5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan asin 2.1.1. Pengertian ikan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Ikan asin
2.1.1. Pengertian ikan asin
Ikan asin adalah bahan makanan yang terbuat dari daging ikan yang
diawetkan dengan menambahkan banyak garam. Dengan metode pengawetan ini
daging ikan yang biasanya membusuk dalam waktu singkat dapat disimpan di
suhu kamar untuk jangka waktu berbulan-bulan, walaupun biasanya harus ditutup
rapat. Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan
mengandung asam amino essensial yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu
nilai biologisnya mencapai 90 persen, dengan jaringan pengikat sedikit sehingga
mudah dicerna ( Margono dkk, 1993).
2.1.2. Pembuatan ikan asin
Cara pembuatan ikan asin sangat bervariasi tergantung pada jenis dan
ukuran ikan, hasil yang diinginkan, serta daerah produksinya. Pada jenis ikan
besar terlebih dahulu dilakukan pembelahan dan penyiangan, sedangkan jenis ikan
berukuran kecil seperti teri diasin dalam ukuran utuh.
Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) cara penggaraman dalam pembuatan ikan
asin, yaitu penggaraman kering, penggaraman basah, dan kombinasi keduanya.
penggaraman kering dilakukan dengan cara menaburkan atau melumurkan kristal
garam pada seluruh bagian ikan dan rongga perut. Penggaraman basah dilakukan
dengan merendam ikan dalam larutan garam jenuh, kemudian dikristalkan.
5
Penggaraman basah sering kali diterapkan untuk ikan yang berukuran kecil
misalnya teri ( Yetti, 1983)
Bahan utama yang digunakan untuk pengasinan ikan adalah NaCl.
Kemurnian garam akan sangat mempengaruhi mutu ikan asin yang dihasilkan.
Garam yang mengandung Cu dan Fe menyebabkan daging ikan menjadi berwarna
coklat kotor atau kuning; CaSO4 menyebabkan daging menjadi berwarna putih,
kaku dan agak pahit ( Yetti, 1983).
2.1.3. Prinsip penggaraman ikan
Hildaniyulia
(2012)
menyatakan
penggaraman
merupakan
proses
pengawetan yang banyak dilakukan di berbagai negara termasuk Indonesia.
Proses
tersebut
menggunakan
garam sebagai media
pengawet,
baik
yang berbentuk kristal maupun larutan. Selama proses penggaraman, terjadi
penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan dari tubuh ikan karena
perbedaan konsentrasi. Cairan itu dengan cepat dapat melarutkan kristal garam
atau mengencerkan larutan garam.
Selanjutnya dijelaskan bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam
tubuh ikan, partikel garam akan memasuki tubuh ikan. Lama kelamaan kecepatan
proses pertukaran garam dan cairan semakin lambat dengan menurunnya
konsentrasi garam di luar tubuh ikan dan meningkatnya konsentrasi garam didalam
tubuh ikan. Bahkan pertukarn garam dan cairan tersebut berhenti sama sekali
setelah terjadi keseimbangan. Proses itu mengakibatkan pengentalan cairan tubuh
yang masih tersisa dan penggumpalan protein denaturasi serta pengerutan selsel tubuh ikan sehingga sifat dagingnya berubah.
6
Margono, (1993) menyatakan Ikan yang telah mengalami proses
penggaraman, sesuai dengan prinsip yang berlaku, akan mempunyai daya simpan
tinggi karena garam dapat berfungsi menghambat atau membunuh bakteri yang
terdapat di dalam tubuh ikan. Cara kerja garam di dalam menjalankan fungsi
kedua adalah garam menyerap cairan tubuh ikan, selain itu garam juga menyerap
cairan tubuh bakteri sehingga proses metabolisme bakteri terganggu karena
kekurangan cairan, akhirnya bakteri mengalami kekeringan dan mati.
Selanjutnya dijelaskan bahwa garam pada dasarnya tidak bersifat
membunuh mikroorganisme (germisida). Konsentrasi
garam rendah (1– 3%),
justru membantu pertumbuhan bakteri halofilik. Garam yang berasal dari tempattempat pembuatan garam di pantai mengandung cukup banyak bakteri halofilik
yang dapat merusak ikan kering. Beberapa jenis bakteri dapat tumbuh pada larutan
garam berkonsentrasi tinggi, misalnya red halofilic bacteria yang menyebabkan
warna merah pada ikan. Selain mengakibatkan terjadinya proses osmosis pada selsel mikroorganisme sehingga terjadi plasmolisis. Kadar air dalam sel bakteri
ekstraksi, sehingga menyebabkan kematian bakteri. Penggaraman ikan biasanya
diikuti dengan pengeringan untuk menurunkan kadar air dalam daging ikan.
Dengan demikian, pertumbuhan bakteri semakin terhambat.
2.1.4. Metode penggaraman
Hildaniyulia (2012)
menyatakan bahwa penggaraman merupakan cara
pengawetan yang sudah lama dilakukan orang. Pada proses penggaraman,
pengawetan dilakukan dengan cara mengurangi kadar air dalam badan ikan sampai
titik tertentu sehingga bakteri tidak dapat hidup dan berkembang lagi. Pengawetan
7
ikan dengan cara penggaraman terdiri dari dua proses, yaitu proses penggaraman
dan proses pengeringan. Adapun tujuan utama dari penggaraman sama dengan
tujuan pengawetan dan pengolahan lainnya, yaitu untuk memperpanjang daya
tahan dan daya simpan ikan. Ikan yang mengalami proses penggaraman menjadi
awet karena garam dapat menghambat atau membunuh bakteri penyebab
kebusukan pada ikan. Garam merupakan faktor utama dalam proses penggaraman
ikan. Sebagai bahan pengawet, kemurnian garam sangat mempengaruhi mutu ikan
yang dihasilkan. Garam juga merupakan bahan pembantu yang sengaja
ditambahkan atau diberikan dengan tujuan untuk meningkatkan konsistensi, nilai
gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan, serta dapat memantapkan
bentuk dan rupa.
Moeljanto (1992), menyatakan secara umum garam terdiri atas 39,39%
Na dan 60,69% Cl, bentuk kristal seperti kubus dan berwarna putih. Di dalam
pengolahan ikan asin, biasnya garam diperuntukkan sebagai pengawet dan
pemberi rasa. Sebagai bahan pengawet, garam mempunyai tekanan osmosis yang
tinggi sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya peristiwa osmosis dengan
daging ikan.
Selanjutnya kecepatan penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dipengaruhi
oleh tingkat kemurnian garam.
mengandung
Garam
yang
baik adalah garam yang
NaCl cukup tinggi (95%) dan sedikit mengandung elemen
magnesium (Mg) maupun kalsium (Ca). Elemen tersebut mempengaruhi
mutu ikan asin yang dihasilkan karena :
8
-
Dapat memperlambat penetrasi garam ke dalam tubuh
ikan
sehingga
terjadi proses pembusukan sebelum proses penggaraman berakhir.
-
Dapat
menyebabkan
ikan
menjadi
higroskopis
sehingga
sering
menimbulkan masalah dalam penyimpanan.
-
Garam yang mengandung CaSO4 sebanyak 0,5 1,0% menyebabkan ikan
asin yang dihasilkan mempunyai daging yang putih, kaku, dan agak pahit.
-
Garam yang mengandung MgCl atau MgSO4 akan menghasilkan ikan
asin yang agak pahit.
-
Garam yang mengandung Fe dan Cu dapat mengakibatkan ikan asin
berwarna kuning atau coklat kotor.
Margono (1993), menyatakan produk yang dihasilkan dari proses
penggaraman terdiri atas
bermacam-macam tergantung proses selanjutnya.
Misalnya, setelah dilakukan penggaraman dilanjutkan dengan pengeringan, maka
hasilnya adalah ikan kering. Apabila dilanjutkan dengan perebusan maka
menghasilkan ikan pindang atau
cue, dan bila diteruskan dengan proses
fermentasi diperoleh beberapa produk fermentasi seperti papeda, terasi, kecap,
bekasem, dan wadi.
Menurut asalnya garam terbagi atas tiga, yaitu :
-
Solar salt, garam yang berasal dari air laut yang dikeringkan atau dijemur.
-
Mine salt, garam yang diperoleh dari tambang.
-
Garam yang diperoleh dari air yang
dikeringkan.
9
keluar
dari
tanah
kemudian
Komposisi kimia garam kelas 1, 2 dan 3 dapat disajikan pada Tabel 1 di
bawah ini.
Tabel. 1. Komposisi kimia garam kelas 1, 2, dan 3
Kandungan 1 (%)
No
Unsur
Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
1.
NaCl
96
95
91
2.
CaCl
1
0,9
0,4
3.
MgSO4
0,2
0,5
1
4.
MgCl2
0,2
0,5
1,2
5.
Bahan tidak larut
Sangat sedikit
0,2
6.
Air
2,6
3,1
0,2
Sumber : Margono 1993
Pada dasarnya metode penggaraman ikan dapat dikelompokkan menjadi 3
(tiga),
yaitu
penggaraman
kering,
penggaraman basah, dan
penggaraman
campuran.
1.
Pengasinan ikan menggunakan metode penggaraman kering dapat dilakukan
dengan cara :
a. Melakukan penyiangan ikan yang akan diolah kemudian dicuci agar
bersih hingga bebas dari sisa-sisa kotoran.
b. Menyediakan sejumlah garam kristal sesuai berat ikan, untuk ikan
berukuran besar jumlah garam yang harus disediakan berkisar 20 – 30%
dari berat ikan, untuk ikan berukuran sedang 15 – 20%, sedangkan ikan
yang berukuran kecil 5%.
c. Menaburkan garam ke dalam wadah / bak setebal 1 – 5 cm, tergantung
jumlah garam dan ikan yang akan diolah. Lapisan garam ini berfungsi
sebagai alas pada saat proses penggaraman.
d. Menyusun ikan di atas lapisan garam tersebut dengan cara bagian perut
ikan menghadap ke dasar bak. Selanjutnya taburkan kembali garam
10
pada lapisan ikan tersebut, lakukan penyusunan ikan dan garam secara
berlapis-lapis hingga lapisan teratas adalah susunan dengan lapisan lebih
banyak/tebal.
e. Menutup tumpukan ikan dan garam tersebut dengan keranjang /anyaman
bambu dan beri pemberat di atasnya.
f. Membiarkan
selama
beberapa
hari
untuk
terjadinya
proses
penggaraman.Untuk ikan berukuran besar selama 2-3 hari, ikan yang
berukuran sedang dan ikan yang berukuran kecil selama 12-24 jam.
g. Selanjutnya mencuci dengan air bersih dan ditiriskan, kemudian
menyusun ikan di atas para-para penjemuran
h. Pada saat penjemuran/pengering, ikan sekali-kali dibalik agar ikan cepat
mengering.
2.
Membuat ikan asin dengan cara penggaraman basah
Menyiapkan larutan garam jenuh dengan konsentrasi larutan 30– 50%. Ikan
yang telah disiangi disusun di dalam wadah/bak kedap air, kemudian tambahkan
larutan garam secukupnya hingga seluruh ikan tenggelam dan beri pemberat agar
tidak terapung. Lama perendaman 1 – 2 hari, tergantung dari ukuran / tebal ikan
dan derajat keasinan yang diinginkan. Setelah penggaraman, dilakukan
pembongkaran terhadap ikan dan dicuci dengan air bersih. Kemudian ikan disusun
di atas para-para untuk proses pengeringan/penjemuran.
3.
Penggaraman campuran (kench salting)
Penggaraman kench pada dasarnya adalah penggaraman kering, tetapi
tidak menggunakan bak. Ikan dicampur dengan kristal garam seperti pada
11
penggaraman kering di atas lantai atau di atas gelada kapal. Larutan garam
yang
terbentuk dibiarkan mengalir dan terbuang. Cara tersebut tidak memerlukan bak,
tetapi memerlukan lebih banyak garam untuk mengimbangi larutan garam yang
mengalir dan terbuang. Proses penggaraman kench lebih lambat. Oleh karena
itu, pada udara yang panas seperti di Indonesia, penggaraman kench kurang
cocok karena pembusukan dapat terjadi selama penggaraman.
Penggaraman kering mampu memberikan hasil yang
terbaik,
karena
daging ikan asin yang dihasilkan lebih padat. Pada penggaraman basah, banyak
sisik-sisik ikan yang terlepas dan menempel pada ikan sehingga menjadikan ikan
tersebut kurang menarik dan memiliki daging yang kurang padat.
Proses penggaraman berlangsung lebih cepat pada suhu yang lebih
tinggi, tetapi proses-proses lain termasuk pembusukan juga berjalan lebih cepat.
Di negara dingin, penggaraman dilakukan pada suhu rendah, dan ternyata hasil
keseluruhannya
lebih
baik
daripada yang
dilakukan pada suhu tinggi.
Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki suhu panas, sebaiknya
penggaraman dilakukan di tempat yang teduh. Daya awet ikan yang digarami
beragam tergantung pada jumlah garam yang dipakai. Semakin banyak garam
yang dipakai semakin panjang daya awet ikan. Tetapi umumnya orang kurang
suka ikan yang sangat asin.
Menurut Moeljanto (1992) beberapa faktor
yang
mempengaruhi
kecepatan penetrasi garam ke dalam tubuh ikan, selain tingkat kemurnian
garam yang digunakan, yaitu sebagai berikut :
12
1. Kadar lemak ikan
Semakin tinggi kadar lemak yang terdapat di dalam tubuh ikan semakin
lambat proses penetrasi garam ke dalam tubuh ikan.
2. Ketebalan daging ikan
Semakin tebal daging ikan semakin lambat proses penetrasi garam dan
semakin banyak pula jumlah garam yang diperlukan.
3. Kesegaran ikan
Pada ikan yang memiliki kesegaran rendah,
proses penetrasi garam
berlangsung lebih cepat karena ikan dengan tingkat kesegaran rendah
mempunyai
tubuh
yang
relatif
lunak,
cairan
tubuh
tidak
terikat dengan kuat dan mudah terisap oleh larutan garam yang
mempunyai konsentrasi lebih tinggi. Apabila ikan kurang segar, produk
ikan asin yang dihasilkan akan terlalu asin dan kaku.
4. Temperatur ikan
Semakin
tinggi
temperatur
tubuh
ikan
maka
semakin cepat pula proses penetrasi garam ke dalam tubuh ikan tersebut.
Oleh karena itu, sebelum dilakukan proses penggaraman sebaiknya ikan
ditangani lebih dahulu dengan baik agar sebagian besar bakteri yang
dikandung dapat dihilangkan.
5. Konsentrasi larutan garam
Semakin tinggi perbedaan konsentrasi antara garam dengan cairan
yang terdapat dalam tubuh ikan, semakin cepat proses penetrasi
13
garam
ke
dalam
tubuh
proses penetrasi garam akan menjadi
ikan.
lebih
Selain
cepat
lagi
digunakan garam
kristal. Semakin tinggi konsentrasi garam
semakin
daya
tinggi
awet ikan tersebut
akan
itu,
apabila
maka
tetapi ikan
menjadi semakin asin dan kurang disukai.
2.2.
Formalin
2.2.1. Definisi formalin
Ganis (1995) menyatakan formalin dengan rumus kimia H2C0 ialah
larutan gas formaldehid 37% dalam air, larutan formalin 1% bersifat bakterisit
tetapi perlu kontak lama untuk mencapai hasil optimal. Menurut Badjonga (2005)
berdasarkan sumbernya formaldehid untuk pengawet berasal dari hasil sintesis
secara kima. Formaldehid adalah gas yang biasanya tersedia dalam bentuk 40%
(formalin), merupakan cairan jernih,tidak berwrna dengan bau membusuk.
Formalin atau formaldehida atau bahan kimia yang digunakan sebagai
pengawet. Sebenarnya fungsi formalin adalah sebagai desinfektan namun oleh
sebagian orang disalah gunakan untuk mengawetkan makanan untuk mencegah
kerugian. Formalin dapat berguna sebagai desinfektan karena membunuh sebagian
besar bakteri dan jamur (termasuk spora mereka). Hal ini juga digunakan sebagai
pengawet dalam vaksin, dimana formalin digunakan untuk membunuh virus dan
bakteri yang tidak diinginkan yang mungkin mencemari vaksin selama
produksi.Formalin merupakan larutan komersial dengan konsentrasi 10-40% dari
formaldehid. Bahan ini biasanya digunakan sebagai antiseptic, germisida, dan
pengawet. Formalin mempunyai banyak nama kimia diantaranya adalah : Formol,
14
Methylene aldehyde, Paraforin, Morbicid, Oxomethane, Polyoxymethylene
glycols, Methanal, Formoform, Superlysoform, Formic aldehyde, Formalith,
Tetraoxymethylene, Methyl oxide, Karsan, Trioxane, Oxymethylene dan
Methylene glycol.
Formalin merupakan bahan aditif makanan yang berbahaya. Penggunaan
formalin sebagai pengawet bahan makanan seperti bakso, ikan asin, tahu dan
beberapa makanan lainnya secara berlebihan atau lebih dari 1 miligram per liter
dapat
menyebabkan gangguan berbagai organ dalam tubuh (Katzung, 2002).
Konsumsi formalin dalam bahan makanan menyebabkan akumulasi dalam tubuh
yang melebihi ambang batas akan menyebabkan keracunan, kerusakan hati, otak,
limpa, pankreas, susunan saraf pusat, ginjal, dan jantung (Syukur, 2006).
Formalin yang masuk ke dalam tubuh akan cepat dimetabolisme menjadi
asam
format dalam jaringan tubuh, khususnya pada hati dan eritrosit.
Pembentukan asam format pada eritrosit dapat menimbulkan kondisi asam pada
darah karena banyaknya alkali. Kondisi ini mempengaruhi hemoglobin yang
berfungsi untuk menjaga keseimbangan asam basa. Oleh karena itu, secara tidak
langsung
formalin dapat mempengaruhi hematopoiesis melalui efek-efek
metabolik dan menghambat proliferasi semua elemen seluler di dalam sumsum
tulang.
2.2.2. Karakteristik formalin
Konsentrasi formalin di udara melebihi 1 ppm bisa menyebabkan iritasi
ringan pada mata, hidung dan tenggorokan. Semakin tinggi konsentrasinya,
15
semakin besar bahaya iritasinya. Kontak formalin dengan kulit bisa menimbulkan
berbagai reaksi kulit diantaranya alergi.
Menurut Fardiaz (2002) sifat fisik dan kimia formalin yaitu titik didih
960C pada 7000 mmHg, Titik nyala 600C, pH 2,8-4,0, dapat bercampur dengan
air, tidak berwarna dan berbau tajam
Formalin merupakan cairan tidak berwarna yang digunakan sebagai
desinfektan, pembasmi serangga, dan pengawet yang digunakan dalam industri
tekstil dan kayu. Formalin memiliki bau yang sangat menyengat, dan mudah larut
dalam air maupun alkohol. Beberapa pengaruh formalin terhadap kesehatan
adalah sebagai berikut, jika terhirup akan menyebabkan rasa terbakar pada hidung
dan tenggorokan, sukar bernafas, nafas pendek, sakit kepala, dan dapat
menyebabkan kanker paru-paru.
2.3. Sifat, produksi dan kegunaan formalin
Saraswati, dkk (2009) menyatakan dalam udara bebas formaldehida berada
dalam wujud gas, tetapi bisa larut dalam air (biasanya dijual dalam
kadar larutan 37% menggunakan merk dagang 'formalin' atau 'formol' ). Dalam
air, formaldehida mengalami polimerisasi dan sedikit sekali yang ada dalam
bentuk monomer H2CO. Umumnya, larutan ini mengandung beberapa
persen metanol untuk
membatasi
polimerisasinya.
Formalin adalah
larutan
formaldehida dalam air, dengan kadar antara 10% - 40%.
Selanjutnya dinyatakan bahwa formaldehida menampilkan sifat kimiawi
seperti pada umumnya aldehida, senyawa ini lebih reaktif daripada aldehida
lainnya. Formaldehida merupakan elektrofil, bisa dipakai dalam reaksi substitusi
16
aromatik elektrofilik dan senyawa aromatik serta bisa mengalami reaksi adisi
elektrofilik dan alkena. Dalam keberadaan katalis basa, formaldehida bisa
mengalami reaksi Cannizzaro, menghasilkan asam format dan metanol.
Formaldehida bisa membentuk trimer siklik, 1, 3, 5-trioksana atau polimer
linier polioksimetilena. Formasi zat ini menjadikan sifat-sifat gas formaldehida
berbeda dari sifat gas ideal, terutama pada tekanan tinggi atau udara dingin.
Formaldehida bisa dioksidasi oleh oksigen atmosfer menjadi asam format, karena
itu larutan formaldehida harus ditutup serta diisolasi supaya tidak kemasukan
udara.
Secara industri, formaldehida dibuat dari oksidasi katalitik metanol. Katalis
yang paling sering dipakai adalah logam perak atau campuran oksida besi
dan molibdenum serta vanadium. Dalam sistem oksida besi yang lebih sering
dipakai (proses Formox), reaksi metanol dan oksigen terjadi pada 250 °C dan
menghasilkan formaldehida, berdasarkan persamaan kimia 2 CH3OH + O2 → 2
H2CO + 2 H2O.
Katalis yang menggunakan perak biasanya dijalankan dalam temperatur
yang lebih tinggi, kira-kira 650 °C. dalam keadaan ini, akan ada dua reaksi
kimia sekaligus yang menghasilkan formaldehida: satu seperti yang di atas,
sedangkan satu lagi adalah reaksi dehidrogenasi CH3OH → H2CO + H2.
Bila formaldehida ini dioksidasi kembali, akan menghasilkan asam
format yang sering ada dalam larutan formaldehida dalam kadar ppm. Di dalam
skala yang lebih kecil, formalin bisa juga dihasilkan dari konversi etanol, yang
secara komersial tidak menguntungkan.
17
2.4. Pengawetan dengan formalin
Penggunaan formalin dimaksudkan untuk memperpanjang umur simpan,
karena formalin adalah senyawa antimikroba yang efektif dalam membunuh
bakteri, bahkan virus sekalipun. Selain itu, interaksi antara formaldehid (senyawa
kimia dalam formalin) dengan protein dalam pangan menghasilkan tekstur yang
tidak rapuh yang untuk beberapa produk pangan seperti tahu, mie basah, ikan
segar, ikan asin dan bakso memang dikehendaki oleh konsumen.
Pada umumnya formalin digunakan dalam pangan yang mengandung
banyak air atau tinggi aktivitas air (aw) nya. Produk-produk dengan aw lebih dari
0.85 sangat disukai oleh mikroba termasuk mikroba pembusuk sehingga secara
alami produk tersebut mudah rusak (perishable) dan tidak dapat disimpan pada
suhu ruang dalam jangka waktu lama. Umur simpan tersebut menjadi semakin
pendek apabila jumlah mikroba awal sangat tinggi karena proses pengolahannya
yang tidak mengindahkan
praktek-praktek yang baik (good practices) serta
penerapan sanitasi yang baik (Tarigan, 2008).
Menurut WHO (2002) formaldehid terdapat dalam produk makanan
karena kegunaannya sebagai zat bakteriostatik yaitu dapat menghambat
pertumbuhan mikroba dalam produk pangan sehingga umur simpan produk
tersebut meningkat.
Larutan formaldehid adalah desinfektan yang efektif
melawan bakteri vegetatif, jamur, atau virus, tetapi kurang efektif melawan spora
bakteri.
Formaldehid bereaksi dengan protein, dan hal tersebut mengurangi
aktivitas mikroorganisme. Efek sporositnya yang meningkat tajam dengan adanya
18
kenaikan suhu. Larutan formaldehid 0,5% dalam waktu 6 - 12 jam dapat
membunuh bakteri dan dalam waktu 2 - 4 hari dapat membunuh spora, sedangkan
larutan formaldehid 8% dapat membunuh spora dalam waktu 18 jam (WHO,
2002).
Sifat antimikrobial dari formaldehid merupakan hasil dari kemampuannya
menginaktivasi protein dengan cara mengkondensasi dengan asam amino bebas
dalam protein menjadi hidrokoloid. Kemampuan dari formaldehid meningkat
seiring dengan peningkatan suhu (Cahyadi, 2006). Mekanisme formalin sebagai
pengawet adalah jika formaldehid bereaksi dengan protein sehingga membentuk
rangkaian-rangkaian antara protein yang berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut,
protein mengeras dan tidak dapat larut (Barnen, dkk. 1983).
Formaldehid dapat merusak bakteri karena bakteri adalah protein.
Formaldehid berkombinasi dengan asam amino bebas dari protein pada
protoplasma sel, merusak nukleus, dan mengkoagulasi protein (Fazier dan
Westhoff, 1988). Menurut Barnen, dkk (1983) pada reaksi formaldehid dengan
protein, yang pertama kali diserang adalah gugus amino pada posisi dari lisin di
antara gugus-gugus polar dari peptidanya.
Pengikatan formaldehid pada gugus ε-NH2 dari lisin berjalan lambat dan
merupakan reaksi yang searah, sedangkan ikatannya dengan gugus asam amino
bebas berjalan cepat dan merupakan reaksi bolak-balik. Ikatan formaldehid
dengan gugus amino dalam reaksi ini tidak dapat dihilangkan dengan dianalisis
sehingga
ikatan
ini
turut
menyokong
(Marquie et al.,1997).
19
kestabilan
struktur
molekul
Menurut Cahyadi (2006) sifat penetrasi formaldehid cukup baik, tetapi
gerakan penetrasinya lambat hingga walaupun formaldehid dapat digunakan
untuk mengawetkan sel-sel tapi tidak dapat melindunginya secara sempurna,
kecuali bila diberikan dalam waktu lama sehingga jaringan menjadi keras. Selain
bakso, terdapat sejumlah produk pangan lainnya yang secara sengaja ditambahkan
formalin sebagai pengawet. Menurut Widyaningsih (2006) tanda-tanda produk
pangan yang mengandung formalin adalah sebagai berikut:
a.
Tahu
Bentuknya sangat bagus, kenyal, tidak mudah hancur, awet beberapa hari
dan tidak mudah busuk. Bau agak menyengat dan aroma kedelai sudah tak
tercium lagi.
b.
Mie basah
Lebih kenyal, awet beberapa hari dan tidak mudah basi dibandingkan
dengan yang tidak mengandung formalin. Mie tampak mengkilat (seperti
berminyak), liat (tidak mudah putus), dan tidak lengket.
c.
Ikan asin
Daging kenyal, utuh, lebih putih dan bersih dibandingkan ikan asin tanpa
formalin agak berwarna coklat dan lebih tahan lama.
d.
Ikan segar
Warnanya putih bersih, kenyal, insangnya berwarna merah tua bukan merah
segar, awet sampai beberapa hari dan tidak mudah busuk.
e.
Ayam potong
Berwarna putih bersih, lebih awet dan tidak mudah busuk.
20
2.5.
Karakteristik ikan asin berfomalin
Untuk mengetahui perbedaan antara ikan asin yang mengandung formalin
dan yang tidak mengandung formalin yaitu cukup dekatkan makanan atau ikan
asin ke wajah, jika terasa perik di mata dan ikan terlihat kaku berarti ikan tersebut
mengandung formalin. Pada produk cumi asin yang mengandung formalin, cumi
bisa dibelah menjadi dua bagian, sebaliknya bila tidak mengandung formalin
maka cumi tersebut susah untuk dibelah ( Anonim, 2004).
2.6.
Toksisitas formalin
Antoro (2010) menyatakan bahwa formalin masuk ke dalam tubuh
manusia melalui dua jalan, yaitu mulut dan pernapasan. Polusi yang dihasilkan
oleh asap knalpot dan pabrik, mengandung formalin yang mau tidak mau kita
hirup, kemudian masuk ke dalam tubuh. Asap rokok atau air hujan yang jatuh ke
bumi pun sebetulnya juga mengandung formalin. Formalin ini sangat berbahaya
jika terhirup, mengenai kulit, dan tertelan.
Formaldehida dipakai dalam bahan konstruksi seperti kayu lapis/tripleks,
karpet, dan busa semprot dan isolasi, serta karena resin ini melepaskan
formaldehida pelan-pelan. Formaldehida merupakan salah satu polutan yang
sering ditemukan dalam ruangan. Apabila kadar di udara lebih dari 0,1 mg/kg,
formaldehida yang terhisap bisa menyebabkan iritasi kepala dan membran
mukosa, yang menyebabkan keluarnya air mata, pusing, teggorokan serasa
terbakar, serta kegerahan.
Dalam tubuh manusia, formaldehida dikonversikan jadi asam format yang
meningkatkan keasaman darah, tarikan nafas menjadi pendek dan sering,
21
hiportemia, juga koma, atau sampai kepada kematiannya. Di dalam tubuh,
formaldehida bisa menimbulkan terikatnya DNA oleh protein, sehingga
mengganggu ekspresi genetik yang normal. Jika formalin dalam tubuh tinggi,
akan bereksi secara kimia dengan hampir semua zat di dalam sel, sehingga
menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian sel yang menyebabkan kerusakan
pada organ tubuh.
Pemakaian formaldehida pada makanan dapat menyebabkan keracunan
pada tubuh manusia, dengan gejala sebagai berikut: sukar menelan, mual, sakit
perut yang akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah, timbulnya depresi
susunan saraf, atau gangguan peredaran darah. Selain itu bahaya yang ditimbulkan
dari penggunaan formalin dalam bahan makanan dapat mengakibatkan gangguan
kesehatan manusia, antara lain bersin, radang tonsil, radang tenggorokan, sakit
dada, lelah, jantung berdebar, sakit kepala, mual, diare, muntah, sukar
menelan,sakit perut akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah, gangguan
peredaran darah, iritasi pada saluran pernafasan, reaksi alergi, dan kanker. Selain
itu juga dapat menyebabkan kerusakan hati, jantung, limfa, pankreas, sistem
susunan saraf pusat dan ginjal. Efek yang ditimbulkan ini ini tidak dirasakan
dengan segera, tetapi akan dirasakan beberapa tahun kemudian ( Antoro, 2010).
Selanjutnya, konsumsi formalin pada dosis yang sangat tinggi dapat
mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah) dan
haematomesis (muntah darah) yang berakibat dengan kematian. Meskipun dalam
jumlah kecil, dalam jangka panjang formalin juga bisa mengakibatkan banyak
gangguan organ tubuh. Selain itu dalam jumlah sedikit, formalin akan larut dalam
22
air, serta akan dibuang ke luar bersama cairan tubuh, sehingga formalin sulit
dideteksi keberadaanya di dalam darah. Imunitas tubuh sangat berperan dalam
berdampak tidaknya formalin di dalam tubuh. Jika imunitas tubuh rendah atau
mekanisme pertahanan tubuh rendah, sangat mungkin formalin dengan kadar
rendah pun bisa berdampak buruk terhadap kesehatan. Usia anak khususnya bayi
dan balita adalah salah satu yang rentan untuk mengalami gangguan ini.
Secara mekanik integritas mukosa (permukaan) usus dan peristaltik
(gerakan usus) merupakan pelindung masuknya zat asing ke dalam tubuh. Secara
kimia asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi zat
berbahaya tersebut. Nilai ambang batas yang aman bagi tubuh manusia terhadap
formalin menurut IPCS (International Programme on Chemical Safety) adalah 1
mg liter (1 ppm). IPCS adalah lembaga khusus dari tiga organisasi di PBB, yaitu
ILO, UNEP, serta WHO, yang mengkhususkan pada keselamatan penggunaan
bahan kimia. Bila formalin masuk tubuh melebihi ambang batas tersebut maka
dapat mengakibatkan gangguan pada organ dan sistem tubuh manusia. Injeksi
formalin dengan dosis 100 gram dapat mengakibatkan kematian dalam waktu 3
jam.
23
2.7.
Penelitian terdahulu
Pada pengujian analisis kualitatif dan kuantitatif formaldehid pada ikan
asin di Madura yang dilakukan oleh Hastuti S, (2010) seluruh sampel ternyata
mengandung formalin dengan kadar yang beragam. Sampel ikan asin yang diuji
berasal dari Pasar Kamal, Pasar Socah, Pasar Bangkalan dan Pasar Sampang. Pada
penelitian ini, peneliti menggunakan asam kromatofat untuk mengetahui
keberadaan formalin dalam ikan asin secara kualitatif, sedangkan untuk pengujian
kuantitatif memakai spektrofotometer. Penggunaan formalin oleh para produsen
ikan asin dikarenakan cara produksinya masih manual, pengeringan ikan masih
sangat tergantung dari cuaca.
Penelitian sebelumnya juga telah dilakukan oleh Suryanengsih (2009)
yang menyatakan bahwa ikan asin yang diperoleh dari Pasar Selasa, Pasar Sentral
dan Gelael Kota Gorontalo setelah dilakukan uji kandungan formalinnya dengan
metode analisa kuantitatif diperoleh hasil bahwa ikan asin tersebut tidak
mengandung formalin sehingga aman dikonsumsi serta tidak berbahaya bagi
kesehatan manusia
Selanjutnya, berdasarkan penelitian uji kualitatif yang dilakukan oleh
Suwahono,dkk (2009) dalam Hastuti, (2010) sampel ikan asin dari Kendal negatif
dan sampel ikan dari Jrakah Jawa Tengah memberikan reaksi positif yaitu
terbentuk cincin ungu setelah sampel yang dilarutkan dalam FeCl3 0,5 % dialiri
H2SO4 pekat.
24
Download