10 BAB II KAJIAN TEORI A. Dasar Teori 1. Collembola (Ekorpegas

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Dasar Teori
1. Collembola (Ekorpegas)
Collembola (Ekorpegas/ Springtails) sering disebut baik sebagai anggota
mesofauna (berukuran pertengahan antara mikroorganisme dan invertebrata
tanah terbesar, seperti kumbang) dan sebagai mikro-arthropoda (anggota
terkecil dari arthropoda) (Frampton & Hopkin, 2001: 404). Collembola
memiliki keanekaragaman yang tinggi yaitu sekitar 7000 spesies di dunia. Di
Indonesia, tahun 2004 ditemukan 217 spesies Collembola, tahun 2012
bertambah hingga 250 spesies (Deharveng 2004, Suhardjono et al 2012 dalam
Susanti, 2015:1). Disebut ekorpegas karena di ujung abdomen terdapat organ
yang mirip ekor yang berfungsi sebagai organ gerak dengan cara kerja seperti
pegas (Suhardjono et al, 2012: 1).
a. Morfologi dan Biologi
Collembola tidak termasuk dalam Kelas Insekta karena memiliki
struktur khas yang membedakannya dari kelas lain dalam Filum Arthropoda
yaitu tabung ventral, furkula, dan enam segmen abdomen. Tabung ventral
berfungsi sebagai alat perekat pada substrat dan furkula sebagai alat lenting
untuk bergerak, misalnya pergerakan untuk meloloskan diri dari predator
(Suhardjono et al 2012, Hopkin 1997 dalam Susanti, 2015:1). Furkula atau
furka terletak di ujung abdomen ruas ke 4. Dalam keadaan istirahat, furkula
10
akan terlipat ke depan di bawah abdomen dan dijepit oleh retinakulum.
Collembola tidak mengalami metamorfosis (ametabola), sehingga individu
muda serupa dengan yang dewasa baik pada penampakan maupun habitatnya.
Perbedaan yang mendasar hanya pada ukuran tubuh dan kematangan seksual.
Warna Collembola bervariasi yaitu putih, abu-abu, kuning, orange, hijau
metalik, ungu muda, merah dan beberapa warna lain, bahkan ada yang
campuran, akan tetapi sebagian besar berwarna biru-hitam (Amir, 2008: 16).
Gambar 1. Morfologi Collembola dan bagian-bagian
tubuh Collembola (Susanti, 2015:8)
Keunikan lain dari ekorpegas adalah pertumbuhan dan pergantian
kulitnya tetap berlanjut meski telah bereproduksi (Frampton & Hopkin, 2001:
404). Collembola berkembang biak dengan bertelur yang diletakkan secara
tunggal di dalam semak-semak atau tanah. Seekor Collembola betina akan
bertelur sekitar 90 - 150 butir selama hidupnya. Hewan ini mengalami
pematangan seksual setelah 3 - 12 kali pergantian kulit (moult). Tidak seperti
serangga, Collembola terus mengalami pergantian kulit 15 – 20 kali selama
hidupnya walaupun tidak diikuti dengan pertambahan ukuran tubuhnya. Laju
11
pertumbuhan berhubungan dengan temperatur dan makanan. Temperatur yang
lebih tinggi mempercepat laju pertumbuhan dan pergantian kulit (Amir, 2008:
16). Secara morfologi, ekorpegas dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok bertubuh memanjang yang memiliki ruas-ruas toraks dan abdomen
jelas dapat dibedakan atau terpisah dan kelompok globular yang memiliki
ruas-ruas toraks dan abdomen tidak dapat dibedakan atau hampir menyatu
(Frampton & Hopkin, 2001: 404).
b. Klasifikasi
Menurut Suhardjono (2012: 139), Collembola yang ditemukan di
Indonesia dibagi menjadi empat ordo, seperti pada tabel berikut:
Tabel 1. Daftar ordo, famili, dan subfamili Collembola yang ditemukan di
Indonesia
Ordo
Poduromorpha
Ordo
Ordo
Entomobryomorpha Symphypleona
Ordo
Neelipleona
Fam.
Hypogastruridae
Fam. Neanuridae,
subfam
Pseudachorutinae
Frieseinae
Uchidanurinae
Neanurinae
Fam.
Brachystomellidae
Fam. Isotomidae
Fam.
Neelidae
Fam. Entomobryidae,
subfam
Orchesellinae
Lepidocyrtinae
Entomobryinae
Willowsiinae
Fam. Coenaletidae
Fam. Odontellidae Fam. Paronellidae
Fam.
Onychiuridae,
subfam
Onychiurinae
Tullbergiinae
Fam. Cyphoderidae
Fam. Oncopoduridae
Fam. Tomoceridae
12
Fam.
Sminthurididae
Fam.
Arrhopalitidae
Fam.
Katiannidae
Fam.
Sminthuridae
Fam.
Bourletiellidae
Fam.
Dicyrtomidae
Beberapa karakter bagian tubuh Collembola yang menjadi ciri di tingkat
famili adalah panjang segmen abdomen, permukaan dorsal dens, dan panjang
mukro (Suhardjono et al 2012 dalam Susanti, 2015:1). Dens dan mukro
merupakan bagian dari furkula (Gambar 1). Furkula terdiri atas 3 ruas yaitu
manubrium di bagian pangkal dan diikuti sepasang lengan yang disebut des.
Pada setiap ujung dens terdapat struktur seperti kuku yang disebut mukro.
Perbandingan ukuran panjang ketiga ruas ini berbeda pada kelompok takson
yang berbeda (Suhardjono et al, 2012:18)
c. Ekologi
Collembola hidup di vegetasi, seresah dan tanah, umumnya ditemukan
pada kedalaman 10-15 cm (Hopkin 2007, Lagerlöf & Andren 1991, Ponge
2000 dalam Pommeresche & Løes, 2014: 165). Collembola dapat hidup pada
berbagai macam habitat dari tepi laut atau pantai sampai pegunungan tinggi
yang bersalju sekalipun. Setiap macam habitat mempunyai komposisi
keanekaragaman Collembola yang berbeda (Suhardjono et al, 2012: 68).
Banyak faktor termasuk ketersediaan pangan, jenis tanah, iklim mikro dan
komposisi spesies di habitat yang berdekatan mempengaruhi distribusi total
Collembola dalam tempat-tempat tertentu. Distribusi vertikal di dalam tanah
bervariasi tergantung pada musim dan spesies. Collembola juga
telah
dilaporkan keberadaannya sampai kedalaman 3 m pada tanah pertanian
(irigasi) di California. Kebanyakan individu ditemukan di lapisan tanah atas
dan seresah (Price & Benham 1977, Fjellberg et al 2005, Bardgett & Cook
1998 dalam Pommeresche & Løes, 2014: 165).
13
Hubungan yang erat antar spesies Colembolla dan habitat sudah
dijelaskan oleh Gisin pada Tahun 1943, yang menekankan pada komposisi
Collembola dapat digunakan sebagai deskripsi zoologi dari habitat.
Klasifikasinya
dimasukkan
ke
dalam
lima
kelompok
ekologi
("Lebensformenklassen") terkait dengan kelembaban dan lapisan tanah.
Pendekatan ini kemudian diperbaiki oleh Petersen pada Tahun 2002 yang
menemukan
perbedaan
kontras
dalam
ukuran,
reproduksi,
aktivitas
metabolisme dan preferensi makanan antara tipikal Collembola yang hidup di
permukaan tanah /seresah dan pori tanah. Ia mengusulkan istilah "epedaphic"
untuk spesies yang hidup di permukaan tanah /seresah, dan "euedaphic" untuk
spesies yang hidup di pori-pori tanah. Istilah-istilah ini mirip dengan istilahistilah yang digunakan oleh Salmon, dkk, yang membandingkan dataset besar
Collembola Eropa pada tahun 2014. Mereka menemukan Collembola yang
tinggal epigeik (di atas tanah) dan habitat terbuka biasanya memiliki organ
lokomotori (furka, kaki) yang telah berkembang dengan baik, kehadiran
rambut peka terhadap udara (misalnya trichobotria), organ sensitif terhadap
cahaya (misalnya ocelli, tempat mata), ukuran tubuh besar dan pigmentasi
baik (proteksi UV dan sinyal), dan lebih sering melakukan reproduksi seksual.
Spesies yang hidup edafik (habitat hunian tanah) dan habitat hutan biasanya
memiliki karakteristik lokomotori pendek, ukuran tubuh kecil, organ
pertahanan (pseudocelli) banyak, kehadiran organ pasca-antennal dan
reproduksi partenogenesis (Pommeresche & Løes, 2014: 166).
14
d. Peran di Dalam Ekosistem
Collembola merupakan mesofauna tanah yang berperan sebagai
perombak bahan organik yang terdapat pada tanah yaitu dengan mendegradasi
sisa-sisa tumbuhan. Selain bahan organik, fungi merupakan makanan
Collembola (Hopkin 1997, Meneses et al. 2004 dalam Susanti, 2015:1).
Aktivitas Collembola membantu jasad renik dalam merombak bahan-bahan
organik sehingga proses dekomposisi menjadi lebih cepat dengan cara :
1) Menghancurkan sisa-sisa tumbuhan sehingga berukuran lebih kecil,
2) Menambahkan
protein
atau
senyawa-senyawa
yang
merangsang
pertumbuhan mikroba, dan
3) Memakan sebagian bakteri yang berakibat merangsang pertumbuhan dan
kegiatan metabolik dari populasi mikroba (Amir, 2008: 17).
Berdasarkan observasi, ekorpegas memakan nematoda patogenik
tanaman dan dapat membantu dalam pengendaliannya, namun sebaliknya,
ekorpegas dapat mengakibatkan efek yang tidak baik jika memakan nematoda
entomopatogenik atau fungi yang mengontrol hama serangga. Ekorpegas yang
memakan fungi phatogenik tanaman secara inheren menguntungkan, dan
sejumlah studi telah mengusulkan penggunaan spesies ini sebagai sarana
biologis dalam pengendalian penyakit tanaman yang disebabkan oleh fungi,
misalnya dengan memperkenalkan ekorpegas dalam pot tanaman di rumah
kaca. Kebiasaan makan ekorpegas dapat meningkatkan proses dekomposisi
dan perputaran nutrien dalam sebuah cara yang kompleks. Feses ekorpegas
didapat dari proses pencernaan vegetasi yang telah mati menaikkan
15
permukaan area material yang telah terdekomposisi secara parsial yang dapat
didiami dan dimanfaatkan oleh dekomposer primer seperti bakteri dan fungi.
Feses ini juga sumber nitrat di dalam tanah dan dapat membantu mengusir
spora atau kista fungi, bakteri dan organisme tanah lainnya. Ekorpegas
mestimulasi bakteri dan pertumbuhan fungi, dan pada tumbuhan dapat
meningkatkan fiksasi nitrogen dengan menaikkan jumlah nodul. Di lain sisi
ekorpegas juga dapat mereduksi biomassa fungi dari beberapa spesies dan
berakibat pada komposisi spesies dekomposer primer (Frampton & Hopkin,
2001: 405-406).
Pada saat mencari makan, Collembola bergerak kemana-mana.
Biasanya, pada tubuhnya menempel jasad-jasad renik. sehingga selama
pergerakannya berpindah tempat, Collembola membantu menyebarkan jasad
renik. Penyebaran jasad renik ini merupakan peran Collembola yang penting.
Dengan aktifitasnya Collembola membantu memperluas dan mempercepat
perombakan bahan organik. Perombakan bahan organik ini akan berlangsung
terus-menerus sampai terbentuknya tanah. Selama masih ada jasad renik
Collembola masih aktif membantu penyebaran (Rohyani, 2012: 18).
Collembola juga menjadi mangsa dari kelompok binatang lain, misalnya
kumbang Staphylinidae dan Carabidae, tungau, serta kelompok arthropoda
lainnya seperti Pseudoscorpion, Aranae, dan serangga lainnya. Sebagai
mangsa atau pakan para predator, Collembola dapat menjadi faktor penentu
dinamika populasi kelompok pemangsa. Perbandingan populasi Collembola,
tungau, dan semut dapat menjadi ciri keadaan tanah di kawasan tropika. Oleh
16
karena itu, di dalam ekosistem tanah, Collembola juga dikenal sebagai
penyeimbang populasi organisme yang terkait (Suhardjono et al, 2012: 91).
2. Crhomolaena odorata (Gulma Siam)
a. Morfologi dan Biologi
Chromolaena odorata (gulma siam/ ki rinyuh) termasuk keluarga
Asteraceae/ Compositae. Daunnya berbentuk oval, bagian bawah lebih lebar,
makin ke ujung makin runcing. Panjang daun 6 – 10 cm dan lebarnya 3 – 6
cm. Tepi daun bergerigi, menghadap ke pangkal (Prawiradiputra, 2007: 47).
Letak daun berhadap-hadapan. Daun akan mengeluarkan bau menyengat bila
diremas (CRC Weed Management, 2003: 1). Karangan bunga terletak di ujung
cabang (terminal). Setiap karangan terdiri atas 20 – 35 bunga. Warna bunga
selagi muda kebiru-biruan, semakin tua menjadi coklat. Ki rinyuh berbunga
pada musim kemarau, perbungaannya serentak selama 3 – 4 minggu. Batang
muda berwarna hijau dan agak lunak yang kelak akan berubah menjadi coklat
dan keras (berkayu) apabila sudah tua. Letak cabang biasanya berhadaphadapan (oposit) dan jumlahnya sangat banyak. Tinggi tumbuhan dewasa bisa
mencapai 5 m, bahkan lebih. Setiap tumbuhan dewasa mampu memproduksi
sekitar 80 ribu biji setiap musim (Prawiradiputra, 2007: 47-48). Biji berwarna
gelap, panjangnya 4-5 mm, berbentuk lonjong dan menyempit, dengan parasut
seperti rambut-rambut berwarna putih yang berubah menjadi cokelat sebagai
tanda benih kering. Sistem akar berserabut dan umumnya mencapai
kedalaman 300 mm (CRC Weed Management, 2003: 1).
17
Pada saat biji masak, tumbuhan mengering. Pada saat itu biji pecah dan
terbang terbawa angin. Kira-kira satu bulan setelah awal musim hujan,
potongan batang, cabang dan pangkal batang bertunas kembali. Biji-biji yang
jatuh ke tanah juga mulai berkecambah sehingga dalam waktu dua bulan
berikutnya kecambah dan tunas-tunas telah terlihat mendominasi area. Pada
komunitas yang rapat, kepadatan tanaman bisa mencapai 36 tanaman dewasa
per
ditambah dengan tidak kurang dari 1300 kecambah, padahal setiap
tanaman dewasa masih berpotensi untuk menghasilkan tunas. Ki rinyuh dapat
tumbuh pada ketinggian 1000 – 2800 m dpl, tetapi di Indonesia banyak
ditemukan di dataran rendah (0 – 500 m dpl) seperti di perkebunanperkebunan karet dan kelapa serta di padang-padang penggembalaan.
(Prawiradiputra, 2007: 47)
b. Ekologi
Crhomolaena odorata (gulma siam) terdaftar sebagai tanaman yang
mengancam biodiversitas dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Gulma ini
dikenal sebagai salah satu gulma terburuk di daerah tropis karena beracun dan
berpotensi tinggi untuk mendegradasi ekosistem. Kecepatan pertumbuhannya
sangat tinggi (dapat mencapai 20 mm per hari) begitu pula dengan produksi
bijinya (CRC Weed Management, 2003: 1).
Gulma ini menginvasi hutan, berlimpah ruah di berbagai daerah, bersifat
merusak dan menjadi permasalahan di berbagai lahan pertanian dan
perkebunan (Goodall dan Zacharias, 2002: 120). Prawiradiputra (2007: 49)
menyebutkan bahwa, ada empat alasan pokok mengapa ki rinyuh digolongkan
18
pada gulma yang sangat merugikan. (1) Apabila ki rinyuh telah berkembang
dengan cepat dan meluas dapat mengurangi kapasitas tampung padang
penggembalaan. Selain itu, juga menurunkan produktivitas pertanian dengan
menginvasi lahan-lahan pertanian tanaman pangan dan perkebunan kakao,
kelapa, kelapa sawit dan tembakau yang tidak terpelihara, (2) bila termakan
ternak dapat menyebabkan keracunan, bahkan mungkin sekali kematian
ternak, (3) menimbulkan persaingan dengan tanaman lain, dalam hal ini
dengan rumput pakan di padang penggembalaan, sehingga mengurangi
produktivitas padang rumput, dan (4) dapat menimbulkan bahaya kebakaran,
terutama pada musim kemarau. Di lain sisi, akhir-akhir ini diketahui bahwa
tumbuhan ini merupakan komponen utama pada suksesi tanaman hutan
berkayu di padang rumput subtropis (Goodall dan Zacharias, 2002: 120).
Tidak hanya sebagai tanaman pionir di dalam hutan, Chromolaena
odorata juga dapat berperan positif dalam sistem pertanian pada kondisi dan
penanganan yang tepat. Ada beberapa faktor yang memungkinkan petani
memutuskan untuk menumbuhkan spesies ini, berdasarkan tanaman panen,
tanah atau iklim. Pada masa bera, petani akan memilih tanaman untuk
membatasi perkembangan gulma karena akan mengancam penggunaan lahan
kembali. C. odorata dapat dianggap sebagai tanaman awalan untuk mengisi
lahan kosong daripada gulma ketika mempertimbangkan sifat suatu spesies
yang diharapkan untuk perbaikan struktur tanah dalam masa bera, seperti
mudah ditumbuhkan, biomassa besar, tingkat dekomposisi cepat, dan dapat
menekan pertumbuhan gulma. Observasi di Nigeria menunjukkan bahwa
19
pertumbuhan gulma lebih rendah pada lahan panen yang didominasi C.
odorata daripada di semak-semak alami yang biasa tumbuh pada masa bera
yang telah dimodifikasi. C. odorata tumbuh dengan tutupan tajuk lebat dalam
waktu singkat dan mampu menekan pertumbuhan tanaman lainnya. Selain itu,
tidak ada korelasi di antara periode dengan parameter dan frekuensi kesuburan
tanah yang dipilih C. Odorata. 85% petani di Laos bagian utara mengapresiasi
C. odorata dan mengkualifikasikan sebagai tanaman bera yang baik atau
tanaman yang mereka inginkan pada masa bera. Penggunaan C. Odorata pada
masa bera menunjukkan bahwa tidak ada efek negatif pada hasil produksi
padi, relatif mudah dikontrol dengan penyiangan menggunakan tangan,
pertumbuhan cepat dan produksi biomassa besar. Beberapa petani
mengemukakan bahwa struktur tanah lebih baik ketika C. odorata dominan.
Lahan yang lebih sering didominasi C. odorata memiliki seresah dan
penutupan lebih tinggi tetapi rendah tumbuhan basal area dan tumbuhan yang
tinggi (Koutika dan Rainey, 2010: 135).
3. Rhizosfer
Rhizosfer adalah zona tanah yang mengelilingi akar tanaman, sedangkan
sifat biologi dan kimia tanah dipengaruhi oleh akar. Ini merupakan daerah
aktivitas biologis dan kimia yang dipengaruhi oleh senyawa yang dikeluarkan
akar dan senyawa dari aktivitas makan mikroorganisme secara intensif. Akar
melepaskan senyawa larut air seperti asam amino, gula dan asam-asam
organik yang memasok makanan untuk mikroorganisme. Pasokan makanan
yang mendukung aktivitas mikrobiologi di rhizosfer jauh lebih besar dari
20
tanah yang jauh dari akar tanaman. Sebagai imbalannya, mikroorganisme
memberikan nutrisi bagi tanaman. Semua kegiatan ini membuat rhizosfer
menjadi lingkungan yang paling dinamis di dalam tanah (Kelly, 2005: 1).
Akar memancarkan air dan senyawa secara luas dikenal sebagai eksudat.
Eksudat akar terdiri atas asam amino, asam organik, karbohidrat, gula,
vitamin, lendir dan protein. Eksudat merangsang interaksi biologis dan fisik
antara akar dan organisme tanah; memodifikasi sifat biokimia dan fisik
rhizosfer; serta memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan akar dan
pertahanan hidup tanaman. Eksudat juga perperan dalam mempertahankan
rhizosfer dan akar terhadap mikroorganisme patogen. Eksudat di rhizosfer
bervariasi sesuai dengan tahapan pertumbuhan tanaman. Menarik dan
menolak spesies dan populasi mikroba tertentu. Tingginya kadar kelembaban
dan nutrisi dalam rhizosfer jauh lebih menarik bagi mikroorganisme daripada
di tempat lain di tanah. Komposisi dan pola eksudat akar yang mempengaruhi
aktivitas dan populasi mikroba, mempengaruhi organisme tanah lain dalam
lingkungan ini. Menjaga tanah di sekitar akar lembab. Penelitian telah
menemukan bahwa tanah rhizosfer secara signifikan lebih lembab dari bagian
tanah lainnya, yang berguna untuk melindungi akar dari kekeringan.
Lingkungan rhizosfer umumnya memiliki konsentrasi
pH lebih rendah,
oksigen rendah dan karbon dioksida lebih tinggi. Namun, eksudat dapat
membuat tanah dalam rhizosfer lebih asam atau basa, tergantung nutrisi yang
diambil akar dari tanah. Sebagai contoh, ketika tanaman membutuhkan
nitrogen sebagai amonium melepaskan ion hidrogen yang akan membuat
21
rhizosfer lebih asam. Ketika tanaman membutuhkan nitrogen sebagai nitrat, ia
melepaskan ion hidroksil yang membuat rhizosfer lebih basa. Proses ini
biasanya tidak mempengaruhi pH sebagian besar tanah tetapi penting bagi
organisme kecil yang hidup di rhizosfer karena banyak organisme tanah tidak
bergerak jauh di dalam tanah (Kelly, 2005: 1-2).
4. Lahan Vulkanik, Pantai Berpasir, dan Karst
Lahan (land) merupakan suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup
semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang
berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah,
batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang
ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang; yang
kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada
saat sekarang dan di masa akan datang. Lahan dapat dipandang sebagai suatu
sistem yang tersusun atas berbagai komponen. Komponen-komponen ini dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu (1) komponen struktural yang sering disebut
karakteristik lahan; dan (2) komponen fungsional yang sering disebut kualitas
lahan. Kualitas lahan merupakan sekelompok unsur-unsur lahan yang
menentukan tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan bagi macam
pemanfaatan tertentu (Juhadi, 2007: 11).
a. Lahan Vulkanik
Bentuk lahan vulkanik adalah bentuk lahan hasil kegiatan gunung berapi
baik yang tersusun dari bahan gunung api yang sudah keluar ke permukaan
22
bumi (ekstrusi) maupun yang membeku dalam permukaan bumi (instrusi).
Bentuk lahan vulkanik secara sederhana terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Bentuk-bentuk eksplosif (krater letusan, ash dan cinder cone)
b. Bentuk-bentuk effusif (aliran lava/lidah lava, bocca, plateau lava, aliran
lahar dan lainnya) yang membentuk bentangan tertentu dengan distribusi di
sekitar kepundan, lereng bahkan kadang sampai kaki lereng.
Bentuk lahan hasil bentukan asal vulkanik, terdapat berbagai jenis yang
berkaitan dengan kegunungapian (vulkanisme). Vulkanisme adalah semua
fenomena yang berkaitan dengan proses gerakan magma dari dalam bumi
menuju ke permukaan bumi yang menghasilkan bentuk lahan cenderung
positif (Treman, 2014: 41).
Salah satu hal yang dicatat dari letusan gunung berapi adalah jenis
batuan yang dikeluarkan selama terjadinya erupsi. Jenis batuan beku yang
dikeluarkan oleh gunung berapi akan sangat menentukan jenis dan
karakteristik tanah yang terbentuk. Erupsi gunung berapi, mengeluarkan bahan
vulkanik (bom, lahar, lava, pasir, debu dan abu) yang kemudian terakumulasi
di bagian puncak, lereng, bagian kaki dan daerah sekitarnya. Abu vulkanik
merupakan bahan material vulkanik jatuhan yang disemburkan ke udara saat
terjadi suatu letusan dan dapat jatuh pada jarak mencapai ratusan bahkan
ribuan kilometer dari kawah karena pengaruh hembusan angin. Abu vulkanik
memiliki dampak yang buruk bagi lingkungan hidup dalam jangka pendek.
Letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta
pada tahun 2010 ditaksir menyebabkan petani menderita kerugian ditaksir
23
lebih kurang Rp 20,8 miliar dan kerusakan hutan Rp 5,5 triliun. Jangka
panjangnya, abu vulkanik memiliki manfaat untuk kehidupan manusia
khususnya di bidang pertanian. Kandungan dari abu terdapat berbagai unsur
hara tanaman yang esensial yang dapat menyebabkan lahan menjadi subur
kembali karena dapat suplai hara esensial yang baru (Sukarman dan Dariah,
2014: 8-19).
Bahan-bahan yang relatif baru tersebut, pada tahap awal membentuk
tanah yang disebut sebagai regosol (entisols). Seiring bertambahnya waktu,
bahan abu vulkanik kemudian berkembang menjadi tanah-tanah yang
terdeteksi mengandung mineral non kristalin (short-range-order), berwarna
gelap, mengandung karbon organik tinggi, gembur, berat isi rendah, terasa
licin (smeary) bila dipirid, memiliki permukaan mineral liat yang luas, dan
mengandung banyak gelas vulkanik. Tanah-tanah yang berkembang dari hasil
erupsi gunung berapi ini, memperlihatkan ciri khas dan unik yang tidak
dimiliki oleh tanah-tanah lain yang berkembang dari bahan bukan vulkanik.
Tanah-tanah seperti tersebut di atas, dalam klasifikasi Dudal dan
Soepraptohardjo (1961) dikenal dengan nama tanah Andosol atau dalam
sistem klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff 2014) dikenal sebagai
Ordo Andisols dan dalam sistem klasifikasi FAO/UNESCO (1974, 1988)
dikenal dengan nama Andosol (Sukarman dan Dariah, 2014: 8)
b. Lahan Pantai Berpasir
Bentuk lahan (landform) wilayah pantai secara umum dikelompokkan
atas wilayah pantai berlumpur (muddy shores), pantai berpasir (sandy shores),
24
dan pantai berbatu karang atau andesit. Lahan pantai berpasir merupakan
lahan marjinal. Wilayah ini bersifat dinamis, yaitu terdapat hubungan antara
pasokan butir-butir pasir dari hasil abrasi pantai oleh ombak menuju pantai
dan dari gisik (beach) yang merupakan hasil erosi angin ke arah daratan,
sehingga pasokan pasir terjadi terus-menerus. Peristiwa tersebut menyebabkan
lahan pantai berpasir menjadi kritis, baik untuk wilayah itu sendiri maupun
wilayah di belakangnya. Pengertian tanah berpasir merupakan tanah yang
mengandung banyak pasir tetapi masih ada debu dan liat sehingga tidak
mudah terpisah. Lingkungan pantai memiliki karakter yang sangat khas
sebagai ciri yang mencolok pada daerah pesisir pantai antara lain : a). Angin
kencang dengan hembusan garam, b). Kadar garam tinggi dalam tanah, c).
Porositas tinggi, dan d). Pergerakan pasir yang bebas. Sifat Fisik tanah pantai
berpasir butirannya kasar mengandung kerikil, konsistensi lepas sampai
gembur, dan warnanya bervariasi dari merah kuning, coklat kemerahan, dan
coklat kekuningan. Sifat kimia tanah pantai berpasir kaya akan unsur-unsur
hara seperti Posfor (P) dan Kalium (K) kecuali Nitrogen (N) yang belum
terlapuk. Sifat Biologi tanah pantai berpasir biasanya memiliki sedikit
mikroorganisme (Harjadi et al. 2014: 1).
c. Lahan Karst
Karst adalah sebuah bentuk permukaan bumi yang pada umumnya
dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression), drainase
permukaan, dan gua. Kawasan karst terjadi akibat proses pelarutan batuan
oleh air hujan, yang pada umumnya terdiri dari karbonat (batu gamping,
25
dolomit), tetapi dapat pula pada gipsum dan halit (NaCl, KCl). Penampakan
karst yang sudah berkembang baik juga dapat dijumpai pada batu pasir dan
pasir kwarsa, tetapi pada umumnya terlihat perbedaan yang nyata dengan
geomorfologi kawasan karst batu gamping (Haryoko, 2010: 4)
Daerah karst memiliki karakteristik yang khas, di antaranya memiliki
daerah berupa cekungan-cekungan, terdapat bukit-bukit kecil, sungai-sungai
di bawah permukaan tanah, adanya endapan sedimen lempung berwarna
merah hasil dari pelapukan batu gamping, dan permukaannya yang terbuka
nampak kasar, berlubang-lubang dan runcing. Secara geomorfologis, kawasan
karst merupakan daerah dominan berbatuan karbonat. Kawasan karst
merupakan kawasan yang mudah rusak. Batuan dasarnya mudah larut
sehingga mudah sekali terbentuk gua-gua bawah tanah dari celah dan retakan
(Suhendra, 2012: 1). Lahan daerah karst memiliki keterbatasan dalam
menyimpan sumberdaya air. Hal ini disebabkan lahan karst tersusun oleh
tanah dengan tekstur liat, permeabilitas rendah, dan tingkat evaporasi tinggi
(Utomo, 1999: 20).
B. Kerangka Berpikir Teoritis
Tanah merupakan komponen lahan yang berperan sebagai tempat
tumbuh vegetasi, memiliki karakter fisik dan kimia (faktor/ komposisi faktor)
berbeda di setiap bentuk lahan. Chromolaena odorata adalah tanaman invasif
yang dapat dijumpai pada berbagai bentuk lahan. C. odorata menghasilkan
exudate akar yang mampu menarik organisme tanah untuk berada disekitarnya
sehingga terbentuk suatu lingkungan perakaran (rhizosfer). Pentingnya
26
peranan organisme tanah dalam rhizosfer berkorelasi lurus dengan
ketersediaan nutrisi bagi tanah. Collembola merupakan salah satu bagian
penting dari lingkungan ini. Sebagai komponen ekosistem, Collembola
mempunyai peran penting dan beranekaragam bergantung pada jenis atau
kelompoknya, sementara faktor-faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap
kehadiran pemilihan tempat hidup Collembola. Setiap faktor atau komposisi
faktor mempunyai pengaruh berbeda pada jenis atau kelompok jenis. Bagan
alur kerangka berpikir penelitian diuraikan pada gambar 2 berikut:
Sifat fisik dan kimia
tanah
Chromolaena odorata
TANAH
Exudate akar
Organisme tanah
(fauna tanah):
Collembola
Struktur Komunitas
Rhizosfer
Gambar 2. Bagan kerangka berpikir penelitian
27
Download