perencanaan konservasi berbasis pemetaan terhadap proses

advertisement
PERENCANAAN KONSERVASI BERBASIS PEMETAAN TERHADAP PROSES
KERAGAMAN HAYATI DI PULAU SAPUDI-SUMENEP
Romadhon A
Jurusan Ilmu Kelautan, Universitas Trunojoyo.
email : [email protected]
ABSTRAK
Selama satu abad terakhir, keanekaragaman hayati di pulau kecil telah menjadi salah satu
yang paling terancam di dunia. Meskipun banyak di pulau kecil telah melakukan konservasi terhadap
keanekaragaman hayati pada tingkat spesies, perencanaan yang berbasiskan proses keanekaragaman
hayati secara spasial masih dibutuhkan untuk menjadi solusi terhadap pelestarian keanakeragaman
hati di pulau kecil. Menggunakan prinsip-prinsip perencanaan konservasi yang sistematis, pemetaan
terhadap proses keanekaragaman hayati secara spasial (spatial components of biodiversity processes)
diperlukan untuk mendesain kawasan konservasi di Kepulauan Kangean-Madura sebagai objek
bahasan. Berangkat dari penerapan metode ini di Reunion Island (Samudra India Barat), hasil dari
pemetaan terhadap proses keanekaragaman hayati secara spasial nantinya akan menggambarkan
pola keanekaragaman hayati, peluang konservasi, dan ancaman di masa depan. Makalah ini nantinya
akan berkontribusi terhadap rekonsiliasi tujuan konservasi versus pembangunan di Kepulauan
Kangean dan diterapkan diterapkan pada pulau-pulau kecil lain. Hasil ini juga akan menunjukkan
urgensi untuk mengintegrasikan laut, perencanaan konservasi pesisir dan darat sebagai hal yang
mendesak, mengingat transformasi yaang cepat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Keyword : conservation, spatial components of biodiversity processes, small island, Kangean
islands
PENDAHULUAN
Keanekaragaman hayati di pulau-pulau oceanik sangat kaya dengan spesies endemik, dan
memberikan kontribusi sangat tinggi per satuan luas untuk keanekaragaman hayati secara global
(Stattersfield and Capper, 2000). Selama satu terakhir abad, keanekaragaman hayati pulau-pulau kecil
telah menjadi salah satu yang paling memiliki keterbatasan dan terancam di dunia (Mueller-Dombois
and Loope, 1990). Sebagai contoh, lebih dari 60% kepunahan vertebrata telah terjadi di pulau-pulau
kecil (Case et al, 1992). Kejadian tersebut umumnya dikaitkan dengan tiga alasan utama, yaitu :
1.
Ukuran kecil dan isolasi pulau mengurangi pilihan spasial dalam pola dan proses
keanekaragaman hayati (Whittaker et al, 2001.). Akibatnya, pulau-pulau secara struktural lebih
rentan, terutama terhadap perubahan iklim global (Pelling and Uitto, 2001).
2.
Kerusakan ekosistem disebabkan oleh tekanan antropogenik seperti dinamika penggunaan tanah
dan proses pemanenan baru-baru ini telah menjadi lebih intens dan kurang dikendalikan
daripada di mainland (Lane, 2006).
3.
Pola historis keanekaragaman hayati yang terisolasi, secara intrinsik lebih rentan, terutama
untuk invasi biologi (Komdeur and Pels, 2005)
Melihat dari hal tersebut terdapat sebuah urgensi untuk melestarikan pola dan proses
keanekaragaman hayati dalam sistem pulau. Pentingnya upaya konservasi terhadap pulau-pulau kecil
lebih lanjut terlihat dari 70% dari 34 tempat yang terdaftar oleh Conservation International
(Mittermeier et al, 2005) merupakan pulau-pulau kecil dimana keanekaragaman sumber daya hayati
merupakan faktor kunci dalam membentuk strategi pembangunan berkelanjutan. Namun, perencanaan
konservasi yang sistematis di pulau-pulau kecil sangat sedikit dilakukan pada tahapan
mengidentifikasi pilihan spasial untuk mewakili dan menjaga semua keanekaragaman hayati dalam
suatu wilayah (Balmford, 2003). Rencana konservasi sering dimulai terfokus pada pada representasi
pola sistem pulau saja, mengabaikan keanekaragaman hayati sebagai proses kunci (Cowling and
Pressey, 2003).
1
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo
20 Oktober 2011
Pulau Sapudi sebagai sebuah entitas yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi tentunya
dalam upaya konservasi yang memerlukan sebuah perencanaan yang terpadu dalam mengakomodir
segenap proses kunci pelestarian keanekaragaman hayati, tidak hanya representasi pola sistem pulaupulau kecil. Dalam makalah ini akan disampaikan proses untuk pemetaan yang cepat terhadap proses
keanekaragaman hayati pulau Sapudi Tujuan dari penulisan makalah adalah untuk menginformasikan
penggunaan lahan sebagai masukan bagi stakeholders dalam membuat keputusan penentuan
persyaratan spasial dan proses keanekaragaman hayati yang mendukung fungsi ekologis di pulau
Sapudi.
METODE PENELITIAN
Perencanaan konservasi berbasis pemetaan terhadap proses keragaman hayati di Pulau
Sapudi dilakukan melalui 4 tahap meliputi :
1. Study literatur
2. Penyusunan basis data
- Penyusunan peta habitat
- Penyusunan peta kontribusi
ukuran kontribusi tempat tertentu pada pencapaian target konservasi dalam domain
perencanaan (Ferrier et al, 2000.).
- Status transformasi
Berdasarkan peta habitat, meliputi empat status transformasi yang ditentukan (Strasberg et al,
2005;) yaitu : extant, invaded, restorable transformation dan irreversibly transformed
3. Menyusun model prediksi ancaman
4. Sistem Informasi Geografis
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komponen Spasial Proses Keanekaragaman Hayati
Komponen spasial proses keanekaragaman hayati (KSPKH) terdiri dari 2 bagian yaitu
permanen (fixed) dan fleksibel. Pada awalnya tercakup 12,6 km2 di Pulau Sapudi, yang mewakili 36%
dari luas pulau Sapudi (Gambar. 2). Saat ini, sebagian besar KSPKH (81,3%) masih cocok untuk
proses keanekaragaman hayati, sedangkan 3% adalah tidak dapat diubah, diubah oleh pemukiman dan
15,7% lagi ditransformasikan dalam bentuk lainnya tetapi masih tetap bisa dilestarikan, terutama di
dataran rendah.
Interface pesisir meliputi 2,1 km2, dimana 58,4% telah mengalami perubahan tetapi bersifat
restorable dan 29,6% berubah ireversibel, sehingga masih ada pola dan proses keanekaragaman
hayati pesisir yang perlu diperhatikan. Hanya 5,6% dari sumber air tanah dalam yang ada tiap musim
dan 4,2% lagi dianggap tidak dapat diubah lagi
Interface macrohabitat agak berubah (18,6%), meskipun pada macrohabitats dataran rendah
lebih mengalami perubahan (24,7%) dan hampir berubah sepenuhnya pada sisi bawah pulau.
Untungnya, komponen spasial mempertahankan proses yang terkait dengan unit topografi yang
terisolasi, masih utuh, terutama karena kemampuan adaptasi untuk berada pada lingkungan yang yang
cocok untuk kegiatan manusia.
Komponen spasial proses keanekaragaman hayati (KSPKH) berasosiasi dengan gradien
dataran rendah-tinggi meliputi 5,87 km2, yang merupakan 46,5% dari total permukaan KSPKH.
Meskipun demikian, penilaian ini sebagian besar masih bias oleh metode penggambaran pada
pemilihan daerah untransformed. Untuk itu digunakan unit evaluasi pembanding (500 x 500 m) untuk
menilai keuntungan kuantitatif yang dihasilkan. Diperkirakan bahwa 70,8% dari permukaan Pulau
Sapudi cocok untuk proses ekologi, dimana kurang dari 19,3% merupakan KSPKH dataran rendahtinggi.
Koridor Konservasi
Koridor konservasi mencakup 29,8% dari wilayah perencanaan (12,6 km2). Terbagi atas
48,9% KSPKH fleksibel dan 51,1% KSPKH fixed. Kontribusi yang lebih rendah koridor konservasi
untuk KSPKH fixed terutama disebabkan distribusi dari interface macrohabitat. Penambahan 2,6%
koridor diperlukan untuk pencapaian target konservasi bagi jenis-jenis vegetasi (83,1% telah dicapai
oleh keberadaan kawasan lindung). Karena itu tidak mungkin untuk menghindari perubahan daerah
saat merancang koridor, 25,6% dari daerah koridor juga merupakan habitat yang bertransformasi
(transformasi ireversibel atau restorable) sedangkan hanya 3,8% dari kawasan lindung yang
bertransformasi. Akibatnya, ancaman terhadap keanekaragaman hayati lebih tinggi terjadi dalam
koridor (berarti skor ancaman = 3,6) dibandingkan di kawasan lindung (skor ancaman rata-rata = 2,5),
bahkan jika terjadi ancaman dari faktor lain sekalipun (penggunaan lahan di daerah yang
bertransformasi dan invasi tumbuhan di kawasan lindung).
Sebagian besar koridor saat ini tidak dilindungi (33,5%). Hal ini merupakan prioritas bagi
upaya konservasi di Pulau Sapudi mengingat hampir 79,7% lahan di daerah koridor merupakan milik
pribadi dan 57,0% berisi vegetasi sekunder atau kawasan budidaya. Pilihan konservasi untuk milik
area pribadi meliputi perawatan tanah atau alternatif tata ruang. Koridor yang berlokasi luar kawasan
lindung
sangat
rentan
terhadap
ancaman
dari
perubahan pemanfaatan lahan dan spesies invasif (rata-rata skor ancaman = 5.9).
Penilaian proses keanekaragaman hayati
Berdasarkan hasil diatas, diidentifikasi empat komponen spasial pendukung kunci proses
keanekaragaman hayati di Pulau Sapudi, yaitu : interface pesisir, interface macrohabitat, dan interface
unit batas topografi. Kepadatan spasial KSPKH ini di pulau-pulau kecil sangat tinggi dibandingkan
dengan mainland (Rouget et al, 2003.), dan hal ini terlihat pada kepadatan spasial KSPKH di Pulau
Sapudi (81,3%), meskipun keberadaan nya sangat terancam di dataran rendah oleh urbanisasi dan
perluasan pertanian. Namun penilaian ini sangat tergantung pada penggambaran yang metode yang
digunakan untuk KSPKH, dan pada asumsi bahwa daerah tersebut mendukung kunci proses
keanekaragaman hayati, kecepatan laju kerusakan ekologi dan ancaman yang dihadapi oleh
keanekaragaman hayati yang tinggi pada Pulau Sapudi membenarkan tindakan konservasi langsung,
dengan menggunakan data terbaik dan metode yang tersedia saat ini.
Desain koridor konservasi
Pendekatan yang digunakan dalam merancang koridor konservasi didasarkan pada prinsipprinsip perencanaan konservasi yang sistematis (Margules and Pressey, 2000) dan berbeda dari studi
sebelumnya yang didasarkan hanya atas berdasarkan penilaian atau daerah keanekaragaman hayati
saja (Knight et al, 2007). Desain koridor mampu mengurangi potensi penyimpangan dari tujuan
konservasi dengan mengoptimalkan desain koridor untuk mencakup pola dan proses keanekaragaman
hayati baik, dan untuk menghindari kendala (kerentanan, lahan milik pribadi dan daerah terlindungi).
Metode ini cukup umum untuk diterapkan untuk daerah kepulauan lainnya. Namun, masih diperlukan
pengujianadaptasi dari metode untuk pulau-pulau ukuran lebih besar atau lebih kecildengan berbagai
pola penggunaan lahan spasial, dan dengan substrat seperti karang, sedimen atau asal pembentukan
dan dengan berbagai rezim iklim.
Konfigurasi akhir dari koridor konservasi tergantung pada biaya relatif sebagai faktor
kendala. Namun demikian, mengingat di Pulau Sapudi tingkat transformasi dan organisasi bentang
alam spasial, pilihan delineasi untuk koridor yang sangat terbatas koridor yang dihasilkan menangkap
seluruh tingkat gradien ketinggian yang diidentifikasi sebagai proses yang fleksibel, dan termasuk
sejumlah besar proses yang lain (spasial tetap) (51,4%) Bersama dengan kawasan konservasi yang
ada, sebagian besar koridor mencapai target konservasi untuk jenis vegetasi (91,4%) Selain itu,
koridor konservasmengintegrasikan dengan baik lahan milik publik (67,7% dari luas wilayah
koridor)dan kawasan lindung (66,5%). Namun, pada daerah yang tekanan penggunaan lahan tidak
dapat dihindari misal di di dataran rendah akan menimbulkan konsekuensi terhadap jumlah tingkat
transformasi habitat lebih tinggi. Selanjutnya, upaya dengan memperluas total area yang tercakup
dalam koridor (menggunakan ambang batas biaya) tidak tentumeningkatkan manfaat bagi konservasi
keanekaragaman hayati.
Menariknya, penggabungan koridor konservasi ke dalam strategi perencanaan menimbulkan
pertanyaan: bagaimana satu rencana untuk konservasi dengan pengetahuan parsial dan bias fungsi
ekosistem? Dilema antara kekuatan ilmiah, ketidakpastian dan mendesaknya tindakan konservasi
dapat diatasi dengan mengadopsi strategi manajemen adaptif (Lee, 2002). Pendekatan ini bertujuan
untuk menyeimbangkan persyaratan manajemen dengan kebutuhan untuk belajar tentang sistem yang
akan dikelola, yang secara teoritis mengarah pada keputusan yang lebih baik. Strategi ini harus
diadopsi dalam Pulau Sapudi, dan lebih umum di wilayah pulau-pulau kecil, ketersediaan data dan
3
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo
20 Oktober 2011
pengetahuan tentang proses keanekaragaman hayati seringkali tidak cukup. Akibatnya, bentuk
KSPKH dan koridor harus diubah sebagai data dan wawasan baru. Namun demikian, dalam pulau
kecil, opsi perencanaan untuk desain koridor sangat terbatas sehingga penerapannya dalam strategi
perencanaan tetap dibutuhkan.
Implementasi koridor konservasi
Merancang koridor konservasi merupakan salah satu tahapan dalamrencana konservasi
sistematis (Margules and Pressey, 2000). Untuk efektifnya tahap ini, serta tahap lainnya, rencana
konservasi yang sistematis, harus dibarengi dengan keterlibatan stakeholder dan strategi implementasi
(Knight et al., 2006). Memang, banyak studitelah menunjukkan bahwa partisipasi aktif para pemangku
kepentingan adalah sesuatu yang vital untuk keberhasilan konservasi (Brown, 2003) dan kebijakan
penggunaan lahan (Castella et al, 2005.). Dalam kerangka kerja, hasil ini seharusnya tidak dianggap
sebagai solusi tunggal, tetapi lebih sebagai starting point untuk membingkai tindakan konservasi dan
penggunaan lahan lainnya, misalnya digunakan oleh pemangku kepentingan ketika negosiasi rencana
perkembangan pada skala spasial yang berbeda.
Implementasi koridor akan membutuhkan rezim integrasi manajemen, baik administratif dan
sektoral. Implementasi koridor konservasi tentunya harus disertai langkah-langkah yang tepat dalam
mengakui dan mengakomodir hak-hak masyarakat.. Bagaimanapun koridor konservasi
diimplementasikan untuk mencapai tujuan pembangunan yang terpadu dan berkelanjutan, di Pulau
Sapudi. Untuk itu implementasi hendaknya mengaccu pula pada kondisi geografis dan untuk
perlindungan segenap kenaekaragaman hayati yang ada (Gambar. 3).
Pengelolaan dan pemantauan koridor konservasi
Kegiatan dan pemanfaatan yang dikembangkan dalam koridor konservasi, harus
dinegosiasikan dan dikelola oleh kelompok stakeholder (Cowling, 2005). Terkait dengan hal tersebut
dalam pengelolaan koridor konservasi, perlu dibentuk forum pengelolaan bersama. Forum ini
berpotensi bisa menggunakan model manajemen untuk dikembangkan pengelolaan sumber daya alam
secara terpadu dan partisipatif (Berkes dan Folke, 1998). Keanggotaan Forum bisa terdiri dari pejabat
terpilih dan perwakilan pengguna termasuk manajer konservasi, petani dan pengelola pariwisata.
Tujuan dari forum ini meliputi : (i) pengembangan rencana pengelolaan koridor sesuai dengan
persyaratan ekologi dan sosial; (ii) untuk mengidentifikasi dan merumuskan mekanisme dalam
mengintegrasikan rencana pengelolaan koridor dalam struktur manajemen (iii) untuk memantau
implementasi, pengelolaan dan dampak dari rencana dan (iv) untuk meninjau dan menyesuaikan
rencana manajemen dengan hasil pemantauan.
Manajemen koridor konservasi akan memerlukan program pengembangan monitoring untuk
menilai fungsi ekologi dan integritas koridor, dan dampak pengelolaan. Hasil dari program-program
pemantauan harus menginformasikan pengembangan dan revisi rencana pemanfaatan, baik dalam
koridor dan zona lainnya. Akhirnya, forum harus bertujuan untuk menjadi lembaga pembelajaran
(Knight et al, 2006), mampu mengadaptasi pengelolaan koridor dengan berbasis pengetahuan secara
permanen serta diperbarui melalui interaksi antara sistem sosial dan ekologi, dalam dan di sekitar
koridor.
KESIMPULAN
Pulau Sapudi sebagai kawasan pulau kecil merupakan kawasam yang sangat dinamis dan
rentan baik secara ekologi dan sosial sistem. Upaya untuk mensinergikan upaya konservasi dan
pembangunan berkelanjutan bukanlah tugas yang sepele karena kelangkaan pilihan perencanaan.
Untuk itu diperlukan suatu langkah yang sistematis untuk mengidentifikasi dan melindungi proses
keanekaragaman hayati melalui jaringan koridor konservasi, baik meliputi komponen daratan dan
pesisir, dan terintegrasinya keberlanjutan kendala sosio-ekonomi dalam proses desain. Kepulauan
memerlukan tindakan konservasi, dan penelitian masa depan harus fokus pada proses biologi interface
terestrial-pesisir-laut serta metode untuk mengintegrasikan keanekaragaman hayati dan proses lainnya
ke dalam rencana pengelolaan sumber daya.
DAFTAR PUSTAKA
Brown K.. 2003. Tree challenges for a real people-centred conservation. Global Ecology &
Biogeography 12. 89–92.
Case TJ, DL Bolger, AD Richman. 1992. Reptilian extinctions: the last ten thousand years. In:
Fielder, P.L., Jain, S.K. (Eds.), Conservation Biology: The Theory and Practice of Nature
Conservation, Preservation, and Management. Chapman and Hall, New York, USA, pp. 91–125
Castella JC, TN Trung, S Boissau. 2005. Participatory simulation of land-use changes in the northern
mountains of Vietnam: the combined use of an agentbased model, a role-playing game, and a
geographic information system. Ecology and Society 10 (1), 27
Cowling RM. 2005. Maintaining the research-implementation continuum in conservation. Society for
Conservation Biology Newsletter 12, 4.
Cowling RM, RL Pressey. 2003. Introduction to systematic conservation planning in the Cape
Floristic Region. Biological Conservation 112 (1–2), 1–13
Ferrier S, RL Pressey, TW Barrett. 2000. A new predictor of the irreplaceability of areas for achieving
a conservation goal, its application to real-world planning, and a research agenda for further
refinement. Biological Conservation 93 (3), 303–325.
Knight AT, RM Cowling, BM Campbell. 2006. An operational model for implementing conservation
action. Conservation Biology 20 (2), 408– 419.
Knight AT, RJ Smith, RM Cowling, PG Desmet, DP Faith, S Ferrier, CM Gelderblom, H Grantham,
AT Lombard, K Maze, JL Nel,JD Parrish, GQK Pence, HP Possingham,B Reyers, M Rouget, D
Roux, KA Wilson. 2007. Improving the key biodiversity areas approach for effective
conservation planning. BioScience 57 (3), 256–261.
Komdeur JA, MD Pels. 2005. Rescue of the Seychelles warbler on Cousin Island, Seychelles: the role
of habitat restoration. Biological Conservation 124, 15–265
Lee K.N. 2002. Appraising adaptive management. Conservation Ecology 3 (2).
Margules CR, RL Pressey. 2000. Systematic conservation planning. Nature 405, 243–253.
Mittermeier RA, GAB da Fonseca, M Hoffman, J Pilgrim, T Brooks,PR Gill, CG Mittermeier, J,
Lamoreux,, 2005. Hotspots Revisited: Earth’s Biologically Richest and Most Endangered
Terrestrial Ecoregions. CEMEX, Conservation International.
Mueller-Dombois, D., Loope, L.L., 1990. Some unique ecological aspects of oceanic island
ecosystems. Botanical Research and Management in Galapagos. Monographs in Systematic
Botany from the Missouri Botanical Garden, vol. 32, pp. 21–28.
Rouget M, RM Cowling, RL Pressey, DM Richardson. 2003. Identifying spatial components of
ecological and evolutionary processes for regional conservation planning in the Cape Floristic
Region, South Africa. Diversity and Distribution 9, 191–210.
Stattersfield A, D Capper. 2000. Threatened Birds of the World. Birdlife International. Cambridge,
UK.
Strasberg, D, M Rouget, DM Richardson, S Baret, J Dupont, RM Cowling. 2005. An assessment of
habitat diversity, transformation and threats to biodiversity on Réunion Island (Mascarene
Islands, Indian Ocean) as a basis for conservation planning. Biodiversity and Conservation 14
(12), 3015–3032
Whittaker RJ, KJ Willis, R Field. 2001. Scale and species richness: toward a general, hierarchical
theory of species diversity. Journal of Biogeography 28, 453–470.
5
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo
20 Oktober 2011
Gambar 1. Pulau Sapudi dan distribusi spasial
wilayah pemukiman dan budidaya
Interface makro habitat
Interface pesisir
Interface topografi
Gambar
2.
Transformasi
status
komponen
spasial
proses
keanekaragaman hayati permanen di Pulau Sapudi
Gambar 3. Konfigurasi koridor untuk perencanaan konservasi
Pulau Sapudi
7
Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo
20 Oktober 2011
Download