penerjemahan sebuah proses mentransferkan budaya - Seminar

advertisement
Konferensi Nasional Ilmu Sosial & Teknologi (KNiST)
Maret 2014, pp. 303~312
303
PENERJEMAHAN SEBUAH PROSES
MENTRANSFERKAN BUDAYA
Aloysius Rangga Aditya Nalendra
AMIK BSI Tangerang
e-mail: [email protected]
Abstrak
The essence ofthe process of translation is transfering a culture from source language to target
language.Language itself is a product of a specific culture. It includes of values,norms and
philosophies of life.As the result,a translator must take cultural considerations into accounts.The
fuction of translation is not only to transfer a meaning or language but also the culture. The
main problem of transfering language occurs when the translator try to find the equivalent of
langauge.
Keywords:Cultural Transfer ,Translation,Language,Problem of Transfering
1. Pendahuluan
Bahasa merupakan hasil konsesus
dari
sebuah produk budaya,sehingga hakekat
dalam
proses
penerjemahan
berarti
mentrasferkan budaya asal menuju budaya
tujuan. Dengan kata lain, bahasa adalah
sebuah pencerminanbudaya
masyarakat
termasuk pandangan hidup penutur sehingga
konsekuensinya, sebuah penerjemahan yang
melibatkan dua bahasa selalu tidak bisa
terhindar dari pengaruh dua budaya dari dua
bahasa yang bersangkutan, yaitu budaya
bahasa sumber dan budaya bahasa sasaran
(Wong dan Shen, 1999:10). Dengan
pengertian
tersebut,bisa
dikatakan
penerjemahan tidak bisa terhindar dari peran
ini yakni sebagai komunikator antar dua
“gap” budaya yang berbeda.
Salah satu masalah yang sering kali
dihadapai oleh penerjemah adalah masalah
padanan, khususnya padanan kultural yang
memiliki kerumitan yang paling krusial. Hal ini
senada dengan pendapat Catford (1974:21)
yang mengatakan “The central problem of
translation practice is that of finding TL
translation equivalents”. Pendapat Catford
tersebut
merujuk
pada
kenyataan
bahwasanya
masalah
pokok
pada
penerjemahan ialah menemukan padanan
setepat mungkin sesuai dengan pesan yang
terkandung dalam teks bahasa sumber dan
padanan yang dihasilkan harus memenuhi
kaidah bahasa sasaran.
Pada saat pencarian padanan, penerjemah
dihadapkan pada konsep keterjemahan
(translatability)
dan
ketakterjemahan
(untranslatability).Konsep keterjemahan dan
ketakterjemahan menimbulkan permasalahan
dalam skala yang berbeda.Permasalahan
yang dimunculkan oleh konsep keterjemahan
tidak sepelik permasalahan pada konsep
ketakterjemahan.
Dalam ihwal ketakterjemahan penerjemah
berhadapan dengan persoalan mencari
padanan
bagi
unsur-unsur
yang
nonekuivalen, yakni unsur-unsur yang tidak
memiliki padanan dalam bahasa sasaran.
Misalnya, jika kalimat bahasa Inggris “When
a young girl falls in love with a young man,
then she informs her parents about the
marriage proposal to the idol of her heart”
diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan
mempertahankan unsur-unsur lingual yang
sama, maka hasilnya tentu terasa aneh dan
janggal bagi penutur bahasa Indonesia.
Dalam budaya Inggris sangatlah umum dan
wajar bila pihak keluarga si gadis melamar
seorang pemuda dan si gadis mengawini
pemuda idamannya.Sebaliknya, di Indonesia
hal tersebut tidaklah lazim, kecuali dalam
adat perkawinan suku Minangkabau di
Sumatera Barat yang menganut sistem
matrilinial.Sehingga seorang penerjemah
dituntut
mampu
mencari
alternatif
pemecahan atas permasalahan yang ada.
Adapun tujuan penelitian ini adalah mengkaji
bagaimana proses penerjemahan yang
melibatkan
unsur
budaya,
serta
permasalahan yang timbul dari proses
penerjemahan tersebut.
Fokus dari penelitian ini adalah berdasarkan
hubungan antara bahasa dan budaya,
bagaimana aspek-aspek budaya perlu
diperhatikan dalam proses penerjemahan
serta contoh-contoh penerjemahan yang
perlu memperhatikan factor budaya dari
bahasa sumber dan bahasa sasaran.
Diterima 12 Februari, 2014; Revisi 02 Maret, 2014; Disetujui 15 Maret, 2014
Konferensi Nasional Ilmu Sosial & Teknologi (KNiST)
Maret 2014, pp. 303~312
304
Teori Penerjemahan
Penerjemahan
adalah
sebuah
proses
pengalihan makna dari bahasa sumber ke
dalam
bahasa
sasaran(Larson
1998).
Dengan
kata lain penerjemahan adalah
proses komunikasi, mengirim, dan menerima
pesan dari sumber bahasa menuju target
bahasa. Dalam proses penerjemahan, perlu
diperhatikan soal rasa dan makna sebuah
pesan dalam menerjemahankan sebuah teks.
Akibatnya, dalam proses penerjemahan
sering kali bentuk teks dapat dirubah
sehingga dapat mempertahankan pesan dari
sumber bahasa.
Lebih lanjut , Larson membagi tahapan dalam
penerjemahan ke dalam beberapa tahapan :
1. Mempelajari
leksikon,struktur
grammatikal,situasi komunikasi dan
konteks budaya dari bahasa sumber
.
2. Menganalisa teks bahasa sumber
untuk menemukan makna
3. Mengungkapkan kembali makna
yang sama itu dengan menggunakan
leksikon dan struktur gramatikal yang
sesuai dalam bahasa sasaran dan
konteks budaya Seingga teori
tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 1. Proses Penerjemahan
Menurut Larson
Gambar
1
menggambarkan
bahwa
penerjemahan mencakup kegiatan mengkaji
leksikon,
struktur
gramatikal,
situasi
komunikasi dan konteks budaya teks bahasa
sumber, menganalisisnya untuk menentukan
maknanya dan kemudian merekonstruksi
makna yang sama ini dengan menggunakan
leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai
dalam bahasa sasaran dan konteks
budayanya (Larson, 1984:3).
Senada
denganLarson,
proses
penerjemahan
menurut
Nida
(1975)
mengikuti tiga tahapan:
1. analisis; yakni tahapan pemahaman teks
sumber melalui telaah linguistik dan
makna, pemahaman bahan atau materi
yang diterjemahakan dan masalah
kebudayaan,
2. transfer yaitu mengalihkan isi, makna
atau pesan yang terkandung dalam teks
sumber
3. rekonstruksi; yakni menyusun kalimatkalimat terjemahan (berulang-ulang)
sampai memperoleh hasil akhir dalam
bahasa target.
Melalui berbagai tahapan yang disebutkan
diharapkanbahwa
penerjemah
dapat
menghasilkan padanan dari pesan bahasa
sumber ke bahasa target yang sewajarnya
sesuai dengan budaya masyarakat tersebut.
Aspek Budaya Dalam Penerjemahan
Budaya didefinisikan Newmark (1995)
sebagai cara hidup dan manifestasinya yang
khas dari masyarakat tertentu yang
menggunakan bahasa tertentu sebagai alat
untuk
mengekspresikan.
Jadi
budaya
diekspresikan oleh pendukungnya dengan
sebuah media ekspresi yang disebut bahasa.
Atau dapat disimpulkan bahwa bahasa
adalah budaya verbal dari suatu masyarakat.
Sehingga dengan kata lainbahwa budaya
adalah ide dan bahasa adalah ekspresinya.
Larson (1984) mendefinisikan bahwa budaya
adalah cetak biru sebuah masyarakat.
Budaya memberi petunjuk bagaimana orangorang dalam sebuah masyarakat bersikap
dan
berperilaku
(Tomasouw,
1986:1.3).Budaya mengendalikan perilaku
seorang penutur di dalam masyarakat dan
menempatkan seorang penutur pada status
sosial.
Bahasa kemudian dalam perkembanganya
tidak saja
menjadi perangkat yang
mengkomunikasikan budaya secara pasif,
namun bahasa pun kemudian merekam apa
yang diyakini suatu masyarakat serta nilainilai dan norma yang berkembvang dalam
masyarakat tersebut.Akibatnya, apabila nilainilai sosial masyarakat berubah, bahasa pun
berubah.
Dalam bahasa Inggris banyak kata-kata yang
pada awalnya terikat gender seperti
katapolice officer sebagai ganti policeman
atau policewoman, chair person sebagai
ganti
chairman.
Ini
semua
adalah
konsekuensi dari perubahan masyarakat dari
patriarkis menjadi masyarakat yang tidak lagi
menerapkan diskriminasi gender. Ini adalah
bukti dari pernyatan Hagfors bahwa semua
teks/bahasa terikat oleh tempat dan waktu
serta konteks social di mana teks itu
KNiST, 30 Maret 2014
304
Konferensi Nasional Ilmu Sosial & Teknologi (KNiST)
Maret 2014, pp. 303~312
305
diproduksi yang mencerminkan kultur dan
jamannya (Hagfors, 2003:3).
Selain itu, bahasa sendiri mencerminkan
beragam aspek dari budayanya. Misalnya,
budaya yang mengenal kelas social seperti
budaya Jawa akan merekam pembagian
kelas sosial ini dalam bahasa mereka. Nilainilai dan norma relasi sosial ini terekam
dalam pemakaian level speech dalam bahasa
Jawa. Pemakaian level speech atau undha
usuk dalam bahasa Jawa mengatur ragam
bahasa yang dipakai berdasarkan siapa si
pembicara dan siapa yang diajak bicara serta
siapa yang sedang dibicarakan.
Seseorang dengan status sosial lebih rendah,
bisa karena umur, kedudukan dalam
pekerjaan maupun dalam masyarakat, akan
menggunakan ragam bahasa lebih tinggi
untuk berbicara dengan mereka dengan
status sosial yang lebih tinggi demikian
sebalik
seorang
pembicara
yang
membicarakan seseorang dengan status
sosial lebih tinggi juga menuntut pemakaian
ragam bahasa tinggi.Sebagai contoh kata
makan dapat diterejemahkan menjadi dahar.
Kata dahar digunakan untuk level status
sosial dan umur yang lebih tinggi, mangan
untuk level sederajat atau mbadok untuk level
sangat rendah.Akibatnya, pemakaian ragam
bahasa yang tidak tepat akan berakibat si
penutur mendapat cap tidak sopan dan akan
menyinggung lawan bicara.
Kosa Kata Dan Budaya
Bahasa terbentuk dari proses pengindraan
dan perekaman sebuah budaya yang
melahirkan beragam kosa kata.Perbedaan ini
sangat tergantung dengan budaya, dalam hal
ini termasuk mata pencaharian, lokasi
geografis, keyakinan dan cara pandang
masyarakat pemakai bahasa tersebut
terhadap
dunia.
Setiap
masyarakat
mempunyai perhatian terhadap kehidupan
yang berbeda.
Indonesia dengan bermacam macam suku
dan beragam budaya melahirkan banyak
kosa kata
yang sangat komplek.
MisalkanIndonesia dengan kultur pertanian
tentu akan menyimpan lebih banyak kosa
kata yang berkaitan dengan bercocok tanam,
tumbuhan dan musim dibanding dengan
masyarakat dengan kultur berdagang.
Bahasa
Indonesia
dengan
kultur
masyarakatnya yang agraris memiliki kosa
kata tentang padi dan turunannya secara
lebih detail dibanding bahasa Inggris. Kata
padi, gabah, beras dan nasi, hanya memiliki
padanan bahasa Inggris tunggal yaitu rice.
Bahasa Inggris tidak menggunakan pembeda
keempat kata yang menurut penutur bahasa
Indonesia jelas hal yang berbeda.
Perhatikan ungkapan di bawah ini:
Nasibnya bagai telur di ujung tanduk dalam
kompetisi mendatang.
He is hanging on a thread in the coming
competition.
Bahasa
Indonesia
menggambarkan
kegentingan dengan ungkapan bagai telur
diujung tanduk.Sementara, bahasa Inggris
menggambarkannya dengan hanging on a
thread,
bergantung
di
seutas
benang.Masyarakat Indonesia tidak melihat
sesuatu kegentingan dengan penggambaran
bergantungan di seutas benang namun
dengan penekanan telur yang berada di
ujung tanduk.Hal ini disebabkan masyrakat
Indonesia adalah masyrakat agraris, telur dan
tanduk mewakili budaya agraris sedangkan
benang dalam budaya Eropa mewakili
budaya industri.
Menurut hipotesis Saphir-Whorf dalam Wong
(1999) komunitas linguistik yang berbeda
memiliki cara yang pengungkapan yang
berbeda dalam mengalami, membedakan
dan mengkonstruksi realitas.
Contoh telur diujung tanduk dan benang
adalah realitas bahwa masing-masing
penutur akan menggunakan ungkapanungkapan figuratif dengan simbol-simbol dan
ungkapan yang dekat dengan kulturnya
sehingga dalam pembentukan setiap kosa
kata dalam masyarakat budaya turut
menintervensi.Ketika berhadapan dengan
ungkapan-ungkapan
demikian,
seorang
penerjemah
harus
berusaha
seakurat
mungkin dan mempertimbangkan tiap kata
dari teks bahasa sumber dengan hati-hati
sampai ia menemukan padanan yang tepat
bukan saja padanan dalam rujukan benda,
tapi sekaligus konotasi dan makna figuratif
yang ada di dalamnya.
Proses Penerjemahan
Newmark mengungkapkan bahwa (1988:5)
“by using another language you are
pretending to be someone you are
not,sehingga akibatnya proses penerjemahan
bisa menjadi rumit, dibuat-buat (artificial) dan
dipandang
menipu
(fraudulen).Proses
penerjemahan ini
mengacu kepada
pengertian pemadanan sebagai
proses
pengalihan
maknayaitu
mengungkapan
kembali makna (berkonteks budaya) yang
terdapat dalam teks bahasa sumber (unit
terjemahan) ke dalam teks bahasa sasaran.
Secara leksikal kata pengalihan tersebut
mengandung pengertian adanya proses
pemindahan, penggantian, dan pengubahan.
KNiST, 30 Maret 2014
305
Konferensi Nasional Ilmu Sosial & Teknologi (KNiST)
Maret 2014, pp. 303~312
306
Bertitik tolak dari pandangan bahwa
penerjemahan merupakan suatu proses
pengalihan makna yang berlangsung dalam
lingkup memori penerjemah maka secara
teoritis proses pengalihan makna tersebut
dapat di gambarkan sebagai berikut:
Gambar 2. Model Pengalihan Makna
Diadaptasi dari konsep wacana Halliday
(1985); proses penerjemahan Nida (1975);
Bell (1991); danSutjiati (2001; 2003)
Model pengalihan makna dalam proses
penerjemahan pada bagan 2 memandang
teks bahasa sumber sebagai suatu wacana,
yakni suatu teks yang memiliki suatu struktur
dan tekstur tertentu sebagai ciri tekstual yang
memungkinkan situasi wacana menjadi
koheren tidak saja dengan dirinya sendiri
tetapi juga dengan konteks situasinya.
Menurut Halliday (1985) teks adalah unit
semantik yang direalisasikan dalam unit
leksikogramatikal
dan
selanjutnya
diaktualisasikan sebagai unit fonologis atau
ortografis.
Teks sebagai unit semantik dibentuk dengan
makna-makna walaupun berwujud kata-kata
atau kalimat. Secara utuh, teks harus dilihat
sebagai produk dan sekaligus proses. Teks
sebagai produk merupakan suatu keluaran
(output), yakni sesuatu yang dapat dicatat
dan dipelajari, memiliki konstruksi yang dapat
direpresentasikan secara sistematis.
Sebagai proses teks merupakan pemilihan
sistematis yang berlangsung terus menerus
yang bergerak melalui jaringan potensi
makna
dan
masing-masing
pilihan
membentuk lingkungan bagi rangkaian yang
selanjutnya. Dari perspektif semiotik sosial
teks terlihat dalam aspek proses sebagai
kejadian interaktif, sebagai “social exchange
of meaning”, dengan demikian teks
merupakan suatu contoh proses dan produk
dari makna sosial dalam konteks situasi
tertentu dan konteks situasi terbungkus
dalam teks melalui hubungan sistematik
antara lingkungan sosio-kultural di satu pihak
dan
pengorganisasian
fungsi
bahasa
(pragmatik dan tindak tutur) di pihak lain.
Berdasarkan paradigma tersebut, langkah
pertama
penerjemahan
yaknimelakukan
analisis terhadap teks bahasa sumber melalui
interpretasi monolingual (bahasa sumber).
Analisis teks (text analysis) dikategorikan
oleh Riazi (2003) ke dalam micro-structure
analysisyaknihubungan dengan leksis dan
sintaksis, dan macro-structure analysis yang
berhubungan dengan analisis dan deskripsi
dari pengorganisasian retorik berbagai teks.
Tahap analisis tersebut dimaksudkan untuk
memperoleh pemahaman tentang teks
sumber melalui telaah linguistik dan makna
(grammar dan lexis), pemahaman bahan atau
materi yang diterjemahkan dan masalah
konteks situasi dan budaya bahasa sumber
yang
terealisasi
dalam
makna
unit
terjemahan.Pada
tahapan
ke
dua,
penerjemah melakukan interpretasi bilingual,
yaitu penjelajahan dua arah secara bolakbalik berupa telaah linguistik dan makna
terhadap teks bahasa sumber dan bahasa
target sekaligus.
Proses ini terealisasi dalam pengalihan atau
pengungkapan
kembali
representasi
semantik, yakni unit makna (kata atau frasa)
bahasa sumber ke dalam bahasa target
untuk mencapai padanan yang akurat dan
alami melalui berbagai strategi atau cara
(borrowing, substitusi linear, alih struktur
isomorfis,
transposisi,
modulasi,
equivalence, adaptasi, dan sebagainya)
sesuai dengan situasi komunikasi dan
konteks budayanya.
Tahapan ke tiga adalah sintesis berupa
rekonstruksi representasi semantik ke dalam
teks bahasa target melalui penyusunan
kalimat-kalimat
terjemahan
dan
memperkirakan
teks
target
dengan
mempertimbangkan aspek keterbacaan teks,
kesesuaian dengan konvensi bahasa target
serta menilai kesesuaian terjemahan bagi
tujuan-tujuan tertentu atau spesifik sampai
memperoleh hasil akhir dalam bentuk teks
bahasa target.
Proses pengalihan dalam model tersebut bisa
diilustrasikan dengan merekonstruksikan
contoh pemadanan kalimat berikut:
He is a book worm
a. „Dia (laki-laki) adalah sebuah/seorang
cacing buku‟
b. „Dia (adalah) orang yang suka membaca
buku‟
c. „Dia kutu buku‟
Penerjemahan ungkapan bahasa Inggris
book worm ke dalam bahasa Indonesia
tidaklah bisa secara literal ke dalam „dia
cacing buku‟. Pada terjemahan (a).
KNiST, 30 Maret 2014
306
Konferensi Nasional Ilmu Sosial & Teknologi (KNiST)
Maret 2014, pp. 303~312
307
Redistribusi menyeluruh harus dilakukan
untuk mempertahankan pesan , keterbacaan
dan kealamiahan bahasa target.
Dari sudut konteks secara logika tidak
terdapat hubungan antara dia dan cacing
(ataupun keduanya bisa disamakan) dalam
kalimat (teks) sumber. Makna kontekstual
dari ungkapan book worm tersebut adalah
„orang yang suka membaca buku‟.Dari
perspektif
kultural
ungkapan
tersebut
memerlukan penyenyesuaian sejalan dengan
budaya linguistik (linguistic culture) untuk
mempertahankan
keterbacaan
dan
kealamiahan ungkapan dalam bahasa target.
Padanan kultural dari ungkapan bahasa
Inggris book worm
pada contoh di atas
adalah „kutu buku‟ karena dalam budaya
linguistik Indonesia ungkapan atau makna
serupa diekspresikan dengan „kutu buku‟
bukan „cacing buku‟.
2. Metode Penelitian
Penulis menggunakan metode deskritif
kualitatif
sebagai
pengolahan
data
penelitian.Rikunto (1990:194) berpendapat
bahwa metode deskriptif tidak dimaksudkan
untuk menguji suatu hipotesis tertentu, tetapi
hanya menggambarkan apa adanya tentang
suatu variabel ,gejala atau keadaan.
Hasil penelitian yang penulis paparkan
adalah berbentuk kata kata dan bukan dalam
bentuk angka,sehinggapendekatan yang
digunakan adalah pendekatan kualitatif yang
menyajikan hasil data deskriptif yang berupa
tuturan penerjemahan baik dari bahasa asal
menuju ke bahasa tujuan atau dari bahasa
tujuan menuju bahasa asal.Paparan yang
disajikan oleh penulis
merupakan hasil
sintesis dari kajian berbagai pustaka dengan
harapan bisa memberikan pemahaman
terhadap berbagai fenomena penerjemahan.
3. Pembahasan
KetakterjemahanYang Terkait Dengan
Aspek Budaya
Ketakterjemahan budaya terkait dengan
ketiadaan padanan budaya bahasa sumber
dalam bahasa sasaran. Budaya di sini
berhubungan dengan ihwal cara makan, cara
berbusana, adat istiadat, bahasa, upacara,
peristiwa-peristiwa budaya sampai dengan
hal-hal seperti lukisan, patung, ukiran,
bangunan-bangunan dan sebagainya yang
dianggap sebagai budaya.
Perlu ditambahkan bahwa di samping hal-hal
tersebut, faktor budaya juga mencakup sikap
atau cara pandang masyarakat terhadap
alam, lingkungan sosial, kehidupan itu
sendiri, dan sebagainya. Contoh-contoh yang
relevan dengan masalah ketakterjemahan
budaya atas antara lain:
1. Kebogiro
Kebo Giro diterjemahkan oleh John McGlynn
(Machali, 2000:186-187) ke dalam bahasa
Inggris menjadi wedding songs. Dalam hal ini
si penerjemah gagal memahami makna
kultural kebogiro, yang berwujud bunyibunyian tanpa syair dalam kesenian khas
masyarakat Jawa; sementara wedding songs
sebagai padanannya dalam bahasa Inggris
merupakan nyanyian dengan syair tertentu
yang biasanya dilantunkan oleh paduan
suara beserta umat dan imam pada acara
pernikahan di gereja.
2. Supper( the evening meal; meal eaten
early in the evening if dinner is near
noon, or late in the evening if dinner is at six
o’clock or later)
Kebiasaan makan masyarakat Inggris
meliputi empat jenis bersantap, yaitu
breakfast, lunch, dinner, dan supper.
Sedangkan, masyarakat Indonesia hanya
mengenal tiga jenis bersantap, yakni sarapan
pagi, makan siang, dan makan malam
sebagai padanan untuk masing-masing
breakfast, lunch, dan dinner. Lalu, bagaimana
kata supper seharusnya diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia?Ternyata, sampai
saat ini belum ada padanan yang berterima
untuk istilah tersebut dalam bahasa kita.
3.Have you already eaten your meal?
Penerjemahan kalimat tersebut ke dalam
bahasa Jawa harus didasarkan pada
hubungan sosial antar si penutur, yang
berkaitan dengan kedudukan seseorang
dalam masyarakat. Jika seorang majikan
bertanya kepada anak buahnya, dia akan
menggunakan kalimat Kowe wis mangan apa
durung? Sebaliknya, bila seorang bawahan
bertanya kepada pimpinannya, dia akan
menggunakan kalimat Panjenengan sampun
dhahar
menapa
dereng?
Sedangkan,
seorang karyawan yang bertanya kepada
sesama karyawan yang selevel dengannya
dapat menggunakan kalimat Sampeyan
mpun nedha napa dereng?, masing-masing
sebagai terjemahan atas kalimat Have you
already eaten your meal?
Nida (1975:68-77) membedakan 5 (lima)
jenis ketakterjemahan yang terkait dengan
aspek budaya (cultural aspects):
a. Ketakterjemahan yang berhubungan
dengan masalah ecological culture
Misalnya: pancuran (Indonesia) dan shower
(Inggris).
KNiST, 30 Maret 2014
307
Konferensi Nasional Ilmu Sosial & Teknologi (KNiST)
Maret 2014, pp. 303~312
308
Kata pancuran tidak memiliki padanan dalam
bahasa Inggris, dan demikian juga kata
shower yang tidak memiliki padanan dalam
bahasa Indonesia. Kedua kata tersebut
tentunya tidak dapat saling dipadankan satu
dengan yang lainnya.
b. Ketakterjemahan yang berhubungan
dengan masalah social culture
Misalnya: midodareni (Jawa)
Istilah midodareni menggambarkan peristiwa
budaya dalam adat istiadat Jawa, yakni
sebuah acara ritual dalam perkawinan.Pada
kesempatan tersebut si calon pengantin
wanita dihiasi sedemikian rupa dan diisolasi
dari calon pengantin pria.Peristiwa ini
berlangsung pada malam hari, yaitu malam
sebelum pesta perkawinan diselenggarakan.
Kenyataannya masyarakat Inggris tidak
memiliki peristiwa budaya demikian, sehingga
bahasa Inggris juga tidak mengakomodasi
kosakata yang menggambarkan peristiwa
tersebut. Oleh sebab itu, penerjemahan kata
midodareni ke dalam bahasa Inggris
biasanya dilakukan dengan menggunakan
bantuan catatan kaki.
c. Ketakterjemahan yang berhubungan
dengan masalah material culture
Misalnya: rice
Kata rice dalam bahasa Inggris berpadanan
dengan beberapa leksikon yang maknanya
berbeda-beda dalam bahasa Indonesia,
seperti padi, gabah, beras, nasi.Dengan
demikian, penerjemahan kata rice ke dalam
bahasa Indonesia dapat menimbulkan
pemahaman yang berbeda dengan makna
aslinya dalam bahasa sumber.
4. Ketakterjemahan yang berhubungan
dengan masalah religious culture.
Misalnya: lebaran (a holiday following
Ramadhan, the fasting month in theIslamic
calendar, also known as Idul Fitri).
Kata lebaran tidak memiliki padanan dalam
bahasa Inggris, sehingga penerjemahan kata
tersebut ke dalam bahasa Inggris dapat
dilakukan dengan penggunaan catatan kaki.
5. Ketakterjemahan yang berhubungan
dengan masalah linguistic culture
Misalnya:
When a man stays with a girl when does she
say how much it costs? Does she say she
loves him? Yes, if he wants her to. Jika
seorang laki-laki bercengkerama dengan
seorang gadis bilakah dia mengatakan
harganya?apakah dia mengatakan bahwa dia
mencintainya?Dia mengatakannya kalau dia
mau
Di sini kata “dia” mengacu baik pada a man
maupun pada a girl,
Bahasa dan Budaya
Salah satu masalah yang menyulitkan dalam
penerjemahan adalah perbedaan budaya
antara teks bahasa sumber dan teks bahasa
sasaran (Larson, 1984:137). Sebuah kata
yang dalam suatu kultur mempunyai konotasi
positif mungkin mempunyai konotasi negatif
dalam budaya lain.
Kata babi misalkan pada masyarakat di
pedalaman Papua mempunyai konotasi yang
sangat
positif.Babi
identik
dengan
kemakmuran dan simbul status sosial yang
tinggi. Seorang wanita, dalam, proses
perkawinan, bahkan dinilai berdasarkan
berapa banyak ekor babi yang ditukar
sebagai mas kawinnya. Sementara pada
kultur muslim dan Yahudi, babi mempunyai
konotasi negative. Babi dicitrakan sebagai
simbol kekotoran dan kerakusan sehingga
bahkan
daging
dan
bagian
lainnya
diharamkan untuk dikonsumsi.
Contoh lainya dapat ditemukan di dalam
bahasa Indonesia seperti kata jangan jika
dialih bahasakan kedalam bahasa jawa
menjadi sayur atau kata butuh jika
dialihbahasakan ke dalam bahasa kalimantan
menjadi alat kelamin laki laki . Disinilah peran
seorang
penerjemah
untuk
selalu
mempertimbangkan nilai-nilai ini ketika
menerjemahkan antar budaya.
Meskipun penutur hidup di tempat dengan
lingkungan material yang mengalami banyak
persamaan namun pengungkapan bahasa
yang dipakai penutur untuk menggambarkan
objek tersebut dapat berbeda.Benda dan
realitas yang sama bisa dipersepsikan
dengan cara yang berbeda pada masingmasing masyarakat dan budaya sehingga
tiap bahasa memiliki banyak sekali ungkapan
yang spesifik terhadap budayanya (Wong
dan Shen, 1999:11).
Orang Melayu menyebut „matahari‟ sebagai
matanya hari yang artinya adalah sesuatu
yang
membuat
kita
bisa
melihat
hari.Sementara,
orang
Jawa
mempersepsikan
„matahari‟
sebagai
„srengenge‟ yang artinya „sesuatu yang
membara, menyala-nyala‟. Jadi meskipun
dua budaya, Melayu dan Jawa, merujuk
realitas
yang
sama,
tapi
mereka
mempersepsikannya dengan cara yang
berbeda.
Bahasa Inggris memiliki dua kata untuk
merujuk kata „rumah‟ yaitu house dan home.
Dalam bahasa Indonesia kata house dan
home diterjemahkan hanya satu kata yaitu
„rumah‟. Kultur bahasa Indonesia tidak
membedakan antara house dan home
KNiST, 30 Maret 2014
308
Konferensi Nasional Ilmu Sosial & Teknologi (KNiST)
Maret 2014, pp. 303~312
309
sehingga kita sangat kesulitan untuk
menerjemahkan kata home ke dalam bahasa
Indonesia dengan sangat akurat karena
home lebih dari sekedar rumah. Home adalah
rumah
yang
memberikan
seseorang
kedamaian dan selalu dirindukan. Sementara
house adalah sekedar rumah dalam bentuk
fisik belaka. Seorang pembicara bahasa
Inggris akan mengatakan “I will go home” dan
tidak pernah mengatakan “I will go house”.
Perbedaan persepsi kultur bahasa Indonesia
dengan kultur bahasa Inggris menyulitkan
seseorang membuat terjemahan secara
akurat.
Peranan kepercayaan juga mempengaruhi
proses penerjemahan.Ketika seseorang dari
kultur barat mendoakan orang lain, dia akan
mengatakan “God bless you” sementara
orang China akan mengatakan “Pusa
baoyou” yang artinya kira kira “Semoga sang
Budda memberkati”.Sehingga ketika seorang
penerjemah menerjemahkan kalimat “God
bless you” ke dalam bahasa China, dia akan
menerjemahkannya
menjadi
“Pusa
baoyou”(Semoga sang Budda memberkati)
bukan kalimat yang dalam bahasa China
berarti “Semoga Tuhan memberkati”. Di sini
dapat dikaji bahwa sebenarnya pesan yang
yang ingin disampaikan kedua kultur itu
sebenarnya sama, tapi karena mereka
mempunyai latar belakang cultural, termasuk
nilai-nilai
keyakinan,
mereka
mengungkapkannya secara berbedadalam
teks bahasa sasaran.
Budaya dan Ujaran Kiasan
Bahasa kiasan seperti metafora dan simile
sangat berkait erat dengan budaya.Itulah
makanya menerjemahkan metafora dan simili
menjadi tidak mudah. Jika sebuah metafora
diterjemahkan secara literal hasilnya bisa
menjadi sangat fatal karena kata yang
menjadi perbandingan mempunyai makna
figuratif yang berbeda pada bahasa sasaran.
Kita ambil contoh berikut
He is an ox
Pada bahasa sumber mungkin ox memiliki
makna figurative liar dan jahat, tapi pada
bahasa sasaran bisa saja diartikan sebagai
gagah atau mungkin pemberani.Di sini kita
menjadi tahu bahwa tidak semua metafora
mudah
dipahami.
Jika
metaphor
diterjemahkan secara literal, kata perkata, ke
dalam bahasa ke dua, metafor itu akan
disalahartikan (Larson, 1984:150).
Ujaran kiasan sangat berkaitan erat dengan
budaya. Misalkan ujaran kiasan metafora
yang berkaitan dengan salju akan sulit
ditangkap maksudnya oleh pembaca dari
masyarakat yang berasal dari gurun.
Perhatikan contoh similie berikut:
a.The cloth is as white as snow
b.Bajunya seputih salju
c.Bajunya seputih tulang
d.Bajunya seputih kapas
Variasi penerjemahan pada (b), (c) dan (d)
dimungkinkan
bila
penerjemah
menerjemahkan kalimat (a) ke dalam
bahasa-bahasa dengan latar belakang
budaya yang berbeda. Penerjemah akan
mempertahankan kalimat The cloth is as
white as snow secara literal menjadi „bajunya
seputih salju‟ bila ia mendapati masyarakat
pembaca bahasa sasaran masih mengenal
salju. Tapi ia akan menerjemahkannya
menjadi „bajunya seputih tulang‟ bila
pembaca bahasa sasaran mempunyai latar
belakang budaya yang tidak mengenal salju
tetapi mempunyai budaya peternakan. Pada
pembaca target dengan latar belakang
pertanian,
penerjemah
akan
menejemahkannya menjadi „Bajunya seputih
kapas‟.
Menurut Larson (1984) ada beberapa
kesulitan yang mungkin kita dapati ketika kita
menerjemahkan
bahasa
kiasan.Larson
menggambarkan anatomi bahasa kiasan
terdiri dari tiga bagian yaitu topic, image dan
point of similarity. Lewat pemahaman
anatomi metafora dan similie ini kita akan
bisa memecahkan kesulitan penerjemahan
metafora yang berkaitan dengan budaya.
Pada similie di atas, misalkan, bisa kita
gambarkan anatominya sebagai berikut:
theclocth
:topic
snow
:image
white
:point of similarity
Penerjemah harus mengenali ketiga unsur di
atas sebelum ia menerjemahkan sebuah
bahasa kiasan secara akurat. Pada bahasa
kiasan seperti ujaran similie, proses
penerjemahan sedikit lebih mudah karena
point of similarity sudah disebutkan pada
kalimat tersebut. Similie ditandai dengan
pemakaian kata seperti, bagaikan atau dalam
bahasa Inggris like atau as. Kalimat “she is
as bright as a star” mudah dipahami bahwa
topiknya adalah she, sementara star adalah
image. Di sini she yang merupakan persona
dibandingkan dengan a star dalam hal
kecerahannya atau keterangannya sebagai
point of similarity.
Pada penerjemahan bahasa kiasan seperti
metafora, proses penerjemahan menjadi
lebih sulit karena image yang digunakan
pada metafora tidak dikenali pada bahasa
sasaran. Misalnya seperti pada kasus ketika
KNiST, 30 Maret 2014
309
Konferensi Nasional Ilmu Sosial & Teknologi (KNiST)
Maret 2014, pp. 303~312
310
penerjemah menerjemahkan kalimat The
cloth is as white as snow ke dalam bahasa
sasaran dengan latar belakang geografis
gurun pasir, misalnya, yang tidak mengenal
salju.
Di sini kita melihat bahwa image sebuah
bahasa kiasan seperti metafora atau similie
sangat berkait erat dengan latar belakang
kultural
pemakai
bahasa.Seorang
penerjemah dengan demikian perlu hati-hati
dalam mengganti image sebuah metafora
dengan sesuatu yang lebih dekat dengan
budaya bahasa sasaran.
Kesulitan lainya pada penerjemahan bahasa
kiasan adalah apabila topic tidak dinyatakan
secara eksplisit. Misalnya pada kalimat The
storm againts the parliament, topic dari
bahasa kiasan berupa ujaran metaphor tidak
diungkapkan secara eksplisit. Storm pada
metafora di atas mungkin saja berarti
skandal, isu besar atau mungkin protes dari
masyarakat.
Contoh lainya adalah ungkapan No use
crying over spilt milk. Di sini penerjemah
perlu berhati-hati dalam menerjemahkan
ujaran kiasan ini.Jika hanya diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia maka menjadi
jangan menangis karena susu yang
tumpah. Pertanyaannya adalah apakah
penutur ingin menyampaikan maksud untuk
tidak menangisi susu yang telah tumpah?
Jika sebuah ujaran yang mengandung
bahasa kiasan hanya di terjemahkan secara
literal tanpa memahami makna tersurat dan
tersirat maka ujaran tersebut akan kehilangan
pesannya.Pemahaman
konteks
secara
mendalam mungkin akan sangat membantu
dalam menemukan topic seperti yang
dimaksud penulis aslinya.Sehingga ujaran
tersebut dapat di alih bahasakan menjadi
nasi sudah menjadi bubur. Perubahan bentuk
dari susu menjadi nasi disini terjadi karena
pengaruh kultur masyrakat Indonesia yang
lebih mengenal nasi sebagai bahan makanan
pokok daripada susu. Sehingga penerjemah
dituntut jeli melihat makna serta budaya yang
di bawa baik itu berasal dari bahasa sumber
maupun berasal dari bahasa target.
Dengan kata lain, strategi penerjemahan
untuk mengalih bahasakan ujaran kiasan
perlu adanya pemahaman makna yang
tersembunyi. Akibatnya, penerjemah perlu
merubah bentuk kata supaya pesan yang
disampaikan dari bahasa sumber dapat
tercapai. Sebagai contoh cat and dog rain jika
diterjemahkan secara literar menjadi hujan
kucing dan anjing .Akibatnya, pesan yang
akan disamapaikan berbeda sehingga perlu
adanya perubahan secara bentuk kata
dengan mengganti ujaran tersebut dengan
terjemahan hujan yang lebat ke dalam
bahasa target.
Ketaksaan Bahasa
Orang bisa saja secara sengaja atau tidak
sengaja bersikap taksa. Namun demikian
seseorang menggunakan kata, ungkapan
atau kalimat yang berpotensi taksa,
tujuannya tetap ingin mengungkapkan hanya
satu makna. Quiroga-Clare (2003) menilai
ketaksaan (ambiguity) makna merupakan
bagian dan ilustrasi dari kekomplekan suatu
bahasa. Dalam penerjemahan ketaksaan
bisa menjadi penghalang kalau diacuhkan
dan menjadi masalah kalau diatasi. Sesuatu
bersifat taksa bila sesuatu tersebut bisa
dimengerti dalam dua pengertian atau cara
atau lebih.
Terdapat dua jenis ketaksaan, yakni (1)
ketaksaan leksikal ditemukan dalam tataran
kata tunggal, Misalnya kata “bisa” yang
berarti "dapat"; “mampu" atau “racun” (ular
atau binatang) dalam bahasa Indonesia.dan
(2) ketaksaan struktural ditemukan dalam
tingkat klausa atau kalimat. Ketaksaan
struktural dapat dicontohkan dengan kalimat
bahasa Inggris "John enjoys painting his
model nude" Dalam kalimat ini tidak jelas
siapa yang "nude" (telanjang) apakah John
atau his model.Contoh lainya adalah kalimat
“buat
anak
kok
coba
coba”dapat
diinterpretasikan menjadi buat menjadi for
atau make. Pemecahan ketaksaan tersebut
dapat dipecahkan dengan melihat konteks
makna yang mempengaruhi ujaran tersebut.
a. Penutur: nenek
Pelaku : ibu, bayi,nenek
tempat: di rumah/kamar bayi
waktu: sore hari.
Kronologis :
Seorang ibu
sedang menggunakan
suatu obat penghangat yang digunakan
untuk bayi,sehabis mandi dan bayinya
masih tetap menangis karena minyak
gosoknya tidak sesuai dengan yang
dikehendaki
bayinya,
kemudian
neneknya berkata, “Buat anak kok cobacoba!”
b. Penutur: seorang bapak paruh baya;
pelaku: sepasang muda-mudi,bapak
paruh baya
tempat: kamar tidur di rumah yang sepi
waktu: malam hari.
Kronologis :
Bapak paruh baya ini sedang mengintip
dan ingin mengetahui apa yang akan
dilakukan oleh sepasang muda-mudi
KNiST, 30 Maret 2014
310
Konferensi Nasional Ilmu Sosial & Teknologi (KNiST)
Maret 2014, pp. 303~312
311
yang masuk ke kamar hanya berduaan.
Bapak paruh baya tersebut kemudian
berkata “Buat anak kok coba-coba!”
Kedua ujaran di atas sama, yaitu “Buat anak
kok
coba-coba!”Contoh
kasus
diatas
mengungkapkan adanya ketaksaan yang
dapat membingungkan penerjemah dalam
menyampaikan pesan yang ada.
Pada contoh (a) kata “buat” ditafsirkan untuk
atau diperuntukkan bagi karena kata tersebut
dikontraskan dengan pemberian sesuatu,
minyak gosok, untuk anak bayi (cucu nenek
penutur).Sedangkan pada contoh (b) kata
“buat” ditujukan untuk sepasang muda-mudi
yang akan melakukan suatu perbuatan yang
tidak sepatutnya dilakukan oleh pasangan
yang belum resmi menikah . Kata “buat” di
sini diartikan dengan melakukan suatu hal
untuk mendapatkan hasil, karena kata
tersebut dikontraskan dengan tindakan yang
akan dilakukan oleh dua muda-mudi lain jenis
di dalam rumah yang sepi untuk melakukan
hubungan suami istri.
Dapat disimpulkan bahwa, penerjemahan
ujaran yang mengandung makna taksa dapat
menimbulkan distorsi pada tataran makna
serta pesan, sehingga perlu kejelian serta
kemampuan seorang penerjemah membaca
konteks serta maksud dari penutur.Peran ini
menjadi salah satu tanggung jawab
penerjemah sebagai penyampai pesan,walau
yang dihadapi adalah makna taksa.Strategi
yang perlu diambil dalam menghadapi
permasalah ketaksaan adalah melihat
konteks yang mengikuti ujaran tersebut.
4. Simpulan
Pada hakekatnya terjemahan merupakan
pengungkapan
sebuah
makna
yang
dikomunikasikan dalam bahasa sumber ke
dalam bahasa target sesuai dengan makna
yang dikandung dalam bahasa sumber.
Perspektif
tersebut
menjadikan
penerjemahan suatu fenomena yang tidak
sederhana.
Penerjemahan muncul tidak saja sebagai
pengalihan kode atau sistem bahasa tetapi
juga pengalihan budaya.Karena bahasa
merupakan bagian dari kebudayaan, maka
penerjemahan tidak saja bisa dipahami
sebagai pengalihan bentuk dan makna tetapi
juga
budaya.Konsekuensinya
adalah
penerjemahan sebagai bentuk komunikasi
tidak saja dapat mengalami hambatan
kebahasaan
tetapi
juga
segi
budaya.Sehingga dapat disimpulkan bahwa
proses penerjemahan tidaklah semata-mata
masalah pengalihan bahasa (linguistic
transfer), atau pengalihan makna (transfer of
meaning) tetapi juga pengalihan budaya
(cultural transfer).
Komunikasi antarbudaya tidak selalu mudah
dan tergantung pada besarnya perbedaan
antara kebudayaan yang bersangkutan.
Walaupun secara teoritis penerjemahan tidak
mungkin dilaksanakan akibat di samping
adanya perbedaan sistem dan struktur juga
semantik
serta
kebudayaan
yang
melatarbelakanginya, namun secara praktik
kegiatan penerjemahan sampai batas-batas
tertentu bisa dilakukan dengan cara mencari
dan menemukan padanan di dalam bahasa
target.
Referensi
Bell, Roger T. 1991.
Translation and
Translating: Theory and Practice.
London:Longman
Catford, J.C. 1965. A Linguistic Theory of
Translation.
London:
Oxford
University Press.
Halliday, M A K dan Raquaiya Hasan.1986.
Language, Context, and Text:
Aspects of Language in a Socialsemiotic
Perspective.
Victoria:
Deakin University Press.
Hagfors, Irma. 2003. The Translation of
Culture-Bound Elements into Finnish
in the Post-War Period. Meta, Vol
XLVIII, 1-2,
Hornby.
Mary Snell. 1988. Translation
Studies; An Integrated Approach.
Amstredam/Philadelpia:
John
Benyamin Publishing Company
Larson, Mildred A. 1984. Meaning-Based
Translation.
Lanham:
University
Press of America.
Machali, Rochayah. 2000. Pedoman bagi
Penerjemah. Jakarta: Grasindo.
Newmark, Peter. 1995. A Text Book of
Translation. Hertfordsire: Phoenix
ELT
Nida, Eugene. 2001. Context in Translating.
Amsterdam
/Philadelpia:
John
Benyamin Publishing Company.
Nida, Eugene dan Charles Taber. 1974. The
Theory and Practice of Translation.
Leiden: E.J. Brill.
KNiST, 30 Maret 2014
311
Konferensi Nasional Ilmu Sosial & Teknologi (KNiST)
Maret 2014, pp. 303~312
312
Quiroga-Clare, Cecillia. 2003.
Language
Ambiguity: A Curse and a Blessing.
dalam Translation Journal and the
Authors 2003, Volume 7, N0. 1,
Januari 2003
Riazi, Abdolmehdi Ph.D. 2003. The Invisible
in Translation: The Role of Text
Structure,dalam Translation Journal
and the Authors 2003 Volume 7, No.
2, April 2003
Sutjiati Beratha, Ni Luh, Dr. 2001. Meanings
and How to Determine Them in
Translation
paper yang dipresentasikan pada the 49th
International TEFLIN
Conference, Bali, 6 - 8 Nopember 2001
Snell,
Mary-Hornby.
1995.
“Linguistic
Transcoding or Cultural Transfer? A
Critique of Translation Theory in
Germany” dalam Bassnett, Susan
dan André Lefevere (Eds.). 1995.
Translation, History and Culture.
USA: Cassell
Tomasouw, Pauline. 1986. Cross Cultural
Understanding . Jakarta: Penerbit
Karunika Jakarta.
Wardhaugh, Ronald. 1997. An Introduction to
Sociolinguistics. Oxford: Blackwell
Publisher Ltd.
Wong,
Dongfeng. Shen. 1999. Factors
Influencing
the
Process
of
Translating. Meta Vol XLIV,1
KNiST, 30 Maret 2014
312
Download