PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUT AGAMA

advertisement
SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI DESA GIYANTI
Anwar Fuadi, Hesti Setiani, Saras Mitaningsih, Siti Isnaini dan Syukron Usmani
Dosen Pengampu: Bahrun Ali Murtopo
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA (IAINU)
KEBUMEN
PENDAHULUAN
Agama adalah salah satu jembatan hubungan kita dengan Tuhan. Dengan Agama
kita dapat mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan. Salah satu
Agama yang ada di Indonesia adalah Agama Buddha. Agama ini bukan agama baru di
Indonesia, karena sudah ada sejak ratusan tahun silam tepatnya pada zaman kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit.
Pertumbuhan Agama Buddha di Indonesia dilatarbelakangi letak wilayahnya yang
strategis yaitu terletak diantara dua benua dan dua samudera. Hal itu yang
menyebabkan pada zaman dahulu Indonesia dijadikan sebagai jalur pelayaran yang
strategis antara India ke China ataupun sebaliknya. Banyaknya pedagang China dan
India melalui Indonesia menyebabkan adanya pengaruh kebudayaan baik dari India
maupun dari China. Para pedagang itu juga tidak semata-mata melakukan
perdagangan di wilayah Nusantara, akan tetapi mereka juga berperan dalam proses
penyebaran agama pada saat itu khususnya Hindu dan Buddha.
Hindu merupakan agama yang dianggap sebagai agama paling tinggi
kedudukannya saat itu, karena mereka mengenal sistem kasta sehingga yang bisa
mempelajarinya hanyalah kalangan tertentu saja. Sedangkan Buddha merupakan
agama yang tidak mengenal kasta, sehingga dapat menyebar dengan merata tanpa
memandang suatu kalangan ataupun kasta tertentu.
Agama Buddha memiliki sejarah panjang di Indonesia dengan sejumlah candi di
Jawa dan Sumatra, termasuk candi Muaro Jambi yang dibangun pada abad ke-7 dan
candi Borobudur di dekat Yogyakarta, dibangun pada abad ke-8 dan ke-9. Militan
Islamis pernah membom beberapa stupa Borobudur pada Januari 1985.
Masuknya agama Buddha di Indonesia terjadi sekitar awal abad pertama atau saat
dimulainya perdagangan melalui jalur laut. Kerajaan Srivijaya (Sriwijaya) merupakan
asal mula peranan kehidupan Agama Buddha di Indonesia, dimulai pada zaman
Srivijaya di Suvarnadvipa (Sumatera) pada abad ke-7. Hal ini terlihat pada catatan
seorang sarjana dari China bernama I-Tsing yang melakukan perjalanan ke India dan
Nusantara serta mencatat perkembangan agama Buddha di sana. Biarawan Buddha
lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang Profesor dari
Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang berasal dari India
Selatan.
Selain kerajaan Sriwijaya, masih banyak kerajaan-kerajaan lain yang bercorak
Buddha di Indonesia, seperti kerajaan Tarumanegara, Mataram kuno, dan lain
sebagainya. Semua kerajaan itu berperan dalam proses perkembangan agama Buddha
di Indonesia, pengaruh India pada masa kerajaan-kerajaan itu sangat terasa.
Di Jawa juga berdiri kerajaan Buddha yaitu kerajaan Syailendra, tepatnya
sekarang berada di Jawa Tengah, meskipun tidak sebesar kerajaan Sriwijaya, kerajaan
ini meninggalkan beberapa peninggalan penting yaitu candi-candi Buddha yang masih
berdiri hingga sekarang, salah satunya adalah Candi Borobudur, warisan kebudayaan
bangsa yang amat kita banggakan dan termasuk salah satu dari keajaiban dunia.
Candi ini adalah cerminan kejayaan agama Buddha di zaman lampau. Selain itu
ditemukan juga lempengan batu berwarna di satu puing rumah bata yang diperkirakan
kamar Bhikku Buddha. Lempengan batu itu berisi 2 syair Buddhist dalam bahasa
Sansekerta yang ditulis dengan huruf Pallawa.
Namun pada perkembagannya kini, pengaruh India kian memudar. Justru
pengaruh dari negeri Tionghoalah yang paling mendominasi agama Buddha sampai
saat ini, terbukti dari bentuk bentuk patung, tempat sembahyang, maupun seluruh
ornamen dalam Agama Buddha saat ini lebih didominasi unsur Tionghoa daripada
India.
Hal ini disebabkan oleh banyaknya orang Tionghoa beragama Buddha yang
berdagang di Indonesia sejak zaman dahulu, sehingga proses perkembangan Agama
Buddha lebih banyak didominasi oleh kebudayaan orang Tionghoa ketimbang dari
India.
Dalam perkembangannya, ada beberapa agama lain yang masuk ke Indonesia
seperti Islam, Kristen, Katolik dan agama-agama yang lain. Seiring berjalannya
waktu, agama Buddha menjadi salah satu agama minoritas dan Islamlah yang menjadi
agama mayoritas masyarakat di Indonesia.
Masuknya Islam di Indonesia berlangsung secara damai dan menyesuaikan
dengan adat serta istiadat setempat. Ajaran Islam yang tidak mengenal perbedaan
kasta membuat ajaran ini sangat diterima penduduk lokal. Proses masuknya Islam
dilakukan melalui cara-cara berikut ini:
1 . Perdagangan
Letak Indonesia yang sangat strategis di jalur perdagangan di masa itu membuat
Indonesia banyak disinggahi para pedagang dunia termasuk pedagang muslim.
Banyak dari mereka yang akhirnya tinggal dan membangun perkampungan muslim,
tak jarang mereka juga sering mendatangkan para ulama dari negeri asal mereka untuk
berdakwah. Hal inilah yang diduga memiliki peran penting dalam penyebaran ajaran
Islam di nusantara.
2. Perkawinan
Penduduk lokal beranggapan bahwa para pedagang muslim ini adalah kalangan
yang terpandang, sehingga banyak penguasa pribumi yang menikahkan anak mereka
dengan para pedagang muslim. Sebagai sayarat sang gadis harus memeluk Islam
terlebih dahulu, hal inilah yang diduga memperlancar penyebaran ajaran Islam.
3. Pendidikan
Setelah perkampungan Islam terbentuk, mereka mulai mendirikan fasilitas
pendidikan berupa pondok pesantren yang dipimpin langsung oleh guru agama dan
para ulama. Para lulusan pesantren akan pulang ke kampung halaman dan
menyebarkan ajaran Islam di daerah masing-masing.
4. Kesenian
Wayang merupakan warisan budaya yang masih terjagan hingga saat ini, dalam
penyebaran ajaran Islam wayang memiliki peran yang sangat konkret. Sunan Kalijaga
merupakan salah satu tokoh Islam yang menggunakan pementasan wayang dalam
berdakwah.
Kini, menurut sensus 2010, sekitar 1,5 juta penduduk Indonesia adalah penganut
agama Buddha atau sekitar 0,6 persen dari populasi. Kebanyakan umat Buddha
tinggal di Jakarta, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Banten, serta di pulau Bangka
dan Belitung.
Mayoritas umat Buddha adalah etnis China yang bermigrasi dari Tiongkok ke
Indonesia pada tujuh abad silam. Etnis China memiliki sejarah kompleks di Indonesia
sejak mereka sebagai minoritas yang mendominasi ekonomi pada awal abad ke-20.
Dominasi ekonomi ini pada titik kisar waktu, dalam sejarah Indonesia terkini,
seringkali berbuntut prasangka rasial yang sengit dan bahkan kekerasan di tangan
unsus-unsur penduduk mayoritas. Praktiknya, hal tersebut sangat mempengaruhi
kehidupan warga minoritas, seperti kesulitan mendapat pekerjaan dan pendidikan,
diskriminasi pelayanan publik seperti pencatatan sipil, hingga masalah pemakaman.
PEMBAHASAN
1. Aturan Beragama
Pemerintah Indonesia, dalam undang-undang dan perjanjian-perjanjian internasional,
menghormati hak kebebasan beragama. Kebebasan beragama jadi bagian dari konstitusi
Indonesia sejak kemerdekaan 1945. Pada 2005, Indonesia meratifikasi Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang menjamin dalam pasal 18(2),
“Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut
atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya,” dan pasal 27,
“Orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tidak boleh diingkari haknya
dalam masyarakat bersama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya
mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri.”
Komisi Hak Asasi Manusia PBB, badan ahli internasional yang memantau
pemenuhan negara terhadap ICCPR, menyatakan dalam Komentar Umum 22 bahwa
“memandang dengan prihatin adanya kecenderungan mendiskriminasi suatu agama atau
kepercayaan atas dasar apapun, termasuk berdasarkan kenyataan bahwa mereka mewakili
minoritas agama yang mungkin menjadi subyek permusuhan dalam komunitas agama
mayoritas tertentu. Selain itu, fakta bahwa para pengikut agama mayoritas penduduk tak
mengizinkan “diskriminasi apapun terhadap para penganut agama lain atau orang-orang
tak beragama atau berkepercayaan.”
2. RUU Kerukunan Umat Beragama
Pada Oktober 2011, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono,
Menteri Agama Suryadharma Ali, dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
mengusulkan rancangan undang-undang tentang kerukunan umat beragama untuk
dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Usulan undang-undang ini akan mengatur
beragam isu terkait agama, termasuk penyebaran ajaran agama, perayaan hari besar
keagamaan, pembangunan rumah ibadah, dan penguburan serta pendidikan agama. Ia
menegaskan tanggung jawab minoritas-minoritas agama untuk melindungi “kerukunan
umat beragama”.
Para pembela kebebasan beragama menentang rancangan undang-undang ini, dengan
dasar bahwa RUU ini akan melegitimasi peratutan diskriminatif yang sudah ada,
termasuk PNPS penodaan agama 1965, SKB 2006 tentang pendirian rumah ibadah, SKB
anti-Ahmadiyah 2008, dan pasal-pasal dalam UU Perlindungan anak.
3. Kementrian Agama
Pada awal abad ke-20, urusan warga Muslim zaman Hindia Belanda
dilakukan lewat beberapa kantor, termasuk kantor urusan Islam, guna
menyediakan pendidikan agama melalui madrasah, memberikan pedoman dan
informasi keagamaan, mengatur pengelolaan haji ke Mekkah, dan
menyelenggarakan pengadilan Islam untuk perkara seperti pernikahan,
perceraian, dan warisan.
Kementerian Agama dibentuk pada 1946, dan kendati banyak programnya
dirancang mengurusi Islam, ia adalah departemen dengan ragam agama. Sekarang
ini ia terbagi menjadi tujuh direktorat jenderal. Tiga direktorat berurusan dengan
kalangan Muslim—apa yang disebut “bimbingan masyarakat” Islam, pengelolaan
haji, dan pendidikan Islam. Sementara yang lain masing-masing mengurusi
“bimbingan masyarakat” Protestan, Katholik, Hindu, dan Buddha.
4. Konsep Minoritas-Mayoritas
Minoritas ialah kelompok sosial yang tak menyusun mayoritas populasi
total dari voting dominan secara politis dari suatu kelompok masyarakat
tertentu.Minoritas dapat pula merujuk ke kelompok bawahan maupun marginal.
Minoritas sosiologis tak perlu bersifat numerik sebab dapat mencakup kelompok
yang di bawah normal dengan memandang pada kelompok dominan dalam
hal status sosial, pendidikan, pekerjaan, kekayaan, kekuasaan dan politik.Istilah
"kelompok minoritas" sering diterapkan bersama dengan wacana hak asasi
manusia dan hak kolektif yang mengemuka di abad ke-20.
Kinloch berpendapat bahwa kelompok orang yang disebut sebagai
mayoritas adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan, menganggap dirinya
normal dan memilik derajat lebih tinggi. Sedangkan kelmpok lain yang dianggap
sebagai kelompok minoritas adalah mereka yang tidak memiliki kekuasaan,
dianggap lebih rendah karena memiliki ciri tertentu: cacad secara fisik ataupun
mental sehingga mereka mengalami eksploitasi dan diskriminasi. (Kinloch, 1979:
38)
Konsep mayoritas di sini didasarkan oleh dominasi kekuasaan, bukan
dominasi oleh jumlah anggota. Kelompok mayoritas bisa saja berjumlah lebih
kecil
daripada
minoritas.
Sebagai
contoh
adalah
saat
politik apartheid dicanangkan di Afrika Selatan, jumlah orang berkulit putih lebih
sedikit daripada jumlah orang berkulit hitam. Akan tetapi kelompok kulit putih
memiliki kuasa terhadap kelompok kulit hitam.
5. Kebijakan Pemerintah
Di Indonesia, diskriminasi negara terkait agama tidak hanya pembangunan
gereja, masjid, dan pura. Beragam peraturan pemerintah mendiskriminasi
minoritas agama, mulai dari pengajuan kartu tanda penduduk, akta kelahiran dan
pernikahan, serta akses lain ke pelayanan pemerintah.
B. Alternatif Pemecahan Masalah
Kasus yang terjadi pada umat Buddha Giyanti adalah mereka merasa ada
diskriminasi pelayann bublik terhadap mereka, khususnya dalam hal pencatatan sipil.
Umat Buddha yang hendak menikah harus datang langsung ke Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil Kebumen. Hingga saat ini belum ada solusi dari permasalahan ini. Janjijanji yang pernah diucapkan calon pemimpin daerah pun hanya berlalu seperti angin.
Mereka ingin mendapatkan hak yang sama dalam hal pernikahan seperti halnya umat
Islam yag dapat melangsungkan pernikahan di KUA setempat maupun dapat memanggil
penghulu untuk mencatat pernikahan di rumah-rumah.
Alteratif pemecahan masalah dalam hal ini menurut kami sebagai berikut:
1. Bersikap Toleran
Dalam mengatasi konflik mayoritas-minoritas ini, kami sependapat dengan
pemikiran yang dikembangkan oleh Prof Dr Harun Nasution dalam bukunya Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspek, yang memberikan inspirasi untuk selalu toleran dan
melihat agama tidak hanya satu aspek, tetapi dari berbagai aspek, seperti aspek
filsafat, fiqih, sosial, dan teologi.
2. Tunaikan Janji
Kepada bapak Bupati yang terhormat, yang pernah menjanjikan kemudahan
administrasi pernikahan umat Buddha Giyanti, mohon tunaikan janji anda.
Bagaimanapun, janji adalah janji. Islam memerintahkan umatnya untuk menunaikan
janji.
3. pemerintah Daerah
Kepada pemerintah daerah, Derartemen Agama kabupaten Kebumen, Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil kabupaten Kebumen, kerjakanlah amanah sesuai
aturan dan secara professional. Berikan hak-hak umat minoritas menurut aturannya.
Hasil Observasi
1. Sejarah masuknya agama Buddha di Giyanti
Sebelum Islam dan Buddha datang, masyarakat Giyanti pada umumnya
adalah penganut aliran Kepercayaan atau Kejawen. Pada sekitar awal tahun 1967an, setelah peristiwa G 30 S PKI, pemerintah mengharuskan setiap warga Negara
untuk menganut agama, dan mensahkan lima agama yang salah satunya adalah
Buddha. Kemudian datanglah penyebar agama Islam dan penyebar agama
Buddha di Giyanti. Menurut cerita turun-temurun dari mereka, pada awalnya
semua masyarakat di desa Giyanti mengikuti pensyiaran kedua agama, yaitu
Islam dan Buddha. Namun setelah beberapa waktu, akhirnya mereka memutuskan
untuk memilih salah satu dari kedua agama tersebut. Sebagian masyarakat
memutuskan memeluk agama Islam dan sebagian yang lain memutuskan
memeluk agama Buddha.
Awal mula agama Buddha di Kalibatur karena adanya tokoh yang
berjuang untuk mengembangkan Agama Buddha sekitar tahun 1967, diantaranya
bermula dari Bapak Karjono Dipo dan alm. Mbah Sastro (Purwodadi, Kec.
Kuwarasan ). Sebelum sampai ke Kalibatur mereka lebih dulu mengenalkan
agama Buddha ke masyarakat Kedung Gondang yang masih berada dalam satu
kelurahan, yaitu Giyanti. Setelah rutin mengadakan kegiatan Puja Bhakti dan
ceramah di Kedung Gondang, mereka mulai mengenalkan agama Buddha di
Kalibatur bersama bapak Nawir (Kedung Gondang).
Mereka awalnya
mengadakan kegiatan di rumah bapak Manreja, yang tidak lain adalah tokoh
Buddha pertama yang ikut berperan aktif dalam pengembangan Buddha Dhamma
di Kalibatur, yang kemudian diikuti oleh orang-orang yang lain diantaranya Bpk
Karyasentana, Bpk Madaris, Bpk Partareja, dll.
Pada sekitar tahun 1984, berdiri sekolah Pendidikan Agama Buddha
PGAB Mpu Tantular yang diketuai oleh Bapak Cipto Wardojo. Dengan
berdirinya sekolah ini tentu membawa peluang besar bagi generasi muda Buddhis
untuk berperan serta memajukan agama Buddha. Umat Buddha Kalibatur
menyambut positif dengan mengirimkan anak didik untuk menempuh pendidikan
di PGAB Mpu Tantular dan ternyata memang hasilnya sungguh sangat
menggembirakan karena agama Buddha di Kalibatur semakin maju dan bahkan
hampir seluruh lulusan PGAB Mpu Tantular yang berasal dari Kalibatur sekarang
sudah menjadi pegawai negeri sebagai guru agama Buddha yang tersebar di
beberapa propinsi di Jawa dan Sumatera. Sekolah ini berdiri sampai kira-kira
tahun 1994 karena pemerintah mengeluarkan peraturan tentang penghapusan
PGA di seluruh Indonesia.
Hingga saat ini, menurut Kadus setempat, prosentase pemeluk Buddha
dan agama lain di desa Giyanti adalah 40% : 60 %, yaitu 90 KK di Kalibatur dan
sekitar 25 KK di Kedung Gondang.
2. Pembangunan vihara Giri Pura
Selama hampir 12 tahun sejak tahun 19671980 perkembangan agama Buddha di Kalibatur
cukup pesat baik secara kualitas maupun kuantitas.
Oleh karena itu dengan semakin banyaknya umat
mereka merasa perlu memiliki tempat ibadah yang
lebih memadai, karena selama itu kegiatan Puja
Bhakti dan ceramah dilaksanakan di rumah bapak
Manreja. Sehingga pada tahun 1980 disepakati untuk
membangun vihara secara gotong-royong. Vihara
tersebut dibangun di atas sebidang tanah yang
berukuran 6 x 8m. Pada tahun 1981 pembangunan
vihara sudah bisa diselesaikan dan diberi nama
Vihara Giri Pura. Sejak saat itu, umat Buddha
Kalibatur telah resmi memiliki vihara sendiri.
Setelah pembangunan Cetiya Giri Pura selesai pada tahun 1980, kegiatan
umat menjadi lebih lancar dan umat menjadi lebih fokus dalam belajar Buddha
Dhamma. Selain itu, komunikasi dengan umat Buddha di daerah lain juga
semakin terjalin dengan baik bahkan pada waktu itu rutin diadakan pertemuan
antar-tokoh dan umat yang diikuti oleh tiga kabupaten yaitu Banyumas, Kebumen
dan Cilacap. Bahkan pernah juga dari kabupaten Bajarnegara yang dilaksanakan
di Buntu (Banyumas).
Dari tahun 1986-1999, hampir setiap tahun umat Buddha Kalibatur selalu
merayakan Waisak secara meriah dengan menampilkan pentas seni muda-mudi
Buddhis Kalibatur, karena selain kegiatan ritual mereka juga mengadakan
kegiatan lain, baik kegiatan seni maupun kegiatan sosial. Umat juga mengadakan
kegiatan simpan-pinjam yang hasilnya digunakan seluruhnya untuk operasional
vihara karena dari awal berdiri seluruh dana operasional berasal dari swadaya
umat. Selama hampir 27 tahun berdiri vihara Giri Pura sudah mengalami 2 kali
renovasi dan pada tahun 2006 mereka merasa perlu merenovasi total bangunan
vihara karena struktur bangunannya sudah rapuh. Di samping itu juga ruangan
vihara sudah tidak cukup untuk menampung jumlah umat pada saat Puja Bhakti,
sehingga pada pertengahan tahun 2007 renovasi total bangunan vihara Giri Pura
mulai dilaksanakan dan pembangunannya selesai tahun 2008. Sumber dana yang
digunakan berasal dari sumbangan para donatur dan simpatisan Buddhis di
seluruh Indonesia.
Pembangunan vihara ini dilakukan oleh swadaya umat dan dibantu oleh
donatur dan juga pemerintah. Umat Buddha setempat membantu tenaga, material
berupa kayu dan batu, serta makanan. umat juga berupaya mengumpulkan dana
dengan program “Pengumpulan Gula Merah”. Para donator yang bersedia
mendonasikan dananya diantaranya Sangha Theravada Indonesia, Yayasan Abdi
Dharma Indonesia, Umat Buddha Kerawang, dan donator lainnya. Pihak
pemerintah yang membantu yaitu Pemda Kebumen, Gubernur Jawa Tengah,
Bimas Buddha Jawa Tengah, serta Kementrian pusat agama Buddha Republik
Indonesia.
Saat ini, mereka telah memiliki tempat ibadah yang layak, yang mampu
menampung semua umat Buddha di Desa Giyanti, sehingga mereka dapat
mengadakan kegiatan keagamaan dengan aman dan nyaman. Kegiatan yang rutin
dilakukan di vihara diantaranya Puja Bhakti, Sekolah Minggu dan Meditasi.
3. Kegiatan
a. Puja Bhakti
Puja Bhakti merupakan ibadah yang
pokok dalam agama Buddha. Puja Bhakti
dilakukan di vihara dan diikuti oleh semua umat
Buddha dari berbagai usia. Puja Bhakti dilakukan
satu paket, dalam arti melakukan sembahyang sekaligus mendengarkan
siraman rohani dari seorang Bhikku.
b. Sekolah Minggu
Sekolah minggu adalah salah satu kegiatan vihara yang ditujukan
untuk anak-anak. Anak-anak peserta kegiatan sekolah minggu terdiri dari
anak pra sekolah, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan
Sekolah Menengah Atas. Sesuai dengan namanya kegiatan sekolah
minggu diadakan pada hari minggu di vihara. Kegiatan sekolah minggu
rata-rata berlangsung selama satu sampai dua jam.
Sekolah minggu dibagi menjadi empat kelompok berbeda sehingga
model pembelajarannya juga berbeda. Pemisahan kelompok ini sangat
membantu guru dalam melakukan pembelajaran. Guru dapat memilih
model pembelajaran yang cocok sesuai dengan usia dan kebutuhan anakanak. Anak-anak pra sekolah mengunakan model pembelajaran langsung
dengan disertai praktik-ppraktik langsung. Seperti materi cinta kasih
dengan langsung mengajak anak-anak untuk melakukan fangsen dan
memberi makan ikan. Dalam praktik puja bhakti anak-anak juga diajak
langsung untuk melakukan puja bhakti, cara anjali yang benar, dan
sebagainnya. Selain dengan praktik langsung guru anak-anak pra sekolah
juga sering melakukan pengajaran dengan bernyanyi lagu-lagu Buddhis,
menggambar, permainan yang mendidik dan sebagianya.
c. Peringatan Waisak
Peringatan Waisak diadakan
rutin setiap tahun secara meriah.
Biasanya dihadiri Bupati Kebumen dan
beberapa tokoh penting di Kabupaten,
serta beberapa warga non-Buddhist
yang hendak melihat dan menonton
acara tersebut.
d. Meditasi
Meditasi ini hanya dilakukan oleh seorang atau sekelmpok orang yang
memang ingin bermeditasi di vihara. Meditasi ini tidak sifatnya tidak
wajib.
4. Interaksi sosial
Interaksi sosial adalah proses saling memengaruhi dalam hubungan timbal
balik antara individu dengan individu, individu dengan suatu kelompok, suatu
kelompok dengan kelompok yang lain. Interaksi sosial dapat disebut juga proses
orang-orang yang berkomunikasi, saling memengaruhi dalam pikiran dan
tindakan. Interaksi sosial dapat terjadi karena adanya kontak sosial dan
komunikasi.
Interaksi sosial antara pemeluk agama Buddha dengan pemeluk agama
lain di Giyanti khususnya dukuh Kalibatur terbilang bagus. Selama ini, menurut
cerita kakek-nenek mereka, tidak pernah terjadi konflik yang berarti. Hal ini
karena mereka selalu merasa tidak terlalu penting membesar-besarkan masalah
kecil, karena ada hal yang jauh lebih penting dari itu, yaitu menjaga kerukunan
umat beragama agar tetap terjalin hubungan yang harmonis.
Selama ini, setiap kali umat Buddha merayakan Waisak, beberapa warga
non-Buddhis pun turut menyaksikan acara yang selalu diselenggarakan dengan
meriah tersebut. Menjelang Waisak, umat Buddha di Kalibatur juga mengadakan
kegiatan bakti lingkungan dengan melakukan perbaikan dan pembersihan jalan
yang mereka lakukan rutin setiap tahun. Hal ini dilakukan sebagai wujud
keterlibatan mereka dalam menjaga lingkungan, dan juga menjaga kerukunan.
5. Harapan masyarakat
Harapan umat Buddha Giyanti pada pemerintah daerah khususnya tidak
banyak. Mereka merasa sudah sangat tahu diri tentang posisi mereka sebagai
kaum minoritas. Hanya saja, jika masih mungkin dilakukan, mereka
menginginkan kemudahan dalam urusan pernikahan. Karena jika mereka harus
datang ke Disdukcapil Kebumen setiap kali melangsungkan pernikahan, mereka
merasa keberatan. Terutama ketika ada salah satu umat Buddha Giyanti yang
menikah dengan orang dari luar daerah Kebumen.
Kemudian mengenai toleransi umat beragama, mereka meninginkan
kerukunan. Mereka berharap kepada umat non-Buddhist untuk tidak berprasangka
buruk dulu kepada mereka.
Kesimpulan
Diskriminasi agama adalah fenomena masyarakat yang ada di Indonesia dan
sudah saatnya dikaji lebih mendalam dan diangkat ke permukaan dengan tujuan mengikis
diskriminasi agama. Ketika berbicara ini harus disertai sikap yang obyektif dan
melepaskan kacamata agama yang kita anut, jika tidak maka akan bias. Pers dan
masyarakat juga harus menyikapi masalah diskriminasi agama dengan arif bijaksana,
karena seringkali permasalahan-permasalahan sosial dibelokkan ke agama dan ujungnya
adalah masalah agama yang berkobar. Akhir kata, pengertian Bhinneka Tunggal Ika
adalah berbicara masyarakat yang harmonis dan saling menghargai bukan saling
mendiskriminasi satu sama lain.
B. Saran
Pembiaran diskriminasi agama akan membuat disintegritas bangsa. Gesekan
masyarakat akibat diskriminasi agama harus dicegah dan salah satu pencegahannya
adalah penegakan hukum secara konsisten dan juga pengajaran Hak Asasi Manusia yang
harus dihargai. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia harus
disebarluaskan. Dialog yang terbuka antar umat beragama, membuang perasaan
superioritas harus diusahakan dengan asas saling menghormati. Tujuannya adalah demi
membangun masyarakat yang harmonis. Jangan selalu beranggapan bahwa diskriminasi
agama tidak pernah kita lakukan, hanya pihak lain yang melakukan, kita hanya korban.
Pandangan ini harus direvisi dan mulailah kita melihat apakah ada diskriminasi agama di
sekitar kita. Dan saat melihat harus dengan kacamata obyektif. Banyaknya penganut
agama yang bersifat ofensif dan tentunya akan menimbulkan reaksi defensif pada
penganut agama lain, akibatnya gesekan. Perlunya memulai mengubah paradigma bahwa
menyebarkan agama demi kebaikan orang lain, mengejar jumlah umat, menolong yang
seiman dan sebagainya. Kembangkan nilai agama baik agama negara ataupun agama
adat yang berbicara kasih dan penghormatan sesama, hilangkan rasa superioritas.
Sudah lama kita hendak diyakinkan dan dibohongi, bahwa dalam masyarakat
Pancasila kita tidak mengenal golongan mayoritas dan golongan minoritas. Sudah
saatnya kita berhenti bermain sandiwara dan membohongi diri sendiri seperti itu. Yang
penting adalah bagaimana kita dapat hidup damai dengan kenyataan adanya berbagai
golongan dalam masyarakat kita, mayoritas maupun minoritas. Lebih penting lagi,
bagaimana kita menjalin hubungan serta kerjasama secara damai, saling menerima,
saling menghormati, dan saling membantu, antara berbagai golongan itu dalam
masyarakat. Tujuan utama menjalin hubungan demikian itu adalah menghilangkan
prasangka dan kebencian. Hanya dengan itu kita dapat bersama-sama mengusahakan
kesejahteraan bersama.
DAFTAR ISI
Kimball, Charles, Kala Agama Menjadi Bencana, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2003.
Setiono G, Benny, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta: Elkasa, 2003
Yunono Paulus, Giring, dkk, Agama dan Budaya Dayak, jurnal Dayakologi no.2, Juli
2004, Pontianak : Insitute Dayakologi
Download