identifikasi faktor – faktor lingkungan sebagai faktor

advertisement
IDENTIFIKASI FAKTOR – FAKTOR LINGKUNGAN SEBAGAI FAKTOR
RISIKO AUTISM SPECTRUM DISORDERS PADA ANAK
IDENTIFICATION OF THE ENVIRONMENTAL FACTORS AS THE RISK
FACTOR OF THE AUTISM SPECTRUM DISORDERS ON THE CHILDREN
Noor Hamidah, Martira Maddeppungeng, Dasril Daud
Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar
Alamat Korespondensi :
Noor Hamidah
Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Makassar, 90245
HP : 082190440761
(Email : [email protected])
ABSTRAK
Autism Spectrum Disorders (ASDs) merupakan gangguan neurodevelopmental yang kompleks dimana penyebab
pastinya belum diketahui, diduga multifaktorial yaitu genetik dan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan sebagai faktor risiko ASDs pada anak. Penelitian ini dilaksanakan di
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar, mulai bulan Juli sampai Oktober 2015. Penelitian ini
menggunakan metode case control berdasarkan wawancara dan data rekam medis pasien yang berobat di
poliklinik Tumbuh Kembang Anak. Sampel dalam penelitian ini, yakni pasien anak yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi yang dibagi atas kelompok Autistuc Disorders, PDD-NOS, dan bukan ASDs. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan metode analisis bivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 75 sampel
didapatkan sampel yang menderita Autistic Disorders sebanyak 12 anak (16%), Pervasive Developmental
Disorders-Not Otherwise Specified (PDD-NOS) sebanyak 19 anak (25,3%), dan bukan ASDs sebanyak 44 anak
(58,7%). Hasil analisis data menunjukkan bahwa faktor-faktor lingkungan yang terdiri dari prenatal, perinatal
dan postnatal tidak berbeda bermakna antara kelompok Autistic Disorders dan kelompok bukan ASDs dengan
nilai p>0,05 serta antara kelompok PDD-NOS dengan bukan ASDs dengan nilai p>0,05.
Kata kunci : Faktor lingkungan, Autistic Disorders, PDD-NOS, anak
ABSTRACT
Autism Spectrum Disorders (ASDs) is a complex neurodevelopmental disorders which is caused by unknown
factors, although allegedly maybe caused by multifactorial genetic and environmental. The research aimed to
identify the environmental factors as the risk factor of the ASDs on the children. The research was conducted
in the Dr. Wahidin Sudirohusodo Central General Hospital Makassar from July to October 2015. The research
used the case control method based on the interview and medical records of the patientswho were treated in the
Clinic of the Children’s Growth and Development. Samples werethe children patients who fulfilled the inclusive
and exclusive criteria. The samples were divided into the Autistic Disorders, PDD-NOS and non-ASDs. The
data were analysed using the bivariate analysis method. The research result indicates that out of 75 samples,
12 (16%) samples suffer from the Autistic Disorders, as many as 19 (25.3%) suffer from the Pervasive
Developmental Disorders-Not Otherwise Specified (PDD-NOS), and as many as 44 (58.7%) are non-ASDs. The
result of the bivariate analysis indicates that the environmental factors which consist of the prenatal, perinatal
and postnatal factors are not significantly different between the Autistic Disorders and non-ASDs group with
the value of p>0.05, and between the PDD-NOS and non-ASDs with the value of p>0,05.
Key-words: Environmental factors, Autistic Disorders, PDD-NOS, children.
PENDAHULUAN
Autism Spectrum Disorders (ASDs) adalah gangguan neurodevelopmental yang
kompleks , biasanya tampak sebelum usia 3 tahun. ASDs memperlihatkan beragam fenotip
neurobehavioral yang ditandai dengan gangguan kualitatif pada interaksi sosial, gangguan
komunikasi dan pola perilaku stereotipik berupa aktivitas dan perhatian terbatas yang
biasanya disertai gambaran spektrum luas seperti: respons terhadap stimuli yang tidak lazim,
pola motor, kurang sensitif dengan nyeri, gangguan pencernaan, cemas, gangguan tidur,
perhatian, agresif dan melukai diri (Zafeiriou et al., 2009). Kondisi ini menyebabkan mereka
tidak
mampu
berkomunikasi
maupun
mengekspresikan
keinginannya,
sehingga
mengakibatkan terganggunya perilaku dan hubungan dengan orang lain (Pratiwi & Dieny,
2014).
Autism Spectrum Disorders telah menjadi fokus perdebatan dalam beberapa tahun
terakhir, akibat dari laporan multisenter adanya peningkatan prevalensi ASDs yang sangat
pesat. Berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), prevalensi ASDs
semakin meningkat dari 6,7% (1:150) pada tahun 2000 menjadi 14,7% (1: 68) pada tahun
2010 (CDC, 2012; Tchaconas
& Adesman, 2013).
Prevalensi autis di dunia saat ini
mencapai 15-20 kasus per 10.000 anak atau berkisar 0,15-0,20 %. Jika angka kelahiran di
Indonesia 6 juta pertahun maka jumlah penyandang autis di Indonesia bertambah 0,15% atau
6.900 anak pertahunnya (Pratiwi & Dieny, 2014). ASDs lebih banyak terjadi pada anak lakilaki dibandingkan perempuan dengan rasio 4:1. Peningkatan prevalensi
tampaknya
disebabkan kesadaran publik yang lebih besar, meningkatnya liputan media, semakin
berkembang pesat pengetahuan yang diterbitkan dalam jurnal profesional serta
kriteria
diagnostik yang lebih luas (Johnson & Myers, 2007).
Autism Spectrum Disorders merupakan fenomena yang masih menyimpan banyak
rahasia walaupun telah diteliti lebih dari 60 tahun yang lalu. Sampai saat ini belum dapat
ditemukan penyebab pasti dari gangguan ini, diduga multifaktor. Faktor genetik dan
lingkungan diduga mempunyai peranan yang signifikan (Ginting & Sembiring, 2004; Watts,
2008). Kedua faktor ini dapat mempengaruhi perkembangan dan maturasi otak, dimana
periode ini terjadi mulai dari dalam kandungan(in utero) sampai masa anak-anak. Faktor
lingkungan yang dimaksud meliputi prenatal, perinatal, dan postnatal (Guinchat et al., 2012).
Ada penelitian yang melaporkan faktor-faktor resiko prenatal, perinatal dan postnatal
yang dihubungkan dengan kejadian ASDs. Faktor prenatal meliputi usia ibu dan bapak,
perdarahan dalam kehamilan, pemakaian obat psikotropika, dan diabetes, sedangkan faktor
perinatalnya meliputi jenis persalinan risiko, komplikasi selama proses persalinan yaitu
asfiksia neonatorum, prematur, dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Faktor postnatal yang
dilaporkan meliputi hiperbilirubinemia, ensefalopati neonatal (Guinchat
et al., 2012).
Penelitian lain di Indonesia tentang faktor resiko terhadap kejadian autisme melaporkan
bahwa infeksi toksoplasmosis pada ibu, perdarahan antenatal, BBLR, trauma lahir, asfiksia,
dan kejang demam memiliki pengaruh terhadap terjadinya sutisme, sedangkan hiperemesis
gravidarum dan vaksinasi Mumps Measles Rubella (MMR) tidak terbukti mempengaruhi
kejadian autism (Muhartomo, 2004). Penelitian yang di lakukan di Makassar tentang analisis
polimorfisme gen serotonin transporter SLC6A4 (Gly56Ala) dan Tryptophan Hidroxylase-2
(Arg441His) serta faktor-faktor lingkungan pada ASDs, menyimpulkan bahwa faktor-faktor
lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap kejadian ASDs. Penelitian ini
menunjukkan faktor lingkungan prenatal meliputi
pemakaian obat/jamu, penyakit ibu
berpengaruh terhadap terjadinya ASDs. Demikian pula faktor perinatal meliputi prematur,
BBLR, komplikasi obstetri dan postnatal meliputi ikterus, kejang, trauma kepala, bukan ASI
eksklusif memiliki pengaruh terhadap terjadinya ASDs (Maddepungeng, 2014).
Untuk
menegakkan diagnosis perlu diketahui faktor-faktor risiko yang berperan
dalam terjadinya ASDs, sehingga penting dilakukan penelitian untuk menilai faktor-faktor
lingkungan yang mana yang secara signifikan mempengaruhi terjadinya ASDs.
Penyebab gangguan ASDs yang multifaktorial serta pemahaman tentang faktor
lingkungan sebagai faktor risiko ASDs masih sangat terbatas di kalangan masyarakat maupun
tenaga kesehatan sehingga cukup sulit dalam mengenali gangguan perilaku pada seorang
anak. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian yang berkaitan dengan faktor risiko
ASDs. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan sebagai faktor
risiko ASDs pada anak.
BAHAN DAN METODE
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian case control study yang bertujuan menilai
faktor-faktor lingkungan dalam memprediksi terjadinya Autism Spectrum Disorders pada
anak.
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar. Penelitian dilakukan mulai 1 Juli 2015 sampai 30 Oktober 2015.
Populasi dan Sampel
Populasi terjangkau adalah anak usia 18 bulan - 18 tahun
terdiagnosis Autistic
Disorders/Autism dan PDD-NOS di divisi Tumbuh Kembang Anak. Populasi kontrol adalah
anak usia 18 bulan - 18 tahun bukan penderita ASDs yaitu ADHD dan speech delay. Sampel
penelitian ini adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penelitian. Cara
pengambilan sampel adalah consecutive sampling yaitu subjek penelitian diperoleh
berdasarkan urutan masuknya ke rumah sakit.
Metode Pengumpulan
Subyek penelitian berupa data dari hasil wawancara dan rekam medik pasien yang
telah memenuhi kriteria inklusi dimasukkan ke dalam penelitian ini. Sampel dibagi dalam
dua kelompok, yakni kelompok ASDs yang terdiri dari Autistic Disorders, PDD-NOS serta
Asperger Syndrome dan kelompok bukan ASDs. Pada setiap kelompok dilakukan pencatatan
data meliputi inisial pasien, nomor register, umur, jenis kelamin, nomor telpon, faktor
prenatal (usia ibu saat hamil, riwayat perdarahan antenatal), faktor perinatal (berat lahir, usia
gestasi, riwayat asfiksia neonatorum, riwayat trauma lahir), faktor postnatal ( riwayat ikterus
neonatorum, riwayat kejang demam, riwayat ASI eksklusif).
Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh dari hasil wawancara dan rekam medik dikelompokkan
berdasarkan tujuan dan jenis data, kemudian dianalisis dengan metode statistik yang sesuai,
yaitu analisis univariat dan bivariat.
HASIL
Karakteristik sampel
Karakteristik subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 1. Dari 75 sampel penelitian
didapatkan yang menderita Autistic Disorders sebanyak 12 anak (16,0%), PDD-NOS
sebanyak 19 anak(25,3%%), Asperger syndrome sebanyak 0(0%) dan bukan ASDs 44 anak
(58,7%). Pada kelompok Autistic Disorders terdapat 11 anak laki-laki (91,7%) dan 1 anak
perempuan (8,3%), dan pada kelompok PDD-NOS terdapat 17 anak laki-laki (89,5%) dan 2
perempuan (10,5%),bukan ASDs terdapat 30 (68,2%) laki-laki dan 14 (31,8%) perempuan.
Umur (tahun) subyek penelitian pada kelompok Auitistic Disorders mempunyai nilai rentang
1,66-7,66 tahun, nilai mean 4,17 tahun, nilai median 3,78 tahun, Standar Deviasi (SD) 2,01
tahun. Umur subyek penelitian pada kelompok PDD-NOS mempunyai nilai rentang 2,25-7,50
tahun, nilai mean 4,51 tahun, nilai median 4,08 tahun, SD 1,62 tahun. Pada kelompok bukan
ASDs mempunyai nilai rentang 1,75-8,33 tahun, nilai mean 4,73 tahun, nilai median 4,41
tahun, SD 1,96 tahun. Pada kelompok AD terdapat 0(0%) subyek dengan gizi buruk, 1(8,3%)
gizi kurang, 11(91,7%) gizi baik dan 0(0%) gizi lebih. Kelompok PDD-NOS terdapat 0(0%)
subyek dengan gizi buruk, 2(10,5%) gizi kurang, 15(78,9%) gizi baik dan 2(10,5%) gizi
lebih, sedangkan pada kelompok bukan ASDs terdapat 2(4,5%) subyek gizi buruk, 7(15,9%)
gizi kurang, 29(65,9%) gizi baik dan 6(13,6%) gizi lebih.
Hubungan antara Ibu dengan Usia Risiko Tinggi dan Ibu dengan riwayat Perdarahan
Antenatal dengan Kejadian Autistic Disorders
Hubungan antara ibu dengan usia risiko tinggi dan ibu dengan riwayat perdarahan
antenatal dengan kejadian autistic disorders dapat dilihat pada tabel 2. Hasil analisis statistik
menunjukkan frekuensi ibu dengan usia risiko tinggi dan ibu dengan riwayat perdarahan
antenatal yang merupakan faktor prenatal tidak berbeda bermakna antara kelompok autistic
disorders dan kelompok bukan ASDs dengan nilai p= 0,734 dan p= 0,605 (p>0,05). Ini berarti
bahwa faktor prenatal tidak berpengaruh signifikan terhadap kejadian autistic disorders.
Hubungan antara Riwayat Kelahiran Prematur, BBLR, Asfiksia Neonatorum dan Trauma
Lahir dengan Kejadian Autistic Disorders
Hubungan antara riwayat kelahiran prematur, BBLR, asfiksia neonatorum dan trauma
lahir dengan kejadian autistic disorders dapat dilihat pada tabel 2. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa frekuensi anak dengan riwayat kelahiran prematur, BBLR, asfiksia
neonatorum dan trauma lahir yang merupakan faktor perinatal, tidak berbeda bermakna
antara kelompok autistic disorders dan kelompok bukan ASDs dengan nilai p masing-masing
0,622; 0,342; 0,649 dan 0,189 (p>0,05). Ini berarti bahwa faktor perinatal tidak berpengaruh
signifikan terhadap kejadian autistic disorders.
Hubungan antara Riwayat Ikterus Neonatorum, Kejang Demam dan ASI Eksklusif
dengan Kejadian Autistic Disorders
Hubungan antara anak dengan riwayat ikterus neonatorum, kejang demam dan ASI
eksklusif dengan kejadian autistic disorders dapat dilihat pada tabel 2. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa frekuensi anak dengan riwayat ikterus neonatorum, kejang demam dan
mendapat ASI eksklusif yang merupakan faktor postnatal, tidak berbeda bermakna antara
kelompok autistic disorders dan kelompok bukan ASDs dengan nilai p masing-masing 0,598;
0,170 dan 0,253 (p>0,05). Ini berarti bahwa faktor postnatal tidak berpengaruh signifikan
terhadap kejadian autistic disorders.
Hubungan antara Ibu dengan Usia Risiko Tinggi dan Ibu dengan riwayat Perdarahan
Antenatal dengan Kejadian PDD-NOS
Hubungan antara ibu dengan usia risiko tinggi dan ibu dengan riwayat perdarahan
antenatal dengan kejadian PDD-NOS dapat dilihat pada tabel 3. Hasil analisis statistik
menunjukkan frekuensi ibu dengan usia risiko tinggi dan ibu dengan riwayat perdarahan
antenatal yang merupakan faktor prenatal tidak berbeda bermakna antara kelompok PDDNOS dan kelompok bukan ASDs dengan nilai p= 0,957 dan p= 0,902 (p>0,05). Ini berarti
bahwa faktor prenatal tidak berpengaruh signifikan terhadap kejadian PDD-NOS.
Hubungan antara Riwayat Kelahiran Prematur, BBLR, Asfiksia Neonatorum dan Trauma
Lahir dengan Kejadian PDD-NOS
Hubungan antara riwayat kelahiran prematur, BBLR, asfiksia neonatorum dan trauma
lahir dengan kejadian PDD-NOS dapat dilihat pada tabel 3. Hasil analisis statistik
menunjukkan frekuensi anak dengan riwayat kelahiran prematur, BBLR, asfiksia neonatorum
dan trauma lahir yang merupakan faktor perinatal, tidak berbeda bermakna antara kelompok
PDD-NOS dan kelompok bukan ASDs dengan nilai p masing-masing 0,313; 0,460; 0,698 dan
0,759 (p>0,05). Ini berarti bahwa faktor perinatal tidak berpengaruh signifikan terhadap
kejadian PDD-NOS.
Hubungan antara Riwayat Ikterus Neonatorum, Kejang Demam dan ASI Eksklusif
dengan Kejadian PDD-NOS.
Hubungan antara anak dengan riwayat ikterus neonatorum, kejang demam dan ASI
eksklusif dengan kejadian PDD-NOS dapat dilihat pada tabel 3. Hasil analisis statistik
menunjukkan frekuensi anak dengan riwayat ikterus neonatorum, kejang demam dan
mendapat ASI eksklusif yang merupakan faktor postnatal, tidak berbeda bermakna antara
kelompok PDD-NOS dan kelompok bukan ASDs dengan nilai p masing-masing 0,790; 0,113
dan 0,094 (p>0,05). Ini berarti bahwa faktor postnatal tidak berpengaruh signifikan terhadap
kejadian PDD-NOS.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara faktorfaktor prenatal, perinatal dan postnatal terhadap kejadian ASDs. Penelitian ini menggunakan
desain case control, data dari wawancara dan rekam medik untuk menilai peranan faktorfaktor lingkungan terhadap kejadian ASDs. Telah diteliti 75 subyek yaitu 31 subyek ASDs
yang terdiri dari 12 subyek Autistic Disorders dan 19 subyek PDD-NOS sebagai kelompok
kasus dan 44 subyek bukan ASDs yaitu ADHD dan speech delay sebagai kelompok kontrol.
Pada periode prenatal, proses neurulasi terjadi sejak usia gestasi 4 minggu. Selain
mutasi genetik, komplikasi yang terjadi pada periode ini akan mempengaruhi proses
neurogenesis sehingga dapat memicu terjadinya ASDs. Usia ibu risiko tinggi (>35 tahun)
dalam kaitannya dengan ASDs dihubungkan dengan risiko terjadinya kelainan kromosom dan
komplikasi kehamilan pada usia tersebut. Hultman et al (2011), menyimpulkan bahwa
adanya saudara menderita autism bersama ayah dan ibu usia lanjut serta paritas didapatkan
pengaruh yang bermakna dengan nilai p<0,0001. Untuk perdarahan antenatal, Dodds et al
(2011), menunjukkan bahwa perdarahan antenatal memiliki pengaruh terhadap kejadian
autism dengan RR: 2,00 CI 95%: 1,16-3,47. Glasson et al (2004), menunjukkan bahwa
abortus saat usia gestasi< 20 minggu berpengaruh signifikan terhadap kejadian Autistic
Disorders maupun PDD-NOS adalah dengan nilai p < 0,001. Namun perdarahan antenatal
tidak berpengaruh secara signifikan dengan nilai p= 0,77 (p>0,05).
Pada penelitian ini didapatkan bahwa frekuensi usia ibu risiko tinggi tidak berbeda
bermakna antara kelompok Autistic Disorders dibandingkan dengan bukan ASDs dan PDDNOS dengan bukan ASDs dengan nilai p masing-masing 0,734 dan 0,957 (p>0,05). Frekuensi
riwayat perdarahan antenatal juga tidak berbeda bermakna antara kelompok Autistic
Disorders dibanding dengan bukan ASDs dan PDD-NOS dengan bukan ASDs dengan nilai p
masing-masing 0,605 dan 0,902 (p>0,05). Penelitian ini tidak menganalisis faktor lain yang
ikut berpengaruh bersama faktor usia ibu yaitu usia ayah, adanya saudara menderita autism
serta penyakit ibu. Pada penelitian oleh Glasson dan penelitian ini, keduanya tidak
memfokuskan perdarahan antenatal pada usia gestasi tertentu.
Masalah pada periode prenatal sangat berkaitan dengan periode perinatal. Kelahiran
prematur dan BBLR sering dikaitkan dengan kekurangan nutrisi dan organ immatur sehingga
mudah terjadi infeksi. Sedangkan untuk asfiksia dikaitkan dengan terjadinya hipoksia pada
sel otak. Ketiga faktor ini dipengaruhi oleh keadaan ibu saat hamil. Trauma lahir yang
berkaitan dengan ASDs adalah trauma lahir yang menyebabkan perdarahan otak sehingga
mempengaruhi proses neurogenesis. Zhang et al (2010), menunjukkan bahwa kelahiran
prematur < 35 minggu berpengaruh signifikan untuk terjadinya autism dengan nilai p=0,004
(OR:4,9 CI 95%: 1,57-15,32). Larsson et al (2005), melaporkan bahwa berat lahir < 2500
gram dapat meningkatkan risiko autism dengan unadjusted RR: 1,79 (CI 95%: 1,28-2,51),
serta skor APGAR < 7 dalam 5 menit pertama kelahiran dapat meningkatkan risiko autism
dengan adjusted RR: 1,89 (CI 95%: 1,10-3,27). Penelitian oleh Dawson et al (2009),
menunjukkan bahwa trauma lahir juga meningkatkan risiko terjadinya ASDs sebesar 50%
pada anak yang memiliki saudara ASDs, dibandingkan anak yang tidak memiliki saudara
ASDs sebesar 20%.
Pada penelitian ini, frekuensi kelahiran prematur tidak berbeda bermakna antara
kelompok Autistic Disorders dengan bukan ASDs dan PDD-NOS dengan bukan ASDs dengan
nilai p masing-masing 0,622 dan 0,313 (p>0,05). Frekuensi riwayat BBLR juga tidak berbeda
bermakna antara kelompok Autistic Disorders dibandingkan dengan bukan ASDs dan PDDNOS dengan bukan ASDs dengan nilai p masing-masing 0,342 dan 0,460 (p>0,05). Frekuensi
anak dengan riwayat asfiksia neonatorum tidak berbeda bermakna antara kelompok Autistic
Disorders dengan bukan ASDs dan PDD-NOS dengan bukan ASDs dengan nilai p masingmasing 0,649 dan 0,698 (p>0,05). Demikian pula dengan frekuensi riwayat trauma lahir juga
tidak berbeda bermakna antara kelompok Autistic Disorders dibandingkan dengan ASDs dan
PDD-NOS dengan bukan ASDs dengan nilai p masing-masing 0,189 dan 0,759 (p>0,05).
Komplikasi pada ibu dapat memicu terjadinya kelahiran prematur, BBLR serta asfiksia. Pada
penelitian ini proporsi ibu dengan usia risiko tinggi saat hamil lebih kecil pada kelompok
Autistic Disorders dan PDD-NOS dibandingkan bukan ASDs. Seperti halnya penelitian oleh
Oerlemans et al (2015), kelahiran prematur dan berat lahir < 2500 gram tidak berbeda
bermakna antara kelompok ASDs dan ADHD dengan nilai p masing masing 0,72 dan 0,86
(p>0,05), dan proporsi ibu hamil dengan usia > 35 tahun dilaporkan lebih sedikit pada
kelompok ASDs daripada ADHD. Pada penelitian ini, trauma lahir yang sampai menimbulkan
perdarahan otak sulit dibuktikan karena data hanya berdasarkan informasi orang tua.
Faktor lingkungan postnatal yaitu ikterus neonatorum, kejang demam dan ASI
eksklusif juga dikaitkan dengan kejadian ASDs. Ikterus akibat peninggian bilirubin I dapat
menyebabkan kerusakan sel neuron karena bersifat toksik pada ganglia basalis dan serebelum
yang merupakan organ penting dalam neurogenesis, sedangkan kejang demam yang lama
dengan durasi lebih dari 15 menit akan menyebabkan hipoksia di otak sehingga terjadi
kerusakan sel-sel neuron. ASI mengandung DHA dan AA yang merupakan komponen dari
membran sel otak. Selain itu dengan memberikan ASI, terbentuk hubungan emosional antara
ibu dan anak melalui kontak antara keduanya, yang merupakan suatu proses stimulasi. Croen
et al (2005), membandingkan kejadian autism berdasarkan kadar bilirubin sampai ≥ 25
mg/dL dan frekuensi bayi yang mendapat fototerapi, didapatkan hasil tidak berbeda
bermakna dengan nilai p sebesar 0,61 dan 0,65 yang disimpulkan bahwa masih ada
kemungkinan kadar bilirubin maksimal yang tidak teruji. Saemundsen et al (2007),
menunjukkan bahwa anak yang mengalami kejang dalam usia 1 tahun memiliki risiko untuk
terjadinya ASDs dengan OR: 6,0 (CI 95% 2,0-13,4). Pada penelitian Maddeppungeng (2014),
didapatkan perbedaan bermakna frekuensi anak yang mendapat bukan ASI eksklusif antara
kelompok ASDs dan anak normal dengan nilai p=0,001. Dapat disimpulkan bahwa pemberian
ASI eksklusif memberikan efek proteksi terhadap kejadian ASDs.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi riwayat ikterus neonatorum tidak
ada perbedaan bermakna antara kelompok Autistic Disorders dibandingkan dengan bukan
ASDs dan PDD-NOS dengan bukan ASDs dengan nilai p masing-masing 0,598 dan 0,790
(p>0,05), frekuensi riwayat kejang demam tidak berbeda bermakna antara kelompok Autistic
Disorders dibandingkan dengan bukan ASDs dan PDD-NOS dengan bukan ASDs dengan
nilai p masing-masing 0,170 dan 0,113 (p>0,05). Begitu pula dengan frekuensi anak dengan
riwayat mendapat ASI eksklusif tidak berbeda bermakna antara kelompok Autistic Disorders
dibandingkan dengan bukan ASDs dan PDD-NOS dengan bukan ASDs dengan nilai p
masing-masing 0,253 dan 0,094 (p>0,05). Pada penelitian ini, kadar bilirubin I tidak diukur
sehingga memungkinkan terjadi bias. Selain itu, lama dan waktu terjadinya kejang juga tidak
dapat dipastikan karena hanya dari informasi orang tua. Saat ini susu formula telah dikemas
mengandung DHA dan AA menyerupai ASI, namun dengan pemberian ASI terjadi kontak
ibu-anak yang merupakan stimulasi terhadap anak. Masih banyak faktor postnatal lain juga
memberikan pengaruh terhadap perkembangan kognitif seorang anak.
Kekuatan penelitian ini adalah sampel diambil di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo
yang merupakan rumah sakit rujukan nasional di Indonesia timur, sehingga data yang didapat
mewakili gambaran faktor risiko prenatal, perinatal dan postnatal terhadap kejadian ASDs di
Indonesia. Adapun kelemahan dari penelitian ini yaitu menggunakan metode case control
yang bersifat retrospektif sehingga memungkinkan terjadi recall bias. Kelemahan lainnya
yaitu tidak dilakukan analisis yang berkaitan dengan kerentanan genetik yang dapat diwakili
dengan variabel saudara yang menderita ASDs, mengingat faktor genetik juga berperan dalam
terjadinya ASDs. Selain itu, faktor-faktor prenatal, perinatal dan postnatal yang diteliti masih
sangat terbatas dimana masih banyak variabel lain yang merupakan faktor risiko pada ketiga
faktor lingkungan tersebut yang juga berpengaruh terhadap kejadian ASDs.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, kami menyimpulkan bahwa faktor-faktor lingkungan
baik prenatal, perinatal dan postnatal tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian
ASDs yang meliputi Autistic Disorders dan PDD-NOS sehingga perlu penelitian lebih lanjut
mengenai faktor risiko prenatal, perinatal maupun postnatal tambahan yang belum
tereksplorasi serta faktor genetik yang diwakili oleh faktor keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Centers for Disease Control and Prevention. (2012). Prevalence of Autism Spectrum
Disorders-Autism and Developmental Disabilities monitoring Network. 14 Sites,
United Staes, 2008. Accesed on March 2014. 1-3.
Croen L.A., Cathleen K.Y., Roxana O., & Thomas B.N. (2005). Neonatal
Hyperbilirubinemia and Risk of Autism Spectrum Disorders. Journal of The
American Academy of Pediatrics. 115: 135-138.
Dawson S., Emma J.G., Genys D., & Carol B. (2009). Birth Defects in Children With Autism
Spectrum Disorders: A Population-based, Nested Case-Control Study. American
Journal of Epidemiology. 169(11): 1296-1300.
Dodds L., Deshayne B.F., Sarah S., Anthony A., Alexander C.A., & Susan B.(2011). The
Role of Prenatal, Obstetric and Neonatal Factors in the Developmental of Autism.
Journal Autism Developmental Disorders. 41: 891-902.
Ginting S.A. & Sembiring T. (2004). Terapi Diet pada Autisme. Sari Pediatri. Juni. 6(1): 4751.
Glasson E.J., Carol B., Beverly P., Nick de K., Gervase C., & Joachim F.H. (2004). Perinatal
Factors and the Development of Autism. Arch Gen Psychiatry. 61:618-627.
Guinchat V., Thorsen P., Laurent C., Cans C., Bodeau N., & Cohen D. (2012). Pre-, Peri- and
Neonatal Risk Factors for Autism. Acta Obstetricia et Gynecologica Scandinavica.
91: 287-300.
Hultman C.M., Sandin S., Levine , Lichtenstein & Reichenberg. (2011). Advancing Paternal
Age and Risk of Autism: New Evidence from A Population-based Study and Metaanalysis of Epidemiological Studies. Journal of Molecular Psychiatry. 16:1203-1212.
Johnson C.P. & Myers S.M. (2007). Identification and Evaluation of Children With Autism
Spectrum Disorders. Journal of American Academy of Pediatrics. 120(5): 1183-1195.
Larsson H.J. et al. (2005). Risk Factors for Autism: Perinatal Factors, Parental Psychiatric
History, and Socioeconomic Status. American Journal of Epidemiology.161:916-925.
Maddeppungeng M. (2014). Analisis Polimorfisme Gen Serotonin Transporter SLC6A4
(Gly56Ala) dan Tryptophan Hidroxylase-2 (Arg441His) serta Faktor-Faktor
Lingkungan pada Autism Spectrum Disoders. (Disertasi). Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Muhartomo H. (2004). Faktor – faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap Kejadian Autisme.
(Tesis). Universitas Diponegoro. Semarang.
Oerlemans A.M., Marlot J.B., Barbara F., Jan K.B., Catharina A.H., & Nanda N.J.R. (2015).
Identifyng Unique Versus Shared Pre- and Perinatal Risk Factors for ASD and ADHD
Using a Simplex-Multiplex Stratification. Journal Abnormal Child Psychology. DOI
10.1007/s10802-015-0081-0.
Pratiwi R.A. & Dieny F.F. (2014). Hubungan Skor Frekuensi Diet Bebas Gluten Bebas
Casein dengan Skor Perilaku Autis. (Tesis). Universitas Diponegoro. Semarang.
Saemundsen E., Petur L., Ingibjorg H., & Vilhjalmur R. (2007). Autism Spectrum Disorders
in Children with Seizures in the First Year of Life-A Population-based Study.
Epilepsia. 48(9): 1724-1730.
Tchaconas A. & Adesman A. (2013). Autism Spectrum Disorders: A Pediatric Overview and
Update. Available from www.co-pediatrics.com. Accesed on March 2015. 25(1): 130133.
Watts T.J. (2008). The Pathogenesis of Autism. Clinical Medicine Pathology. 1:99-103.
Zafeiriou D.I., Ververi A., & Vargiami E. (2009). The Serotonergic System: Its Role in
Pathogenesis and Early Developmental Treatment of Autism. Current
Neuropharmacology. 7: 150-157.
Zhang X. et al. (2010). Prenatal and Perinatal Risk Factors for Autism in China. Journal
Autism Developmental Disorders. 40:1311-1321.
Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian
Karakteristik
Jumlah
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Umur(Tahun)
Mean
Median
Standar Deviasi(SD)
Rentangan
Status Gizi
Gizi buruk
Gizi kurang
Gizi baik
Gizi lebih
ASDs
Autistic Disorders
12(16%)
Bukan ASDs
PDD-NOS
19(25,3%)
44(58,7%)
11(91,7%)
1(8,3%)
17(89,5%)
2(10,5%)
30(68,2%)
14(31,8%)
4,17
3,78
2,01
1,66-7,66
4,51
4,08
1,62
2,25-7,50
4,73
4,41
1,96
1,75-8,33
0(0%)
1(8,3%)
11(91,7%)
0(0%)
0(0%)
2(10,5%)
15(78,9%)
2(10,5%)
2(4,6%)
7(15,9%)
29(65,9%)
6(13,6%)
Tabel 2. Hubungan antara Faktor Lingkungan Prenatal, Perinatal dan Postnatal dengan
Autistic Disorders
Faktor – Faktor
Kelompok
Total
Lingkungan
Autistic Disorders
Bukan ASDs
PRENATAL
Usia ibu
3(25,0%)
9(20,5%)
12(21,4%)
- Risiko tinggi
9(75,0%)
35(79,5%)
44(78,6%)
- Tidak Risiko
Perdarahan antenatal
1(8,3%)
2(4,5%)
3(5,4%)
- Ada
11(91,7%)
42(95,5%)
53(94,6%)
- Tidak ada
PERINATAL
Kelahiran prematur
2(16,7%)
5(11,4%)
7(12,5%)
- Prematur
10(83,3%)
39(88,6%)
49(87,5%)
- Tidak prematur
Berat Badan lahir
3(25,0%)
6(13,6%)
9(16,1%)
- BBLR
9(75,0%)
38(86,4%)
47(83,9%)
- Normal
Asfiksia Neonatorum
3(25,0%)
14(31,8%)
17(30,4%)
- Ada
9(75,0%)
30(68,2%)
39(69,6%)
- Tidak ada
Trauma Lahir
5(41,7%)
10(22,7%)
15(26,8%)
- Ada
7(58,3%)
34(77,3%)
41(73,2%)
- Tidak ada
POSTNATAL
Ikterus Neonatorum
3(25,0%)
8(18,2%)
11(19,6%)
- Ada
9(75,0%)
36(81,8%)
45(80,4%)
- Tidak ada
Kejang Demam
7(58,3%)
16(36,4%)
23(41,1%)
- Ada
5(41,7%)
28(63,6%)
33(58,9%)
- Tidak ada
ASI
3(25,0%)
19(43,2%)
22(39,3%)
- ASI Eksklusif
9(75,0%)
25(56,8%)
34(60,7%)
- Bukan
ASI
Eksklusif
X2 Chi Square
Kejadian
p
0,734
0,605
0,622
0,342
0,649
0,189
0,598
0,170
0,253
Tabel 3. Hubungan antara Faktor Lingkungan Prenatal, Perinatal dan Postnatal dengan Kejadian PDDNOS
Faktor – Faktor
Kelompok
Total
p
Lingkungan
PDD-NOS
Bukan ASDs
PRENATAL
Usia ibu
0,957
4(21,1%)
9(20,5%)
13(20,6%)
- Risiko tinggi
15(78,9%)
35(79,5%)
50(79,4%)
- Tidak Risiko
0,902
Perdarahan antenatal
1(5,3%)
2(4,5%)
3(4,8%)
- Ada
18(94,7%)
42(95,5%)
60(95,2%)
- Tidak ada
PERINATAL
Kelahiran prematur
0,313
4(21,1%)
5(11,4%)
9(14,3%)
- Prematur
15(78,9%)
39(88,6%)
54(85,7%)
- Tidak prematur
0,460
Berat Badan lahir
4(21,1%)
6(13,6%)
10(15,9%)
- BBLR
15(78,9%)
38(86,4%)
53(84,1%)
- Normal
0,698
Asfiksia Neonatorum
7(36,8%)
14(31,8%)
21(33,3%)
- Ada
12(63,2%)
30(68,2%)
42(66,7%)
- Tidak ada
0759
Trauma Lahir
5(26,3%)
10(22,7%)
15(23,8%)
- Ada
14(73,7%)
34(77,3%)
48(76,2%)
- Tidak ada
POSTNATAL
Ikterus Neonatorum
- Ada
- Tidak ada
Kejang Demam
- Ada
- Tidak ada
ASI
- ASI Eksklusif
- Bukan
ASI
Eksklusif
X2 Chi Square
0,790
4(21,1%)
15(78,9%)
8(18,2%)
36(81,8%)
12(19,0%)
51(81,0%)
11(57,9%)
8(42,1%)
16(36,4%)
28(63,6%)
27(42,9%)
36(57,1%)
4(21,1%)
15(78,9%)
19(43,2%)
25(56,8%)
23(36,5%)
40(63,5%)
0,113
0,094
Download