Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015 - E

advertisement
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015
MEMBANGUN KONSEP DIRI POSITIF BAGI
PENYANDANG EPILEPSI
Sri Dewi Setiawati
Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas BSI Bandung
Jalan Sekolah Internasional No. 1-6 Antapani Bandung 40282
[email protected]
Abstract - The concept of self is our way to form a character in us, that can make some
difference us with others. Interaction with the concept of self is our way to build selfconfidence to be able to interact with the environment .The concept of self is our way to build
self-confidence, because readiness of ourselves influence the way of communication, and so
for the people with epilepsy. many people thought that epilepsy is a disease that is
transmitted through the saliva of patients. And some people thought that epilepsy is somekind
of insanity, or even there are people think that epipelsy is a gift. these negative stigma's made
people with epilepsy eliminated. it is important for people with epilepsy, to get interact with
the social environment without shame or be affraid. such as, to build a positive concept of
self. this research's using case study methode in order to knowing how to build a positive
concept of self. The focus of this research is to find how the process of building an inner
wisdom, build realization of it self and the last is the display to the public.
Keyword : concept of self, personal communications, epilepsy
Abstrak - Konsep diri adalah cara kita untuk membentuk karakter dalam diri kita, yang dapat
membedakan kita dengan yang lain. rinteraksi dengan bkonsep diri adalah cara kita untuk
membangun kepercayaan diri untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarmnya.
Konsep diri merupakan cara kita untuk membangun kepercayaan diri Kesiapan diri kita
mempengaruhi jalannya komunikasi, begitu pula bagi orang dengan epilepsi (ODE). Banyak
masyarakat yang menganggap bahwa epilepsi adalah penyakit yang menular melalui air liur
penderita. Ada juga yang menganggap epilepsi adalah penyakit jiwa, atau bahkan ada yang
menganggap epilepsi itu adalah tanda ketika manusia kan memiliki kelebihan khusus.
Stigma-stigma negative ini yang membuat ODE semakin tersudutkan. Penting bagi ODE
untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan tanpa rasa malu, minder atau takut, caranya
adalah dengan membangun konsep diri yang positif. Penelitian ini dilakukan dengan
mengunakan metode studi kasus untuk mengetahui bagaimana cara untuk membangun
konsep diri yang positif. Focus dalam penelitian ini adalh untuk mencari bagaimana proses
membangun keatifan dalam diri penyandang, membangun realisasi dari dalam diri dan yang
terkahir adalah display kepada public.
Kata kunci : Konsep Diri, Komunikasi Antar Pribadi, Epilepsi
ISSN: 2355-0287
71
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015
PENDAHULUAN
Proses komunikasi tidak hanya sebatas
proses
menyampaikan
pesan
dari
komunikator kepada komunikan, tetapi
berawal dari proses berfikir dan produksi
pesan dari dalam diri komunikator.
Berfikir
dan
memproduksi
pesan
dipengaruhi oleh bagaimana kondisi
psikologis dalam diri komunikator.
Konteks seperti ini termasuk dalam ranah
komunikasi
intrapribadi,
dalam
komunikasi intra pribadi kita membahas
factor psikologis diri komunikator
sehingga terjadi proses komunikasi.
Kepercayaan diri, membangun persepsi
merupakan hal yang penting dalam
keberlangsungan
proses
komunikasi,
termasuk di dalamnya adalah konsep diri.
Konsep diri adalah upaya kita untuk
memahami diri kita melalui pertanyaan
yang diajukan pada diri kita sendiri , siapa
diri kita?, bagaimana diri kita? Apa
keahlian kita? Apa passion kita? Apa
tujuan kita?. Membangun konsep diri
sangat penting dalam proses komunikasi.
Konsep diri adalah cara kita untuk
membentuk karakter dalam diri kita, yang
dapat membedakan kita dengan yang lain.
rinteraksi dengan bkonsep diri adalah cara
kita untuk membangun kepercayaan diri
untuk
dapat
berinteraksi
dengan
lingkungan sekitarmnya. Konsep diri
merupakan cara kita untuk membangun
kepercayaan diri Kesiapan diri kita
mempengaruhi
jalannya
komunikasi.
Seorang yang percaya diri, maka proses
komunikasi yang dilakukannya akan
berjalan dengan baik. Seseorang yang
rendah diri akan merasa kesulitan untuk
dapat melakukan komunikasi.
Menurut Adi W. Gunawan (2005),
konsep diri diibaratkan sebagai sebuah
sistem yang menjalankan komputer mental
yang mempengaruhi kemampuan berpikir
seseorang. Konsep diri yang telah terinstall akan masuk ke pikiran bawah sadar
dan mempunyai bobot pengaruh sebesar
88% terhadap level kesadaran seseorang.
ISSN: 2355-0287
Artinya, konsep diri merupakan hal yang
paling
mempengaruhi
bagaimana
keberhasilan dan kegagalan dalam diri kita.
Setiap manusia yang hidup di
lingkungan sosial harus memiliki konsep
diri, sebagai identitas dan karakter diri kita.
Manusia yang tidak memiliki karakter
pasti akan terlihat sama dengan manusia
lainnya, sehingga akan sulit untuk
dibedakan. Sebagai manusia tentunya kita
ingin terlihat lebih dibandingan dengan
manusia lainnya, hal ini manusiawi.
Kelibahan dalam diri setiap manusia bisa
terbentuk dengan konsep diri yang baik.
Tokoh-tokoh yang sukses dan berpengaruh
dapat dipastikan kalau mereka memiliki
konsep diri yang baik dalam dirinya.
Konsep diri juga dapat berpengaruh ketika
kita berinteraksi, manusia yang memiliki
konsep diri yang baik maka dia akan lebih
percaya diri.
Konsep diri harus dimiliki oleh setiap
manusia. Manusia dilahirkan secara
sempurna tanpa kurang suatu apapun, dia
hanya perlu mengenal dirinya untuk dapat
membangun konsep diri yang positif.
Kondisinya
berbeda
jika
manusia
dilahirkan atau memiliki kondisi yang
berbeda dengan manusia pada umumnya.
Mereka yang merasa memiliki kekurangan
dalam dirinya akan merasa sulit untuk
membangun konsep diri yang positif,
seperti yang terjadi pada penyandang
epilepsi.
Kita
sering
menganggap
para
penyandang epilepsi adalah orang-orang
yang terkucilkan. Kita selalu menganggap
mereka aneh, berbeda dengan kita, tetapi
pada kenyataan mereka sama dengan kita,
hanya saja mereka memiliki gangguan
yang mengakibatkan kondisi kejang dalam
dirinya dan dapat menyerang sewaktuwaktu. Diluar dari itu semua mereka tidak
berbeda dengan manusia pada umumnya.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa
banyak para penderita epilepsi yang belum
mampu membangun konsep diri yang
positif dalam dirinya. Hal ini menyebabkan
para penyandang semakin terkucilkan.
72
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015
Bukan tidak mungkin kalau ternyata para
penyandang epilepsi memiliki kemampuan
yang lebih dibandingkan dengan kita
manusia umum. Membangun konsep diri
positif bagi penyandang epilepsi sangat
penting.
Orang Dengan Epilepsi (ODE) mereka
juga memiliki potensi dalam dirinya,
mereka
harus
berinteraksi
dengan
lingkungannya, karena mereka tidak bisa
hidup sendiri. Epilepsi adalah penyakit
yang ditimbulkan karena adanya jaringan
syarap otak yang tergangu sehingga
menimbulkan
kejang-kejang
atau
bangkitan pada tubuh. Epilepsi dapat
timbul karena bawaan lahir, ataupun terjadi
trauma
atau
kecelakaan
yang
mengakitakan tergangguranya system
syaraf di otak. Berdasarkan pejelasan
tersebut, sangat jelas bahwa epilepsi bukan
penyakit yang disebabkan oleh virus yang
dapat menular seperti ketika kita terkena
flu. Kondisi ini masih belum dapat
dipahami oleh masyarakat, sehingga
banyak stigma negative yang timbul
karena epilepsi.
Kata “epilepsi” berasal dari bahasa
Yunani, “epilambanein” yang berarti
“serangan” dan menunjukkan bahwa
“sesuatu dari luar badan seseorang
menimpanya,
sehingga
ia
jatuh”.
Penelitian-penelitian selanjutnya banyak
dilakukan oleh berbagai negara untuk
mengungkap pemahaman lebih dalam
mengenai
epilepsi
dan
cara
penanggulangannya. Epilepsi menurut
etiologi dalam neurologi klinis sebenarnya
bukan
merupakan
suatu
penyakit,
melainkan suatu gejala yang dapat timbul
karena penyakit. Secara umum dapat
dikatakan bahwa serangan epilepsi dapat
timbul jika terjadi pelepasan aktivitas
energi yang berlebihan dan mendadak
dalam otak sehingga menyebabkan
terganggunya kerja otak. Otak secara cepat
dapat mengoreksinya dan segera bekerja
normal kembali sehingga gejalanya hilang.
Itulah sebabnya epilepsi disebut kelainan
yang khas, karena di luar serangan
ISSN: 2355-0287
penyandang epilepsi adalah individu yang
normal (Harsono dalam Anindita, 2010).
Di dunia ini, kasus epilepsi cukup
sering
dijumpai.
Dalam
bukunya Epilepsi, Prof. Dr. dr. S.M.
Lumbantobing, seorang pakar saraf negeri
ini menyebutkan, prevalensi epilepsi di
seluruh dunia mencapai 5-20 orang per
1000 penduduk. Sayangnya belum ada
penelitian tentang berapa tepatnya
prevalensi epilepsi di Indonesia. Namun
diperkirakan berkisar antara 0,5-1,2%. Jadi
dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa,
populasi penderita epilepsi mencapai
2.100.000 orang .Epilepsi dihubungkan
dengan kejadian seseorang tidak sadarkan
diri, terjatuh, tubuh tegang, lalu disusul
dengan gerakan-gerakan kejang tanpa
terkendali di seluruh tubuh.1
Epilepsi di Indonesia dikenal dengan
berbagai nama seperti penyakit ayan,
sawan, celeng, dan lain-lain. Ironisnya di
abad ke-21 sekarang ini, masih ada
masyarakat yang menganggap epilepsi
bukan sebagai penyakit melainkan sebagai
akibat dari kekuatan gaib, kutukan,
kesurupan, bahkan sering dikaitkan dengan
penyakit jiwa atau keadaan dengan
inteligensi rendah. Epilepsi juga masih
dirasakan sebagai aib (Mardjono dalam
Anindita 2010).
Banyak masyarakat yang menganggap
bahwa epilepsi adalah penyakit yang
menular melalui air liur penderita. Ada
juga yang menganggap epilepsi adalah
penyakit jiwa, atau bahkan ada yang
menganggap epilepsi itu adalah tanda
ketika manusia kan memiliki kelebihan
khusus. Stigma-stigma negative ini yang
membuat ODE semakin tersudutkan.
Beberapa kasus terjadi ketika terjadi
serangan kejang atau bangkitan para ODE
tidak ada yang menolong, karena
masyarakat ketakutan dan menghindarinya,
sehingga bukan tidak mungkin ODE dapat
kehilangan nyawa karena tidak ada
1
http://www.inaepsy.org/2011/05/mengenalpenyakit-kuno-epilepsi.html diakses pada
tanggal 25 maret 2015 jam 13:20
73
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015
perlindungan ketika terjadi serangan.
Seharusnya, lingkungan sekitarlah yang
berperan jika ODE terjadi serangan,
contohnya misalnya menjaga agar aliran
nafas tetap berjalan lancar, menghadari
dari benda-benda yang berbahaya, karena
biasanya ketika ODE terjadi serangan
mereka tidak sadarkan diri. Selain dari
segi medis, lingkungan di sekitar ODE
sangat berperam aktif dalam membangun
konsep diri yang positif.
Stigma-stigma
dalam
masyarakat
membuat para ODE semakin mengucilkan
diri, mereka takut kondisinya di ketahui
oleh orang lain karena mereka takut
terkucilkan. Tidak semua ODE menyerah
dengan stigma buruk dari masyarakat, ada
juga ODE yang dapat bangkit dan
menunjukkan siapa dirinya. Tokoh-tokoh
dunia seperti Napoleon Bonaparte, Julius
Caesar, Mozart, siapa yang tak kenal
mereka? Dan siapa yang menyangka kalau
mereka pun adalah salah satu dari ODE.
Artinya, tidak menutup kemungkinan bagi
ODE untuk dapat berprestasi dan
menunjukkan dirinya, asalkan dapat
membangun konsep diri yang positif.
Jurnal ini merupakan kelanjutan dan
pengembangan dari peneletian sebelumnya
yang membahas mengenai konsep diri
penyangdang epilepsi yang dilakukan oleh
Dasrun Hidayat dan Sri Dewi Setiawati.
Penelitian tersebut menghasilkan tiga
kesimpulan bagaimana konsep diri ODE.
Pertama, makna keunggulan, dimana para
ODE dapat memknai kondisi mereka
secara
positif,
kedua,
makna
keseimbangan, dimana para ODE masih
membatasi pada lingkungan tertentu
tentang kondisi mereka tetapi terbuka pada
lingkungan dekat, dan yang terkahir makna
keterpurukan, dimana para ODE benarbenar menutup diri dari lingkungannya dan
takut lingkungannya mengethaui kondisi
yang sebenarnya.
Penelitian tersebut menyebutkan bahwa
ada ODE yang memaknai kondisi mereka
sebagai sebuah keunggulan, maka dalam
penelitian ini akan dibahas mengenai
bagaimana makna keunggulan tersebut
ISSN: 2355-0287
dapat terbentuk. Penelitian ini tentunya
diharapkan dapat menjadi masukan yang
positif bagi para ODE untuk dapat
meningkatkan konsep diri mereka dan
berprestasi di lingkungan sekitarnya.
METODE PENELITIAN
John W. Creswell dalam buku
Qualitative Inquiry And Research Design
menyatakan bahwa fokus studi kasus
adalah spesifikasi kasus dalam suatu
kejadian baik itu yang mencakup individu,
kelompok budaya, ataupun suatu potret
kehidupan.
Lebih lanjut Creswell mengemukakan
beberapa karakteristik dari suatu studi
kasus yaitu : (1) mengidentifikasi “kasus”
untuk suatu studi; (2) kasus tersebut
merupakan sebuah “sistem yang terikat”
oleh waktu dan tempat; (3) studi kasus
menggunakan berbagai sumber informasi
dalam pengumpulan datanya untuk
memberikan gambaran secara terinci dan
mendalam tentang respons dari suatu
peristiwa
dan
(4)
menggunakan
pendekatan studi kasus, peneliti akan
“menghabiskan
waktu”
dalam
menggambarkan konteks atau setting untuk
suatu kasus.
Berdasarkan paparan di atas, dapat
diungkapkan bahwa studi kasus adalah
sebuah eksplorasi dari “suatu sistem yang
terikat” atau “suatu kasus/beragam kasus”
yang dari waktu ke waktu melalui
pengumpulan data yang mendalam serta
melibatkan berbagai sumber informasi
yang “kaya” dalam suatu konteks. Sistem
terikat ini diikat oleh waktu dan tempat
sedangkan kasus dapat dikaji dari suatu
program, peristiwa, aktivitas atau suatu
individu. Dengan perkataan lain, studi
kasus merupakan penelitian dimana
peneliti menggali suatu fenomena tertentu
(kasus) dalam suatu waktu dan kegiatan
(program, even, proses, institusi atau
kelompok sosial) serta mengumpulkan
informasi secara terinci dan mendalam
dengan menggunakan berbagai prosedur
pengumpulan data selama periode tertentu.
74
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015
Selanjutnya Creswell mengungkapkan
bahwa apabila kita akan memilih studi
untuk
suatu
kasus
seyogyanya
menggunakan berbagai sumber informasi.
Konteks kasus dapat “mensituasikan”
kasus di dalam settingnya yang terdiri dari
setting fisik maupun setting sosial, sejarah
atau setting ekonomi. Sedangkan fokus di
dalam suatu kasus dapat dilihat dari
keunikannya, memerlukan suatu studi
(studi kasus intrinsik) atau dapat pula
menjadi suatu isu (isu-isu) dengan
menggunakan kasus sebagai instrumen
untuk menggambarkan isu tersebut (studi
kasus instrumental). Ketika suatu kasus
diteliti lebih dari satu kasus hendaknya
mengacu pada studi kasus kolektif .
Menurut Creswell, pendekatan studi
kasus lebih disukai untuk penelitian
kualitatif. Untuk itu Creswell menyarankan
bahwa peneliti yang akan mengembangkan
penelitian studi kasus hendaknya pertamatama, mempertimbangan tipe kasus yang
paling tepat. Kasus tersebut dapat
merupakan suatu kasus tunggal atau
kolektif , banyak tempat atau di dalam
tempat, berfokus pada suatu kasus atau
suatu isu (intrinsik-instrumental).
Kedua, dalam memilih kasus yang akan
diteliti dapat dikaji dari berbagai aspek
seperti
beragam
perspektif
dalam
permasalahannya, proses atau peristiwa.
Ataupun dapat dipilih dari kasus biasa,
kasus yang dapat diakses atau kasus yang
tidak biasa.
Lebih lanjut Creswell mengemukakan
beberapa
“tantangan”
dalam
perkembangan studi kasus kualitatif
sebagai berikut :
1. Peneliti
hendaknya
dapat
mengidentifikasi kasusnya dengan baik
2. Peneliti hendaknya mempertimbangkan
apakah akan mempelajari sebuah kasus
tunggal atau multikasus
3. Dalam memilih suatu kasus diperlukan
dasar pemikiran dari peneliti untuk
melakukan strategi sampling yang baik
sehingga dapat pula mengumpulkan
informasi tentang kasus dengan baik
pula
ISSN: 2355-0287
4. Memiliki banyak informasi untuk
menggambarkan secara mendalam
suatu kasus tertentu.
Dalam merancang sebuah studi kasus,
peneliti dapat mengembangkan sebuah
matriks pengumpulan data dengan
berbagai informasi yang dikumpulkan
mengenai suatu kasus
5. Memutuskan “batasan” sebuah kasus.
Batasan-batasan tersebut dapat dilihat
dari aspek waktu, peristiwa, dan proses
Pada
penelitian
ini
penulis
menggunakan manusia sebagai instrumen
utama. Penulis melakukan wawancara
mendalam, observasi partisipatif ditambah
dengan studi literatur. Dari hasil
wawancara mendalam, juga berdasarkan
hasil observasi partisipatif dilapangan
ditambah studi literatur berdasarkan buku,
jurnal, serta
artikel blog dari para
akademisi, maka peneliti melakukan
proses analisis data dengan cara mereduksi
data. Proses reduksi data yang dilakukan
peneliti meliputi memilih data, menyaring
data, mengkode data serta menajamkan
data yang kemudian membuat abstraksi.
Abstraksi merupakan usaha membuat
rangkuman yang inti, proses, dan
pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga
sehingga
tetap
berada
didalamnya
(Moleong, 1999:190).
Setelah melakukan reduksi data maka
peneliti mencoba untuk menyajikan data
dengan membuat tabel, bagan atau grafik.
Kemudian setelah proses penyajian data
maka proses terakhir adalah penarikan
kesimpulan. Analisis data merupakan
bagian terpenting dalam penelitian. Data
yang dikumpulkan akan bermakna dan
berguna dalam menjawab permasalahan
penelitian jika diolah dan dianalisis.
Creswell berasumsi bahwa analisis data
merupakan proses berkelanjutan yang
membutuhkan
refleksi terus-menerus
terhadap data, mengajukan pertanyaanpertanyaan analitis dan menulis catatan
singkat sepanjang penelitian.
Dalam penelitian apapun dan siapapun
penelitinya menginginkan data yang
75
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015
mampu dipertanggungjawabkan, karena
keabsahan data bersifat krusial dalam
peneitian kualitatif. Untuk menentukan
keabsahan data maka ada beberapa teknik
yang bisa digunakan seperti realibilitas,
validitas, dan generalisabilitas. Peneliti
menguji keabsahan data dalam penelitian
ini, maka digunakan teknik
validitas
dengan
pendekatan
triangulasi.
Triangulasi bisa diartikan sebagai usaha
untuk mengecek kebenaran data atau
informasi yang diperoleh penulis dari
berbagai sudut pandang yang berbeda
dengan cara mengurangi sebanyak
mungkin bias yang terjadi pada saat
pengumpulan dan analisis data. Menurut
Patton triangulasi dibedakan menjadi
beberapa jenis, yaitu, triangulasi data
(disebut
juga
triangulasi
sumber),
triangulasi metode, triangulasi teori, dan
triangulasi peneliti (Pawito, 99:2007). Dari
empat jenis triangulasi di atas, penulis
menggunakan
pendekatan
triangulasi
metode dan triangulasi data. Triangulasi
metode
menuntut
penulis
untuk
membandingkan temuan data dari hasil
catatan lapangan selama observasi
partisipatif dengan hasil transkip atau
rekaman dari wawancara mendalam.
Sementara triangulasi data menuntut
penulis untuk menggunakan berbagai
sumber data seperti dokumen, arsip, hasil
wawancara, hasil observasi, atau juga
dengan mewawancarai lebih dari satu
subjek yang dianggap memiliki sudut
pandang berbeda. Alasan penulis menguji
keabsahan data dengan pendekatan
triangulasi adalah untuk mengetahui
fenomena
tunggal
yang
sedang
berlangsung dari sudut pandang yang
berbeda-beda
dan
memungkinkan
mendapatkan kebenaran yang bisa
dipertanggungjawabkan serta mengurangi
bias dan subjektivitas. Sebagaimana
diketahui penulis merupakan instrumen
utama dalam penelitian kualitatif, sehingga
sulit terhindar dari bias dan subjektivitas.
Menurut Moleong setiap penelitian
memerlukan uji keabsahan data atau uji
validitas dan pemeriksaan terhadap
ISSN: 2355-0287
keabsahan data mutlak dilakukan sehingga
penelitian tersebut benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan dari segala segi.
Sedangkan menurut Creswell menyatakan
bahwa validitas data merupakan kekuatan
lain dalam penelitian kualitatif selain
reliabilitas.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil temuan peneliti di
lapangan bahwa terdapat pola yang sama
yang dilakukan oleh seluruh narasumber
yang telah memberikan makna positif
mengenali kondisi diri mereka. Fenomena
ini dikaji berdasarkan teori konstruksi
sosial diri positif, sehingga yang akan
menjadi pembahasan dalam penelitian ini
adalah bagaiamana mereka dapat menajadi
agen yang aktif dalam lingkungan,
bagaimana realisasi dapat bersumber dari
dalam diri, dan yang terakhir adalah
bagaimana menunjukkan diri kepada
public.
Menjadi Agency Aktif
ODE bukan merupakan sesuatu yang
harus disesali oleh para penderitanya.
Menjadi sosok yang aktif membuat kita
menjadi seseorang yang selalu memiliki
aktivitas dan kegiatan rutin. Keaktifan
disini dapat dimulai dengan mencari
informasi bahwa kondisi ini bukan hanya
dialami oleh kita sendiri, tetapi masih
banyak diluar sana yang juga hidup
sebagai
ODE.
Pinzon
(2007)
mengungkapkan dari 50 juta penyandang
epilepsi diseluruh dunia, 37 juta
diantaranya tergolong epilepsi primer dan
80% tinggal di negara berkembang.
Laporan WHO pada tahun 2001
memperkirakan rata-rata terdapat 8,2 orang
penyandang epilepsi aktif diantara 1000
orang penduduk, dengan angka insidensi
50 per 100.000 penduduk. Angka
prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih
tinggi di negara-negara berkembang. Data
lain menyebutkan bahwa pengidap epilepsi
di Indonesia diperkirakan sekitar 1,1 juta
76
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015
hingga 1,3 juta penduduk dan angka ini
setara dengan 2% dari jumlah pengidap
epilepsi di dunia yang mencapai 50 juta
orang dengan angka kejadian epilepsi pada
pria lebih tinggi daripada wanita
(Margaretha dalam Anindita, 2010).
Berdasarkan data statistic tersebut
menunjukkan
bahwa
tidak
sendiri
menjalani maslah tersebut. Keaktifan juga
dapat dilakukan dengan mencari informasi
tentang epilepsi yang dapat memotivasi
diri, yang dapat dilakukan mencari
informasi apakah ada tokoh-tokoh dunia
yang berpengaruh yang juga ODE. Hal ini
sangat membantu untuk membangun
kepercayaan diri. Berdasarkan teori
penilaian sosial (Morrisan, 2010) yang
didalamnya ada keterlibatan ego, jangkar
sikap dan efek kontras menjelaskan bahwa
cara ini cukup efektif untuk merubah
presepsi kita. Keterlibatan ego artinya,
keaktifan
ODE
mencari
informasi
menandakan rendahnya peran ego dalam
dirinya. Orang dengan ego yang tinggi
artinya memiliki kognitif yang rendah,
dimana dia akan percaya semua pesan
yang diberikan lingkungannya tanpa ada
proses seleksi. Sedangkan keterliban ego
yang rendah menunjukkan tingginya
proses kognitif, yang berarti adanya
keaktifan dari ODE untuk menyeleksi
pesan, mana yang benar-benar positif bagi
dirinya dan mana yang hanya stigma yang
tidak dapat dibuktikan.
Teori penilain sosial didalamnya juga
terdapat jangkar sikap. Sebagai individu
kita akan melihat atau memprediksi
bagaimana sikap orang lain terhadap diri
kita, dan perkiraan itulah yang akan
menjadi acuan untuk kita menentukan
sikap. Sebagai ODE, kita selalu
memprediksi
bagaimana
penerimaan
masyarakat terhadap diri kita. Ada baiknya
jika kita selalu menanamkan hal positif,
sehingga kita akan membentuk perkiraan
yang positif. Sebagai ODE yang tidak
pernah bisa mengontrol kapan serangan
akan terjadi, ada kemungkinan serangan
terjadi di hadapan umum. Salah satu
narasumber pernah mengalami terjadi
ISSN: 2355-0287
serangan ketika dia memberikan materi di
hadapan peserta seminar. Sebagai manusia
normal tentunya kita akan merasa ragu
untuk berinteraksi dengan lingkungan itu
kembali. Tetapi, itu adalah langkah yang
salah. Sama halnya ketika seorang
peragawati yang berjalan memperagakan
baju di catwalk dan dia terjatuh, apakah dia
akan kembali lari kebelakang panggung?
Tentunya tidak, artinya kita harus dapat
merubah apa yang negative justu menjadi
kelebihan dalam diri kita. Serangan juga
mungkin terjadi jika kita berada di tempat
kerja, apa berarti kita harus keluar dan
mencari pekerjaan baru lagi? Tentunya
tidak juga, lalu pa yang dapat dilakukan?
Dengan
memberikan
pemahaman
informasi tentang kondisi diri kita
membuat lingkungan menjadi lebih paham
tentang apa yang terjadi. Sedikit kejadian
kecil, tidak akan berarti kalau kita dapat
menunjukan prestasi kita dilingkungan
tersebut.
Terakhir adalah efek kontras. Ketika
ODE dapat mengurangi ego artinya dapat
berperan aktif dalam mencari informasi.
Kemudian membentuk jangkar sikap maka
akan menghasilkan efek atau perubahan
sikap yang positif dan menjadi seseorang
yang aktif.
Penting bagi penyandang untuk
memiliki sifat terbuka, yang senang
berfikir,
memiliki
daya
imajinasi,
memberikan perhatian pada peraan serta
memiliki kecenderungan berfikir bebas.
Sifat terbuka membuat kita terbisa untuk
berfikir bebas dan selalu mencari hal-hal
baru membuat para ODE menjadi terbiasa
untuk terus mengembangkan kebiasaan
berfikir. Kondisi ini membuat mereka
terhindar
dari
keterpurukan
dan
mengasihani diri mereka sendiri. Salah
satu bentuk nyata adalah dengan aktif
mengekapresikan
diri.
Menunjukkan
ekspresi dan emosi diri pada lingkungan
menunjukkan eksistensi kita dalam
lingkungan. Menunjukan emosi kita bisa
dengan menunjukan minat kita akan suatu
hal. Contoh, aktif dalam klub sosial,
mengikuti pendidikan da salah satu bidang,
77
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015
dan lain sebagainya. Berbagai macam
kegiatan tersebut dapat menajdi sarana
untuk kita menyalurkan emosi kita.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk
sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang
lain, artinya manusia harus dapat
berinteraksi dengan orang lain. budaya di
Indonesia menunjukkan bahwa setiap
orang berhak menyampaikan setiap bentuk
emosi dalam dirinya pada lingkungannya.
Emosi tidak hanya diartikan dalam bentuk
ekspresi kejiwaan, tetapi emosi juga dapat
berarti tindakan atau minat yang dilakukan.
Penyaluran ekspresi melalui berbagai
kegiatan
sosial
membuat
mereka
menyadari kemampuan yang sebenarnya
ada dalam diri mereka. Bukan tidak
mungkin jika potensi diri yang tadinya
tidak disadari ada dlam diri menjadi
keahlian lebih yang dimiliki oleh setiap
ODE.
Beberapa kasus menunjukkan bahwa
ODE yang aktif dalam klub sosial secara
tekun menjalankan aktifitasnya membuat
mereka menjadi lebih berprestasi dalam
bidangnya, sehingga mereka dapat
menunjukkan eksistensi mereka di
lingkungannya. Hal ini snagat penting
dilakukan karena untuk menunjukkan diri
mereka
berdasarkan
prestasi
yang
dimilikinya.
Realisasi Bersumber Dari Dalam Diri
Membangun pengaruh secara personal
dapat dilakukan dengan membangun pola
pikir
yang
positif.
Pertanyaannya
bagaimana membangun pola pikir positif?
Ada yang dimulai dengan mendekatkan
diri kepada sang pencipta sesuai dengan
keyakinannya. Contohnya, jika dalam
ajaran seorang muslim dijelaskan bahwa
Allah tidak akan memberikan ujian
melebihi dari kemampuan umatnya,
artinya jika kita menyebut kondisi sebagai
ODE adalah sebuah cobaan maka potensi
yang kita miliki sesungguhnya lebih besar
dari cobaan yang kita terima. Bagaiaman
cara kita mengetahuinya? Tentunya dengan
ISSN: 2355-0287
mengetahui minat dan keahlian kita
dibidang apa.
Membangun pola piker positif berawal
dari bagaimana cara berfikir yang kita
gunakan. Menurut Petty dan Cacioppo
dalam Morrisan (2010) menjelaskan bahwa
otak kita memiliki semacam jaringan besar
yang berfungsi sebagai filter atau
penyaring terhadap setiap informasi yang
kita anggap penting dan meloloskan
infromasi yang kita anggap tidak penting.
Hal ini tentunya berkaitan dengan cara
berfikir kita. Menurut Morrisan (2010)
terdapat dua cara berfikir yang digunakan
oleh manusia. Pertama adalah berpikir
melalui jalur sentral, diaman dalam proses
berfikir tidak serta merta menerima segala
bentuk informasi melainkan memilah
terlebih dahulu. Kedua, proses berfikir
melalui jalur periferal, diamna proses
berfikir terjadi dengan menerima semua
informasi tanpa ada proses selektif.
Menurut Petty dan Cacioppo dalam
Morrisan (2010) dalam memotivasi pada
dasranya memiliki tiga factor yaitu:
Keterlibatan pribadi terhadap suatu topic,
Keberagaman
argument,
dan
kecenderungan pribadi. Motivasi diri tidak
dapat terjadi jika kita tidak tertarik
terhadap informasi yang diberikan.
Kebiasaan kita berfikir berpengaruh
terhadap motvasi yang dihasilkan, semakin
kita kritis menilai setiap infomrasi semakin
kita selektif dalam menerima informasi.
Orang-orang
yang
cendserung
mempertimbangan segala hal dengan
cermat dari hasil pemikiran kritis, maka
semakin kita dapat membentuk pola piker
yang positif dalam diri. Stigma-stigma
negates yang beredar di masyarakat
tentang epilepsi adalah infromasi yang
tidak perlu kita terima, dan harus kita
buang. Berfikir kritis dengan apa yang
dialami langsung para ODE menjadi dasar
untuk membentuk sikap positif dalam diri.
Membangun pola pikir positif artinya
membangun lingkungan yang positif.
Manusia adalah makhluk sosial, dimana
lingkungan memiliki peran penting dalam
mempengaruhi setiap diri. Membangun
78
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015
lingkungan yang positif sangat berarti bagi
para ODE. Stigma-stigma negative yang
beredar di masyarakat mengenai epilepsi
membuat para ODE cukup sulit untuk
membangun motivasi diri, jika tidak
didukung oleh lingkungan yang positif.
Berdasarkan
konsep
komunikasi
intrapribadi,
setiap
diri
manusia
dipengaruhi oleh pandang tentang diri
sendiri, pandangan diri orang lain dan
pandangan orang lain tentang dirinya. Kita
tidak pernah mengetahui siapa kita kalau
orang lain tidak menunjukan pandangan
tentang diri kita. Artinya, apa yang
menjadi persepsi dalam diri kita terbentuk
karena factor dari lingkungan sekitar kita
memaknai diri kita. Stigma-stigma
negative
tentang
epilepsi
cukup
mempengaruhi
sulitnya
membangun
motivasi diri bagi penyandang. Ditambah
lagi dengan sikap dasara manusia yang
selalu memberikan penilaian pada setiap
dirinya, seperti dijelaskan dalam teori
penilaian. Maka penitng untuk kita
membangun lingkungan yang positif.
Lingkungan yang positif adalah
lingkungan yang selalu memberikan
penilaian yang baik terhadap ODE.
Caranya adalah dengan memahami kondisi
yang dimilikinya, menjadi teman untuk
berbagi, menunjukkan kalau kita memang
orang yang ada untuk mendukung apa
yang dilakukannya, mengucapkan hal-hal
yang positif, dan mendengarkan hal-hal
yang positif.
Kita meyakini bahwa setiap kata yang
kita ucapkan adalah doa yang berikan
untuk diri kita. Maka ucapkanlah hal-hal
positif yang dapat membangun pola piker
positif dalam diri kita.
Display Kepada Publik
Dijelaskan sebelumnya bahwa sebagai
ODE kita memerlukan bantuan dari
lingkungan sekitar kita, jadi penting untuk
kita menunjukkan kondisi sebenarnya
dalam diri kita. Proses menunjukkan
kondisi diri kita dilakukan bukan dengan
cara langsung disampaikan pada orang-
ISSN: 2355-0287
orang yang ada disekitar kita. Cara
penyampaian dapat dilakukan dengan
menunjukkan apa yang menjadi kelebihan
yang kita miliki. Seperti prestasi yang kita
dapatkan, kelebihan yang kita miliki.
Sehingga jika mereka mengetahui apa
yang menutut kita menjadi kekerungan hal
tersebut bukan menjadi maslah yang
berarti.
Komunikasi antar pribadi menjelaskan,
bahwa dalam proses komunikasi anatar
pribadi setiap manusia selalu memberikan
penilai atau cap pada setiap diri. Kalau
seorang ODE dapat melakukan berprilaku
aktif, membentuk pemikiran yang positif,
maka ODE akan dinilai sebagai sosok yang
baik. Ingat bahwa cap atau penilaian yang
diberikan orang lain terhadap kita itu
adalah cerminan diri kita. Kita tidak bisa
menilai kita cantik, baik, pintar hanya
karena kita menyebutkan. Tetapi penilain
itu muncul dari apa yang dilihat oleh orang
lain terhadap diri kita.
Penting badi ODE untuk berperilaku
aktif menggali potensi diri, membangun
pola piker yang positif sehingga dia dapat
menunjukan konsep diri yang baik pada
masyarakat.
KESIMPULAN
Berdasarkan apa yang sudah dijelaskan
dalam pembahasan, untuk membentuk
konsep diri yang positif bagi ODE adalah:
1. Berperan aktif dan menunjukkan jati
diri kita. Menjadi seseorang yang
berprestasi dan aktif menggali
informasi membuat kita menjadi dapat
manyring segala mentuk infromasi
dan menunjukkan jati diri kita.
2. Membentuk pola piker positif. Pola
pikir positif dapat membentuk
motivasi dalam diri, sehingga
kesadaran untuk menjadi lebih baik
bukan dari ornag lain tetapi dari
dalam diri, sehingga motivasi tersebut
menjadi lebih konsisten.
79
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA). Vol II. No.1 April 2015
3. Berani
menunjukkan
diri.
Menunjukkan diri dengan berbagai
prestasi dan kelebihan yang kita
miliki.
gajalapenyakitmu.blogspot.com/2013/05/g
ejala-epilepsi-atau-ayan-penyebabdan.html
REFERENSI
Creswell, John. 2012. Research Design
Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif.
Pustaka Pelajar; Jogjakarta
Cianni, Mary, dan Donna Wnuck, 1997,
Individual
Growth
and
Team
Enhancement: Moving Toward a New
Model
of
Career
Development,
Academy of Management excecutive,
Vol 11, No.1, 1997
Davis, Keith, 1962. Human Relations at
Work, Mc. Graw-Hill Book Company,
Ltd., Tokyo.
Denzin, Lincoln, 2009. Handbook of
Qualitative Research. Pustaka Pelajar:
Jogjakarta.
Hidayat, Dasrun. 2012. Komunikasi Antar
Pribadi dan Medianya, Graha Ilmu,
Jogjakarta.
Morissan,
M.A.
2010.
Psikologi
Komunikasi. Ghalia Indonesia, Bogor.
Morissan, M.A. 2013. Teori Komunikasi.
Kencana, Jakarta.
Anindita Nadiarani, 2010. Perilaku Koping
pada Penyandang Epilepsi Fak. Psikologi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Sumber lain
http://www.inaepsy.org/2011/05/mengenal-penyakitkuno-epilepsi.html
artiksehatan.wordpress.com/2011/01/07/epileps
i/
ISSN: 2355-0287
80
Download