKAN LPD SELAKU KREDITOR DALAM
PENYELESAIAN PERJANJIAN KREDIT MACET DENGAN
JAMINAN SERTIFIKAT HAK MILIK HAK ATAS TANAH
YANG TIDAK DIIKAT DENGAN APHT
3.1 Gambaran Umum LPD di Kota Denpasar
LPD sebagai salah satu lembaga keuangan telah menunjukkan perkembangan
yang pesat. Sejak 20 (dua puluh) tahun berdirinya LPD semakin berkembang baik
dari sisi jumlah maupun tingkat perkembangan usahanya. Kini LPD memegang
peranan yang sangat penting, yaitu bagi masyarakat desa terbuka kesempatan
kerja, berperan akif dalam program pengentasan kemiskinan, serta dapat
membantu pembangunan perekonomian110.
Kota Denpasar memiliki 35 (tiga puluh lima) Desa Pakraman dan secara
keseluruhan telah terdapat 35 (tiga puluh lima) LPD yang berarti seluruh Desa
Pakraman di Kota Denpasar memiliki LPD. Perkembangan LPD di Kota
Denpasar 5 (lima) tahun terakhir menunjukkan trend positif baik dari sisi asset,
kredit yang disalurkan maupun laba yang diperoleh. Hasil usaha LPD tersebut
telah dikontribusikan sesuai dengan fungsi LPD untuk membangun Desa
Pakraman, yaitu melalui kontribusi bagian laba LPD sebesar 20% (dua puluh
persen) untuk pembangunan Desa Pakraman sedangkan 60% (enam puluh persen)
untuk modal LPD, 5% (lima persen) untuk dana sosial, 5% untuk dana
pembinaan, pengawasan dan perlindungan, serta 10%untuk jasa produksi111.
110
http://www.bankdata.denpasarkota.go.id/bankdata/Data%20perkembangan
%20LPD%20di%20Kota%20Denpasar.pdf, diakses tanggal 23 Juli 2013.
111
Ibid.
96
Keadaan LPD se-Kota Denpasar per Nopember 2012 terdapat 31 (tiga puluh
satu) LPD dalam kategori sehat dan 4 (empat) LPD yang cukup sehat. Total asset
sebesar Rp. 588.831.180.000,00 (lima ratus delapan puluh delapan miliar delapan
ratus tiga puluh satu juta seratus delapan puluh ribu rupiah)112.
Klasifikasi pinjaman 90% lancar, dana pihak ketiga yang terhimpun berupa
tabungan sebesar Rp. 362.816.805.000,00 (tiga ratus enam puluh dua miliar
delapan ratus enam belas juta delapan ratus lima ribu rupiah). Deposito sebesar
Rp. 309.265.260.000,00 (tiga ratus sembilan miliar dua ratus enam puluh lima juta
dua ratus enam puluh ribu rupiah) dengan laba yang diperoleh sebesar Rp.
34.951.481.000,00 (tiga puluh empat miliar sembilan ratus lima puluh satu juta
empat ratus delapan puluh satu ribu rupiah)113.
Seluruh desa pakraman di Kota Denpasar memiliki LPD. Adapun nama-nama
ke 35 (tigapuluh lima) LPD di Kota Denpasar sebagai berikut114:
1.
LPD Desa Pakraman Tonja;
2.
LPD Desa Pakraman Oongan;
3.
LPD Desa Pakraman Ubung;
4.
LPD Desa Pakraman Pohgading;
5.
LPD Desa Pakraman Peguyangan;
6.
LPD Desa Pakraman Peraupan;
7.
LPD Desa Pakraman Peninjoan;
112
Pemerintah Kota Denpasar, 2012, Laporan Monitoring dan Evaluasi LPD
Se-Kota Denpasar, Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah, Kota Denpasar,
(selanjutnya disebut Pemerintah Kota Denpasar II), hal. 2.
113
Ibid, hal.2.
114
Ibid.
97
8.
LPD Desa Pakraman Kedua;
9.
LPD Desa Pakraman Jenah;
10. LPD Desa Pakraman Cengkilung.
11. LPD Desa Pakraman Sumerta;
12. LPD Desa Pakraman Kesiman;
13. LPD Desa Pakraman Yangbatu;
14. LPD Desa Pakraman Pagan;
15. LPD Desa Pakraman Tanjung Bungkak;
16. LPD Desa Pakraman Tembawu;
17. LPD Desa Pakraman Penatih Puri;
18. LPD Desa Pakraman Penatih;
19. LPD Desa Pakraman Laplap;
20. LPD Desa Pakraman Anggabaya;
21. LPD Desa Pakraman Bekul;
22. LPD Desa Pakraman Pohmanis;
23. LPD Desa Pakraman Kepaon;
24. LPD Desa Pakraman Pemogan;
25. LPD Desa Pakraman Pedungan;
26. LPD Desa Pakraman Sesetan;
27. LPD Desa Pakraman Panjer;
28. LPD Desa Pakraman Sidakarya;
29. LPD Desa Pakraman Intaran;
30. LPD Desa Pakraman Sanur;
98
31. LPD Desa Pakraman Renon;
32. LPD Desa Pakraman Serangan;
33. LPD Desa Pakraman Penyaringan;
34. LPD Desa Pakraman Denpasar;
35. LPD Desa Pakraman Penyaringan.
Setelah dilakukan snowball sampling terhadap populasi yaitu 35 (tiga puluh
lima) LPD Di Kota Denpasar, maka LPD yang dijadikan sampel dalam penelitian
ini berjumah 19 (sembilan belas). Adapun LPD – LPD tersebut, antara lain:
1.
LPD Desa Pakraman Oongan
LPD Desa Pakraman Oongan didirikan pada tahun 1991 berdasarkan Surat
Keputusan Bupati Daerah Tingkat II Badung Nomor 412/5591 Ek tanggal 21
Maret 1991 dan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 199/1991, terletak di
Jalan Noja dekat Dam Oongan Denpasar dan dipimpin oleh Wayan Durjana
sebagai kepala LPD. Sampai bulan Mei 2013, LPD Desa Pakraman Oongan
memiliki total asset sebesar Rp. 3.860.811.000,00 (tiga miliar delapan ratus enam
puluh juta delapan ratus sebelas ribu rupiah).
Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat berupa tabungan sukarela dan
simpanan berjangka dengan jumlah Rp. 2.710.994.217,00 (dua miliar tujuh ratus
sepuluh juta sembilan ratus sembilan puluh empat ribu dua ratus tujuh belas
rupiah). Jumlah kredit yang telah diberikan kepada masyarakat adalah sebesar Rp.
3.245.038.033,00 (tiga miliar dua ratus empat puluh lima juta tiga puluh delapan
ribu tiga puluh tiga rupiah). (wawancara pada tanggal 19 Juni 2013).
2.
LPD Desa Pakraman Peraupan
99
LPD Desa Pakraman Peraupan didirikan pada tanggal 9 Februari 1996
dengan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 619 Tahun 1996, terletak di Desa
Peraupan Kecamatan Denpasar Utara dan dipimpin oleh Ni Wayan Wardani
sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Juni 2013, LPD Desa Pakraman Peraupan
memilik total asset Rp. 7.625.194.937,00 (tujuh miliar enam ratus dua puluh lima
juta seratus sembilan puluh empat ribu sembilan ratus tiga puluh tujuh rupiah).
Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah 5.958.448.174,00 (lima
miliar sembilan ratus lima puluh delapan juta empat ratus empat puluh delapan
ribu seratus tujuh puluh empat rupiah). Jumlah kredit yang telah diberikan kepada
masyarakat adalah sebesar Rp. 6.023.512.500,00 (enam miliar dua puluh tiga juta
lima ratus dua belas ribu lima ratus rupiah). (wawancara pada tanggal 7 Juli
2013).
3.
LPD Desa Pakraman Peninjoan
LPD Desa Pakraman Peninjoan didirikan pada tanggal 3 September 1991
berdasarkan Keputusan Gubernur Bali Nomor 588 Tahun 1991, terletak di Jalan
Padma Nomor 25, Desa Peguyangan Kangin, sebelah selatan Pasar Agung Desa
Pakraman Peninjoan, Kecamatan Denpasar Utara dan dipimpin oleh I Ketut Warta
sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Juni Tahun 2013, LPD Desa Pakraman
Oongan memili total asset sebesar Rp. 13.258.133.489 (tiga belas miliar dua ratus
lima puluh delapan juta seratus tiga puluh tiga ribu empat ratus delapan puluh
sembilan rupiah).
Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah 11.840.274.078,00
(sebelas miliar delapan ratus empat puluh juta dua ratus tujuh puluh empat ribu
100
tujuh puluh delapan rupiah). Jumlah kredit yang sudah diberikan kepada
masyarakat adalah Rp. 7.951.702.400,00 (tujuh miliar sembilan ratus lima puluh
satu juta tujuh ratus dua ribu empat ratus rupiah). (wawancara pada tanggal 6 Juli
2013).
4.
LPD Desa Pakraman Kedua
LPD Desa Pakraman Kedua didirikan pada tanggal 12 Nopember 2002
berdasarkan keputusan Gubernur Bali Nomor 474/01-C/HK/2002, terletak di
Banjar Kedua, Kecamatan Denpasar Utara, dan dipimpin oleh Sagung Anom
Widhi Astuti, A,Md sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Mei 2013, LPD Desa
Pakraman Kedua memiliki total asset sebesar Rp. 1.365.411.992,00 (satu miliar
tiga ratus enam puluh lima juta empat ratus sebelas ribu sembilan ratus sembilan
puluh dua rupiah).
Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp.
1.124.876.547,00 (satu miliar seratus dua puluh empat juta delapan ratus tujuh
puluh enam ribu lima ratus empat puluh tujuh rupiah). Jumlah kredit yang
diberikan kepada masyarakat sebesar Rp. 839.767.136, 00 (delapan ratus tiga
puluh sembilan juta tujuh ratus enam puluh tujuh ribu seratus tiga puluh enam
rupiah). (wawancara pada tanggal 17 Juni 2013).
5.
LPD Desa Pakraman Jenah
LPD Desa Pakraman Jenah didirikan pada tanggal 28 Agustus 2006
berdasarkan Surat Keputusan Walikota Nomor 96 Tahun 2006 dan Surat
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 6/01-C/HK/2006
101
tanggal 9 Januari 2006 tentang Pendirian LPD di Propinsi Daerah Tingkat I Bali,
terletak di Banjar Jenah, Peguyangan Kangin, Denpasar Utara, dan dipimpin oleh
I Wayan Oka Widastra sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Mei 2013, LPD Desa
Pakraman Jenah memiliki total asset sebesar Rp. 1.880.617.394,00 (satu miliar
delapan ratus delapan puluh juta enam ratus tujuh belas ribu tiga ratus sembilan
puluh empat rupiah).
Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp.
1.205.074.270,00 (satu miliar dua ratus lima juta tujuh puluh empat ribu dua ratus
tujuh puluh rupiah). Kredit yang sudah diberikan kepada masyarakat adalah Rp.
1.013.201.460,00 (satu miliar tiga belas juta dua ratus satu ribu empat ratus enam
puluh rupiah). (wawancara pada tanggal 6 Juli 2013).
6.
LPD Desa Pakraman Cengkilung
LPD Desa Pakraman Cengkilung didirikan pada tanggal 01 April 2007
berdasarkan Keputusan Gubernur Bali tanggal 9 Februari Tahun 2007 Nomor
103/01-C/HK/2007, terletak di Jalan Warmadewa II Banjar Cengkilung,
Peguyangan Kangin, dan dipimpin oleh I Gusti Ngurah Bagus sebagai Kepala
LPD. Sampai bulan Mei 2013, LPD Desa Pakraman Jenah memiliki total asset
sebesar Rp. 850.896.263,00 (delapan ratus lima puluh juta delapan ratus sembilan
puluh enam ribu dua ratus enam puluh tiga rupiah).
Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp.
622.747.150,00 (enam ratus dua puluh dua ribu tujuh ratus empat puluh tujuh ribu
seratus lima puluh rupiah). Jumlah kredit yang sudah diberikan kepada
masyarakat adalah sebesar Rp. 747.367.550,00 (tujuh ratus empat puluh tujuh juta
102
tiga ratus enam puluh tujuh ribu lima ratus lima puluh rupiah). (wawancara pada
tanggal 1 Juli 2013).
7.
LPD Desa Pakraman Sumerta
LPD Desa Pakraman Sumerta didirikan pada tanggal 04 Oktober 1986
berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 282
Tahun 1986, terletak di Jalan Nusa Indah Nomor 62 Denpasar, dan dipimpin oleh
I Made Darsana, SH sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Juli 2013, LPD Desa
Pakraman Sumerta memiliki total asset sebesar Rp. 15. 280. 681. 430,00 (lima
belas miliar dua ratus delapan puluh juta enam ratus delapan puluh satu ribu
empat ratus tiga puluh rupiah).
Jumlah dana yang sudah dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp.
11.535.441.320,00 (sebelas miliar lima ratus tiga puluh lima juta empat ratus
empat puluh satu ribu tiga ratus dua puluh rupiah). Jumlah kredit yang diberikan
kepada masyrakat adalah sebesar Rp. 10. 641. 665. 150,00 (sepuluh miliar enam
ratus empat puluh satu juta enam ratus enam puluh lima ribu seratus lima puluh
rupiah). (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013).
8.
LPD Desa Pakraman Kesiman
LPD Desa Pakraman Kesiman didirikan pada tanggal 4 Mei 1991
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 58 tanggal 5 Februari 1991,
terletak di Jalan Waribang, dan dipimpin oleh Drs. I Wayan Rayun, MBA. Sampai
bulan Juni 2013, LPD Desa Pakraman Kesiman memiliki total asset sebesar Rp.
90.000.000.000,00 (sembilan puluh miliar rupiah).
103
Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat sebesar Rp. 82.149.500.000,00
(delapan puluh dua miliar seratus empat puluh sembilan juta lima ratus ribu
rupiah). Jumlah kredit yang sudah diberikan kepada masyarakat adalah sebesar
Rp. 76.997.000.000,00 (tujuh puluh enam miliar sembilan ratus sembilan puluh
tujuh juta rupiah). (wawancara pada tanggal 16 Juli 2013).
9.
LPD Desa Pakraman Yangbatu
LPD Desa Pakraman Yangbatu didirikan pada tanggal 01 Maret 1996
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 619 tanggal 13 Nopember
1995 dan didukung dengan Surat Pengukuhan Walikota Nomor 86 tanggal 23
Februari 1996, menempati kantor bersama Kepala Desa Dangin Puri Kelod
Denpasar yang berlamat di Jalan Letda Kajeng Nomor 35 Denpasar, dan dipimpin
oleh I Putu Sumadi sebagai Kepala LPD. Sampai bukan Juli 2013, LPD Desa
Pakraman Yangbatu memiliki total asset sebesar Rp. 10.039.776.987,00 (sepuluh
miliar tiga puluh sembilan juta tujuh ratus tujuh puluh enam ribu sembilan ratus
delapan puluh tujuh rupiah).
Jumlah dana yang sudah dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp.
7.289.086.413,00 (tujuh miliar dua ratus delapan puluh sembilan juta delapan
puluh enam ribu empat ratus tiga belas rupiah). Jumlah kredit yang diberikan
kepada masyarakat adalah Rp. 4. 689.532.100,00 (empat miliar enam ratus
delapan puluh sembilan juta lima ratus tiga puluh dua ribu seratus rupiah).
(wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013).
10. LPD Desa Pakraman Tembawu
104
LPD Desa Pakraman Tembawu didirikan pada tanggal 23 September 1987
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 350
Tahun 1987, terletak di Pasar Tamba, Jalan Trengguli, Tembawu, Kelurahan
Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, dan dipimpin oleh I Made Medal sebagai
Kepala LPD. Sampai bulan Juli 2013, LPD Desa Pakraman Tembawu memiliki
total asset sebesar Rp. 16. 516. 298. 753,00 (enam belas miliar lima ratus enam
belas juta dua ratus sembilan puluh delapan ribu tujuh ratus lima puluh tiga
rupiah).
Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp. 11. 291. 539.
931, 00 (sebelas miliar dua ratus sembilan puluh satu juta lima ratus tiga puluh
sembilan ribu sembilan ratus tiga puluh satu rupiah). Jumlah kredit yang diberikan
kepada masyarakat adalah sebesar Rp. 11. 138. 532. 950, 00 (sebelas miliar
seratus tiga puluh delapan juta lima ratus tiga puluh dua ribu sembilan ratus lima
puluh rupiah). (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013).
11. LPD Desa Pakraman Penatih Puri
LPD Desa Pakraman Penatih Puri didirikan pada tanggal 06 Juni 1996
berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 619
Tahun 1995, terletak di Banjar Saba, dan dipimpin oleh I Gusti Putu Sukanta
sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Mei 2013, LPD Desa Pakraman Penatih Puri
memiliki total asset sebesar Rp. 2.231.994.026,00 (dua miliar dua ratus tiga puluh
satu juta sembilan ratus sembilan puluh empat ribu dua puluh enam rupiah).
Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat sebesar Rp. 1.228.723.388,00
(satu miliar dua ratus dua puluh delapan juta tujuh ratus dua puluh tiga ribu tiga
105
ratus delapan puluh delapan rupiah). Jumlah kredit yang diberikan kepada
masyarakat adalah sejumlah Rp. 1.558.674.125,00 (satu miliar lima ratus lima
puluh delapan juta enam ratus tujuh puluh empat ribu seratus dua puluh lima
rupiah). (wawancara pada tanggal 09 Juli 2013).
12. LPD Desa Pakraman Penatih
LPD Desa Pakraman Penatih didirikan pada tanggal 21 September 1991
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 588 Tahun 1991, terletak di
perbatasan antara Jalan Trengguli dan Jalan Trenggana, Penatih, Denpasar Timur,
dan dipimpin oleh I Wayan Brata sebagai Kepala LPD. Sampai Mei 2013, LPD
Desa Pakraman Penatih memiliki total asset sebesar Rp. 14.000.000.000,00
(empat belas miliar rupiah).
Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat sejumlah Rp. 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah). Jumlah kredit yang diberikan kepada masyarakat adalah
sebesar Rp. 11.347.880.400,00 (sebelas miliar tiga ratus empat puluh tujuh juta
delapan ratus delapan puluh ribu empat ratus rupiah).
13. LPD Desa Pakraman Anggabaya
LPD Desa Pakraman Anggabaya didirikan pada tahun 1987 berdasarkan
Surat Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 972 Tahun 1984 pada
tanggal 1 Nopember 1984, terletak di Jalan Trenggana, Pasar Kerta Waringin,
Desa Pakraman Anggabaya, Kelurahan Penatih, Denpasar Timur, dan dipimpin
oleh I Made Sutarka sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Juni 2013, LPD Desa
Pakraman Anggabaya memiliki total asset sebesar Rp. 3.402.216.394,00 (tiga
106
miliar empat ratus dua juta dua ratus enam belas ribu tiga ratus sembilan puluh
empat rupiah).
Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp.
2.785.698.899,00 (dua miliar tujuh ratus delapan puluh lima juta enam ratus
sembilan puluh delapan ribu delapan ratus sembilan puluh sembilan rupiah).
Kredit yang diberikan kepada masyarakat adalah sebesar Rp. 1.792.670.810,00
(satu miliar tujuh ratus sembilan puluh dua juta enam ratus tujuh puluh ribu
delapan ratus sepuluh rupiah). (wawancara pada tanggal 19 Juli 2013).
14. LPD Desa Pakraman Bekul
LPD Desa Pakraman Bekul didirikan pada tanggal 27 Desember 1987
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Bali
Nomor 417 Tahun 1987, terletak di Jalan Siulan Nomor 128 Desa Penatih Dangin
Puri, Kecamatan Denpasar Timur, dan dipimpin oleh I Wayan Biyeg sebagai
Kepala LPD. Sampai bulan Juni 2013, LPD Desa Pakraman Bekul memiliki total
asset sebesar Rp. 20.687.578.651,00 (dua puluh miliar enam ratus delapan puluh
tujuh juta lima ratus tujuh puluh delapan ribu enam ratus lima puluh satu rupiah).
Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat sebesar Rp. 15. 847.552.192,00
(lima belas miliar delapan ratus empat puluh tujuh juta lima ratus lima puluh dua
ribu seratus sembilan puluh dua rupiah). Jumlah kredit yang diberikan kepada
masyarakat adalah sebesar Rp. 12.193.212.511,00 (dua belas miliar seratus
sembilan puluh tiga juta dua ratus dua belas ribu lima ratus sebelas rupiah).
(wawancara pada tanggal 8 Juli 2013).
15. LPD Desa Pakraman Intaran
107
LPD Desa Pakraman Intaran didirikan pada tanggal 20 Januari 1992
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 199 Tahun 1991 tertanggal 20
April 1991, terletak di Jalan Intaran Nomor 2A Desa Sanur Kauh, dan dipimpin
oleh I Wayan Mudana, SE sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Juli 2013, LPD
Desa Pakraman Intaran memiliki total asset sebesar Rp. 79.224.086.426,00 (tujuh
puluh sembilan miliar dua ratus dua puluh empat juta delapan puluh enam ribu
empat ratus dua puluh enam rupiah).
Jumlah dana yang sudah dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp.
72.230.991.963,00 (tujuh puluh dua miliar dua ratus tiga puluh juta sembilan ratus
sembilan puluh satu ribu sembilan ratus enam puluh tiga rupiah). Kredit yang
diberikan kepada masyarakat adalah sejumlah Rp. 54.110.620.951,00 (lima puluh
empat miliar seratus sepuluh juta enam ratus dua puluh ribu sembilan ratus lima
puluh satu rupiah). (wawancara pada tanggal 12 Agustus 2013).
16. LPD Desa Pakraman Sanur
LPD Desa Pakraman Sanur didirikan pada tanggal 1 September 1991
berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 588
Tahun 1991, terletak di Kantor Kepala Desa Sanur Kaja, dan dipimpin oleh I
Wayan Loka, SE sebagai Kepala LPD. Sampai bulan Juni 2013, LPD Desa
Pakraman Sanur memiliki total asset sebesar Rp. 13.887.029.484,00 (tiga belas
miliar delapan ratus delapan puluh tujuh juta dua puluh sembilan ribu empat ratus
delapan puluh empat rupiah).
Jumlah dana yang sudah dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp.
10.646.609.738,00 (sepuluh miliar enam ratus empat puluh enam juta enam ratus
108
sembilan ribu tujuh ratus tiga puluh delapan rupiah). Kredit yang diberikan
kepada masyarakat adalah sejumlah Rp. 11.530.864.400,00 (sebelas miliar lima
ratus tiga puluh juta delapan ratus enam puluh empat ribu empat ratus rupiah).
(wawancara pada tanggal 30 Juli 2013).
17. LPD Desa Pakraman Renon
LPD Desa Pakraman Renon didirikan pada tanggal 25 Februari 1987
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I Bali Nomor 105 Tahun
1987 tanggal 17 Februari 1987 , terletak di Jalan Tukad Balian Nomor 144 Renon
Denpasar, dan dipimpin oleh I Wayan Madia, sebagai Kepala LPD. Sampai bulan
Juli 2013, LPD Desa Pakraman Renon memiliki total asset sebesar Rp.
7.374.241.000,00 (tujuh miliar tiga ratus tujuh puluh empat juta dua ratus empat
puluh satu ribu rupiah).
Jumlah dana yang sudah dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp. 4.
974.874.000,00 (empat miliar sembilan ratus tujuh puluh empat juta delapan ratus
tujuh puluh empat ribu rupiah). Jumlah kredit yang diberikan kepada masyarakat
adalah sejumlah Rp. 1.830.595.735,00 (satu miliar delapan ratus tiga puluh juta
lima ratus sembilan puluh lima ribu tujuh ratus tiga puluh lima rupiah).
(wawancara pada tanggal 12 Agustus 2013).
18. LPD Desa Pakraman Penyaringan
LPD Desa Pakraman Penyaringan didirikan pada tanggal 15 Agustus 2007
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 103/01-C/HK/2007 tanggal
09 Februari 1987, terletak di Jalan Penyaringan Nomor 17 Sanur Kauh, Denpasar
109
Selatan dan dipimpin oleh I Made Adnyana, SE sebagai Kepala LPD. Sampai
bulan Juni 2013, LPD Desa Pakraman Penyaringan memiliki total asset sebesar
Rp. 9.707.079.118,00 (sembilan miliar tujuh ratus tujuh juta tujuh puluh sembilan
ribu seratus delapan belas rupiah).
Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp.
7.771.652.204,00 (tujuh miliar tujuh ratus tujuh puluh satu juta enam ratus lima
puluh dua ribu dua ratus empat rupiah). Jumlah kredit yang sudah diberikan
kepada masyarakat adalah sebesar Rp. 9.009.173.060,00 (sembilan miliar
sembilan juta seratus tujuh puluh tiga ribu enam puluh rupiah). (wawancara pada
tanggal 30 Juli 2013).
19. LPD Desa Pakraman Padang Sambian
LPD Desa Pakraman Padang Sambian didirikan pada tanggal 16 Februari
1990 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Daerah Tingkat I Bali Tahun
1989/1990, terletak di Jalan Gunung Sangiang, Denpasar Barat dan dipimpin oleh
Ir. I Made Astra Wijaya sebagai Kepala LPD. Sampai pada bulan Juli 2013, LPD
Desa
Pakraman
Padang
Sambian
memiliki
total
asset
sejumlah
Rp.
87.000.000.000,00 (delapan puluh tujuh miliar).
Jumlah dana yang dihimpun dari masyarakat adalah sebesar Rp.
71.000.000.000,00 (tujuh puluh satu miliar). Jumlah kredit yang sudah diberikan
kepada masyarakat adalah sebesar Rp. 68.000.000.000,00 (enam puluh delapan
miliar). (wawancara pada tanggal 05 Agustus 2013).
110
3.2 Prosedur Pemberian Kredit Dengan Jaminan Sertifikat Hak Milik Atas
Tanah di LPD
Salah satu lapangan usaha LPD yang tercantum di dalam Perda LPD adalah
memberikan pinjaman kepada krama desa dalam bentuk kredit. Krama desa
selaku debitor yang datang ke LPD tentunya pihak LPD selaku kreditor tidak
dapat dengan langsung memberikan kredit yang diajukan oleh pihak debitor
tersebut.
Sebuah kredit mengandung resiko sehingga pihak LPD selaku kreditor
sebelum memutuskan untuk memberikan kredit memerlukan informasi mengenai
data-data calon debitor sebagai penerima kredit. Data-data tersebut penting
dipergunakan oleh LPD untuk memberikan penilaian terhadap keadaan serta
kemampuan debitor sehingga nantinya akan menumbuhkan kepercayaan bagi
LPD dalam memberikan kreditnya.
Untuk memperoleh keyakinan, maka LPD sebelum memberikan keputusan
kredit, dilakukan penilaian terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan
prospek usaha debitor. Dalam praktek keuangan LPD, kelima faktor yang dinilai
tersebut dikenal dengan sebutan the five of credit analysis atau prinsip 5C’s.
Adapun kelima unsur yang termasuk dalam formula 5C’s adalah character
(karakter debitor), capacity (kemampuan membayar), capital (permodalan),
collateral (jaminan), dan condition of economic (kondisi ekonomi)115.
Penilaian kredit dengan metode analisis 7P juga dapat diterapkan untuk
memberikan penilaian terhadap debitor pada saat mengajukan suatu permohonan
115
Kasmir, loc.cit.
111
kredit. Unsur – unsur penilaian kredit yang termasuk dalam analisis 7P adalah
personality (kepribadian debitor), party (klasifikasi debitor), perpose (tujuan
pengambilan
kredit),
prospect
(penilaian
usaha),
payment
(kemampuan
pembayaran), profitability (kemampuan debitor mencari laba), protection
(perlindungan usaha dan jaminan)116:
Cara penilaian yang demikian bukan merupakan hal yang baru untuk
dilaksanakan oleh LPD. Penilaian berdasarkan prinsip 5C’s dan 7P ini diterapkan
sejalan dengan prosedur pemberian kredit oleh LPD. Untuk dapat memperoleh
kredit di LPD dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tentunya terdapat
beberapa tahap sampai kredit itu disetujui oleh pihak LPD untuk diberikan kepada
debitor.
Pada tahap – tahap yang harus dilalui, pihak LPD akan memberikan penilaian
apakah permohonan kredit akan diterima oleh LPD atau tidak. Adapun tahap yang
harus dilalui oleh pihak debitor maupun pihak LPD sebagai kreditor, antara lain:
1.
Tahap pengajuan permohonan kredit
Pada tahap pengajuan permohonan kredit, debitor wajib datang ke LPD untuk
mengutarakan keinginannya memerlukan kredit. Adapun persyaratan yang harus
dibawa oleh calon debitor untuk pengajuan permohonan kredit adalah:
a. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) Suami Istri;
b. Fotocopy Kartu Keluarga (KK);
c. Asli dan fotocopy sertifikat hak milik atas tanah yang akan dijadikan
sebagai jaminan. Nama yang mengajukan permohonan kredit haruslah
116
Kasmir, op.cit, hal. 110-111.
112
sama dengan nama yang tertera di dalam sertifikat hak milik atas tanah;
Apabila nama yang tercantum dalam sertifikat adalah nama orang lain
(bukan pemohon kredit) atau banyak nama, maka pihak debitor harus
menyertakan surat kuasa dari pemilik (nama yang tertera di sertifikat hak
milik atas tanah) kepada si peminjam (pemohon kredit) untuk
menggunakan tanah tersebut sebagai jaminan;
d. Fotocopy pelunasan pajak terakhir;
e. Slip gaji apabila calon debitor bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)
dan karyawan swasta;
f. Riwayat pinjaman (apabila calon debitor pernah meminjam di bank lain);
g. Neraca (apabila calon debitor mempunyai usaha);
h. Fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) apabila ada.
Kepala bagian kredit selanjutnya memeriksa kelengkapan persyaratan yang
dibawa oleh calon debitor apakah sudah lengkap atau masih ada kekurangan.
Apabila terdapat kekurangan syarat tersebut di atas, maka calon debitor
diwajibkan untuk memenuhi kekurangan tersebut.
2. Tahap pengecekan jaminan
Pengecekan jaminan dilakukan dengan cara mengecek nama yang tertera di
dalam sertifikat hak milik atas tanah yang akan dijadikan jaminan kredit. Apabila
nama yang tertera di dalam sertifikat hak milik atas tanah lebih dari 1 (satu)
orang, maka pihak debitor harus melampirkan surat kuasa yang menyebutkan
bahwa pihak debitor diberikan kuasa oleh nama pemilik lainnya untuk
113
menggunakan sertifikat hak milik atas tanah tersebut sebagai jaminan kredit di
LPD.
Pengecekan jaminan juga dilakukan dengan cara lain, yaitu pihak LPD yang
berjumlah 2 (dua) orang, yaitu Kepala LPD dan bagian kredit terjun langsung ke
lapangan untuk melihat kondisi tanah yang akan dijadikan jaminan dalam
pengajuan kredit ke LPD. Tanah yang diutamakan agar dapat diterima sebagai
jaminan bagi pihak LPD adalah tanah yang berlokasi di desa pakraman setempat,
atau sejauh-jauhnya berlokasi di wilayah Kota Denpasar.
Namun dalam perjalanannya, terdapat beberapa nasabah yang menggunakan
jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang lokasi tanahnya berada di luar Kota
Denpasar. Jaminan tanah yang berlokasi di luar wilayah Kota Denpasar dapat
diterima sebagai jaminan dapat juga tidak tergantung dari kebijaksanaan yang
diberikan oleh LPD. Kebijaksanaan tersebut tentunya didasari atas pertimbanganpertimbangan yang dilakukan oleh pihak LPD.
Pengecekan lokasi tanah yang dilakukan oleh pihak LPD bertujuan untuk
mengecek kebenaran akan lokasi tanah tersebut. Misalnya, mengambil foto atas
tanah yang akan dijadikan jaminan kredit, melakukan pengukuran untuk
mengetahui luas tanahnya, kebenaran akan Nomor Identifikasi Bidang Tanah
(NIB), serta menafsirkan nilai tanah tersebut apakah melebihi nominal pinjaman
atau harga tanah tersebut kurang dari nominal pinjaman.
Pihak LPD juga melakukan pengecekan terhadap tanah tersebut dengan cara
menanyakan kepada penyanding mengenai watak serta situasi dan kondisi dari
tanah tersebut. Penyanding yang dimaksud disini adalah pemilik dari tanah yang
114
memiliki lokasi berdekatan dengan tanah yang akan dijadikan jaminan kredit di
LPD.
Apabila jaminan kredit akan diikat dengan APHT, maka Pihak LPD
melakukan pengecekan resmi yang dilakukan di Kantor Petanahan Kota Denpasar
melalui jasa PPAT dan membutuhkan waktu sampai 4 (empat) hari. Pengecekan
dilakukan bertujuan untuk menghindari terjadinya sertifikat ganda dan untuk
menghindari gugatan dari pihak lain.
3. Tahap pengisian surat permohonan kredit
Apabila pengecekan terhadap tanah yang akan dijadikan jaminan kredit telah
selesai dan diputuskan bahwa tanah tersebut dapat diterima oleh pihak LPD, maka
debitor diwajibkan untuk mengisi formulir pinjaman konsumtif atau pinjaman
usaha. Dalam surat permohonan kredit ini tercantum 2 (dua) komponen, yaitu data
umum, pernyataan dan pengeluaran per bulan dari nasabah. Kedua komponen ini
harus diisi sebenar-benarnya oleh pihak nasabah.
Data umum yang dimaksud dalam surat ini adalah data mengenai nama,
nomor KTP, tempat dan tanggal lahir, alamat, pekerjaan, nomor telepon, nama
istri atau suami apabila sudah menikah. Selain itu, juga dicantumkan nomor KTP
suami istri, tempat dan tanggal lahir suami/istri, pekerjaan suami/istri, besarnya
permohonan kredit, jangka waktu kredit, tujuan permohonan kredit, dan jaminan
kredit.
Mengenai pernyataan dan pengeluaran dari pihak debitor selaku pemohon
kredit, meliputi pendapatan pemohon dan pengeluaran pemohon. Pendapatan
pemohon berupa pendapatan suami/istri dan penghasilan lainnya, sedangkan
115
pengeluaran pemohon berupa pangan, biaya listrik, biaya telepon, biaya
pendidikan, biaya sandang, dan biaya lain-lain.
Pihak pemohon kredit memberikan persetujuan/kuasa kepada LPD untuk
menghubungi sumber manapun yang dianggap perlu untuk mengecek kebenaran
akan data yang diisi oleh pihak pemohon dalam surat ini. Surat permohonan kredit
ini ditandatangani oleh pemohon dan suami/istri sebagai pihak yang menyetujui,
dan bendesa adat desa pakraman yang bersangkutan, serta dibubuhi stempel dari
LPD yang bersangkutan.
4. Tahap analisa pemberian kredit
Tahap analisa pemberian kredit biasanya dilakukan oleh analis/bagian kredit.
Tahap analisa pemberian kredit itu dilakukan untuk mengetahui usia pemohon,
domisili di alamat sekarang apakah di desa pakraman sendiri atau tidak, tingkat
pendidikan, jangka waktu mengenai lamanya pihak pemohon bekerja, karakter,
sejarah masa lampau pinjaman, kontribusi dana, pendapatan suami/istri untuk
membantu pembayaran kembali pinjaman, surat pemotongan gaji, perbandingan
antara besarnya angsuran dengan surplus menunjukkan ratio, serta jaminan.
Masing-masing dari komponen tersebut akan diberi score oleh pihak LPD
yang melakukan analisis kredit sehingga selesainya tahap analisis kredit ini
dilakukan akan menunjukkan penilaian resiko kredit. Surat analisa kredit ini tidak
ditandatangani oleh para pihak. Surat analisa kredit merupakan surat hasil laporan
analisa kredit yang telah dilakukan oleh pihak LPD.
116
5. Tahap pembuatan memorandum pengusulan kredit
Memorandum
pengusulan
kredit
dibuat
oleh
analis/bagian
kredit.
Memorandum ini berisikan data pemohon, rekomendasi analis/bagian kredit,
pertimbangan/ data pemohon, meliputi nama pemohon, nomor KTP, tempat dan
tanggal lahir, alamat pemohon, jumlah permohonan kredit, tujuan permohonan
kredit, nilai/score, dan hubungan pihak debitor dengan LPD.
Mengenai rekomendasi analis/bagian kredit memuat tentang usulan dari
bagian kredit mengenai maksimum kredit yang diberikan, suku bunga, jangka
waktu, bentuk kredit, ongkos kredit, tujuan penggunaan kredit, nilai jaminan, serta
syarat lainnya. Bagian akhir memorandum ini dibubuhi tanda tangan analis/bagian
kredit dan tanda tangan dari Kepala LPD dan Ketua Badan Pengawas sebagai
pemutus kredit.
6. Tahap penandatanganan surat keputusan kredit (SKK)
Apabila pihak LPD telah menyetujui permohonan kredit yang diajukan oleh
pihak debitor selaku pemohon, maka selanjutnya akan dilakukan tahap
penandatanganan surat keputusan kredit. Surat keputusan kredit berisikan data
umum tentang debitor serta persetujuan pihak LPD terhadap permohonan kredit
dari debitor dengan ketentuan dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh LPD.
Data umum dari debitor sebagai pemohon kredit adalah meliputi, nama
debitor, perusahaan, alamat, maksimum kredit, jangka waktu, tujuan penggunaan
kredit, suku bunga, ongkos-ongkos kredit, dan jaminan. Adapun syarat-syarat
yang ditentukan oleh LPD dalam surat keputusan kredit tersebut mencakup 3
117
(tiga) syarat, yaitu syarat penandatanganan perjanjian kredit, syarat penarikan
kredit, dan syarat-syarat lain.
Syarat penandatanganan perjanjian kredit, memuat 3 (tiga) ketentuan penting,
yaitu pihak debitor telah menyetujui dengan menandatangani surat keputusan
kredit (SKK) dan menyerahkan kembali surat keputusan kredit (SKK) kepada
LPD, pihak debitor wajib menyerahkan surat-surat asli dari barang jaminan
kepada LPD, serta ketentuan bahwa perjanjian kredit akan dibuat di bawah
tangan. Ketentuan yang tercantum dalam syarat penarikan kredit adalah perjanjian
kredit telah ditandatangani oleh pihak debitor selaku pemohon kredit dan pihak
LPD, serta pengikatan jaminan telah dilengkapi.
Syarat-syarat lain juga tercantum di dalam surat keputusan kredit. Syaratsyarat lainnya adalah pihak debitor tidak diperbolehkan menggunakan kredit
menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan pihak debitor
wajib tunduk terhadap peraturan-peraturan yang telah dan akan ditetapkan oleh
LPD yang bersangkutan. Surat keputusan kredit ini dibuat rangkap 2 (dua), serta
ditandatangani oleh pihak debitor selaku pemohon kredit dan pihak LPD, yaitu
Kepala LPD.
7. Tahap penandatanganan surat perjanjian kredit
Penandatanganan surat perjanjian kredit merupakan momentum yang sangat
penting dalam pemberian kredit oleh LPD. Perjanjian kredit yang ditandatangani
oleh kedua belah pihak secara khusus memuat kesepakatan hak dan kewajiban
antara kedua belah pihak, yaitu pihak LPD sebagai pemberi kredit dan pihak
debitor sebagai penerima kredit.
118
Surat perjanjian kredit memuat identitas kedua belah pihak. Pihak pertama
tercantum bahwa Kepala LPD bertindak untuk dan atas nama LPD sedangkan
pihak kedua tercantum bahwa nama debitor bertindak untuk dan atas nama diri
sendiri dan telah mendapat persetujuan dari pihak suami/isteri.
Para pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian kredit dengan syarat dan
ketentuan yang sudah disetujui oleh kedua belah pihak. Adapun syarat dan
ketentuan tersebut, meliputi:
a.
Persetujuan pihak LPD memberikan pinjaman kepada debitor dan kewajiban
debitor untuk melunasi segala pinjaman uang/fasilitas kredit, berikut bunga
serta biaya lainnya yang timbul dari perjanjian kredit ini;
b.
Kewajiban debitor untuk pembayaran angsuran setiap bulannnya dengan
bunga yang telah ditentukan, serta pembayaran denda apabila terjadi
keterlambatan pembayaran hutang. Selain pembayaran angsuran, debitor juga
dibebankan biaya administrasi yang dihitung dari besarnya jumlah pinjaman;
c.
Jangka waktu pembayaran hutang, yaitu kapan dimulainya pembayaran
hutang tahap pertama sampai dengan batas akhir pembayaran hutang oleh
pihak debitor;
d.
LPD selaku kreditor memiliki hak untuk melakukan penagihan hutang berikut
bunga, denda, serta biaya lainnya apabila pihak debitor menggunakan
pinjaman tersebut menyimpang dari tujuan penggunaannya dan apabila
debitor melalaikan pemenuhan terhadap kewajibannya;
e.
Uraian lengkap mengenai jaminan yang berupa sertifikat hak milik atas tanah
yang akan dijadikan jaminan hutang pada LPD yang bersangkutan. Uraian
119
mengenai jaminan harus dicantumkan secara mendetail. Misalnya, mengenai
nomor sertifikat hak milik atas tanah, letak tanah, keadaan tanah, nama
pemilik yang tertera dalam sertifikat hak milik atas tanah, serta nomor
identifikasi bidang tanah;
f.
Kewajiban bagi pihak debitor untuk tidak menjual, melepas, atau
menjaminkan kembali jaminan yang berupa sertifikat hak milik atas tanah
tersebut kepada pihak lain tanpa sepengetahuan dari LPD;
g.
LPD memiliki hak berdasarkan kuasa yang diberikan oleh pihak debitor
untuk melakukan penyitaan terhadap barang jaminan yang berupa sebidang
tanah apabila dalam jangka waktu pembayaran kredit tersebut, debitor
mengalami kemacetan pembayaran kredit dan penyimpangan penggunaan
kredit yang diberikan oleh LPD;
h.
Kewajiban bagi ahli waris dari pihak debitor apabila debitor telah meninggal
dunia dan kredit-kredit yang telah dipinjam dari LPD belum terbayar lunas;
i.
Kedua belah pihak sepakat untuk memilih tempat kedudukan hukum, jika
perselisihan yang timbul dari perjanjian kredit tersebut tidak dapat
diselesaikan secara kekeluargaan.
Surat perjanjian kredit yang melibatkan pihak LPD selaku pemberi kredit dan
penerima kredit ditandatangani oleh kedua belah pihak. Pihak penanggung dari
debitor (biasanya suami/istri) juga turut wajib menandatangani surat perjanjian
tersebut. Tujuan dari keikutsertaan pihak penanggung dalam perjanjian kredit ini
adalah agar pihak suami/istri mengetahui perbuatan hukum yang dilakukan oleh
salah satu pihak.
120
8. Tahap penandatanganan bukti pengeluaran kredit
Bukti pengeluaran kredit dikeluarkan oleh LPD pada saat pihak LPD
mengeluarkan kredit serta menyerahkannya secara langsung kepada debitor selaku
penerima kredit. Di dalam surat bukti pengeluaran kredit ini wajib tertera
mengenai, nomor surat perjanjian pinjaman atau surat perjanjian kredit, besarnya
pinjaman, biaya administrasi, biaya materai, sehingga akan diperoleh penerimaan
bersih kredit dari pihak LPD. Penandatanganan surat bukti pengeluaran kredit ini
dilakukan oleh bagian kasir dari LPD yang bersangkutan dan pihak debitor selaku
peminjam.
9. Tahap penandatanganan bukti penerimaan barang jaminan
Pada saat debitor menyerahkan asli sertifikat hak milik atas tanah sebagai
jaminan kredit pada LPD, maka pihak LPD wajib menyertakan surat bukti
penerimaan barang jaminan. Surat bukti penerimaan barang jaminan, memuat
uraian secara lengkap mengenai identitas dari tanah tersebut.
Uraian tersebut meliputi, nomor sertifikat hak milik atas tanah, gambar situasi
atau surat ukur, luas tanah, letak tanah, serta nama yang tercantum di dalam
sertifikat tersebut. Surat bukti penerimaan barang jaminan ditandatangani oleh
Kepala LPD selaku penerima barang jaminan dan pihak debitor selaku yang
menyerahkan barang jaminan.
10. Tahap penandatanganan surat kuasa menjual
Surat kuasa menjual yang ditandatangani oleh pihak debitor selaku pemberi
kuasa dan Kepala LPD selaku penerima kuasa memuat tentang pemberian kuasa
dari pihak debitor kepada pihak LPD. Kuasa yang diberikan adalah kuasa untuk
121
melakukan penjualan terhadap barang jaminan apabila pihak debitor mengalami
kemacetan sebanyak tiga kali berturut-turut dalam melakukan pembayaran hutang
atau kredit.
Di dalam surat kuasa menjual juga dicantumkan bahwa apabila terdapat sisa
dari hasil penjualan maka pihak LPD berkewajiban untuk mengembalikannya
kepada pihak debitor, sedangkan apabila dari hasil penjualan tersebut ternyata
masih belum mencukupi untuk memenuhi sisa hutang dari pihak debitor, maka
pihak debitor tidak dapat membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut. Pihak
debitor tetap harus melakukan pembayaran terhadap sisa hutang yang belum
terbayar lunas.
11. Tahap pengikatan jaminan sertifikat hak milik atas tanah dengan APHT
Setelah pengecekan selesai dilakukan, maka pihak LPD dan debitor
melakukan penandatanganan perjanjian kredit. Perjanjian kredit yang telah
ditandatangani wajib dibawa ke kantor PPAT sebagai dasar untuk pembuatan
APHT.Penandatanganan APHT juga diikuti dengan pendaftaran Hak Tanggungan
ke Kantor Pertanahan Kota Denpasar untuk penerbitan sertifikat Hak
Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan menjadi hak penuh bagi LPD selama
kredit yang diberikan kepada debitor masih berjalan atau belum terlunasi;
Berdasarkan prosedur pemberian kredit tersebut di atas, menunjukkan bahwa
semua unsur yang disyaratkan dalam formula 5C’s dan 7P tidak seluruhnya
diterapkan oleh LPD untuk melakukan penilaian terhadap debitor dalam
mengajukan permohonan kredit yang menggunakan barang jaminan berupa
sertifikat hak milik atas tanah. Pihak LPD lebih menitikberatkan pada 3 (tiga)
122
unsur dalam formula 5C’s yaitu character (karakter debitor), capacity
(kemampuan membayar), dan collateral (jaminan) dan 5 (lima) unsur dalam
formula 7P, yaitu personality (kepribadian debitor), party (klasifikasi debitor),
perpose (tujuan pengambilan kredit), payment (kemampuan pembayaran),
protection (perlindungan usaha dan jaminan).
Hal ini terbukti dari adanya tahap pengisian formulir permohonan kredit dan
tahap analisis pemberian kredit yang merupakan implementasi dari unsur
character, capacity, personality, party, perpose, dan payment. Kedua tahap
tersebut memberikan suatu gambaran bagaimana karakter dan kepribadian debitor,
kemampuan membayar dari debitor yang mengajukan permohonan kredit, tujuan
permohonan kredit, serta klasifikasi debitor berdasarkan sejarah masa lampua
pinjaman.
Unsur lainnya yang diutamakan oleh pihak LPD adalah unsur collateral dan
protection. Unsur ini merupakan implementasi dari tahap pengecekan jaminan,
tahap penandatanganan bukti penerimaan barang jaminan, tahap penandatanganan
surat kuasa menjual, serta tahap pengikatan jaminan sertifikat hak milik atas tanah
dengan APHT. Keempat tahap tersebut menunjukkan bahwa LPD telah
melakukan pengecekan dan melakukan suatu upaya perlindungan terhadap
jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang akan dijadikan jaminan kredit oleh
pihak debitor.
Pemberian fasilitas kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah
biasanya dipandang dengan nominal permohonan kredit yang cukup besar.
Namun berdasarkan hasil wawancara dengan informan Ibu Sagung Anom Widhi
123
Astuti, Kepala LPD Desa Pakraman Kedua, menjelaskan bahwa tidak semua
pemberian kredit yang dijaminkan dengan sertifikat hak milik atas tanah
dikategorikan dengan pemberian kredit dalam jumlah yang besar.
LPD Desa Pakraman Kedua menerima jaminan sertifikat hak milik atas tanah
dengan permohonan kredit di bawah Rp 29.000.000,00 (duapuluh sembilan juta
rupiah). Kredit ini diberikan oleh pihak LPD asalkan tanah tersebut masih
berlokasi di wilayah desa pakraman, debitor atau peminjam adalah warga asli desa
pakraman kedua, serta nama yang tertera di dalam sertifikat hak milik atas tanah
adalah nama nasabah yang mengajukan permohonan kredit ke LPD.
Hal ini dikarenakan pihak nasabah sebagai pemohon kredit hanya memiliki
barang jaminan berupa tanah dan tidak memiliki jaminan berupa barang-barang
bergerak. Ibu Sagung Anom Widhi Astuti, menegaskan kembali bahwa jaminan
kredit dengan sertifikat hak milik atas tanah tidak hanya diberikan untuk kredit
yang nominalnya tinggi. (wawancara pada tanggal 17 Juni 2013).
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Bapak I Wayan Oka Widastra,
(Kepala LPD Desa Pakraman Jenah) dan Bapak I Gusti Ngurah Bagus (Kepala
LPD Desa Pakraman Cengkilung). Para Kepala LPD tersebut mengungkapkan
bahwa pemberian kredit kepada nasabah dengan jaminan sertifikat hak milik atas
tanah tidak harus melakukan pinjaman kredit dengan nominal yang tinggi dan
nasabah masih jarang menjaminkan sertifikat hak milik atas tanah.
LPD Desa Pakraman Jenah dan Cengkilung menerima jaminan sertifikat hak
milik atas tanah dengan permohonan kredit hanya sampai Rp 50.000.000,00
(limapuluh juta rupiah). Hal ini disebabkan karena batas maksimum pemberian
124
kredit oleh LPD adalah berjumlah Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah),
sedangkan batas minimum pemberian kredit adalah Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah). (wawancara pada tanggal 17 Juni 2013).
I Gusti Putu Sukanta sebagai Kepala LPD Desa Pakraman Penatih Puri,
menjelaskan bahwa kredit yang dicairkan oleh LPD dengan jaminan sertifikat hak
milik atas tanah sampai saat ini berjumlah maksimum RP 30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah). Tanah yang digunakan sebagai objek jaminan kredit tersebut
adalah luas tanah yang tidak terlalu besar, yaitu kira-kira berjumlah 100 m2
(seratus meter persegi), asalkan nilai tafsiran dari tanah tersebut harus melebihi
dari nilai nominal kredit yang diajukan oleh pihak nasabah.
Berdasarkan hasil wawancara dari para informan di atas, menunjukkan bahwa
pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tidak selalu kredit
dalam jumlah yang besar. Hal ini disebabkan karena keterbatasan penyediaan
barang jaminan oleh pihak debitor serta peraturan mengenai batas maksimum
pemberian kredit oleh LPD yang bersangkutan masih tergolong rendah.
3.3 Pembebanan Dan Pendaftaran Hak Tanggungan Pada LPD di Kota
Denpasar
Proses
pembebanan
Hak
Tanggungan
diawali
dengan
melakukan
penandatanganan APHT setelah syarat administrasi pengajuan kredit dipenuhi
oleh pihak debitor selaku pemohon kredit. Penandatanganan APHT dilakukan
oleh pihak LPD selaku pemegang Hak Tanggungan dan pihak debitor selaku
pemberi Hak Tanggungan. Penandatanganan dilakukan di Kantor PPAT sesuai
125
dengan daerah kerjanya, yaitu per kecamatan yang meliputi kelurahan dan desa
letak bidang tanah yang dijadikan jaminan kredit oleh pihak debitor117.
Melalui jasa PPAT, setelah dilakukan penandatanganan APHT maka Hak
Tanggungan akan didaftarkan di Kantor Pertanahan dan akan dikeluarkan tanda
bukti adanya Hak Tanggungan, yaitu sertifikat Hak Tanggungan. Salinan buku
tanah dan salinan APHT telah diadopsi di dalam sertifikat Hak Tanggungan yang
akan dipegang penuh oleh pihak LPD selaku kreditor selama kredit belum
terlunasi oleh pihak debitor.
Setelah melakukan penelitian pada beberapa LPD di Kota Denpasar,
pembebanan dan pendaftaran Hak Tanggungan yang disyaratkan oleh UUHT
tidak sepenuhnya dilakukan. Berikut dijelaskan mengenai hasil wawancara dari
para informan mengenai pembebanan Hak Tanggungan di LPD-nya masingmasing.
Bapak I Wayan Durjana, Ketua LPD Desa Pakraman Oongan, menjelaskan
bahwa pihak LPD memberikan kebijaksanaan dalam pemberian kredit dengan
jaminan sertifikat hak milik atas tanah. Kebijaksanaan tersebut diberikan bagi
debitor yang meminjam kredit di bawah Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan warga asli desa pakraman yang karakternya sudah dikenal dengan
baik oleh pihak LPD. Nasabah tersebut dikenal dengan kepribadiannya yang
luwes dan mau mematuhi peraturan mengenai kredit yang akan dipinjam dari
LPD, maka golongan nasabah tersebut dalam proses pemberian kreditnya dengan
117
Adrian Sutedi II, op.cit, hal. 73.
126
jaminan sertifikat hak milik atas tanah tidak lagi melakukan pengikatan APHT ke
kantor PPAT.
Nasabah yang bukan warga asli desa pakraman apabila meminjam kredit
dengan jaminan sertifikat tanah, dengan nominal kredit berkisar antara Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) sampai dengan Rp 20.000.000,00 (dua puluh
juta rupiah) tidak memerlukan pengikatan dengan APHT. Namun pemberian
kredit seperti ini wajib diimbangi dengan komunikasi yang baik dari pihak LPD
kepada debitor tersebut untuk melakukan pembayaran kredit secara tepat waktu.
Berbeda halnya dengan debitor yang meminjam kredit dengan nominal Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) ke atas, maka pemberian kredit dengan
jaminan sertifikat hak milik atas tanah tersebut wajib diikat dengan APHT di
kantor PPAT. Namun, jika pihak nasabah mampu mengembalikan kredit selama
10 (sepuluh) kali angsuran maka pihak LPD akan memberikan kebijaksanaan
untuk tidak diikat dengan APHT karena biasanya pemberian kredit dengan
nominal Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) ke atas diberikan jangka
waktu pelunasan selama 3 (tiga) sampai dengan 4 (empat) tahun. (wawancara
pada tanggal 19 Juni 2013).
Bapak I Wayan Rayun, Kepala LPD Desa Pakraman Kesiman, memberikan
komentar bahwa pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah
ada yang diikat dengan APHT dan ada yang tidak diikat. Kredit dengan jaminan
sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT hanya diberikan
kepada debitor golongan warga wed (asli desa pakraman) dan dinilai telah lancar
dan lebih dari 10 (sepuluh) kali meminjam kredit di LPD.
127
Debitor yang meminjam kredit di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) ke atas dan pihak LPD meragukan kemampuan membayar dari pihak
debitor tersebut, maka pihak debitor akan diajak untuk melakukan pengikatan ke
kantor PPAT. Pengikatan dengan APHT ini bertujuan apabila pihak debitor
melakukan wanprestasi, maka jaminan tanah yang diikat dengan APHT tersebut
dapat diuangkan atau dijual oleh pihak LPD guna untuk mendapatkan kembali
pelunasan piutangnya. (wawancara pada tanggal 16 Juli 2013). Hal yang sama
juga disampaikan oleh Bapak I Made Darsana sebagai Kepala LPD Desa
Pakraman Sumerta (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013).
Penjelasan berbeda diberikan oleh Ibu Ni Wayan Wardani, Kepala LPD Desa
Pakraman Peraupan, bahwa pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik
atas tanah di LPD Desa Pakraman Peraupan tidak pernah melakukan pengikatan
dengan APHT ke kantor PPAT. Hal ini disebabkan karena peminjaman kredit
oleh pihak debitor, baik dalam jumlah yang kecil maupun besar hanya dibuatkan
perjanjian kredit di bawah tangan serta cukup hanya mendapat persetujuan dari
bendesa adat. Pengikatan APHT tidak pernah dilakukan karena mengingat debitor
LPD tersebut merupakan warga asli desa pakraman peraupan, sehingga proses
untuk pemberian kredit dengan jaminan sertifikat tanah dilakukan seefisien
mungkin. (wawancara pada tanggal 7 Juli 2013).
Bapak I Wayan Biyeg, Kepala LPD Desa Pakraman Bekul, mengungkapkan
bahwa walaupun semua debitor dari warga asli desa pakraman bekul, pengikatan
dengan APHT tetap dilakukan dalam pemberian kredit dengan jaminan sertifikat
hak milik atas tanah. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi jika nanti pihak
128
debitor mengalami kemacetan dalam pembayaran kreditnya. LPD hanya memiliki
kebijaksanaan kepada debitor yang meminjam kredit di bawah Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).
Debitor yang meminjam kredit dengan nominal tersebut mendapat kebijakan
dari LPD, yaitu tidak perlu melakukan pengikatan ke kantor PPAT.
Kebijaksanaan tersebut diberikan dengan pertimbangan bahwa nominal kredit
yang dipinjam oleh debitor sudah tergolong sangat kecil, jika dilakukan
pengikatan dengan APHT, maka pihak debitor akan merasa terbebani dengan
biaya terhadap pengikatan tersebut. Hasil wawancara yang sama juga disampaikan
oleh Bapak I Wayan Brata, Kepala LPD Desa Pakraman Penatih. (wawancara
pada tanggal 8 Juli 2013).
Bapak I Wayan Oka Widastra, Kepala LPD Desa Pakraman Jenah
memberikan komentar yang sama dengan Ibu Ni Wayan Wardani (Kepala LPD
Desa Pakraman Peraupan). Bapak I Wayan Oka Widastra, mengungkapkan bahwa
di LPD Desa Pakraman Jenah dalam memberikan kredit dengan jaminan sertifikat
hak milik atas tanah tidak pernah diikuti dengan pembuatan APHT di kantor
PPAT. Pengikatan dengan APHT tidak dilakukan dengan alasan agar dapat
meringankan serta membantu perekonomian warga asli desa pakraman yang akan
menjadi debitor LPD.
Bapak I Wayan Oka Widastra kembali menegaskan bahwa LPD sudah diikat
oleh pararem desa pakraman, sehingga apabila ada nasabah yang membandel atau
ingkar janji terhadap kewajibannya akan dikenakan sanksi adat. Hal yang sama
129
juga diungkapkan oleh Bapak I Made Sutarka, Kepala LPD Desa Pakraman
Anggabaya.(wawancara pada tanggal 6 Juli 2013).
Bapak
I
Ketut
Warta,
Kepala
LPD
Desa
Pakraman
Peninjoan,
mengungkapkan bahwa LPD Desa Pakraman Peninjoan memberikan keputusan
apakah pemberian kredit dengan jaminan sertifikat tanah yang diajukan oleh
debitor diikat dengan APHT atau tidak adalah tergantung dari karakter nasabah
yang bersangkutan. Kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang
diikat dengan APHT adalah kredit yang diajukan oleh debitor yang berkarakter
kurang baik, debitor sudah pernah melakukan peminjaman kredit di LPD namun
kurang lancar membayar, serta debitor tersebut tidak taat pada peraturan yang
berlaku di LPD.
Begitu juga sebaliknya dengan kredit menggunakan jaminan sertifikat hak
milik atas tanah yang mendapatkan kebijakan dari pihak LPD untuk tidak diikat
dengan APHT. Apabila debitor yang bersangkutan berkriteria baik, debitor pernah
melakukan peminjaman kredit di LPD dan tepat waktu melakukan pembayaran,
tidak pernah ada tunggakan, semua persyaratan dipenuhi, tidak pernah
menimbulkan masalah, serta selalu taat pada aturan yang berlaku di LPD.
(wawancara pada tanggal 6 Juli 2013).
Bapak I Gusti Ngurah Bagus, Kepala LPD Desa Pakraman Cengkilung,
memberikan keterangan bahwa sampai saat ini di LPD Desa Pakraman
Cengkilung belum pernah melakukan pengikatan ke PPAT, baik itu kredit dengan
jaminan benda bergerak maupun benda tidak bergerak dalam bentuk tanah.
Debitor yang meminjam kredit dalam jumlah yang maksimum pun tidak diikat
130
dengan APHT karena pemberian kredit di LPD dikhususkan untuk anggota desa
pakraman cengkilung.
Apabila debitor yang meminjam dalam jumlah kredit yang besar diikat
dengan APHT, sedangkan debitor yang meminjam kredit dalam jumlah yang
kecil tidak diikat dengan APHT, maka diantara warga desa pakraman akan terjadi
kecemburuan sosial satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, pihak LPD
sepakat untuk tidak menggunakan layanan jasa PPAT dalam memberikan kredit
dengan jaminan benda bergerak maupun tidak bergerak. (wawancara pada tanggal
17 Juni 2013).
Bapak I Gusti Putu Sukanta, Kepala LPD Desa Pakraman Penatih Puri,
memberikan komentar bahwa fasilitas kredit yang diberikan oleh LPD Desa
Pakraman Penatih Puri masih tergolong kecil, yaitu maksimal Rp. 30.000.000,00
(tiga puluh juta rupiah), sehingga untuk proses pemberian kredit dengan
penyerahan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tidak menggunakan pengikatan
dengan APHT. Keputusan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa debitor yang
meminjam kredit dengan jumlah yang kecil akan dibebani dengan biaya
pengikatan APHT, sehingga dapat memberatkan pihak debitor. (wawancara pada
tanggal 9 Juli 2013).
Wawancara selanjutnya juga dilakukan kepada Bapak I Made Adnyana,
Kepala LPD Desa Pakraman Penyaringan, bahwa pemberian kredit dengan
jaminan sertifikat hak milik atas tanah ada yang diikat dan tidak diikat dengan
APHT. Jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT
adalah prediksi atau analisa bersama memiliki kemungkinan bahwa besarnya
131
kredit tidak beresiko dan bermasalah. Berbeda halnya dengan jaminan sertifikat
hak milik atas tanah yang diikat dengan APHT, pengikatan tersebut dilakukan
dengan tujuan untuk meminimalkan resiko terhadap kemungkinan yang terjadi,
misalnya debitor wanprestasi. (wawancara pada tanggal 30 Juli 2013).
Bapak I Wayan Loka, Kepala LPD Desa Pakraman Sanur, menjelaskan
bahwa debitor yang pinjamannya berkisar antara Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) sampai dengan Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan merupakan
masyarakat desa adat setempat diberikan kemudahan untuk tidak melakukan
pengikatan dengan APHT. Namun, apabila debitor melakukan peminjaman
sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) ke atas, maka wajib untuk
dilakukan pengikatan jaminan tersebut dengan APHT.
Pengikatan jaminan sertifikat hak milik atas tanah dengan APHT juga
dilakukan apabila debitor berasal dari masyarakat di luar desa adat. Fasilitas kredit
yang diberikan oleh LPD Desa Pakraman Sanur tidak hanya kepada masyarakat
desa adat setempat, tetapi juga kepada masyarakat di luar desa adat dengan tujuan
untuk memperluas dan mengembangkan kegiatan usaha LPD. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Bapak Wayan Madia selaku Kepala LPD Desa Pakraman
Renon (wawancara pada tanggal 30 Juli dan 12 Agustus 2013).
Berbeda halnya dengan LPD Desa Pakraman Tembawu yang lebih
mengutamakan keamanan jaminan kredit. Bapak I Made Medal, mengemukakan
bahwa pemberian kredit yang dijaminkan dengan sertifikat hak milik atas tanah
selalu diikat dengan APHT, walaupun pihak debitor berasal dari masyarakat desa
adat tembawu atau pun masyarakat yang berasal dari luar desa adat tembawu.
132
Pengikatan sertifikat hak milik atas tanah dengan APHT bertujuan untuk
memberikan keamanan kepada kredit yang diberikan oleh pihak LPD di kemudian
hari dan agar pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah
dapat dipertanggungjawabkan secara otentik. Hal yang sama juga dikemukakan
oleh Bapak I Wayan Mudana selaku Kepala LPD Desa Pakraman Intaran.
(wawancara pada tanggal 01 dan 12 Agustus 2013).
Bapak I Putu Sumadi selaku Kepala LPD Desa Pakraman YangBatu, juga
memberikan komentar bahwa kredit dengan nominal di bawah Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) tidak diikat dengan APHT. Untuk peminjaman kredit yang
tergolong kecil ini, sertifikat hak milik atas tanah hanya digunakan untuk
melengkapi prosedur pemberian kredit dari LPD. Dengan kata lain, sertifikat hak
milik atas tanah hanya digunakan sebagai formalitas pemberian jaminan dari
pihak debitor.
Namun, untuk pemberian kredit dengan nominal di atas Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah), pihak LPD melakukan pengikatan SKMHT. Apabila pihak
debitor menunjukkan tanda-tanda kemacetan pembayaran, maka pihak LPD akan
mengubah SKMHT menjadi APHT dengan biaya yang akan ditanggung oleh
pihak debitor. (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013).
Bapak I Made Astra Wijaya, Kepala LPD Desa Pakraman Padang Sambian,
menjelaskan bahwa pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas
tanah di LPD Desa Pakraman Padang Sambian ada yang diikat dengan APHT dan
ada yang tidak. Jaminan yang diikat dengan APHT adalah jaminan yang nilai
kreditnya kecil, yaitu kurang dari Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah),
133
tanah tersebut hanya dijadikan sebagai cover karena ada jaminan lain, seperti
Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) namun pihak LPD belum
menganggap bahwa jaminan BPKB tersebut cukup digunakan sebagai jaminan.
Sertifikat hak milik atas tanah digunakan sebagai cover jaminan tersebut, dan
debitor yang meminjam kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah
adalah debitor prioritas, yaitu nasabah yang tergolong lancar membayar dan sudah
berkali-kali meminjam kredit di LPD. Untuk jaminan tanah yang tidak diikat
dengan APHT adalah jaminan yang memiliki nilai kredit yang besar dan
tergolong nasabah baru. (wawancara pada tanggal 05 Agustus 2013).
Berdasarkan hasil wawancara dari para informan tersebut di atas, dapat
diketahui bahwa tidak semua pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak
milik atas tanah dilakukan dengan pengikatan APHT dan pendaftaran ke Kantor
Pertanahan. Namun juga terdapat kredit yang dijaminkan dengan sertifikat hak
milik atas tanah yang memang tidak diikat dengan APHT.
Hal ini menunjukkan bahwa prinsip kehati – hatian yang dikenal dengan
istilah formula 5C’s dan 7P khususnya terhadap unsur jaminan (collateral) dan
protection (perlindungan terhadap usaha dan jaminan) dalam pemberian kredit
oleh beberapa LPD tidak maksimal untuk diterapkan. Selain mengecek keabsahan
jaminan yang diserahkan oleh pihak debitor, seharusnya pengikatan jaminan
dengan perjanjian tambahan (accessoir) juga penting untuk dilakukan sebagai
perlindungan terhadap keberadaan benda jaminan tersebut.
Berbagai penjelasan telah dikemukakan oleh para informan mengenai alasan
mengapa dalam pemberian kredit dengan jaminan hak atas tanah tersebut tidak
134
semua diikat dengan APHT. Maka dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan
terdapat 6 (enam) alasan pokok yang menyebabkan pihak LPD tidak melakukan
pengikatan dengan APHT. Alasan-alasan tersebut antara lain:
1.
Debitor yang mengajukan kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas
tanah merupakan warga wed (asli desa pakraman), sehingga pihak LPD sudah
mengetahui seluk beluk serta latar belakang dari debitor tersebut;
2.
Karakter dari pihak debitor yang sudah diketahui dengan baik oleh pihak
LPD. Pengetahuan pihak LPD akan karakter dari pihak debitor didasarkan
atas analisis kredit yang telah dilakukan dan pengalaman meminjam yang
sebelumnya telah dilakukan oleh pihak debitor;
3.
Nominal kredit yang diajukan oleh pihak debitor kepada LPD menjadi suatu
pertimbangan apakah kredit yang dijaminkan dengan obyek tanah tersebut
diikat dengan APHT atau tidak.
4.
Proses pengikatan kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah
dengan APHT dirasa terlalu lama karena harus melalui beberapa tahap, yaitu
tahap pengecekan terhadap sertifikat hak milik atas tanah yang akan dijadikan
jaminan kredit sampai dengan tahap didaftarkannya Hak Tanggungan tersebut
ke Badan Pertanahan Nasional.
5.
Biaya pengikatan kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah
menggunakan APHT ditanggung sepenuhnya oleh pihak debitor. Debitor
yang mengajukan permohonan kredit yang tidak terlalu besar tentunya akan
merasa berat terhadap pengenaan biaya pengikatan APHT. Selain biaya
administrasi dan biaya materai pada saat pengajuan kredit, pihak nasabah juga
135
dikenakan biaya pengecekan resmi oleh Kantor Pertanahan, biaya map
permohonan, biaya penerimaan negara bukan pajak (PNBP), biaya
pendaftaran, dan biaya sebagai jasa PPAT;
6.
Objek tanah yang diserahkan oleh pihak debitor hanya digunakan sebagai
jaminan tambahan dan bukan berkedudukan sebagai jaminan pokok, sehingga
untuk objek tanah yang berfungsi sebagai jaminan tambahan tidak dilakukan
pengikatan dengan APHT oleh LPD.
Alasan - alasan tersebut di atas menjadi suatu bahan pertimbangan bagi LPD
untuk tidak melakukan pengikatan dengan APHT dan pendaftaran terhadap Hak
Tanggungan. Keputusan pihak LPD atas pertimbangan tersebut bertentangan
dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (1)
UUHT.
3.4 Kriteria Penggolongan Kredit Macet Pada LPD di Kota Denpasar
Fasilitas kredit yang telah diberikan oleh pihak LPD kepada debitor tidak
seluruhnya mengalami kelancaran dalam proses pengembalian kreditnya. Pada
prakteknya, selalu ada debitor yang tidak dapat mengembalikan kreditnya dengan
lancar sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam perjanjian kredit yang
telah disepakati oleh kedua belah pihak. Debitor yang tidak memenuhi
kewajibannya kepada kreditor, maka akan tergambar perjalanan kredit menjadi
terhenti atau macet.
Berdasarkan uraian tersebut, apa yang dimaksud dengan kredit macet atau
kapan suatu kredit dapat dinyatakan macet tidak diatur dalam Undang-Undang
Perbankan. Namun pengaturan mengenai penggolongan kolektibilitas kredit
136
terdapat di dalam Peraturan Walikota Denpasar Nomor 40 Tahun 2006 Tanggal
29 Desember 2006 tentang Pedoman Pembinaan LPD di Kota Denpasar (Berita
Daerah Kota Denpasar Tahun 2006 Nomor 37), selanjutnya disebut Peraturan
Walikota Denpasar No. 40/2006. Kriteria penggolongan kolektibilitas pinjaman
berdasarkan Peraturan Walikota Denpasar No. 40/2006 tersebut di atas, meliputi:
1. Lancar
Suatu pinjaman digolongkan lancar harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu.
Adapun kriteria suatu kredit dikatakan lancar, yaitu
a. Tidak terdapat tunggakan angsuran pokok dan tunggakan bunga; atau;
b. Terdapat tunggakan angsuran pokok; dan
- Belum melampaui 1 (satu) bulan bagi pinjaman yang ditetapkan masa
angsurannya kurang dari 1 (satu) bulan;
- Belum melampaui 3 (tiga) bulan bagi pinjaman yang ditetapkan masa
angsurannya bulanan, dua bulanan, atau tiga bulanan; atau
- Belum melampaui 6 (enam) bulan bagi peminjam yang masa angsurannya
ditetapkan 4 (empat) bulanan atau lebih; atau
c. Terdapat tunggakan bunga, tetapi:
- Belum melampaui 1 (satu) bulan bagi yang masa angsuran kurang dari 1
(satu) bulan; atau
- Belum melampaui 3 (tiga) bulan bagi pinjaman yang masa angsuran lebih
dari 1 (satu) bulan.
137
2. Kurang Lancar
Suatu pinjaman digolongkan kurang lancar apabila memenuhi kriteria – kriteria
tertentu. Adapun kriteria suatu kredit dikatakan kurang lancar, yaitu:
a. Terdapat tunggakan angsuran pokok yang:
- Melampaui 1 (satu) bulan dan belum melampaui 2 (dua) bulan bagi
pinjaman dengan masa angsuran kurang dari 1 (satu) bulan; atau
- Melampaui 3 (tiga) bulan dan belum melampaui 6 (enam) bulan dari
pinjaman yang masa angsurannya ditetapkan bulanan, dua bulanan, atau
tiga bulanan; atau
- Melampaui 6 (enam) bulan tetapi belum melampaui 12 (dua belas) bulan
dari pinjaman yang masa angsurannya ditetapkan 6 (enam) bulanan atau
lebih; atau
b. Terdapat tunggakan bunga yang:
- Melampaui 1 (satu) bulan tetapi belum melampaui 3 (tiga) bulan bagi
pinjaman dengan masa angsuran kurang dari 1 (satu) bulan; atau;
- Melampaui 3 (tiga) bulan tetapi belum melampaui 6 (enam) bulan bagi
pinjaman yang masa angsurannya lebih dari 1 (satu) bulan.
3. Diragukan
Suatu pinjaman digolongkan diragukan apabila pinjaman yang bersangkutan
tidak memenuhi kriteria lancar dan kurang lancar. Namun, berdasarkan
penilaian dapat disimpulkan bahwa:
a.
Pinjaman masih dapat diselamatkan dan agunannya bernilai sekurangkurangnya 75 % (tujuh puluh lima persen) dari hutang debitor;
138
b.
Pinjaman tidak dapat diselamatkan tetapi agunannya masih bernilai
sekurang-kurangnya 100 % (seratus persen) dari hutang debitor.
4. Macet
Suatu pinjaman digolongkan macet apabila memenuhi kriteria – kriteria
tertentu. Adapun kriteria suatu kredit dikatakan berpotensi macet, yaitu:
a. Tidak memenuhi kriteria lancar, kurang lancar, dan seperti tersebut pada
angka 1, 2, dan 3; atau
b. Memenuhi kriteria diragukan tersebut pada angka 3, tetapi dalam jangka
waktu 21 (dua puluh satu) bulan sejak digolongkan diragukan belum ada
pelunasan atau usaha penyelamatan pinjaman; atau
c. Pinjaman tersebut penyelesaiannya telah diserahkan kepada lembaga atau
badan yang berhak menangani pinjaman macet.
Ketentuan yang tercantum di dalam kolektibilitas kredit di atas belum
mengatur mengenai definisi dari kredit macet. Kolektibilitas kredit di atas hanya
menunjukkan bagaimana tanda – tanda kredit yang diberikan oleh kreditor kepada
debitor berpotensi sebagai kredit macet. Pada praktek perkreditan di LPD, sering
dijumpai istilah kredit bermasalah.
Sesungguhnya pengertian dari kredit bermasalah dengan kredit macet
memiliki perbedaan. Secara konsepsional, definisi dari kredit bermasalah adalah
kredit dengan kolektibilitas kurang lancar ditambah dengan kredit-kredit yang
memiliki kolektibilitas diragukan dan yang mempunyai potensi menjadi kredit
macet118. Kolektibilitas kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet
118
Hermansyah, op.cit, hal. 75.
139
dapat digolongkan ke dalam kredit bermasalah karena ciri-ciri dari ketiga kredit
tersebut telah menunjukkan bahwa ketidakpatuhan debitor dalam waktu yang
lama mengenai jangka waktu pembayaran kredit yang telah diatur di dalam
perjanjian kredit.
Kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet sudah termasuk
wanprestasi. Suatu prestasi merupakan pemberian kredit yaitu perjanjian pinjam
meminjam uang serta pengembalian kredit atau pembayaran angsuran kredit
setiap bulannya. Apabila pihak debitor tidak melaksanakan kewajibannya dalam
melakukan pembayaran angsuran kredit sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan dalam perjanjian kredit, maka perbuatannya disebut wanprestasi.
Berdasarkan konsep wanprestasi tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
kapan terjadinya wanprestasi oleh pihak debitor. Wanprestasi dianggap terjadi,
apabila119:
1. Utang tidak dikembalikan sama sekali
Utang yang sama sekali tidak dikembalikan oleh pihak debitor, dapat
dianggap debitor tersebut beritikad tidak baik. Utang yang tidak dibayar sama
sekali perlu diketahui penyebabnya, apakah penyebabnya memang karena
kesengajaan atau pihak debitor tertimpa musibah di luar kehendaknya. Jika telah
diketahui penyebabnya, maka pihak kreditor dapat mengambil sikap untuk
meminta pertanggungjawaban pihak debitor.
119
Gatot Supramono, 2013, Perjanjian Utang Piutang, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Gatot Supramono II), hal. 31 – 35.
140
2.
Mengembalikan utang hanya sebagian
Utang yang dikembalikan hanya sebagian oleh pihak debitor memiliki 2 (dua)
kemungkinan. Kemungkinan pertama, yaitu pengembalian utang sebagian kecil
dan pengembalian utang sebagian besar. Utang yang dikembalikan dalam jumlah
sebagian kecil maupun besar tetap saja masih terdapat sisa utang. Sisa utang
tersebut dapat berupa bunga yang terbayarkan oleh pihak debitor atau hutang
pokok yang belum terbayarkan sedangkan bunganya sudah terlunasi.
3.
Mengembalikan utang tetapi terlambat waktunya
Keterlambatan pembayaran utang oleh pihak debitor dapat dilihat dari segi
waktunya, apakah waktu keterlambatan tersebut dalam hitungan hari, bulan atau
tahun. Keterlambatan pembayaran utang baik dalam waktu yang lama ataupun
tidak tetap digolongkan sebagai wanprestasi.
Kredit macet digolongkan dalam kriteria kredit bermasalah, akan tetapi kredit
bermasalah belum tentu menimbulkan suatu kemacetan dalam pembayaran kredit.
Kedua kredit tersebut, yaitu kredit macet dan bermasalah selalu diukur dari
kolektibilitas kredit yang bersangkutan. Kolektibilitas tersebut dilihat dari
keadaan pembayaran oleh pihak debitor, yaitu meliputi hutang pokok beserta
bunga kreditnya dan tingkat kemungkinan diterimanya dana tersebut kepada pihak
kreditor120.
120
I Nyoman Budiarna, 2007, Prinsip “Pang Pada Payu” Dalam Hukum
Ekonomi Indonesia, PT.Mabhakti, Denpasar, hal. 71.
141
3.5 Faktor - Faktor Penyebab Terjadinya Kredit Macet di LPD Kota
Denpasar
Analisis
kredit
merupakan prinsip kehati–hatian pihak
LPD
yang
diperkirakan dapat mencegah terjadinya kredit macet. Namun, ternyata masalah
kredit macet masih saja terus berlanjut. Banyak hal yang menjadi faktor
penyebabnya. Berikut adalah hasil wawancara dari para informan mengenai
faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pihak debitor tidak melaksanakan
kewajibannya sehingga menimbulkan kemacetan pada kredit yang dipinjam.
Menurut hasil wawancara dari Bapak I Wayan Rayun, Kepala LPD Desa
Pakraman Kesiman, kredit macet disebabkan memang dari debitor dan bukan dari
pihak LPD. Debitor meminjam kredit untuk membantu kelancaran usahanya,
namun usahanya mengalami kebangkrutan sehingga sisa hutang yang dipinjam
tidak mampu untuk dilunasi.
Selain itu, kredit macet juga disebabkan oleh pihak debitor
mengalami
musibah. Misalnya, ditipu masalah keuangan oleh rekan bisnisnya sehingga dapat
menghambat pembayaran kredit ke LPD. Ada juga penyebab kredit macet
disebabkan karena pihak debitor memang beritikad tidak baik untuk melakukan
pembayaran. Nasabah yang beritikad tidak baik ini tergolong nasabah yang
karakternya sulit diatur. (wawancara pada tanggal 16 Juli 2013). Keterangan yang
sama juga diberikan oleh Bapak I Wayan Brata, Kepala LPD Desa Pakraman
Penatih. (wawancara pada tanggal 8 Juli 2013).
Keterangan lain juga diberikan oleh Bapak I Wayan Warta, Kepala LPD Desa
Pakraman Peninjoan, kredit macet biasanya terjadi karena adanya keperluan yang
sangat mendesak didahulukan oleh pihak debitor, sehingga mereka tidak dapat
142
melanjutkan kewajibannnya terhadap pelunasan kreditnya di LPD. Kredit macet
ini biasanya ditandai dengan pembayaran kredit oleh debitor yang tidak sesuai
dengan angsuran kredit yang telah ditentukan dalam perjanjian kredit. (wawancara
pada tanggal 6 Juli 2013).
Wawancara juga dilakukan oleh Bapak I Made Sutarka, Kepala LPD Desa
Pakraman Anggabaya, debitor kurang baik mengelola usahanya sehingga pada
saat jatuh tempo pelunasan kreditnya pihak debitor tidak memiliki dana untuk
melunasi hutangnya. (wawancara pada tanggal 19 Juli 2013). Hal yang sama juga
disampaikan oleh Bapak I Made Darsana selaku Kepala LPD Desa Pakraman
Sumerta. (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013).
Bapak I Wayan Loka, Kepala LPD Desa Pakraman Sanur, mengatakan bahwa
penyebab terjadinya kredit macet karena kebutuhan uang dari debitor tidak
diperhitungkan, sehingga pada saatnya jatuh tempo tidak mampu untuk
melakukan pembayaran angsuran kredit. Selain itu, terdapat juga pihak debitor
yang berkecimpung dalam bisnis usaha pengkaplingan tanah yang tidak berhasil
untuk menjualkan tanahnya kepada pembeli, sehingga tidak ada pemasukan untuk
melakukan pembayaran kredit kepada LPD. (wawancara pada tanggal 30 Juli
2013).
Wawancara juga dilakukan oleh Bapak I Made Adnyana, Kepala LPD Desa
Pakraman Penyaringan, mengungkapkan bahwa terdapat 2 (dua) faktor penyebab
pihak debitor tidak dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan
dalam perjanjian kredit. Kedua faktor tersebut adalah faktor penghasilan usaha
143
dari pihak debitor yang tidak sesuai dengan harapan dan adanya kebutuhan di luar
perkiraan debitor. (wawancara pada tanggal 30 Juli 2013).
Bapak I Wayan Mudana selaku Kepala LPD Desa Pakraman Intaran,
mengutarakan pendapatnya tentang faktor penyebab kredit macet. Kredit macet
tidak hanya disebabkan oleh pihak debitor yang memiliki karakter yang tidak
baik. Terkadang debitor yang memiliki karakter baik juga mengalami kredit macet
karena disebabkan oleh musibah yang menimpanya, misalnya debitor yang rajin
bekerja dan mampu membayar angsuran kredit setiap bulannya mengidap sakit
keras dan mengharuskannya berhenti dari pekerjaan sehingga debitor tidak
mempunyai penghasilan untuk melunasi kewajibannya. (wawancara pada tanggal
12 Agustus 2013).
Penyebab kredit macet juga bisa disebabkan oleh pihak LPD yang terlalu
percaya atau memiliki keyakinan yang berlebihan terhadap usaha yang dijalankan
oleh pihak debitor, sehingga dalam melakukan analisis kredit menjadi kurang
hati-hati. Keyakinan yang berlebihan ini biasanya ditujukan kepada debitor yang
merupakan masyarakat asli desa pakraman. Hal ini disampaikan oleh Bapak I
Wayan Sumadi sebagai Kepala LPD Desa Pakraman Yangbatu. (wawancara pada
tanggal 01 Agustus 2013).
Pembinaan yang kurang intensif akibat keterbatasan jumlah karyawan LPD
juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kredit macet oleh pihak debitor serta
faktor usaha yang digeluti oleh pihak debitor belum lama dijalankan sehingga
pemasukan pihak debitor setiap bulannya belum pasti untuk mencukupi
kebutuhan dan angsuran kredit di LPD juga menjadi faktor utama penyebab kredit
144
macet. Hal ini dikemukakan oleh Bapak I Made Medal sebagai Kepala LPD Desa
Pakraman Tembawu. (wawancara pada tanggal 10 Agustus 2013).
Bapak I Made Astra Wijaya, Kepala LPD Desa Pakraman Padang Sambian,
mengutarakan pendapatnya bahwa pihak debitor tidak hanya memiliki kredit di
satu LPD, sehingga pihak debitor mengalami kesulitan untuk melunasi kreditkreditnya di LPD dan di tempat lain, serta keadaan usaha dari pihak debitor dalam
keadaan tidak lancar. Kedua hal tersebut memicu terjadinya kredit macet di LPD.
(wawancara pada tanggal 05 Agustus 2013).
Bapak I Wayan Madya, Kepala LPD Desa Pakraman Renon, juga
menjelaskan mengenai penyebab terjadinya kredit macet. Faktor penyebab kredit
macet, antara lain usaha debitor yang tidak selalu berjalan lancar, analisa kredit
yang kurang akurat, serta faktor karakter dari nasabah itu sendiri. (wawancara
pada tanggal 12 Agustus 2013).
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa Kepala LPD tersebut di atas,
menunjukkan bahwa faktor penyebab timbulnya kredit macet tidak hanya
disebabkan oleh pihak debitor, akan tetapi juga disebabkan oleh pihak LPD selaku
kreditor. Penyebab terjadinya kredit macet yang disebabkan oleh pihak debitor,
antara lain permasalahan dalam bidang usaha yang dijalankan debitor, debitor
tertimpa musibah, debitor bertikad tidak baik, kebutuhan dana dari pihak debitor
yang kurang diperhitungkan.
Penyebab terjadinya kredit macet yang disebabkan oleh pihak intern LPD
adalah kepercayaan berlebihan terhadap debitor yang mengajukan permohonan
kredit. Namun kenyataannya pihak debitor yang terlalu dipercaya oleh LPD
145
karena usaha maupun jabatannya yang tinggi juga mengalami kemacetan
pembayaran angsuran kredit.
3.6 Hak LPD Selaku Kreditor Dalam Mengambil Pelunasan Piutang Dari
Kredit Macet Dengan Jaminan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Tanpa
Diikat Dengan APHT
Proses pemberian Hak Tanggungan dengan APHT merupakan impelementasi
dari salah satu prinsip kehati – hatian yang wajib diterapkan oleh LPD selaku
kreditor untuk mengamankan jaminan (collateral) yang diserahkan oleh pihak
debitor kepada LPD. Proses pemberian Hak Tanggungan sehubungan dengan
kredit yang dijaminkan dengan sertifikat hak milik atas tanah tentunya meliputi
syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak, yaitu debitor
dan kreditor. Syarat dan ketentuan tersebut telah dituangkan di dalam APHT.
APHT yang ditandatangani oleh pihak debitor, kreditor, dan PPAT belum dapat
melahirkan Hak Tanggungan.
Hal ini dikarenakan Hak Tanggungan tersebut akan lahir apabila telah
melakukan proses pendaftaran ke BPN. Pembuatan APHT terhadap sebidang
tanah yang dijadikan jaminan pelunasan hutang oleh pihak debitor, tidak cukup
hanya ditandatangani oleh kedua belah pihak, akan tetapi APHT tersebut akan
dikirim sebagai kelengkapan syarat pendaftaran Hak Tanggungan.
Pasal 13 ayat (2) UUHT menentukan bahwa: “APHT beserta surat-surat lain
yang diperlukan bagi pendaftarannya wajib dikirimkan oleh PPAT kepada Kantor
Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganannya”.
Perbuatan hukum pendaftaran tersebut tujuannya adalah untuk memperoleh
kelahiran Hak Tanggungan.
146
Pendaftaran Hak Tanggungan merupakan perwujudan asas publisitas, salah
satu pilar di dalam sistem pendaftaran hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696),
selanjutnya disebut PP Nomor 24 Tahun 1997. Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997,
menyatakan bahwa:
Pendaftaran tanah bertujuan:
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak
lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan;
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Tujuan pendaftaran tanah sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 PP Nomor
24 Tahun 1997 merupakan tujuan utama pendaftaran tanah yang diperintahkan
Pasal 19 UUPA. Begitu juga dengan pembebanan Hak Tanggungan harus
didaftarkan agar memenuhi asas publisitas.
Asas publisitas ialah pencatatan dari pembebanan obyek Hak Tanggungan
agar setiap orang (umum) yang ingin mendapatkan informasi tentang kepemilikan
tanah/pemegang Hak Tanggungan dapat melihat buku tanah atau buku tanah Hak
Tanggungan. Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa asas publisitas
bersifat terbuka dan serta diketahui umum121.
Selain sebagai pemenuhan asas publisitas, pendaftaran tanah juga dilakukan
untuk memenuhi asas aman. Asas aman berarti pendaftaran tanah dapat
121
Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal. 13.
147
memberikan jaminan kepastian hukum, sehingga pelaksanaannya harus dengan
teliti dan cermat122.
Mengenai jaminan kepastian hukum, Roscoe Pound memberikan suatu
pernyataan. Roscoe Pound menyebutkan bahwa kepastian hukum memungkinkan
adanya predictability123.
Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama, adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan; dan kedua, berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat
umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh negara terhadap individu124.
Berdasarkan pengertian dari kepastian hukum yang dikemukakan oleh
Roscoe Pound tersebut, menunjukkan bahwa penyertaan APHT dan pendaftaran
Hak Tanggungan merupakan suatu aturan yang harus dipatuhi. Pelaksanaan
kewajiban pendaftaran Hak Tanggungan yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan
ayat (2) UUHT akan menimbulkan suatu kepastian hukum terhadap lahirnya Hak
Tanggungan yang sangat berpengaruh terhadap kedudukan LPD selaku kreditor.
Sebagai tanda bukti lahirnya Hak Tanggungan, maka Kantor Pertanahan
mengeluarkan sertifikat Hak Tanggungan.
Pendaftaran Hak Tanggungan dalam pemenuhan asas publisitas wajib
dilaksanakan oleh pihak LPD karena pengaturannya sudah jelas dicantumkan
dalam UUHT. Ketentuan dalam UUHT sangat berbeda dengan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik
122
Aartje Tehupeiory, 2012, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia, Raih
Asa Sukses, Bogor, hal. 23.
123
Peter Mahmud Marzuki I, loc.cit.
124
Peter Mahmud Marzuki I, loc.cit.
148
Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3889), selanjutnya disebut UUJF.
Pendaftaran fidusia diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UUJF, yang menyatakan
bahwa: “Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan”. UUJF
tidak mencantumkan kapan seharusnya jaminan Fidusia didaftarkan, sehingga
para pelaku usaha memiliki keragu-raguan akan jangka waktu terhadap
pendaftaran jaminan fidusia. Perbedaan ini sungguh terlihat jelas bahwa
pengaturan dalam UUHT sudah bersifat tegas dan memberikan kepastian hukum
jika dibandingkan dengan UUJF yang belum memberikan kepastian hukum
terhadap pendaftaran jaminan fidusia.
Oleh karena itu, kepastian mengenai saat didaftarnya Hak Tanggungan
tersebut adalah sangat penting bagi kreditor, terutama pada saat melaksanakan
eksekusi guna pengambilan pelunasan piutangnya apabila debitor wanprestasi.
Pendaftaran Hak Tanggungan akan memberikan hak mendahului kepada LPD dari
kreditor-kreditor lainnya (droit de preference). Manfaat lain dari pendaftaran Hak
Tanggungan juga dapat dirasakan oleh pihak kreditor yaitu pada saat penentuan
peringkatnya dalam hubungannya dengan kreditor-kreditor lain yang juga
pemegang Hak Tanggungan.
Droit de preference merupakan sifat khusus yang dimiliki oleh hak
kebendaan125. Kreditor yang berkedudukan sebagai kreditor preferent memiliki
keistimewaan dalam hal mendapatkan pelunasan piutang apabila debitor
wanprestasi. Kreditor tersebut berhak didahulukan untuk mengambil hasil
125
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005, Hak Tanggungan, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hal. 173.
149
eksekusi benda yang telah diperikatkan untuk dijadikan jaminan tagihan pihak
kreditor, sehingga kedudukan preferent baru mempunyai suatu peranan penting
dalam hal eksekusi126.
Hak mendahului atau hak didahulukan bertalian erat dengan eksekusi Hak
Tanggungan. Pengaturan mengenai pengambilan pelunasan piutang atas hasil
eksekusi Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan dijumpai dalam Pasal
20 ayat (1) UUHT. Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, menyatakan bahwa:
Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek Hak Tanggungan dijual melalui
pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan
dengan hak mendahulu dari kreditor-kreditor lainnya.
Ketentuan di dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT memberikan pemahaman
bahwa terdapat 2 (kata) yang terkandung dalam Pasal tersebut. Kata – kata
tersebut adalah “kedudukan yang diutamakan” dan “hak mendahului” atau hak
yang didahulukan127. Dalam hal eksekusi Hak Tanggungan, maka pihak LPD
mendapatkan “hak mendahului” untuk mengambil pelunasan piutangnya apabila
debitor wanprestasi, selanjutnya kedudukan LPD disebut “kedudukan yang
diutamakan”. Apabila pihak debitor memiliki banyak kreditor (bukan LPD saja),
maka pihak LPD berhak mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dibandingkan
dengan kreditor-kreditor lainnya.
Namun, LPD selaku kreditor pemegang Hak Tanggungan tidak melakukan
tata cara pembebanan dan pendaftaran Hak Tanggungan yang telah tercantum di
126
J. Satrio, 2002, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 281.
127
Rachmadi Usman I, op.cit, hal. 336.
150
dalam UUHT. Praktek yang dijalankan oleh pihak LPD tidak sejalan dengan
prinsip hukum yang terkandung di dalam UUHT padahal kewajiban akan
pendaftaran Hak Tanggungan merupakan suatu norma yang bersifat memaksa dan
tidak dapat disimpangi guna memberikan kepastian hukum kepada kreditor.
Kepastian hukum tidak dapat tercapai karena 3 (tiga) komponen dari sistem
hukum tidak berjalan dengan baik. Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa
ketiga komponen dari sistem hukum terdiri dari struktur hukum, substansi hukum,
dan kultur hukum. Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, kemudian
substansi hukum dipengaruhi oleh perangkat perundang-undangan, dan budaya
hukum merupakan opini, kepercayaan, kebiasaan, cara berpikir, dan cara
bertindak para penegak hukum128.
Praktek menyimpang yang dilakukan oleh LPD menunjukkan bahwa
beberapa LPD di Kota Denpasar yang dijadikan objek penelitian dalam penulisan
ini mempunyai kebiasaan-kebiasaan dan cara berpikir sendiri dalam mengambil
keputusan untuk tidak melakukan pengikatan dengan APHT pada saat pemberian
kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah. Kebiasaan-kebiasaan dan
cara berpikir dari pihak LPD tersebut mempengaruhi kepatuhan mereka terhadap
ketentuan yang tercantum di dalam UUHT, padahal ketentuan dalam UUHT
tersebut memberikan kepastian hukum kepada LPD.
Ketidakpatuhan pihak LPD terhadap ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2)
UUHT yang dilakukan secara terus – menerus menyebabkan perilaku dari LPD
tersebut akan menjadi suatu budaya. Jika suatu perilaku yang menyimpang dari
128
Achmad Ali, loc.cit.
151
aturan menjadi suatu budaya, maka budaya tersebut akan sulit untuk diubah,
sehingga ketiga komponen yang terkandung di dalam sistem hukum menjadi tidak
berjalan secara seimbang karena beberapa LPD di Kota Denpasar mempunyai
suatu kebijaksanaan atau cara-cara tersendiri yang sudah diterapkan dalam
menjalankan kegiatan pemberian kredit kepada debitor.
Pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak
diikat oleh APHT tidak selalu berjalan dengan lancar. Beberapa debitor ada yang
tidak melaksanakan kewajibannya dalam pembayaran angsuran kredit setiap
bulannya, sehingga pihak LPD tidak mendapatkan pelunasan piutang yang
menjadi haknya. Kewajiban pembayaran angsuran setiap bulan oleh debitor
merupakan hak dari LPD selaku kreditor.
Hak dan kewajiban ini tertuang di dalam perjanjian kredit yang telah
ditandatangani oleh kedua belah pihak. Apabila pihak debitor melakukan
pelanggaran terhadap kewajibannya, maka ia juga telah melanggar hak dari LPD
selaku kreditor. Pelanggaran kewajiban yang dilakukan oleh pihak debitor
menyebabkan terjadinya kredit macet.
Kredit macet yang disebabkan oleh pihak debitor tidak melaksanakan
kewajibannya akan menyebabkan kerugian bagi pihak LPD selaku kreditor.
Terhadap pelanggaran hak dan kewajiban tersebut, LPD tetap berhak
mendapatkan pelunasan piutangnya. Oleh karena itu, apabila debitor mengalami
kemacetan membayar maka pihak LPD berhak mendapatkan pelunasan piutang,
namun tidak bersifat mendahului dari kreditor-kreditor lainnya. Berbeda halnya
dengan pihak debitor yang menjaminkan sertifikat hak milik atas tanah hanya
152
kepada LPD (satu kreditor) dan tidak ada kreditor lainnya, maka seluruh hasil dari
nilai jaminan sertifikat hak milik atas tanah akan menjadi hak dari LPD dan tidak
diperlukan lagi pembagian menurut keseimbangan dengan memperhitungkan
besar kecilnya piutang kreditor lain.
Hak LPD terhadap pelunasan piutang yang tidak bersifat mendahului ini
disebabkan karena kewajiban pendaftaran Hak Tanggungan tidak dilakukan oleh
pihak LPD. Hal ini disebabkan dalam pemberian Hak Tanggungan pihak LPD
tidak menggunakan APHT. Pemberian Hak Tanggungan hanya dilakukan dengan
pembuatan dan penandatanganan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan
tidak diiikuti dengan perjanjian tambahan (accessoir).
Praktek yang dilakukan oleh LPD saat ini menimbulkan suatu ketidakpastian
terhadap kapan lahirnya Hak Tanggungan. Kewajiban pendaftaran yang tidak
dilaksanakan oleh pihak LPD, maka Hak Tanggungan tersebut tidak akan lahir
serta tidak melahirkan hak mendahului terhadap LPD dalam pengambilan
pelunasan piutangnya apabila debitor wanprestasi.
Konsekuensi hukum yang ditimbulkan dari penyimpangan yang dilakukan
oleh LPD terhadap ketentuan dalam UUHT menyebabkan kedudukan LPD
menjadi kreditor konkuren dalam hal pengambilan pelunasan piutangnya apabila
debitor wanprestasi. Kreditor konkuren ini diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata.
Pasal 1132 KUHPerdata, menentukan bahwa:
Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang
mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi menurut
keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali
apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan.
153
Pasal 1132 KUHPerdata memberikan pemahaman bahwa para kreditor
konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan utang dari harta
debitor tanpa ada yang didahulukan. Jerry Hoff memberikan penjelasan mengenai
kreditor konkuren. Jerry Hoff menjelaskan bahwa unsecured creditor atau yang
dikenal dengan kreditor konkuren yaitu kreditor yang tidak memiliki jaminan
kebendaan129.
Untuk mengambil pelunasan piutang apabila debitor mengalami kemacetan
pembayaran kredit, maka dalam prakteknya antara pihak LPD dan pihak debitor
menandatangani surat kuasa menjual. Surat kuasa menjual tersebut memuat
tentang kuasa yang diberikan oleh pihak debitor kepada LPD untuk menjual
obyek Hak Tanggungan apabila debitor mengalami kemacetan membayar.
Pembuatan surat kuasa menjual ini mengacu pada suatu peraturan, yaitu Peraturan
Walikota Denpasar No. 40/2006.
Kuasa menjual yang dibuat oleh Pihak LPD bersifat di bawah tangan dan
tidak mengandung kekuatan eksekutorial layaknya sertifikat Hak Tanggungan,
sehingga tidak memberikan hak mendahului dalam pengambilan piutangnya. Atas
dasar surat kuasa menjual yang tidak dibuat secara notariil tidak mengakibatkan
LPD memiliki hak preference dan kekuatan eksekutorial sebagaimana jaminan
Hak Tanggungan karena pihak LPD tidak memiliki sertifikat Hak Tanggungan
yang merupakan bukti dari telah didaftarkannya Hak Tanggungan di Kantor
Pertanahan.
129
Edward Manik, 2012, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, CV. Mandar Maju, Bandung.
154
BAB IV
PELAKSANAAN PENGAWASAN OLEH BADAN PENGAWAS
INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP PRAKTEK PEMBERIAN
KREDIT OLEH LPD DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT HAK MILIK
ATAS TANAH YANG TIDAK DIIKAT DENGAN APHT
4.1 Kewenangan Pengawasan LPD Oleh Badan Pengawas Internal
Sistem operasional LPD yang sehat, menguntungkan dan konstruktif harus
didasarkan atas prosedur, praktek, dan operasi yang layak. Pencapaian kondisi
LPD tersebut dapat diwujudkan dengan menunjuk kepada tingginya tingkat
pengawasan internal oleh badan yang berwenang.
Tingkat efektifitas pengawasan internal sangat menentukan tingkat kesehatan
dan keamanan LPD itu sendiri. Pasal 1 angka 13 Perda LPD No. 4/2012 mengatur
mengenai definisi dari pengawas internal. Pasal 1 angka 13 Perda LPD No.
4/2012, menyatakan bahwa: “Pengawas internal adalah badan pengawas yang
dibentuk oleh desa pakraman bertugas melakukan pengawasan terhadap
pengelolaan LPD”.
Tanggung jawab utama untuk pengawasan internal terletak di pundak badan
pengawas internal. Sebelum Perda LPD mengalami perubahan, pengawasan
internal LPD diatur dalam Pasal 12 Perda LPD No. 8/2002. Pasal 12 Perda LPD
No. 8/2002, menyatakan bahwa:
(1) Pengawas terdiri dari Ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
anggota;
(2) Ketua dijabat oleh Bendesa karena jabatannya;
(3) Ketua Pengawas dari LPD yang dibentuk berdasarkan Pasal 4, dijabat
secara bergilir diantara Bendesa berdasarkan kesepakatan;
(4) Anggota Pengawas dipilih oleh Krama Desa;
(5) Ketua dan Anggota Pengawas tidak dapat merangkap sebagai Pengurus.
155
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 Perda LPD No. 8/2002, dapat diketahui
bahwa bendesa dan 2 (dua) anggota lainnya memiliki kewenangan untuk
melakukan pengawasan terhadap LPD. Sjachran Basah mengemukakan bahwa
sumber kewenangan dapat diperoleh dari peraturan perundang-undangan, baik
secara langsung (atribusi), pelimpahan (delegasi), ataupun penugasan (mandat)130.
Jika memperhatikan Pasal 12 Perda LPD No. 8/2002, maka bendesa adat dan
2 (dua) orang lainnya diberikan kewenangan secara atribusi karena Perda LPD
menunjuk langsung bendesa dan 2 (dua) orang lainnya menjadi pengawas internal
LPD. Hal ini sejalan dengan pandangan Sjachran Basah. Beliau menentukan
bahwa kewenangan yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan secara
langsung merupakan kewenangan atribusi131.
Pada tanggal 29 Maret 2007, diundangkanlah Perda LPD No. 3/2007 sebagai
perubahan pertama Perda LPD No. 8/2002. Pasal 12 dalam Perda LPD No. 3/2007
yang mengatur mengenai pengawas internal dihapuskan. Namun, Perda LPD No.
3/2007 memberikan kewenangan kepada Gubernur untuk mengatur mengenai
tugas dan tanggung jawab pengawas internal LPD. Kewenangan tersebut
tercantum dalam Pasal 10 ayat (2) Perda LPD No.3/2007. Pasal 10 ayat (2) Perda
LPD No. 3/2007, menentukan bahwa: “Ketentuan mengenai pengurus dan
pengawas internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Gubernur”.
Ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) Perda LPD No. 3/2007, menunjukkan
bahwa kewenangan diberikan secara atribusi kepada Gubernur karena
130
131
Sjachran Basah, loc.cit.
Sjachran Basah, loc.cit.
156
kewenangan tersebut secara langsung diperoleh dari Perda LPD No. 3/2007.
Berdasarkan kewenangan atribusi yang diberikan oleh Perda LPD No. 3/2007,
maka Gubernur mengeluarkan suatu peraturan khusus, yaitu Peraturan Gubernur
Bali No.16/2008.
Melalui Peraturan Gubernur Bali No. 16/2008, maka bendesa adat bersama 2
(dua) orang anggota lainnya diberikan kewenangan secara atribusi untuk
menjalankan fungsi pengawasan internal terhadap LPD. Kewenangan atribusi
tersebut diimplementasikan di dalam Pasal 9 Peraturan Gubernur Bali No.
16/2008, menyatakan bahwa:
(1) Pengawas terdiri dari Ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang
anggota;
(2) Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabat oleh Bendesa
Pakraman;
(3) Anggota Pengawas dipilih oleh krama desa;
(4) Ketua dan anggota Pengawas tidak dapat merangkap sebagai Pengurus.
Berdasarkan kewenangan tersebut, maka bendesa adat beserta 2 (dua) orang
lainnya ditunjuk sebagai badan pengawas internal serta dibebani tanggung jawab
untuk memutuskan dalam pengambilan suatu tindakan yang sesuai dengan
peraturan-peraturan
yang berlaku, sehingga
berdampak positif
terhadap
perkembangan LPD. Badan pengawas internal diberikan kewenangan untuk
mengawasi dengan sungguh-sungguh dan menjadi panutan bagi pihak LPD agar
melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Tanggung jawab yang dibebankan kepada badan pengawas internal bukan
saja bertanggung jawab terhadap tindakan menyimpang yang dilakukan oleh LPD,
tetapi juga kegagalan dalam pengambilan suatu solusi terhadap permasalahan
yang sedang dihadapi oleh pihak LPD. Bentuk tanggung jawab badan pengawas
157
internal merupakan bagian dari tugas yang harus dijalankan oleh badan pengawas
internal. Adapun tugas dari badan pengawas internal tercantum di dalam Pasal 12
Peraturan Gubernur No. 16/2008. Pasal 12 Peraturan Gubernur No. 16/2008,
menyatakan bahwa:
Pengawas mempunyai tugas:
a. mengawasi pengelolaan LPD;
b. memberikan petunjuk kepada pengurus;
c. memberikan saran, pertimbangan, dan ikut menyelesaikan permasalahan;
d. mensosialisasikan keberadaan LPD;
e. mengevaluasikan kinerja pengurus secara berkala;
f. menyusun dan menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada paruman
desa.
Untuk mendukung pelaksanaan tugas – tugas tersebut di atas, maka badan
pengawas internal harus bersinergi untuk menciptakan LPD yang sehat dengan
suasana yang sehat. Sehatnya suatu LPD sebagian besar bergantung pada mutu
dan efektifitas dari pengawasan. Kerja sama antara badan pengawas internal
dengan LPD sangat dibutuhkan dalam upaya pembuatan dan pemberlakuan aturan
yang ditujukan kepada LPD agar menuju ke arah yang lebih baik.
Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Gubernur No. 16/2008, maka anggota
pengawas dipilih oleh krama desa. Pemilihan tersebut dilaksanakan pada saat
dilaksanakannya paruman di desa pakraman. Hasil dari pemilihan anggota
pengawas internal tersebut dituangkan ke dalam suatu peraturan yang disebut
dengan Keputusan Bendesa Pakraman atau Keputusan Paruman Desa Pakraman
serta ditandatangani oleh Bendesa Pakraman setempat. Salinan dari keputusan ini
disampaikan kepada masing - masing anggota pengawas internal, bendesa adat
sebagai ketua pengawas internal, Walikota Denpasar, BPD, serta sebagai arsip.
158
Kegiatan pengawasan oleh tim pengawas internal harus mampu memberikan
umpan balik secara dini atas kemungkinan deviasi (penyimpangan) yang terjadi
akibat sebab-sebab intern (kelemahan/kekurangan/kelalaian di pihak LPD) dan
sebab-sebab ekstern (debitor dan kondisi ekonomi). Kemudian secara dini pula
pihak LPD mempunyai kesempatan cukup untuk menyusun strategi identifikasi
sebab-sebab
dan
selanjutnya
menyusun/melakukan
pembetulan/perbaikan
sebelum terjadi kerugian total.
Pada prakteknya, badan pengawas internal melakukan 2 (dua) bentuk
pengawasan, yaitu ada yang dilaksanakan secara langsung dan secara tidak
langsung. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh Ibu Sagung Anom
Widhi Astuti, Kepala LPD Desa Pakraman Kedua, menyatakan bahwa
pengawasan langsung yang dilakukan oleh badan pengawas internal adalah
mendatangi LPD 1 (satu) bulan sekali untuk mengecek kas fisik, perjanjian kredit,
jaminan, kondisi kredit, apakah termasuk kolektibilitas kredit lancar, kurang
lancar, atau macet.
Ibu Sagung Anom Widhi Astuti juga mengungkapkan bahwa selain
pengawasan secara langsung, badan pengawas internal juga melakukan
pengawasan secara tidak langsung. Pengawasan secara tidak langsung dilakukan
dengan cara pihak LPD mengirimkan laporan neraca laba rugi setiap minggu
kepada badan pengawas internal. (wawancara pada tanggal 17 Juni 2013).
Penjelasan berbeda diutarakan oleh Bapak I Gusti Putu Sukanta, Kepala LPD
Desa Pakraman Penatih Puri yang memberikan penjelasan bahwa bentuk
pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas internal LPD hanya
159
pengawasan secara langsung. Badan pengawas internal langsung datang ke LPD
setiap 1 (satu) bulan sekali melakukan pengecekan terhadap nota kredit, tabungan,
dan deposito apakah sudah sesuai dengan pembukuan (wawancara pada tanggal 9
Juli 2013). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bapak I Wayan Oka Widastra.
(wawancara pada tanggal 06 Juli 2013).
Hal senada juga dikemukakan oleh Bapak I Made Darsana, Kepala LPD Desa
Pakraman Sumerta, bahwa pengawasan dari badan pengawas internal hanya
dilakukan secara langsung setiap 3 (tiga) bulan sekali pada tahun yang
bersangkutan. Adapun yang diawasi, menyangkut perkembangan usaha LPD,
masalah-masalah perkreditan, masalah sumber daya manusia, dan masalahmasalah umum lainnya. (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013).
Bapak I Made Adnyana, Kepala LPD Desa Pakraman Penyaringan, memiliki
penjelasan yang sama dengan Ibu Sagung Anom Widhi Astuti (Kepala LPD Desa
Pakraman Kedua), bahwa pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas
internal ada yang secara langsung dan ada juga yang tidak langsung. Bapak I
Made Adnyana mengungkapkan bahwa pengawasan secara langsung biasanya
badan pengawas LPD hanya melihat kondisi kerja dari LPD, sedangkan
pengawasan secara tidak langsung dilakukan dengan melakukan pengecekan dan
memastikan tentang laporan yang dikirimkan oleh pihak LPD kepada badan
pengawas internal. (wawancara pada tanggal 30 Juli 2013).
Wawancara juga dilakukan kepada Bapak I Wayan Loka, Kepala LPD Desa
Pakraman Sanur yang mengatakan bahwa pengawasan secara langsung oleh badan
pengawas internal dilakukan dengan mengecek transaksi dan kegiatan operasional
160
LPD melalui data-data dan kuitansi yang ada. Mengenai pengawasan tidak
langsung, selain pihak LPD mengirimkan laporan kepada badan pengawas
internal, terkadang pihak LPD dan badan pengawas internal melakukan suatu
diskusi serta memberikan solusi-solusi yang diperlukan untuk peningkatan LPD
ke depannya. (wawancara pada tanggal 30 Juli 2013).
Badan pengawas internal mempertanggungjawabkan hasil pengawasannya,
minimal dengan laporan tertulis secara berkala kepada krama desa, desa pakraman
yang bersangkutan. Laporan tersebut akan diperlihatkan kepada krama desa pada
saat diadakannya paruman di desa pakraman. Mengenai laporan tertulis sebagai
bentuk pertanggungjawaban dari badan pengawas internal, Bapak I Wayan
Durjana sebagai Kepala LPD Desa Pakraman Oongan memberikan penjelasan
bahwa laporan tertulis yang dibuat oleh badan pengawas internal biasanya
memuat:
a.
Pendahuluan
Pada bagian pendahuluan tercantum mengenai upaya dari badan pengawas
internal untuk menyusun dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban
kepada krama desa;
b.
Managemen
Managemen memuat uraian mengenai struktur organisasi yang menjadi
pengawas internal. Pertama dimulai dengan bendesa adat yang merangkap
sebagai koordinator pengawas internal dan selanjutnya diikuti dengan 2 (dua)
orang lainnya sebagai anggota pengawas internal;
161
c.
Pengurus LPD
Kepengurusan LPD, terdiri dari kepala LPD, sekretaris/tata usaha, dan
bendahara/kasir;
d
Bidang Usaha
Bidang usaha memuat uraian tentang kegiatan usaha apa saja yang dijalankan
oleh LPD, misalnya menerima simpanan dari masyarakat, menyalurkan dana
dari/kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman/kredit yang pengembaliannya
dilakukan secara bulanan;
e.
Kinerja LPD
Kinerja LPD biasanya memuat tentang uraian mengenai:
- Proses penyaluran kredit serta administrasinya, misalnya permohonan kredit
dari pihak debitor serta jaminan yang digunakan dalam mengajukan
permohonan kredit;
- Kredit bermasalah, misalnya berbagai upaya pihak LPD dalam menangani
kredit bermasalah;
- Proses administrasi tabungan biasa dan deposito, misalnya menyangkut
kelengkapan administrasi dan pelaksanaan untuk memungut tabungan yang
administrasinya ada petugas LPD yang mengontrolnya, sedangkan
mengenai tabungan deposito memuat administrasi deposito apakah sudah
dilaksanakan dengan baik dan jumlah nominal deposito yang dibukukan
antara komputer dengan neraca sudah cocok;
- Aktiva tetap dan inventaris
162
Aktiva tetap dan inventaris apakah sudah dilaksanakan dengan baik, dimana
pembelian alat-alat inventaris telah dicatat berupa daftar dan telah
disusutkan setiap bulan/tahun sesuai ketentuan;
- Perkembangan LPD
Perkembangan LPD dapat dilihat dari neraca dan laporan-laporan yang
mencantumkan peningkatan asset setiap tahunnya dan laba yang diperoleh,
serta dilihat dari rencana kerja dan anggaran dasar serta realisasinya;
- Tingkat kesehatan LPD
Tingkat kesehatan LPD dinilai oleh badan pengawas internal dengan cara
memeriksa laporan dan neraca-neraca yang disediakan oleh pihak LPD;
f.
Kesimpulan
Kesimpulan memuat uraian secara menyeluruh dari point-point di atas secara
singkat serta ditambahkan dengan harapan dari badan pengawas internal
terhadap perkembangan LPD;
g.
Lampiran-lampiran
Laporan pengawas dari badan pengawas internal biasanya melampirkan
laporan keuangan dan laporan hasil usaha.
h.
Tanda tangan badan pengawas internal
Laporan badan pengawas internal dibubuhi tanda tangan Ketua pengawas
internal dan 2 (orang) anggota lainnya. (wawancara pada tanggal 19 Juni
2013).
Berdasarkan hasil wawancara dari para informan tersebut di atas,
menunjukkan bahwa terdapat beberapa LPD yang memiliki persamaan bentuk
163
pengawasan internal yang satu dengan yang lainnya. Pengawasan yang dilakukan
oleh badan pengawas internal lebih sering dilakukan dalam bentuk pengawasan
secara langsung dan tidak langsung, namun ada juga pengawasan yang hanya
dilakukan dengan pengawasan secara langsung.
Pengawasan secara langsung yang dilakukan oleh badan pengawas internal
menyerupai sistem audit internal. Dalam melakukan tugasnya sebagai audit
internal, badan pengawas internal akan memeriksa bukti yang diperlukan untuk
memberikan keyakinan kepada prajuru dan paruman desa pakraman atas
kemampuan pelaporan pengelolaan LPD.
Kedudukan badan pengawas internal tidak hanya sebagai auditor internal,
bahkan badan pengawas internal dapat menjadi partner bagi ketua bahkan
pengurus LPD agar bersinergi melakukan kerja sama dengan tujuan untuk
memajukan LPD132. Bertambah tingginya jumlah asset yang dimiliki oleh LPD,
maka peranan badan pengawas internal sangat diperlukan lebih mendalam dan
kompleks. LPD memerlukan bantuan pihak badan pengawas internal untuk
memperluas pengetahuan dan kompetensi yang semakin khusus dalam
menghadapi urusan-urusan yang berhubungan dengan pengelolaan LPD133.
Mengingat pentingnya peranan badan pengawas internal, maka bendesa adat
dan 2 (dua) anggota lainnya harus memiliki pola pikir yang mampu menjalankan
tata kelola, arahan/bimbingan, keahlian teknis, serta tanggung jawab dalam
menjalankan tugasnya sebagai badan pengawas. Hal ini harus dimiliki oleh badan
132
I Wayan Suartana, 2009, Arsiktektur Pengelolaan Risiko Pada Lembaga
Perkreditan Desa (LPD), Udayana University Press, Denpasar, hal. 19.
133
Ibid.
164
pengawas internal untuk mencegah praktek tidak sehat yang akan beresiko
terhadap kesehatan LPD.
Bendesa adat dan 2 (dua) anggota lainnya yang diberikan kewenangan
atribusi oleh Peraturan Gubernur No.16/2008 diharapkan dapat menciptakan
pengawasan yang bersifat kondusif dan efektif. Selain kewenangan untuk
mengawasi LPD, dalam menjalankan kewenangannya badan pengawas internal
juga harus diimbangi dengan pengetahuan serta kemampuan tentang LPD
sehingga akan memberi pengaruh positif terhadap pengawasan yang akan
dilakukan.
4.2 Kewenangan Pengawasan LPD Oleh Badan Pengawas Eksternal
Kegiatan usaha yang dilakukan oleh LPD tidak terlepas dari berbagai
kesalahan. Kesalahan ini dapat dilakukan secara sengaja maupun tidak disengaja.
Oleh karena itu, agar kegiatan usaha LPD dapat berjalan sesuai dengan peraturan
yang telah ditetapkan, maka pengawasan sangat diperlukan. Pengawasan yang
diperlukan tidak hanya berasal dari dalam LPD (pengawas internal), melainkan
juga memerlukan suatu pengawasan yang berasal dari instansi luar LPD
(pengawas eksternal).
Peningkatan efektifitas sistem pengawasan eksternal merupakan salah satu
strategi untuk meningkatkan serta memperkuat LPD dalam menjalankan perannya
sebagai lembaga keuangan guna melayani kebutuhan warga desa pakraman dalam
bidang keuangan. Untuk pertama kalinya, pengawasan eksternal LPD diatur
dalam Perda LPD, yaitu Perda LPD No. 8 /2002 yang diundangkan pada tanggal
165
16 September 2002. Pasal 18 Perda LPD No. 8/2002, menentukan bahwa:
“Pengawasan eksternal LPD dilakukan oleh Gubernur”.
Ketentuan dalam Perda LPD No. 8/2002 memberikan pemahaman bahwa
pemerintah Provinsi Bali memberikan kewenangan atribusi kepada Gubernur Bali
untuk melakukan kegiatan pengawasan eksternal LPD. Namun penjelasan dari
Pasal 18 Perda LPD No. 8/2002, menyatakan bahwa: “Gubernur melimpahkan
tugas pengawasan kepada BPD”. Makna yang terkandung dalam Penjelasan Pasal
18 Perda No. 8/2002 adalah Gubernur mendelegasikan wewenang pengawasannya
kepada BPD. Delegasi merupakan peralihan wewenang pemerintahan dari satu
organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya134.
Pelimpahan wewenang pengawasan ekternal pada Pasal 18 beserta
penjelasannya dalam Perda LPD No.8/2002, selanjutnya dituangkan melalui suatu
produk hukum. Gubernur Bali dalam hal ini membuat suatu Keputusan Gubernur
Bali Nomor 95/01-C/HK/2003 tentang Pelimpahan Wewenang Pengawasan
Lembaga Perkreditan Desa Di Provinsi Bali Kepada Bank Pembangunan Daerah
Bali, selanjutnya disebut Keputusan Gubernur Bali No. 95/01-C/HK/2003.
Keputusan Gubernur Bali No. 95/01-C/HK/2003, mencantumkan 3 (tiga)
point penting sehubungan dengan pelimpahan wewenang pengawasan ekternal.
Ketiga point penting tersebut, antara lain:
a. Melimpahkan wewenang pengawasan LPD di Provinsi Bali kepada BPD
Bali;
b. BPD Bali wajib melaporkan pelaksanaan tugasnya sebagaimana dimaksud
diktum Pertama kepada Gubernur Bali setiap 6 (enam) bulan;
c. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, yaitu 12 Maret 2003.
134
Sjachran Basah, loc.cit.
166
Berdasarkan ketiga diktum yang tercantum di dalam Keputusan Gubernur
Bali No. 95/01-C/HK/2003, maka pemberi delegasi (delegans), yaitu Gubernur
tidak dapat lagi menggunakan wewenangnya untuk melakukan pengawasan
ekternal terhadap LPD. Sejak terbitnya keputusan Gubernur Bali No. 95/01C/HK/2003, maka wewenang pengawasan eksternal sepenuhnya berada di tangan
BPD Bali.
Pada tanggal 29 Maret 2007, pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan Perda
LPD No. 3/2007 tentang Perubahan Atas Perda LPD No. 8/2002. Substansi dalam
Perda LPD No. 3/2007 tidak mengubah tentang pengawasan ekternal LPD. Perda
LPD No. 3/2007 tetap mencantumkan bahwa Gubernur menugaskan BPD sebagai
pengawas eksternal BPD.
Pemerintah Kota Denpasar memiliki kebijakan/program strategis terhadap
perkembangan LPD, yaitu menjadikan LPD sebagai pusat informasi usaha
strategis dan produktivitas masyarakat dengan melaksanakan monitoring dan
evaluasi dalam rangka pembenahan LPD secara teknis. Tim monitoring dan
evaluasi terdiri dari Pemerintah Kota Denpasar, BPD Cabang Utama Denpasar,
dan Pembina Lembaga Perkreditan Desa Kota Denpasar (selanjutnya disebut
PLPDK Denpasar).
Sejak tanggal 02 Januari 2012, Walikota Denpasar mengeluarkan suatu
keputusan, yaitu Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/109/Hk/2012
tentang Monitoring dan Evaluasi Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Kota
Denpasar Tahun 2012, selanjutnya disebut Keputusan Walikota Denpasar No.
188.45/109/Hk/2012. Keputusan tersebut mencantumkan 5 (lima) diktum, yaitu:
167
1. Monitoring dan evaluasi LPD Kota Denpasar Tahun 2012 dengan susunan
keanggotaan sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini;
2. Tugas dan tanggung jawab Monitoring dan Evaluasi sebagaimana dimaksud
Diktum Kesatu adalah:
a. melaksanakan monitoring kegiatan LPD se-Kota Denpasar;
b. melaksanakan evaluasi terhadap kinerja LPD se-Kota Denpasar;
c. bertanggung jawab dan melaporkan segala hasil pelaksanaan tugasnya
kepada Walikota.
3. Monitoring dan Evaluasi sebagaimana dimaksud Diktum Kesatu yang bukan
Pegawai di lingkungan Pemerintah Kota Denpasar masing-masing diberikan
jasa sebesar Rp. 80.000 (delapan pulu ribu rupiah) per bulan;
4. Segala biaya yang ditimbulkan akibat dari penetapan Keputusan ini
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Denpasar
Tahun
Anggaran
2011
dengan
Nomor
DPA-SKPD
1.22.1.20.03.1.20.03.03.16.07.5.2 dan Kode Rekening 5.2.2.03.12.
Diktum
pertama
dalam
Keputusan
Walikota
Denpasar
No.
188.45/109/Hk/2012 menentukan bahwa susunan keanggotaan yang melakukan
Monitoring dan Evaluasi LPD se-Kota Denpasar tercantum di dalam lampiran
Keputusan Walikota Denpasar. Adapun dalam lampiran tersebut, tercantum
bahwa susunan keanggotaan monitoring dan evaluasi LPD se- kota Denpasar
adalah:
Penasehat
Pembina
Ketua
Sekretaris
Anggota
Administrasi
: Walikota Denpasar dan Wakil Walikota Denpasar;
: Sekretaris Daerah Kota Denpasar dan Asisten
Administrasi
Pembangunan Sekretaris Daerah Kota
Denpasar;
: Kepala Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota
Denpasar.
: Kasubag
Sarana
Perekonomian
pada
Bagian
Perekonomian Setda Kota Denpasar;
: - PLPDK Denpasar;
- Unsur BPD Cabang Utama Denpasar
- Unsur Bappeda Kota Denpasar
- Unsur Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota
Denpasar;
- Unsur Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota
Denpasar.
: Staf Bagian Perekonomian Daerah Kota Denpasar
sebanyak 7 (tujuh) orang.
168
Keputusan Gubernur Bali No. 95/01-C/HK/2003 dan Keputusan Walikota
Denpasar No. 188.45/109/Hk/2012 memberi arti bahwa BPD berwenang sebagai
pengawas eksternal sekaligus sebagai tim monitoring dan evaluasi LPD se-Kota
Denpasar. Hanya saja, wewenang yang diperoleh oleh LPD berasal dari 2 (dua)
instansi yang berbeda. Kewenangan BPD sebagai pengawas eksternal diperoleh
dengan cara pendelegasian wewenang dari Gubernur Bali kepada BPD.
Berbeda halnya dengan kewenangan BPD sebagai tim monitoring dan
evaluasi LPD se-Kota Denpasar yang diperoleh secara atribusi. Hal ini
dikarenakan dalam Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/109/Hk/2012 telah
menunjuk langsung BPD sebagai salah satu tim monitoring dan evaluasi LPD seKota Denpasar yang wajib menjalankan tugas dan dibebani tanggung jawab yang
tercantum dalam keputusan tersebut.
Berdasarkan Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/109/Hk/2012,
tercantum bahwa BPD didampingi oleh jajaran lainnya dalam melaksanakan tim
monitoring dan evaluasi LPD se-Kota Denpasar. Namun dalam prakteknya, tim
monitoring dan evaluasi yang aktif melaksanakan monitoring adalah unsur BPD
cabang utama Denpasar, unsur bagian perekonomian sekretariat daerah kota
Denpasar dan PLPDK Denpasar135.
Hal ini dibenarkan oleh Bapak I Made Medal, Kepala LPD Desa Pakraman
Tembawu, bahwa yang mendatangi LPD untuk melakukan pengawasan dan
monitoring sehubungan dengan kegiatan operasional LPD adalah dari pihak BPD,
PLPDK Denpasar, dan Biro Perekonomian Kota Denpasar. Namun, secara tidak
135
Pemerintah Kota Denpasar II, op.cit, hal. 6.
169
langsung pihak LPD juga mengirimkan laporan mengenai keuangan LPD setiap
bulannya kepada PLPDK Denpasar. Jika laporan sudah diterima oleh pihak
PLPDK Denpasar, maka PLPDK Denpasar akan menyampaikan laporan tersebut
kepada Biro Perekonomian Kota Denpasar dan BPD. (wawancara pada tanggal 01
Agustus 2013).
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bapak I Wayan Oka Widastra, Kepala
LPD Desa Pakraman Jenah, mengemukakan bahwa instansi yang melakukan
monitoring ke LPD adalah dari BPD, PLPDK Denpasar dan bidang perekonomian
Kota Denpasar. Monitoring ini dilakukan oleh ketiga instansi tersebut setiap 3
(tiga) bulan sekali. (wawancara pada tanggal 6 Juli 2013).
Mengenai waktu kapan tim monitoring mendatangi LPD, Bapak I Wayan
Biyeg, Kepala LPD Desa Pakraman Bekul, menegaskan bahwa monitoring yang
dilakukan oleh BPD, bagian ekonomi kota Denpasar, serta PLPDK Denpasar
dilakukan setiap 3 (tiga) bulan sekali. Ungkapan yang sama juga disampaikan
oleh Bapak I Wayan Rayun, Kepala LPD Desa Pakraman Kesiman, bahwa
kegiatan monitoring secara langsung dilakukan setiap 3 (bulan) sekali oleh tim
monitoring, yaitu BPD, PLPDK Denpasar, dan biro ekonomi kota Denpasar.
Namun, monitoring secara tidak langsung dilakukan dengan cara pihak LPD
mengirimkan laporan-laporan setiap bulan, yaitu pada awal bulan. (wawancara
pada tanggal 08 dan 16 Juli 2013).
Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan di atas, maka dapat
diketahui bahwa bentuk monitoring dan evaluasi dari tim BPD cabang utama
Denpasar, PLPDK Denpasar, dan bagian perekonomian kota Denpasar memiliki
170
persamaan dengan pengawasan oleh badan pengawasan internal, yaitu dilakukan
secara langsung dan tidak langsung. Pengawasan secara langsung dilakukan
dengan cara mengadakan monitoring dan evaluasi langsung ke LPD mengenai
kegiatan dan kinerja LPD.
Untuk pengawasan secara tidak langsung, pihak LPD mengirimkan laporan
keuangan setiap bulannya kepada salah satu tim monitoring dan evaluasi LPD seKota Denpasar, yaitu PLPDK Denpasar. PLPDK Denpasar akan meneruskan
kembali laporan keuangan dari LPD tersebut kepada BPD cabang utama Denpasar
dan bagian perekonomian kota Denpasar.
Menjalankan tugasnya sebagai tim monitoring dan evaluasi LPD Se-Kota
Denpasar, BPD cabang utama Denpasar, PLPDK Denpasar, dan Bagian
Perekonomian Sekretariat Daerah Kota Denpasar membuat suatu laporan hasil
dari monitoring dan evaluasi terhadap LPD. Laporan tersebut mencantumkan
nama LPD yang dijadikan objek monitoring, nama kepala LPD, jumlah
staff/pegawai LPD, jumlah badan pengawas internal LPD, waktu pelaksanaan
monitoring, hasil laporan mengenai administrasi dan keuangan LPD, dan terakhir
adalah saran-saran yang diberikan oleh tim monitoring dan evaluasi terhadap LPD
se-Kota Denpasar136. Jika laporan selesai dibuat, maka laporan tersebut akan
dikumpulkan menjadi satu dan ditandatangani oleh Kepala Sub Bagian
Perekonomian Sekretariat Daerah Kota Denpasar.
Pengawasan eksternal LPD oleh BPD Bali selanjutnya tidak diatur lagi dalam
perubahan kedua dari Perda LPD, yaitu Perda LPD No. 4/2012. Perda LPD No.
136
Ibid.
171
4/2012 diundangkan di Denpasar pada tanggal 14 Juni 2012. Pasal 18 yang
dulunya menyatakan pengawasan eksternal berada di tangan Gubernur, kini
diubah menjadi:
(1) Gubernur bersama MUDP melakukan pembinaan.
(2) Gubernur menugaskan pembinaan umum kepada Badan Pembina Umum
Provinsi dan Badan Pembina Umum Kabupaten/Kota.
(3) Gubernur dengan pertimbangan MUDP menugaskan LPLPD
melaksanakan pendampingan teknis dalam pemberdayaan LPD.
(4) Atas permintaan Krama Desa melalui paruman, sekali dalam 1 tahun harus
dilakukan audit.
Pasal 18 Perda LPD No. 4/2012, memberikan pemahaman bahwa pembinaan
terhadap LPD di Kota Denpasar dilakukan oleh Badan Pembina Umum Kota dan
LPLPD. Pembinaan merupakan salah satu bentuk pengawasan secara preventif
dan represif. Namun, kedua lembaga ini belum aktif untuk menjalankan tugasnya
sebagai pembina dalam pemberdayaan LPD. Hal ini dikarenakan Perda LPD No.
4/2012 merupakan Perda LPD terbaru dan masih perlu disosialisasikan
keberadaannya.
Pada prakteknya, untuk lebih meningkatkan kinerja LPD se-Kota Denpasar
dan dalam rangka pertanggungjawaban pengelolaan LPD dipandang perlu
melaksanakan pengawasan terhadap LPD yang ada di Kota Denpasar. Atas
pertimbangan tersebut, Walikota Denpasar akhirnya mengeluarkan suatu
keputusan, yaitu Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/689/Hk/2012
tentang Pembentukan Tim Pengawasan Internal Lembaga Perkreditan Desa (LPD)
Kota Denpasar Tahun 2012, selanjutnya disebut Keputusan Walikota Denpasar
No. 188.45/689/Hk/2012. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 01 Oktober
2012.
172
Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012 menetapkan 5 (lima)
diktum. Adapun kelima diktum tersebut, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
Membentuk Tim Pengawasan Internal LPD di Kota Denpasar dengan
susunan keanggotaan sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan
ini;
Tugas dan tanggung jawab Tim Pengawas Internal sebagaimana dimaksud
Diktum Kesatu adalah:
a. menyiapkan dan melaksanakan segala sesuatu yang berkaitan dengan
Pengawasan Internal LPD di Kota Denpasar;
b. melakukan Pengawasan Internal terhadap kinerja LPD;
c. menetapkan hasil Tim Pengawasan Internal LPD; dan
d. bertanggung jawab dan melaporkan segala hasil pelaksanaan tugasnya
kepada Walikota.
Kepada Tim Pengawas Internal sebagaimana dimaksud pada Diktum
Kesatu yang bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah
Kota Denpasar masing-masing diberikan jasa sebesar Rp. 60.000,00 (enam
puluh ribu rupiah) per orang per jam;
Segala biaya yang timbul akibat ditetapkannya keputusan ini dibebankan
pada Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Denpasar
Tahun Anggaran 2012 dengan Nomor DPA SKPD: 1.22.1.20.03.16.07.5.2
dengan kode rekening 5.2.1.02.01;
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 01 Oktober 2012.
Ketentuan pada diktum pertama dalam Keputusan Walikota Denpasar No.
188.45/689/Hk/2012 tersebut di atas, menentukan bahwa susunan keanggotaan
pengawas internal LPD di Kota Denpasar tercantum di dalam lampiran keputusan
tersebut. Adapun dalam lampiran Keputusan Walikota Denpasar mencantumkan
bahwa susunan keanggotaan pengawasan internal LPD Kota Denpasar tahun 2012
adalah:
Penasehat
Pembina
Ketua
Sekretaris
Anggota
: Walikota Denpasar dan Wakil Walikota Denpasar;
: Sekretaris Daerah Kota Denpasar;
: Asisten Administrasi Pembangunan Sekretaris Daerah Kota
Denpasar;
: Kepala Bagian Perekonomian Sekretaris Daerah Kota
Denpasar;
: - Unsur PLPDK Denpasar 3 (tiga) orang;
- Unsur BPD Cabang Utama Denpasar;
- Unsur Fakultas Ekonomi Universitas Udayana;
173
Administrasi
- Unsur Bappeda Kota Denpasar;
- Unsur Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Denpasar;
- Unsur Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota
Denpasar.
: Staff Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota
Denpasar sebanyak 4 (empat) orang.
Berdasarkan Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012, terlihat
bahwa BPD diberikan kewenangan secara atribusi karena dalam Keputusan
Walikota Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012 ditentukan secara langsung bahwa
BPD beserta jajaran lainnya ditunjuk sebagai tim pengawas internal LPD di Kota
Denpasar. Sumber kewenangan BPD sebagai tim pengawas internal dan tim
monitoring dan evaluasi LPD se-Kota Denpasar adalah sama-sama bersumber dari
Keputusan Walikota Denpasar.
Namun, pada saat menjalani tugas sebagai tim monitoring dan evaluasi, serta
sebagai tim pengawas internal, terdapat penambahan formasi mengenai instansi
lain yang mendampingi BPD dalam melaksanakan kedua tugasnya tersebut.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai tim monitoring dan evaluasi LPD se-Kota
Denpasar, BPD didampingi oleh PLPDK Denpasar, unsur BAPPEDA Kota
Denpasar, unsur Bagian Perekonomian Sekretariat Kota Denpasar, dan unsur
Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota Denpasar.
Mengemban tugas sebagai tim pengawas internal terdapat penambahan
instansi. Instansi yang mendampingi BPD tetap sama seperti instansi yang
mendampingi BPD saat menjalankan tugasnya sebagai tim monitoring dan
evaluasi se-LPD Kota Denpasar, hanya saja terdapat penambahan 1 (satu) instansi
lagi yaitu dari Unsur Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.
174
Mekanisme pengawasan internal terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu seleksi
awal, pembagian tim (kelompok), jadwal pengawasan, dan unsur-unsur
pengawasan. Masing-masing dari tahap pengawasan tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut137:
1.
Seleksi awal
Tim pengawas internal memilih dan menetapkan LPD – LPD mana saja yang
tergolong LPD kategori sehat, cukup sehat, dan kurang sehat dari ke 35 (tiga
puluh lima) LPD yang berada di Kota Denpasar;
2. Tim pengawas internal dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:
a. Tim pertama, terdiri dari BPD Cabang Utama Denpasar, PLPDK, dan
Fakultas Ekonomi Universitas Udayana melakukan stock opname terhadap
pengelolaan laporan keuangan berupa neraca, dana pihak ketiga, dan
kredit;
b. Tim kedua, terdiri dari Bagian Perekonomian, Bagian Hukum dan Bappeda
Kota Denpasar melakukan pengawasan stock opname dengan materi
program LPD terkait dengan kebijakan pembangunan Kota Denpasar;
3. Jadwal pengawasan
a. Sesuai dengan jadwal yang ditetapkan (bersifat tentatif) tim mengadakan
pengawasan stock opname terhadap LPD yang telah ditetapkan sesuai
dengan kriteria yang sudah ditentukan yaitu berjalan selama 24 (dua puluh
empat) hari untuk 3 (tiga) LPD;
137
Pemerintah Kota Denpasar, 2012, Pengawasan Internal LPD Di Kota
Denpasar, Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah, Kota Denpasar, (selanjutnya
disebut Pemerintah Kota Denpasar III), hal. 3.
175
b. Setelah masa pengawasan internal selesai, tim membuat laporan
pengawasan stock opname.
4. Unsur-unsur pengawasan internal adalah:
a. Pengelolaan dana pihak ketiga (tabungan dan deposito);
b. Pengelolaan kredit;
c. Laporan bulanan LPD;
d. Program-program LPD terkait dengan kebijakan pembangunan Kota
Denpasar.
Setelah menjalankan mekanisme pengawasan internal, maka tim pengawas
internal membuat suatu laporan sebagai bentuk dari pertanggungjawaban atas
wewenang yang telah diberikan secara atribusi dalam Keputusan Walikota
Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012. Laporan yang dibuat oleh tim pengawas
internal, memuat beberapa hal, yaitu138:
1.
Tim pengawas internal;
2.
Pemeriksaan terhadap pos-pos aktiva, yang terdiri dari:
- Pemeriksaan kas;
- Pemeriksaan antar bank aktiva;
- Pemeriksaan kredit;
- Pemeriksaan aktiva tetap dan inventaris.
3. Pemeriksaan pos-pos passiva yang terdiri dari:
- Tabungan nasabah;
- Deposito;
138
Ibid, hal. 25
176
- Pinjaman yang diterima/antar bank passiva;
- Modal.
4. Pemeriksaan pendapatan yang terdiri dari:
- Pendapatan operasional (bunga, provisi dari pinjaman yang diberikan dan
penempatan).
- Pendapatan operasional lainnya.
Pengawasan internal memiliki perbedaan dengan monitoring dan evaluasi.
Perbedaan tersebut terlihat pada bentuk pengawasannya. Pengawasan internal
hanya dilakukan secara langsung, yaitu dengan mendatangi LPD - LPD dan tidak
bisa dilakukan dengan pengawasan secara tidak langsung, yaitu dengan
pengiriman laporan keuangan kepada tim pengawas.
Berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Bali maupun Walikota
Denpasar sehubungan dengan pengawasan eksternal LPD, bertujuan untuk
memantau secara berkesinambungan perkembangan LPD. Pengawasan eksternal
LPD dijalankan dengan harapan mampu mengantisipasi permasalahan sedini
mungkin dan mengembalikan operasional-operasional LPD yang kurang sehat
secara bertahap serta tim pengawas eksternal dapat memotivasi LPD untuk
membuat terobosan-terobosan pemberdayaan ke depan.
4.3 Pelaksanaan Pengawasan oleh Badan Pengawas Internal dan Eksternal
Terhadap Praktek Pemberian Kredit oleh LPD Dengan Jaminan
Sertifikat Hak Milik Atas Tanah Tanpa Diikat Dengan APHT
Berdasarkan karakteristik dan fungsi LPD, dapat dikatakan bahwa LPD
identik dengan industri resiko. Oleh karena itu, ketersediaan sistem pengawasan
yang memadai merupakan kebutuhan yang mendasar bagi setiap LPD agar LPD
177
terhindar dari kerugian, baik kerugian materi maupun non materi, seperti
memburuknya citra atau reputasi di mata masyarakat.
Secara konsepsional, pengawasan merupakan tindakan untuk mengendalikan
suatu kegiatan yang sudah direncanakan, apakah kegiatan yang sudah
direncanakan tersebut sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan atau sebaliknya.
Apabila terjadi pelanggaran, para pihak yang berwenang sebagai controlling
(pengawasan) berkewajiban memberikan pengarahan agar sistem kerja tidak
menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan.
Pengawasan yang lebih jeli dari badan pengawas, baik itu internal dan
eksternal sangat diperlukan untuk memperbaiki penyimpangan yang telah
dilakukan oleh LPD. Pengawasan oleh badan pengawas internal dan eksternal
terhadap pemberian kredit oleh LPD dengan jaminan sertifikat hak milik atas
tanah tanpa diikat dengan APHT dapat dijelaskan dari hasil wawancara terhadap
para Kepala LPD yang memimpin LPD di beberapa kecamatan di Kota Denpasar.
Adapun hasil wawancara tersebut adalah sebagai berikut:
Ibu Ni Wayan Wardani, Kepala LPD Desa Pakraman Peraupan, menjelaskan
bahwa sampai saat ini belum ada upaya khusus dari pihak pengawas internal
maupun eksternal terhadap pemberian kredit oleh LPD dengan jaminan sertifikat
hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT. Apabila di kemudian hari
timbul suatu permasalahan akibat tidak diikatnya jaminan hak atas tanah dengan
APHT, biasanya diselesaikan melalui paruman desa adat dengan penerapan
sanksi/awig-awig desa adat.
178
Jadi, dengan penerapan sanksi adat ini, maka kredit yang disalurkan oleh LPD
berada dalam keadaan aman karena masyarakat akan berusaha untuk
mengembalikan kreditnya tepat waktu. Tindakan lebih lanjut dari pengawasan
terhadap larangan pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah
tanpa diikat APHT sampai saat ini belum ada. (wawancara pada tanggal 7 Juli
2013).
Bapak I Ketut Warta, Kepala LPD Desa Pakraman Peninjoan, memberikan
penjelasan lebih lanjut bahwa baik dari badan pengawas internal maupun
eksternal tidak mempermasalahkan pemberian kredit oleh LPD dengan jaminan
sertifikat hak milik atas tanah tanpa APHT. Badan pengawas internal maupun
ekternal biasanya mendatangi LPD hanya untuk menyarankan tentang
pengelolaan kredit yang bersifat umum saja, misalnya memberikan saran untuk
kelancaran pihak debitor dalam membayar kredit dan menyarankan agar pihak
LPD melakukan pengecekan langsung ke lapangan terhadap sebidang tanah yang
akan dijadikan jaminan kredit. (wawancara pada tanggal 06 Juli 2013).
Pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah tanpa diikat
dengan APHT, sesungguhnya sampai saat ini masih menjadi dilema bagi LPD
Desa Pakraman Cengkilung. Hal ini diungkapkan oleh Bapak I Gusti Ngurah
Bagus sebagai Kepala LPD Desa Pakraman Cengkilung. Lebih lanjut beliau
menegaskan bahwa badan pengawas internal masih tabu akan penggunaan APHT
dalam pemberian kredit apabila pihak nasabah menggunakan jaminan sertifikat
hak milik atas tanah.
179
Badan pengawas internal dan anggota LPD belum mengetahui bagaimana
cara melakukan pengikatan jaminan hak atas tanah dengan APHT ke kantor
PPAT. Berbeda halnya dengan badan pengawas eksternal, badan pengawas
eksternal yang mendatangi LPD secara berkala menyarankan untuk melakukan
pengikatan dengan APHT ke kantor PPAT apabila pihak debitor berasal dari luar
desa pakraman. Akan tetapi, pihak LPD belum berani menyalurkan fasilitas kredit
ke luar wilayah desa pakraman karena dari Perda LPD hanya memusatkan
kegiatan usaha LPD pada wilayah desa pakraman tempat LPD berdiri.
(wawancara pada tanggal 01 Juli 2013).
Wawancara juga dilakukan oleh Bapak I Made Medal, Kepala LPD Desa
Pakraman Tembawu. Beliau memberikan komentar bahwa baik pengawas internal
maupun pengawas eksternal hanya menyarankan agar jaminan hak atas tanah
yang dijadikan jaminan kredit cukup dilakukan pemantauan dari pihak LPD
terhadap keberadaan dan lokasi tanahnya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh
Bapak I Wayan Brata selaku Kepala LPD Desa Pakraman Penatih). (wawancara
pada tanggal 05 Juli 2013 dan 01 Agustus 2013).
Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bapak I Wayan
Durjana, Kepala LPD Desa Pakraman Oongan. Beliau mengungkapkan bahwa di
LPD Desa Pakraman Oongan, badan pengawas internal jarang terjun ke lapangan
untuk melakukan pengecekan ke LPD secara langsung. Biasanya badan pengawas
internal mendatangi LPD hanya untuk melakukan penandatanganan formulir
permohonan kredit yang diisi oleh pihak debitor dalam proses pengajuan kredit.
180
Namun, untuk badan pengawas eksternal terhadap kredit dengan jaminan
sertifikat hak milik atas tanah belum pernah mempermasalahkan apakah jaminan
tersebut diikat dengan APHT atau tidak. Badan pengawas eksternal hanya
menyarankan terhadap sebidang tanah yang akan dijadikan jaminan kredit agar
pihak LPD melakukan pemotretan terhadap tanah tersebut dan menyarankan
untuk lebih waspada apabila debitor menunjukkan tanda-tanda kemacetan
membayar angsuran kredit. Badan pengawas internal maupun eksternal tidak
begitu jeli memperhatikan administrasi-administrasi perkreditan. (wawancara
pada tanggal 19 Juni 2013).
Wawancara selanjutnya dilakukan terhadap Bapak I Wayan Loka, Kepala
LPD Desa Pakraman Sanur, mengatakan bahwa badan pengawas internal dan
ekternal dalam melakukan pengawasan terhadap kredit yang disalurkan oleh pihak
LPD, biasanya hanya melakukan pengecekan kredit dari segi plafon kredit serta
keaktifan pembayaran oleh pihak debitor setiap bulannya. Apabila ditemui banyak
pihak debitor mengalami kemacetan membayar, maka badan pengawas
menyarankan untuk melakukan penagihan secara intensif. Untuk sebagian kredit
yang dijaminkan dengan tanah yang belum diikat APHT oleh pihak LPD, sampai
saat ini badan pengawas belum ada imbauan secara khusus terhadap pihak LPD.
(wawancara pada tanggal 30 Juli 2013).
Bapak I Made Darsana selaku Kepala LPD Desa Pakraman Sumerta, memiki
pandangan yang sama dengan Bapak I Wayan Loka (Kepala LPD Desa Pakraman
Sanur). Pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas internal dan ekternal
hanya melakukan pengecekan terhadap pengelolaan kredit secara umum.
181
Pengecekan yang dilakukan lebih menekankan kepada kelancaran atau tidaknya
pembayaran angsuran kredit yang dilakukan oleh pihak debitor. Selain itu
pengecekan juga dilakukan terhadap tinggi atau rendahnya tingkat kredit macet
dalam LPD yang bersangkutan. (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013).
Bapak I Wayan Oka Widastra, Kepala LPD Desa Pakraman Jenah,
menjelaskan bahwa badan pengawas internal selalu diikutsertakan dalam rapat
kecil antara pengurus dan pengawas. Rapat kecil ini diadakan pada saat pihak
LPD akan melakukan pencairan kredit terhadap debitor yang menggunakan
jaminan sertifikat hak milik atas tanah. Rapat kecil ini dilakukan antara badan
pengawas internal dan pengurus LPD.
Dalam rapat ini, badan pengawas internal sudah mengetahui bahwa tanah
yang akan dijadikan jaminan kredit memang tidak diikat dengan APHT dan
selama rapat kecil diadakan, badan pengawas internal belum pernah menyarankan
untuk melakukan pengikatan jaminan hak atas tanah ke kantor PPAT. Untuk
badan pengawas eksternal, selama ini pengawas eksternal belum pernah
mempermasalahkan jaminan hak atas tanah yang tidak diikat dengan APHT
karena itu semua tergantung dari kebijakan internal LPD. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Bapak I Putu Sumadi sebagai Kepala LPD Desa Pakraman
Yangbatu. (wawancara pada tanggal 06 Juli 2013 dan 01 Agustus 2013).
Berikut wawancara dilakukan kepada Bapak I Made Adnyana sebagai Kepala
LPD
Desa
Pakraman
Penyaringan,
mengutarakan
pendapatnya
bahwa
pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas internal maupun eksternal
terhadap pengelolaan kredit hanya dilakukan secara umum. Kedua badan
182
pengawas ini biasanya hanya melakukan pengecekan terhadap kredit-kredit yang
bermasalah dan menunjukkan tanda – tanda kemacetan membayar. Pengawasan
yang dilakukan oleh badan pengawas internal maupun eksternal belum sampai
pada hal yang mendetail mengenai kelengkapan administrasinya. (wawancara
pada tanggal 30 Juli 2013).
Bapak
I
Wayan
Rayun,
Kepala
LPD
Desa
Pakraman
Kesiman,
mengungkapkan bahwa mengenai prosedur pengikatan jaminan tanah dengan
APHT, baik badan pengawas internal dan eksternal sudah mempercayai
sepenuhnya kepada LPD. Tanah yang dijadikan jaminan kredit akan diikat atau
tidak diikat dengan APHT adalah sepenuhnya menjadi wewenang pihak LPD.
(wawancara pada tanggal 16 Juli 2013).
Bapak I Made Astra Wijaya, Kepala LPD Desa Pakraman Padang Sambian,
menjelaskan bahwa, badan pengawas internal dan ekternal belum pernah
menghimbau secara khusus akan kelengkapan pengikatan APHT terhadap
jaminan kredit dalam bentuk tanah. Pengawasan yang diberikan selama ini hanya
lebih memfokuskan pada kondisi neraca laba rugi dan kredit-kredit bermasalah.
(wawancara pada tanggal 05 Agustus 2013). Ibu Sagung Anom Widhi Astuti,
Kepala LPD Desa Pakraman Kedua, juga memberi komentar bahwa sampai saat
ini belum ada pembinaan dan pengawasan terhadap jaminan kredit berupa tanah
yang tidak diikat dengan APHT karena kredit yang disalurkan masih tergolong
kecil. (wawancara pada tanggal 17 Juni 2013).
Bapak I Made Sutarka selaku Kepala LPD Desa Pakraman Anggabaya,
memberikan komentar bahwa dari laporan-laporan yang dikirimkan ke badan
183
pengawas dan kedatangan para badan pengawas ke LPD, sampai saat ini badan
pengawas belum pernah mempermasalahkan kredit dengan jaminan hak atas tanah
apakah diikat dengan APHT atau tidak. Tim badan pengawas lebih sering
menanyakan kondisi kredit yang telah disalurkan kepada masyarakat apakah
berada dalam keadaan lancar atau tidak lancar. (wawancara pada tanggal 19 Juli
2013). Hal yang sama juga disampaikan oleh Bapak I Gusti Putu Sukanta selaku
Kepala LPD Desa Pakraman Penatih Puri (wawancara pada tanggal 09 Juli 2013).
Bapak I Wayan Madia, Kepala LPD Desa Pakraman Renon, menjelaskan
bahwa sampai saat ini memang belum ada pengawasan secara khusus terhadap
jaminan hak atas tanah yang tidak diikat dengan APHT. Namun, pada saat ini
pihak LPD sedang merencanakan pembuatan memo kepada badan pengawas
internal dan eksternal untuk jaminan tanah yang tidak diikat dengan APHT.
(wawancara pada tanggal 12 Agustus 2013).
Wawancara berikutnya dilakukan kepada Bapak I Wayan Mudana, Kepala
LPD Desa Pakraman Intaran. Beliau mengemukakan bahwa tidak ada pengawasan
mengenai jaminan sertifikat hak milik atas tanah di LPD karena jaminan hak atas
tanah yang dijaminkan di LPD semuanya dilakukan pengikatan ke kantor PPAT.
(wawancara pada tanggal 12 Agustus 2013).
Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, menunjukkan bahwa
pengawasan yang dilakukan oleh badan pengawas internal maupun eksternal
belum berjalan secara maksimal. Terlihat di beberapa LPD di Kota Denpasar,
badan pengawas internal dan eksternal hanya melakukan pengawasan terhadap
keadaan kredit yang sudah bermasalah terhadap pelunasannya. Artinya,
184
pengawasan dilakukan apabila kredit sudah menimbulkan suatu permasalahan
yang dapat merugikan pihak LPD.
Pengawasan yang dilakukan belum sepenuhnya mengarah terhadap proses
administrasi pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang
sampai saat ini masih terdapat penyimpangan, yaitu tidak diikatnya jaminan hak
atas tanah dengan APHT pada saat pemberian kredit. Kelengkapan administrasi
memang kelihatannya begitu tidak penting asalkan pelunasan kreditnya lancar,
sehingga pengawasan yang dilakukan tidak maksimal dalam proses administrasi
kredit. Namun, justru kelengkapan administrasi dengan pengikatan APHT ini
menjadi media yang dapat melindungi LPD sebagai pihak kreditor dalam
mengambil pelunasan kredit apabila terjadi permasalahan terhadap pelunasannya.
Pengamat ekonomi Universitas Udayana yaitu Bapak I Wayan Ramantha,
memberikan penilaian bahwa pengawasan LPD perlu diintensifkan. Untuk itu
diperlukan komitmen jelas dari pengurus dan pengawas LPD untuk membenahi
diri dengan berpacu pada 5 (lima) indikator. Menurutnya ada 5 (lima) indikator
yang tidak boleh dilanggar untuk menjadikan lembaga keuangan LPD tetap sehat
dan eksis. Adapun 5 (lima) indikator tersebut adalah sebagai berikut139:
a.
Pertama, permodalan dimana dalam menghimpun dana LPD diharapkan dapat
terus dijaga supaya sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani;
b.
Kedua, kualitas aktiva produktif, artinya penyaluran dana kepada masyarakat
dalam jumlah yang cukup dan terjamin kelancaran pengembaliannya
merupakan hal yang pokok untuk mendukung kesehatan LPD.
139
I Wayan Ramantha, “Intensifkan LPD Pengurus Harus Patuhi Lima
Indikator”, Bali Post, 28 Oktober 2013, hal. 2.
185
c.
Ketiga, tata kelola harus dilaksanakan secara baik dengan prinsip GCG, yaitu
badan pengawas dan pengurus harus melaksanakan fungsinya dengan baik
dan profesional, serta melakukan evaluasi.
d.
Keempat, harus ada selisih yang cukup antara dana masyarakat dengan bunga
kredit yang disalurkan dan tidak boleh hanya dengan membantu anggota, para
pengurus membenarkan rugi.
e.
Kelima, penyaluran kredit ke masyarakat agar tidak melebihi jumlah dana
dari masyarakat. Paling tidak ada cadangan tertentu yang sifatnya likuid.
Ketersediaan likuiditas sesuai dengan syarat minimal untuk memenuhi
kesehatan harus tetap dipenuhi dan selalu dijaga.
Salah satu dari kelima indikator yang disebutkan oleh Bapak I Wayan
Ramantha tersebut di atas, menyebutkan bahwa tata kelola LPD harus
dilaksanakan secara baik dengan prinsip GCG. Adapun prinsip – prinsip GCG
tersebut, antara lain keterbukaan (tranparency), akuntabilitas (accountability),
tanggung jawab (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran
(fairness).
Diantara kelima prinsip – prinsip GCG tersebut di atas, prinsip akuntabilitas
(accountability) memiliki keterkaitan dengan pengawasan oleh badan pengawas
internal dan eksternal terhadap pengelolaan LPD. Prinsip akuntabilitas
(accountability) memberikan pemahaman bahwa adanya tanggung jawab yang
jelas dari masing – masing organ LPD (pengurus dan pengawas), serta kompetensi
yang dimiliki oleh organ LPD agar sesuai dengan tanggung jawabnya.
186
Tanggung jawab dari badan pengawas internal LPD diwujudkan dengan
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dengan baik dan profesional. Tugas pokok
dan fungsi dari tim pengawas internal diatur dalam Peraturan Gubernur No.
16/2008. Peraturan Gubernur No. 16/2008 juga harus diimbangi dengan
penguatan peraturan dari masing - masing desa pakraman yang mengatur
mengenai pengukuhan badan pengawas internal karena pemilihan anggotanya
dilakukan oleh krama desa melalui suatu paruman.
Paruman yang diadakan oleh krama desa merupakan dasar pembuatan
Keputusan Paruman Desa Pakraman mengenai pengukuhan badan pengawas
internal. Pada prakteknya, tidak semua LPD menindaklanjuti hasil paruman
dengan suatu peraturan tertulis yaitu dengan pembuatan Keputusan Paruman Desa
Pakraman. Hal ini dikarenakan pembuatan Keputusan Paruman Desa Pakraman
merupakan kebijakan masing-masing dari desa pakraman setempat.
Substansi dari Keputusan Paruman Desa Pakraman mengenai pengukuhan
badan pengawas internal antara LPD satu dengan LPD lainnya memiliki
perbedaan. Perbedaan itu terlihat jelas dari Keputusan Paruman Desa Pakraman
Bekul dengan Keputusan Paruman Desa Pakraman Jenah dan Keputusan Desa
Pakraman Kedua.
Substansi dari Keputusan Paruman Desa Pakraman Bekul, memuat mengenai
3 (tiga) hal penting. Adapun 3 (tiga) hal penting tersebut, antara lain mengenai
tugas dan tanggung jawab dari badan pengawas internal, penerimaan honorarium
bagi badan pengawas internal, serta sanksi bagi badan pengawas internal jika
melaksanakan penyimpangan dalam menjalankan tugas.
187
Keputusan Paruman Desa Pakraman Bekul dapat dijadikan pedoman bagi
bendesa adat sebagai ketua pengawas internal dan krama desa yang sudah terpilih
menjadi anggota tim pengawas internal. Keputusan ini bersifat memaksa agar
pelaksanaan pengawasan terhadap pengelolaan LPD berjalan secara intensif dan
sesuai dengan batasan tugas dan tanggung jawab yang telah diatur secara jelas
dalam keputusan tersebut.
Salah satu tugas pokok dan fungsi badan pengawas internal yang tercantum di
dalam Keputusan Paruman Desa Pakraman Bekul adalah mengawasi proses
penyaluran kredit dan penanganan kredit yang bermasalah. Badan pengawas
internal LPD Desa Pakraman Bekul menyikapi praktek pemberian kredit dengan
jaminan sertifikat hak milik atas yang tidak diikat dengan APHT dengan cara
memberikan saran untuk melakukan pengikatan dengan APHT ke kantor PPAT.
Jika terdapat kekurangan administrasi dalam proses pemberian kredit, maka badan
pengawas internal melakukan pembinaan secara langsung kapada pengurus LPD
agar tidak menyimpang dari aturan. Pembinaan tersebut dilakukan dengan cara
memberikan peringatan secara lisan kepada pengurus LPD. Hal
tersebut
dikemukakan oleh Bapak I Wayan Biyeg sebagai Kepala LPD Desa Pakraman
Bekul. (wawancara pada tanggal 08 Juli 2013).
Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh Bapak I Wayan Biyeg, dapat
diketahui bahwa hasil pemilihan anggota pengawas internal dari paruman desa
pakraman sangat penting untuk dibuatkan peraturan tertulis, yaitu berupa
Keputusan Paruman Desa Pakraman. Keputusan Paruman Desa Pakraman
memberikan pengaruh yang kuat terhadap keaktifan badan pengawas internal
188
untuk melakukan tugas dan fungsinya dengan baik. Hal ini dapat diketahui
berdasarkan upaya pengawasan yang telah dilakukan oleh badan pengawas
internal LPD Desa Pakraman Bekul terhadap praktek pemberian kredit dengan
jaminan sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT.
Berbeda halnya dengan Keputusan Paruman Desa Pakraman Jenah dan
Keputusan Paruman Desa Pakraman Kedua. Keputusan ini memiliki substansi
yang kurang memadai karena kedua Keputusan Paruman Desa Pakraman tersebut
hanya mengatur mengenai siapa saja yang menjadi anggota pengawas internal.
Keputusan ini tidak mengatur mengenai tugas pokok dan fungsi dari badan
pengawas internal seperti yang tertuang dalam Peraturan Gubernur No. 16/2008.
Keputusan ini menjadi dasar kelemahan bagi pelaksanaan pengawasan oleh
badan pengawas internal LPD. Pengawasan tidak akan berjalan dengan baik
apabila tugas pokok dan fungsi dari badan pengawas internal belum jelas diatur
dalam suatu peraturan tertulis intern desa pakraman. Begitu juga dalam suatu desa
pakraman yang sama sekali tidak menuangkan hasil paruman mengenai
pengukuhan badan pengawas internal ke dalam suatu peraturan tertulis.
Sebaliknya, pengawasan akan terwujud dengan baik apabila diimbangi
dengan peraturan tertulis dari hasil paruman krama desa yang mengandung
substansi peraturan yang jelas. Selain menetapkan siapa saja yang menjadi
anggota pengawas internal, Keputusan Paruman Desa Pakraman yang memadai
juga harusnya dicantumkan tugas pokok dan fungsi yang jelas dari badan
pengawas internal.
189
Tugas pokok dan fungsi yang jelas dari badan pengawas internal merupakan
bagian essensial dari Keputusan Paruman Desa Pakraman. Tugas pokok dan
fungsi badan pengawas internal dapat dituangkan lebih mengkhusus lagi dari
Peraturan Gubernur No. 16/2008. Artinya, pembagian tugas pokok dan fungsi dari
badan pengawas internal LPD secara pasti dicantumkan bidang – bidang apa saja
yang seharusnya menjadi bagian dari pengawasan dan penanganan permasalahan
yang timbul dari bidang – bidang yang diawasi.
Kelemahan keputusan tersebut dapat ditunjukkan dengan minimnya upaya
pencegahan bahkan upaya penanggulangan dari badan pengawas internal. Badan
pengawas internal kurang memahami tindakan apa yang seharusnya dilakukan
untuk mencegah serta melakukan upaya penanggulangan terhadap praktek
menyimpang yang telah dilakukan oleh LPD.
Praktek menyimpang yang dilakukan oleh LPD juga perlu disikapi oleh
badan pengawas eksternal. Kejelasan pengaturan tugas pokok dan fungsi badan
pengawas eksternal juga sangat penting dalam mengefektifkan pengawasan
terhadap pengelolaan LPD. Untuk di Kota Denpasar, Walikota mengeluarkan 2
(dua) Keputusan Walikota sehubungan dengan pengawasan LPD yang dilakukan
oleh instansi luar. Keputusan tersebut adalah Keputusan Walikota Denpasar No.
188.45/109/Hk/2012 dan Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012.
Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45/109/Hk/2012 mengatur secara
tegas mengenai tugas pokok dan fungsi tim monitoring dan evaluasi LPD Kota
Denpasar. Salah satu tugasnya adalah melaksanakan monitoring dan evaluasi
terhadap kinerja LPD se-Kota Denpasar. Namun, dalam Keputusan ini tidak
190
dicantumkan bahwa BPD dan instansi lainnya berkedudukan sebagai pengawas
eksternal. Keputusan ini hanya menyebut bahwa BPD beserta instansi lainnya
sebagai tim monitoring dan evaluasi.
Berbeda
halnya
dengan
Keputusan
Walikota
Denpasar
No.
188.45/689/Hk/2012. Keputusan tersebut menimbulkan suatu permasalahan
berkaitan dengan kedudukan tim yang dibentuk sebagai pengawas LPD. Dalam
keputusan tersebut, unsur BPD Cabang Utama Denpasar, unsur PLPDK Denpasar,
unsur Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, unsur BAPPEDA Kota Denpasar,
dan unsur Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota Denpasar diberikan
kewenangan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai pengawas
internal.
Kedudukan BPD beserta instansi lainnya dalam Keputusan Walikota
Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012 sangat bertentangan dengan Peraturan
Gubernur Bali No. 16/2008. Mengenai tim pengawas internal LPD sudah diatur
secara tegas dan jelas dalam Pasal 9 Peraturan Gubernur Bali No. 16/2008 bahwa
yang menjadi tim pengawas internal LPD adalah Bendesa adat sebagai ketua
pengawas internal dan 2 (dua) anggota krama desa lainnya yang dipilih sebagai
anggota pengawas internal LPD. Adanya 2 peraturan yang saling bertentangan ini,
memberikan pemahaman bahwa terdapat 2 (dua) tim pengawas yang diberi
kewenangan untuk melakukan pengawasan internal terhadap LPD.
Terbitnya
menimbulkan
Keputusan
Walikota
Denpasar
No.
188.45/689/Hk/2012
ketidakjelasan mengenai kedudukan BPD dan instansi lainnya
dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan LPD. BPD dan instansi
191
lainnya seharusnya diberikan kewenangan sebagai eksternal controller terhadap
pengelolaan LPD dan bukan sebagai internal controller.
Ketidakpastian akan peraturan mengenai pembentukan pengawasan eksternal
LPD menjadi salah satu penyebab kurang maksimalnya tingkat pengawasan
eksternal terhadap pengelolaan LPD. Tim pengawas eksternal belum memiliki
peraturan yang pasti akan tugas pokok dan fungsi sebagai pengawas eksternal
karena dalam Keputusan Walikota Denpasar No. 188.45188.45/689/Hk/2012
hanya mengatur mengenai tugas pokok dan fungsi pengawas internal LPD.
Kurang maksimalnya pelaksanaan pengawasan oleh badan pengawas
eksternal dapat diketahui dari hasil wawancara dari para Kepala LPD yang telah
dibahas sebelumnya. Pada kenyataannya, tim pengawas eksternal kurang mampu
melakukan suatu upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap praktek
menyimpang yang dilakukan oleh LPD.
Kegiatan pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak milik atas tanah
masih berlangsung sampai saat ini karena belum ada upaya pencegahan maupun
perbaikan ke arah yang lebih baik dari badan pengawas internal maupun eksternal.
Tidak hanya berlangsung saat ini, praktek yang merupakan penyimpangan dari
Pasal 10 ayat (2) UUHT ini kedepannya akan terus dan semakin meluas di LPD
Kota Denpasar.
Pengawasan yang belum maksimal juga merupakan hambatan struktural
terhadap pelaksanaan substansi Pasal 10 ayat (2) UUHT. Apabila salah satu dari
ketiga komponen sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman
tidak berjalan dengan baik, maka kepastian hukum tidak akan pernah tercapai.
192
Ketiga sistem hukum tersebut adalah struktur hukum, substansi hukum, dan
budaya hukum140.
Struktur hukum merupakan keseluruhan institusi-institusi yang ada beserta
aparatnya141. Badan pengawas internal dan ekternal merupakan bagian dari sistem
hukum yang bertugas untuk menentukan bagaimanakah suatu peraturan tersebut
ditaati. Badan pengawas internal dan ekternal sebagai suatu sistem hukum pada
kenyataannya belum dapat melaksanakan apa yang telah ditentukan dalam Pasal
10 ayat (2) UUHT. Kenyataan ini merupakan hambatan dalam meningkatkan
kepatuhan pihak LPD untuk melakukan pengikatan jaminan hak atas tanah dengan
APHT.
Selain harus menetapkan tanggung jawab yang jelas dari masing – masing
pengawas, prinsip akuntabilitas (accountability) yang diisyaratkan dalam GCG
juga memberikan pemahaman bahwa kompetensi yang dimiliki oleh pengawas
harus sesuai dengan tanggung jawab yang dipikul. Kompetensi yang dimiliki oleh
badan pengawas internal dan eksternal berkaitan dengan profesional dan
kepemimpinan dari masing – masing tim badan pengawas.
Pengawasan dari badan pengawas yang belum maksimal juga disebabkan
oleh profesionalisme dan kepemimpinan dari badan pengawas. Ahmad Ali
mengemukakan bahwa selain struktur hukum, substansi hukum, serta budaya
hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman masih terdapat 2 (dua)
unsur lagi yang merupakan unsur sistem hukum, yaitu profesionalisme dan
140
141
Achmad Ali, loc.cit.
Achmad Ali, loc.cit.
193
kepemimpinan142.
Profesionalisme
dan
kepemimpinan
merupakan
unsur
kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum143.
Pengawasan yang kurang maksimal dari badan pengawas menunjukkan bahwa
tingkat profesionalisme dan kepemimpinan dari badan pengawas belum memadai.
Badan pengawas internal LPD, yang terdiri dari bendesa adat sebagai ketua
pengawas dan didampingi oleh 2 (dua) orang lainnya dalam mengemban tugas
sebagai badan pengawas internal, tentunya memerlukan suatu kemampuan dan
keterampilan yang memadai dari masing-masing pihak. Beberapa Kepala LPD
memberikan tanggapan sehubungan dengan keterampilan yang dimiliki oleh tim
pengawas internal.
Bapak I Wayan Durjana selaku Kepala LPD Desa Pakraman Oongan,
mengemukakan bahwa selain memang ditentukan oleh Peraturan Gubernur,
pemilihan anggota pengawas internal didasarkan karena pribadi tersebut aktif
dalam rapat-rapat di desa pakraman tanpa memperhitungkan pengalaman dan
keterampilan yang dimiliki oleh pribadi yang bersangkutan. Namun, pemerintah
Kota Denpasar telah mengadakan suatu pelatihan standardisasi profesi pengawas
internal. Pelatihan dilaksanakan di Praja Utama Kantor Walikota Denpasar dan
sudah pernah dilaksanakan beberapa kali dalam periode tertentu. (wawancara
pada tanggal 19 Juni 2013).
Bapak I Made Medal selaku Kepala LPD Desa Pakraman Tembawu, juga
mengungkapkan bahwa badan pengawas internal di LPD biasanya tidak memiliki
latar belakang yang kuat terhadap pengelolaan LPD. Pada saat pemilihan anggota
142
143
Achmad Ali,loc.cit.
Achmad Ali, loc.cit.
194
badan pengawas internal hanya didasarkan pada kepercayaan dan melihat
keaktifan anggota tersebut dalam menghadiri berbagai kegiatan yang diadakan
oleh desa pakraman. Namun, sebelum menjalankan tugasnya sebagai badan
pengawas, tim pengawas internal sudah dilatih agar profesional dan memiliki
keterampilan untuk mengawasi LPD.
Instruktur yang melakukan pelatihan terhadap tim badan pengawas internal
adalah PLPDK dan BPD Cabang Utama Denpasar. Materi pelatihan yang
biasanya diberikan pada saat mengikuti pelatihan keterampilan pengawasan
internal di kantor Pemerintah Kota Denpasar adalah mengenai administrasi,
manajemen sumber daya manusia, manajemen kredit, manajemen keuangan, dan
kinerja pengawasan internal. (wawancara pada tanggal 01 Agustus 2013).
Bapak I Gusti Ngurah Bagus, Kepala LPD Desa Pakraman Cengkilung,
memberikan komentar bahwa badan pengawas internal yang telah mengikuti
pelatihan keterampilan pengawasan juga belum mampu mengkomunikasikan jika
ada hal-hal yang perlu diperbaiki apabila terdapat kesalahan dalam pelaksanaan
kegiatan operasional LPD. Hal ini disebabkan badan pengawas internal LPD tidak
hanya memegang satu peranan sebagai pengawas, di sisi lain mereka juga bekerja
di instansi lain.
Masing-masing anggota pengawas juga memiliki kesibukan dan mereka tidak
hanya terfokus dalam satu pekerjaan, sehingga tingkat komunikasi sangat minim
untuk dilakukan. (wawancara pada tanggal 30 Juli 2013). Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Bapak I Made Astra Wijaya selaku Kepala LPD Desa
Pakraman Padang Sambian. (wawancara pada tanggal 05 Agustus 2013).
195
Berdasarkan hasil wawancara dari para Kepala LPD di atas, menunjukkan
bahwa adanya keterbatasan sumber daya manusia anggota pengawas internal. Hal
ini dikarenakan ketua pengawas internal secara ex officio dijabat oleh bendesa
adat. Permasalahan pertama yang terjadi disini adalah bendesa adat yang secara ex
officio menjabat sebagai ketua pengawas internal LPD belum tentu memahami
neraca, laporan laba rugi, permasalahan kredit, laporan arus kas, laporan
keuangan, likuiditas, rentabilitas, dan manajemen resiko. Berbeda halnya dengan
komisaris utama BPR, yang fungsinya kurang lebih sama dengan ketua pengawas
internal LPD, namun komisaris utama BPR lebih memahami bidang perbankan
karena itu semua merupakan pekerjaan sehari - harinya.
Permasalahan kedua, yaitu mengenai pemilihan anggota pengawas lainnya
yang hanya dipilih berdasarkan keaktifan mereka dalam mengikuti kegiatan kegiatan adat di desa pakraman bersangkutan. Seharusnya, melalui paruman desa,
ditunjuk anggota masyarakat yang mengerti akuntansi dan keuangan sebagai
anggota pengawas internal LPD.
Kesenjangan kondisi bidang pengawasan intern inilah yang menyebabkan
pemerintah Kota Denpasar mengadakan suatu
pelatihan standardisasi profesi
pengawas internal. Pelatihan keterampilan pengawas tersebut dilakukan agar
badan pengawas internal mengetahui wewenang dan tanggung jawabnya sebagai
pengawas.
Adanya pelatihan keterampilan yang telah diikuti, tim pengawas internal
dapat lebih mengoptimalkan pengawasannya terhadap kinerja LPD. Tim
pengawas internal LPD seharusnya membagi bidang pengawasan yang akan
196
diawasi. Bendesa adat yang lebih memiliki keterampilan dalam memimpin desa
pakraman, dapat menggunakan keterampilannya dalam melaksanakan jabatan
sebagai ketua pengawas internal LPD. Salah satunya adalah dalam mengawasi
penyaluran kredit apakah sudah sesuai perda LPD atau belum. Misalnya, nasabah
yang menikmati fasilitas kredit dari LPD merupakan warga asli desa pakraman
atau warga luar desa pakraman.
Untuk tugas mengawasi neraca dan laporan keuangan lainnya dapat dilakukan
oleh anggota pengawas intern lainnya yang seharusnya dipilih anggota yang ahli
dalam bidang ekonomi dan pengelolaan LPD. Pengawasan anggota tim pengawas
internal akan lebih optimal jika dibantu dengan pelatihan – pelatihan keterampilan
pengawasan dan juga bantuan pengawasan oleh beberapa instansi sebagai tim
pengawas eksternal.
Berbeda halnya dengan tim pengawas eksternal yang anggotanya memang
memiliki pengalaman di bidang perekonomian dan memahami tentang
pengelolaan LPD. Hal ini terbukti dengan keikutsertaan tim pengawas dari
instansi-instansi yang telah ditunjuk berdasarkan Peraturan Gubernur Bali dan
Keputusan Walikota Denpasar,
yaitu BPD, PLPDK Denpasar,
Bagian
Perekonomian Sekretariat Daerah Kota Denpasar, dan unsur Fakultas Ekonomi
Universitas Udayana.
Tim pengawas eksternal semestinya dapat melakukan pengawasan secara
optimal terhadap kegiatan yang dilakukan oleh LPD, terutama kegiatan - kegiatan
yang dilakukan menyimpang dari peraturan yang berlaku. Hal ini dikarenakan
anggota - anggota dari tim pengawas ekternal memang pribadi atau instansi yang
197
berkompetensi dalam bidang akuntansi dan pengelolaan LPD. Namun dalam
prakteknya badan pengawas eksternal juga belum mampu melakukan upaya
perbaikan ke arah yang lebih baik dari kegiatan penyimpangan yang dilakukan
oleh pihak LPD.
Profesionalisme dan kepemimpinan yang memadai akan memberi pengaruh
yang positif terhadap pengawasan yang akan dilakukan terhadap LPD.
Pengawasan terhadap kredit yang diberikan oleh LPD dengan jaminan hak atas
tanah tanpa diikat dengan APHT seharusnya dapat ditingkatkan apabila badan
pengawas internal dan eksternal memiliki kemampuan untuk memecahkan
permasalahan tersebut dan mampu menciptakan suatu upaya perbaikan atas
penyimpangan tersebut.
Selain faktor profesionalisme dan kepemimpinan, badan pengawas internal
dan ekternal juga harus mampu melakukan komunikasi yang optimal sehingga
mampu membangun trust (kepercayaan) dari pihak LPD. Komunikasi yang
optimal dapat digunakan sebagai suatu media untuk mengenali, mendapatkan, dan
mempertukarkan informasi lintas waktu dan tempat dalam bentuk memungkinkan
orang untuk melaksanakan tanggung jawabnya144.
John
Baldoni
mengungkapkan
bahwa
kepemimpinan
sangat
erat
hubungannya dengan kemampuan seorang atau sekelompok pemimpin melakukan
komunikasi yang optimal sehingga mampu membangun kepercayaan. Adanya
144
I Wayan Suartana, op.cit, hal. 24.
198
komunikasi hukum dapat melahirkan suatu kepercayaan sehingga mampu
mewujudkan efektifitas hukum145.
Pengawasan tidak dapat berfungsi tanpa adanya garis komunikasi yang
terbuka dan baik serta jelas. Badan pengawas internal dan eksternal LPD harus
pandai berbicara serta memiliki kemampuan untuk mengemukakan hal-hal yang
telah dilanggar oleh pihak LPD yang dapat menimbulkan resiko yang tinggi
terhadap kesehatan LPD dan mampu mengkomunikasikan suatu perbaikan
terhadap hal tersebut.
Komunikasi dengan tujuan persuasif, informatif, dan stimulatif dari pihak
badan pengawas internal dan eksternal dapat menimbulkan suatu kepercayaan
bagi pengurus LPD akan pentingnya penggunaan APHT. Kepercayaan tersebut
dapat mendorong pengurus LPD untuk melaksanakan kegiatan usaha agar tidak
menyimpang lagi dan tetap berpedoman pada Pasal 10 ayat (2) UUHT.
Agar pihak LPD dapat melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik, maka
tim badan pengawas harus menjaga komunikasi dengan baik kepada kepala
maupun pengurus LPD. Informasi – informasi yang penting bagi kegiatan usaha
yang dijalankan oleh LPD hendaknya diidentifikasi dan diproses agar bisa
dikomunikasikan oleh tim badan pengawas kepada pihak LPD.
Tim badan pengawas LPD, baik internal maupun eksternal perlu menjalin
komunikasi yang intensif dengan pengurus LPD. Komunikasi yang baik
menunjukkan adanya keharmonisan antara badan pengawas dengan pengurus
145
Achmad Ali, loc.cit.
199
LPD, namun tetap tidak melupakan kedudukan diantara mereka sebagai siapa
yang mengawasi dan diawasi.
Komunikasi tersebut terjalin baik dengan cara mengadakan suatu rapat
koordinasi setiap waktu tertentu. Rapat koordinasi dilakukan dengan tujuan kedua
belah pihak dapat saling mengemukakan serta mendiskusikan kesulitan - kesulitan
yang dihadapi pihak LPD maupun penyimpangan - penyimpangan yang telah
dilakukan oleh LPD agar dapat segera dicarikan solusi permasalahan dan
perbaikannya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai tugas pokok dan fungsi,
profesionalisme, kepemimpinan serta komunikasi yang memadai sangat
diperlukan oleh badan pengawas internal dan eksternal dalam menjalankan tugas
dan tanggung jawabnya sesuai dengan kewenangan yang telah ditentukan dalam
Keputusan Gubernur Bali dan Keputusan Walikota Denpasar. Pengawasan yang
memadai dari badan pengawas internal dan eksternal dapat mengurangi dan
bahkan menghilangkan praktek pemberian kredit dengan jaminan sertifikat hak
atas tanah yang telah lama meluas hampir di seluruh LPD di Kota Denpasar.
200
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan uraian pembahasan bab – bab sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa:
1.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT, sertifikat Hak Tanggungan
yang berkekuatan eksekutorial memberikan hak mendahului bagi
kreditor pemegang Hak Tanggungan dalam mengambil pelunasan
piutang dari kreditor–kreditor lainnya apabila debitor wanprestasi.
Namun, LPD selaku kreditor tidak memiliki sertifikat Hak Tanggungan
karena tidak melakukan penyertaan APHT dan pendaftaran Hak
Tanggungan ke Badan Pertanahan Nasional sehingga LPD tidak
diberikan hak mendahului dalam mengambil pelunasan piutangnya pada
saat penyelesaian perjanjian kredit macet. Kedudukan LPD dalam hal ini
adalah sebagai kreditor konkuren yang menyebabkan LPD secara
bersama-sama
memperoleh
pelunasan
piutang
tanpa
ada
yang
didahulukan dari kreditor lainnya.
2.
Pelaksanaan pengawasan dari badan pengawas internal maupun eksternal
terhadap praktek pemberian kredit oleh LPD dengan jaminan sertifikat
hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT belum berjalan
secara maksimal. Hal ini dikarenakan beberapa LPD yang diteliti belum
menentukan secara tegas mengenai tugas pokok dan fungsi pengawas
201
internal ke dalam suatu peraturan tertulis, kecuali LPD Desa Pakraman
Bekul yang sudah mencantumkan tugas pokok dan fungsi badan
pengawas internal secara tegas dalam Surat Keputusan Paruman Desa
Pakraman. Hanya saja upaya dari badan pengawas internal yang
diterapkan selama ini sebatas pembinaan secara lisan kepada pengurus
LPD. Selain itu, pengawasan yang kurang maksimal juga disebabkan
oleh ketidakpastian kedudukan, tugas pokok dan fungsi badan pengawas
eksternal karena adanya peraturan yang bertentangan mengenai
pembentukan tim pengawas, yaitu Keputusan Walikota Denpasar No.
188.45/689/Hk/2012 dengan Peraturan Gubernur Bali No. 16/2008.
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan terkait permasalahan yang dikaji adalah
sebagai berikut:
1. Seyogyanya pihak LPD dalam memberikan kredit kepada debitor yang
menggunakan jaminan sertifikat hak milik atas tanah mematuhi substansi
dalam UUHT, khususnya Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (1) UUHT
karena penyertaan APHT yang diikuti dengan pendaftaran Hak
Tanggungan dapat memberikan kepastian hukum terhadap kedudukan
LPD maupun tanah yang dijadikan jaminan kredit.
2. Diharapkan badan pengawas internal LPD, melakukan suatu upaya
penanggulangan terhadap praktek pemberian kredit dengan jaminan
sertifikat hak milik atas tanah yang tidak diikat dengan APHT. Upaya
penanggulangan dapat dilakukan dengan cara memberikan peringatan
202
kepada pengurus LPD. Peringatan oleh badan pengawas internal
hendaknya dituangkan secara tertulis dan dicantumkan pula himbauan
agar praktek menyimpang ini tidak diterapkan lagi oleh pengurus LPD.
3.
Kepada bendesa adat, sebaiknya menuangkan hasil paruman pengukuhan
badan pengawas internal dalam suatu peraturan tertulis dan secara tegas
juga mencantumkan tugas pokok dan fungsi badan pengawas internal.
Hal ini dilakukan agar badan pengawas internal mengetahui secara pasti
tanggung jawabnya sehingga dapat meningkatkan kualitas pengawasan
terhadap LPD.
4.
Kepada Walikota Denpasar, agar mencabut Keputusan Walikota
Denpasar No. 188.45/689/Hk/2012 dan membuat Keputusan Walikota
yang baru mengenai pembentukan tim pengawas eksternal LPD serta
mencantumkan secara jelas tugas pokok dan fungsi dari pengawas
eksternal. Pengaturan tugas pokok dan fungsi yang jelas sangat
berpengaruh terhadap kualitas pengawasan yang dilakukan oleh badan
pengawas eksternal terhadap pengelolaan LPD.
203
DAFTAR PUSTAKA
A.Buku
Ashcroft, John D and Janet E. Ashcroft, 2008, Law Bussiness, Thomson Eiger
Education, USA
Adjie, Habib, 2009, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Di Indonesia, Mandar Maju,
Bandung.
Ali, Achmad,2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence),
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Artadi, I Ketut dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi
Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Ke Dalam Perancangan Kontrak,
Udayana University Press, Denpasar.
Amirudin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Badrulzaman, Mariam Daruz, 2009, Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar Maju,
Bandung.
Bahsan, M, 2010, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Basah, Sjachran, 2000, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Pidana
Administrasi Negara, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Budiarna, I Nyoman, 2007, Prinsip “Pang Pada Payu” Dalam Hukum Ekonomi
Indonesia, PT.Mabhakti, Denpasar.
Cavendish, 2004, Contract Law, Cavendish Publishing Limited, Great Britain.
Dewi, Gemala, 2007, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian
Syariah di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Elliott, Catherine and Frances Quinn, 2005, Contract Law, Perason Educatin
Limited, England.
Harahap, Sofyan Safri, 2001, System Pengawasan Manajemen, Penerbit
Quantum, Jakarta.
Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.
204
Ibrahim, Johannes dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam Perspektif
Manusia Modern, Refika Aditama, Bandung.
Imaniyati, Neni Sri, 2010, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, PT.Refika
Aditama, Bandung.
Jeddawi, H.Murtir, 2012, Hukum Administrasi Negara, Total Media, Yogyakarta.
Kasmir, 2012, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta, PT.Rajawali Pers.
Kusumohamidjojo, Budiono, 2001, Panduan Untuk Merancang Kontrak,
Grasindo, Jakarta.
Manik, Edward, 2012, Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, CV. Mandar Maju, Bandung.
Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
_______, 2009, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta.
Muljadi Kartini dan Gunawan Widjaja, 2005, Hak Tanggungan, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.
Nasution, Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV Mandar
Maju, Bandung.
Nurjaya, I Nyoman et. al, 2011, Landasan Teoritik Pengaturan LPD (Sebagai
Lembaga Keuangan Komunitas Masyarakat Hukum Adat Bali), Udayana
University Press, Denpasar.
Pasaribu, H. Chairuman dan Suhrawadi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam
Islam, Sinar Grafika, Jakarta.
Poesoko, Herowati, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi,
Konflik Norma, dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang
PRESSindo, Yogyakarta.
Prajitno, Andi, 2010, Pengetahuan Praktis tentang Apa dan Siapa Notaris di
Indonesia, CV. Putra Media Nusantara, Surabaya.
Raharjo, Handri, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta.
Ridwan HR, 2011,
Jakarta.
Hukum Administrasi Negara, PT.RajaGrafindo Persada,
205
Salim HS, 2002, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta.
_______, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Rajawali Pers,
Jakarta.
_______, 2007, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUHPerdata, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
_______, H.Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, 2008, Perancangan Kontrak &
Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta.
Salman, H.R.Otje dan Anton F.Susanto, 2005, Teori Hukum, Refika Aditama,
Bandung.
Satrio, J, 2002, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT.Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Sembiring, Sentosa, 2008, Hukum Perbankan, CV. Mandar Maju, Bandung.
_______, 2012, Hukum Perbankan , CV. Mandar Maju, Bandung.
Simatupang, Richard Burton, 2007, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Rineka Cipta,
Jakarta.
Soerodjo, Irawan, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arloka,
Surabaya.
Soeroso, R, 2010, Perjanjian di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan
Aplikasi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Spagnola, Linda A, 2008, Contacts For Paralegals (Legal Principles and Practical
Applications), McGraw-Hill Companies, United States.
Suartana, I Wayan, 2009, Arsiktektur Pengelolaan Risiko Pada Lembaga
Perkreditan Desa (LPD), Udayana University Press, Denpasar
Sule, Ernie Tisnawati dan Kurniawan Saefullah, 2005, Pengantar Manajemen,
Kencana, Jakarta.
Supramono, Gatot, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit, Rineka Cipta, Jakarta.
_______, 2013, Perjanjian Utang Piutang, Kencana Prenada Media Group.
Supranto, J, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta.
Sutedi, Adrian, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta.
206
_______, 2011, Good Corporate Governance, Sinar Grafika, Jakarta.
Suyanto, Bagong dan Sutinah, 2011, Metode Penelitian Sosial, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.
Syahrani, Riduan, 2006, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT.Alumni,
Bandung.
Tamrin, H. Husni, 2011, Pembuatan Akta Pertanahan Oleh Notaris, LaksBang
PRESSindo, Yogyakarta.
Tehupeiory, Aartje, 2012, Pentingnya Pendaftaran Tanah di Indonesia, Raih Asa
Sukses, Bogor.
Usman, Rachmadi, 2011, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta.
_______, 2009, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta.
Vickery, Roger and Wayne Pendleton, 2003, Australian Business Law
Principles&Applications, Pearson Education Australia, New South Wales.
Yasabari, Nasroen dan Nina Kurnia Dewi, 2007, Penjaminan Kredit, Mengantar
UKMK Mengakses Pembiayaan, PT. Alumni, Bandung.
Zarkasyi, Moh Wahyudin, 2008, Good Corporate Governance Pada Badan Usaha
Manufaktur, Perbankan, dan Jasa Keuangan Lainnya, Alfabeta, Bandung.
B. Artikel dan Jurnal
Darsana, Ida Bagus, 2010, “Peranan dan Kedudukan LPD Dalam Sistem
Perbankan di Indonesia”, Majalah Ilmu Hukum Kertha Wicaksana, Nomor 1,
Januari 2010.
Denpasar, Pemerintah Kota, 2006, Pedoman Pembinaan LPD di Kota Denpasar,
Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota Denpasar.
_______, 2012, Laporan Monitoring dan Evaluasi LPD Se-Kota Denpasar,
Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kota Denpasar.
_______,2012, Pengawasan Internal/Stock Opname LPD Di Kota Denpasar,
Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah, Kota Denpasar.
Ramantha, I Wayan, “Intensifkan LPD Pengurus Harus Patuhi Lima Indikator”,
Bali Post, 28 Oktober 2013.
207
C. Tesis
Haryati, 1999, “Proses Pembebanan Hak Tanggungan”, Tesis Fakuktas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 6. Serial online (cited on 2000 jun 02),
available from URL: http://eprints.undip.ac.id/12977/1/1999H438.pdf.
Mudita, I Nyoman Gede, 2007, “Kedudukan Akta Pengikatan Jaminan Yang
Dibuat Oleh Notaris/PPAT Dalam Pemberian Kredit Oleh Lembaga
Perkreditan Desa (LPD)”, Tesis Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
Malang.
Rumbiani, Ni Nyoman, 2013, “Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Atas
Tanah Pada Lembaga Perkreditan Desa Di Kabupaten Gianyar”, Tesis Fakultas
Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
D. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda – Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3632).
Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
dari Undang – Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor. 182, Tambahan Lembaran Negara
Nomor. 3790).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432).
208
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa
Keuangan (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5253).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3746).
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Lembaga
Perkreditan Desa (Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor. 20 Tahun 2002,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3).
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Lembaga
Perkreditan Desa (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2007 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 3).
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Lembaga
Perkreditan Desa (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2012 Nomor 4,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Nomor 4).
Peraturan Gubernur Bali Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Pengurus Dan Pengawas
Internal Lembaga Perkreditan Desa (Berita Daerah Provinsi Bali Tahun 2008
Nomor 16).
Keputusan Gubernur Bali Nomor 95/01-C/HK/2003 Tentang Pelimpahan
Wewenang Pengawasan Lembaga Perkreditan Desa Di Provinsi Bali Kepada
Bank Pembangunan Daerah Bali.
Peraturan Walikota Denpasar Nomor 40 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Pembinaan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Di Kota Denpasar (Berita
Daerah Kota Denpasar Tahun 2006 Nomor 37).
Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/109/HK/2012 Tentang Monitoring
Dan Evaluasi Lembaga Perkreditan Desa Kota Denpasar Tahun 2012.
Keputusan Walikota Denpasar Nomor 188.45/689/HK/2012 Tentang
Pembentukan Tim Pengawas Internal Lembaga Perkreditan Desa Kota
Denpasar Tahun 2012.
209
E. Website
Frans Hendra Winarta, 2012, “Membangun Profesionalisme Aparat Penegak
Hukum”,availablefrom:URL:http://www.franswinarta.com/EZPDF/Membangu
n%20Profesionalisme%20Aparat%20Penegak%20Hukum%2030.5.12.pdf,
http://bankdata.denpasarkota.go.id/bankdata/LPD_2010.pdf.
http://www.bankdata.denpasarkota.go.id/bankdata/Data%20perkembangan%20LP
D%20di%20Kota%20Denpasar.pdf.
Download