faktor yang memengaruhi usia nikah dan tingkat

advertisement
FAKTOR YANG MEMENGARUHI
USIA NIKAH DAN TINGKAT PERCERAIAN DI SINGAPURA
Tanjung Ciptosari
Skripsi
Pembimbing 1 : Nanang Martono, M.Si.
Pembimbing 2 : Tri Rini Widyastuti, M.Si.
Penguji
: Dra. Sotyania Wardhiana, M.Kes.
Jurusan Sosiologi FISIP Unsoed
ABSTRAK
Artikel ini menjelaskan hubungan variabel agama, jenis kelamin, dan
etnis dengan usia nikah dan tingkat perceraian di Singapura. Ketiga variabel
tersebut memengaruhi keuputusan seseorang untuk menikah maupun
mengakhiri pernikahan melalui perceraian. Oleh karena itu, pernikahan
maupun perceraian tidak hanya dipengaruhi oleh keputusan pribadi, namun
juga oleh faktor sosial. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif
dengan metode analisis data sekunder yang diambil dari Biro Statistik
Singapura. Data dianalisis dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan
analisis kualitatif berupa studi pustaka. Adanya pengaruh faktor lingkungan
sosial tersebut menyebabkan perubahan sosial yang ada pada lingkungan
sosial memengaruhi perubahan dalam usia nikah dan tingkat perceraian.
Salah satunya adalah pergeseran usia nikah yang semakin meningkat di
Singapura. Hal tersebut menyebabkan Pemerintah Singapura terus mencari
cara untuk meningkatkan minat warganya untuk menikah dengan
mengeluarkan beberapa kebijakan, salah satunya adanya pemberian insentif
bagi wara yang bersedia menikah muda. Kesimpulannya terdapat hubungan
antara agama dan jenis kelamin dengan usia nikah serta etnis dan jenis
kelamin dengan tingkat perceraian.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pernikahan dan perceraian merupakan hak individu. Seorang lakilaki maupun perempuan berhak untuk memutuskan kapan menikah
maupun mengakhiri pernikahan melalui perceraian. Namun, ada
bermacam-macam faktor yang penting untuk menganalisis pernikahan
maupun perceraian. Hal ini dikarenakan ada beberapa adat kebiasan
yang memengaruhi pernikahan dan perceraian (Abdurahman, 2004).
Pernikahan dan perceraian terkait dengan dua hal. Pertama, keputusan
seseorang untuk menikah atau bercerai merupakan keputusan pribadi
yang terkait dengan prinsip dan kepribadian seseorang. Kedua,
keputusan untuk menikah atau bercerai juga terkait dengan faktor
2
lingkungan sosial, yaitu faktor yang berasal dari lingkungan tempat hidup
individu tersebut tinggal. Pada lingkungan tersebut, terdapat normanorma sosial yang telah dipelajari individu melalui sosialisasi, sehingga
norma-norma tersebut dapat memengaruhi keputusan individu untuk
menikah maupun bercerai.
Perilaku manusia memiliki keterkaitan dengan faktor-faktor di luar
individu, yakni lingkungan sosial. Oleh karena itu, perubahan sosial turut
serta berpengaruh pada perilaku individu, khususnya dalam hal
pernikahan dan perceraian. Beberapa hal yang termasuk dalam
lingkungan sosial yaitu etnis dan agama, sedangkan faktor yang berasal
dari individu itu sendiri salah satunya adalah jenis kelamin.
Agama seringkali dianggap memengaruhi usia nikah dikarenakan
adanya doktrin-doktrin yang dijadikan pedoman oleh umatnya. Hukum
Islam misalnya, mengijinkan seorang gadis dinikahkan tanpa pandang
umur, tetapi konsumasinya (hubungan kelamin yang pertama kali
dilakukan setelah menikah) harus menunggu sampai ia mendapat haid
pertama. Gereja Kristen menuntut agar seorang gadis yang mencapai usia
12 tahun dan seorang jejaka 14 tahun dapat menikah secara resmi (Lucas,
1982).
Sama halnya dengan masalah usia nikah, doktrin agama juga
mengatur masalah perceraian. Keputusan untuk bercerai jauh lebih sulit
dijalankan daripada keputusan untuk menikah. Hal ini dikarenakan,
adanya “label negatif” mengenai perceraian dari masyarakat. Label
”janda” atau ”duda” seringkali bernilai negatif di mata masyarakat
daripada label ”tuan” ataupun ”nyonya”. Meskipun demikian, hukum
agama menjadi salah satu pertimbangan yang penting dalam
memutuskan untuk bercerai. Di dalam ajaran Katolik, gereja tidak
mengakui perceraian, namun di kalangan ini lazim dikenal istilah
pembatalan pernikahan. Bagi kaum Hindu, perceraian diijinkan di seluruh
India dengan dikeluarkannya Akte Perkawinan Hindu tahun 1955.
Walaupun pada tahun 1966, Kapadia menulis bahwa ”prinsip perceraian
adalah asing bagi pola sosial yang telah dianut kaum Hindu selama
berabad-abad” (Lucas, 1982).
Faktor sosial lain yang dapat memengaruhi pernikahan dan
perceraian adalah faktor etnis. Di beberapa kelompok etnis tertentu,
terdapat sanksi sosial bagi pasangan yang bercerai. Hal ini mungkin tidak
berlaku di kelompok etnis lain. Di Amerika misalnya, perceraian
merupakan hal yang lazim (Weeks, 1992). Di lain pihak, masyarakat
Irlandia, Portugal, Spanyol, dan Itali tidak memperkenankan adanya
perceraian, meskipun orang-orang Protestan di Portugal dan Spanyol
dapat mengadakan perceraian (Goode, 1985).
Jenis kelamin juga memiliki korelasi dengan usia nikah pertama.
Laki-laki dianggap masyarakat memulai pernikahan di usia yang lebih tua
dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki memiliki
tanggung jawab untuk menafkahi isteri dan anak-anaknya. Berbeda
3
dengan laki-laki, perempuan seringkali menikah di usia yang lebih dini
dikarenakan perempuan memiliki batas usia reproduksi. Selain itu, label
perawan tua dari masyarakat jauh lebih “kejam” daripada label bujang
lapuk.
Agama, etnis, dan jenis kelamin menjadi faktor sosial yang
memengaruhi usia nikah dan perceraian. Doktrin agama maupun normanorma sosial dalam suatu etnis merupakan faktor sosial yang turut
menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan usia nikah dan atau
mengakhiri perceraian. Dengan demikian, ketika terjadi perubahan sosial
dalam faktor-faktor tersebut, maka usia nikah dan tingkat perceraian
dapat pula berubah.
Melonjaknya usia nikah merupakan suatu gejala perubahan sosial
untuk wanita di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara (Lucas,
1992). Salah satu negara yang mengalami hal tersebut adalah Singapura.
Keengganan wanita Singapura untuk menikah menyebabkan Pemerintah
Singapura tengah mencari cara untuk meningkatkan minat warganya
untuk menikah di usia yang lebih dini.
Ada beberapa hal yang menarik dari penelitian mengenai faktor yang
memengaruhi usia nikah dan tingkat perceraian di Singapura:
1. Ketersediaan data dari Biro Statistik Singapura mengenai hubungan
antara etnis, agama dan jenis kelamin dengan usia nikah dan tingkat
perceraian.
2. Pemerintah Singapura memberikan insentif bagi para mahasiswa
yang bersedia menikah muda dan memiliki anak (Sereviratne, 2008).
3. Singapura mengalami boom population pascalepas dari Malaysia pada
1965, namun terus mengalami penurunan angka kelahiran seiring
dengan meningkatnya kemajuan bangsa itu.
4. Singapura merupakan negara yang terdiri atas beberapa etnis dan
agama. Etnis di Singapura terdiri dari etnis China, India, dan Melayu
dengan jumlah terbesar dari etnis China. Meskipun China dan India
dianggap sebagai etnis yang paling banyak memiliki anak karena
kedua negara itu memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia, namun
kedua etnis tersebut di Singapura menunjukkan kecenderungan
sebaliknya.
Pemerintah Singapura menganjurkan agar para warganya menikah di
usia yang lebih dini. Namun berkaitan dengan kesehatan reproduksi
perempuan, pernikahan di usia muda seringkali dianggap
mengandung resiko kesehatan bagi perempuan seperti kematian ibu
karena melahirkan (Anonim 1, tanpa tahun).
2. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimanakah hubungan agama dengan usia nikah di Singapura?
b. Bagaimanakah hubungan jenis kelamin dengan usia nikah di
Singapura?
4
c. Bagaimanakah hubungan etnis dengan tingkat perceraian di
Singapura?
d. Bagaimanakah hubungan agama dengan tingkat perceraian di
Singapura?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. menjelaskan hubungan agama dengan usia nikah di Singapura.
b. menjelaskan hubungan jenis kelamin dengan usia nikah di Singapura.
c. menjelaskan hubungan etnis dengan tingkat perceraian di Singapura.
d. menjelaskan hubungan agama dengan tingkat perceraian di
Singapura.
4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dalam
merumuskan kebijakan khususnya di bidang kependudukan bagi
Pemerintah Singapura. Bagi Pemerintah Indonesia, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan masukan di bidang kependudukan
khususnya mengenai pencatatan kependudukan.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Teori Kapilaritas (Arsene Dumont)
Menurut teori ini, setiap orang memiliki kecenderungan untuk naik
ke tingkat yang lebih tinggi dalam lingkungan sosialnya. Ketika proses
naik ke atas ini, ia makin lama makin kurang suka memproduksi anak,
dan makin lepas dari lingkungan natural dan dari keluarganya, dan
selanjutnya juga dari kesejahteraan bangsanya. Selain itu, Dumont
mengatakan bahwa gerakan dari kelas ke kelas tersebut merupakan
akibat langsung dari tingkat kelahiran: perkembangan jumlah dalam
suatu bangsa berbanding terbalik dengan perkembangan perorangannya
(Prawiro, 1981).
Salah satu negara yang tengah mengalami hal tersebut adalah
Singapura. Saat ini Singapura bukanlah negara miskin, tapi telah
berkembang pesat. Singapura giat mendorong negaranya untuk lebih
maju dalam perekonomian (Wong, 1999).
“Singapore is remarkable success story of a country. It has recorded
enormous economic gowth that it has been dubbed one of Asia’s
strongest economies. In 1959 its per capita GNP was US$ 443, and in
1999 it reached US$ 32.810. Modern economic growth, as emphasised
by Nobel Kuznets, is always accompanied by structural change”.
Pertumbuhan ekonomi modern tersebut, seperti yang dinyatakan
oleh Kuznets, diikuti oleh perubahan struktural. Meningkatnya
perekonomian Singapura menyebabkan tingginya usia nikah sehingga
angka kelahiran rendah. Pascalepas dari Malaysia tahun 1965, Singapura
mengalami krisis ekonomi dan sosial. Pemerintah Singapura kemudian
5
mendirikan Program Keluarga Berencana dan berusaha menggerakkan
bangsanya menuju roda perekonomian yang jauh lebih baik (Anonim 2,
tanpa tahun). Kebijakan ini berhasil menurunkan angka kelahiran dan
sedikit demi sedikit memperbaiki roda perekonomian Singapura. Namun
kesempatan ekonomi yang semakin luas membuat penduduknya lebih
memilih untuk mengembangkan karier mereka dengan menunda
pernikahan. Selain itu, kesempatan karier yang semakin luas ini juga
menyebabkan keputusan untuk bercerai semakin mudah. Hal ini
dikarenakan peningkatan karier menyebabkan tingkat ketergantungan
antarpasangan makin menurun. Oleh karena itu, teori kapilaritas ini
dapat berlaku di Singapura. Pernyataan Dumont bahwa perkembangan
jumlah suatu bangsa berbanding terbalik dengan perkembangan
perorangannya berlaku di Singapura.
2. Faktor yang Memengaruhi Usia Nikah
Menurut Biro Statistik Singapura pernikahan adalah ikatan sah
antara dua orang berlainan jenis yang telah dicatatkan pada instansi
pemerintah dan merupakan pernikahan pertama. Pada sebagian
masyarakat perempuan melakukan hubungan seks pada masa remaja
karena mereka diharapkan menikah dan melahirkan anak pada usia
muda. Pada masyarakat lainnya, pernikahan biasanya dilangsungkan
pada usia sedikit tua, tetapi seks pranikah sudah biasa. Sebagian
masyarakat dipastikan sedang berada dalam masa transisi dari norma
sosial yang satu ke yang lain (Anonim 1, tanpa tahun). Menurut
Wongkaren (2000) pendidikan menjadi salah satu faktor yang
memengaruhi usia nikah. Adanya program wajib belajar dari pemerintah
misalnya, membuat para pelajar menunda usia nikah karena bersekolah.
Hasil penelitian Dommaraju (tanpa tahun) menunjukkan bahwa
kelompok perempuan yang menikah muda merupakan yang paling
sedikit mendapat pendidikan dibanding dengan kelompok lain.
Hasil penelitian Davis dan Blake (dalam Singarimbun, 1982)
menunjukkan bahwa pada masyarakat berkembang pada umumnya
memiliki suatu tingkat reproduksi yang tinggi dari masyarakat industri.
Akibat terancamnya masyarakat-masyarakat pra-industri oleh mortalitas
yang tinggi, Sebaliknya, masyarakat industri memperlihatkan nilai
fertilitas yang rendah untuk variabel-variabel yang menyangkut tingkattingkat permulaan proses produksi, khususnya usia kawin, proporsi yang
berstatus kawin dan penggunaan kontrasepsi.
3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Perceraian
Perceraian adalah pernyataan wakil masyarakat bahwa perkawinan
itu telah dibatalkan. Perceraian juga diartikan sebagai perubahan dari
status kawin menjadi status cerai. Perkawinan yang sah dapat berubah
atau rusak karena bercerai, ditinggal mati salah satu pasangan atau
ditangguhkan. (Edeng, 2004). Perceraian yang dimaksudkan dalam
penelitian ini berakhirnya masa perkawinan yang telah diputuskan oleh
6
pengadilan. Perceraian di sini hanya melihat perceraian yang dicatatkan
di biro statistik.
Menurut Wongkaren (2000), perceraian disebabkan oleh beberapa
faktor. Namun, penyebab perceraian lebih beragam dan bervariasi.
Penyebab tersebut dapat berupa masalah keuangan, anak,
ketidakcocokan latar belakang dan lain-lain. Penelitian yang dilakukan
Olson dan Defrain (dalam Wongkaren, 2000) menyebutkan ada empat
penyebab umum perceraian: penyelewengan, hilangnya perasaan cinta,
masalah emosional dan masalah keuangan.
Becker (dalam Wongkaren, 2000) menyebutkan peningkatan
pendidikan, independensi dan pendapatan perempuan, serta perubahan
institusi masyarakat berkaitan dengan meningkatnya perceraian. Dahulu,
perempuan sangat terikat pada laki-laki dalam pernikahan. Peningkatan
partisipasi angkatan kerja perempuan membuat perempuan tidak lagi
selalu harus tergantung pada suami. Kebijakan pemerintah tentang
perceraian dapat berpengaruh pada tingkat perceraian di suatu negara.
Hasil penelitian Ong (2003) menyebutkan bahwa di Singapura,
permohonan perceraian dalam tiga tahun pertama tidak diizinkan,
kecuali adanya izin dari pengadilan atas dasar bahwa pernikahan
tersebut menimbulkan penderitaan pada pemohon atau terjadinya suatu
kejahatan. Adanya kebijakan tersebut merupakan salah satu cara untuk
menekan tingginya angka perceraian.
4. Hubungan Agama dengan Usia Nikah
Agama dalam penelitian ini adalah suatu kepercayaan yang dianut
umat beragama yang mana agama tersebut diakui oleh pemerintah,
dalam hal ini pemerintah Singapura. Selain agama, usia nikah juga
memiliki beberapa pengertian. Ahli demografi seringkali membedakan
usia nikah dengan usia konsumasi perkawinan. Usia nikah merupakan
usia saat seseorang berumah tangga, sedangkan usia konsumasi
perkawinan merupakan usia saat pertama kali melakukan hubungan
seksual setelah menikah (Lucas, 1982). Usia nikah yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah usia saat seseorang menikah untuk pertama kali dan
tidak melihat usia konsumasi seseorang.
Doktrin agama seringkali dianggap memengaruhi usia nikah
penganutnya. Nilai-nilai yang ada dalam ajaran agama tersebut
merupakan pedoman hidup bagi penganutnya. Salah satu contoh menurut
Goode (1985) adalah adanya fenomena kawin pada anak-anak di
kalangan Hindu. Dalam agama Hindu bahwa semua gadis sudah harus
menikah sebelum pubertas, dan hal itu memang dijalankan. Tahun 1891
umur rata-rata wanita pada waktu menikah ialah 12,5 tahun. Angka ini
tidak berubah-rubah sampai sekitar 1930. Namun, hasil penelitian Jones
(tanpa tahun) menunjukkan bahwa tingginya jumlah perempuan yang
masih melajang tidak terbatas pada satu kelompok agama atau etnis.
Terbukti, tren tidak terjadi dalam seluruh wilayah yang sama. Bahkan di
7
Filipina dan Thailand, proporsi perempuan yang belum menikah di usia
30 dan 40-an pada kedua negara tersebut relatif tinggi.
5. Hubungan Jenis Kelamin dengan Usia Nikah
Jenis kelamin dibedakan menjadi dua hal yaitu secara biologis dan
secara sosial yang sering disebut dengan gender (Weeks, 1990). Secara
biologis, jenis kelamin merupakan suatu kondisi untuk melihat laki-laki
dan perempuan dengan melihat ciri fisik yang melekat. Secara sosial, jenis
kelamin atau konstruksi sosialnya disebut gender, merupakan sifat yang
dilekatkan oleh masyarakat pada laki-laki dan perempuan. Pada
penelitian ini, jenis kelamin yang dimaksudkan adalah perbedaan secara
fisik (sex) antara laki-laki dan perempuan yang dapat dilihat, namun juga
melihat pandangan masyarakat terhadap kedua jenis kelamin tersebut.
Laki-laki diposisikan sebagai kepala rumah tangga saat ia menikah.
Artinya, ia memiliki beban sosial untuk menafkahi keluarga. Alasan itulah
yang seringkali menyebabkan laki-laki lebih lama mempertimbangkan
untuk menikah, sehingga usia nikahnya lebih tua daripada usia nikah
perempuan. Goode (1985) menyebutkan bahwa negara-negara di Afrika
Utara dan timur Tengah, pria menikah pada usia yang relatif lebih tua
daripada wanita di negara yang sama, bila dibandingkan dengan negaranegara Eropa Barat.
6. Hubungan Etnis dengan Tingkat Perceraian
Etnis merupakan suatu kelompok atau kategori sosial yang
perbedaannya terletak pada kriteria kebudayaan, bukan biologis
(Sanderson, 1993). Pada penelitian ini, yang dimaksudkan dengan etnis
adalah sekelompok orang yang berbeda secara budaya.
Tingkat perceraian diartikan oleh Soekanto (1983) sebagai rasio
perceraian yang terjadi dengan rata-rata penduduk selama periode
tertentu. Tingkat perceraian diartikan secara demografi sebagai suatu
angka perbandingan yang didalamnya terkait perceraian yang terjadi
dalam jangka waktu tertentu (Prawiro, 1981). Pada penelitian ini, yang
dimaksud dengan tingkat perceraian adalah rasio mengenai perceraian
yang terjadi pada rata-rata penduduk dalam satuan tahun.
Setiap etnis memiliki norma-norma sosial masing-masing. Salah satu
norma tersebut berkaitan dengan masalah perceraian. Perceraian di
suatu etnis tertentu dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar, bahkan
merupakan suatu aib. Namun, di etnis yang lain, perceraian dianggap
sebagai sesuatu yang wajar. Sebagai contoh di kalangan masyarakat
timur, perceraian merupakan suatu hal yang memalukan karena kalangan
ini masih menganggap bahwa pernikahan merupakan suatu lembaga
yang sakral, sehingga bila terjadi perceraian hal itu merupakan suatu
malapetaka. Selain itu, dalam kelompok etnis tertentu, penyebab
perceraian juga telah “ditetapkan” dalam norma masyarakat. Sebagai
contoh di Cina kuno (Goode, 1985) kekurangajaran seorang wanita
8
terhadap sanak suaminya yang lebih tua dipandang sebagai alasan yang
cukup kuat untuk bercerai.
7. Hubungan Agama dengan Tingkat perceraian
Perceraian merupakan hal yang tidak diharapkan oleh pasangan
suami isteri. Namun, suatu pernikahan memiliki resiko untuk bercerai
bila ada hal yang mendukungnya. Hasil penelitian Goode (1985)
menunjukkan adanya pengaruh ajaran agama terhadap keputusan untuk
bercerai. Penelitian ini tidak menunjukan sepatuh mana seseorang
terhadap ajaran agamanya, tetapi hanya mengatakan status perkawinan
atau pengalaman perceraian terhadap hubungan gereja yang formal. Hasil
penelitian tersebut menyatakan bahwa umumnya perkawinan
antarpasangan yang berasal dari satu gereja sedikit kemungkinannya
untuk bercerai. Jika kedua-duanya sama agamanya, sedikit atau tidak ada
perbedaan terlihat antarangka-angka orang Yahudi, Protestan atau
Katolik, menurut tiga penelitian yang ada.
C. METODE PENELITIAN
1. Objek Penelitian
Data sekunder berupa data statistik dari Biro Statistik Singapura pada
tahun 2005 hingga tahun 2007.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dengan
metode analisis data sekunder (ADS), sedangkan pendekatan kualitatif
dengan menggunakan studi pustaka. ADS merupakan metode penelitian
kuantitatif dengan memanfaatkan ketersediaan data pada beberapa
dokumen statistik seperti yang dikeluarkan BPS atau masih berupa data
mentah yang belum diolah sama sekali (Prasetyo dan Jannah, 2005).
3. Metode Pengumpulan Data
Dokumentasi berupa data statistik Singapura mengenai grooms by age
group, bride by age group, divorces by ethnic group of couple, female
divorce by age group, dan male divorces by age group.
4. Metode Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan
analisis kualitatif. Tabel distribusi frekuensi menurut Gulo (1983)
merupakan suatu susunan data di mana semua data dari objek
pengamatan termasuk dalam salah satu kategori atau kelompok. Tren
dianalisis dengan melihat tabel distribusi frekuensi untuk mengetahui
hubungan antar dua variabel.
D. PEMBAHASAN
1. Hubungan Agama dengan Usia Nikah
Ada beberapa agama yang diakui di Singapura, yaitu Islam, Kristen,
Khatolik, Budha, Tao, Konghucu, Hindu dan beberapa agama minoritas
9
seperti Zoroaster, Yahudi, Sikh, serta Jains. Setiap agama tersebut
memiliki norma dan nilai yang berbeda dalam memandang pernikahan.
Salah satunya mengenai usia nikah. Hubungan antara agama dengan usia
nikah dapat dilihat pada grafik berikut:
non muslim 451 5.369
muslim
400
8.993
2.018
0%
2.590
20%
<20
20-24
40%
25-29
30-34
1.183
60%
35-39
40-44
3.846 2.119 1.121
672 446
80%
45-49
290
100%
>50
Gambar 1. Hubungan agama dengan usia nikah di Singapura tahun 2005
non muslim 407 5.226
muslim
354
16.154
1.873
0%
2.668
20%
<20
20-24
9.542
40%
25-29
30-34
1.264
60%
35-39
40-44
3.973 1.931
1.165
1.124
637 507 276311
80%
45-49
100%
>50
Gambar 2. Hubungan agama dengan usia nikah di Singapura tahun 2006
non muslim 436 4.802
muslim 323
16.080
1.888
0%
2.916
20%
<20
20-24
9.827
40%
25-29
30-34
1.251
60%
35-39
40-44
4.205 2.061
1.137
1.158
660 529 340319
80%
45-49
100%
>50
Gambar 3. Hubungan agama dengan usia nikah di Singapura tahun 2007
Ketiga grafik tersebut menunjukkan doktrin agama berhubungan
dengan usia nikah pemeluknya. Penduduk yang menikah di bawah usia
24 tahun lebih banyak Muslim daripada non-Muslim. Proporsi usia nikah
Muslim di bawah 24 tahun dari tahun 2005-2007 cukup besar (30 persen
untuk tahun 2005, 29 persen untuk tahun 2006, dan 27 persen untuk
tahun 2007), sedangkan proporsi usia nikah non-Muslim di bawah 24
tahun hanya separuh dari proporsi usia nikah Muslim di usia yang sama
(15 persen untuk tahun 2005, 14 persen untuk tahun 2006, dan 13
persen untuk tahun 2007). Mayoritas penduduk Muslim dan non-Muslim
menikah di usia 25-29 tahun, meskipun demikian jumlah Muslim yang
menikah pada usia tersebut lebih sedikit daripada jumlah penduduk nonMuslim. Secara umum, tren usia nikah baik Muslim maupun non-Muslim
mengalami kenaikan.
10
Banyaknya jumlah penduduk Muslim yang menikah di bawah usia
24 tahun daripada penduduk non-Muslim menunjukkan bahwa doktrin
agama Islam berpengaruh terhadap usia nikah pemeluknya. Doktrin
agama Islam menekankan umatnya untuk segera menikah begitu
memasuki usia baligh. Salah satu doktrin tersebut adalah adanya hadits
yang berisi anjuran untuk segera menikah. Jones (tanpa tahun) juga
menyatakan bahwa banyak artikel yang menekankan Islam mewajibkan
umatnya untuk menikah dan memiliki keluarga besar.
Tren usia nikah yang semakin tinggi baik bagi penduduk Muslim
maupun non–Muslim menunjukkan bahwa selain doktrin agama, ada
faktor lain yang berpengaruh. Hasil penelitian Jones (tanpa tahun)
menunjukkan bahwa tingginya usia nikah tidak terbatas pada salah satu
kelompok agama saja. Salah satu faktor tersebut adalah struktur sosial
yang turut membentuk perilaku masyarakat sekitarnya. Struktur
penduduk di Singapura, kebanyakan dari mereka adalah imigran dari
China dan India. Kedua etnis tersebut datang ke Singapura setelah
Singapura melepaskan diri dari Malaysia. Sejarah menunjukkan bahwa
Singapura pernah mengalami baby boom pada tahun 1960an. Namun,
kondisi Singapura yang belum stabil pascamerdeka, membuat
Pemerintah Singapura khawatir dengan jumlah penduduk yang besar.
Pemerintah Singapura melihat pertumbuhan penduduk yang cepat
sebagai sebuah ancaman bagi kehidupan dan stabilitas politik. Hal ini
dikarenakan dengan banyaknya anak-anak dan kaum muda, maka
diperlukan kemampuan ekonomi yang kuat untuk menyediakan pelayan
kesehatan, pendidikan, dan penyediaan lapangan kerja. Kondisi ekonomi
Singapura belum memungkinkan karena baru saja lepas dari Malaysia
dan mengalami krisis ekonomi, politik, dan sosial. Oleh karena itu,
Pemerintah Singapura kemudian memperkenalkan Program Keluarga
Berencana pada tahun 1965 (Anonim 2, tanpa tahun).
Kebijakan Pemerintah Singapura pada Program Keluarga Berencana
menekan warganya untuk memiliki keluarga kecil jika ingin mendapat
fasilitas kesehatan dan pengurangan biaya hidup. Hal ini membuat warga
Singapura mengharuskan diri mereka untuk memiliki keluarga kecil
sesuai dengan program tersebut. Apalagi selain program ini, pemerintah
juga berusaha menekan angka kelahiran dengan cara sterilisasi dan
aborsi sukarela yang telah disahkan Pemerintah Singapura pada 1970
(Anonim 2, tanpa tahun). Program tersebut menunjukkan bahwa di
Singapura terdapat ”tuntutan” sosial untuk memiliki keluarga kecil.
Selain itu, peningkatan usia nikah juga merupakan konsekuensi
tersendiri dari pembangunan ekonomi di Singapura. Krisis sosial,
ekonomi dan politik yang dialami Singapura di awal ”kelahirannya”
membuat Pemerintah Singapura ”mengorbankan” peningkatan jumlah
penduduk dengan berbagai program. Hal ini justru dianggap oleh warga
Singapura sebagai nilai yang dianut selain doktrin ajaran agama mereka.
Oleh karena itulah, teori Dumont (dalam Prawiro, 1981) mengenai
11
perkembangan jumlah suatu bangsa berbanding terbalik dengan
perkembangan perorangannya berlaku di Singapura. Peningkatan
ekonomi yang diprioritaskan pemerintah telah membuat warga
Singapura lebih memilih meningkatkan karier mereka daripada menikah.
2. Hubungan Jenis Kelamin dengan Usia Nikah
Di Singapura, laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan
yang sama di bidang pendidikan maupun karier. Oleh sebab itu, kedua
jenis kelamin tersebut sama-sama memiliki keputusan yang sama untuk
menikah. Hubungan antara jenis kelamin dan usia nikah di Singapura
dapat dilihat pada grafik berikut:
laki-laki 1202.056
perempuan 731
7.936
5.331
0%
<20
5.960
9.634
20%
20-24
2.873 1.7951.108
1.144
4.216
40%
25-29
60%
30-34
35-39
1.645770
398
267
80%
40-44
45-49
100%
>50
Gambar 4. Hubungan jenis kelamin dengan usia nikah tahun 2005
laki-laki 125
1.985
perempuan 636
8.505
5.114
0%
<20
6.327
10.317
20%
20-24
2.929 1.613 1.158
25-29
4.479
40%
60%
30-34
35-39
1.681825277
80%
40-44
100%
45-49
>50
Gambar 5. Hubungan jenis kelamin dengan usia nikah tahun 2006
laki-laki 116
1.899
perempuan 643
0%
<20
20-24
8.468
4.791
6.398
10.528
20%
25-29
40%
30-34
3.040 1.7711.078
1.196
4.680
60%
35-39
1.825819
399
281
80%
40-44
45-49
100%
>50
Gambar 6. Hubungan jenis kelamin dengan usia nikah tahun 2007
Ketiga grafik tersebut menunjukkan penduduk yang menikah pada
usia kurang dari 20 tahun kebanyakan adalah perempuan. Semakin tinggi
usia nikah, jumlah laki-laki yang menikah semakin banyak, sebaliknya
jumlah perempuan yang menikah semakin sedikit.
12
Secara biologis, usia 20an merupakan usia emas reproduksi
perempuan. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang tidak memiliki batas
usia reproduksi. Secara sosial, label perawan tua di kalangan masyarakat
mengandung arti yang negatif dibandingkan label bujang lapuk. Laki-laki
dianggap sebagai pencari nafkah utama yang harus menafkahi isteri dan
anak-anaknya. Hal ini membuat laki-laki harus menyiapkan materi
terlebih dahulu sebelum menikahi seorang perempuan.
Mayoritas laki-laki dan perempuan di Singapura menikah di usia 25
tahun ke atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa program insentif dari
pemerintah untuk mendorong mahasiswanya menikah di usia muda
kurang berhasil. Pada usia 25 ke atas biasanya mahasiswa telah
menyelesaikan kuliahnya. Oleh karena itu, kebanyakan penduduk
Singapura menikah setelah menyelesaikan pendidikan di bangku
perguruan tinggi.
Grafik di atas juga menunjukkan bahwa penduduk Singapura yang
menikah di usia 30 tahun ke atas lebih banyak laki-laki daripada
perempuan. Ada beberapa faktor untuk menjelaskan hal tersebut.
Pertama adalah pendidikan. Hasil penelitian Dommaraju (tanpa tahun)
menyatakan bahwa kelompok perempuan yang menikah muda
merupakan kelompok yang paling sedikit mendapat pendidikan
dibanding dengan kelompok lain. Artinya, kelompok perempuan yang
masih melajang atau yang menikah di usia yang lebih tinggi merupakan
kelompok yang berpendidikan lebih tinggi.
Terdapat dikotomi pola perkawinan di Singapura antara laki-laki
dan perempuan yang belum menikah di usia 30 hingga 40an, yaitu lakilaki dengan pendidikan rendah dan perempuan dengan pendidikan tinggi.
Laki-laki berpendidikan tinggi cenderung lebih suka menikahi
perempuan yang lebih muda darinya dengan pendidikan di bawah
pendidikannya, tetapi perempuan berpendidikan tidak ingin menikahi
laki-laki yang pendidikannya di bawah dirinya, dan laki-laki dengan
pendidikan rendah juga grogi bila menikahi perempuan dengan
pendidikan yang lebih baik dari dirinya. Oleh karena itu, pada situasi di
mana tingkat pendidikan mengalami kenaikan dengan cepat, ada
kecenderungan perempuan berpendidikan tinggi dan laki-laki
berpendidikan rendah mengalami kesulitan untuk menemukan jodoh
sesuai keinginan mereka karena kekurangan secara jumlah yang tersedia
dan kecocokan (Jones, tanpa tahun). Hal tersebut terjadi karena adanya
budaya patriarkhi yang terbangun dalam masyarakat. Laki-laki Singapura
beranggapan bahwa mereka merupakan makhluk yang akan menjadi
pemimpin untuk rumah tangganya kelak, sehingga standar pasangan
hidupnya harus berada di bawahnya. Hasil penelitian Jones (tanpa tahun:
16) menyebutkan bahwa laki-laki Singapura berpandangan pendidikan
tinggi tidak membuat seorang perempuan menjadi isteri yang baik.
Perempuan dengan pendidikan tinggi juga ”terikat” dengan budaya
patriarkhi. Standar pasangan hidup yang pantas bagi mereka adalah laki-
13
laki dengan pendidikan dan usia yang lebih dari dirinya. Oleh karena itu,
menikah dengan laki-laki yang lebih muda dan berpendidikan lebih
rendah dapat ”menurunkan” martabat diri.
3. Hubungan Etnis dengan Tingkat Perceraian di Singapura
Ada tiga etnis yang paling dominan di Singapura yaitu China, Melayu
dan India. Ketiga etnis tersebut memiliki norma masing-masing. Normanorma tersebut juga ada yang berkaitan dengan perilaku perceraian
kelompok etnis tersebut. Beberapa grafik berikut menunjukkan
hubungan antara etnis dan tingkat perceraian di Singapura:
Etnis lain
9%
India
2%
Melayu
37%
China
22%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
Gambar 7. Hubungan etnis dengan tingkat perceraian tahun 2005
Etnis lain
7%
India
3%
Melayu
37%
China
22%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
Gambar 8. Hubungan etnis dengan tingkat perceraian tahun 2006
Etnis lain
6%
India
3%
Melayu
32%
China
23%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Gambar 9. Hubungan etnis dengan tingkat perceraian tahun 2007
Ketiga grafik di atas menunjukkan bahwa etnis Melayu merupakan
etnis yang paling banyak bercerai. Etnis China menempati posisi terbesar
kedua yang paling banyak bercerai, sedangkan etnis India merupakan
14
etnis yang paling sedikit bercerai. Meskipun demikian, tren yang terjadi
di masing-masing etnis berlainan. Tren pada etnis Melayu cenderung
turun, sedangkan tren pada etnis China dan India cenderung mengalami
kenaikan.
Penyebab tingginya perceraian di kalangan etnis Melayu lebih
disebabkan aspek sosial dan struktur keluarga etnis tersebut. Hasil
penelitian Jones (1981) menyebutkan bahwa ada beberapa aspek sosial
dan struktur keluarga pada etnis Melayu yang memudahkan terjadinya
perceraian, yaitu: 1) ketidakmatangan pasangan saat menikah; 2)
pandangan bahwa perceraian merupakan solusi alami jika pernikahan
tidak lagi berjalan dengan baik, sehingga kalangan etnis Melayu
mentolerir adanya perceraian; 3) tradisi kurang dekatnya pertalian suami
isteri; 4) fokus pada individu masing-masing pasangan, bukan pada
tujuan bersama sebagai suami isteri; 5) tradisi persamaan hak suami
isteri pada hubungan perkawinan, perempuan memegang peranan
penting dalam perekonomian dan memiliki tingkat kemandirian yang
tinggi; 6) mudahnya penerimaan pernikahan yang kedua di kalangan
etnis Melayu. Faktor-faktor tersebut menurut Jones merupakan beberapa
alasan yang mendasari terjadinya perceraian di kalangan etnis Melayu.
Sumber dari penyebab perceraian tersebut adalah budaya yang
berkembang dalam etnis tersebut.
Perceraian di kalangan etnis China lebih disebabkan tingginya
tingkat independensi perempuan. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan
perempuan etnis China lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat
pendidikan perempuan etnis Melayu dan India. Artinya, tingkat
ketergantungan perempuan etnis China lebih rendah daripada tingkat
ketergantungan perempuan etnis lain terhadap suaminya. Etnis China
juga memegang peranan yang dominan di bidang ekonomi, sosial, politik
dan budaya. Pada hal ini termasuk juga kaum perempuannya. Peran
kaum perempuan dari etnis ini di berbagai bidang lebih tinggi dari peran
perempuan dari etnis lain (Lee dan Alvarez, 1991).
Nilai budaya yang dianut etnis China yaitu adanya tingkat
independensi perempuan etnis China menyebabkan ia semakin memiliki
keberanian untuk mengatur dirinya sendiri. Ketika keluarga suami yang
lebih tua ikut mencampuri masalah keluarga, maka bukan tidak mungkin
sang isteri mengajukan keberatan.
Etnis India di Singapura merupakan etnis dengan proporsi terkecil
yang melakukan perceraian. Ada beberapa faktor yang mendasari hal
tersebut. Faktor-faktor tersebut juga berasal dari tradisi dan budaya yang
berkembang di kalangan etnis India. Hasil penelitian (Anonim 5, tanpa
tahun) menyebutkan bahwa salah faktor tersebut adalah etnis India
memegang teguh tradisi untuk merawat orang tua sampai usia lanjut.
Tradisi ini menyebabkan orang tua dan anak hidup satu atap dan
hubungan keduanya menjadi solid.
15
Budaya pada etnis India yang berpandangan bahwa pernikahan
merupakan faktor utama untuk perlindungan sosial ekonomi bagi
perempuan (Kitamura, 2000).
Pandangan tersebut menjadikan
perempuan lebih memiliki ”daya tahan” dalam mempertahankan
pernikahan atau dengan kata lain tingkat ketergantungan isteri pada
suami pada etnis ini tinggi. Tingkat ketergantungan yang tinggi tersebut
menjadikan hubungan suami isteri menjadi lebih dekat.
4. Hubungan Agama dengan Tingkat Perceraian di Singapura
Setiap agama memiliki norma-norma tersendiri yang mengatur
perceraian umatnya. Hubungan antara agama dengan tingkat perceraian
di Singapura dapat dilihat pada grafik berikut:
muslim
47%
non-muslim
26%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
50%
Gambar 10. Hubungan agama dengan tingkat perceraian tahun 2005
muslim
49%
nonmuslim
25%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
Gambar 11. Hubungan agama dengan tingkat perceraian tahun 2006
muslim
42%
nonmuslim
26%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
Gambar 12. Hubungan agama dengan tingkat perceraian tahun 2007
Ketiga grafik di atas menunjukkan bahwa proporsi Muslim yang
bercerai lebih banyak daripada proporsi non-Muslim. Meskipun
demikian, tren yang terjadi di kalangan Muslim cenderung mengalami
penurunan. Sebaliknya, tren yang terjadi di kalangan non-Muslim
cenderung mengalami kenikan.
16
Tingginya perceraian di kalangan Muslim disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, ketidakmatangan pasangan saat menikah. Penduduk
Singapura yang menikah di bawah usia 24 tahun kebanyakan adalah
Muslim. Pada usia ini, pasangan belum terlalu matang untuk membina
sebuah rumah tangga. Ketidakmatangan pasangan saat menikah juga
menjadi salah satu penyebab tingginya perceraian di kalangan etnis
Melayu. Diasumsikan mayoritas etnis Melayu beragama Islam. Kedua,
adanya doktrin agama Islam yang memperbolehkan untuk bercerai,
meskipun hal tersebut merupakan perbuatan yang dibenci oleh Alloh.
Perceraian di kalangan non-Muslim lebih disebabkan karena faktor
anak. Hasil penelitian Lim (tanpa tahun) menunjukkan bahwa banyak
pasangan non-Muslim yang bercerai di usia 50 ke atas cenderung tidak
memiliki tanggungan, dalam hal ini anak dengan usia di bawah 18 tahun.
Artinya anak-anak mereka telah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri.
Perceraian yang terjadi di kalangan usia tua ini salah satu
penyebabnya adalah anak-anak yang dewasa. Anak-anak yang berusia di
atas 18 tahun menunjukkan bahwa mereka tak lagi memiliki tingkat
ketergantungan yang tinggi pada orangtuanya. Oleh karena itu, solidaritas
antara suami isteri dalam merawat anak tak lagi seerat saat anak-anak
masih berusia di bawah 18 tahun. Mereka merasa bahwa tidak ada lagi
alasan untuk melanjutkan pernikahan karena anak yang selama ini
menjadi alasan kebersamaan dalam perkawinan tidak ada lagi.
E. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Terdapat hubungan antara agama dengan usia nikah pemeluknya di
Singapura. Penduduk yang menikah di bawah usia 24 tahun lebih
banyak Muslim daripada non-Muslim. Mayoritas penduduk Muslim
dan non-Muslim menikah di usia 25-29 tahun, meskipun demikian
jumlah Muslim yang menikah pada usia tersebut lebih sedikit
daripada julmlah non-Musim.
b. Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan usia nikah di
Singapura. Perempuan di Singapura cenderung menikah di usia yang
lebih muda dari laki-laki dikarenakan beberapa faktor. Pertama, aspek
biologis yang berkaitan dengan reproduksi; kedua, berkaitan dengan
aspek sosial yaitu adanya nilai yang menyatakan bahwa laki-laki
merupakan pencari nafkah utama.
c. Terdapat hubungan antara etnis dengan tingkat perceraian di
Singapura. Etnis Melayu merupakan etnis dengan proporsi bercerai
paling banyak, disusul etnis China dan etnis India. Tren perceraian
pada etnis Melayu cenderung turun, sedangkan tren pada etnis China
dan India cenderung naik. Budaya dan tradisi yang berkembang dalam
suatu etnis tertentu memengaruhi perilaku masyarakat etnis tersebut.
d. Terdapat hubungan antara agama dengan tingkat perceraian di
Singapura. Proporsi tertinggi yang paling banyak bercerai adalah
17
Muslim daripada non-Muslim. Tren yang terjadi di kalangan Muslim
cenderung menurun, sementara di kalangan non-Muslim meningkat
dikarenakan perceraian di kalangan Muslim lebih disebabkan adanya
doktrin agama yang memperbolehkan perceraian.
2. Saran
Meningkatnya kemakmuran masyarakat Singpura ternyata diiringi
oleh semakin tidak populernya perkawinan. Hal ini dikarenakan mind set
warga Singapura telah membentuk pemikiran bahwa pernikahan dan
anak merupakan beban. Diperlukan suatu upaya untuk mengubah mind
set tersebut. Salah satunya dengan cara mengkampanyekan nilai-nilai
keluarga yang juga terkandung dalam Asian Values. Nilai-nilai tersebut
antara lain bahwa anak merupakan ”investasi” di hari tua. Selain
bertujuan untuk meningkatkan minat warga Singapura untuk
berkeluarga, kampanye tersebut juga bertujuan untuk mengurangi
tingkat perceraian.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim 1. ”Kontrol Populasi Kebijakan”. http://countrystudies.us/singapore.
Diakses pada Rabu, 11 Maret 2009.
Anonim
2. ”Marriage and Family Formation Patterns”.
http://translategoogle.co.id. diakses 26 Desember 2009.
Situs:
Gulo, W. 1983. Dasar-dasar Statistika Sosial. Satyawacana. Semarang.
Johnson, Doyle Paul 1994. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta (diterjemahkan dari: Sociological Theory:
Classical and Modern, oleh: Robert M.Z Lawang ).
Jones, Gavin W. Tanpa tahun. The “Flight from Marriage” in South-east and
East Asia, National University of Singapore, Singapore.
--------. 1981.”Malay Marriage and divorce in Peninsular Malaysia: Three
Decades of Changes”. dalam: Population and Development Reviews,
The Center of Policy Studies of the Population Studies, New York.
Kitamura, Yuri. 2000. “Anthropological Study of ‘Gender and Development in
India: The Women’s Movement in Kerala”. dalam: APC Journal of
Asian Pacific Studies, Momochihama2-Chome Sawaruku, Japan.
Lee, Sharon M dan Alvarez, Gabriel. 1991. Fertility Decline and Pronatalist
Policy in Singapore. A Publication of The Alan Guttmacher Institute.
USA.
Lim Soon Hock. “In Singapore State of the Family”. http://www.nfc.org.sg.
Diakses pada Kamis, 26 November 2009.
Prasetyo, Bambang dan Jannah, Lina Miftahul. 2005. Metode Penelitian
Kuantitatif. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
18
Prawiro, Ruslan H. 1983. Kependudukan: Teori, Fakta, dan Masalah. Penerbit
Alumni. Bandung.
Soekanto, Soerjono. 1983. Kamus Sosiologi. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Tamura, Keiko T. 2000. “Women and Labor in Singapore: Changing Economic
Policy and Images the Ideal Women”. dalam: The APC Journal of Asian
Pacific Studies, Momochihama 2-Chome Sawara-ku, Japan
Wong Kan Seng. “New Insentif untuk Married Pasangan Have more untuk
Anak”. Situs: www.pap.org.sg, diakses 11 Maret 2009.
Yearbook Statistics of Singapore 2008. 2008. Biro Statistik. Singapura.
▼▼▼▼▼▼
Download