abu al-hasan al-amiri

advertisement
REPUBLIKA
khazanah
28
Halaman >>
Jumat > 1 Oktober 2010
ABU AL-HASAN AL-AMIRI
SANG FILSUF
ENSIKLOPEDITEMATISDUNIAISLAM
Oleh Yusuf Assidiq
BAGI AL-AMIRI, SEORANG
FILSUF TAK BOLEH
MEMISAHKAN DIRI DARI
MASYARAKAT.
WORDPRESS
F
ilsafat mengalami perkembangan pesat di dunia Islam. Filsuf
bertebaran silih berganti dalam
menyampaikan pemikirannya.
Mereka merenungkan alam
seiring dengan upaya mendalami Alquran, mengenai alam dan
kehidupan. Salah satu sosok filsuf yang lahir di
dunia Islam adalah Abu al-Hasan al-Amiri.
Filsuf ini bernama lengkap Abu al-Hasan
Muhammad al-Amiri. Ia dikenal pula dengan
nama Abu al-Hasan bin Abi Dzarr. Ia lahir di
Nisabhur, Persia pada permulaan abad ke-10
Masehi. Ia tak hanya mendalami olah pikir
melalui filsafat. Namun, ia pun mengimbanginya dengan olah jiwa melalui sufisme.
Al-Amiri menguasai filsfasat setelah belajar
dari Abu Zaid Ahmad bin Sahl al-Balkhi.
Ketertarikannya pada ilmu ini membawanya ke
dalam pengembaraan. Ia memang berharap
menemukan pengetahuan sejati dan pencerahan dengan mendalami filsafat. Tekadnya itu
membawa langkahnya ke Baghdad, Irak.
Di Ibu Kota pemerintahan Dinasti
Abbasiyah itu, al-Amiri menjadi guru. Ia tak
hanya memberi ilmu, tetapi juga terus menimbanya. Tak heran jika ia sering terlihat di
majelis ilmu dan diskusi ilmiah. Salah satunya
adalah majelis yang diselenggarakan oleh cendekiawan yang bernama Abu Hamid alMarwarrudzi.
Pada sebuah kesempatan saat mengunjungi
Madinah, ia ikut dalam pertemuan antarfilsuf
Muslim. Di sana, sejarawan al-Tauhidi mencatat sebuah perdebatan yang cukup terkenal
antara al-Amiri dan Abu Said al-Sirafi. Di sisi
lain, ia mempelajari banyak buku filsafat yang
ditulis pemikir Yunani dan India.
Pada masa-masa selanjutnya digunakan alAmiri untuk menuliskan pemikiran-pemikirannya lewat karya. Al-Amiri, misalnya, menyusun
risalah berisi komentar kritis terhadap karya
Aristoteles. Buku Renaisains Islam yang ditulis
BERDEBAT MELALUI DISKUSI
Oleh Yusuf Assidiq
ebiasaan kaum cendekiawan
pada abad pertengahan adalah menggelar diskusi serta
perdebatan ilmiah. Ini dilakukan
untuk bertukar pikiran dengan menjelaskan ide dan gagasan masingmasing. Kegiatan itu juga kerap
dilakukan oleh Al-Amiri di berbagai
kesempatan. Ia selalu menghadiri
kelompok-kelompok diskusi.
Perdebatan mencakup banyak
topik, mulai dari persoalan hukum,
sosial, politik, hingga pemerintahan. Tentu, bagi seorang filsuf
seperti Al-Amiri, semua itu dibahas dengan dalil-dalil filosofis. Hal
tersebut pula yang terjadi ketika
tokoh ini melakukan perdebatan
terbuka dengan Abu Said Al-Sirafi
di Madinah.
Joel L Kraemer mencatat
K
momen itu berlangsung dalam
majelis Abu al-Fath bin Amid pada
Februari 975 Masehi. Pertemuan
itu penuh sesak oleh pengunjung.
Al-Amiri yang mengawali perdebatan, meminta Al-Sirafi menjelaskan fungsi kata bi dalam kalimat bismillahirahmanirrahim.
Banyak orang yang hadir terkejut dengan pertanyaan itu. Al-Sirafi
sigap menjawab dengan menukil
beberapa ayat Alquran. Sejarah alTauhidi menilai perdebatan antara
dua tokoh itu sangat mengesankan. Meski, beberapa sumber
mengatakan pertanyaan Al-Amiri
melahirkan persaingan panjang
antarfilsuf.
Di Baghdad, Al-Amiri juga terlihat menonjol. Meski, sejumlah filsuf tak berkenan dengan kehadirannya. Salah satu pemicunya, menurut versi Al-Amiri, karena mere-
ka kurang menyukai sesuatu yang
asing. Imbasnya, ia sempat ditolak
saat ingin bergabung dengan
beberapa perkumpulan diskusi.
Beruntung, Al-Amiri disambut
baik dalam kelompok kajian ilmiah
yang digagas Ibnu Al-Amid. Dari tokoh ini, Al-Amiri banyak belajar, termasuk tentang mesin dan teknologi. Di bawah bimbingan Ibnu AlAmid, ia banyak memperoleh wawasan baru, terutama di bidang sains,
teologi, filsafat, hingga sastra.
Dari sini, dia menemukan
bahwa filsafat dapat beriringan
dengan ajaran Islam dan terus
berusaha mengintegrasikan dua
hal tersebut. Al-Amiri mengatakan,
keesaan Tuhan merupakan unsur
penting. Dan, ia meyakini bahwa
nilai-nilai Islam lebih utama
dibandingkan keyakinan lainnya.
n ed: ferry kisihandi
Joel L Kraemer menyebut al-Amiri tertarik
dengan dunia sufi.
Bahkan, beberapa subjek bahasan para sufi
dituangkan dalam tulisan filsafatnya. Kraemer
menyebutkan salah satu karya al-Amiri yang
berjudul Al-Nask al-Aqli. Al-Amiri
menekankan tentang esensi kemahasempurnaan pencipta. Pada bagian lain, ia menyampaikan gagasannya soal kaidah kebijaksanaan.
Menurut al-Amiri, kebijaksanaan hendaknya
lebih menonjol dalam perbuatan-perbuatan,
bukan dalam kata. Seseorang yang kurang
bijak dikatakan akan lebih menuntut hak daripada menjalankan kewajiban. Dengan pijakan
pemikiran semacam itu, ia mengaku sangat prihatin dengan perilaku kurang bijak dari sebagian kalangan.
Al-Amiri juga menjadi magnet. Banyak cendekiawan yang tertarik pada pemikirannya.
Sejarawan al-Tauhidi menyebutnya sebagai
orang yang kompeten dalam bidangnya. Ini
dibuktikan melalui buku yang berjudul Inqadz
al-Basyar min al-Jabr wa al-Qadr. Buku ini
menjadi rujukan penting.
Beberapa catatan sejarah menyebutkan
bahwa ilmuwan ternama al-Razi pernah mempelajari buku tersebut. Di dalamnya, al-Amiri
menyempatkan diri menggambarkan sosok
filsuf ideal. Dalam Al-Nask al-Aqli, al-Amiri
berusaha meluruskan pandangan tentang filsuf
yang pada saat itu beredar di tengah
masyarakat.
Filsuf dianggap masyarakat sebagai seorang
yang terpaksa hidup mengasingkan diri dari
masyarakat dan nilai-nilainya. Hal itu ia nilai
justru dapat membahayakan hidupnya. Dalam
konteks ini, ia sepaham dengan Ibnu Miskawaih. Filsuf, jelas al-Amiri, tak bisa dipisahkan
dari kehidupan masyarakat.
Dalam pandangan al-Amiri, filsuf hanya
akan menemukan kesempurnaan saat berada di
tengah masyarakat. Itu karena, dengan berinteraksi dalam masyarakat, mereka dapat
berkontribusi dalam memperbaiki kondisi
masyarakat dengan kemampuan yang dimilikinya. Pada buku lainnya, Al-Sa’adah wa alIs’ad, ia memberikan penjelasan lebih lanjut.
Ketika filsuf dijauhkan dari masyarakat,
kehidupannya tak lagi berarti. Pada bagian lain
dari bukunya itu, ia merumuskan tafsir mengenai kebahagiaan. Ia mengatakan, kebahagiaan
merupakan bentuk kesempurnaan manusia.
Tindakan-tindakan manusia yang dijalankan
dengan ikhlas menjadi jembatan mencapai
kebahagiaan.
Mengutip risalah Plato dalam Ethics,
●
●
Para Sufi
PICASAWEB
muncul gagasan al-Amiri mengenai kebahagiaan intelektual. Hal ini bisa dicapai dengan
mengkaji ilmu pengetahuan. Berpijak pada
pandangan ini, ia mengatakan bahwa perkembangan ilmu seperti matematika, fisika, dan
astronomi merupakan hal yang penting. Sebab,
besar manfaatnya bagi umat manusia.
Sufisme
Seperti disebutkan Joel L Kraemer, al-Amiri
mendalami sufisme. Ia mengutip uraian yang
disampaikan sejarawan abad ke-10 Masehi,
Abbu Hayyan. Cendekiawan ini melukiskan alAmiri sebagai seorang syekh, filsuf, serta penjelajah yang mengembara ke berbagai negara dan
berusaha mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
Hayyan mengungkapkan, al-Amiri merupakan tipe sufi yang berpindah-pindah. Ia
berbeda dengan sufi lainnya yang biasa
menetap di suatu tempat. Selama masa
pengembaraan, al-Amiri banyak melakukan
perenungan. Ia kemudian berbagi pemikiran
hasil renungannya dengan orang lain.
Tentang dunia, al-Amiri menegaskan bahwa
itu hanya bersifat sementara. Ia mencontohkan,
setiap raja tidak kekal memegang kekuasaan
dan akan mati, kecuali Tuhan yang Mahakekal,
demikian halnya dengan kesenangan. Menurut
dia, kecuali kesenangan di surga, kesenangan
lain dapat begitu saja berlalu.
Al-Amiri berharap pemikiran-pemikirannya
mengilhami masyarakat untuk hanya bersandar pada perlindungan Tuhan. Menyadari
kelalaian yang dilakukan dan berusaha terlepas dari kesenangan duniawi. Ia menambahkan, hal ini bukan berarti manusia harus
mencampakkan dunia.
Menjelang akhirnya hayatnya, filsuf ini
kembali ke kampung halamannya di Nisabhur.
Ia meninggal dunia di tanah kelahirannya pada
6 Januari 992 Masehi. n ed: ferry kisihandi
Kelompok Diskusi
ENSIKLOPEDITEMATISDUNIAISLAM
Download