faktor-faktor yang mempengaruhi sifat konsumen

advertisement
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Iklan Televisi
Iklan merupakan pesan-pesan penjualan yang paling persuasif yang
diarahkan kepada para calon pembeli yang paling potensial atas produk barang
atau jasa tertentu dengan biaya yang semurah-murahnya (Jefkins, 1997).
Fungsi iklan dalam pemasaran adalah memperkuat dorongan kebutuhan
dan keinginan konsumen terhadap suatu produk untuk mencapai pemenuhan
kepuasannya. Agar iklan berhasil merangsang tindakan pembeli, menurut
Djayakusumah dalam Pujiyanto (2003) setidaknya harus memenuhi kriteria
AIDCDA yaitu: Attention : mengandung daya tarik; Interest : mengandung
perhatian dan minat; Desire : memunculkan keinginan untuk mencoba atau
memiliki ; Conviction : menimbulkan keyakinan terhadap produk ; Decision :
menghasilkan kepuasan terhadap produk; Action : mengarah tindakan untuk
membeli. Berdasarkan konsep AIDCDA, promosi periklanan harus diperlukan
pengetahuan yang cukup tentang pola perilaku, kebutuhan, dan segmen pasar.
Konsep
tersebut
diharapkan
konsumen
dapat
melakukan
pembelian
berkesinambungan.
Bovee dalam Pujiyanto (2003) mendeskripsikan iklan sebagai sebuah
proses komunikasi, di mana terdapat : pertama, orang yang disebut sebagai
sumber munculnya ide iklan; kedua, media sebagai medium; dan ketiga, adalah
audiens sebagai penerima. Terjadi proses dialektika dalam proses komunikasi
tersebut, dimana individu menciptakan ide yang dikomunikasikan dan audiens
member respon serta memberi masukan terhadap ide-ide baru dalam proses
komunikasi tersebut. Pada proses menuangkan ide ke dalam pesan, terjadi proses
encoding di mana ide itu dituangkan dalam bahasa iklan yang meyakinkan
orang. Media kemudian mengambil alih ide itu dan kemudian dikonstruksi
menjadi bahasa media. Pada tahap ini terjadi decoding karena audiens
menangkap bahasa media itu dan membentuk pengetahuan-pengetahuan atau
realitas, dan pengetahuan itu bisa mendorongnya merespon balik kepada iklan
tersebut. Respon ini ada dua macam, yaitu pemirsa merespon materi iklan atau
merespon pesan media. Merespon materi iklan bisa berbentuk reaksi terhadap
iklan tesebut, karena merugikan pihak-pihak tertentu. Merespon pesan media,
bisa merupakan bersikap untuk membeli atau tidak membeli produk. Proses ini
terjadi secara kontinyu seumur iklan tersebut, atau bahkan akan mereproduksi
kembali iklan baru dan itu artinya akan lahir kembali sebuah realitas baru dalam
dunia kognisi pemirsa sebagai hasil rekonstruksi (Bungin, 2008).
Secara garis besar bentuk-bentuk iklan terdiri dari beberapa jenis yang
digolongkan menjadi tujuh kategori utama, yakni : (1) iklan konsumen ; (2) iklan
antarbisnis; (3) iklan perdagangan ; (4) iklan eceran ; (5) iklan keuangan ; (6)
iklan langsung ; dan yang terakhir, (7) iklan rekrutmen (Jefkins dalam Bungin,
2008).
Periklanan merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan bentuk
komunikasi massa melalui media. Media-media tersebut antara lain : televisi,
radio, surat kabar, majalah, brosur, banner, poster, dan lain-lain ( Kennedy &
Soemanegara, 2006). Iklan televisi adalah salah satu dari iklan lini atas (above the
line). Umumnya iklan televisi terdiri atas iklan sponsorship, iklan layanan
masyarakat, iklan spot, Promo Ad, dan iklan politik. Iklan televisi berkembang
dengan berbagai kategori di samping karena iklan televisi perlu kreativitas dan
selalu menghasilkan produk-produk iklan baru, namun juga karena daya beli
masyarakat terhadap sebuah iklan televisi yang selalu bervariasi karena tekanan
ekonomi. Namun bila dibandingkan dengan media lain iklan televisi memiliki
kategorisasi yang jauh berbeda karena sifat media yang juga berbeda. Kategori
besar dari sebuah iklan televisi adalah berdasarkan sifat media ini, di mana iklan
televisi dibangun dari kekuatan visualisasi lebih menonjol bila dibandingkan
dengan simbol-simbol verbal. Umumnya iklan televisi menggunakan cerita-cerita
pendek menyerupai karya film pendek. Karena waktu tayangan yang pendek,
maka iklan televisi berupaya keras meninggalkan kesan yang mendalam kepada
pemirsa dalam waktu beberapa detik (Bungin, 2008).
Beberapa kelebihan iklan televisi yang berlaku secara umum adalah : 1)
Kesan realistik, karena sifatnya yang visual dan merupakan kombinasi warna-
warna, suara dan gerakan, maka iklan-iklan televisi nampak begitu hidup dan
nyata, 2) Masyarakat lebih tanggap, karena iklan televisi disiarkan di rumahrumah dalam suasana yang lebih santai atau rekreatif sehingga masyarakat lebih
siap untuk memberikan perhatian, 3) Repetisi atau pengulangan, iklan televisi bisa
ditayangkan hingga beberapa kali dalam sehari sampai dipandang cukup
bermanfaat yang memungkinkan sejumlah masyarakat untuk menyaksikannya dan
dalam frekuensi yang cukup sehingga pengaruh iklan itu bangkit, 4) Adanya
pemilahan area siaran (zoning) dan jaringan kerja (networking) yang
mengefektifkan penjangkauan masyarakat, 5) Ideal bagi para pedagang eceran
karena iklan televisi dapat menjangkau kalangan pedagang eceran sebaik ia
menjangkau konsumen, 6) Terkait erat dengan media lain (Bungin, 2008).
Ogilvy dalam Bungin (2008) mengatakan bahwa tugas utama iklan televisi
adalah menjual barang atau jasa bukan menghibur. Akan tetapi kata-kata ini tidak
lagi dipatuhi oleh para copywriter dan visualizer iklan televisi, karena ternyata
menghibur sambil menjual di televisi menjadi lebih menarik. Para copywriter
iklan televisi, kendati mengetahui tidak ada hubungan antara iklan dengan
ketergantungan pemirsa terhadap iklan tertentu, namun dorongan kapitalisme
untuk menjadikan iklan sebagai medium pencitraan terhadap produk-produk lebih
mempengaruhi jalan pikiran copywriter di saat mereka memulai pekerjaan
mereka. Para copywriter lebih percaya bahwa iklan-iklan yang besar dengan
kekuatan pencitraan yang kuat akan lebih besar kekuatan mempengaruhi pemirsa,
apalagi kalau pencitraan itu dilakukan melalui konstruksi realitas sosial, walupun
realitas itu sifatnya semu. Hal ini adalah contoh dari upaya teknologi menciptakan
theater of mind dalam dunia kognitif masyarakat. Umumnya copywriter dan
visualizer berharap bahwa pencitraan dapat ditangkap sebagaimana yang
dimaksud oleh mereka. Namun, tidak mustahil pemirsa memaknakan lain karena
iklan itu memiliki sifat umum, sementara pemirsa iklan memiliki kelas sosial dan
tingkatan pengetahuan berbeda-beda berdasarkan layer pemirsa, jadi sangat
mungkin terjadi pemaknaan citra yang berbeda pula (Bungin,2008).
Pada kenyataannya tidak semua iklan televisi diciptakan untuk maksud
pencitraan, namun karya iklan televisi dianggap sempurna kalau sampai pada
tahap pencitraan ini. Karena itu produsen maupun copywriter berupaya agar iklan
mereka sampai pada pencitraan produk. Umumnya pencitraan dalam iklan televisi
disesuaikan dengan kedekatan jenis obyek iklan yang diiklankan, walaupun tidak
jarang pencitraan dilakukan secara ganda, artinya iklan menggunakan beberapa
pencitraan terhadap satu obyek iklan.
Beberapa kategorisasi penggunaan pencitraan dalam iklan televisi, sebagai
berikut : Pertama, citra perempuan yang tergambarkan sebagai citra pigura yang
menekankan pada pentingnya perempuan untuk selalu tampil memikat, citra pilar
yang digambarkan sebagai tulang punggung utama keluarga, citra pinggan yang
tidak bisa melepaskan diri dari dapur, dan citra pergaulan yang ditandai dengan
pergulatan perempuan untuk masuk ke kelas-kelas tertentu yang lebih tinggi di
masyarakatnya. Kedua, citra maskulin dimana iklan juga mempertontonkan
kejantanan, otot laki-laki, ketangkasan, keperkasaan, keberanian menantang
bahaya, keuletan, keteguhan hati, dan lain lain. Ketiga, citra kemewahan dan
eksklusif. Kemewahan dan ekslusif adalah realitas yang diidamkan oleh banyak
orang dalam kehidupan masyarakat. Banyak orang bekerja keras, berjuang hidup
untuk memperoleh realitas kemewahan dan eksklusif, karena itu iklan televisi
mereproduksi realitas ini ke dalam realitas iklan dengan maksud memberi simbolsimbol kemewahan ke dalam obyek iklan televisi. Keempat, citra kelas sosial.
Individu juga mendambakan hidup dalam kelas sosial yang lebih baik, kelas yang
dihormati banyak orang. Kelima, citra kenikmatan yang merupakan bagian
terbesar dari dunia kemewahan dan kelas sosial yang tinggi. Keenam, citra
manfaat karena pada umumnya orang mempertimbangkan faktor manfaat sebagai
hal utama dalam memutuskan perilaku pembelian, karena itu menfaat menjadi
nilai dalam keputusan seseorang. Ketujuh, citra persahabatan. Citra persahabatan
ditampilkan pada sebuah iklan, sebagai jalan keluar terhadap banyaknya problem
rendah diri yang terjadi di kalangan remaja. Kedelapan, citra seksisme dan
seksualitas yang merupakan hal yang amat menarik dibicarakan karena hal ini
menjadi bagian kehidupan individu yang disembunyikan atau bahkan tabu
diungkapkan, namun menjadi bagian yang dominan dalam kehidupan panggung
belakang individu (Bungin, 2008).
Tugas utama iklan adalah untuk mengubah produk menjadi sebuah citra, dan
apa pun pencitraan yang digunakan dalam sebuah iklan, baik itu citra kelas sosial,
citra seksualitas dan sebaginya, yang penting pencitraan itu memiliki efek
terhadap produk dan akan menambah nilai ekonomisnya. Dengan demikian,
pencitraan iklan televisi adalah bagian terpenting dalam konstruksi iklan televisi
atas realitas sosial. Ketika iklan televisi melakukan pencitraan terhadap produk
tertentu maka nilai ekonomis sebuah iklan menjadi pertimbangan utama. Artinya
pencitraan itu harus bermanfaat bagi produk tertentu. Sengaja atau tidak, citra
dalam iklan televisi telah menjadi bagian terpenting dari sebuah iklan televisi itu.
Citra ini pula adalah bagian penting yang dikonstruksi oleh iklan televisi. Namun,
sejauh mana konstruksi itu berhasil, amat bergantung pada banyak faktor,
terutama adalah faktor konstruksi sosial itu sendiri, yaitu bagaimana upaya
seorang copywriter mengkonstruksi kesadaran individu serta membentuk
pengetahuan tentang realitas baru dan membawanya ke dalam dunia hiper-realitas,
sedangkan pemirsa tetap merasa bahwa realitas itu dialami dalam dunia
rasionalnya (Bungin, 2008).
Sebagai bagian dari dunia komunikasi, maka iklan menggunakan bahasa
sebagai alat utama untuk melakukan penggambaran tentang sebuah realitas.
Demikian pentingnya bahasa sebagai alat iklan, maka di dalam iklan bahasa
digunkan untuk semua kepentingan iklan. Bahasa juga dipahami sebagai wacana
di mana iklan dilihat sebagai seni. Iklan merupakan seni bagaimana orang
menggunakan bahasa untuk menjual. Ada dua unsur iklan : pertama, iklan itu
berbisnis dan kedua, iklan itu seni. Sebagai seni, maka iklan itu sebuah karya
kreativitas yang menjadi cerminan suatu masyarakat di mana iklan itu berada dan
itu sangat bermanfaat bagi nuansa pengembangan seni masyarakat dan bagus bagi
kesetaraan gender. Jadi, bahasa dapat digunakan dengan dua tujuan, pertama,
sebagai media komunikasi dan kedua, bahasa digunakan untuk menciptakan
sebuah realitas. Sebagai media komunikasi, maka iklan bersifat informatif
sedangkan sebagai wacana penciptaan realitas, maka iklan adalah sebuah seni di
mana orang menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia yang diinginkannya
(Bungin, 2008).
2.1.2 Sikap Konsumen
Dalam konteks perilaku konsumen, sikap adalah kecenderungan yang
dipelajari dalam berprilaku dengan cara yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan terhadap suatu obyek tertentu. Kata obyek disini meliputi konsep
yang berhubungan dengan konsumsi atau pemasaran khusus, seperti produk,
golongan produk, merk, jasa, kepemilikan, penggunaan produk, sebab-sebab atau
isu, orang, iklan, situs internet, harga, medium, atau pedagang ritel. Karateristik
sikap antara lain adalah : 1) sikap konsumen harus terkait dengan obyek, 2) Sikap
relatif konsisten dengan perilaku yang dicerminkannya, 3) Sikap terjadi dalam dan
dipengaruhi oleh situasi tertentu (Schiffman & Kanuk, 2007).
Sikap memiliki beberapa model struktur diantaranya adalah : model sikap
tiga komponen, model sikap multi sifat, model mencoba mengkonsumsi, dan
model sikap terhadap iklan. Model sikap tiga komponen menyatakan sikap terdiri
dari tiga komponen utama yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan
komponen konatif. Komponen pertama dari model sikap tiga komponen terdiri
dari kognisi seseorang yaitu pengetahuan dan persepsi yang diperoleh berdasarkan
kombinasi pengalaman langsung dengan obyek sikap dan informasi yang
berkaitan dari berbagai sumber. Pengetahuan dan persepsi yang ditimbulkannya
biasanya mengambil bentuk kepercayaan, yaitu, kepercayaan konsumen bahwa
obyek sikap mempunyai berbagai sifat dan bahwa perilaku tertentu akan
menimbulkan hasil-hasil tertentu. Komponen kedua yaitu emosi atau perasaan
mengenai produk atau merk tertentu merupakan komponen afektif dari sikap
tertentu. Emosi atau perasaan ini mencakup penilaian terhadap obyek sikap secara
langsung dan menyeluruh (menyenangkan atau tidak menyenangkan, bagus atau
jelek). Konasi, komponen terakhir dari model sikap tiga komponen berhubungan
dengan kemungkinan atau kecenderungan bahwa individu akan melakukan
tindakan khusus atau berperilaku dengan cara tertentu terhadap obyek sikap
tertentu (Schiffman & Kanuk, 2007).
Model sikap multi sifat menggabarkan sikap konsumen terhadap obyek
sikap (seperti produk, jasa, katalog direct mail, atau sebab isu tertentu) sebagai
fungsi persepsi dan penilaian konsumen terhadap sifat-sifat atau keyakinan pokok
yang dipegang mengenai obyek sikap tertentu. Model sikap terhadap obyek
menyatakan bahwa sikap konsumen terhadap produk atau merk produk tertentu
merupakan fungsi dari adanya (atau tidak adanya) dan penilaian terhadap
keyakinan atau sifat-sifat produk tertentu. Konsumen biasanya mempunyai sikap
yang menyenangkan terhadap merk-merk yang dipercaya mempunyai tingkat
sifat-sifat yang memadai dan mereka nilai positif, dan mempunyai sikap yang
tidak menyenangkan terhadap merk-merk yang dirasa tidak mempunyai tingkat
yang memadai mengenai sifat-sifat yang diingini atau mempunyai terlalu banyak
sifat-sifat negatif atau tidak diinginkan. Model sikap terhadap perilaku merupakan
sikap individu dalam berperilaku atau bertindak terhadap obyek tertentu, dan
bukannya sikap terhadap obyek itu sendiri (Schiffman & Kanuk, 2007).
Model sikap terhadap iklan menggambarkan konsumen membentuk
berbagai perasaan (pengaruh) dan pertimbangan (kognisi) sebagai akibat
keterbukaan terhadap iklan. Perasaan dan pertimbangan ini pada gilirannya
mempengaruhi sikap konsumen terhadap iklan dan keyakinan terhadap merk yang
diperoleh dari keterbukaan terhadap iklan. Akhirnya sikap konsumen terhadap
iklan, dan keyakinan pada merk mempengaruhi sikapnya terhadap merk
(Schiffman & Kanuk, 2007).
Bagaimana berbagai sikap konsumen dibentuk dan bagaimana mereka
diubah merupakan dua isu yang berkaitan erat yang memperoleh perhatian besar
para praktisi pemasaran. Pembentukan sikap dipermudah oleh pengalaman pribadi
langsung dan dipengaruhi oleh berbagai gagasan dan pengalaman teman-teman
dan anggota keluarga dan keterbukaan terhadap media massa. Kepribadian
individu memainkan peran utama dalam pembentukan sikap. Faktor-faktor yang
sama ini juga mempunyai pengaruh terhadap perubahan sikap, yaitu perubahan
sikap itu dipelajari. Perubahan ini dipengaruhi oleh berbagai pengalaman pribadi
dan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber perorangan dan umum.
Kepribadian konsumen sendiri mempengaruhi penerimaan maupun kecepatan
perubahan sikap (Schiffman & Kanuk, 2007).
Strategi perubahan sikap dapat digolongkan ke dalam enam kategori yang
berbeda : 1) mengubah motivasi dasar, 2) digolongkan, 3) menghubungkan obyek
sikap dengan sikap yang berlawanan, 4) mengubah komponen model multi-sifat ,
5) mengubah keyakinan mengenai merk para pesaing, 6) model perluasan
kemungkinan. Setiap strategi ini memberikan jalan alternatif kepada para pemasar
untuk mengubah sikap konsumen yang ada (Schiffman & Kanuk, 2007).
Kebanyakan pembahasan mengenai pembentukan sikap dan pengubahan
sikap menekankan pandangan tradisional bahwa para konsumen mengembangkan
sikap sebelum mereka bertindak. Mungkin tidak selalu ataupun biasa terjadi. Baik
teori ketidakcocokan kognitif maupun teori pertalian memberikan penjelasan
alternatif mengenai pembentukan dan pengubahan sikap yang mengemukakan
bahwa perilaku mungkin mendahului sikap. Teori ketidakcocokan kognitif
mengemukakan bahwa pemikiran yang bertentangan, atau informasi yang tidak
cocok, yang mengikuti keputusan pembelian dapat mendorong para konsumen
untuk mengubah sikap mereka untuk membuatnya sesuai dengan tindakan
mereka. Teori pertalian memfokuskan pada bagaimana orang menentukan
hubungan sebab akibat terhadap berbagai peristiwa dan bagaimana mereka
membentuk atau mengubah sikap sebagai hasil dalam menilai perilaku mereka
sendiri, atau perilaku orang-orang atau benda-benda lain (Schiffman & Kanuk,
2007).
2.1.3 Pengaruh Iklan Terhadap Sikap Konsumen
Pengaruh atau dampak menurut Moriarty (1991) mengacu pada
kemampuan iklan dalam mengontrol proses persepsi pemirsa untuk mengatasi
ketidakacuhan khalayak, merebut perhatian, memelihara minat dan menanamkan
produk dengan kuat dalam ingatan. Beberapa faktor yang ikut mempengaruhi
dampak adalah perhatian, pengertian dan penerimaan audiens terhadap pesanpesan yang disampaikan melelui media ( Rakhmat, 1997). Berkaitan dengan
dampak pesan melalui media massa terhadap khalayak, Anderson dalam Rakhmat
(1997) menyebutkan ada tiga jenis dampak, yaitu perubahan kognitif, perubahan
afektif dan perubahan konatif.
Untuk mengetahui bagaimana suatu usaha promosi dapat mempengaruhi
proses respons penerima, para ahli periklanan mengembangkan berbagai model
proses respons yang salah satunya dikenal sebagai The Hierarchy of Effect.
Hirarki efek adalah model proses respons yang dikembangkan oleh Lavridge dan
Steiner dalam Sudiana (1986), dimana model ini mengetengahkan enam tahapan
sebagai berikut :
Cognitive : Awareness
Knowledge
Affective : Liking
Preference
Conative : Conviction
Purchase
Model ini merupakan alur peringkat pengaruh kesadaran (hierarchy-ofeffect models) yang terbentuk dengan beberapa tahapan yakni kesadaran,
pengetahuan, menyukai, kegandrungan, keyakinan, dan pembelian. Tahap
pertama mencakup tingkat-tingkat pengetahuan dan kesadaran yang dapat di
bandingkan dengan komponen pengetahuan akan kognitif sikap. Komponen
afektif dari suatu sikap, aspek suka-tidak suka, terwakili oleh peringkat menyukai
atau kegandrungan. Komponen sikap mengingatkan adalah komponen konatif,
sedangkan unsur motivasi atau tindakan diwakili oleh peringkat keyakinan dan
pembelian, yang merupakan dua tingkat terakhir dalam model tersebut (Sudiana,
1986).
Berkaitan dengan tahapan dampak komunikasi seperti yang telah
dipaparkan di atas, menurut Sendjaja (1999) kenyataannya ketiga tahap dampak
komunikasi, tidak selalu berjalan secara berurutan dari tahap kognitif, ke tahap
afektif kemudian ke tahap konatif. Tahap tersebut dapat terjadi secara tidak
berurutan. Proses yang berjalan secara berurutan dari kognitif ke afektif dan ke
konatif disebut sebagai model belajar (learning process). Proses yang terjadi
secara terbalik dimulai dari konatif, afektif, dan kognitif disebut sebagai proses
yang mengikuti model atribusi disonansi (dissonance-atribution). Proses yang
berjalan
secara
meloncat-loncat
tidak
beraturan
disebut
sebagai
ketidakkonsistenan (inconsistency).
Pesan iklan yang tereksposure ke dalam benak seseorang akan
menimbulkan efek kognitif yang kemudian dapat berkembang menjadi
comprehension dan selanjutnya bisa membentuk sikap serta tindakan. Efektivitas
berlangsungnya proses tersebut turut ditentukan oleh faktor internal dan eksternal
yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut antara lain : kredibilitas sumber,
media yang digunakan, faktor pendidikan dan pengalaman, budaya, kondisi
ekonomi, gender, lingkungan termasuk peer group, dan lain lain (Zuraida &
Chasanah,2006).
Iklan efektif mempengaruhi niat beli dan pembelian melalui sikap
terhadap iklan dan sikap terhadap merek. Sikap terhadap produk dibentuk oleh
sikap terhadap iklan bukan oleh pengetahuan dan kepercayaan. Rancangan iklan
yang meliputi attraction, comprehension, acceptability, dan self-involvement
mempengaruhi sikap konsumen (Zuraida & Chasanah, 2006). Dalam proses
komunikasi, sebuah pesan efektif dalam mempersuasi khalayak bila pesan
tersebut mencakup unsur-unsur daya tarik (attraction), keterlibatan diri (selfinvolvement), penerimaan (acceptability) dan pemahaman (comprehension) dari
khalayak sasaran dalam perancangan dan penuangan kedalam media. Attraction
adalah daya tarik, perhatian, dan kenikmatan pesan yang menstimulasi audiens.
Comprehension adalah tingkat dimana pesan tersebut dapat dibaca, didengarkan,
diperhatikan, dan dipahami sesuai dengan yang dirasakan audiens. Acceptability
terdiri dari kredibilitas serta kepercayaan terhadap pesan. Self-involvement
merupakan tingkat dimana audiens dapat menemukan pesan tersebut melibatkan
mereka secara personal dimana pesan tersebut ditujukan kepada mereka dan
meningkatkan partisipasi mereka (Bertrand dalam Sitopu, 2009).
Frekuensi menonton televisi juga turut berpengaruh terhadap tingkat
afeksi karena semakin banyak frekuensi menonton televisi maka semakin banyak
pula frekuensi menonton iklan televisi. Semua hal tersebut membuktikan bahwa
iklan memiliki pengaruh kuat pada sikap konsumen, sehingga pemasang iklan
harus memiliki pemanfaatan media dan metode penjadwalan yang baik karena
sikap konsumen mempunyai pengaruh signifikan terhadap niat beli (Zuraida &
Chasanah, 2006).
2.2 Kerangka Pemikiran
Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi sikap konsumen terhadap
iklan, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa ancangan iklan
yang memiliki attraction, comprehension, acceptability, dan self-involvement.
Faktor internal berupa frekuensi menonton televisi, tingkat pengalaman
konsumen terhadap produk tersebut, dan tingkat pendapatan. Faktor-faktor
tersebut mempengaruhi sikap konsumen pada tahap kognitif, afektif, dan
konatif. Kerangka pemikiran tersebut tertera pada gambar 1.
Faktor Eksternal (Rancangan
Iklan Televisi) :
 Attraction
 Comprehension
 Acceptability
 Self-Involvement
Sikap
Konsumen :
 Kognitif
 Afektif
 Konatif
Faktor Internal (karateristik
konsumen):
 Frekuensi
Menonton
Televisi
 Tingkat pengalaman
 Tingkat pendapatan
Keterangan :
mempengaruhi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
FFaktor
2.3 Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran, maka hipotesis
umum yang diuji kebenarannya yaitu bahwa :
1. Diduga terdapat hubungan yang erat antara karateristik konsumen dengan sikap
konsumen.
2. Diduga terdapat hubungan yang erat antara rancangan iklan dengan sikap
konsumen.
Hipotesis uji berdasarkan hipotesis umum tersebut adalah:
1. Diduga terdapat hubungan yang erat antara frekuensi menonton televisi dengan
kognitif
2. Diduga terdapat hubungan yang erat antara frekuensi menonton televisi dengan
afektif.
3. Diduga terdapat hubungan yang erat antara frekuensi menonton televisi dengan
konatif.
4. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pengalaman dengan kognitif
5. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pengalaman dengan afektif.
6. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pengalaman dengan konatif.
7. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pendapatan dengan kognitif
8. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pendapatan dengan afektif
9. Diduga terdapat hubungan yang erat antara tingkat pendapatan dengan konatif.
10. Diduga terdapat hubungan yang erat antara attraction dengan kognitif
11. Diduga terdapat hubungan yang erat antara attraction dengan afektif.
12. Diduga terdapat hubungan yang erat antara attraction dengan konatif.
13. Diduga terdapat hubungan yang erat antara comprehension dengan kognitif
14. Diduga terdapat hubungan yang erat antara comprehension dengan afektif.
15. Diduga terdapat hubungan yang erat antara comprehension dengan konatif.
16. Diduga terdapat hubungan yang erat antara acceptability dengan kognitif
17. Diduga terdapat hubungan yang erat antara acceptability dengan afektif.
18. Diduga terdapat hubungan yang erat antara acceptability dengan konatif.
19. Diduga terdapat hubungan yang erat antara self-involvement dengan kognitif
20. Diduga terdapat hubungan yang erat antara self-involvement dengan afektif.
21. Diduga terdapat hubungan yang erat antara self-involvement dengan konatif.
2.4 Definisi Operasional
a. Attraction:
Rancangan iklan yang memiliki kemampuan untuk menarik konsumen,
dinyatakan dalam : kisaran skor : 8-20 : rendah
21-32 : tinggi
b. Comprehension :
Rancangan iklan yang memiliki kemampuan untuk dapat dipahami konsumen,
dinyatakan dalam : kisaran skor : 8-20 : rendah
21-32 : tinggi
c. Acceptability :
Rancangan iklan yang memiliki kemampuan untuk dapat diterima konsumen,
dinyatakan dalam : kisaran skor : 8-20 : rendah
21-32 : tinggi
d. Self-involvement :
Rancangan iklan yang memiliki kemampuan untuk melibatkan konsumen,
dinyatakan dalam ditujukan : kisaran skor : 8-20 : rendah
21-32 : tinggi
e. Frekuensi menonton televisi :
Frekuensi waktu menonton televisi per hari, dinyatakan dalam:
a. Kurang dari
1 jam per hari, b. 1-3 jam per hari, c. Lebih dari 3 jam per hari
f. Tingkat pengalaman :
Tingkat pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi produk tersebut,
dinyatakan dalam :
a. tidak pernah mencoba, b. 1 kali mencoba, c. >2 kali mencoba
g. Tingkat pendapatan :
Tingkat pendapatan berdasarkan uang saku perbulan yang diperoleh dari orang
tua, beasiswa, penghasilan lainnya, dinyatakan dalam :
a. <500 rb perbulan, b. 500 rb-1 juta perbulan, c. >1 juta perbulan
h. Kognitif :
Pengetahuan dan kesadaran konsumen terhadap produk, dinyatakan dalam
kisaran skor : 8-20 : rendah
21-32 : tinggi
i. Afektif :
Pernyataan emosi atau perasaan konsumen terhadap produk, dinyatakan dalam
kisaran skor : 9-22.5 : rendah
22.6-36 : tinggi
j. Konatif :
Kecenderungan konsumen untuk berprilaku terhadap produk, dinyatakan dalam
kisaran skor : 7-17.5 : rendah
17.6-28 : tinggi
Download