model kebijakan penal dalam upaya pencegahan kejahatan

advertisement
MODEL KEBIJAKAN PENAL DALAM UPAYA PENCEGAHAN
KEJAHATAN SEKSUAL TERHADAP ANAK (SEXUAL CRIME ON
CHILD)
PUBLIKASI ILMIAH
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata II
pada Jurusan Magister Ilmu Hukum
Oleh :
MUHAMMAD SYAMSU RIZAL
R-100140018
MAGISTER ILMU HUKUM
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
MODEL KEBIJAKAN PENAL DALAM UPAYA PENCEGAHAN KEJAHATAN
SEKSUALTERHADAP ANAK (SEXUAL CRIME ON CHILD)
ABSTRAK
Tindak kekerasan terhadap anak sudah mencapai pada puncaknya. Banyak anak-anak
yang tidak berdosa harus memupus harapan untuk meraih cita-cita dikarenakan menjadi
korban kekerasan terlebih kekerasan secara seksual. Pemerintah langsung bergerak
cepat untuk melakukan perlindungan terhadap anak dengan cara membentuk sebuah
peraturan perundang-undangan yang memuat tiga hukuman tambahan yakni penanaman
chip, pengumuman identitas pelaku dan kebiri kimiawi agar para pelaku memiliki efek
jera dan untuk calon pelaku agar tidak melakukan hal yang sama.
Kata Kunci: Kekerasan terhadap anak, hukuman kebiri kimiawi, hukuman pidana
penjara, efek jera pelaku.
MODEL POLICY PENAL PREVENTION EFFORTS IN SEXUAL CRIMES
AGAINST CHILDREN
ABSTRACT
Violence against children has reached at its peak. Many children who are innocent
should be dispelled hopes to achieve goals due to violence especially sexual violence.
Government to move quickly to make the protection of children by establishing a
legislation which contains three additional punishment that is planting a chip, the
announcement identity of the offender and chemical castration that the perpetrators have
a deterrent effect on potential perpetrators and not to do the same thing. However, a
sentence of imprisonment and the application of additional penalties is still considered
unable to give deterrent effect to the perpetrators..
Keywords: Violence against children, sentenced to chemical castration, a sentence of
imprisonment, the perpetrator deterrent effect.
I.
PENDAHULUAN
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 yang diubah dengan undang-undang
Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan. Undang-undang
1
ini juga bertujuan melindungi anak agar mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, sehat, cerdas,
berakhlak mulia dan sejahtera.1 Oleh karena itu, hukuman pidana yang diatur di dalam
undang-undang ini sebenarnya sudah dirasa cukup untuk memberikan efek jera untuk
para pelaku kekerasan terhadap anak.
Akan tetapi dengan perlindungan yang sedemikian rupa itu, tetap tidak dapat
melepaskan anak dari tindakan pidana yang dilakukan oleh para pelaku tindak kriminal.
Keamanan yang kondusif, serta perlindungan terhadap warga negara adalah impian
setiap masyarakat Indonesia. Terlebih perlindungan terhadap anak dari tindak kejahatan
baik kejahatan yang dapat memperngaruhi psikis, seksual dan juga eksploitasi anak.
Oleh karena itu, pemerintah sebagai garda terdepan dalam melakukan perlindungan
warga negaranya, telah berusaha dengan banyak merumuskan peraturan – peraturan
undang-undang untuk melindungi anak dari kejahatan. Akan tetapi, dengan begitu
banyaknya peraturan yang sudah menjadi hukum positif atau hukum yang berlaku dan
juga memuat pasal-pasal hukuman pidana yang sangat berat, dalam kenyataannya (Das
Sein) masih banyak dijumpai kasus – kasus kejahatan terhadap anak. Seperti yang barubaru ini terjadi kasus yang terjadi di Sumatra yangmana kasus itu cukup menyita banyak
perhatian masyarakat dan LSM-LSM yang bergerak di Perlindungan Wanita dan Anak.
Usaha pembaharuan hukum di Indonesia yang sudah dimulai sejak lahirnya UUD
1945 tidak dapat dilepaskan pula dari landasan dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai
seperti telah dirumuskan juga dalam pembukaan UUD 1945. Tujuan yang telah
1
Munawara, dkk. Bagian Hasanudin Makassar dan Bagian Hukum Masyarakat dan Pembangunan
Fakultas Hukum Univ.Hasanudin Makassar. Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian
Ttindak Pidana yang dilakukan oleh Anak di Kota Makassa , hal. 3
2
digariskan dalam pembukaan UUD 1945 itu secara singkat ialah “melindungi segenap
bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan pancasila”.2
Emile Durkeim, seorang pakar sosiologi menyatakan kejahatan bukan saja normal,
dalam arti tidak ada masyarakat tanpa kejahatan bahkan dia menambahkan kejahatan
merupakan sesuatu yang diperlukan, sebab ciri masyarakat adalah dinamis dan
perbuatan yang telah menggerakkan masyarakaat tersebut seringkali disebut sebagai
kejahatan. Perlu ditegaskan, kejahatan bukan merupakan fenomena alamiah melainkan
fenomena sosial dan historis, sebab tindakan menjadi kejahatan haruslah dikenal, dicap
dan ditanggapi sebagai kejahatan, harus ada masyarakat yang norma, aturan dan
hukumnya yang dilanggar, disamping adanya lembaga yang tugasnya menegakkan
norma – norma dan menghukum pelanggarnya.3
Dewasa ini, banyak faktor yang menyebabkan para pelaku kejahatan melakukan
kejahatan terhadap anak, antara lain adalah faktor psikologis si pelaku sebagai contoh si
pelaku mengidap kelaian seksual atau Phedopile, faktor sosial seperti lingkungan di
mana pelaku tinggal yang banyak terjadi pelanggaran hukum, himpitan ekonomi yang
mengharuskan anak-anak ikut mencari uang dan bahkan eksploitasi terhadap anak. Dan
dalam melakukan aksinya, para pelaku tindak kejahatan terhadap anak tidak melihat
anak tersebut berasal dari status dan umur. Kerugian yang sering diterima atau diderita
oleh korban misalnya fisik, mental, ekonomi, harga diri, dan sebagainya. Artinya yang
bersangkutan korban murni dari kejahatan yang memang korban yang sebenarnya
benarnya atau senyatanya. Korban tidak bersalah hanya semata sebagai korban yang
2
Barda Nawawi, 2010, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara.
Genta Publishing: Yogyakarta, hal. 1
3
I. S Susanto dalam Herdian Eka Putravianto, Tesis, Kebijakan Penal Dalam Upaya Penanggulangan
Kejahatan Jalanan (Street Crimes), hal. 2
3
kemungkinan penyebabnya antara lain, kealpaan, ketidaktahuan, kurang hati-hati,
kelemahan korban atau mungkin kesialan korban.4 Menurut G. Widiartana,
membedakan korban berdasarkan tindakan pelaku yaitu sebagai berikut:5 (1) Korban
langsung yaitu mereka yang secara langsung menjadi sasaran atau objek perbuatan
pelaku; (2) Korban tidak langsung, yaitu mereka yang meskipun tidak secara langsung
menjadi sasaran perbuatan pelaku, tetapi juga mengalami penderitaan atau nestapa.
Penggunaan sarana penal menitikberatkan pada proses pemidanaan yang memiliki
pandangan sebagai upaya pemberantasan kejahatan, yang salah satu konsekuensinya
yaitu dengan sanksi pidana penjara.6 Masih masuk dalam ruang lingkup politik hukum
pidana selain upaya penanggulangan kejahatan terhadap anak melalui sarana penal yang
bersifat Represive dapat pula menggunakan sarana non penal. Dimana lebih menitik
beratkan pada upaya Preventive.7
Permasalahan yang dirumuskan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1)
Apakah sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan terhadap anak telah sesuai dengan
tujuan dari kebijakan penal?; (2) Bagaimana model alternatif hukuman pidana penjara
yang efektif guna mencegah kejahatan terhadap anak?.
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Memahami dan mengerti keefektifan sanksi
pidana dalam mencegah terjadinya kejahatan terhadap anak dan mengetahui alternatif
hukuman pidana penjara dalam upaya pencegahan tindakan kejahatan terhadap anak
sebagai pembaharuan hukum pidana yang akan datang. Manfaat dari penelitian ini (1)
Agar semua instansi penegak hukum dan masyarakat mengetahui keefektivitasan sanksi
44
Bambang Waluyo, 2011, Victimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika: Jakarta, hal. 19
Ibid, hal. 20
6
Herdian Eka Putravianto, Tesis, Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang, Kebijakan Penal
Dalam Upaya Penanggulangan Kejahatan Jalanan (Street Crimes), hal. 12
7
Ibid, hal. 13
5
4
pidana dalam mencegah kejahatan terhadap anak. (2) Agar memberikan gambaran
terhadap bagaimana model hukuman alternatif yang tepat dalam upaya mencegah
kejahatan terhadap anak untuk pembaharuan hukum pidana yang akan datang.
II.
METODE PENELITIAN
Metode pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis-empiris. Pendekatan yuridis digunakan untuk mendekati masalah dari aspek
peraturan perundang-undangan. Pendekatan empiris dimaksud adalah sebagai usaha
mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan
kenyataan yang hidup di masyarakat. Jadi penelitian dengan pendekatan empiris harus
dilakukan di lapangan.8 Intinya, metode pendekatan ini digunakan untuk mengetahui
seberapa besar peran dari sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan terhadap anak.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deksriptif. Dalam penelitian ini, penulis ingin
berusaha mendekripsikan mengenai pengimplementasian kebijakan penal guna
menanggulangi kejahatan terhadap anak dan bagaimana model hukuman alteratif yang
tepat dari kebijakan penal apabila kebijakan tersebut tidak mampu sesuai dengan tujuan
kebijakan penal itu sendiri.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik
wawancara dan studi kepustakaan. Analisis data menggunakan metode analisis
kualitatif. Lokasi penelitian ini difokuskan pada lembaga-lembaga yang bergerak di
bidang perlindungan perempuan dan anak yakni LSM Spek-HAM dan Unit PPA
Polresta Surakarta. Jenis data dari penelitian ini adalah (1) Data primer (wawancara
dengan penyidik Unit PPA Polresta Surakarta dan LSM Spek-HAM), (2) Data sekunder
8
Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung: Mandar
Maju, 1995, hal. 60-61.
5
meliputi KUHAP, KUHP, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Sistem
Peradilan Anak yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 35 tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak, dan PERPU Nomor 1 Tahun 2016 serta literatur-literatur
yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini.
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Setelah dilakukan pembahasan dengan metode penelitian di atas, maka hasil
penelitian yang didapatkan adalah sebagai berikut:
A.
Kebijakan Penal dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan Terhadap
Anak
Hasil dari wawancara yang dilakukan ditemukan bahwa angka tindak kekerasan
terhadap anak masih sangat tinggi meskipun aturan hukum tentang perlindungan anak
sudah mengatur dengan sanksi yang sangat tinggi. Berikut data kasus yang masuk ke
Unit PPA Polresta Surakarta:
Data perbandingan perkara Unit PPA Polresta Surakarta
PERKARA
NO
2011
2012
2013
2014
2015
1
Perkosaan
8
-
8
9
2
Cabul
7
11
7
7
3
Penelantaran Anak
-
-
-
4
Penganiayaan Anak
2
2
2
5
5
Melarikan Anak
3
4
3
2
6
Perdagangan Anak
1
-
1
1
7
Perdagangan Perempuan
1
5
1
-
8
Penganiayaan/KDRT
26
29
25
28
9
Penelantaran Istri
1
-
1
-
10
Lain – lain
12
6
12
15
57
60
67
Jumlah
2016
6
Sumber : Unit PPA Polresta Surakarta
Mendasar pada data di atas, tindak kekerasan yang sering terjadi di Kota Surakarta
adalah kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT. Diikuti dengan tindak kejahatan
pemerkosaan dan pencabulan. Dapat diperhatikan jika tingkat tindak pidana yang
melibatkan anak sebagai korban meningkat setiap tahunnya. Dan itu sudah menjadi
permasalahan yang sangat memprihatinkan
Data perkara yang ditangani Unit PPA Polresta Surakarta
PERKARA
NO
JAN
FEB
MAR
APR
MEI
JUN
JUL
1
Perkosaan
-
-
2
-
1
-
-
2
Cabul
-
-
4
-
-
2
1
3
Penelantaran Anak
-
-
-
-
-
-
-
4
Penganiayaan Anak
1
4
-
1
2
-
-
5
Melarikan Anak
-
-
-
-
-
-
-
6
Perdagangan Anak
-
-
-
1
-
-
-
7
Perdagangan Perempuan
-
-
1
-
-
-
-
8
Penganiayaan/KDRT
4
1
1
-
2
1
-
9
Penelantaran Istri
-
-
-
-
-
-
-
10
Lain – lain
1
1
-
1
1
1
1
Jumlah
6
6
8
3
6
4
2
Sumber : Unit PPA Polresta Surakarta
Berdasarkan data di atas, menjelaskan jenis kejahatan yang ditangani oleh Unit
PPA Polresta Surakarta. Dengan kejahatan pencabulan yang paling sering mendominasi
penanganannya. Apabila melihat dari data Unit PPA Polresta Surakarta diatas, pada
tahun pada bulan maret terdapat 4 kasus pencabulan yang terjadi di wilayah hukum
polresta surakarta. Dari fakta tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kejahatan
kekerasan terhadap anak terutama kekerasan seksual masih sering terjadi. Sehingga
7
bentuk kondisi kenyamanan dan keamanan di masyarakat terutama untuk anak-anak
masih belum terjamin.
Sistem perundangan-undangan tentang perlindungan anak dewasa ini semakin
menjerat dengan hukuman yang seharusnya dirasa cukup dapat memberikan efek jera
bagi pelaku dan calon pelaku, akan tetapi dengan masih banyaknya kecenderungan
pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak terutama kekerasan seksual masih tinggi,
sudah tentu bisa diambil kesimpulan bahwa sudah sesuaikah pemberian sanksi pidana
penjara yang begitu lama dengan tujuan dari kebijakan penal atau penggunaan hukum
pidana. Akan tetapi, hukuman pidana penjara sangatlah masih diperlukan.
Menurut Herbert L. Pecker yang juga membicarakan masalah pidana ini dengan
segala keterbatasannya di dalam bukunya The Limits of Criminal Sanction, akhirnya
menyimpulkan antara lain sebagai berikut:9 (1) Sanksi pidana sangatlah diperlukan, kita
tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana; (2) Sanksi
pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk
menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancamanancaman dari bahaya; (3) Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama
atau terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan
manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara
manusiawi; ia merupaka pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara
paksa.
Wawancara yang penulis lakukan dengan Manager Divisi Pencegahan dan
Penanganan Kasus LSM Spek-HAM Fitri Haryani mengungkapkan jika untuk kasus
9
Herbert L. Packer, 1968, The Limits of Criminal Sanction, Standford University Press, California, hal.
364-366.
8
kekerasan terhadap anak terlebih kekerasan secara seksual dari tahun ke tahun semakin
meningkat. Pelaku biasanya adalah orang terdekat dari anak tersebut. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia melalui Ketua Asrorun Ni’am Sholeh berpendapat bahwa
tingkat kekerasan anak di Indonesia masih tinggi dan banyak dari kasusnya adalah
dilakukan oleh orang terdekat dari anak itu sendiri. Setiap tahun angka kekerasan
terhadap anak mencapai 3.700 dan rata-rata terjadi 15 kasus setiap harinya.10
Tahun
Prosentase Jenis
Kasus
859 (42%)
Pelaku
Jenis Kejahatan
2010
Jumlah kasus
yang terjadi
2046
Orang Terdekat
Pelecehan terhadap anak
2011
2426
1407 (58%)
Orang Terdekat
Pelecehan terhadap anak
2012
2637
1634 (62%)
Orang Terdekat
Pelecehan terhadap anak
2013
3339
2070 (52%)
Orang Terdekat
Pelecehan terhadap anak
2014
3726
1751 (47%)
Orang Terdekat
Pelecehan terhadap anak
2015
4725
2409 (51%)
Anak dibawah 14
Tahun
Pelecehan terhadap anak
Sumber: KPAI
Data di atas telah cukup membuktikan bahwa hukum yang ada saat ini masih
dirasa belum bisa memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan kekerasan terhadap
anak.
1.
Ketentuan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak
Ketentuan hukum untuk menanggulangi kejahatan kekerasan terhadap anak
telah banyak dirumuskan ke dalam beberapa sistem perundang-undangan
berdasarkan jenis tindak pidananya. Berdasarkan kejahatan-kejahatan yang terjadi
di Kota Surakarta sebagaimana di atas, berikut akan dijabarkan dalam tabel delik
dan sanksi yang menjerat pelaku tindak kekerasan terhadap anak.
10
Tempo.Co,
https://m.tempo.co/read/news/2016/04/26/173765863/kpai-kekerasan-terhadapanak-di-indonesia-masih-tinggi, diakses pada 28 November 2016 Jam 20.00 WIB.
9
a. Tabel 1 dalam KUHP:11
KUHP
No
Delik
Pasal (dalam KUHP)
Sanksi
1 Kekerasan dalam rumah tangga
-
-
2 Penelantaran anak
-
Penjara maksimal 7
tahun
Penjara 12 tahun
3 Pencabulan
Pasal 294
4 Perkosaan
Pasal 285
5 Penganiayaan Anak
Penjara 8 bulan
7 Perdagangan Anak
Pasal 351
Pasal 332 ayat (1)
angka 1
-
8 Kekerasan seksual
Pasal 285
Penjara 12 tahun
6 Melarikan Anak
9 Persetubuhan
Penjara 7 tahun
-
-
-
Perlindungan Anak tidak hanya diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana saja, melainkan juga di dalam banyak sistem perundang-undangan antara lain:
(1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak yang telah
dirubah menjadi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Undang-undang Nomor 1
Tahun 2016 Tentang Tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003
Tentang Perlindungan Anak; (2) Undang-undang 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Berikut table klasifikasinya:
UNDANG-UNDANG
Delik
NO
Sanksi
Pasal dalam Undang-undang
Kekerasan dalam
Pasal 44 ayat (1) UU KDRT
1 rumah tangga
Pasal 76C UU Perlindungan
Penelantaran anak
2
Anak
Pasal 82 UU Perlindungan
Pencabulan
3
anak
Perkosaan
4
11
Pasal 81 ayat (1)
Perlindungan Anak.
Penjara 5 tahun atau denda Rp.
15.000.000.000
Penjara maksimal 15 tahun
Penjara maksimal 15 tahun dan
denda Rp. 15.000.000.000
Penjara 5 tahun dan maksimal
UU
15 tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000
KUHP
10
Penganiayaan Anak
5
6 Melarikan Anak
Perdagangan Anak
7
8
9
b.
Kekerasan seksual
Persetubuhan
Pasal 80 ayat (1)
Perlindungan Anak
-
UU Penjara 3 tahun 6 bulan dan/atau
denda Rp. 72.000.000.000
Penjara mininal 3 tahun dan
maksimal 15 tahun dan denda
Pasal 83 UU Perlindungan
paling sedikit Rp. 60.000.000
Anak
dan
paling
banyak
Rp.
300.000.000
Penjara 12 tahun atau denda Rp.
Pasal 46 UU KDRT
36.000.000.000
Pasal 82 UU Perlindungan Penjara maksimal 15 tahun dan
anak
denda Rp. 15.000.000.000
Tabel 2 dalam perundang-undangan :
Berdasarkan pada dua tabel di atas, dapat dijelaskan klarifikasi delik-delik tentang
kejahatan kekerasan baik kekerasan terhadap fisik maupun seksual terhadap anak yang
diatur baik di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana maupun di dalam sistem
perundang-undangan. Dari begitu banyaknya perbuatan yang mendapatkan sanksi yang
cukup berat, penerapan sanksi baik dari sanksi dalam KUHP maupun sanksi dalam
undang-undang,
dapat
diketahui
bahwa
ancaman
yang
diterapkan
mungkin
memberatkan bagi para pelaku dan memberikan dampak psikis, akan tetapi jika melihat
peruntukan bagi masyarakat, mereka belum dapat dikatakan terbebas dari ancaman
pelaku-pelaku yang lainnya. Penjelasan delik kejahatan terhadap anak sebagaimana
dijabarkan di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa sudah sesuaikah pemberian sanksi
pidana bagi para pelaku dengan lamanya waktu dan besarnya denda
Salah satu usaha penanggulangan kejahatan adalah menggunakan pidana dengan
sanksinya berupa pidana penjara. Namun demikian, usaha ini sering dipersoalkan.
Perbedaan mengenai peranan pidana dalam menghadapi masalah kejahatan ini, menurut
Inkeri Anttila, telah berlangsung beratus-ratus tahun.12 Menurut Herbet L. Packer, usaha
12
Inkeri Anttila, 1976, A New Trend in Criminal Law in Finland, dalam Criminoliy Between the Rule of
Law and The Outlaws, edited by Jaspere, Van Leeuwen Burow and Toornvilet, Kluwer, Deventer, hal.
145.
11
pengendalian perbuatan anti sosial dengan mengenakan pidana pada seseorang yang
bersalah melanggar peraturan pidana, merupakan “suatu problem sosial yag mempunyai
dimensi hukum yang penting”.13 Diperlukannya sebuah bentuk hukum yang baru, tidak
lepas dari adanya kekurangan dari hukum yang telah ada. Berikut keunggulan dan
kekurangan hukuman yang ada saat ini:
Hukuman pidana penjara memiliki beberapa tujuan antar lain:14 (1) Agar
masyarakat mengetahui bahwa hukum itu harus dipatuhi; (2) Agar orang lain tidak
terpengaruh dari sifat jahat dari pelaku; (3) Agar orang atau pelaku tidak melarikan diri;
(4)
Agar
pelaku
mempertanggungjawabkan
perbuatannya;
(5)
Agar
pelaku
mendapatkan pembinaan yang efektif dan efisien; (6) Agar rasa keadilan korban
terpenuhi
Akan tetapi, hukuman pidana penjara tidak pernah lepas dari kekurangan dan juga
kelebihan dari hukuman tersebut. Berikut kelebihan dan kekurangan dari hukuman
pidana penjara:
Keunggulan Pidana Penjara
Pidana penjara memiliki peran
fungsi
untuk
bagaimana
mengawasi
pelaku
yang
bersangkutan dan melakukan
pembinaan terhadap narapidana.
Kekurangan Pidana Penjara
Sarana bangunan yang dimiliki
saat
ini
adalah
bangunan
peninggalan dari pemerintahan
kolonial
belanda.
Sehingga
kondisi
bangunan
patut
dipertanyakan.
13
Herbert L. Packer, 1968, The Limits of Criminal Sanction, Standford University Press, California, hal.
3.
14
C. Djisman Samosir, 2012, Sekelumit Tentang Penologi dan Pemasyarakatan, Bandung: Nuansa Aulia
hal. 59
12
Kemungkinan melakukan
pengawasan terhadap kejahatan
bisa dipersempit ruang geraknya
karena pelaku berada didalam
penjara.
Lembaga pemasyarakatan tidak
disiapkan untuk menampung para
narapidana
yang
seiring
berjalannya
waktu semakin
bertambah jumlahnya.
Dengan pengawasan yang sangat
ketat, kecil kemungkinan
kesempatan melarikan diri
pelaku.
Sering terdapat adanya narapidana
yang
spesial
sehingga
menimbulkan kecemburuan antar
narapidana.
Mengurangi minat masyarakat
untuk melakukan tindak pidana
kejahatan
Kontrol yang kurang dalam
mengawasi
petugas
dan
narapidana, sehingga lembaga
pemasyarakatan
cenderung
menjadi
tempat
peredaran
narkoba.
Dengan adanya pidana penjara,
pelaku tidak memiliki
kesempatan untuk mempengaruhi
masyarakat untuk melakukan hal
yang sama
.
Keadilan yang diharapkan oleh
korban kejahatan dapat terpenuhi
Sering timbul kericuhan antar
narapidana yang timbul akibat
perasaan tertekan dan sifat ingin
berkuasa.
Stigma buruk yang diterima oleh
narapidana ketika bebas dari
lembaga pemasyarakatan
Selain hukuman pidana penjara, hukuman tambahan berupa kebiri kimiawi pun
akhirnya dipergunakan meskipun belum ada putusan pengadilan yang memutuskan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 81 ayat 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016
Tentang Perubahan kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Kebiri sendiri terdapat dua metode yakni kebiri secara operasi dan
kebiri secara kimiawi. Berikut alasan kebiri kimawi lebih tepat untuk diterapkan
terhadap pelaku kekerasan seksual anak:15
15
Siddi Khudalkar, 2016, The World Journal on Juristic Polity: Chemical Castration Suitable Punishment
For Phedophilies, National Law School of India University, hal. 2
13
-
Reversible and not permanent
Chemical castration is neither alteration nor sterilization. Unlike
surgical castration, chemical castration is reversible once the treatment
is stopped, thus its use has hardly any impact on person’s right to
procreate.
(Kebiri kimiawi bukan merupakan alternatif atau sterilisasi. Tidak seperti
operasi kebiri, kebiri
kimiawi merupakan sesuatu
yang dapat
dikembalikan ketika prosesnya berhenti, akan tetapi tetap menimbulkan
efek yang berat untuk seorang laki-laki menjadi seorang ayah)
-
Low recidivism rate
In a case of pedophiles, it is their irresistible sexual desire for children
that make them commit a crime. Even if a pedophile is imprisoned, after
the end of sentence probability of commission of a crime for a male
pedophile is very high. After voluntary chemical castration, it was
reduced from up to 50%. In Denmark, recidivism rate reduced from up to
50% to 1,1%.
(Dalam kasus pedofilia, hasrat seksual mereka terhadap anak-anak yang
tidak dapat dikendalikan membuat mereka melakukan kejahatan. Bahkan
jika seorang pedofilia masuk penjara, setelah mereka menyelesaikan
masa tahanannya, kemungkinan terjadinya kejahatan yang sama sangat
tinggi. Setelah melakukan kebiri kimiawi secara sukarela, kejahatan
menurun sebanyak 50%. Di Denmark, angka residivis kejahatan seksual
turun dari angka 50% ke 1,1%.
-
Reversible side effects
Opponents of chemical castration argue that it has serious physilogical
effects namely, headache, loss of body weight, hyperglycemia, high basal
body temperature, fatigue and lethargy, diabetes mellitus etc. But they
are very rare and revocale once the treatment is stopped. It is usually
misbelieved that chemical castration leads to impotency and lack of
erecction and ejaculation when under medication. But patients
undergoing MPA treatment do not get abnormal abrupt erections and
14
ejaculations but have no problem when promoted by researcher or
partner.
Mengenai penghukuman dengan cara pidana tambahan kebiri, banyak kalangan
masih meragukan mengenai keefektifitasan dari hukuman kebiri ini apabila hukuman
tersebut diterapkan. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan bahwa mereka enggan
melakukan hukuman kebiri terhadap para pelaku kejahatan terhadap anak terutama
kekerasan seksual.16 Menurut Seksolog dr. Boyke, bahwa kebiri kimiawi ini justru akan
membuat si pelaku semakin merasa kesakitan dan pelaku akan menaruh dendam
menaruh dendam. Sebagaimana wawancara dengan Manager Divisi Pencegahan dan
Penanganan Kasus Berbasis Masyarakat Spek-HAM Surakarta, Fitri Haryani bahwa
dengan diterapkannya hukuman pidana tambahan kebiri kimiawi, belum memberikan
jaminan akan menurunnya tingkat kejahatan terhadap anak.
Hukuman kebiri juga dianggap melanggat HAM. Berdasarkan Pasal 4 Undangundang HAM menyebutkan sejumlah hak asasi yang bersifat mutlak, tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Hak-hak tersebut antara lain:17 (1)
Hak untuk hidup; (2) Hak untuk tidak disiksa; (3) Hak kebebasan pribadi, pikiran dan
hati nurani; (3) Hak beragama; (4) Hak untuk tidak diperbudak.
Meskipun telah diatur hak-haknya, hal tersebut dapat tidak berlaku ketika
seseorang tersebut menjadi pelaku dari tindak pidana kejahatan seksual yang telah
merenggut hak asasi dari korban.
16
http://nasional.kompas.com/read/2016/07/25/17432961/idi.tegaskan.tidak.mau.didorong.jadi.eksekutor.
kebiri, diakses pada Jum’at 21 April 2017 Pukul 11.03 WIB.
17
O.C. Kaligis, 2013, HAM & Peradilan HAM, Jakarta: Yarsif Watampone, hal. 15
15
B.
Model Kebijakan Penal dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan
Terhadap Anak
Penerapan pidana penjara sangat berkaitan erat dengan sistem perumusan
ancaman pidana itu sendiri. Baik didalam KUHP maupun Undang-undang. Untuk itu,
guna membahas permasalahan yang dikemukakan di atas, pertama-tama meninjau
dahulu kebijakan penal yang selama ini menjadi dasar hukum dalam menanggulangi
permasalahan khususnya kasus kejahatan terhadap anak baik yang terdapat di dalam
KUHP maupun di luar KUHP.
Pola Jenis Sanksi Pidana (Pasal 10 KUHP), Jenis sanksi yang digunakan di dalam
KUHP, terdiri dari jenis pidana dan tindakan yang terdiri dari: (1) Pidana: Pidana Mati,
Penjara, Kurungan, Denda dan Tutupan; (2) Pidana Tambahan: Pencabutan hak-hak
tertentu, Perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.18
Berikut Tabel klarifikasi bobot delik:
Bobbot Delik
Jenis Pidana
Sangat Ringan
Denda
Keterangan
-
Perumusannya tunggal
Denda Ringan
Berat
Penjara dan Denda
Perumusannya alternatif
Penjara 1-7 tahun
Sangat Serius
- Penjara
Perumusannya tunggal
- Mati
Dapat
diakumulasikan
dengan denda
Konsep atau model hukuman yang seharusnya dibentuk untuk melindungi anak
adalah hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Karena secara tidak
langsung, hak hidup anak yang menjadi korban kekerasan seksual sudah hilang karena
dirampas secara paksa oleh para pelaku. Kejahatan seksual terhadap anak sama halnya
dengan tindak pidana pembunuhan berencana di KUHP. Karena apabila yang menjadi
korban meninggal, berarti korban tersebut meninggal karena telah direncanakan oleh
18
KUHP
16
pelaku.19 Hukuman mati tidak diberlakukan untuk semua pelaku kekerasan seksual
terhadap anak, akan tetapi diberlakukan hanya untuk pelaku dewasa saja. Hukuman
mati pernah dijatuhkan oleh hakim kepada salah satu terdakwa pelaku kejahatan seksual
yang menimpa anak bernama Yuyun. Dan diharapkan putusan ini menjadi yurisprudensi
untuk menindak para pelaku dan calon pelaku supaya tidak melakukan tindak pidana
yang sama agar timbul efek jera.
Perkembangan terakhir, keabsahan dari hukuman mati ini terus dipertanyakan.
Hal ini terkait dengan pandangan Hukum Kodrat yang menyatakan bahwa jika hak
untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas
dan dikurangi dengan alasan apapun oleh siapapun, atas nama apapun, bahkan oleh
negara sekalipun.
Berikut beberapa pandangan tentang hukuman mati:20
a.
Sudut Pandang Konstitusi dan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28A yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk
hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Dan juga pasal
28I ayat 1 yang berbunyi:
“ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.”
19
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160511180458-12-130047/kejaksaan-segeratuntut-mati-pelaku-kekerasan-seksual-anak/, diakses pada 4 Januari 2017 pukul 12.00 WIB.
20
https://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-hukuman-matideath-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-indonesia/,
diakses
pada
4
Januari 2017 pukul 12.00 WIB.
17
Berdasarkan pada dua pasal tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pandangan
tentang hak-hak individu yang dianut oleh Indonesia mengakui bahwa “Hukum Kodrat”
itu ada dan melekat. Dan telah diatur di dalam konstitusi Negara Indonesia. Akan tetapi,
meskipun telah ada perubahan nilai dasar hukum sebagaimana di atas, seharusnya
membawa konsekuensi adanya amandemen atau perubahan terhadap seluruh sistem
perundang-undangan yang masih memasukkan unsur hukuman mati sebagai salah satu
bentuk penghukuman karena bertentangan dengan konstitusi. Sistem perundangundangan yang masih menerapkan hukuman mati antara lain: (1) Undang-undang No 15
Tahun 2003 Tentang penerapan Perpu No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Yang mana dalam undang-undang ini, pemberlakuan
hukuman mati terdapat dalam pasal 6, 8, 10, 14, 15, dan 16; (2) KUHP pada pasal 104
tentang kejahatan terhadap keamanan negara dan pasal 340 tentang pembunuhan
berencana masih mencantumkan hukuman mati sebagai hukuman maksimum; (3)
Undang-undang No 5 Tahun 1997 Tenang Psikotropika Pasal 59
Perkara tentang hukuman mati sebagai pelanggaran HAM pernah diperkarakan
oleh terpidana mati kelompok Bali Nine ke Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi,
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM karena
kualifikasi kejahatan pada pasal-pasal dalam undang-undang narkotika dapat
disetarakan sebagai “The most serious crime” dan hal ini yang menjadi pertimbangan
dalam putusan Mahkamah Konstitusi No 2-3/PUU-V/2007.
18
b.
Sudut Pandang Hukum HAM Internasional
Hukuman mati adalah sebuah penghukuman dan menjadi sebuah isu yang paling
kontroversialdalam Kovenan Internasiona Hak-hak Sipil dan Politik yang telah
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia (International Covenant on Civil and Political
Rights). Meskipun Hak Hidup diakui sebagai Non-derogable Rights atau hak yang tidak
dapat dikurangi, akan tetapi pada Pasal 6 (ayat2, 4 dan 5) dinyatakan bahwa hukuman
mati tersebut masih diperbolehkan.
Pasal 6 ayat (2)
“Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati
hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan
hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak
bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan
Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar
keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.”
Pasal 6 Ayat (4)
“Setiap orang yang telah dijatuhi hukum mati berhak untuk memohon pengampunan
atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman mati
dapat diberikan dalam semua kasus.”
Pasal 6 ayat (5)
“Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang
di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan
yang tengah mengandung.”
Tafsir progresifnya secara implisit menunjukan bahwa sebenarnya Kovenan Hakhak sipil dan politik bukan membenarkan praktek hukuman mati, akan tetapi berusaha
untuk menekan, memperketat, dan memperkecil lingkup praktek hukuman mati. Untuk
memahami teks pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tentang hukuman
mati, PBB juga mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan bagi
19
Mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Safeguards Guaranteeing Protection of the
Rights of Those Facing the Death Penalty) melalui Resolusi Dewan Ekonomi Sosial
PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984). Panduan ini memperjelas pembatasan praktek
hukuman mati menurut Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik .
Pembatasan praktek hukuman mati tersebut antara lain: (1) Di negara yg belum
menghapuskan hukuman mati, penerapannya hanya bisa berlaku bagi ‘kejahatan yang
paling serius, yang kategorinya harus sesuai dengan tingkat konsekwensi yang sangat
keji; (2) Hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum dalam
produk hukum tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif (berlaku surut) pada saat
kejahatan tersebut dilakukan. Dan jika di dalam produk hukum tersebut tersedia
hukuman yang lebih ringan, maka yang terakhir ini yang harus diterapkan; (3)
Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18 tahun pada saat ia
melakukan kejahatan tersebut. Hukuman mati tidak boleh diterapkan kepada perempuan
yang sedang hamil atau ibu yang baru melahirkan. Hukuman mati tidak boleh
dijatuhkan kepada orang yang cacat mental atau gila;
Selanjutnya, (4) Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku
sudah tidak menyediakan sedikitpun celah yang meragukan dari suatu fakta atau
kejadian; (5) Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum
yang final lewat sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin seluruh prinsip fair
trial, paling tidak sesuai dengan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan
Politik, termasuk pada setiap kasus yang diancam hukuman mati, seorang terdakwa
harus disediakan pembelaan hukum yang memadai; (6) Seseorang yang dijatuhi
hukuman mati berhak untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi dan
20
banding tersebut bersifat imperatif/wajib; (7) Seseorang yang dijatuhi hukuman mati
berhak untuk mengajukan pengampunan, atau perubahan hukuman. Hal ini harus
mencakup semua jenis kejahatan; (8) Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk
membatalkan upaya pengajuan pengampunan atau perubahan hukuman; (9) Ketika
eksekusi mati dijalankan, metodenya harus seminimal mungkin menimbulkan
penderitaan.
c.
Hukuman Mati dari Pandangan Islam
Dalam berbagai kitab-kitab fiqih, pembahasan tentang hukuman mati menjadi
bagian dari pembahasan tentang kriminalitas (Al-Jinayah), seperti Pencurian (AlSariqah), minuman keras (Al-Khamr), perzinahan (Al-Zina), hukum timbal balik (AlQishas), Pemberontakan (Al-Bughat), dan perampokan (Qutta’u tariq). Dalam wilayah
lain, hukuman mati juga dijatuhkan kepada pelaku perzinaan dalam bentuk dilempar
batu hingga mati (al-rajam) untuk pelaku perzinaan yang sudah menikah. Juga
hukuman mati dilakukan dalam kasus pemberontakan (al-bughat) dan pindah agama
(al-riddah) yang dikenal sebagai hukuman (al-had/al-hudud) atas pengingkaran
terhadap Islam.
Hukuman mati merupakan hukuman puncak, terutama untuk tindak pidana yang
dinyatakan sangat berbahaya seperti pembunuhan (al-qital) dimana jika tidak ada
pengampunan dari pihak keluarga dengan membayar denda pengganti (al-diyat), maka
pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati sebagai bentuk hukum balas/timbal balik (alqishas). Dalam konsepsi ini, maka kejahatan dibalas dengan hukuman yang serupa.
Dalam kasus penetapan hukuman mati (al-qishas), ditetapkan beberapa syarat antara
lain: bahwa yang bersangkutan telah melakukan pembunuhan terhadap yang tak “boleh”
21
(haq) dibunuh, atau orang yang “boleh” (haq) dibunuh, akan tetapi belum diputuskan
oleh hakim. Pelaku bisa dihukum mati dengan ketentuan bahwa pada saat melakukan
kejahatan telah cukup umur (baligh) dan berakal (aqil).
Dalam Islam hukuman mati hanya bisa ditegakkan oleh pemerintahan Islam,
dimana konstitusi dan undang-undang yang berlaku adalah hukum Islam. Itu pun harus
melalui mekanisme peradilan, bukan semata-mata bersandar pada fatwa seorang ulama.
Hukuman mati pun hanya berlaku berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang sangat
ketat, seperti konteks yang melatarbelakangi terjadinya suatu tindakan pidana yang
diancam hukuman mati. Hukum Islam (al-fiqh) membedakan antara mereka yang
sengaja, tidak disengaja, terpaksa atau bahkan dipaksa untuk melakukan suatu tindak
pidana yang membawa konsekuensi jatuhnyah hukuman mati. Dalam kondisi-kondisi
demikian, putusan untuk menjatuhkan hukuman mati dapat dipertimbangkan kembali.
Penerapan saksi pidana penjara memang menjadi sebuah bentuk primadona dari
hukum pidana itu sendiri. Akan tetapi, pidana penjara belum memberikan sebuah
bentuk efek jera karena masih tingginya angka kejahatan kekerasan terhadap anak
terkhusus kekerasan seksual. Bentuk model kebijakan penal tentang hukuman mati
untuk pelaku kekerasan terhadap anak terlebih kekerasan seksual belum dirumuskan
didalam undang-undang tentang perlindungan anak.
Meskipun undang-undang tentang perlindungan anak yang baru telah disahkan,
akan tetapi belum memuat tentang hukuman mati. Pasal yang dijadikan dasar untuk
memutus hukuman mati untuk pelaku pemerkosaan terhadap Yuyun adalah Pasal 340
KUHP Tentang pembunuhan dengan berencana. Padahal tindak pidana kekerasan
terhadap anak termasuk extra ordinary crime yang memerlukan dasar hukum tersendiri
22
dikarenakan yang menjadi pelaku tidak hanya orang dewasa, melainkan juga anak-anak.
Model penghukuman untuk pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak yang sesuai
untuk mencapai tujuan dari kebijakan penal yakni memberikan efek jera adalah
hukuman mati.
Meski begitu, tidak semua kejahatan seksual terhadap anak dapat dijatuhi
hukuman mati. Ada unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh seorang pelaku dalam
melakukan perbuatan pelecehaan seksual terhadap anak seperti anak yang menjadi
korban masih sangat kecil, pelaku berstatus masih keluarga dari korban, dan
dibunuhnya korban untuk menghilangkan barang bukti. Berbeda ketika justru korbanlah
yang memaksa pelaku untuk melakukan pelecehan seksual. Maka dari itu, hakim harus
benar-benar melakukan pertimbangan yang matang untuk menerapkan hukuman mati
untuk tindak pidana ini sehingga rasa keadilan benar-benar tercipta.
IV.
PENUTUP
IV.1. Kesimpulan
Pertama, penerapan sanksi pidana (pidana penjara) sebagai sebuah bentuk dari
upaya penanggulangan kejahatan kekerasan terhadap anak belum memiliki dampak
yang signifikan untuk menekan angka kualitas dari kejahatan tersebut. Hal ini dapat
dibuktikan dengan masih tingginya angka tindak kekerasan terhadap anak yang terjadi.
Hukuman pidana penjara hanya menciptakan sebuah kondisi perlindungan yang sesaat
kepada masyarakat dari tindakan kejahatan kekerasan terhadap anak terlebih tindak
kekerasan seksual, juga belum dapat memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan.
Kedua, penerapan pidana penjara yang belum memungkinkan untuk tercapainya
efek jera dari pelaku, maka dari itu diperlukan sebuah bentuk model kebijakan penal
23
yang baru yang mempunyai tujuan memberikan perlindungan kepada masyarakat
terlebih untuk anak-anak mereka. Meskipun pemerintah saat ini telah mensahkan
undang-undang No 1 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak yang memfokuskan pada
pemberian hukuman tambahan yakni penanaman chip pada pelaku, pengumuman
identitas pelaku dan hukuman kebiri kimia. Akan tetapi, penghukuman yang semacam
itu masih dirasa belum bisa memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan kekerasan
terhadap anak. terlebih kekerasan seksual. Karena, semua tindak kejahatan tersebut
berasal dari pikiran atau otak meskipun alat yang digunakan telah tidak berfungsi. Maka
dari itu, model kebiakan penal yang dirasa cukup dapat memberikan efek jera terhadap
pelaku kekerasan terhadap anak terlebih kekerasan seksual adalah hukuman mati.
Ketiga, dengan diterapkannya hukuman pidana tambahan berupa kebiri kimiawi
juga merupakan langkah yang berani yang diambil oleh pemerintah Indonesia
Dikarenakan sudah sangat tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak. Negara
Amerika Serikat telah menjalankan hukuman kebiri kimiawi sejak tahun 1944
dikarenakan tingginya angka kejahatan kekerasan seksual terhadap anak. dan angka
residivis pelaku tindak pidana tersebut turun menjadi 50%.
Keempat, Penerapan hukuman kebiri kimiawi di Indonesia sangatlah tidak tepat.
Karena hal tersebut melanggar Pasal 28B ayat (1) Undang-undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945. Di dalam Pasal tersebut, warga negara memiliki hak untuk
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah.
24
IV.2. Saran
Pertama, kepada pemerintah selaku pemegang kekuasaan dalam menyusun sistem
perundang-undangan yang akan mengatur sebuah tindak pidana, harus melakukan
penelitian dan survey guna mengetahui bagaimana dampak yang ditimbulkan dari
hukuman yang akan dibentuk. Penambahan hukuman seperti Hukuman kebiri dll
tersebut, tidak lantas akan memberikan efek jera kepada pelaku dan membuat gentar
calon pelaku kejahatan. Karena kejahatan terhadap anak terlebih kejahatan seksual
merupakan sebuah tindakan yang sudah tidak masuk akal dan sudah merenggut hak
hidup dari anak tersebut secara tidak langsung. Dengan demikian, diperlukan sebuah
hukuman yang dapat langsung memberikan efek jera terhadap pelaku yakni hukuman
mati.
Kedua, kepada lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan lembaga-lembaga
kemanusiaan untuk mengurangi angka kejahatan disebuah daerah, diperlukan adanya
sosialisasi dan kerja sama baik dari pemerintah daerah dan masyarakat untuk melakukan
tindakan preventif seperti pendidikan tentang seks dini terhadap anak. Dan juga peran
dari orang tua dalam mengawasi dan menjaga pergaulan lingkungan anak sehingga anak
menjadi aman dan terlindungi.
Ketiga, Pendidikan tentang agama serta keharmonisan oleh pihak keluarga,
menjadi benteng pertama dalam melakukan tindakan preventif untuk menghindari
tindak kejahatan kekerasan seksual. Serta pemilihan tempat tinggal dengan lingkungan
yang nyaman dan aman.
25
V.
Persantunan
Selesainya tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, motivasi, petunjuk dan arahan
dari semua fihak, penulis menghaturkan terimakasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada yang terhormat: (1) Prof. Dr. H. Khudzaifah Dimyati, SH., M.Hum,
selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta; (2) Ibu
Wardah Yuspin, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta; (3) Dr. Natangsa Surbakti, SH., M.Hum, selaku Dosen
Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, masukan dan koreksi sampai
selesainya tesis ini; (4) Ir. Dr. Imam Hardjono, M.si selaku Dosen Pembimbing II yang
telah memberikan bimbingan, masukan dan koreksi sampai selesainya tesis ini; (5)
Bapak dan Ibu dosen Magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Surakarta yang telah memberikan ilmu dan bimbingan selama penulis
mengikuti perkuliahan; (6) Seluruh staf Tata Usaha Magister Ilmu Hukum pada
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta yang telah membantu
selama mengikuti perkuliahan; (7) Bapak Yusuf Ibrahim, S.Psi dan Ibu Siti Qomariyah,
SH yang selalu menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan karya tulis ini; (8)
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu baik
secara moril maupun materiil.
26
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Hadikusuma, Hilman. 1995. Metode Pembuatan kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Bandung: Mandar Maju
Inkeri Anttila, 1976, A New Trend in Criminal Law in Finland, dalam Criminoliy
Between the Rule of Law and The Outlaws, edited by Jaspere, Van Leeuwen Burow
and Toornvilet, Kluwer, Deventer
Kaligis, O.C. 2013, HAM & Peradilan HAM, Jakarta: Yarsif Watampone
Nawawi, Barda. 2010. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara. Genta Publishing: Yogyakarta
Packer, Herbert L. 1968. The Limits of Criminal Sanction, Standford University Press,
California
Samosir, Djisman C. 2012. Sekelumit Tentang Penologi dan Pemasyarakatan,
Bandung: Nuansa Aulia.
Waluyo, Bambang. 2011. Victimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika: Jakarta
Jurnal Hukum
Munawara, dkk. Bagian Hasanudin Makassar dan Bagian Hukum Masyarakat dan
Pembangunan Fakultas Hukum Univ.Hasanudin Makassar. Pendekatan Restorative
Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak di Kota Makassar
Khudalkar, Siddi. 2016. The World Journal on Juristic Polity: Chemical Castration Suitable
Punishment For Phedophilies, National Law School of India University.
27
Web Site
Tempo.Co,
https://m.tempo.co/read/news/2016/04/26/173765863/kpai-kekerasanterhadap-anak-di-indonesia-masih-tinggi, diakses pada 28 November 2016 Jam
20.00 WIB.
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160511180458-12-130047/kejaksaan-segeratuntut-mati-pelaku-kekerasan-seksual-anak/, diakses pada 4 Januari 2017 pukul
12.00 WIB.
https://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-hukumanmati-death-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-indonesia/,
diakses pada 4 Januari 2017 pukul 12.00 WIB.
http://nasional.kompas.com/read/2016/07/25/17432961/idi.tegaskan.tidak.mau.didorong
.jadi.eksekutor.kebiri, diakses pada Jum’at 21 April 2017 Pukul 11.03 WIB.
28
Download