Hukum Perkawinan bagi Transseksual yang Telah Melakukan

advertisement
Hukum Perkawinan bagi Transseksual yang Telah Melakukan Operasi
Penggantian Kelamin (Sex Reassignment Surgery) dan Telah Diakui
Perubahan Statusnya Oleh Pengadilan Negeri di tinjau dari Hukum Islam dan
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Melly Afrissyah, Farida Prihatini, Endah Hartati
Program Kekhususan Hukum Tentang Hubungan Sesama Anggota Masyarakat
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak
Pada dasarnya Tuhan telah menciptakan manusia sebagai makhluk-Nya yang paling sempurna dengan jenis laki-laki
dan perempuan. Dengan majunya teknologi kedokteran saat ini dimungkinkan bagi seseorang melakukan operasi
penggantian kelamin dan bahkan beberapa orang telah mendapat penetapan dari Pengadilan tentang perubahan status
mereka didepan hukum. Sehingga, keberadaannya ini menimbulkan permasalahan hukum terhadap status hukum dan
akibat hukum serta perkawinan yang dilakukan oleh mereka. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui apakah
Hukum Islam memperbolehkan perkawinan oleh transeksual yang telah diakui perubahan status kelaminnya oleh
Pengadilan Negeri. Serta bagaimana Undang-Undang perkawinan di Indonesia memandang permasalahan
perkawinan transeksual tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Hasil
penelitian adalah pada dasarnya tindakan operasi diharamkan, namun dibolehkan apabila terdapat kondisi yang
memaksa. Sehingga Hukum Islam secara tegas tidak memperbolehkan terjadinya perkawinan antara seorang
transeksual dengan orang yang sebenarnya berjenis kelamin sama, kecuali perubahan jenis kelaminnya sah menurut
Hukum Islam. Sedangkan berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan yang belum ada aturan secara tegas tentang
transeksual, meski Undang-Undang perkawinan mendasarkan sah tidaknya suatu perkawinan juga ditentukan oleh
ketentuan dalam tiap-tiap agama, maka tetap dimungkinkan bagi seorang transeksual yang telah mendapat penetapan
dari pengadilan untuk melangsungkan perkawinan asalkan syarat perkawinan tersebut tidak dilarang atau tidak
bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam agama dari orang yang bersangkutan.
Kata Kunci: transeksual, operasi penggantian kelamin, Hukum Islam, Perkawinan, Undang-Undang Perkawinan.
Abstract
Naturally, God have created human as His perfect creation as male and female. With the latest medical technology, it
is possible nowadays for everyone to do sex reassignment surgery and some of those have received the Decision
from the court about the legal changes of their status. Therefore, the existing of it caused the legal problem about the
legal status and the legal implication of their marriage done by them. The purpose of this research paper is to know
whether Islamic Law allow the marriage which is done by the transsexual person which status had been recognized
by the Court, and how the Act of Marriage‟s point of view about the transsexual marriage itself. The research is a
normative legal research with qualitative analysis on secondary data. The result of this research are: basically, the
surgery is allowed if there is any force major therefore, Islamic Law not strictly ban the marriage of an transsexual
person with the similar sex spouse unless its transsexual is legal according to Islamic Law. It is different with the Act
of Marriage which haven‟t strictly regulate about transsexual although the act of marriage regulate whether the
marriage is legal from every religion, therefore it is possible for a transsexual person who had been approved by
court to get married if the marriage requirement is not banned or not broken the requirement of his/her religion.
Key words: Transsexual, sex reassignment surgery, Islamic Law Marriage, The Act of Marriage
1
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk sosial akan selalu berinteraksi dan berkumpul membentuk
suatu keluarga. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat. Keluarga mulai terbentuk dari
sebuah perkawinan yang merupakan kebutuhan biologis manusia, kehendak kemanusiaan dan
juga hubungan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan.1 Berdasarkan Pasal 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan didefinisikan sebagai “Ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.2 Salah satu tujuan dari perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan (anak) sehingga
sebuah keluarga itu bisa disebut keluarga inti (ayah, ibu dan anak-anak). Kemudian, anak-anak
yang dilahirkan tersebut akan bertumbuh kembang menjadi dewasa dan juga akan menghasilkan
keturunan pula (cucu) begitu seterusnya yang kemudian disebut keluarga.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, penduduk Indonesia mencapai
257.516.167 jiwa. sementara sensus Penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia mencapai
237.641.326 jiwa.3 Negara memberikan kebebasan bagi semua penduduknya untuk memilih
agama sesuai dengan keyakinannya. Kebebasan memilih tersebut merupakan Hak Asasi Manusia
yang dilindungi oleh negara. Sekitar 207.176.162 jiwa atau 87,18 persen penduduk Indonesia
beragama Islam. Hal ini berdasarkan perbandingan di mana penduduk yang beragama Kristen
sekitar 16.528.513 jiwa atau 6,96 persen, Katolik sekitar 6.907.873 jiwa atau 2,91 persen, Hindu
sekitar 4.012.116 jiwa atau 1,69 persen, Budha sekitar 1.703.254 jiwa atau 0,72 persen, dan
Khong Hu Chu sekitar 117.091 jiwa atau 0,05 persen. Dari data tersebut dapat kita ambil
kesimpulan bahwa, Hukum Perkawinan Islam berlaku untuk sebagian besar penduduk yang ada
di Indonesia.
Unsur-Unsur yang harus ada pada Hukum Perkawinan Islam adalah laki-laki dan
perempuannya sah untuk dinikahi. Sehingga syarat sah nya perkawinan ini ditentukan
berdasarkan jenis kelamin (laki-laki atau perempuan). Dewasa ini, terdapat orang-orang yang
1
Joko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT Bina Aksara,
1987), hlm. 2.
2
Indonesia (a), Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun
1974, TLN No. 3019, Ps. 1.
3
Badan Pusat Statistik, “Jumlah dan Distribusi Penduduk”
http://sp2012.bps.go.id/index.php/site/topik?kid=1dankategori=Jumlah-dan-Distribusi-Penduduk, diunduh
8 Januari 2014.
2
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
merasa tidak nyaman dengan fisik mereka. Orang inilah yang disebut dengan istilah transseksual
yaitu bentuk gangguan identitas gender di mana seseorang merasa terjebak dalam tubuh yang
salah, dikarakterisasi dengan ketidaknyamanan atas keadaan anatomis tubuh, memiliki keinginan
untuk mengubah alat genitalnya dan hidup sebagai anggota lawan jenisnya.4
Dewasa ini dimana semakin berkembangnya suatu zaman, mereka yang memiliki
kelainan tersebut sudah tidak lagi hanya tinggal diam pasrah menerima keadaan dirinya, mereka
tidak lagi hanya bersembunyi dalam kepalsuan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi khususnya di bidang kedokteran, bagi mereka yang mengalami kelainan tersebut
dapat melakukan operasi penyesuaian kelamin (Sex Reassignment Surgery) sebagai suatu bentuk
penanganan agar dapat sesuai dengan jiwanya atau menyempurnakan bentuk alat kelaminnya
yang dirasa cacat.
Setelah melakukan operasi penyesuaian kelamin agar dapat sesuai dengan jiwanya atau
menyempurnakan bentuk alat kelaminnya yang cacat atau tidak sesuai sebagaimana yang dia
rasakan dalam jiwanya, tentu mereka ingin melanjutkan hidup sebagaimana selayaknya seorang
manusia normal. Mendapatkan pengakuan dan dianggap sebagai manusia normal adalah tujuan
dari mereka yang menjalani proses yang sebenarnya tidaklah mudah tersebut. Untuk itu sangat
diperlukan suatu penegasan status seseorang yaitu apakah wanita ataukah laki-laki, karena dari
penentuan status demikian sangat diperlukan apabila seseorang ingin melangsungkan
perkawinan, menjelaskan status kewarisan, dan identitas pekerjaan, serta lain-lainnya untuk
kebutuhan hidup sebagaimana seorang warganegara.
Pengakuan terhadap perubahan jenis kelamin Vivian Rubiyanti yang dulunya bernama
Iwan Rubiyanto Iskandar ini menjadi penetapan pertama di Indonesia yang kemudian diikuti oleh
penetapan-penetapan pengadilan selanjutnya terhadap masalah yang sama sehingga menjadi
sebuah yurisprudensi. Penetapan-penetapan pengadilan terhadap pergantian status tersebut tidak
hanya ditetapkan bagi kaum transseksual saja, namun juga terhadap orang-orang yang mengalami
4
Anita Wulandari, “Gambaran Proses Pengambilan Keputusan pada Transseksual Laki-Laki yang
Menjalani dan Tidak Menjalani Operasi Pengubahan Kelamin” (Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Depok, 2006), hlm. 17.
3
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
perubahan alat kelamin tanpa melalui operasi pergantian kelamin, melainkan alat kelamin mereka
berubah secara alamiah atau terjadi begitu saja secara natural.5
Terdapat pro dan kontra terhadap keberadaan kaum Transseksual di Indonesia, menjadi
suatu permasalahan hukum apabila seorang Transseksual melakukan perkawinan yang telah
melakukan operasi pergantian kelamin dan telah diakui pula perubahan jenis kelaminnya melalui
penetapan Pengadilan Negeri. Dengan adanya pengakuan tersebut, maka Negara mengakui
kenyataan bahwa telah terjadi perubahan status akibat perubahan jenis kelamin, misalnya dari
laki-laki menjadi perempuan ataupun sebaliknya. Sehingga dari penetapan tersebut seharusnya
tidak terjadi dan timbul suatu permasalahan terkait perkawinan yang akan dilangsungkan oleh
orang yang bersangkutan dengan seseorang yang mereka pilih menadi pasangan suami atau
istrinya kelak. Namun, perlu disadari semua pihak bahwa secara jelas syarat keabsahan
perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak hanya melihat
pada Hukum Negara, melainkan juga hukum Agama. Dari sinilah timbul suatu permasalahan.
Permasalahan tersebut adalah apakah Hukum Islam memperbolehkan terjadinya suatu
operasi pergantian kelamin yang dilakukan oleh seorang Transseksual yang beragama Islam.
Kemudian lebih khusus lagi apabila permasalah yang timbul adalah apakah Hukum Islam
memperbolehkan terjadinya suatu perkawinan yang dilangsungkan oleh umat Islam yang telah
berganti kelamin melalui operasi perubahan kelamin (Sex Reassignment Surgery). Kemudian
bagaimana dengan Hukum Agama lainnya yang ada dan diakui oleh Negara Indonesia
sebagaimana syarat keabsahan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang tidak hanya melihat pada Hukum Negara, melainkan juga hukum Agama. Oleh
karena itu masalah ini menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama yang berkaitan dengan aspek
hukum yang dalam hal ini dikhususkan tentang hukum perkawinan Islam dan hukum perkawinan
di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka dirumuskan beberapa
hal yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimanakah operasi penggantian kelamin (Sex Reassiggnment Surgery) yang
dilakukan oleh transseksual ditinjau dari Hukum Islam, pandangan para Ahli Hukum
Islam dan Ulama?
5
Hapsari, Gita Rianty. "Kewenangan Kantor Urusan Agama Dalam Perkawinan Seorang Transseksual
yang Telah Diakui Perubahan Statusnya oleh Pengadilan Negeri Ditinjau Dari Hukum Islam." (skripsi Sarjana
Hukum) Depok: Universitas Indonesia, 2012.
4
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
2. Bagaimanakah status dan konsekuensi yang timbul terhadap perkawinan Transseksual
yang telah melakukan Operasi Penggantian Kelamin (Sex Reassignment Surgery) dan
telah diakui perubahan statusnya oleh Pengadilan Negeri di tinjau dari Hukum Islam dan
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai
permasalahan yang diangkat dari sudut Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Selain itu, penelitian ini dimaksud untuk menjelaskan mengenai dasar-dasar Hukum Perkawinan
Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai akibat perkawinan
transseksual terhadap kedudukannya yang telah diakui perubahan statusnya oleh Pengadilan
Negeri ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan
perkawinan yang ada apabila Transseksual yang telah melakukan operasi pergantian kelamin
melangsungkan perkawinan ditinjau dari Hukum Islam, Pandangan para Ahli Hukum Islam dan
Ulama, serta Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Serta untuk mengetahui
status dan konsekuensi hukum yang diperoleh oleh para Transseksual yang telah melakukan
operasi pergantian kelamin mengenai pelaksanaan perkawinannya.
Metode Penelitian
Pada penelitian ini, bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif.
Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan
pustaka atau data sekunder belaka.6 Sedangkan, wawancara terhadap narasumber sebagai
tambahan informasi atas penelitian yang dilakukan guna mendapatkan data primer. Tipe
penelitian yang Penulis lakukan antara lain, dari sudut sifatnya termasuk penelitian deskriptif7
untuk menggambarkan secara tepat keadaan, kelompok transseksual dan menentukan frekuensi
gejala mengenai kedudukan transseksual yang telah melakukan Operasi Penggantian Kelamin
(Sex Reassignment Surgery) dalam Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan. Selain itu, dilihat dari sudut sifatnya penelitian ini juga termasuk
6
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2001), hlm. 13-14.
7
Ibid, hlm. 4.
5
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
penelitian preskriptif8 yang menggambarkan keadaan dan memberikan jalan keluar atau saran
terkait kedudukan transseksual yang telah melakukan operasi penggantian kelamin (Sex
Reassignment Surgery) dalam Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Bahan hukum primer (primary sources) merupakan jenis bahan hukum yang isinya mempunyai
kekuatan mengikat kepada masyarakat. Bahan hukum primer yang Penulis gunakan berupa
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang
No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
195 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah, dan juga Kompilasi Hukum
Islam. Selain itu, penelitian ini juga merujuk kepada Al-Qur‟an sebagai sumber Hukum Islam
yang utama, serta hasil-hasil ijtihad para ahli, seperti fatwa Majelis Ulama Indonesia maupun
hasil Musyawarah Nasional para ulama di Indonesia. Bahan hukum sekunder (secondary
sources) yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi bahan hukum primer
dan implementasinya. Yang akan digunakan oleh Penulis terkait bahan hukum sekunder ini
berupa artikel ilmiah, buku, skripsi/tesis/disertasi, laporan penelitian, dan sebagainya. Buku-buku
yang digunakan Penulis sebagai bahan hukum sekunder antara lain buku dengan judul Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia yang ditulis oleh Neng Djubaedah, Hj. Sulaikin Lubis, S. H., M.
H. dan Farida Prihatini, S. H., M. H., C. N. Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UndangUndang Perkawinan di Indonesia yang ditulis oleh Drs. H. Zahry Hamid, Kapita Selekta Hukum
Kedokteran ditulis oleh Fred Ameln, dan sebagainya.9
Pembahasan
Perkawinan bagi pemeluk agama Islam di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang secara langsung melalui Pasal 2 ayat (1) menunjuk
keberlakukan hukum agama bagi masing-masing pemeluk agama sebagai syarat sah suatu
perkawinan. Berdasarkan hal tersebut, maka jelas bahwa untuk menyatakan suatu keabsahan
perkawinan, harus melihat kembali pada hukum agama. Kebolehan untuk melaksanakan suatu
8
Ibid.
9
Ibid, hlm. 31.
6
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
perkawinan berdasarkan hukum agama menjadi suatu factor yang penting dalam menentukan
keabsahan suatu perkawinan.
Sebagian besar ulama menyatakan bahwa operasi demikian diharamkan karena
bermaksud mengubah ciptaan Allah SWT. Dalil-dalil al- Qur‟an yang dapat dikemukanan terkait
hal ini antara lain adalah Surat an- Najm (53) ayat 45 dan al- Hujurat (49) ayat 13 yang
menyatakan dengan tegas bahwa jenis kelamin manusia hanyalah terdiri dari dua jenis kelamin,
yakni perempuan dan laki-laki, sehingga tidak ada jenis kelamin ketiga. Sedangkan surat an- Nisa
(4) ayat 119 menyatakan larangan untuk mengubah ciptaan Allah SWT yang telah semputna
sebagaimana dinyatakan oleh surat at Tin (95) ayat 4. Majelis Ulama Indonesia pun melalui fatwa
yang ditetapkan Dewan Pimpinan dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 yang kemudian
disempurnakan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 03/MUNAS-VIII/MUI/2010
tentang Perubahan dan Penyermpurnaan Alat Kelamin telah menyatakan bahwa operasi
penggantian kelamin merupakan suatu hal yang haram hukumnya.
Selain itu, keharaman tersebut juga ditegaskan oleh fatwa yang dikeluarkan oleh Yusuf
Qardhawi. Beliau menyatakan dalam fatwanya bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan
laki-laki dan wanita dengan susunan tubuh tertentu untuk melakukan tugasnya masing-masing
dalam kehidupan ini. Sehingga, kita tidak boleh mengubahnya dengan paksa. Masing-masing
telah memiliki sifat yang berbeda-beda yang merupakan ciri khas yang tidak dimiliki oleh yang
lain. Misalnya sifat kebapakan yang tidak dimiliki oleh wanita dan sifat keibuan yang tidak
dimiliki oleh laki-laki, sehingga setiap usaha untuk mengubah sifat-sifat ini dilarang oleh agama
karena bertentangan dari fitrah serta lari dari syariat dan tanggung jawab.10 Beliau juga
menyatakan bahwa Allah telah menciptakan tiap jenis, jantan dan betina, juga kecondongan
kepada lawan jenisnya untuk saling bertemu dan bergaul, yang kelak dari hubungan tersebut akan
menghasilkan keturunan dan anak cucu.11 Selain itu beliau juga menyatakan bahwa terdapat
beberapa pengaruh negatif yang akan terjadi apabila terdapat kebolehan dalam tindakan operasi
penggantian kelamin. Pengaruh yang pertama adalah dengan melakukan tindakan operasi
penggantian kelamin, berarti bahwa tindakan pencegahan dalam perkembangbiakan manusia juga
dilakukan. Sehingga, jika hal ini diperbolehkan, maka perkembangbiakan dan keturunan manusia
10
Yusuf al- Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer: Jilid 3, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 466-
11
Ibid., hlm. 463.
467.
7
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
akan terputus dan menyebabkan jumlah manusia semakin menurun tiap harinya. Pengaruh
selanjutnya adalah adanya perubahan pada hukum syariat. Beliau memberi contoh seorang wanita
mengubah dirinya menjadi laki-laki, dan dengan memperoleh perubahan tersebut, berarti kita
memperbolehkan wanita kawin dengan wanita, padahal diketahui bahwa perkawinan sesama
jenis merupakan suatu dosa besar.12
Sebaiknya dilakukan suatu analisis yang mendalam terlebih dahulu terhadap kondisi
transseksual tersebut untuk mengetahui apakah transseksual tersebut memang memiliki sesuatu
yang salah dalam struktur tubuhnya, ataukah hanya sebatas keinginan psikologis yang mendalam.
Prosedur pemerikasaan tersebut sebaiknya dilakukan oleh ebuah tim pemeriksa yang terdiri dari
berbagai ahli dari berbagai cabang ilmu. Banyaknya ahli dari berbagai cabang ilmu yang ikut
serta dalam suatu proses penentuan apakah akan dilakukan operasi akan membuat suatu system
penyaringan tersendiri terhadap calon pasien operasi penggantian kelamin. Dengan adanya
berbagai pendapat ahli tersebut, maka kemudian dapat ditentukan apakah seorang transseksual
tersebut akan menjalani operasi penggantian kelamin atau tidak. Apabila dalam pemeriksaan
yang ketat tersebut ditemukan ditemukan bahwa memang terdapat kelainan pada struktur biologis
tubuh, yang menyebabkan timbulnya suatu perasaan bahwa dengan adanya kesalahan identitas
pada dirinya, maka operasi penggantian dapat saja dilakukan karena memang terdapat suatu
kelainan secara biologis pada struktur tubuh orang tersebut. Namun, apabila setelah dilakukan
pemeriksaan oleh tim ahli ternyata ditemukan bahwa tidak terdapat suatu kelainan pada struktur
tubuh seorang transseksual tersebut, baik pada struktur organ maupun sel seorang transseksual,
maka operasi penggantian kelamin tidak dapat dilakukan, dan kemudian dilakukan terapi-terapi
psikologis yang lebih efektif untuk mengembalikan kondisi seorang transseksual tersebut pada
kondisi normal.
Berdasarkan hal yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa suatu operasi
penggantian kelamin dapat saja dilakukan apabila memang terdapat suatu kelainan secara
biologis dalam tubuh seorang transseksual tersebut, Apabila memang terdapat kelainan biologis
dalam tubuh seorang transseksual, maka hal tersebut bukanlah suatu kondisi yang dikehendaki
sendiri oleh seorang transseksual, melainkan ia telah terlahir dengan kondisi tersebut.
Dikarenakan ia telah terlahir dengan kondisi tersebut, maka tidak ada salahnya apabila kemudian
12
Ibid., hlm. 466.
8
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
dilakukan suatu perbaikan terhadap kondisi dirinya. Apabila dihadapkan pada kondisi semacam
ini, maka operasi penggantian kelamin dapat dilakukan sebagai suatu pengobatan, sama halnya
dengan kebolehan dilakukannya operasi perubahan kelamin pada seseorang yang mengalami
kondisi intersex.
Pada kondisi intersex, dimana seseorang memiliki lebih dari satu alat kelamin, operasi
penyesuaian kelamin diperbolehkan oleh para ulama. Intersex atau dikenal juga dengan
hermaphrodite, atau dikenal dalam Islam sebagai Khuntsa, merupakan orang yang memiliki dua
alat kelamin laki-laki dan perempuan atau tidak mempunyai alat kelamin sama sekali (Wahbah
al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, VIII: 426)13 Hukum bagi seorang Khuntsa melakukan
operasi penyempurnaan kelamin adalah boleh, sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No.
3/MUNAS-VII/MUI/2010 tentang perubahan dan penyempurnaan Alat Kelamin. Pada kondisi
intersex, orang tersebut memang terlahir dengan kondisi tersebut, dan persoalannya tidak hanya
semata-mata pada kondisi psikologis. Dikarenakan memang sejak dilahirkan kondisi yang
dialami adalah seperti itu, kondisi tersebut merupakan pemberian Allah SWT atas alasan yang
hanya Allah SWT ketahui, kondisi tersebut tidak diharapkannya dan tidak dibuat-buat olehnya.
Maka seorang intersex dapat melakukan operasi penyempurnaan kelamin. Pada kondisi
transseksual, seringkali terdapat kondisi transseksual yang hanya merupakan masalah psikologis.
Namun, apabila kondisi transseksual tersebut memang disebabkan adanya kelainan dari biologis
tubuhnya, misalnya kelainan kromosom, maka kondisi tersebut juga atidak diadakan sendiri oleh
transseksual tersebut, melainkan ia terlahir dengan kondisi tersebut. Hal ini menjadikan kondisi
yang dialami oleh seorang transseksual tersebut bukanlah suatu masalah psikologis, melainkan
biologis, sehingga pengaplikasian hukum atas khuntsa atau intersex dapat diberlakukan pula pada
dirinya. Namun, sekali lagi ditegaskan bahwa operasi penggantian kelamin bagi seorang
transseksual yang hanya memiliki masalah psikologis belaka tanpa diserta suatu kelainan bilogis
pada tubuhnya, tidak dapat dilakukan, atau dapat dikatakan Haram hukumnya untuk dilakukan.
Dengan tidak sahnya perubahan status hukum tersebut secara Hukum Islam, maka orang
yang bersangkutan masih memiliki status hukum sebagaimana yang ia miliki sebelum ia
melakukan operasi penggantian kelamin, sekalipun Pengadilan Negeri telah menetapkan sahnya
perubahan status kelamin. Oleh karena itu, apabila ia ingin melakukan perkawinan, ia hanya
13
Majelis Ulama Indonesia, Op. Cit., hlm. 381.
9
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
dapat melakukan perkawinan dengan seseorang yang memiliki status hukum yang berlawanan
dengan status hukum yang ia miliki berdasarkan Hukum Islam. Misalnya seorang laki-laki
melakukan operasi penggantian kelamin tanpa memiliki kelainan apapun pada struktur biologis
tubuhnya, maka setelah dilakukannya operasi penggantian kelamin, ia akan tetap berstatus
sebagai laki-laki, tidak terjadi perubahan terhadap status hukumnya secara Islam. Oleh karena itu,
apabila kemudian ia ingin melakukan perkawinan dengan laki-laki, hal tersebut tidak dapat
dilakukannya karena perkawinan tersebut akan menjadi perkawinan sesama jenis, suatu jenis
perkawinan yang diharamkan didalam Islam. Hubungan sesama jenis merupakan salah satu jenis
dosa besar.
Hubungan sesama jenis atau dapat dinyatakan juga sebagai Liwat yang lebih banyak
dikenal sebagai homoseksual, merupakan hubungan seksual atau kelamin sesama jenis, baik
sesama laki-laki (gay) maupun sesama perempuan (lesbian atau musahaqah). Laki-laki
melakukan liwat adalah dengan memasukkan penis ke dalam anus pasangannya, sedangkan
perempuan melakukan liwat adalah dengan suatu perbuatan gratifikasi (kepuasan) seksual antara
sesama perempuan dengan cara menggosok-gosokkan vagina yang satu terhadap vagina
lainnya.14 Dalam al- Qur‟an sendiri larangan atas liwat dinyatakan secara tegas didalam surat al„Araf (7) ayat 80 sampai dengan ayat 84; surat Hud (11) ayat 7 sampai dengan ayat 83; surat alHijr (15) ayat 57 sampai dengan ayat 77; surat al-Mu‟minun (23) ayat 5 sampai dengan ayat 7,
surat an-Naml (27) ayat 54 sampai dengan ayat 59; surat al-Ankabut (29) ayat 28 sampai dengan
ayat 35: surat asy-Syu‟ra (42) ayat 160 sampai dengan ayat 175; surat al- Anbiya (21) ayat 71,
ayat 74 dan ayat 75; surat al-Qamar (54) ayat 33 sampai dengan ayat 40; dan surat at-Tahrim (66)
ayat 10.15
Dari hal-hal yang telah dijabarkan, maka dapat dinyatakan bahwa Liwat atau hubungan
seksual yang terjadi antara sesama jenis merupakan suatu hubungan yang merupakan dosa besar
dan setara dengan perzinahan. Oleh karena itu, apabila kemudian terjadi perkawinan antara
seorang berkelamin normal dengan seorang yang telah berganti jenis kelaminnya melalui operasi
namun ternyata pergantiannya tidak sah menurut Hukum Islam, maka perkawinan tersebut
14
Neng Djubaedah, et al., Aspek Pidana dalam Hukum Islam, (Jakarta: Cintya Press, 2005), hlm. 121.
15
Ibid.
10
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
merupakan perkawinan antar sesama jenis dan hubungan seksual yang akan dilakukan keduanya
merupakan liwat, suatu hal yang telah jelas larangannya dalam Hukum Islam.
Pada kesimpulannya, boleh tidaknya dilakukannya suatu perkawinan antara seorang
transseksual yang telah menjalani operasi penggantian kelamin, pada akhirnya akan kembali
ditinjau dari keabsahannya melakukan operasi penggantian kelamin. Apabila seorang tersebut
memang memiliki suatu kelainan yang sifatnya biologis dalam tubuhnya, maka operasi
penggantian kelamin dapat saja dilakukan, sehingga perubahan status hukumnya menjadi sah,
dan ia dapat melakukan perkawinan dengan seseorang yang memiliki jenis kelamin yang berbeda
dengan jenis kelamin yang dimilikinya setelah operasi. Namun sebaliknya, apabila tidak terdapat
suatu kondisi biologis apapun yang menyebabkan dilakukannya operasi penggantian kelamin,
apabila operasi penggantian kelamin dilakukan hanya berdasarkan perasaan psikologis seseorang,
maka operasi penggantian kelamin tersebut tidak dapat dibenarkan oleh Hukum Islam, sehingga
setelah operasi dilakukan, dan meskipun telah mendapat putusan penetapan dari Pengadilan
Negeri atas perubahan status kelaminnya, status kelamin orang bersangkutan menurut Hukum
Islam adalah tetap mengikuti status hukum yang ia miliki sebelum ia melakukan operasi
penggantian kelamin. Oleh karena itu, apabila orang tersebut ingin melakukan perkawinan
dengan seorang yang memiliki jenis kelamin berlawanan dengan jenis kelamin fisik yang ia
miliki setelah dilakukannya operasi, hal terebut tidak dapat dilakukan.
Perkawinan Transseksual dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan mendefinisikan mengenai apa yang dimaksud
dengan perkawinan itu sendiri. Perkawinan dalam Pasal 1 diartikan sebagai ikatan lahir batin
antara pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Analisis dari Pasal tersebut jelas menyebutkan apa yang menjadi unsur-unsur terpenting
dari suatu perkawinan yaitu:
1. Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita.
2. Untuk membentuk keluarga
3. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
11
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
1. Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita.
Terhadap seorang transseksual yang telah memperoleh penetapan dari Pengadilan
mengenai perubahan status identitas seksual, timbul pertanyaan mengenai status baru tersebut.
Undang-undang Perkawinan dalam Pasal 1 memandang bahwa sebuah perkawinan hanya dapat
dilakukan antara seorang wanita dengan seorang pria. Namun, mengenai siapakah yang dapat
dikategorikan sebagai seorang wanita dalam undang-undang ini tidak terdapat penjelasannya,
apakah yang dimaksud sebagai wanita adalah termasuk mereka yang telah memperoleh
penetapan pengadilan dan dikategorikan sebagai seorang wanita atau tidak.
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa penetapan hukum dari pengadilan terhadap
status hukum seseorang seharusnya berlaku secara umum dalam setiap ranah hukum agar tidak
terjadi diskriminasi dan ketidakpastian hukum bagi seseorang. Logika yang mendasari hal
tersebut adalah, bahwa tujuan dari pengajuan permohonan tersebut tidak lain agar seseorang
hidup dengan status yang baru. Sebagai contoh dalam hal ini orang-orang seperti Vivian
Rubiyanti, Linda Wibowo, atau Tjong Sung Lang tentu mengajukan permohonan tersebut agar
dapat sepenuhnya dianggap sebagai seorang wanita, tidak hanya sekedar status di atas kertas.
Tentu akan tidak berarti adanya penetapan itu jika perubahan status tersebut tidak berlaku dalam
hal perkawinan.
Seandainya Undang-Undang Perkawinan tidak mengakomodir penetapan hukum tersebut
tentu nantinya akan terjadi inkonsistensi dalam hukum. Hal ini dapat terjadi karena di satu pihak
pengadilan memutuskan sebagai hukum bahwa seseorang telah menjadi wanita tetapi di pihak
lain undang-undang tidak mengakuinya. Sementara orang tersebut sudah melakukan prosedur
sesuai dengan Hukum Negara. Hal ini juga berlaku dalam hal status seseorang didalam akta-akta
sipil dari seseorang, dengan adanya penetapan tersebut status seseorang yang tertera di akte
kelahiran, KTP, Kartu Keluarga, maupun SIM juga harus disesuaikan dengan penetapan
pengadilan tersebut.
Dengan demikian harus dipandang bahwa penetapan pengadilan yang telah mengubah
status seseorang, berlaku pula dalam hukum perkawinan sehingga status wanita atau pria yang
diberikan terhadap seseorang oleh penetapan pengadilan juga berlaku sebagai wanita atau pria
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan.
12
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
2. Untuk membentuk keluarga
Seorang transseksual
baik transseksual pria maupun wanita meskipun yang telah
melakukan operasi penggantian kelamin tidak dapat memenuhi kebutuhan biologis untuk
memperoleh keturunan. Seorang transseksual wanita bagaimanapun tidak akan pernah dapat
menghasilkan sel telur dan transseksual pria tidak akan bisa menghasilkan sperma untuk
melanjutkan keturunan. Namun hal tersebut tentu tidak dapat menjadi alasann untuk melarang
seorang transseksual menikah. Hal ini karena seorang wanita atau pria yang bukan transseksual
karena berbagai kondisi kesehatan juga dapat berada dalam kondisi tidak memungkinkan untuk
memperoleh keturunan tetapi tentu tidak menjadikan hal tersebut alasan mereka tidak dapat
melangsungkan perkawinan.
Dengan demikian maka tujuan membentuk keluarga dalam sebuah perkawinan seperti
yang tertera dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan seharusnya dapat berlaku juga bagi
seorang transseksual yang telah mendapat penetapan pengadilan, meski tidak dimungkinkan
untuk memperoleh keturunan.
3. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Unsur yang ketiga dalam Pasal tersebut menyatakan bahwa perkawinan harus
berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini juga dipertegas dengan ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 2 yaitu perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu. Pasal ini mengartikan bahwa perkawinan di Indonesia
dapat sah dan tercatat resmi jika telah dilakukan secara sah dalam agama dan kepercayaan
masing-masing pihak.
Sebagai perbandingan, dalam penetapan yang diberikan terhadap Vivian Rubianti yang
beragama Kristen Protestan putusan diambil setelah didukung oleh kesaksian dari pemuka agama
(Pendeta Eka Darma Putra) yang menyetujui perubahan jenis kelamin tersebut. Dalam agama
Kristen katolik terdapat pendapat dari Romo William P Saunders seorang Pastor di Gereja Our
Lady of Hope Parish di Potomac Falls dan seorang Profesor katekis dan Teologis di
Christendoms Notre Dame Graduate School di Alexandria bahwa seorang transseksual tidak akan
13
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
pernah dapat secara sah menerima Sakramen Perkawinan.16 Seorang laki-laki yang menjalani
operasi ganti kelamin tidak akan pernah dapat sungguh menjadi seorang perempuan, demikian
pula sebaliknya. Sesungguhnya seorang laki-laki akan tetap seorang laki-laki untuk selamanya
atau seorang perempuan akan tetap seorang perempuan untuk selamanya) hanya saja dengan
anggota tubuh yang telah ditutupi dan menderita kekacauan psikologis yang hebat. 17
Dalam pandangan Islam secara umum memandang bahwa operasi penggantian kelamin
hanya dibenarkan kepada mereka yang digolongkan sebagai Khuntsa Musykil yaitu mereka yang
ditakdirkan memiliki kelamin ganda atau mengalami ketidakjelasan kondisi fisik antara wanita
atau pria. Dalam kasus tersebut Islam memandang operasi dapat dilakukan karena bertujuan
memperjelas status seseorang, tetapi dalam kasus transseksual yang tidak mengalami kelainan
fisik apapun di alat kelaminnya menjadi tidak sah dalam agama Islam, tetapi hal tersebut tidak
secara pasti dapat disimpulkan mengingat banyaknya perbedaan pendapat dan tafsir dalam
memandang perubahan status seksual seseorang.
Hal ini diperkuat dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram
operasi mengganti jenis kelamin. Artinya, jika secara fisik sudah dapat dipastikan seseorang
memiliki satu jenis kelamin, maka tidak diperbolehkan melakukan operasi ganti kelamin.18
Menurut Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam, tidak dibolehkan seseorang dengan
sengaja mengubah jenis kelaminnya karena keinginan semata. Meski secara medis pergantian
kelamin bisa dilakukan dan bisa disahkan pengadilan, Asrorun menegaskan hal itu tidak
diperbolehkan karena haram dalam hukum Islam. Jika ada yang sudah terlanjur melakukan
pergantian jenis kelamin, maka hukum bagi yang bersangkutan berlaku sebelum dia operasi. Jika
dia seorang laki-laki yang ganti kelamin menjadi perempuan, maka dilarang menikah dengan
16
Sakramen Perkawinan dalam hal ini dapat diartikan sebagai pemberkatan perkawinan oleh gereja Katolik.
17
Moralitas Operasi Ganti Kelamin oleh Romo William P Saunders, <http://yesaya.indocell.net/id898.htm>
, Diunduh pada 1 Juni 2014 Jam. 22.14 WIB
18
Fatwa
MUI,
Operasi
Ganti
Kelamin
Haram,
<http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/02/14/mi5z5t-fatwa-mui-operasi-ganti-kelamin-haram>
,
Diunduh Pada 1 Juni 2014 Jam 14. 26 WIB
14
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
laki-laki, tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan perempuan, termasuk pula hak warisnya
tetap sebagai laki-laki.19
Selain itu juga perlu dikaji mengenai kedudukan transseksual terkait dengan ketentuan
mengenai larangan perkawinan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 8 Undang-Undang
Perkawinan. Namun jika transseksual sudah memenuhi syarat formil dan materil untuk
melaksanakan perkawinan maka demi kepastian huku, perkawinan tersebut dapat diakui jika
sudah dilakukan sesuai tata cara agama (memenuhi unsur Pasal 2). Sehingga sah akibat
perkawinan menurut agama dan Hukum Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
undang-undang Perkawinan tidak membatasi hak seorang transseksual untuk dapat menikah
dengan status yang baru.
Mengenai hak dan kewajiban suami isteri sebagaimana diatur dalam bab VI UndangUndang Perkawinan perlu dilihat bagaimana penerapannya dalam kasus transseksual. Secara
umum mengenai kewajiban suami istri yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan tidak ada
yang bertentangan dengan keberadaan kaum transseksual. Dalam hal hak dan kewajiban suami
istri di Pasal 33 dimana suami dan istri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia
dan member bantuan lahir batin hal tersebut tetap dapat dipenuhi dalam kasus transseksual
sekalipun. Jika yang dimaksud dengan memberi bantuan lahir-batin salah satunya adalah
memenuhi kebutuhan seksual pasangannya maka berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri
Surabaya Nomor 26/Pdt/1985/SP dalam kasus Linda Wibowo bahwa seorang yang telah
dioperasi ganti kelamin tetap dimungkinkan untuk mengadakan hubungan seksual, sehingga
kewajiban tersebut tetap dapat dilaksanakan oleh mereka yang telah melakukan operasi
penggantian kelamin.
Pada intinya dapat dilihat bahwa ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UndangUndang Perkawinan tetap memungkinkan bagi seorang transseksual untuk dapat melangsungkan
perkawinan dengan status baru jika telah memperoleh penetapan dari Pengadilan Negeri
mengenai perubahan status hukum. Hal ini karena tidak terdapat pelarangan yang tegas bagi
seseorang yang telah berganti statusnya untuk melangsungkan perkawinan. Adapun pelarangan
tetap dimungkinkan jika ditentukan berbeda dalam hukum agama masing-masing, tetapi
19
Ibid.
15
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
ketentuan tersebut ada diluar ruang lingkup pengaturan perkawinan dalam Undang-Undang
Perkawinan.
Kesimpulan
Hukum Islam memandang suatu tindakan operasi penggantian kelamin (sex reassignment
surgery) merupakan suatu hal yang diharamkan. Namun, terdapat pengecualian boleh dilakukan
apabila dalam keadaan memaksa. Dimana kondisi transseksual tersebut memang mengalami
kelainan biologis, yang mana suatu kelainan yang berada diluar kuasanya sebagai manusia.
Namun diluar itu, operasi penggantian kelamin (sex reassignment surgery) tetap merupakan suatu
hal yang haram hukumnya bagi seseorang yang tidak memiliki kelainan bawaan dan hanya
memiliki masalah psikologis. Selain itu, akibat hukum yang ditimbulkan dengan adanya
penetapan pengadilan tentang perubahan jenis kelamin seseorang adalah sebagai berikut; a. Perlu
dilakukannya penyesuaian dalam akta sipil yang terkait seperti Akta Kelahiran, Kartu Tanda
Penduduk, maupun Surat Izin Mengemudi dengan status baru yang telah ditetapkan oleh
Pengadilan. Berlaku juga perubahan tersebut di dalam ruang lingkup hukum perkawinan
khususnya yang diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan. Hal ini demi adanya suatu
konsistensi dan kepastian dalam hukum. b. Apabila secara Hukum Islam suatu perubahan status
kelamin tidak dapat dibenarkan, maka secara Hukum Islam, status hukum orang tersebut masih
tetap sama seperti sebelum melakukan operasi penggantian kelamin, yakni apabila operasi
dilakukan terhadap perempuan menjadi laki-laki, maka status hukum orang tersebut berdasarkan
Hukum Islam masih merupakan status hukum perempuan, begitupun sebaliknya. Sehingga,
meski telah mendapatkan putusan penetapan dari Pengadilan Negeri atas perubahan status
kelaminnya sekalipun, status kelamin orang bersangkutan menurut Hukum Islam adalah tetap
mengikuti status hukum yang ia miliki sebelum ia melakukan operasi penggantian kelamin.
Sehingga, apabila orang tersebut ingin melakukan perkawinan dengan seorang yang memiliki
jenis kelamin berlawanan dengan jenis kelamin fisik yang ia miliki setelah dilakukannya operasi,
hal terebut tidak dapat dilakukan. c. Meski Undang-Undang perkawinan mendasarkan sah
tidaknya suatu perkawinan juga ditentukan oleh ketentuan dalam tiap-tiap agama maka tetap
dimungkinkan bagi seorang transseksual yang telah mendapat penetapan dari pengadilan untuk
melangsungkan perkawinan. Dengan syarat perkawinan tersebut tidak dilarang atau tidak
bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam agama dari orang yang bersangkutan.
16
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
Saran
Terhadap permohonan pengubahan jenis kelamin yang diajukan oleh seorang
transseksual, hendaknya hakim yang bertindak sebagai pengambil keputusan tersebut juga
meninjau hukum dari agama seorang transseksual tersebut. Sehingga keputusan tidak hanya
berasal dari pendapat para ahli Operasi Penggantian Kelamin (Sex Reassignment Surgery) saja.
Hal ini dengan alasann untuk menghindari operasi yang berlatar belakang pengingkaran terhadap
ciptaan Yang Maha Kuasa. Oleh karena hingga saat ini pengaturan mengenai Operasi
Penggantian Kelamin (Sex Reassignment Surgery) belum diatur secara khusus. Padahal dengan
perkembangan zaman seperti sekarang ini, peraturan secara khusus mengenai Operasi
Penggantian Kelamin (Sex Reassignment Surgery) tersebut sangat diperlukan oleh masyarakat.
Pembentukan suatu pengaturan tentang Operasi Penggantian Kelamin (Sex Reassignment
Surgery) agar segera dapat dibuat secara rinci, dimulai dari proses sebelum dilakukan Operasi
Penggantian Kelamin (Sex Reassignment Surgery) hingga setelah dilakukan operasi. Aturan
tersebut mencakup baik dari segi psikologis, kesehatan (kedokteran), hukum hingga persoalan
yang berhubungan dengan aturan dari agama seorang pasien.
Daftar Referensi
Buku:
Al-„Aliyy, Al- Qur‟an dan Terjemahannya:, cet. 10, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2009),
Al- Qardhawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer: Jilid 3. Jakarta: Gema Insani Press, 2002
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Cet. 15. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Cet. 1. Jakarta: Grafikatama Jaya, 1991.
Djubaedah, Neng. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum
Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam. Cet. 1 Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Djubaedah, Neng, Sulaikin Lubis, dan Farida Prihatini. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.
Jakarta: PT. Hecca Mitra Utama, 2005.
Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan 1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007
Junus, Mahmud. Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta: CV. Al Hidayah, 1964
Kartono, Kartini. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: Mandar Maju, 1989.
17
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
Majelis Ulama Indonesia. Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975. Jakarta:
Erlangga, 2011.
Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Prakoso, Joko dan I Ketut Murtika. Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia,. Jakarta: PT
Bina Aksara, 1987.
Sa‟abah, Marzuki Umar. Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam.
Jogjakarta: UII Press, 2011
Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1982.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: Rajawali Pers, 2001
Subekti, Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan Kekeluargaan
Perdata Barat. Cet. 1 Jakarta: Gitama Jaya, 2005.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan. Cet. 2. Jakarta: Prenada Media, 2006.
Yash. Transeksual: Sebuah Studi Kasus Perkembangan Transeksual Perempuan ke Laki-Laki.
Cet. 1. Semarang: Aini, 2003.
Yatimin. Etika Seksual dan Penyimpangannya dalam Islam: Tinjauan Psikologi Pendidikan dari
Sudut Pandang Islam. Jakarta: Amzah, 2008.
Peraturan Perundang-Undangan:
Indonesia. Undang-Undang tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, UU No. 22 Tahun
1946.
_______. Undang-Undang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974. LN No. 1 Tahun 1974. TLN No.
3019.
_______. Kompilasi Hukum Islam. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991.
_______. Undang-Undang Administrasi Kependudukan. UU No. 23 Tahun 2006. LN
No. 124 Tahun 2006. TLN No. 4674.
_______. Peraturan Presiden tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil. Perpres No. 25 Tahun 2008.
18
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
_______. Undang-Undang tentang Kesehatan. UU No. 36 Tahun 2009. LN No. 144 Tahun 2009.
TLN No. 5063.
_______. Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No. 48 Tahun 2009. LN No. 157
Tahun 2009. TLN No. 5076.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan
R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.
Menteri Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan tentang Penunjukkan Rumah Sakit Sebagai
Tempat
dan
Pelaksanaan
Operasi
Penyesuaian
Kelamin.
Kepmenkes
No.
191/MENKES/SK/III/1989.
Makalah:
Ali, Mohammad Daud. “Operasi Pergantian Kelamain Beberapa Masalah dilihat dari Segi
Hukum Islam.” Makalah disampaikan pada Seminar Aspek Hukum dan Operasi
Pergantian Kelamin, Departemen Kesehatan R.I., Maret 1978.
Nasution, Adnan Buyung. “Kasus Vivian: Beberapa Permasalahan Hukum.” Makalah
disampaikan pada Seminar Aspek Hukum dan Operasi Pergantian Kelamin,
Departemen Kesehatan R.I., Maret 1978.
Skripsi:
Anggini, Beta. “Aspek Hukum Perdata pada Penderita Transeksual Akibat Operasi Penyesuaian
Kelamin Ditinjau dari Sudut Hukum Kesehatan.” Skripsi Sarjana Universitas
Indonesia. Depok, 2001.
Caturwati, Diah. “Aspek Perdata Penyesuaian Kelamin Bagi Transeksual dalam Hukum
Kesehatan.” Skripsi Sarjana Universitas Indonesia. Depok, 1999.
Hapsari, Gita Rianty. “Kewenangan Kantor Urusan Agama Dalam Perkawinan Seorang Transseksual
yang Telah Diakui Perubahan Statusnya oleh Pengadilan Negeri Ditinjau Dari Hukum Islam."
(skripsi Sarjana Hukum) Depok: Universitas Indonesia, 2012.
Prismawarni, Rezky. “Kedudukan Ahli Waris Transseksual Yang Telah Melakukan Operasi
Penggantian Kelamin (Sex Reassignment Surgery) Dalam Hukum Kewarisan Islam.”
Skripsi Sarjana Universitas Indonesia. Depok, 2012.
Wulandari, Anita. “Gambaran Proses Pengambilan Keputusan pada Transeksual Laki-Laki yang
Menjalani dan Tidak Menjalani Operasi Pengubahan Kelamin.” Skripsi Sarjana
Universitas Indonesia. Depok, 2006.
19
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
Jurnal
Muchit, Dja‟far Abd. “Problematika Hukum Waria (Khuntsa) dan Operasi Kelamin”
http://www.scribd.com/doc/107520669/Problematika-Hukum-Waria. Diunduh 2 Februari 2014.
Riadi, M. Erfan. “Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis
Yuridis Normatif)”. http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jphi/article/view/1305/1398.
Diunduh 7 Mei 2014.
Setyowati, Ro‟fah, Dyah Wijaningsih dan Edy Sismarwoto. “Laporan Akhir Penelitian
Pengubahan Status Kelamin Terhadap Penderita Transgender (Transeksual): Perspektif
Hukum dan Pra Pasca Tindakan Penyesuaian Kelamin di RS. Dr. Kariadi Semarang
dan RS. Dr. Soetomo Surabaya” http://eprints.undip.ac.id/19716/1/2988-ki-fh-06.pdf.
Diunduh tanggal 12 Maret 2014.
Internet:
Isnaeni,
Hendri.
“Viva
Vivian!”,
http://historia.co.id/artikel/2/803/0/Majalah-
Historia/Viva_Vivian!/page/1 Diunduh tanggal 4 Januari 2014
Badan
Pusat
Statistik.
“Jumlah
dan
Distribusi
Penduduk”
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/topik?kid=1&kategori=Jumlah-dan-DistribusiPenduduk. Diunduh 10 Januari 2014.
Faradz,
Sultana
MH.
“Kelamin
Ganda,
Penyakit
atau
Penyimpangan
Gender?”
http://www.fk.undip.ac.id/artikel-lepas/kelamin-ganda-penyakit-ataupenyimpangangender-.html. Diunduh 3 April 2014.
Pelayanan
Media
Antiokhia
(PAMA).
“Ganti
Kelamin
1”.
http://www.youtube.com/watch?v=vRmSy6Q0qzY. Diunduh 8 April 2013.
Ruslan, Heri. “Hukum Mengubah Jenis Kelamin 1”. http://www.republika.co.id/berita/duniaislam/fatwa/12/10/10/mbnyj1-hukummengubah-jenis-kelamin-1. Diunduh 16 April
2014.
Yasira. “Fitrah Menurut Bahasa, Istilah, dan Syariat” http://id.shvoong.com/writing-andspeaking/2038288-fitrah-menurutbahasa-istilah-dan/#ixzz2Sb4ZFNLO.
Diunduh
tanggal 7 Juni 2014.
20
Hukum perkawinan..., Melly Afrissyah, FH UI, 2014
Download