BOKS -2

advertisement
BOKS ‐2 Survei Struktur Biaya Produksi pada Industri Manufaktur Kota Batam Berdasarkan UU No. 23 /1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7 menegaskan bahwa tujuan Bank Indonesia (BI) adalah mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah, melalui stabilitas harga barang dan jasa (inflasi), dan stabilitas nilai tukar. Sejalan dengan tujuan tersebut, BI menerapkan kerangka kebijakan moneter yang secara konsisten diarahkan pada pencapaian target inflasi (Inflation Targeting Framework‐ITF) yang secara eksplisit telah ditetapkan dan diumumkan oleh pemerintah. BI menjadikan sasaran inflasi (stabilitas harga) sebagai prioritas pencapaian (overriding objective) dan acuan (nominal anchor) dari kebijakan moneter yang ditempuh. Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia melakukan berbagai upaya agar ekspektasi masyarakat terhadap kondisi perekonomian dan inflasi searah dengan sasaran yang telah ditetapkan. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah dengan melakukan survei baik secara berkala maupun ad‐hoc. Atas dasar itu Bank Indonesia Batam berinisiatif melakukan survei mengenai struktur biaya produksi perusahaan manufaktur, meliputi komponen biaya tenaga kerja, material lokal, material impor, biaya bunga dan biaya energi/bahan bakar. Survei dilakukan manufaktur/industri pada pengolahan sektor Gambar 1 ‐ Kontribusi Industri Pengolahan terhadap PDRB karena keterwakilannya yang sangat dominan dalam pembentukan PDRB kota Batam seperti yang terlihat pada gambar 1. Berdasarkan data BPS kota Batam, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap perekonomian kota Batam pada tahun 2007 mencapai 62,45%. Sebagian besar perusahaan yang bergerak di sektor manufaktur berada di dalam Kawasan Industri, dimana hingga saat ini terdapat 26 Kawasan Industri yang masih aktif di kota Batam dengan jumlah perusahaan mencapai Sumber : BPS 455 perusahaan menengah dan besar. (Otorita Batam, 2007) Kota Batam sebagai daerah industri memberi kontribusi besar terhadap kemajuan ekonomi propinsi Kepulauan Riau secara keseluruhan. Magnet pertumbuhan Batam sebenarnya tidak hanya berasal dari Batam, namun akibat dorongan dan spillover aktivitas ekonomi Singapura sebagai salah satu pusat bisnis, industri, dan keuangan yang penting di kawasan Asia Tenggara. Kondisi ini terlihat dari struktur perdagangan luar negeri dimana lebih dari 60% barang ekspor ditujukan ke Singapura, dan impor yang masuk dari Singapura mencapai 80%. (Bank Indonesia Batam, September 2008) Survei Struktur Biaya Produksi yang dilakukan Bank Indonesia Batam, di samping bertujuan untuk mengelaborasi lebih jauh mengenai struktur biaya produksi pada industri manufaktur kota Batam, juga berusaha menggali informasi dampak kenaikan harga BBM pada 23 Mei 2008 lalu yang bersamaan dengan mulai melambatnya aktivitas perekonomian global sejak awal tahun 2008. Informasi deskriptif yang diperoleh diharapkan bermanfaat bagi Bank Indonesia dalam mengevaluasi dan memperkirakan kondisi perekonomian dan inflasi regional ke depan. Di samping itu menjadi referensi bagi pemerintah dan stakeholders daerah dalam menetapkan berbagai kebijakan yang terkait dengan iklim investasi di kota Batam. Metodologi survei menggunakan Stratified Random Sampling (berdasarkan skala perusahaan) dan Quota Sampling (berdasarkan keterwakilan dalam suatu kawasan industri) dengan target responden sebanyak 100 perusahaan. Keterwakilan perusahaan yang menjadi responden merupakan kombinasi dari data KPP Madya Batam tahun 2006 yang memuat sekitar 300 perusahaan skala menengah‐besar dengan data Otorita Batam yang mencatat sekitar 455 perusahaan yang berdomisili di Kawasan Industri kota Batam. Pengambilan sampel perusahaan skala menengah‐besar dilakukan dengan mempertimbangkan besarnya kontribusi terhadap aktivitas sektor industri pengolahan kota Batam secara keseluruhan, yakni rata‐rata sebesar 94,5%. Sedangakan industri kecil dan kerajinan rumah tangga hanya berperan 5,5% terhadap struktur ekonomi sektor industri manufaktur. Survei dilakukan terhadap 102 perusahaan manufaktur yang bergerak di Gambar 3. Kontribusi Rata‐rata Sub‐sektor Industri Pengolahan berbagai bidang dan tersebar di beberapa kawasan industri utama dan di luar kawasan industri. Adapun kuesioner disebar secara acak (purposive random sampling) dengan mempertimbangkan bidang usaha dan keterwakilan perusahaan dalam kawasan industri tertentu (quota sampling). Sebaran sampel diupayakan lebih fokus kepada sektor Sumber : BPS kota
usaha dominan seperti mesin‐mesin/spare‐part, alat angkutan, logam dasar, kertas, elektronik dan peralatan listrik, serta komponen‐komponen pendukungnya yang berkontribusi signifikan terhadap pembentukan PDRB propinsi Kepulauan Riau seperti yang terlihat gambar 3 berikut. Adapun beberapa hal yang terkait hasil survei tersebut antara lain sebagai berikut: 1.
Secara umum, porsi biaya produksi terhadap total produksi rata‐rata di atas 50%. Kapasitas produksi terpakai sebagian besar responden lebih dari 80% dan semakin meningkat dalam 3 tahun terakhir. 2.
Strategi pricing mayoritas responden yang ditentukan oleh biaya input ditambah dengan mark‐up (margin) bervariatif tergantung dari elastisitas permintaan yang dihadapi perusahaan. Sejalan dengan itu, kenaikan biaya input berupa bahan baku menjadi pertimbangan terbesar perusahaan dalam menaikkan harga jual produknya, di samping merupakan kebijakan dari pusat (prinsipal). 3.
Dominasi perusahaan asing dan campuran pada industri manufaktur sangat mempengaruhi banyaknya tenaga kerja asing (TKA) yang bekerja di kota Batam, yang mencapai 15,3% dari total pekerja level manajemen. Adapun komposisi karyawan level manajemen sebanyak 27,83% sedangkan sisanya merupakan tenaga produksi/buruh. 4.
Fluktuasi harga material impor besar pengaruhnya terhadap biaya produksi perusahaan manufaktur di kota Batam. Sebanyak 62 responden memiliki ketergantungan terhadap bahan baku impor rata‐rata mencapai 71,38% dari total biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan. 5.
Kontribusi biaya tenaga kerja pada sebagian besar responden berkisar antara 10% ‐ 20% dari total biaya produksi perusahaan. Upah Minimum Regional (UMR) dan tingkat inflasi menjadi pertimbangan utama perusahaan dalam menentukan upah pekerja, di samping tingkat produktivitas bagi level manajemen. 6.
Alokasi biaya pembelian material lokal menjadi faktor ketiga terbesar dalam pembentukan struktur biaya produksi perusahaan manufaktur dengan kontribusi rata‐rata sekitar 10%. Penggunaan komponen bahan baku lokal selain banyak digunakan oleh perusahaan yang berstatus PMDN, juga diduga terkait dengan kebijakan pemerintah tentang Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). 7.
Bahan bakar gas menjadi sumber energi dominan yang digunakan responden dalam proses produksi. Porsi biaya yang dikeluarkan untuk pembelian bahan bakar di bawah 10% dari total biaya produksi. Secara rata‐rata, penggunaan bahan bakar gas oleh seluruh responden yang disurvei mencapai 41,8%, bahan bakar minyak sebesar 38,17% dan sisanya menggunakan listrik (PLN). 8.
Responden perusahaan PMA memperoleh pinjaman dari perbankan di negara asal melalui induk perusahaan (prinsipal), sehingga peran perbankan nasional/regional tidak begitu besar. Lebih dari 70% responden memperoleh fasilitas pinjaman dalam mata uang asing, terutama Singapura Dollar (SGD) dan Dollar Amerika (USD). Terkait dengan itu, beban bunga pinjaman yang harus dibayar perusahaan relatif kecil yakni di bawah 10%. 9.
Terakhir, kekhawatiran terhadap situasi ekonomi ke depan yang semakin tidak pasti (uncertained) menjadi faktor penting lainnya di luar fundamental perusahaan yang dapat mempengaruhi peningkatan biaya produksi. Faktor lainnya yang juga turut mempengaruhi biaya produksi adalah melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing, regulasi pemerintah di bidang fiskal, birokrasi yang berbelit‐
belit, dan masih adanya pungutan‐pungutan tidak resmi di lapangan. 
Download