Ketiadaan Peran Dinas Sosial Kabupaten Poso dalam

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan pemilihan judul
Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap
anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap
anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut
meminta.1 Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya
perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak
(fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan
yang berhubungan dengan Kesejahteraan Anak. Jadi masalah perlindungan
hukum bagi anak mencakup lingkup yang sangat luas.
Dalam perspektif kenegaraan, komitmen Negara untuk melindungi warga
negaranya termasuk di dalamnya terhadap anak, dapat ditemukan dalam
pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). Hal tersebut tercermin
dalam kalimat:2
“….kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasarkan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu…”
1
Saraswati Rika, “Hukum Perlindungan Anak di Indonesia” , Citra Aditya Bakti, Bandung. 2003.
Hal 5.
2
Waluyadi, “Hukum perlindungan anak”, Mandar maju, Bandung. 2009. Hal 1.
1
Selanjutnya dijabarkan
BAB XA tentang (HAM). Khusus untuk
perlindungan terhadap anak, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan:3
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Instrument hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak terdapat
dalam konvensi PBB tentang hak-hak anak (Convention on the rights of the
child) tahun 1989, telah diratifikasi oleh lebih 191 negara, termasuk Indonesia
sebagai anggota PBB melalui Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990.
Dengan demikian, konvensi PBB tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan
mengikat seluruh warga Negara Indonesia
Prinsip-prinsip tersebut juga
terdapat di dalam ketentuan Undang -
Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang dibentuk oleh
pemerintah agar hak-hak anak dapat diimplementasikan di Indonesia.
Terhadap harkat dan martabat anak sebenarnya sudah terlihat sejak tahun
1979 ketika membuat undang-undang perlindungan anak dan sampai
sekarang, kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak anak masih jauh dari yang
diharapkan.4
Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa:5
“ Perlindungan Anak adalah Segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,berkembang,
dan berpartisipasi , secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala
3
4
5
Ibid, hal 2
Saraswati Rika, op.cit. hal 15
Gultom Maidin, “Perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana anak di
indonesia”, Refika aditama, Bandung. 2008. hal 34
2
upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi dan memberdayakan
anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused), eksploitasi,
dan penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang anak secara wajar, baik fisik, mental dan sosialnya.”
Bertitik tolak pada konsep perlindungan yang utuh, menyeluruh dan
komprehensif
maka Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak ini meletakan kewajiban pemerintah dalam memberikan
perlindungan kepada anak berdasarkan Pasal 3 Undang -Undang No 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak hak-hak anak yang meliputi:6
1) Non diskriminasi
2) Kepentingan yang terbaik bagi anak
3) Hak untuk hidup,kelangsungan hidup dan perkembangan dan
4) Penghargaan terhadap pendapat anak
Setiap anak membutuhkan perlindungan terutama anak pengungsi yang
merupakan pihak yang paling rentan terhadap trauma fisik dan psikis. Hal ini
dikarenakan anak masih mempunyai jiwa labil dan rentan. Kerusuhan
membuat anak-anak menjadi korban yang paling membutuhkan perhatian
khusus dari Pemerintah. Kebutuhan bagi anak pengungsi meliputi kebutuhan
gizi bagi anak –anak, Pelayanan kesehatan, tempat perlindungan yang aman
seperti alas dan selimut serta pendidikan bagi anak-anak pengungsi. Pada
kenyataannya pengungsi masih banyak yang mengeluhkan dari berbagai
pelayanan-pelayanan standar yang harus di penuhi oleh pemerintah. Sehingga
menimbulkan persoalan baru terutama bagi pengungsi anak-anak, tentu hal
ini akan sangat membahayakan kondisi anak-anak pengungsi. Namun di
6
Ibid.hal 18
3
dalam prakteknya seringkali terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak
pengungsi,yang mengakibatkan kesejahteraan anak-anak pengungsi berada di
dalam taraf yang sangat rendah.
Untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi sulit
tersebut ,Undang – undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
mengamanatkan dalam beberapa Pasal, sebagai berikut:
Pertama, Pada Pasal 59, diamanatkan bahwa pemerintah dan lembaga Negara
lainnya
berkewajiban
dan
bertanggung
jawab
untuk
memberikan
perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat.
Kedua, pada Pasal 60 dinyatakan bahwa anak dalam situasi adalah anak yang
menjadi pengungsi dan anak korban kerusuhan.
Ketiga, pada Pasal 62 dinyatakan bahwa perlindungan khusus
dilaksanakan melalui Pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan,
sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan
keamanan, dan persamaan perlakuan; dan Pemenuhan kebutuhan khusus bagi
anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan
psikososial.
Konflik Poso yang mulai terjadi pada desember 1998, telah membawa
dampak besar terhadap pola hidup dan pranata sosial masyarakatnya di
daerah ini. Rumah-rumah yang terbakar, desa yang porak poranda, keluarga
yang terluka bahkan terbunuh, anak-anak yang terpisah dari orang tuanya,
anak yang kehilangan orang tua, menyebabkan perilaku anak menjadi
berubah,
dari
yang
tadinya
ceria-gembira
4
sesuai
dengan
masa
pertumbuhannya menjadi anak yang dirundung ketakutan, syok, depresi,
stress bahkan menjadi agresif. Situasi konflik Poso tersebut telah
menyebabkan anak kedalam situasi “krisis’.
Penulis melakukan penelitian dilokasi pengungsian yaitu pengungsian
Malewa yang berada di kecamatan Tentena kabupaten Poso. Penulis tertarik
melakukan penelitian di Pengungsian Malewa dikarenakan dalam pemenuhan
kebutuhan anak –anak pengungsi terdiri dari anak putus sekolah, jaminan
kesehatan,dan anak yang kehilangan orang tua mereka serta pengabaian dan
penelantaran terhadap anak dibandingkan dengan pengungsian tanahmawau.
Pengungsi Malewa sebagian besar berasal dari kota Poso
yang
kehilangan harta benda termasuk rumah tinggal mereka. Sejak kerusuhan
kedua tahun 2000, mereka dievakuasi oleh krisis center ke tentena yang
merupakan Pusat sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah ( GKST) . Untuk
memudahkan mobilisasi bantuan sosial, maka mereka diberikan lahan oleh
krisis center GKST untuk membangun rumah tinggal sementara menunggu
relokasi rumah tinggal oleh pemerintah kabupaten Poso. Sampai tahun 2012
ini relokasi oleh pemerintah kabupaten Poso belum ada.
Konflik kerusuhan Poso khususnya dipengungsian Malewa, anak-anak
menjadi korban yang paling membutuhkan perhatian khusus dari Pemerintah
setempat namun belum optimalnya pemenuhan hak - hak anak kerusuhan
konflik Poso. Hal ini disebabkan pemenuhan hak –hak anak konflik
kerusuhan tidak terlaksana oleh Dinas Sosial Kabupaten Poso. Sehingga
mengakibatkan kesejahteraan anak-anak pengungsi berada di dalam taraf
5
yang sangat rendah. Kewajiban dari setiap orang baik masyarakat maupun
pemerintah untuk berperan dalam proses pendidikan, pembinaan, pengarahan
serta perlindungan anak, agar nantinya terbentuk manusia handal untuk masa
depan bangsa. Namun demikian penulis sadari bahwa kondisi anak di Poso
masih banyak yang memprihatinkan.
Anak-anak pengungsian mempunyai hak dan kebutuhan hidup yang
harus dipenuhi yaitu hak dan kebutuhan akan makan, gizi, kesehatan,
bermain, kebutuhan emosional dan pendidikan serta memerlukan partisipasi
dari masyarakat maupun pemerintah yang mendukung bagi kelangsungan
hidup, tumbuh kembang dan perlindungannya
Dinas sosial kabupaten Poso memiliki Peran dalam menyelenggarakan
perlindungan, pelayanan, pemulihan dan anak korban kekerasan anak –anak
pasca konflik dalam mendapatkan jaminan atas hak –haknya sebagai anak
pasca konflik. Hal ini sebagai Tanggung jawab Dinas Sosial Kabupaten Poso
dalam penyelenggaraan sesuai dengan Perda No 6 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Perlindungan, Pelayanan, Dan Pemulihan Perempuan Dan
Anak Korban Kekerasan, dalam Pasal 9 ayat (2) memberikan perlindungan
khusus dalam bentuk :
1) Perlindungan dan perlindungan khusus dalam bentuk pendampingan dan
rasa aman
2) Pelayanan dalam bentuk pelayanan medis, psiko-sosial, medical – legal
pelayanan hukum dan pelayanan resosialisasi dan,
3) Pemulihan dalam bentuk pendidikan, kesehatan dan pemulihan ekonomi
6
Namun satu hal yang patut dipertanyakan adalah walaupun anak –anak
korban konflik dilindungi perangkat hukum yang jelas namun tetapi
kelemahannya tidak ada Surat Keputusan Bupati dalam penyelenggaraan
Perda No 6 Tahun 2008.
Perlindungan anak di Kabupaten Poso ini masih jauh memperlihatkan
hasil yang dari kesan baik. Tampak jelas dengan sangat di lokasi pengungsian
malewa
banyak anak yang putus sekolah, pengabaian dan penelantaran
terhadap anak di pengungsian tersebut.
Dalam melaksanakan perlindungan khusus terhadap hak-hak anak
pengungsi malewa, Dinas Sosial Kabupaten Poso memiliki Peran untuk
memberikan perlindungan khusus terhadap anak – anak pengungsi korban
konflik yakni berupa bentuk pelayanan dan pemulihan dalam bentuk
pendidikan dan kesehatan. Peran ini dimaksudkan untuk memenuhi hak – hak
anak pengungsi agar perlindungan dan pemenuhan hak dasar anak dari
keterlantaran sehingga kelangsungan hidup anak dapat terwujud.
Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan sebelumnya, penulis tertarik
untuk melihat Peran Dinas sosial kabupaten Poso dalam penanganan terhadap
anak –anak pasca konflik kerusuhan dengan mengambil judul :
KETIADAAN PERAN DINAS SOSIAL KABUPATEN POSO DALAM
PERLINDUNGAN HAK ANAK KORBAN KONFLIK POSO
7
Tabel 1.1
Perbandingan skripsi
Rumusan masalah
Nama
Tujuan penelitian
Metode
Pendekatan
Novriyani todaga
312007037
Bagaimana peran pemerintah
dalam pemenuhan hak-hak anak
Untuk
Sosio legal
pemenuhan hak-hak pasca konflik
pasca konflik Poso
Apa
mengetahui
Untuk mengetahui kendalakendala-kendala
pemerintah dalam pemenuhan hak-
kendala dalam pemenuhan hakhak anak di Poso
hak anak pasca konflik
Aris Ardiyanto
Apa peran komisi perlindungan
312003088
Untuk
mengetahui
dan
anak indonesia (KPAI) terhadap
memahami tentang
kasus kekerasan anak
atau peran KPAI terhadap kasus
kekerasan
pelaksanaan
anak
dan
Yuridis
sosiologis
dapat
mengidentifikasi pola penanganan
dan
faktor
hambatan
pendorong
dalam
dan
perlindungan
anak
Beatrix
N
Bagaimana bentuk penegakan
Menggambarkan
bentuk-
Temmar
hukum dalam rangka perlindungan
bentuk
keterlibatan
anak
312000142
anak
khususnya anak yang
terlibat
khususnya
yang
terlibat
sebagai tentara bocah dalam kasus
sebagai tentara bocah yang dalam
konflik bersenjata di ambon?
situasi konflik ambon
Apakah yang menjadi dampak
dan
keterlibatan
anak
sebagai
tentara bocah dalam konflik ambon
Mengetahui
dampak
ditimbulkan sebagai akibat dan
keterlibatan anak selalu tentara
bocah dalam konflik ambon
8
yang
Yuridis
sosiologis
B. Latar belakang masalah
Salah satu kerusuhan yang pada akhirnya berubah menjadi sebuah
konflik berkepanjangan adalah peristiwa Poso 26 Desember 1998. Konflik di
Poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum terpecahkan
sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu
belum bisa menjamin keamanan di Poso. berbagai macam konflik terus
bermunculan di Poso. Meskipun secara umum konflik-konflik yang terjadi di
Poso adalah berlatar belakang agama, namun kalau diteliti lebih lanjut, maka
kita akan menemukan berbagai kepentingan golongan yang mewarnai konflik
tersebut.
Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau
dilihat dari keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup
majemuk, selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku
pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa, batak, bugis dan
sebagainya. Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua
kelompok agama besar, Islam dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso
didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami pemekaran menjadi
Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adalah agama Kristen.
Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis
kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk
9
ke Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru kemudian disusul
Kristen masuk ke Poso.7
Keberagaman inilah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi
berbagai kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar
belakang sosial-budaya, ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama,
seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun
2000. Agama seolah-olah menjadi kendaraan dan alasan tendesius untuk
kepentingan masing-masing.
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada Desember 1998.
Dengan menangnya pasangan Piet Inkiriwang dan Mutholib Rimi dari
identitas agama dan suku.8 Untuk seterusnya agama dijadikan penyebab pada
setiap konflik yang terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam perkelahian
antar persona pun bisa menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana. Semisal,
ada dua pemuda terlibat perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang
satunya lagi beragama Kristen. apabila salah satu pihak mengalami
kekalahan, maka ada perasaan tidak terima diantara keduanya. Setelah itu
salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan masalah tersebut ke kelompok
masing-masing, dan timbullah kerusuhan yang melibatkan banyak orang dan
bahkan kelompok.
Setelah peristiwa 1998 dan 1999, masyarakat kembali hidup secara
wajar. Namun seiring dengan runtuhnya Orde Baru, lengkap dengan
lemahnya peran ”aparat keamanan” yang sedang digugat disemua lini melalui
7
8
Karnavian tito, TOP SECRET membongkar konflik Poso, :gramedia pustaka utama. Jakarta
2008. Hal 23
Lihat bulletin Yayasan Taman Merdeka Palu, edisi 5 tahun II. 2006. Hal 35
10
berbagai isu, kerusuhan Poso kembali meletus, bahkan terjadi secara beruntun
dan bersifat lebih masif. Awal kerusuhan terjadi Desember Tahun 1998,
konflik kedua terjadi April Tahun 2000, tidak lama setelah kerusuhan tahap
dua terjadi lagi kerusuhan ketiga di bulan Mei-Juni 2000. konflik masih terus
berlanjut dengan terjadinya kerusuhan keempat pada Juli 2001; dan kelima
pada November 2001. Peristiwa-peristiwa tersebut memperlihatkan adanya
keterkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga kerusuhan-kerusuhan
dicermati dalam konteks jilid satu sampai lima.9
Terdapat beberapa pola kerusuhan yang dapat dilihat pada kerusuhan di
Poso:
1.
Pertama, kerusuhan di Poso biasanya bermula terjadi di Poso kota dan
selanjurnya merembet ke daerah-daerah sekitar Poso. Wilayah Poso kota
keberadaan komposisi agama relative berimbang dan sama.
2.
Kedua, kerusuhan yang terjadi di pusat kota diikuti dengan mobilitas
masa yang cukup besar, yang berasal dari luar Poso, bahkan berasal dari
luar kabupaten Poso. Ketika kerusuhan pertama dan kedua meletus,
massa memasuki kota Poso berdatangan dari kecamatan Ampana,
kecamatan Parigi, lage, Pamona, dan bahkan dari kabupaten Donggala.
3.
Ketika kerusuhan ketiga pun meletus, mobilisasi massa bahkan semakin
membludak, dan jauh lebih besar dari massa yang datang pada kerusuhan
pertama dan kedua. kerusuhan selalu ditandai dengan pemakaian senjata
tajam, baik itu benda tumpul, pedang, parang, bahkan senjata api.
9
Lihat hasil penelitian Hamdan Basyar (Ed.), Konflik Poso: Pemetaan dan Pencarian Pola-pola
Alternatif Penyelesaiannya (Jakarta : P2P LIPI, 2003). Hal 20
11
Informasi yang didapat bahwa kebanyakan korban tewas karena sabetan
pedang/parang, benturan denga benda keras, dan lain sebagainya. Selain
itu bukti yang mengatakan bahwa pada kerusuhan april 2000
diinformasikan 6 korban tewas disebabkan oleh berondongan senjata api.
4.
keempat adalah kesalahpahaman informasi dari keduabelah pihak. Pada
kerusuhan pertama, dimulai dengan perkelahian antara dua pemuda Islam
dan Kristen, yang kemudian di blow up menjadi konflik dua golongan
agama. Konflik kedua berakar dari perkelahian dua kelompok pemuda,
dan kemudian informasi mengatakan bahwa kerusuhan itu adalah
kerusuhan dengan latar belakang agama.
Konflik pada Desember 1998 dan April 2000 kecenderungannya hanya
tepat disebut ”tawuran”, sebab konflik hanya dipicu oleh bentrokan pemuda
antar kampong, intensitas dan wilayah konflik sangat terbatas di sebagian
kecil kecamatan kota10. Solidaritas kelompok memang ada, tapi belum
mengarah pada keinginan menihilkan kelompok lain. Bahkan, setelah tahu
bahwa penyebab bentrokan adalah minuman keras, kelompok yang
berbenturan justru sempat sepakat mengadakan operasi miras bersama.
Mulai Mei-Juni 2000 dilanjutkan dengan Juli 2001 dan NovemberDesember 2001 konflik telah mengindikasikan ciri-ciri perang saudara.
Konflik sudah mengarah pada upaya menghilangkan eksistensi lawan, terlihat
dari realitas pembunuhan terhadap siapa pun, termasuk perempuan dan anakanak, yang dianggap sebagai bagian lawan. Telah terbangun solidaritas
10
Istilah ”tawuran” merupakan hasil diskusi penelitian tim penelitian Konflik Poso,
LIPI.,[Hamdan Basyar (Ed.), 2003] dan [Bayu Setiawan (Ed.), 2004].
12
kelompok secara tegas melalui ideologisasi konflik berdasar isu agama dan
etnisitas, sehingga konflik menjadi bersifat sangat intensif (kekerasan dan
korban ) dan ekstensif (wilayah dan pelaku ). Bahkan berbeda dengan dua
konflik sebelumnya yang umumnya menggunakan batu dan senjata tajam,
sejak konflik ketiga pada Mei 2000 mereka telah mempergunakan senjata api,
yang terus berlanjut hingga konflik keempat dan kelima, serta beberapa
kekerasan sporadis ”pascakonflik”.
Konflik Poso telah memakan korban serta meninggalkan trauma
psikologis yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalanpersoalan sepele berupa perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok
memang muncul dalam kerusuhan itu, namun konteksnya masih murni
seputar dunia remaja, yakni: isu miras, isu tempat maksiat. Namun justru
persoalan sepele ini yang akhirnya dieksploitasi oleh para oknum yang terkait
melalui instrumen isu pendatang dan penduduk asli dengan dijejali oleh
sejumlah komoditi konflik berupa kesenjangan sosio-kultural, ekonomi, dan
jabatan-jabatan politik. Bahkan konflik diradikalisasi dengan bungkus
ideologis keagamaan, sehingga konflik Poso yang semula hanya berupa
tawuran berubah menjadi perang saudara antar komponen bangsa.
Konflik Poso tersebut telah membawa luka dan kesedihan mendalam di
hati anak-anak konflik Poso sebagai korban penyerangan. Hal ini
membuat anak-anak menanggung segala resiko atas peristiwa yang dialami
tanah kelahiran mereka. Sebagai anak Indonesia, mereka memiliki hak yang
menjadi kewajiban orang dewasa untuk melindungi dan menjaganya
13
sebagaimana tertulis dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, Bab III Pasal 4 s/d 18.
Struktur sosial pengungsi di Malewa sangat heterogen .baik dari segi
etnis, ekonomi maupun pendidikan. Tetapi sebagian besar pengungsi adalah
suku pamona dan juga kehidupan ekonomi mereka adalah menengah
kebawah. Dari jumlah keseluruhan pengungsi di Malewa dan sekitarnya 40%
adalah anak-anak. Sesuai dengan judul penulis yang menfokuskan bagaimana
peran pemerintah terhadap anak-anak pasca konflik di Malewa. Penulis
menemukan sejumlah anak-anak pada kategori menengah ke bawah,
sedangkan kondisi anak-anak pada kategori menengah ke atas yang hidup
terpisah dari komunitas Malewa tidak mendapat perhatian khusus dalam
penelitian ini. Keberadaan anak-anak Malewa memang tidak menguntungkan
seperti teman-teman seusianya yang lain. Jumlah keseluruhan anak-anak
yang berada di pengungsian Malewa sebanyak 193 anak. Anak-anak tersebut
mengalami berbagai dampak dari konflik Poso yang terjadi. Di bawah ini
tabel dampak konflik yang dialami oleh sebagian anak yang berada di
pengungsian di Malewa.
C. Dampak konflik terhadap anak –anak di pengungsian Malewa
Keberadaan anak – anak yang hidup dalam situasi konflik maupun pasca
konflik kerusuhan poso. Keberadaan mereka memang tidak menguntungkan
seperti teman – teman seusianya yang lain. Mereka mengalami masalah –
masalah dan kesengsaraan – kesengsaraan seperti;
Usia 6-18 Tahun
kehilangan Orang Tua, Usia 6-15 Tahun menjadi anak Yatim piatu, Usia 0-18
14
Tahun kehilangan Tempat tinggal, Usia 0-18 Tahun Putus sekolah dan Usia
6-18 Tahun cacat. 11
Anak-anak
korban
konflik
mengalami
masalah-masalah
dan
kesengsaraan yang mau tidak mau harus mereka hadapi setiap hari. Fenomena
yang terjadi selama mengadakan penelitian khususnya di bidang pendidikan
bagi anak –anak pengungsi dapat dikatakan sangat memprihatinkan. Banyak
sekali anak-anak yang putus sekolah akibat konflik Poso. Pendidikan anak
tampaknya terabaikannya hak-hak anak untuk mendapatkan pendidikan
dikarenakan tidak adanya jaminan dalam memperoleh pendidikan. Sudah
seharunya anak-anak di tempat pengungsian bisa terus mendapatkan hak
pendidikan mereka, kenyataanya selama di pengungsian banyak anak putus
sekolah. Karena sarana dan prasarana tidak memadai serta orang tua pun
tidak mampu dalam menyekolahkan anaknya. Padahal sebenarnya pendidikan
bagi anak pengungsi tidak dipungut biaya dan menjadi tanggung jawab
pemerintah.
Upaya –upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Poso oleh
Dinas Sosial dalam pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan,
sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan dan berkreasi sudah sering
dilakukan, akan tetapi, upaya-upaya tersebut sampai saat ini belum
memperoleh hasil yang sesuai dengan harapan.
Arif Gosita berpendapat bahwa Perlindungan Anak adalah suatu usaha
melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.12
11
Hasil Wawancara dengan Ketua RT 01 RW.02 Desa Peterodungi (Pengungsian Malewa),
Tanggal 21 Juli 2011
15
Menurut Undang - Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak Hak dan Kewajiban Anak:13
1) Pada prinsipnya setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan partisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (Pasal 4)
2) Di bidang kesehatan, anak-anak mendapatkan hak pelayanan kesehatan
dan jaminan sosial (Pasal 8)
3) Di bidang pendidikan, anak-anak mempunyai hak dan memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka mengembangkan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya, termasuk anak
cacat dan anak dengan keunggulan (Pasal 9 ayat (1) dan (2)
4) Setiap anak selama pengasuhan orang tua,wali atau pihak lain manapun
yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan
dari
perlakuan
diskriminasi,
eksploitasi
(ekonomi
dan
seksual),
penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidak adilan dan
perlakuan salah lainnya (Pasal 13) dan,
5) Anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan
kegiatan politik, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, serta peristiwa
yang mengandung unsur kekerasan dan perang (Pasal 15)
Situasi dan kondisi anak Indonesia saat ini, mencerminkan adanya
penyalah gunaan anak (abuse), eksploitatif, diskriminatif dan mengalami
12
13
Gultom Maidin,op.cit., hal 38
Saraswati Rika, op.cit., hal 30
16
berbagai tindakan kekerasan yang membahayakan perkembangan jasmani,
rohani, dan sosial anak. Keadaan ini, tentunya sangat memprihatinkan bagi
bangsa dan negara Indonesia, karena anak dari aspek agama merupakan
amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga harkat dan
martabatnya sebagai mahkluk ciptaan–Nya. Dari aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara, anak adalah generasi penerus perjuangan bangsa dan penentu
masa depan bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya
yang akan memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak Indonesia
yang berada dalam keadaan sulit tersebut ke dalam suatu Program Nasional
Bagi Anak Indonesia sebagai tindak lanjut Sidang Umum PBB Untuk Anak
yang melahirkan deklarasi “ A World Fit For Children “. 14
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 Pasal 60
ditentukan, anak dalam situasi darurat yang terdiri atas anak yang menjadi
pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam dan anak
dalam situasi konflik bersenjata.
Undang-undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 memberikan
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pengungsi sesuai Pasal 61 (b)
perlakuan khusus juga dilakukan terhadap anak –anak dalam situasi darurat
seperti anak yang menjadi pengungsi, anak korban kerusuhan dan anak dalam
situasi konflik bersenjata, Sedangkan menurut Pasal 62 (a), anak-anak korban
kerusuhan dilaksanakan melalui : a) pemenuhan kebutuhan dasar (pangan ,
14
Kebijakan pengembangan kota layak , kementrian pemberdayaan perempuan republic
Indonesia .2006. hal 24
17
sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berkreasi, jaminan
keamanan, dan jaminan persamaan perlakuan.
Akan tetapi anak – anak pengungsi membutuhkan perhatian khusus dari
pemerintah setempat dalam pelaksanaanya sesuai dengan Undang-undang
No 23 Tahun 2002 Pasal 62 (a) pelaksanaan pemenuhan kebutuhan anak
yang meliputi kebutuhan gizi, pelayanan kesehatan, tempat perlindungan
yang aman seperti alas dan selimut di pengungsian Malewa. Tetapi
pelaksanaanya tidak terlaksanakan.
Komisariat Tinggi PBB untuk pengungsi yaitu UNHCR merupakan
lembaga internasional yang diberi mandat untuk memberikan perlindungan
internasional terhadap pengungsi dan memberikan solusi permanen terhadap
para pengungsi. Terkait dengan pemberian perlindungan terhadap pengungsi
anak Poso, UNHCR telah melakukan berbagai program baik di bidang
pendidikan, kesehatan hingga psikologis. Hal ini bertujuan supaya anak
dalam pengungsian atau pengungsi anak tetap terjamin kesejahteraan serta
hak-haknya sebagai anak.
Namun Berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak masih sering terjadi
yang tercermin pada masih adanya anak-anak yang membutuhkan
pertolongan dalam pemenuhan hak dan kewajiban anak. Hal ini dikarenakan
implementasi dari pada suatu peraturan belum sepenuhnya dijalankan atau
andaipun
ada
peraturan
belum
juga
dilaksanakan
implementasinya oleh Dinas kesejahteraan Anak.
18
pada
tataran
Kewajiban dan Tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam usaha
Perlindungan Anak diatur dalam Pasal 22 Undang-undang Perlindungan
Anak No 23 Tahun 2002 menentukan Negara dan Pemerintah dinas
kesejahteraan anak berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan
dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak
untuk terpenuhi hak dan kewajiban anak pengungsian poso khususnya
pengungsian Malewa, semakin jelas bahwa pemerintah Indonesia memiliki
cukup kepedulian terhadap masalah perlindungan anak.15 Namun satu hal
yang dipertanyakan adalah walaupun telah memiliki perangkat hukum yang
cukup jelas perlindungan anak di negeri ini masih memperlihatkan hasil
yang jauh dari kesan baik. Tampak jelas dengan tidak terpenuhinya hak dan
kewajiban anak –anak pengungsi di pengungsian malewa.
Salah satu realitas
yang banyak dijumpai ketika penulis melakukan
penelitian di tempat pengungsian Malewa. Khususnya di bidang pendidikan
bagi anak-anak pengungsi dapat dikatakan sangat memprihatinkan. Banyak
anak-anak yang putus sekolah akibat konflik Poso. Hal ini disebabkan karena
ketiadaan dana untuk biaya pendidikan. Disamping itu, Upaya-upaya yang
dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat konflik di Poso sering
dilakukan, akan tetapi upaya-upaya tersebut sampai saat ini belum
memperoleh hasil yang sesuai dengan harapan.
Pada tanggal 23 july 2011, penulis melakukan wawancara kepada orang
tua anak pasca konflik, mengatakan bahwa semenjak konflik Poso, harta
15
Gultom Maidin, op.cit., hal 38
19
benda hilang semuanya, untuk membiayai anak-anak sekolah saya sudah
tidak sanggup, begitu juga janji-janji pemerintah untuk sekolah gratis bagi
anak-anak pasca konflik hingga saat ini tidak nampak.16
Pada tanggal 27 july 2011,penulis melakukan wawancara kepada Kepala
Dinas Sosial kabupaten Poso, dalam situasi konflik, anak-anak tereksploitasi
untuk bekerja. Eksploitasi anak-anak pengungsi konflik Poso, bahkan
dilakukan oleh Dinas sosial dalam program mereka yang mempekerjakan
anak-anak di bidang usaha pencucian mobil dan motor. Program ini diadakan
dengan alasan daripada mereka mati kelaparan lebih baik dipekerjakan.
Alasan ini mengambarkan ketidakpeduliaan, ketidakpahaman posisi anakanak tersebut17
Atas peristiwa yang terjadi, Anak-anak korban pasca konflik terancam
kehidupan kondusif mereka, karena:
1.
Terganggunya akses terhadap pendidikan, karena mereka tidak bisa
melanjutkan atau mengikuti kegiatan belajar di sekolah.
2.
Terganggunya akses ekonomi keluarga yang berimbas pada minimnya
pemenuhan kebutuhan dasar anak.
3.
Terganggunya kehidupan sosial, karena terputusnya interaksi dan
komunikasi mereka dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya.
4.
Kehilangan masa ceria bermain anak.
5.
Beberapa anak korban konflik mengalami trauma akibat konflik
yang berkepanjangan.
16
17
Wawancara tanggal 23 july 2011,orang tua anak korban pasca konflik, NN
Wawancara tanggal 27 july 2011, Kepala Dinas sosial, Drs. Arnold bouw
20
6.
Munculnya keberanian anak-anak sebagai korban untuk melakukan
perlawanan sebagai pembelaan diri atas intimidasi dan ancaman pada
dirinya. Hal ini pada nantinya akan menambah panjang rantai kekerasan.
7.
Kehilangan kepekaannya terhadap kekerasan, sehingga mereka terbiasa
dengan kekerasan.
Sebagai bentuk pelaksanaan Dinas sosial menyelenggarakan Perda
Nomor 6 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan perlindungan, pelayanan, dan
pemulihan
khusus
bagi
anak
korban
kekerasan.
Azas
pengaturan
perlindungan terhadap anak korban konflik adalah:
- Penghormatan terhadap hak –hak anak
- Kesetaran dan keadilan gender
- Non diskriminasi
- Kepentingan yang terbaik bagi anak dan,
- Penghormatan terhadap hak – hak anak
Penyelenggaraan perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan bertujuan:
- Mencegah segala bentuk kekerasan
- Melindungi korban kekerasan
- Memberikan pelayanan pemulihan kepada korban kekerasan dan,
- Menyelenggarakan pemulihan secara menyeluruh kepada korban.
Pemerintah Daerah Kabupaten Poso telah melakukan beberapa upaya
perlindungan hak anak di Poso khususnya. Seperti program mereka yang
mempekerjakan anak –anak di bidang usaha pencucian mobil dan motor
program tersebut diadakan dengan alasan daripada mereka mati kelaparan
21
lebih
baik
dipekerjakan.
Alasan
pemerintah
setempat
seperti
ini
menggambarkan ketidakpedulian terhadap hak –hak anak.
Tidaklah dapat dipungkiri bahwa upaya –upaya tersebut belum dapat
dikatakan maksimal meskipun telah tercatat bahwa kabupaten Poso masuk
sebagai nominator sebagai kota layak anak yaitu kota yang di dalamnya
memberikan perlindungan terhadap anak dan hak-haknya dalam proses
pembangunan berkelanjutan, dengan menciptakan lingkungan yang kondusif
agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal
dan sesuai harkat dan martabat.
Perlindungan anak korban konflik poso diserahkan oleh Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan anak kepada Dinas Sosial Kabupaten Poso,
karena dinas Pemberdayaan perempuan dan anak di kabupaten Poso hanya
fokus terhadap pemberdayaan Perempuan. Maka oleh itu Dinas Sosial
Kabupaten Poso mengambil kebijakan dalam urusan perlindungan khusus
bagi anak korban konflik dalam memberi perlindungan bagi anak-anak
korban pasca konflik poso yang tidak mampu dan anak –anak panti asuhan
yang berada di Kabupaten poso.
22
D. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka masalah yang hendak
dikemukakan adalah:
1. Bagaimana Peran Dinas Sosial dalam pemenuhan hak-hak anak pasca
konflik di pengungsian Malewa ?
2. Apa kendala –kendala dinas sosial dalam pemenuhan hak-hak anak pasca
konflik di pengungsian Malewa ?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui pemenuhan hak-hak anak pasca konflik di pengungsian
Malewa oleh Dinas sosial.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala Dinas sosial dalam pemenuhan hakhak anak pasca konflik di pengungsian Malewa.
F. Metode penulisan
1. Metode penelitian dan jenis penelitian
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sosio
legal, yaitu studi hukum yang dipelajari sebagai variable akibat yang
timbul sebagai hasil akhir dari berbagai kekuatan dalam proses sosial.
Langkah-langkah dan desain teknis penelitian hukum mengikuti pola ilmu
sosial dan berakhir dengan penarikan kesimpulan18
18
Soekanto Soerjono ,Pengantar penelitian hukum , Universitas Indonesia press, Jakarta. 1984.
hal 13
23
2. Sumber data
Sumber informan diperoleh dari informan kunci yaitu individu yang dapat
memberikan gambaran umum yang terjadi dan member penjelasan secara
tepat dan benar tentang sebab-sebab munculnya gejala sosial yang terjadi
3. Data primer
a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan, dengan
cara wawancara (interview)
mendalam dilakukan terhadap kunci
informan agar data yang diperoleh dapat menjawab permasalahan
dalam penelitian, sangat dipahami bahwa dalam penerapannya,
wawancara mendalam memerlukan sesuatu keahlian dan ketrampilan
tertentu dari pihak pewawancara19. Maka informan kunci yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu:
 Anak –anak korban konflik Poso yang mengungsi di pengungsian
Malewa
 Keluarga korban
 Dinas kesejahteraan sosial kab. Poso
 LSM ( Church World Service )
b. Data sekunder
Data sekunder adalah bahan-bahan kepustakaan yang terkait
dengan objek penelitian seperti:
 Peraturan perundang-undangan
19
Ibid, hal 231
24
 Laporan-laporan yang dikeluarkan oleh : surat kabar, Koran,
internet, serta karya-karya tulis yang berhubungan dengan maslaah
yang diteliti
G. Unit amatan dan Unit Analisa
1. Unit Amatan

Anak Korban Pasca konflik

Dinas Sosial Kab. Poso

LSM ( Church World Service )

Undang -Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Peraturan Daerah No 6 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan, Pelayanan, Dan Pemulihan Perempuan Dan Anak
Korban Kekerasan.
2. Unit Analisa
Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisa adalah peran dan kendala –
kendala dinas sosial kabupaten Poso dalam pemenuhan hak –hak anak
korban konflik di pengungsian malewa
25
Download