Pengantar Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan

advertisement
2
Pengantar
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan, manusia pasti pernah
mengalami luka yang tidak terhindarkan dan bahkan hingga tersudut. Seseorang
bergerak pada realita survival untuk menanggulangi pengalaman berat seperti
kehilangan (grief), kesepian (loneliness), kekecewaaan (despair). Di antara
mereka ada yang tidak kuat sehingga berujung pada usaha bunuh diri, namun di
antara mereka juga ada yang kuat tetap bertahan dalam situasi yang tidak empatik,
walaupun ada rasa sesak dalam diri. Rasa sesak pada diri individu, secara perlahan
membuat individu belajar untuk berpikir, bereaksi, dan mengajak orang di
sekitarnya untuk ada di dalam lingkungan yang tidak empatik. Hal ini
memposisikan mereka untuk bertahan melawan primal wounding, yaitu luka yang
dirasakan hampir tidak didengar oleh orang lain. Luka terjadi karena adanya
ketidaksesuaian individu dengan dunianya (Firman & Gilla, 2010).
Luka yang dialami individu salah satunya akan menyebabkan depresi.
Depresi berperan sangat signifikan dalam masalah global. Saat ini, 350 juta orang
mengalami depresi. Survey yang dilakukan WHO di 17 negara, ditemukan 1 dari
20 orang mengalami depresi. Tingkat depresi di Indonesia pada individu yang
tidak mengalami sakit secara fisik adalah 34% (Perempuan) dan 24% (laki-laki)
(Liew, 2012). Indonesia memiliki tingkat depresi yang paling tinggi diantara
negara lain (Hidaka, 2012). Depresi merupakan segenap pikiran, keyakinan dan
sikap negatif terhadap dirinya sendiri, lingkungannya dan masa depannya (Beck,
1985)
Onset depresi dapat terjadi pada masa kanak-kanak, namun usia dibawah
14 tahun resikonya masih sangat kecil. Peningkatan depresi lebih banyak dimulai
pada usia remaja hingga dewasa awal, sedangkan puncaknya pada usia 45-55
tahun (Rathus & Nevid, 1991). Pada usia muda adanya perilaku agresif dan sexual
acting out merupakan tanda dari depresi (WHO, 2012).
Setiap orang pernah mengalami kesedihan dari waktu ke waktu. Tetapi,
depresi berlangsung lebih lama, menganggu aktivitas sehari-hari dan dapat
menyebabkan sakit secara fisik. Jika tidak dilakukan terapi, depresi semakin lama
akan semakin kronis dan kualitas hidup individu semakin memburuk. Hal yang
3
paling buruk sebagai akibat dari depresi adalah akan membawa individu pada
perilaku bunuh diri. Depresi merupakan indikator adanya intensi bunuh diri
(Hasley, Ghosh, Huggins, Bell, Adler, & Shroyer, 2008; Marcus, dkk, 2012;
Rathus & Nevid, 1991). Sehingga, tingkat depresi yang tinggi berkorelasi dengan
tingginya usaha bunuh diri (Frank & Dingle, 1999; Medical Letter on the CDC &
FDA, 2007; Schaller & Wolferdrorf, 2010). Pada mulanya, pelaku usaha bunuh
diri mengalami depresi, dengan faktor resiko bunuh diri tingkat menengah. Akan
tetapi, lambat laun dalam beberapa kasus resiko tersebut semakin meningkat
(Dedic, dkk. 2010). Oleh karena itu, pemberian tretmen yang berkualitas pada
depresi sangat penting (APA, 2010).
Depresi merupakan kombinasi dari genetik, kimia, biologi, psikologi
sosial dan faktor lingkungan (APA, 2010). Pada saat individu mengalami depresi
banyak sekali bagian dari otak
yang berkontribusi didalamnya. Secara
neurobiologis dapat dijelaskan bahwa adanya hypersensitive amygdala berasosiasi
dengan genetic polymorphism,
pola dari negative cognitive dan dysfunctioal
belief, secara keseluruhan ini merupakan faktor resiko dari depresi. Selanjutnya,
kombinasi dari hyperactive amygdala dan hypoactive bagian dari prefrontal
berasosiasi dengan berkurangnya kemampuan kognitif sehingga mengalami
depresi. Genetic polymorphism juga terlibat dalam over reaction stress dan
hypercortisolemia dalam perkembangan depresi (Beck, 2008).
Neocortex dan hippocampus merupakan media dari aspek kognitif
individu dalam keadaan depresi, termasuk didalamnya adanya kerusakan memori
dan perasaan tidak berguna, kehilangan harapan, perasaan bersalah, menghadapi
malapetaka, dan bunuh diri. Striatum dan amygdala, dan area otak lainya berperan
penting dalam emotional memory, dimana hal ini sebagai jembatan anhedonia
(Penurunan dorongan, dan reward terhadap aktivitas yang menyenangkan),
kecemasan dan berkurang nya motivasi. Keseluruhan dari hal tersebut diatas
disebut juga neurovegetative simtom depresi, termasuk tidur, selera makan, dan
energi yang terlalu banyak atau terlalu sedikit, hilangnya nafsu seks dan aktivitas
menyenangkan lainnya (Nestler, Barrot, Dileone, Eisch, Stephen & Monteggia,
2002).
4
Faktor lingkungan yang menyebabkan depresi adalah adanya kehilangan
pada masa kanak-kanak juga kehilangan dimasa dewasa. Adanya stress yang
dialami pada awal kehidupan individu sebagai akibat dari peristiwa buruk
(perpisahan dengan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, perceraian dll)
membuat individu mengalami kerentanan secara kognitif sehingga membawanya
dalam kondisi depresi (Beck, 2008). Kehidupan yang penuh dengan stress
merupakan triger depresi (Rathus & Nevid, 1991)
Dapat disimpulkan bahwa hilangnya bagian dari diri individu akibat
trauma dapat menyebabkan disasosiasi neural network. Jika individu mengalami
overhelmed terhadap pengalaman traumatik, maka otak kehilangan kemampuan
untuk memaintain neural integration dari berbagai macam jaringan yang terkait
dengan perilaku, emosi, sensasi dan concious awareness. Saat memori
menyimpan informasi dalam sensori dan emotional network tersebut tidak dapat
mendukung satu dengan yang lain, maka kognisi, knowladge, dan perspective
akan menjadi rentan terhadap pengalaman masa lalu. Oleh karena itu,
terpenuhinya kenyamanan terhadap diri sendiri dengan adanya kontak dengan true
self secara alamiah akan memaintain neural integration. Hal ini akan tercapai
dengan adanya keterbukaan dan dialog antara hati, pikiran dan tubuh (Cozolino,
2002).
Fikiran individu yang mengalami depresi berisi kesalahan atau distorsi
terkait dengan bagaimana ia menginterpretasikan pengalamannya. Orang yang
mengalami depresi memiliki mimpi dengan tema kehilangan, kelelahan,
penolakan dan ditinggalkan. Mimpi tersebut merepresentasikan kelemahan atau
bagian yang menyakitkan. Manifestasi dari depresi adalah kehilangan harapan,
kehilangan motivasi, menyalahkan diri sendiri, keinginan bunuh diri. Selanjutnya,
akan mengalami sistematik kognitif bias sehingga menyebabkan individu selalu
mengambil aspek negatif dari pengalamannya, interpretasi negatif, dan mengalami
bloking terhadap peristiwa dan memori positif. Saat seseorang mengalami depresi
akan mengalami dysfuctional atitudes yang tinggi dan percaya bahwa dirinya
tidak mampu memproses informasi dan menghasilkan negative cognitive bias,
dimana hal tersebut menimbulkan simtom-simtom depresi. Selama episode
5
depresi adanya disfungsional attitude membuat individu secara absolut mengalami
keyakinan negative tentang dirinya, dunianya dan masa depannya (Beck, 2008).
Perubahan yang terjadi pada individu yang mengalami depresi adalah, 1)
Perubahan emosi yaitu perasaan gundah terus menerus, merasa depresi dan sedih,
2) Perubahan motivasi yaitu kehilangan semangat, tidak memiliki motivasi,
kesulitan untuk bangun dari tempat tidur setiap pagi, menurunnya aktivitas sosial,
kehilangan minat terhadap aktivitas yang disukainya, berkurangnya hasrat
seksual, 3) Perubahan fungsi dan perilaku yaitu bergerak lebih lambat dari
biasanya, Perubahan pola tidur, bangun lebih awal dari biasanya, dan bermasalah
ketika harus kembali tidur, perubahan pola makan (makan terlalu banyak atau
makan terlalu sedikit), perubahan berat badan (terlalu kurus atau terlalu gemuk),
tidak dapat mengikuti kegiatan disekolah dengan baik seperti biasanya, 4)
Perubahan kognitif yaitu sulit berkonsentrasi atu berfikir dengan jernih, berfikir
negatif terhadap diri sendiri, masa depan dan lingkungannya, rendah diri, tidak
percaya diri, berfikir akan kematian atau bunuh diri (Rathus & Nevid, 1991).
Secara sederhana, depresi dapat dilihat lewat beberapa indikator berikut. 1)
Perubahan mood, seperti sedih, kesepian, kehilangan harapan, 2) konsep diri
negatif, seperti mencela dan menyalahkan diri sendiri, 3) regresi dan menghukum
diri sendiri, seperti perasaan ingin lari dari masalah, menyembunyikan diri, atau
mati, 4) perubahan diri, seperti anoreksia, insomnia, dan nafsu seks menurun, 5)
perubahan level aktivitas, seperti mengalami hambatan dan kegelisahan. Setelah
mengalami periode depresi, pada tahap berikutnya seseorang memiliki simtom
depresi selama lebih dari 3 tahun sebelum “serangan” berikutnya (Beck, 1985).
Untuk menangani masalah depresi berbagai macam terapi banyak diteliti,
antara lain behavior therapy fokus pada modifikasi perilaku depresif yaitu dengan
cara mengajarkan ketrampilan relaksasi, meningkatkan partisipasi terhadap
aktivitas yang disukai, belajar keterampilan sosial dan meningkatkan kemampuan
memberikan reinforcement kepada orang lain (Rathus & Nevid, 1991). Behaviour
activation therapy yaitu dengan membuat jadwal aktivitas dengan tujuan agar
individu belajar untuk memonitor mood, aktivitas harian, meningkatkan aktivitas
yang menyenangkan dan meningkatkan interaksi positif dengan lingkungan
6
(Cuijpers, Straaten, & Warmerdam, 2007). Terapi kognitif yang berfokus pada
identifikasi dan koreksi terhadap cognitive eror seperti selective abstraction,
overgeneralization, magnification, dan absolutist thingking (Rathus & Nevid,
1991). Terapi psikodinamik berfokus pada ekspresi dari pengalaman yang selama
ini ditolak, dimana hal ini berpengaruh pada keadaan depresi (Johansson, R.
Orklund, M.B ., Hornborg, C., Karlsson, S., Hesser, H., Otsson, B.J., Rousseu, A.,
Frederick, R.J & Andersson, G. 2013). Keseluruhan pendekatan tersebut memiliki
cara yang berbeda untuk menangani kasus depresi. Bentuk terapi yang telah
disebutkan terbukti efektif untuk menangani kasus depresi. Terapi transpersonal
mengeksplorasi sisi spiritual individu yang juga mencakup pendekatan
psikoanalisa, behavior, kognitif dan humanistik (Davis, 2003).
Telah dipahami bahwa transpersonal memiliki makna ganda yaitu vertical
dan horizontal, ethical dan mystical, immanent dan trancendence. Melalui hal ini
manusia dapat memenangkan dan memeluk tiga dimensi yaitu personal,
interpersonal, dan transpersonal: tubuh, jiwa dan spirit. Dapat kita fahami bahwa
depresi membawa kita kedalam tiga dimensi tersebut dalam realitas hidup. Terapi
transpersonal membawa individu yang mengalami depresi berada dalam tiga
dimensi tersebut. Terapis menolong klien untuk menyembuhkan dan menguatkan
personal self nya, untuk dapat membuat sebuah hubungan lebih dinamis dan
penuh cinta, dan menerima dimensi keutuhan, membuka wilayah kesadaran dalam
penyatuan yang menyeluruh, dengan manusia dan Tuhan, sehingga individu dapat
memancarkan cinta (Palmas & Canaria, 2003)
Transpersonal dalam banyak literatur berarti melewati atau melalui
“topeng”, dengan kata lain melewati tingkat personal (Prabowo, 2008). Dari hasil
survey tahun 1992 lewat artikel Journal of Transpersonal Psychotherapy yang
dilakukan oleh Lajoie dan Shaphiro sebagaimana dikutip oleh Boorstein (2000)
menyatakan terdapat lebih dari 200 definisi transpersonal, dan kemudian
menyimpulkan bahwa transpersonal adalah pendekatan yang berfokus pada
potensi tertinggi manusia, penghargaan, pemahaman, kesadaran intuitif, spiritual,
dan melampaui kesadaran. Dimensi spiritual selalu berasosiasi dengan nilai rasa
yang positif, termasuk cinta (Boorstein, 2000).
7
Terapis dapat memberikan inspirasi yang berkenaan dengan empati dan
kepedulian kepada klien, saat klien dapat terkoneksi dengan dirinya sendiri
melalui dialog antara hati, tubuh dan pikiran. Hal ini sangat penting bagi klien
karena pada dasarnya ia tidak peduli atas apa yang dirasakannya. Hal mendasar
dari kesadaran adalah sesuatu yang positif dan cinta. Di sisi lain, sesuatu yang
negatif muncul untuk mempertahankan diri dan individu secara genetis
terprogram untuk dapat bertahan. Ketika
terluka, individu berjuang sebagai
bentuk mekanisme pertahanan diri, sehingga biasanya memunculkan pemikiran
negatif seperti kemarahan, depresi dan menyendiri (Boorstein, 2000).
Psikosintesis merupakan bagian dari transpersonal yang bertujuan untuk
memberdayakan klien. Psikosintesis juga memungkinkan membuka keran potensi
dan kreativitas yang telah ada di dalam dirinya, serta dapat mengekspresikan diri
secara bebas. Pada akhirnya, setiap hambatan dilihat sebagai kesempatan untuk
berkembang. Sasaran pokok dalam terapi ini adalah:
a) Mentranformasi dan mengaktualisasikan secara kreatif potensi-potensi
kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari,
b) Mengubah sudut pandang kita, yaitu menerima trauma-trauma pribadi dan
peristiwa-peristiwa penting yang kita miliki sebagai tahap-tahap dari proses
penyembuhan diri kita sendiri,
c) Menyembuhkan, mentransformasi, dan membantu pengembangan diri. Model
yang dibuat Assagioli tentang kesadaran manusia adalah jati diri yang
mempunyai kaitan dengan “diri transpersonal” (Ruffler, 1995).
Psikosintesis memiliki visi yang luas dan baik dalam konteks personal,
interpersonal, sosial, global dan evolusi universal. Konselor memposisikan diri
sebagai cermin atau refleksi untuk klien, yang terjalin melalui hubungan
interpersonal dan empati untuk klien. Terdapat dua aspek dalam psikosintesis,
yaitu personal psikosintesis yang bertujuan membantu perkembangan integrasi
kepribadian dan transpersonal psikosintesis yang mengarahkan kebutuhan
individual untuk merealisasikan esensi manusia yang paling tinggi dan tujuan
hidup. Tujuan psikosintesis adalah agar seluruh aspek-aspek kepribadian individu
8
yang melingkari personal centre terintegrasi, sehingga terjadi sintesis terbaik di
antara personal ego dan transpersonal self (Firman & Gilla, 2002; Ruffler, 2005).
Assagioli (1973) menggambarkan modelnya sebagai suatu gambaran
kasar, mendekati replica anatomic dari struktur yang ada di dalam kesadaran kita
dan membagi ketidaksadaran pada jiwa manusia kedalam tiga area, yaitu 1)
“Puncak ketidaksadaran atau kesadaran tertinggi” higher unconsciousness 2)
“Wilayah tengah dari ketidaksadaran” middle unconsciousness, 3) “Dasar dari
ketidaksadaran atau ketidaksadaran” lower unconsiousness.
Higher Unconsciousness merupakan makna terdalam dalam hidup,
ketenangan, kedamaian, dan eksistensi universal, kesatuan antara diri kita dan
alam semesta. Dari higher kita mendapatkan intuisi tertinggi, inspirasi, filosofi,
dan keilmuan, sehingga lebih manusiawi dan kasih yang heroik. Ini merupakan
sumber dari nilai rasa tertinggi, termasuk altruistic love, genius, tingkat
perenungan, kekuatan, kegembiraan. Ini merupakan “dunia” yang laten yang
merupakan fungsi tertinggi dari ranah fisik dan energi spritualnya. Karakternya
adalah cinta, kegembiraan, keindahan, kesatuan.
Middle Unconsciousness memberikan kekuatan yang tidak terbatas kepada
individu untuk “to learn and to create”. Keterampilan, perilaku, perasaan, sikap
dan ability membuat middle unconsciousness dan will of I. Ini merupakan dasar
identitas kepribadian. Sub Personality adalah induk dari struktur middle
unconsciousness, yaitu semi independent, koheren dari pengalaman dan perilaku.
Ini dapat dikembangkan dari waktu ke waktu dengan ekspresi yang berbeda-beda.
Konflik dari sub personality merupakan sumber dari kesakitan.
Adapun Lower Unconsciousness berada di dalam diri individu di mana
hal tersebut diturunkan dari pengalaman luka. Luka
yang berlebihan dapat
menyebabkan penderitaan di kehidupan kita.
Emphatic love terdapat dalam psikosintesis yang dikemukakan oleh
Assagioli. Sintesis sebagai proses integrasi, keseluruhan, kesatuan, keindahan, dan
harmoni yang timbul dari links of love di antara manusia. Sintesis juga merupakan
kesatuan dari sifat manusia; fisik, emosi, mental, dan spiritual. Tujuan dari
sintesis adalah creative whole. Model psikosintesis dapat diaplikasikan kepada
9
orang yang menderita masalah neurotik dan juga masalah psikologis lainya.
Segala sesuatu “diluar kendalinya” oleh karena itu tidak ada yang terintegrasi
dengan sempurna. Syntesis bekerja pada personal center, wilayah alam sadar
(Concious ego), dan “I” wilayah fisik, emosi dan mental (Gerard, Robert, 1961;
Firman & Gilla, 2002). Model psikosintesis yang digunakan adalah diagram telur.
Dalam emphatic love, proses disidentifikasi (mengobservasi diri sendiri)
“I” menemukan pengalaman membahagiakan, menyedihkan, perasaan dan pikiran
akan kejadian sekarang. Pengalaman-pengalaman tersebut sangat mungkin saling
bertentangan. Oleh karena itu, dibutuhkan empati dan cinta untuk menyatukan
aspek tersebut ke dalam kepribadian. Penerimaan, cinta yang tulus, dan
keterlibatan dalam berbagai pengalaman memiliki peranan besar terhadap
kesehatan dan pertumbuhan. Cinta adalah compassion, joy, equanimity, and
kindness (Firman & Gilla, 2010). Adanya cinta membuat seseorang dapat
menerima dan mencintai semua aspek dirinya yang disebut true self (Firman &
Gilla, 2002).
Insight merupakan karakteristik transformasi, sedangkan empati timbul
dari adanya insight yang mendalam dari ketidakpastian, sakit mental dan
konstruksi alamiah dari self yaitu saat individu mempercayai bahwa segala
sesuatunya akan berjalan dengan stabil, individu menciptakan luka untuk dirinya
sendiri dengan merenggut atau menolak, dan tidak dapat menerima “self”
sehingga terpisah dari duniannya. Empati merupakan produk alami yang dimiliki
individu, untuk dapat memahami dirinya sendiri. Disebutkan juga bahwa
penerimaan diri membawa kita untuk memahami orang lain. Empathic love
therapy membawa individu untuk melihat dirinya sendiri, hal ini memberikan
jalan kepada individu untuk melihat kesalahan terkait dengan fikiran atau persepsi
serta perilaku negatif sehingga individu mampu mengkonstruksi fikiran, persepsi
dan perilaku positif (Germer, Siegel, & Fulton, 2005).
Dari paparan diatas, maka disusun emphatic love therapy untuk mencapai
keterbukaan dan dialog antara hati, pikiran dan tubuh agar individu sehat dan
bertumbuh. Terapi ini menggunakan 7 konsep yang telah dikemukakan oleh
Assagioli, yaitu:
10
1) Disidentification, yaitu mengenali dan mengasosiakan diri dengan
struktur-struktur kepribadian untuk mengidentifikasi (mengambil jarak
mereka), (Ruffler, 1995).
2) The personal self, “I” merupakan refleksi langsung atau gambaran dari
self. “I” adalah dasar identitas manusia, tidak bebas. Self merupakan
kesatuan tapi secara langsung dan segera muncul dari deeper self (Firman
& Gilla, 2002).
3) The will: good, strong, skilful, yaitu will yang terdiri atas tiga dimensi atau
kategori, yaitu: 1) aspects of will (kebaikan, kekuatan, kemampuan dan
transpersonal), 2) qualities of will (energi, penguasaaan, konsentrasi,
penentuan, ketekunan, inisiatif, dan organizatioan) dan 3) stages of the act
of will (tujuan, pertimbangan, pilihan, afirmasi, rencana, arah eksekusi).
4) The ideal model, yaitu“I” adalah awareness, pengertian, image, visi, dan
pemahaman apa yang diinginkan individu dalam hidup. (Firman & Gilla,
2007).
5) Synthesis, yaitu memahami adanya pergerakan menuju kesatuan dalam
kepribadian melalui 5 tahapan, yaitu rekognisi, penerimaan, koordinasi,
integrasi, dan sintesis.
6) The superconcius, menunjukan “potensi tertinggi yang dimiliki yang dapat
diekspresikan oleh diri kita sendiri”, tetapi hal itu selalu ditekan dan
ditolak (Assagioli, 1973)
7) The transpersonal self, adalah proses integrasi konten dan energi pada
higher unconscious, sebagai pembelajaran melalui kontak dan hubungan
kualitas transpersonal, wawasan spiritual, dan tahap penyatuan kesadaran.
11
Tekanan pada masa kanak-kanak atau tekanan yang dialami pada masa awalawal kehidupan akibat dari peristiwa buruk / berada pada lingkungan yang
tidak empati
Mengalami luka yang tidak terhindarkan bahkan tersudut/
primal wounding
Overwhelmed terhadap pengalaman
traumatik
Kemampuan me maintain neural integration
berkurang
Memori yang menyimpan informasi dalam sensori dan emotional network
tidak dapat mendukung satu dengan yang lainnya sehingga kognisi,
knowledge rentan terhadap pengalaman masa lalu
Depresi
Trigger
Depresi menurun
: Hasil intervensi
: Terapi yang digunakan
Gambar 1: Kerangka Pikir Penelitian
Empathic Love
Therapy
(7 concept)
Kontak dengan true
self dengan adanya
dialog antara hati,
pikiran dan tubuh.
12
Perlakuan
Empathic love therapy : 7 concept
1.
Eksplorasi diri : Partisipan melakukan identifikasi dan disidentifikasi diri.
2. Mengenal Luka : Partisipan menyadari luka (primal wounding) yang
selama ini menghambat perkembangannya.
3. Interaksi para pemain : Peserta memposisikan diri sebagai pengamat
dari para pemain dalam dirinya dengan melihat dan mendengarkan
para pemain tersebut.
4. I love my self : Partisipan berdialog dengan para pemain dalam
dirinya, terutama yang berperan dalam pengalaman luka sehingga
memahami tujuan dan kebutuhan para pemain tersebut, kemudian
merengkuh dan mendamaikannya
5. Kehendak : Partisipan dapat menemukan kualitas tersembunyi dari
para pemain dalam diri
6. Aspirasi dan rencana aksi : partisipan mengetahui tujuan dan arti
hidup tertingginya, kemudian membuat rencana jangka panjang dan
jangka pendek
7. Cinta dan syukur : Partisipan diajak untuk dapat mengetahui dan
memancarkan cinta yang ada didalam dirinya sendiri dan mensyukuri
segala hal yang pernah ia alami.
Input
Output
Real self Partisipan mampu :
Partisipan
Pemilihan partisipan
menggunakan BDI II
1. Perubahan emosi yaitu perasaan
gundah terus menerus, merasa
sedih
2. Perubahan fungsi dan perilaku
yaitu bergerak lebih lambat dari
biasanya, perubahan pola tidur dan
pola makan
3. Perubahan kognitif yaitu sulit
berkonsentrasi ,berfikir negatif
terhadap diri sendiri, masa depan
dan lingkungannya, rendah diri,
tidak percaya diri, berfikir akan
kematian atau bunuh diri
4. Perubahan motivasi yaitu
kehilangan semangat, menurunnya
aktivitas sosial, kehilangan
minat terhadap aktivitas yang
disukainya, berkurangnya
hasrat seksual,
1. Menyadari bahwa adanya bermacam-macam pemain dalam
diri dengan berbagai macam peran yang tidak disadari
sebelumnya.
2. Menyadari adanya luka dan masuk kembali kedalam
pengalaman
menyakitkan,
membantu
untuk
mulai
mengembangkan diri sehingga dapat mencapai kesembuhan
diri. Dengan cara ini dapat belajar mencintai dengan penuh
empatik dan akhirnya menerima pengalaman traumatis.
3. Mengetahui pendukung dan penghambat aspirasinya sehingga
dapat menyadari konflik-konflik yang menganggu kualitas
hidup dan kebahagiannya.
4. Menerima dengan penuh cinta semua bagian dalam dirinya.
Melepaskan pikiran dan perasaan yang selama ini
menganggua sehingga dapat merasakan bertambahnya
ketenangan, kedamaian, kebahagiaan, kelegaan dalam
hidupnya
5. Memaksimalkan kualitas tersembunyi pada setiap pemain
dalam kehidupan sehari-hari.
6. Mengetahui tujuan dan arti hidup tertingginya, kemudian
membuat rencana jangka panjang dan jangka pendek untuk
pencapaian aspirasi tersebut. Hal ini membawa individu
menuju transformasi diri.
7. Secara aktif mencintai meskipun dalam kondisi luka.
mesyukuri segala yang ia alami.
Dengan demikian, depresi menurun
Gambar 3: Kerangka Alur Penelitian
(Swasti, 2010)
Download