8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Stroke Iskemik 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Stroke Iskemik
2.1.1
Pengertian
Stroke atau cerebrovaskular accident (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer & Bare,
2002:2131). Secara garis besar stroke dibagi menjadi dua golongan yaitu stroke
perdarahan dan stroke iskemik (Irfan, 2010:69). Stroke iskemik terjadi sekitar
80% sampai 85 % dari total insden stroke yang diakibatkan obstruksi atau bekuan
di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi ini dapat
disebabkan karena adanya bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam pembuluh
otak atau pembuluh atau organ distal (Price & Wilson, 2006:1113).
Stroke iskemik adalah stroke yang disebabkan adanya obtruksi dari pembuluh
darah oleh plak aterosklerotik, bekuan darah atau kombinasi keduanya sehingga
menghambat aliran darah ke area otak (Linton, 2007:467).
2.1.2
Klasifikasi Stroke Iskemik
Menurut Harsono (2007:86) stroke iskemik secara patologik dapat dibagi tiga
yaitu Trombosis pembuluh darah (thrombosis serebri), Emboli serebri, Arteritis
sebagai akibat dari lues/arteritis temporalis. Sedangkan berdasarkan bentuk
klinisnya stroke iskemik diklasifikasikan menjadi :
8
9
a. Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA) pada bentuk ini
gejala neurologic yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan
menghilang dalam waktu 24 jam.
b. Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic Neurological Deficit
(RIND), gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih
lama dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
c. Stroke Progresif (Progessive Stroke/stroke in evolution), stroke yang gejala
neurologiknya makin lama makin berat.
d. Stroke Komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke), stroke yang gejala
klinisnya sudah menetap.
2.1.3
Patofisiologi Stroke Iskemik
Iskemik serebri sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis (terbentuknya
ateroma) dan arteriolosklerosis. Aterosklerosis dapat menimbulkan oklusi
mendadak pembuluh darah karena terjadinya thrombus dan kemudian dapat
terlepas sebagai emboli (Harsono, 2007:87).
Trombus, emboli yang terjadi mengakibatkan terjadinya iskemik, sel otak
kehilangan kemampuan menghasilkan energi terutama adenosin trifosfat (ATP),
pompa Natrium Kalium ATPase gagal sehingga terjadi depolarisasi (Natrium
berada dalam sel dan Kalium diluar sel) dan permukaan sel menjadi lebih negatif,
kanal Kalsium terbuka dan influk Kalsium kedalam sel. keadaan depolarisasi ini
merangsang pelepasan neurotransmiter eksitatorik yaitu glutamat yang juga
menyebabkan influk kalsium kedalam sel, Sehingga terjadi peningkatan Kalsium
dalam sel. Glutamat yang dibebaskan akan merangsang aktivitas kimiawi dan
10
listrik di sel otak lain dengan melekatkan ke suatu molekul di neuron lain, reseptor
N-metil D-aspartat (NMDA). Pengikatan reseptor ini memicu pengaktifan enzim
nitrat oksida sintase (NOS) yang menyebabkan terbentuknya molekul gas, Nitrat
oksida (NO).
Pembentukan NO yang terjadi dengan cepat dan dalam jumlah besar melemahkan
asam deoksiribonukleat (DNA) neuron, dan mengaktifkan enzim, Poli (adenozin
difosfat-[ADP] ribosa) polimerase (PARP). Enzim ini menyebabkan dan
mempercepat eksitotoksitas setelah iskhemik serebrum sehingga terjadi deplesi
energi sel yang hebat dan kematian sel. Peningkatan Kalsium intra sel
mengaktifkan protease (enzim yang mencerna protein sel), Lipase (enzim yang
mencerna membran sel) dan radikal bebas yang terbentuk akibat jenjang sistemik.
Sel-sel otak mengalami infark, jaringan otak mengalami odema, sehingga perfusi
jaringan cerebral terganggu. Sawar otak mengalami kerusakan akibat terpajan
terhadap zat-zat toksik, kehilangan autoregulasi otak sehingga Cerebral Blood
Flow (CBF) menjadi tidak responsif terhadap perbedaan tekanan dan kebutuhan
metabolik. Kehilangan autoregulasi adalah penyulit stroke yang berbahaya dan
dapat memicu lingkaran setan berupa peningkatan odema otak dan peningkatan
tekanan intrakranial dan semakin luas kerusakan neuron. Odema otak juga akan
menekan struktur-struktur saraf didalam otak sehingga timbul gejala sesuai
dengan lokasi lesi (Price & Wilson, 2006:1116).
Infark otak timbul karena iskemia otak yang lama dan parah dengan perubahan
fungsi dan struktur otak yang ireversibel. Gangguan aliran darah otak akan timbul
perbedaan daerah jaringan otak : a. pada daerah yang mengalami hipoksia akan
11
timbul edema sel otak dan bila berlangsung lebih lama, kemungkinan besar akan
terjadi infark, b. Daerah sekitar infark timbul daerah penumbra iskemik dimana
sel masih hidup tetapi tidak berfungsi, c. Daerah diluar penumbra akan timbul
edema local atau daerah hiperemisis berarti sel masih hidup dan berfungsi
(Harsono, 2007:86).
2.1.4
Gejala/Manifestasi Klinis
Kelumpuhan/disabilitas adalah salah satu gejala umum yang dialami pasien
stroke, kelumpuhan terjadi pada salah satu sisi tubuh yang berlawanan dengan sisi
otak yang mengalami kerusakan akibat stroke, kelumpuhan dapat berupa
hemiparesis atau hemiplegia. Keadaan ini dapat mempengaruhi wajah, lengan dan
kaki atau seluruh sisi tubuh sehingga pasien mengalami kesulitan dalam
melakukan kegiatan sehari hari seperti berjalan atau memegang benda (National
Institut of Neurological Dissorder and Stroke [NINDS], 2008 ).
Menurut Price & Wilson (2006:1118), gambaran klinis utama yang berkaitan
dengan insufisiensi arteri ke otak akibat stroke iskemik disebut sindrom
neurovaskular, diantaranya :
a. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior : gejala biasanya unilateral).
Cabang-cabang arteria karotis interna adalah arteria oftalmika, arteria
komunikantes posterior, arteria koroidalis anterior, arteria serebri anterior,
arteria serebri media. Dapat timbul berbagai sindrom diantaranya kebutaan satu
mata, gejala sensorik dan motorik di ektermitas kontra lateral karena
insufisiensi arteria serebri media. Bila lesi terjadi di daerah antara arteria
12
serebri anterior dan media atau arteria serebri media , gejalanya mula mula pada
ekstremitas atas (misalnya, tangan lemah, baal).
b. Arteria serebri media (tersering),
Gejalanya adalah hemiparesis atau monoparesis kontralateral (biasanya
mengenai lengan), kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral, afasia
global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua fungsi yang
berkaitan dengan bicara dan komunikasi dan disfasia.
c. Arteri Serebri Anterior
Gejalanya adalah kebingungan, kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di
tungkai, lengan proksimal juga mungkin terkena, gerakan volunteer tungkai
yang bersangkutan terganggu, deficit sensorik kontralateral, Demensia, gerakan
menggengam, reflex patologik (disfungsi lobus frontalis).
d. Sistem Vertebrobasilar (sirkulasi posterior : manifestasi biasanya bilateral)
Gejalanya adalah kelumpuhan disatu sampai ke empat ekstremitas,
meningkatnya reflek tendon, ataksia, tanda babinski bilateral, tremor, vertigo,
disfagia, disartria, sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat,
disorientasi, gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis) tinitus,
gangguan pendengaran, rasa baal di wajah, mulut atau lidah.
e. Arteri serebri posterior (di lobus otak tengah atau thalamus) Gejalanya adalah
koma, hemiparesis kontralateral, afasia visual atau aleksia.
Gejala neurologik yang timbul akibat stroke di otak bergantung pada berat
ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya. Gejala utama stroke iskemik
akibat thrombosis serebri ialah timbulnya defisit neurologik secara mendadak /sub
13
akut, didahului gejala prodromal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi
dan kesadaran biasanya tidak menurun (Harsono, 2007:88).
Kematian jaringan otak pada pasien stroke dapat menyebabkan hilangnya fungsi
yang dikendalikan oleh jaringan tersebut, salah satu gejala yang ditimbulkan
adalah kelemahan otot pada anggota gerak tubuh (Wiwit, 2010). Gangguan fisik
Stroke seperti kelemahan otot, nyeri, dan spastisitas dapat menyebabkan
penurunan kemampuan untuk menggunakan ekstremitas atas yang terkena stroke
dalam aktivitas sehari-hari, keadaan ini membuat seseorang menghindari
menggunakan lengan dan tangan yang terkena stroke, tidak menggunakan lengan
yang terkena stroke dapat menyebabkan kelemahan atau kehilangan kekuatan
otot, penurunan rentang gerak dan keterampilan motorik halus (Eng & Harris,
2009).
2.1.5
Komplikasi Stroke Iskemik
Pasien yang mengalami gejala berat misalnya imobilisasi dengan hemiplegia berat
rentan terhadap komplikasi yang dapat menyebabkan kematian lebih awal, yaitu :
pneumonia, septikemia (akibat ulkus dekubitus atau infeksi saluran kemih),
thrombosis vena dalam/deep vein thrombosis (DVT) dan emboli paru, sekitar 10%
pasien dengan infark serebri meninggal 30 hari pertama dan hingga 50 % pasien
yang bertahan akan membutuhkan bantuan dalam mejalankan aktivitas sehari–
hari. Faktor-faktor yang mempunyai kontribusi pada disabilitas jangka panjang
meliputi ulkus dekubitus, epilepsi, depresi, jatuh berulang, spastisitas, kontraktur
dan kekakuan sendi (Ginsberg, 2007:91).
14
2.1.6
Penatalaksanaan Stroke Iskemik
Penatalaksanaan stroke menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(2011:39) adalah :
a. Pengobatan terhadap hipertensi, hipoglikemia/hiperglikemia, pemberian terapi
trombolisis, pemberian antikoagulan, pemberian antiplatelet dal lain-lain
tergantung kondisi klinis pasien.
b. Pemberian cairan, pada umumnya kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari
(parenteral maupun enteral), cairan parenteral yang diberikan adalah yang
isotonis seperti 0,9% salin.
c. Pemberian Nutrisi, Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam
48 jam, nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah tes fungsi menelan baik.
Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun nutrisi diberikan
melalui pipa nasogastrik.
d. Pencegahan dan penanganan komplikasi, mobilisasi dan penilaian dini untuk
mencegah komplikasi (aspirasi, malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena
dalam, emboli paru, kontraktur) perlu dilakukan.
e. Rehabilitasi, direkomendasikan untuk melakukan rehabilitasi dini setelah
kondisi medis stabil, dan durasi serta intensitas rehabilitasi ditingkatkan
sesuaikan dengan kondisi klinis pasien. Setelah keluar dari rumah sakit
direkomendasikan untuk melanjutkan rehabilitasi dengan berobat jalan selama
tahun pertama setelah stroke.
f. Penatalaksanaan medis lain, pemantauan kadar glukosa, jika gelisah lakukan
terapi psikologi, analgesik, terapi muntah dan pemberian H2 antagonis sesuai
15
indikasi, mobilisasi bertahap bila keadaan pasien stabil, kontrol buang air
besar dan kecil, pemeriksaan penunjang lain, edukasi keluarga dan discharge
planning.
2.1.7
Pemulihan Stroke
a. Fenomena Plastisitas Otak
Proses pemulihan stroke pada awalnya terjadilah reperfusi jaringan iskemik
disertai oleh terhentinya peradangan yang dipicu oleh glutamin yang dapat
menyebabkan kerusakan neuron lebih lanjut. Kerusakan neuron berkurang
sewaktu neuron- neuron didaerah penumbra iskemik mulai pulih. Kemudian
beberapa hari dan minggu setelah stroke akut, otak mulai melakukan proses
memulihkan fungsi yang hilang. Proses belajar kembali bergantung pada
kemampuan luar biasa otak untuk mereorganisasi dirinya sendiri (suatu
fenomena yang disebut plastisitas) dalam mempelajari suatu tugas atau
sewaktu pulih dari cedera. Plastisitas merupakan Kemampuan unik yang
membedakan sistem saraf dari jaringan lainnya, karena jaringan neuro tidak
memiliki kemampuan seperti jaringan lain untuk melakukan regenerasi (Price
& Wilson, 2006: 1127)
b.
Peran Plastisitas Otak dalam Pemulihan Stroke
Kerusakan jaringan otak yang disebabkan oleh stroke dapat mengakibatkan
hilangnya
fungsi
cerebral,
namun
otak
mampu
melakukan
proses
neuroplastisitas untuk mengembalikan fungsinya dengan cara menata kembali/
reorganisasi cortical maps sehingga proses penyembuhan terjadi (Petrina,
2010).
16
Plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak melakukan reorganisasi
dalam bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas merupakan sifat
yang menunjukkan kapasitas otak untuk berubah dan beradaptasi terhadap
kebutuhan fungsional. Neuroplacity ini akan dimulai dari hari pertama sampai
kedua pasca stroke dan dapat berlangsung sampai sebulan (Brito, 2001; Irfan,
2010:37).
Untuk memberikan gambaran tentang plastisitas, maka penulis memberikan
ilustrasi dengan membandingkan antara sifat plastisitas dan elastisitas pada
gambar berikut ini :
Awal
Proses
Akhir
Awal
Proses
Akhir
Gambar 2.1. Deskripsi Plastisitas
Suatu benda dengan bentuk awal segi empat jika diberi intervensi atau
dimanipulasi untuk membentuk segitiga, maka pada saat proses dilakukan benda
berbentuk segitiga akan tetapi pada akhirnya benda tersebut akan kembali pada
bentuk awalnya, hal ini disebut sebagai kemampuan elastisitas. Jika bentuk awal
suatu benda berbentuk segi empat kemudian diberikan intervensi untuk
membentuk segitiga, maka pada saat proses dilakukan benda akan membentuk
segitiga dan juga membentuk akhir dari benda tersebut, hal ini disebut sebagai
kemampuan plastisitas. Dengan demikian jelas bahwa sifat elastisitas berbeda
dengan sifat plastisitas. Sifat plastisitas menunjukkan kemampuan benda untuk
berubah kedalam bentuk lain (Irfan, 2010:38)
17
Petrina (2010) menyatakan plastisitas pada pemulihan fungsi ektremitas lebih
susah terjadi berhubungan dengan fenomena yang dikenal dengan learned nonuse,
bagian-bagian tubuh yang berhubungan dengan otak yang telah kehilangan
fungsinya akan berpengaruh serta akan kehilangan kekuatan bergeraknya. Pasien
yang tidak dapat menggerakkan ektremitas lemah menyebabkan pasien berusaha
menggunakan ektremitas yang normal, setelah beberapa lama saat efek kerusakan
sudah tidak terjadi lagi maka terjadilah adaptasi kembali dari otak, kekuatan
bergerak pulih namun pasien terlanjur belajar bahwa ektremitas yang mengalami
kelemahan sudah tidak berfungsi lagi.
Ektremitas yang mengalami kelemahan tidak dapat menggerakkan otot dan otot
tidak digunakan secara rutin, hal ini mengakibatkan bagian otak yang bertanggung
jawab tidak terstimulasi. Untuk mengurangi dan memulihkan kondisi dari efek
learned nonuse perlu dilakukan latihan pada ektremitas yang lemah.
Stimulasi pada daerah yang terkena stroke dalam otak perlu dilakukan untuk
membangun koneksi baru dalam otak, caranya adalah dengan menyentuh benda
yang memiliki tekstur yang berbeda-beda menggunakan ektremitas atas yang
mengalami kelemahan. Stimulasi ini dapat menggunakan alat untuk melatih
ektremitas atas guna memperbaiki sensasi dan kekuatan ototnya ataupun dengan
cara menjalin jari-jari yang normal dan lemah, lalu meletakkan telapak tangan
pada bahan dan permukaan yang berbeda-beda (Hutton 2008:119).
18
2.1.8
Sistem Saraf
Sistem syaraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan serta
terdiri terutama dari jaringan syaraf. Kemampuan untuk menstransmisi suatu
respon terhadap stimulasi diatur oleh sistem saraf dalam tiga cara utama :
a. Input Sensorik, sistem syaraf menerima sensasi atau stimulus melalui reseptor,
yang terletak di tubuh baik eksternal (reseptor somatik) maupun internal
(reseptor viseral). Reseptor adalah organ sensorik khusus yang mampu
mencatat perubahan tertentu di dalam organism dan sekitarnya serta
menghantarkan rangsangan ini sebagai impuls. Reseptor merupakan organ
akhir dari serat syaraf aferen.
b. Aktivitas integratif. Reseptor mengubah stimulus menjadi impuls listrik yang
menjalar disepanjang saraf sampai ke otak dan medulla spinalis, yang
kemudian akan menginterpretasikan dan mengintegrasi stimulus, sehingga
respon terhadap informasi bisa terjadi.
c. Output motorik. Impuls dari otak dan medulla spinalis memperoleh respon
yang sesuai dari otot dan kelenjar tubuh, yang disebut sebagai efektor (Sloane,
2004:154).
2.2 Konsep Kekuatan Otot
2.2.1
Pengertian Sistem Otot
Otot adalah jaringan yang terbesar dalam tubuh (Irfan, 2010:6). Jaringan otot yang
mencapai 40% sampai 50% berat tubuh, pada umumnya tersusun dari sel- sel
kontraktil yang di sebut serabut otot. Melalui kontraksi, sel-sel otot menghasilkan
19
pergerakan dan melakukan pekerjaan (Sloane,2004:119) Otot secara umum dibagi
atas tiga jenis yaitu, otot rangka, otot jantung, dan otot polos. Otot rangka
merupakan massa yang besar yang menyusun jaringan, gambaran garis lintang
sangat jelas , tidak berkontraksi tanpa adanya rangsangan dari syaraf, Secara
umum dikendalikan oleh kehendak/volunter (Ganong, 2003:62). Otot melakukan
pergerakan berupa kontraksi dan relaksasi yang didukung oleh berbagai
komponen didalam otot. Kontraksi otot dilakukan dengan gerakan tarikan
(pemendekan otot) dan untuk mengembalikannya memerlukan gerakan relaksasi.
Gerakan kontraksi dan relaksasi inilah yang memungkinkan kita bisa bergerak,
melakukan mobilisasi (Saryono, 2011:2).
Kekuatan otot merupakan kemampuan otot menahan beban baik berupa beban
eksternal maupun beban internal. Kekuatan otot sangat berhubungan dengan
sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan system saraf mengaktifasi
otot untuk melakukan kontraksi. Dengan demikian semakin banyak serabut otot
teraktivasi, maka semakin besar pula keuatan yang dihasilkan oleh otot tersebut
(Irfan, 2010:47). Kekuatan kontraksi otot dipengaruhi oleh ukuran otot dan
susunan otot. Ukuran unit motorik dan perekruitan unit motorik, dan panjang otot
saat awal kontraksi. Latihan beban atau hambatan/tahanan (angkat beban), akan
merangsang pembesaran sel akibat sintesis miofilamen yang banyak. Latihan daya
tahan menghasilkan peningkatan mitokondria, glikogen dan densitas kapiler. Otot
yang tidak digunakan dapat mengalami atropi. Hal ini akibat serabut otot secara
progresif memendek (Saryono, 2011:110).
20
2.2.2
Fungsi Sistem Muskular
Fungsi otot menurut Sloane (2004:119) adalah :
a. Pergerakan. Otot menghasilkan gerakan pada tulang tempat otot tersebut
melekat dan bergerak dalam bagian-bagian organ internal tubuh
b. Penopang tubuh dan mempertahankan postur. Otot menopang rangka dan
mempertahankan tubuh saat berada dalam posisi berdiri atau saat duduk
terhadap gaya gravitasi
c. Produksi Panas. Kontraksi otot secara metabolis menghasilkan panas untuk
mempertahankan suhu normal tubuh.
2.2.3
Mekanisme Umum Kontraksi Otot
Impuls saraf berasal dari otak, merambat ke neuron motorik dan merangsang
serabut otot pada neuromuscular junction (tempat hubungan sel saraf dengan
otot). Ketika serabut otot dirangsang untuk berkontraksi, miofilamen bergeser
(overlap) satu dengan yang lain menyebabkan sarkomer memendek. (Saryono,
2011:46).
Menurut Guyton & Hall (2007:76) mekanisme kontraksi otot timbul dan
berakhirnya terjadi dalam urutan tahap-tahap berikut :
a. Suatu potensial aksi berjalan di sepanjang sebuah saraf motorik sampai ke
ujungnya pada serabut otot.
b. Disetiap ujung, saraf menyekresi substansi neurotransmitter, yaitu asetilkolin
dalam jumlah sedikit.
21
c. Asetilkolin bekerja pada area setempat pada membran serabut otot untuk
membuka banyak kanal melalui molekul-molekul protein yang terapung pada
membran.
d. Terbukanya kanal yang memiliki asetilkolin memungkinkan sejumlah besar
ion natrium untuk berdifusi ke bagian dalam membran serabut otot. Peristiwa
ini akan menimbulkan suatu potensial aksi pada membran.
e. Potensial aksi akan berjalan di sepanjang membran serabut otot dengan cara
yang sama seperti potensial aksi berjalan di sepanjang membran serabut saraf.
f. Potensial aksi ini akan menimbulkan depolarisasi membran otot dan banyak
aliran listrik potensial aksi mengalir melalui pusat serabut otot. Potensial aksi
menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium
yang telah tersimpan di dalam retikulum ini.
g. Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filamen aktin dan
miosin yang menyebabkan kedua filamen tersebut bergeser satu sama lain dan
menghasilkan proses kontraksi. Selama proses kontraksi sejumlah ATP
dipecah membentuk ADP.
h. Setelah kurang dari satu detik ion kalsium dipompa kembali ke dalam
retikulum sarkoplasma oleh pompa membran Ca dan ion-ion ini tetap
disimpan dalam retikulum sampai potensial aksi otot yang baru datang lagi.
Pengeluaran ion kalsium dari myofibril akan menyebabkan kontraksi otot
terhenti.
22
2.2.4
Sistem Motorik
Watson (2002:80) menjelaskan bahwa sistem motorik mengatur pergerakan
berbagai bagian tubuh. Area motorik terletak di bagian depan suklus sentral,
areanya disebut girus prasentral, di depan area motorik terdapat area pramotorik
yang bertanggung jawab terhadap pola gerakan.
Area motorik menerima impuls dari berbagai bagian otak, termasuk area sensorik.
Dari korteks impuls dikirim ke medulla spinalis, inti motorik pada batang otak,
basal ganglia, serebelum dan pons. Stimulus masuk melewati saraf perifer ke otot
skeletal, yang tetap dalam keadaan tegang dan disebut sebagai tonus otot melalui
berbagai traktus saraf. Keletihan otot dicegah dengan menggunakan berbagai
rangkaian serabut motorik secara berturut-turut dan derajat tonus bergantung
kepada jumlah serabut yang digunakan pada suatu waktu.
Istilah neuron motorik bagian atas menggambarkan serabut motorik dalam sistem
saraf pusat sejauh ia bersinaps dengan sel suatu sel kornu anterior. Neuron
motorik bagian bawah menggambarkan suatu sel kornu
anterior dan
serabutnya.Traktus kortikospinal biasanya disebut traktus piramidal, sehingga
istilah sistem ekstra-piramidal menggambarkan semua sistem motorik traktus
kortikospinal dan kortikonuklear. Fungsi utama sistem ini ialah koordinasi
gerakan otot dalam mempertahankan postur tubuh sehinnga gerakan dapat
dilakukan dengan akurat sambil mempertahankan postur yang diinginkan.
2.2.5
Sistem Sensori
Sistem sensori bertugas menginterpretasi impuls, impuls sensori dikirim ke sistem
saraf pusat dari organ pengindraan khusus, kulit dan bagian dalam tubuh, saraf
23
sensori berakhir pada kulit dan jaringan lain. Berbagai sensasi seperti suhu,
sentuhan, tekanan dan ketegangan memerlukan ujung saraf yang berbeda untuk
mencetuskannya.
Pada kulit saraf sensori dapat berfungsi sebagai : (1) ujung saraf yang akan
menyalurkan nyeri dan perubahan suhu, (2) menyalurkan sentuhan ringan, (3)
menyalurkan tekanan yang kuat. Di dalam otot ada yang disebut gulungan otot
yang akan berespon terhadap derajat tekanan yang didapat. Serabut saraf
membawa rangsangan sentuhan dan ketegangan otot kemudian beberapa serabut
bercabang ke sel bagian anterior dan Posterior membentuk unit fungsional
(Watson, 2002:86).
2.2.6
Karakteristik Fungsional Otot
Saryono (2011 : 6) menyatakan, karakteristik fungsional otot terdiri dari :
a. Eksitabilitas atau iritabilitas; kemampuan otot untuk berespon terhadap
stimulus
b. Kontraktilitas; kemampuan otot unuk memendek secara paksa
c. Ekstensibilitas; serabut otot dapat direganggangkan
d. Elastisitas; kembalinya otot ke panjang normal setelah memendek.
2.2.7
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kekuatan Otot
Baik tidaknya kekuatan otot seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor penentu,
faktor penentu tersebut antara lain :
a. Besar kecilnya potongan melintang otot (potongan morfologis yang
tergantung dari proses hipertrofi otot).
24
b. Jumlah fibril otot yang turut bekerja dalam melawan beban, makin banyak
fibril otot yang bekerja berarti kekuatan bertambah besar.
c. Tergantung besar kecilnya rangka tubuh, makin besar skelet makin besar
kekuatan.
d. Inervasi otot baik pusat maupun perifer.
e. Keadaan zat kimia dalam otot (glikogen, ATP).
f. Keadaan tonus otot saat istirahat. Tonus makin rendah (rileks) berarti kekuatan
otot tersebut pada saat bekerja semakin besar.
g. Umur, Sampai usia pubertas, kecepatan perkembangan kekuatan otot pria
sama dengan wanita. Baik pria maupun wanita mencapai puncak pada usia
kurang 25 tahun, kemudian menurun 65% - 70% pada usia 65 tahun.
h. Jenis kelamin juga menentukan baik dan tidaknya kekuatan otot.
i. Perbedaan kekuatan otot pada pria dan wanita (rata- rata kekuatan wanita ⅔
dari pria) disebabkan karena ada perbedaan otot dalam tubuh.
Faktor penting yang dapat meningkatkan kekuatan otot adalah dengan pelatihan.
Dengan pelatihan secara teratur akan menimbulkan pembesaran (hipertrofi) fibril
otot. Semakin banyak pelatihan yang dilakukan maka semakin baik pula
pembesaran fibril otot itulah yang menyebabkan adanya peningkatan kekuatan
otot. Untuk mencapai peningkatan kekuatan otot dengan baik, diperlukan
pelatihan yang disusun dan dilaksanakan dengan program pelatihan yang tepat.
Agar pelatihan yang dilakukan dapat mencapai hasil yang sesuai dengan yang
diharapkan, program pelatihan yang disusun untuk meningkatkan kekuatan otot
harus memperhatikan faktor-faktor tersebut (Sudarsono, 2011).
25
2.2.8
Rangsangan Saraf Terhadap Otot
Otot skelet harus dirangsang oleh sel syaraf untuk berkontraksi. Satu unit motor
diinervasi oleh satu neuron. Jika sel otot tidak dirangsang, sel akan mengecil
(atrofi) dan mati, bahkan kadang kadang diganti dengan jaringan konektif yang
irreversible ketika rusak. Gunakanlah otot atau otot akan kehilangan fungsinya
kalau tidak digunakan. Masalah akan timbul bagi pasien yang menetap tanpa
aktifitas (bedrest), dan immobilisasi anggota tubuh (Saryono, 2011: 47).
2.2.9
Pemeriksaan Kekuatan Otot Tangan
Bahannon (2005:3) menyatakan kekuatan otot ekstremitas atas dapat diukur
menggunakan Manual Muscle Testing (MMT) dan handgrip dynamometer,
pengukuran kekuatan otot menggunakan MMT bersifat subjektif tergantung pada
penilai.
Tabel 2.1. Katagori kekuatan otot menggunakan MMT
Skor
0
1
Kekuatan Otot
Paralisis total atau tidak ditemukan adanya kontraksi otot
Kontraksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus otot yang
dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat menggerakkan sendi
2
Otot hanya mampu menggerakkan persendian tetapi kekuatannya tidak
dapat melawan pengaruh gravitasi
3
Disamping dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh
gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan oleh pemeriksa
4
Kekuatan otot seperti pada derajat 3 disertai dengan kemampuan otot
melawan tahanan yang ringan
5
Kekuatan otot normal
Sumber : Muttaqin, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Persarafan, 2008
Handgrip dynamometer dapat digunakan pada pasien stroke untuk mengukur
kekuatan otot ekstremitas atas. Bentuk alat Handgrip dynamometer dapat dilihat
pada gambar 2.2 :
26
Gambar 2.2. Handgrip Dynamometer
Adapun nilai dari dari kategori kekuatan otot berdasarkan pemeriksaan handgrip
dynamometer yaitu :
Tabel 2.2. Kategori kekuatan otot berdasarkan hasil pemeriksaan Handgrip Dynamometer
Kategori
Laki-laki (kg)
Perempuan (kg)
Sempurna
> 64
> 38
Sangat kuat
56 – 64
34 – 38
Diatas rata-rata
52 – 56
30 – 34
Rata-rata
48 – 52
26 – 30
Dibawah rata-rata
44 – 48
22 – 26
Rendah
40 – 44
20 – 22
Sangat rendah
< 40
< 20
Sumber;diunduh dari http://www.topendsports.com/testing/tests/handgrip.htm
2.3 Rehabilitasi Ekstremitas Atas
2.3.1
Pengertian
Rehabilitasi adalah usaha pemulihan seseorang untuk mencapai fungsi normal
atau mendekati normal setelah mengalami sakit fisik atau mental, cedera, atau
penyalahgunaan zat kimia (Potter & Perry, 2005:38). Pada pasien stroke iskemik
program rehabilitasi dapat dimulai 24 – 36 jam setelah serangan stroke, jika
27
keadaan pasien memungkinkan, jika tidak memungkinkan rehabilitasi dapat
ditunda sampai keadaan pasien stabil. Pasien yang mengalami penurunan
kesadaran, pasien yang memakai alat bantu nafas dapat diberikan rehabilitasi pasif
dengan menggerakkan sendi – sendi untuk mencegah terjadinya atropi otot
(Sutrisno, 2007:110).
Nuartha (2008) menyatakan, pada pasien stroke iskemik mobilisasi biasanya
sudah dapat dimulai pada hari ke dua sampai ke tiga setelah serangan stroke,
kecuali terjadi gangguan fungsi jantung yang memerlukan penundaan mobilisasi.
Tahap-tahap rehabilitasi meliputi pengaturan posisi berbaring, latihan kandung
kencing, latihan gerak sendi, latihan memperkuat otot, latihan nafas, yang
kemudian dilanjutkan dengan latihan duduk, latihan berdiri, latihan transfer dan
latihan berjalan.
Rehabilitasi medis pada stroke memerlukan pendekatan interdisipliner dan
keterlibatan semua anggota keluarga. Pada pasien stroke akut perlu dilakukan
pendekatan rehabilitasi dini sejak awal masuk rumah sakit untuk meningkatkan
outcome. Pemilihan jenis terapi disesuaikan dengan kondisi stroke yang dialami
dan kebutuhan pasien untuk dapat mandiri. Intensitas terapi yang semakin besar
dapat mempercepat proses pemulihan dan menghasilkan kemampuan fungsional
yang lebih baik. Latihan yang diberikan diutamakan pada ketrampilan spesifik
yang penting dan bermakna bagi pasien stroke (Susilawathi, 2013:56).
Rehabilitasi untuk ektremitas atas yang dapat diberikan pada penderita adalah
latihan rentang gerak atau Range of Motion (Smeltzer & Bare, 2002:399), selain
itu dapat diberikan rehabilitai spesifik yang dapat meningkatkan kekuatan otot dan
28
untuk mengembalikan fungsional tangan. Latihannya dengan cara menggenggam,
memegang, mengangkat objek, salah satu bentuk latihannya dapat menggunakan
alat spring grip. Latihan menggenggam dapat juga menggunakan alat : hand grip
dynamometer, Rainbow putty, cylindrical grip, spherical grip, hook grip, lateral
prehension grip, precision handling (Mehrholz, 2012:75, Irfan, 2010:205).
2.3.2
Latihan ROM Aktif Asistif Spring Grip dan Penerapannya pada
Pasien Stroke Iskemik
Latihan Range of Motion (ROM) adalah kegiatan latihan yang bertujuan untuk
memelihara fleksibilitas dan mobilitas sendi (Tseng, et al., 2007) dalam Cahyati
(2011). Latihan ROM dapat menggerakkan persendian seoptimal dan seluas
mungkin sesuai kemampuan seseorang dan tidak menimbulkan rasa nyeri pada
sendi yang digerakkan. Adanya pergerakan pada persendian akan menyebabkan
terjadinya peningkatan aliran darah ke dalam kapsula sendi. Ketika sendi
digerakkan, permukaan kartilago antara kedua tulang akan saling bergesekan.
Kartilago banyak mengandung proteoglikans yang menempel pada asam
hialuronat yang bersifat hidrophilik. Adanya penekanan pada kartilago akan
mendesak air keluar
dari matrik kartilago ke cairan sinovial. Bila tekanan
berhenti maka air yang keluar ke cairan sinovial akan ditarik kembali dengan
membawa nutrisi dari cairan (Ulliya, dkk., 2007).
Latihan ROM aktif asistif spring grip adalah suatu latihan rentang gerak yang
dilakukan oleh pasien dengan cara menggengam alat spring grip dibantu oleh
perawat/terapis. Latihan ROM ini spesifik untuk ekstremitas atas yang dapat
meningkatkan kekuatan otot. Gerakan saat latihan dapat dilakukan dengan cara
29
memegang, menggenggam dan mengangkat alat spring grip, kegiatan ini dapat
meningkatkan kekuatan otot dan dapat menstimulasi otot jari sampai ke bahu,
sehingga dapat meningkatkan kemampuan fungsional tangan. (Mehrholz,
2012:75). Latihan fungsional tangan berupa power grip dilakukan selama 5 detik
kemudian rileks, lakukan pengulangan sebanyak 7 kali. Latihan diberikan 2 kali
sehari pagi dan sore (Irfan, 2010: 205).
Latihan ROM dapat dilakukan 4 sampai 5 kali dalam sehari, Terapi latihan ini
dimaksudkan untuk meningkatkan kemandirian pasien, mengurangi tingkat
ketergantungan pada keluarga, dan meningkatkan harga diri dan mekanisme
koping pasien. Ekstremitas yang mengalami kelemahan dilatih secara pasif dan
diberikan
rentang
gerak
penuh
empat
atau
lima
kali
sehari,
untuk
mempertahankan mobilitas sendi, mengembalikan kontrol motorik, mencegah
terjadinya kontraktur pada ekstremitas yang mengalami parese, mencegah
bertambah
buruknya
sistem
neurovaskular
dan
meningkatkan
sirkulasi.
Pengulangan aktivitas membentuk jaras baru system saraf pusat dan dapat
membentuk pola-pola baru pada gerakan (Smeltzer & Bare, 2008).
Ektremitas atas mempunyai fungsi yang penting dalam melakukan aktivitas
sehari-hari seperti untuk makan, mandi, kebersihan diri, toileting, dan lain-lain
dan merupakan bagian yang paling aktif, maka lesi pada bagian otak yang
mengakibatkan kelemahan akan sangat menghambat dan menggangu kemampuan
dan aktivitas sehari-hari seseorang. Fungsi tangan untuk menggenggam (grip)
melalui tiga tahap yaitu : membuka tangan, menutup jari – jari untuk
menggenggam objek, mengatur kekuatan menggenggam. Untuk meningkatkan
30
kekuatan otot dan untuk mengembalikan fungsional tangan diperlukan latihan
ROM (Irfan, 2010 : 203).
Klasifikasi latihan rentang gerak/ROM menurut Smeltzer & Bare (2002:399)
rentang gerak dibagi menjadi beberapa jenis yaitu :
Tabel 2.3. Klasifikasi Latihan Rentang Gerak
Latihan
Pasif
Deskripsi
Suatu latihan yang dilakukan oleh
terapis atau oleh perawat tanpa
bantuan pasien
Aktif
Asistif
Aktif
Suatu latihan yang dilakukan oleh
pasien dengan bantuan terapis
Suatu latihan yang diselesaikan
tanpa bantuan oleh pasien
Latihan aktif yang dilakukan oleh
pasien yang bekerja terhadap
tahanan
Latihan yang dilakukan oleh
pasien dengan meregangkan dan
merilekskan bagian yang dilatih
Resisitif
Isometrik
atau setting
otot
Tujuan
Untuk mencapai kembali
sebanyak mungkin rentang gerak
sendi, untuk mempertahankan
sirkulasi
Untuk meningkatkan fungsi otot
normal
Untuk meningkatkan kekuatan
otot
Untuk memberikan tahanan
sehingga meningkatkan kekuatan
otot
Untuk mempertahankan kekuatan
ketika sendi dimobilisasi
Alat Spring Grip yang dapat digunakan untuk melatih pasien stroke iskemik
dengan kelemahan pada ekstremitas atas secara aktif asistif, dapat dilihat pada
gambar di bawah ini :
Gambar 2.3. Spring Grip
Sumber :
diunduh
dari
promotion.html
http://www.aliexpress.com/promotion/sport_finger-grip-exercise-
31
Klasifikasi alat yang digunakan dalam latihan spring grip sebagai berikut :
Tabel 2.4. Spesifikasi Alat Spring Grip
Bahan
Warna
Ukuran
Berat
Metal, plastik
Silver, biru
9 x 5 cm
170 gram
Download