BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Teori Legitimasi
Teori legitimasi merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang
berorientasi pada keberpihakan terhadap masyarakat (society), pemerintah,
individu, dan kelompok masyarakat (Gray dkk., 1996 dalam Octaviana, 2014).
Legitimacy theory menyatakan bahwa organisasi harus secara terus menerus
mencoba untuk meyakinkan bahwa mereka melakukan kegiatan sesuai dengan
batasan dan norma-norma masyarakat (Rustiarini, 2011 dalam Yoehana, 2013).
Hal ini mengindikasian bahwa teori tersebut menjelaskan adanya kontrak sosial
perusahaan terhadap masyarakat dan adanya pengungkapan sosial lingkungan
(Octaviana, 2014).
2.1.2 Teori Stakeholder
Teori stakeholder didasarkan pada gagasan bahwa di luar pemegang saham
ada beberapa agen yang berkepentingan dalam tindakan dan keputusan
perusahaan (Branco dan Rodrigues, 2007 dalam Yoehana, 2013). Teori
stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya
beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi
stakeholdernya (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah,
masyarakat, analisis, dan pihak lain) (Chariri, 2008 dalam Yoehana 2013).
Teori stakeholder menyatakan bahwa perusahaan bukanlah suatu
10
11
organisasi yang hanya bertanggung jawab terhadap pemilik namun juga harus
mementingkan dan memberi manfaat kepada para stakeholder-nya (pemegang
saham, konsumen, investor, kreditor, supplier, pemerintah, masyarakat dan pihakpihak lain yang berkepentingan dengan perusahaan) (Ardian, 2013).
2.1.3 Teori Agency
Agency Theory atau teori agency dapat dipandang sebagai suatu model
kontraktual antara dua atau lebih orang (pihak), dimana salah satu pihak disebut
agent dan pihak yang lain disebut principal. Principal mendelegasikan
pertanggungjawaban atas desicion making kepada agent, hal ini dapat pula
dikatakan bahwa principal memberikan suatu amanah kepada agent untuk
melaksanakan tugas tertentu sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati.
Wewenang dan tanggung jawab agent maupun principal diatur dalam kontrak
kerja atas persetujuan bersama (Wahyuni, 2013).
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan
adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan investor (principal).
Terjadinya konflik kepentingan antara pemilik dan agen karena kemungkinan
agen bertindak tidak sesuai dengan kepentingan principal, sehingga memicu biaya
keagenan (agency cost). Konflik didalam agency theory biasanya disebabkan
oleh para pengambil keputusan yang tidak ikut serta dalam menanggung risiko
sebagai akibat dari kesalahan pengambilan keputusan. Menurut para pengambil
keputusan, risiko tersebut seharusnya ditanggung oleh para pemilik saham. Hal
inilah yang menimbulkan ketidaksinkronan antara pihak pengambil keputusan
(manajer) dengan para pemilik saham. Konflik antara pemilik saham dengan
12
pihak manajemen perusahaan dapat diminimalkan dengan cara, manajer harus
mejalankan perusahaan sesuai dengan kepentingan para pemegang saham
begitupula dalam pengambilan keputusan oleh manajer harus disesuaikan dengan
kepentingan pemegang saham (Anisa, 2012 dalam Wahyuni, 2013).
2.1.4 Corporate Social Responsibility
Menurut The World Business Council for Sustainable Development
(WBCSD), corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan
didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi
pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerja sama dengan para karyawan
serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat maupun
masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas kehidupan dengan cara yang
bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan.
Corporate social responsibility didasarkan atas gagasan bahwa perusahaan
tidak hanya memiliki tanggung jawab ekonomi dan hukum, tetapi juga tanggung
jawab kepada pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholder) (Purnomo dan
Widianingsih, 2012 dalam Mustikawati, 2014).
Di Indonesia corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial
sudah diatur dalam Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas pada pasal 74 yang berbunyi “Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan”.
2.1.5 Keuntungan Corporate Social Responsibility
13
Menurut Wibisono (2007) dalam Jessica dan Toly (2014) ada sepuluh
keuntungan ketika perusahaan melakukan corporate social responsibility, yaitu
sebagai berikut:
1.
mempertahankan dan mendongkrak reputasi dan image perusahaan,
2.
mendapatkan social license to operate,
3.
mereduksi resiko bisnis perusahaan,
4.
melebarkan akses sumber daya,
5.
membentangkan akses menuju market,
6.
mereduksi biaya,
7.
memperbaiki hubungan dengan stakeholder,
8.
memperbaiki hubungan dengan regulator (pemerintah),
9.
meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan, dan
10.
peluang mendapatkan penghargaan.
Menurut Suharto (2008) dalam Purnomo (2013) penerapan corporate
social responsibility memiliki empat manfaat terhadap perusahaan, yaitu sebagai
berikut.
1.
Brand differentiation, dalam persaingan pasar yang kian kompetitif,
corporate social responsibility bisa memberikan citra perusahaan yang
khas, baik, dan etis di mata publik yang pada gilirannya menciptakan
customer loyalty.
2.
Human resources, program corporate social responsibility dapat
membantu dalam perekrutan karyawan baru, terutama yang memiliki
kualifikasi tinggi. Saat interview, calon karyawan yang memiliki
14
pendidikan dan pengalaman tinggi sering bertanya tentang corporate
social responsibility dan etika bisnis perusahaan sebelum mereka
memutuskan menerima tawaran. Bagi karyawan lama, corporate social
responsibility juga dapat meningkatkan persepsi, reputasi, dan dedikasi d
alam bekerja.
3.
License to operate, perusahaan yang menjalankan corporate social
responsibility dapat mendorong pemerintah dan publik memberi “ijin” atau
“restu” bisnis, karena dianggap telah memenuhi standar operasi dan
kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat.
4.
Risk management, merupakan isu sentral bagi setiap perusahaan. Reputasi
perusahaan yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam sekejap oleh
skandal korupsi, kecelakaan karyawan, atau kerusakan lingkungan.
Membangun budaya “doing the right thing”, berguna bagi perusahaan
dalam mengelola resiko-resiko bisnis.
2.1.6 Corporate Governance
Istilah good corporate governance pertama kali diperkenalkan oleh
Cadbury Committe di tahun 1992 dan mendefinisikan corporate governance
sebagai sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan
agar mencapai keseimbangan antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh
perusahaan,
untuk
menjamin
kelangsungan
eksistensinya
dan
pertanggungjawaban kepada pemangku kepentingan.
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) good
corporate governance adalah salah satu pilar dari sistem ekonomi pasar. Good
15
corporate governance berkaitan erat dengan kepercayaan baik terhadap
perusahaan yang melaksanakannya maupun terhadap iklim usaha di suatu negara.
Penerapan GCG mendorong terciptanya persaingan yang sehat dan iklim usaha
yang kondusif. Oleh karena itu diterapkannya GCG oleh perusahaan-perusahaan
di Indonesia sangat penting untuk menunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi
yang berkesinambungan. Penerapan GCG juga diharapkan dapat menunjang
upaya pemerintah dalam menegakkan good governance pada umumnya di
Indonesia.
Menurut Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor. KEP-01/MBU/2011
Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (good corporate
governance) adalah prinsip-prinsip yang mendasari suatu proses dan mekanisme
pengelolaan perusahaan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan etika
berusaha.
The Indonesian Institute for Corporate Governance (2012) dalam
Winarsih dkk. (2014) mengartikan good corporate governance sebagai struktur,
sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan sebagai upaya untuk
memberikan nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka
panjang
dengan
tetap
memperhatikan
kepentingan
stakeholder
lainnya
berdasarkan norma, etika, budaya, dan aturan yang berlaku. Di Indonesia
corporate
governance
index
telah
dikembangkan
oleh
IICG
namun
pemeringkatan corporate governance tersebut tidak dilakukan untuk semua
perusahaan yang terdaftar di BEI (Annisa, 2011). Beberapa variabel yang
digunakan sebagai proksi corporate governance dalam beberapa penelitian
16
menggunakan struktur institusional yaitu Midiastuty dan Machfoedz (2003),
Boedino (2006) dan Annisa (2011). Proksi yang digunakan untuk mengukur
corporate governance yaitu kepemilikan institusional, struktur dewan komisaris,
komite audit, dan kualitas audit.
1.
Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham perusahaan yang
mayoritas dimiliki oleh instutsi atau lembaga (perusahaan asuransi, bank,
perusahaan investasi, asset management dan kepemilikan instusi lain).
Kepemilikan institusional merupakan pemegang saham terbesar sehingga
merupakan sarana untuk memonitor manajemen (Djakman dan Machmud, 2008
dalam Setyawan, 2013). Secara teoritis semakin tinggi kepemilikan institusional
dapat memberikan kontrol dan pengawasan yang lebih ketat terhadap manajemen
perusahaan untuk melakukan dan mengungkapkan kegiatan sosial perusahaan
(Setyawan, 2013).
2.
Struktur Dewan Komisaris
Struktur dewan dalam perusahaan di Indonesia menganut sistem dua tingkat
(two tiers system) yang menganut sistem hukum kontinental Eropa. Perusahaan
mempunyai dua badan terpisah yaitu dewan pengawas (dewan komisaris) dan
dewan manajemen (dewan direksi). Dewan direksi mengelola dan mewakili
perusahaan di bawah pengarahan dan pengawasan dewan komisaris.
Dewan komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam perusahaan,
terutama dalam pelaksanaan GCG. Dewan komisaris merupakan inti dari
corporate governance. Menurut Sembiring (2005) dalam Setyawan (2013), dewan
17
komisaris merupakan mekanisme pengendalian intern tertinggi yang bertanggung
jawab untuk memonitor tindakan manajemen puncak. Komposisi individu yang
bekerja sebagai anggota dewan komisaris merupakan hal penting dalam
memonitor aktivitas manajemen secara efektif.
3.
Komite Audit
The Institute of Internal Auditors (IIA) merekomendasikan bahwa setiap
perusahaan publik harus memiliki komite audit yang diatur sebagai komite tetap.
The Institute of Internal Auditors (IIA) juga menganjurkan dibentuknya komite
audit di dalam organisasi lainnya, termasuk lembaga-lembaga non-profit dan
pemerintahan.
Mayangsari (2003) dalam Annisa (2011) menjelaskan bahwa komite audit
berfungsi untuk memberikan pandangan mengenai masalah-masalah yang
berhubungan dengan kebijakan keuangan, akuntansi, dan pengendalian intern.
Tujuan pembentukan komite audit adalah sebagai berikut:
1. memastikan laporan keuangan yang dikeluarkan tidak menyesatkan dan
sesuai dengan praktik akuntansi yang berlaku umum,
2. memastikan bahwa kontrol internalnya memadai,
3. tindak lanjut terhadap dugaan adanya penyimpangan yang material dibidang
keuangan dan implikasi hukumnya, dan
4. merekomendasi seleksi auditor ekstenal.
5. Kualitas Audit
Transaparansi merupakan salah satu dari prinsip good corporate governance
di mana dengan adanya transparansi mensyaratkan adanya pengungkapan yang
18
akurat. Menurut Annisa (2011) transparansi terhadap pemegang saham dapat
dicapai dengan melaporkan hal-hal terkait perpajakan pada pasar modal dan
pertemuan para pemegang saham. Menurut Sartori (2010) dalam Annisa (2011)
memaparkan bahwa peningkatan transaparansi terhadap pemegang saham dalam
hal pajak semakin dituntut otoritas publik.
Hal-hal yang berhubungan dengan kualitas audit (Deis dan Giroux, 2002
dalam Suartana, 2007) antara lain sebagai berikut:
1. lamanya auditor/umur audit, semakin lama semakin rendah kualitas auditnya,
2. jumlah klien, semakin banyak maka semakin baik kualitas auditnya,
3. kesehatan keuangan klien, makin sehat ada kecenderungan klien menekan
auditor untuk mengikuti standar yang berlaku, dan
4. review oleh pihak ketiga, kualitas audit semakin tinggi apabila direview oleh
pihak ketiga.
2.1.7 Prinsip-prinsip Good Corporate Governance
Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) (2006) prinsipprinsip good corporate governance yaitu`sebagai berikut.
1.
Transparency (Transparansi)
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus
menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah
diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil
inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh
peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan
keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
19
2.
Accountability (Akuntabilitas)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur
dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas
merupakan
prasyarat
yang
diperlukan
untuk
mencapai
kinerja
yang
perundang-undangan
serta
berkesinambungan.
3.
Responsibility (Responsibilitas)
Perusahaan
harus
mematuhi
peraturan
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga
dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat
pengakuan sebagai good corporate citizen.
4.
Independency (Independensi)
Untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola
secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling
mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
5.
Fairness (Kewajaran dan Kesetaraan)
Pada saat melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa
memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya
berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
2.1.8 Manfaat Good Corporate Governance
Menurut Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG),
(2000), keuntungan yang bisa diambil oleh perusahaan apabila menerapkan
20
konsep good corporate governance antara lain sebagai berikut.
1.
Meminimalkan agency cost
Selama ini para pemegang saham harus menanggung biaya yang timbul
akibat dari pendelegasian wewenang kepada manajemen. Biaya-biaya ini bisa
berupa kerugian karena manajemen menggunakan sumber daya perusahaan untuk
kepentingan pribadi maupun berupa biaya pengawasan yang harus dikeluarkan
perusahaan agar mencegah manajemen untuk melakukan tindakan yang dapat
merugikan pemegang saham sehingga biaya ataupun kerugian akibat dari
manajemen dapat berkurang.
2.
Meminimalkan cost of capital
Perusahaan yang baik dan sehat akan menciptakan suatu referensi positif
bagi para kreditur. Kondisi ini sangat berperan dalam meminimalkan biaya modal
yang harus ditanggung bila perusahaan akan mengajukan pinjaman, dengan
kemudahan dalam mendapatkan modal maka perusahaan dapat menciptakan
barang-barang atau produk yang berkualitas serta kompetitif.
3.
Meningkatkan nilai saham perusahaan
Suatu perusahaan yang dikelola secara baik dan dalam kondisi sehat akan
menarik minat investor untuk menanamkan modalnya. Adanya penanaman modal
yang besar oleh para investor akan menghasilkan peningkatan pada nilai saham
perusahan.
4.
Mengangkat citra perusahaan
Citra perusahaan merupakan faktor penting yang sangat erat kaitannya
dengan kinerja dan keberadaan perusahaan tersebut dimata masyarakat dan
21
khususnya para investor. Citra (image) suatu perusahaan kadangkala akan
menelan biaya yang sangat besar dibandingkan dengan keuntungan perusahaan itu
sendiri, guna memperbaiki citra tersebut. Corporate governance dapat
meningkatkan citra perusahaan karena dengan tata kelola perusahaan yang baik
akan memperlihatkan bahwa operasi perusahaan tersebut dilakukan dengan baik
dan sesuai dengan aturannya. Hasil yang akan didapatkan adalah kinerja
perusahaan yang baik sehingga masyarakat menilai bahwa perusahaan tersebut
baik karena memiliki good corporate governance.
2.1.9 Kepemilikan Keluarga
Struktur
kepemilikan
dapat
dikelompokan
menjadi
kepemilikan
terkonsentrasi dan kepemilikan menyebar. Kepemilikan terkonsentrasi merupakan
kepemilikan yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh sebagian kecil individu
atau kelompok sehingga pemegang saham tersebut menjadi pemegang saham
dominan dibandingkan dengan yang lainnya, sedangkan kepemilikan menyebar
adalah kepemilikan saham dalam jumlah yang sangat besar (Alfrilia, 2010 dalam
Fatharani, 2012).
Struktur kepemilikan merupakan proporsi modal antara hutang dan ekuitas
termasuk juga proposi antara kepemilikan saham dalam perusahaan dan luar
perusahaan (Haryono, 2005 dalam Hardiyanti, 2013). Arifin (2003, dalam
Fatharani, 2012) mengklasifikasikan perusahaan berdasarkan struktur kepemilikan
menjadi perusahaan keluarga dan non-keluarga. Menurut penelitian Arifin (2003,
dalam Sari dan Martani, 2010) mendefinisikan keluarga yaitu semua individu dan
perusahaan yang kepemilikannya tercatat (kepemilikan >5% wajib dicatat), yang
22
bukan perusahaan publik, negara, institusi keuangan, dan publik (individu yang
kepemilikannya tidak wajib catat).
2.1.10 Tindakan Pajak Agresif
Pengertian pajak agresif mengacu pada penelitian Frank dkk. (2009) yaitu
suatu tindakan yang bertujuan untuk menurunkan laba kena pajak melalui
perencanaan pajak baik menggunakan cara yang tergolong (tax avoidance) dan
tidak tergolong atau (tax evasion). Perencanaan pajak menurut Suandy Erly
(2014) adalah sebagai berikut.
1.
Penghindaran pajak (tax avoidance)
Suatu usaha pengurangan secara legal yang dilakukan dengan cara
memanfaatkan ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan secara optimal seperti,
pengecualian dan pemotongan-pemotongan yang diperkenankan maupun manfaat
hal-hal yang belum diatur dan kelemahan-kelemahan yang ada dalam peraturan
perpajakan yang berlaku.
2.
Penggelapan pajak (tax evasion)
Merupakan pengurangan pajak yang dilakukan dengan melanggar
peraturan perpajakan seperti memberi data-data palsu atau menyembunyikan data.
Dengan demikian, penggelapan pajak dapat dikenakan sanksi pidana.
Semakin banyaknya celah kelemahan-kelemahan dalam aturan pajak yang
berlaku, maka perusahaan akan menjadi semakin melakukan tindakan pajak
agresif.
2.1.11 Keuntungan dan Kerugian Tindakan Pajak Agresif
Menurut Chen dkk. (2010) terdapat keuntungan saat perusahaan
23
melakukan tindakan pajak agresif yaitu antara lain penghematan pajak (tax
saving), keuntungan secara langsung maupun tidak langsung di mana manajer
mendapatkan kompensasi atas tindakan pajak agresif, dan adanya kesempatan
bagi manajer dan family owner untuk melakukan rent extraction.
Kerugian perusahaan jika melakukan tindakan pajak agresif antara lain
kemungkinan perusahaan mendapat sanksi atau penalti dari fiskus pajak, dan
turunnya harga saham perusahaan (Sari dan Martani, 2010). Turunnya harga
saham ini bisa diakibatkan karena pemegang saham lain, investor, kreditor dan
masyarakat sekitar mengetahui tindakan pajak yang dilakukan akibat pemberitaan
yang menyebutkan jika perusahaan mendapatkan sanksi dari fiskus pajak.
24
2.2
Penelitian Terdahulu dan Pengembangan Hipotesis
2.2.1 Penelitian Terdahulu
No
1
Peneliti
Jessica
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
Judul Penelitian
Hasil Penelitian
dan Pengaruh Pengungkapan Tidak
Toly (2014)
Corporate
adanya
pengaruh
Social signifikan antara pengungkapan
Responsibility Terhadap CSR terhadap agresivitas pajak
Agresivitas Pajak
2
Yoehana
Analisis
Pengaruh Semakin
(2013)
Corporate
Social pengungkapan
Responsibility
3
Lanis
Terhadap perusahaan,
tingkat
CSR
suatu
semakin
rendah
Agresivitas Pajak
tingkat agresivitas pajaknya
dan Corporate
Social Semakin
tinggi
tingkat
Richardson
Responsibility and Tax pengungkapan
(2012)
Aggressiveness:
An perusahaan
Emperical Analysis
4
tinggi
rendah
CSR
maka
tingkat
suatu
semakin
agresivitas
pajaknya.
Corporate Elemen corporate governance
Annisa dan Pengaruh
Kurniasih
Governance
(2012)
Tax Avoidance
Terhadap yaitu kualitas audit dan komite
audit
berpengaruh
signifikan
terhadap
secara
tax
avoidance dengan proksi book
tax gap, sedangkan aktivitas tax
Tabel 2.1 (Lanjutan)
avoidance tidak dipengarugi
secara
signifikan
oleh
25
kepemilikan
5
6
institusional dan
dan Karakteristik
dewan komisaris
Corporate Governance belum
Martani (2010) Kepemilikan Perusahaan,
berdampak secara nyala pada
Sari
Corporate Governance
perusahaan
dan
kepemilikan
dan Tindakan Pajak
keluarga
Agresif
hubungan yang positif dengan
cenderung
memiliki
Chen
dkk. Are family firms more tax
perencanaan yang agresif
Tingkat
keagresifan
pajak
(2010)
aggresive than non-
perusahaan keluarga lebih kecil
family firms?
daripada
perusahaan
keluarga
2.2.2
Pengembangan Hipotesis
2.2.2.1 Corporate Social Responsibility Terhadap Agresivitas Pajak
Sebuah perusahaan yang membayarkan pajaknya kepada negara
merupakan salah satu bentuk kontribusi perusahaan terhadap pembangunan
negara. Namun bisa saja perusahaan tersebut tidak membayarkan pajak yang
menjadi kewajibannya kepada negara dengan melakukan tindakan pajak agresif.
Perspektif masyarakat, pajak dipandang sebagai dividen yang dibayar oleh
perusahaan kepada masyarakat sebagai imbalan telah menggunakan sumber daya
yang tersedia (Harari dkk., 2012 dalam Yoehana, 2013). Pada teori legitimasi
menyatakan bahwa perusahaan terus meyakinkan kepada masyarakat bahwa
perusahaan melakukan kegiatan sesuai dengan norma-norma yang berlaku di
dalam masyarakat sehingga masyarakat bisa menerima. Bentuk dari teori ini
non
26
adalah dengan melaksanakan kewajiban perusahaan dalam membayar pajak
kepada negara, hal ini tentunya akan menguntungkan banyak pihak dan
perusahaan juga telah membina hubungan yang baik salah satunya dengan
pemerintah.
Hubungan baik dengan pemerintah melalui pembayaran kewajiban pajak
yang dilakukan oleh perusahaan hal ini sesuai dengan teori stakeholder yaitu
perusahaan harus memiliki tanggung jawab sosial kepada pihak-pihak yang lain
atas dampak dari tindakan yang dilakukan. Perusahaan tidak hanya mementingkan
kepentingan dari perusahaan itu saja tetapi juga kepentingan pemerintah,
masyarakat, konsumen, supplier, dan lain sebagainya. Hubungan baik dengan
masyarakat bisa melalui tanggung jawab sosial atau corporate social
responsibility.
Corporate social responsibilty menjadi hal yang wajib bagi perusahaan
dalam kontribusi kepada lingkungan dan masyarakat. Hal ini sudah diatur oleh
pemerintah dalam Undang-undang No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
di mana berbunyi “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan” jika tidak melakukan akan dikenakan sanksi sesuai
dengan undang-undang yang berlaku.
Watson (2011, dalam Yoehana,
2013) menambahkan bahwa dampak
buruk yang diperoleh perusahaan karena melanggar norma sosial adalah jumlah
penjualan yang turun karena masyarakat yang tahu tentang pentingnya corporate
social responsibility memboikot produk perusahaan tersebut dan cenderung
27
enggan untuk membeli produk tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
agresivitas pajak memberikan dampak buruk yang signifikan bagi masyarakat dan
perusahaan itu sendiri. Lanis dan Richardson (2012) menyatakan bahwa dengan
demikian sebuah perusahaan yang terlibat dalam kebijakan agresif pajak secara
sosial tidak bertanggung jawab. Harari dkk. (2012) dalam Yoehana (2013)
mengatakan bahwa mengingat pentingnya kebijakan pajak untuk kehidupan sosial
tampaknya masuk akal untuk tidak menyertakan praktik perencanaan agresif pajak
ke dalam unsur tanggung jawab sosial perusahaan. Maka dari itu diharapkan
dengan pengungkapan yang semakin tinggi maka perusahaan tersebut tidak
melakukan tindakan pajak agresif.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jessica dan Toly (2014)
menunujukkan jika pengungkapan corporate social responsibility (CSR) di
Indonesia tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tindakan agresivitas pajak,
di mana pengungkapan corporate social responsibility besar, maka belum tentu
perusahaan akan semakin tidak agresive. Namun, hal ini bertolak belakang dengan
hasil penelitian dari Lanis dan Richardson (2012) yang menunjukkan semakin
tinggi tingkat pengungkapan corporate social responsibility (CSR) maka semakin
rendah pula tingkat agresivitas pajak perusahaan. Berdasarkan penelitian tersebut,
maka hipotesis yang akan diuji pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
H1 : Corporate social responsibilty berpengaruh signifikan terhadap
agresivitas pajak.
2.2.2.2 Corporate Governance Terhadap Agresivitas Pajak
Corporate governance merupakan hal yang tidak bisa lepas dari
28
perusahaan sekarang ini. Schoon (2008) dalam Sari dan Martani (2010), peraturan
corporate governance telah dijadikan alat oleh pemerintah untuk memerangi
usaha penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan. Peraturan yang dikeluarkan
pemerintah ditujukkan agar perusahaan-perusahaan lebih transparansi dalam
laporan keuangan baik bagi perusahaan itu sendiri, pemerintah serta masyarakat.
Perusahaan dengan corporate governance yang baik tentunya diharapkan lebih
sedikit dalam melakukan tindakan pajak agresif. Penelitian yang dilakukan Sari
dan Martani (2010) menggunakan pengukuran dengan peringkat indeks corporate
governance yang dikeluarkan oleh IICD (Indonesian Institute for Corporate
Directorship). Namun hasil penelitian Sari dan Martani (2010) menunjukkan
bahwa efek dari penerapan good corporate governance belum berdampak secara
nyata pada perusahaan di Indonesia. Pemeringkatan yang dilakukan IICD tidak
untuk semua perusahaan yang terdaftar di BEI dan menyebabkan sampel
perusahaan terbatas. Sedangkan dalam Anissa dan Kurniasih (2012) menggunakan
proksi sebagai alat ukur di mana menunjukkan hasil elemen corporate
governance yaitu kualitas audit dan komite audit berpengaruh secara signifikan
terhadap tax avoidance dengan proksi book tax gap, sedangkan aktivitas tax
avoidance tidak dipengaruhi secara signifikan oleh kepemilikan institusional dan
dewan.
2.2.2.2.1 Kepemilikan Institusional Terhadap Agresivitas Pajak
Menurut penelitian yang dilakukan Shleifer dan Vishney (1986)
menyatakan bahwa pemilik institusional memainkan peran penting dalam
29
memantau, mendisiplinkan dan mempengaruhi manajer. Besar kecilnya
konsentrasi kepemilikan institusional maka akan mempengaruhi kebijakan
tindakan perusahaan meminimalkan beban pajak oleh perusahaan (Khurana,
2009). Berdasarkan penelitian tersebut, maka hipotesis yang akan diuji pada
penelitian ini adalah sebagai berikut.
H2 : Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap agresivitas
pajak.
2.2.2.2.2 Dewan Komisaris Terhadap Agresivitas Pajak
Terdapat tiga elemen penting untuk memastikan penerapan tata kelola
perusahaan, yaitu Rapat Umum Pemegang Saham, Dewan Komisaris, dan
Direksi, yang masing-masing memiliki tugas yang saling melengkapi. Undangundang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa
komisaris independen diangkat berdasarkan keputusan RUPS dari pihak yang
tidak terafiliasi dengan pemegang saham utama, anggota Direksi atau anggota
Dewan Komisaris lainnya. Persyaratan mengenai komisaris independen yang
harus ada dalam jajaran dewan komisaris menunjukkan bahwa peranan dari
komisaris independen sangat penting bagi perusahaan (Ardyansah dan Zulaikha,
2014). Penelitian yang dilakukan Annisa dan Kurniasih (2012) menunjukkan hasil
jumlah dewan komisaris adalah tidak signifikan di mana banyak sedikitnya
jumlah dewan komisaris dalam suatu perusahaan tidak secara signifikan
mempengaruhi penurunan aktivitas tax avoidance dan presentase dewan komisaris
independen terhadap jumlah dewan komisaris secara keseluruhan tidak signifikan
mempengaruhi kebijakan tax avoidance yang dilakukan oleh suatu perusahaan.
30
Berdasarkan penelitian tersebut, maka hipotesis yang akan diuji pada penelitian
ini adalah sebagai berikut.
H3
: Presentase dewan komisaris berpengaruh signifikan terhadap
agresivitas pajak.
H4
: Jumlah dewan komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap
agresivitas pajak.
2.2.2.2.3 Komite Audit Terhadap Agresivitas Pajak
Daniri
(2006)
dalam
Pohan
(2008)
menyebutkan
sejak
direkomendasikan good corporate governance di Bursa Efek Indonesia tahun
2000, komite audit telah menjadi komponen umum dalam struktur corporate
governance perusahaan publik.Pada umumnya komite ini berfungsi sebagai
pengawas proses pembuatan laporan keuangan dan pengawasan internal .Oleh
karena BEI mengharuskan semua emiten untuk untuk membentuk dan memiliki
komite audit yang diketuai oleh komisaris independent.
Penelitian yang dilakukan oleh Annisa dan Kurniasih (2012) menunjukkan
hasil bahwa komite audit berpengaruh signifikan terhadap tax avoidance. Pohan
(2008) menyatakan bahwa keberadaan komite audit yang tidak sesuai dengan
peraturan BEI yaitu paling sedikit komite audit harus tiga orang, akan
meningkatkan tindakan manajemen dalam meminimalisasi laba untuk kepentingan
pajak. Berdasarkan penelitian tersebut, maka hipotesis yang akan diuji pada
penelitian ini adalah sebagai berikut.
H5
: Jumlah komite audit berpengaruh signifikan terhadap agresivitas
pajak.
31
2.2.2.2.4 Kualitas Audit Terhadap Agresivitas Pajak
Kualitas audit dapat diartikan sebagai bagus tidaknya suatu
pemeriksaan yang telah dilakukan oleh auditor. Transparansi merupakan salah
satu prinsip penting dalam tata kelola perusahaan (Handayani dkk., 2015). Annisa
dan Kurniasih (2012) menyatakan bahwa laporan keuangan yang diaudit oleh
auditor KAP The Big Four menurut beberapa referensi dipercaya lebih berkualitas
sehingga menampilkan nilai perusahaan yang sebenarnya. Hasil penelitian Annisa
dan Kurniasih (2012) menunjukkan bahwa kualitas audit bepengaruh signifikan
terhadap tax avoidance. Berdasarkan penelitian tersebut, maka hipotesis yang
akan diuji pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
H6
: Kualitas audit berpengaruh signifikan terhadap agresivitas pajak.
2.2.2.2.3 Kepemilikan Keluarga Terhadap Agresivitas Pajak
Kepemilikan keluarga pada perusahaan merupakan sudah hal yang lama
terjadi, dalam menentukan tindakan pajak agresif tersebut lebih rendah ataupun
lebih tinggi, tergantung dari seberapa besar keuntungan atau kerugian yang
ditanggung keluarga yang menjadi family owners. Penelitian Sari dan Martani
(2010) yang dilakukan
untuk mengetahui perusahaan keluarga lebih agresif
dalam tindakan pajak daripada non keluarga. Hasil penelitian Sari dan Martani
(2010) menunjukkan jika adanya kecenderungan perusahaan keluarga untuk
melakukan tindakan pajak agresif. Penelitian yang sebelumnya telah dilakukan
oleh Chen (2010) menunjukkan jika perusahaan keluarga memiliki tingkat
agresivitas pajak lebih kecil .Berdasarkan penelitian Sari dan Martani (2010) dan
Chen (2010) tersebut maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah
32
sebagai berikut.
H7 : Kepemilikan keluarga berpengaruh signifikan terhadap agresivitas
pajak
2.3
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu peneliti ingin mengkaji corporate
social responsibility, corporate governance dan karakteristik kepemilikan
perusahaan terhadap tindakan pajak agresif.
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Variabel Independen
1. Corporate social
responsibility
2. Corporate governance
- Kepemilikan Institusional
- Dewan Komisaris
 Jumlah dewan
komisaris
 Presentase komisaris
independen
- Kualitas Audit
- Komite Audit
3. Kepemilikan keluarga
Variabel Dependen
Agresivitas Pajak
ETR
Variabel Kontrol
1. SIZE 3. Capital Intensity
2. LEV 4. ROA
Adapun variabel independen dalam penelitian ini adalah corporate social
responsibility, corporate governance dan kepemilikan keluarga. Corporate
governance terdiri dari beberapa elemen antara lain kepemilikan institusional,
jumlah dewan komisaris, presentase dewan komisaris, kualitas aduit, dan komite
audit. Variabel kontrol pada penelitian ini menggunakan ukuran perusahaan
33
(SIZE), leverage (LEV), capital intensity (CINT), dan return on assets (ROA).
Variabel dependen pada penelitian ini adalah agresivitas pajak dengan proksi
effective taxe rate.
Download