KATA PENGANTAR Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah

advertisement
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga pembuatan karya tulis berupa referat yang berjudul
“Rhinosinusitis” dapat tersusun dan terselesaikan tepat pada waktunya.
Terima kasih saya ucapkan kepada dr. M. Agus S, Sp.THT-KL,M-Kes selaku
pembimbing penulisan yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian referat ini.
Adapun pembuatan tulisan ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan
selama masa kepaniteraan klinik penulis di bagian THT RSAL dr. Mintohardjo, juga untuk
mendiskusikan kasus Rhinosinusitis, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman
dan mendukung penerapan klinis yang lebih baik dalam memberikan kontribusi positif sistem
pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan. Akhir kata, semoga
karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Jakarta, 23 Oktober 2013
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................
1
DAFTAR ISI............................................................................................................
2
BAB I PENDAHULUAN…....................................................................................
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................
5
2.1. Anatomi............................................................................................................
5
2.2. Fisiologi............................................................................................................
9
2.3. Definisi…….....................................................................................................
10
2.4. Etiologi…….....................................................................................................
11
2.5. Klasifikasi.........................................................................................................
13
2.6. Patofisiologi.....................................................................................................
13
2.7. Diagnosis..........................................................................................................
14
2.8. Penatalaksanaan…............................................................................................
24
2.9. Komplikasi........................................................................................................
26
2.10. Diagnosis banding..........................................................................................
29
2.11. Pencegahan......................................................................................................
29
2.12. Prognosis……………......................................................................................
30
BAB III KESIMPULAN…......................................................................................
31
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
32
2
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia1. Data
dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada
urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan
di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan
oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data
penyakit hidung dari 7 propinsi.2 Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM JanuariAgustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rhinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435
pasien, 69%nya adalah sinusitis2.
Menurut American Academy of Otolaryngology - Head & Neck Surger 1996, istilah
sinusitis lebih tepat diganti dengan rinosinusitis karena dianggap lebih akurat dengan alasan:
(1) secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung,
(2) sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis, dan
(3) gejala-gejala obstruksi nasi, rinore dan hiposmia dijumpai pada rinitis ataupun
sinusitis.
Rhinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus
meningkat prevalensinya. Rhinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang
berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki
pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit
rhinosinusitis ini.Penyebab utama sinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri.
Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan maksilaris. Bahaya
dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intracranial, komplikasi ini terjadi akibat
tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tidak dapat dihindari. Tatalaksana
3
dan pengenalan dini terhadap sinusitis ini menjadi penting karena hal diatas. Terapi antibiotic
diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi, mukosa polipoid dan atau
terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi1.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
Sinus paranasal merupakan ruang udara yang berada di tengkorak. Bentuk sinus
paranasal sangat bervariasi pada tiap individu dan semua sinus memiliki muara (ostium) ke
dalam rongga hidung.Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi
hidung. Anatominya dapat dijelaskan sebagai berikut: sinus frontal kanan dan kiri, sinus
ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrium
highmore) dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang
merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung
melalui ostium masing-masing3.
Gambar 2.1
Sinus paranasalis tampak depan dan samping
Secara embriologis, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya pada fetus saat usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontalis dan sphenoidalis.
Sinus maksilaris dan ethmoid sudah ada saat anak lahir sedangkan sinus frontalis mulai
berkembang pada anak lebih kurang berumur 8 tahun sebagai perluasan dari sinus etmoidalis
5
anterior sedangkan sinus sphenoidalis berkembang mulai pada usia 8-10 tahun dan berasal
dari postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimum
pada usia 15-18 tahun. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak simetris dan dipisahkan
oleh sekat di garis tengah4.
Sinus paranasal divaskularisasi oleh arteri carotis interna dan eksterna serta vena yang
menyertainya seperti a. ethmoidalis anterior, a. ethmoidalis posterior dan a. sfenopalatina.
Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media
terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sphenoid
Berdasarkan ukuran sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus maksilaris, sinus
frontalis, sinus ethmoidalis dan sphenoidalis5.
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi6:
a. Grup Anterior :
· Frontal, maksilaris dan ethmoidalis anterior
· Ostia di meatus medius
· Pus dalam meatus medius mengalir kedalam faring
b. Grup Posterior :
· Ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis
· Ostia di meatus superior
· Pus dalam meatus superior mengalir kedalam faring
2.1.1. Sinus Maksilaris
a. Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus maksilaris arcus I.
b. Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung, sedang apexnya pada
pars zygomaticus maxillae.
c. Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada orang dewasa.
d. Berhubungan dengan3:
6
1)
Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra orbitalis) sehingga jika
dindingnya rusak maka dapat menjalar ke mata.
2)
Gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2 Mo1ar.
3)
Ductus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum nasi.
e. Suplai darah terbanyak melalui cabang dari arteri maksilaris. Inervasi mukosa sinus
melalui cabang dari nervus maksilaris.
2.1.2 Sinus Frontalis
a.
Sinus frontalis mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-sel
resessus frontal atau dari sel-sel infundibulum ethmoid. Sinus ini dapat terbentuk atau
tidak.
b. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm.
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk.Tidak simetris
kanan dan kiri, terletak di os frontalis.
c.
Volume pada orang dewasa ± 7cc.
d. Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).
e. Berhubungan dengan3:
1) Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta.
2) Orbita, dibatasi oleh tulang compacta.
3) Dibatasi oleh Periosteum, kulit, tulang diploic.
f.
Suplai darah diperoleh dari arteri supraorbital dan arteri supratrochlear yang berasal
dari arteri oftalmika yang merupakan salah satu cabang dari arteri carotis inernal.
Inervasi mukosa disuplai oleh cabang supraorbital dan supratrochlear cabang dari
nervus frontalis yang berasal dari nervus trigeminus
2.1.3 Sinus Ethmoid
a. Terbentuk pada usia fetus bulan IV.
7
b. Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa terdiri dari 7-15
cellulae, dindingnya tipis.
c. Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak antara hidung dan
mata
d. Berhubungan dengan3:
1) Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu lamina cribrosa. Jika
terjadi infeksi pada daerah sinus mudah menjalar ke daerah cranial (meningitis,
encefalitis dsb).
2) Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika melakukan operasi pada
sinus ini kemudian dindingnya pecah maka darah masuk ke daerah orbita
sehingga terjadi Brill Hematoma.
3) Nervus Optikus.
4) Nervus, arteri dan vena ethmoidalis anterior dan pasterior.
e. Suplai darah berasal dari cabang nasal dari a. sphenopalatina. Inervasi mukosa berasal
dari divisi oftalmika dan maksilari nervus trigeminus
2.1.4 Sinus Sphenoidal
a.
Terbentuk pada fetus usia bulan III
b. Terletak pada corpus, alas dan Processus os sphenoidalis.
c.
Volume pada orang dewasa ± 7 cc.
d. Berhubungan dengan3:
1) Sinus cavernosus pada dasar cavum cranii.
2) Glandula pituitari, chiasma n.opticum.
3) Tranctus olfactorius.
4) Arteri basillaris brain stem (batang otak)
8
e.
Suplai darah berasal dari arteri carotis internal dan eksternal. Inervasi mukosa berasal
dari nervus trigeminus.
Pada meatus medius yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka
inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit yaitu hiatus semilunaris yakni muara dari
sinus maksila, sinus frontalis dan ethmoid anterior.
2.1.5 Kompleks Ostio-Meatal
Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan
sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal
(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus
maksila
2.2.Fisiologi
Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal.
Beberapa pendapat mengenai fungsi sinus paranasal antara lain1:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara
inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara
yang definitive antara sinus dan rongga hidung. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung.
b. Sebagai penahan suhu (termal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri
dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
c. Membantu keseimbangan kepala
9
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi
bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat
sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna.
d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas
suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan
sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi
suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada
waktu bersin atau membuang ingus.
f.
Membantu produksi mucus
Jumlahnya kecil dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mucus ini keluar dari
meatus medius, tempat yang paling strategis.
2.3. Definisi
Sinus adalah saluran pada tulang tengkorak yang menghubungkan rongga hidung dan
rongga mata. Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam
kedokteran -itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan sinus
paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi
virus, bakteri maupun jamur7.
Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus
ethmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus sphenoidalis
(terletak di belakang dahi). Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus paranasal yang dapat
10
berupa sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal, dan sinusitis sphenoid. Bila
yang terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis, dan bila semua sinus terkena disebut
pansinusitis1.
2.4. Etiologi
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis
(berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun).
Penyebab sinusitis akut:
a. Virus
Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran pernafasan bagian
atas (misalnya pilek).
b. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan normal
tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase dari sinus tersumbat
akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang sebelumnya tidak berbahaya
akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus, sehingga terjadi infeksi sinus
akut. Bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah Streptociccus
pneumonia (30-50%), Hemophylus influenza (20-40%) dan Moraxella catarrhalis
(4%). Pada anak, M. catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%). Pada sinusitis kronik,
bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri gram negative dan anaerob1.
c. Jamur
11
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus merupakan jamur
yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita gangguan system kekebalan. Pada
orang-orang tertentu, sinusitis jamur merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.
d. Peradangan menahun pada saluran hidung.
Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula halnyapada
penderita rinitis vasomotor.
e. Penyakit tertentu.
Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan
danpenderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).
Penyebab sinusitis kronis:
a. Asma
b. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)
c. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan lendir.
Sinusitis lebih sering disebabkan adanya faktor predisposisi seperti8:
a. Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik.
b. Gangguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap rokok,
polusiudara, atau karena panas dan kering.
c. Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran seperti :
a) Atresia atau stenosis koana
b) Deviasi septum
c) Hipertroti konka media
d) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis kistik
e) Tumor atau neoplasma
f) Hipertroti adenoid
g) Udem mukosa karena infeksi atau alergi
12
h) Benda asing
d. Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek
e. Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal
f. Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena leukemia dan
imunosupresi oleh obat.
2.5. Klasifikasi
Secara klinis sinusitis dibagi atas1:
a. Sinusitis akut : batas waktu ≤ 4 minggu.
b. Sinusitis subakut : antara 4 minggu sampai 3 bulan
c. Sinusitis Kronis : ≥ 3 bulan.
Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi 2:
a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis
b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan
sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar)
2.6. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran klirens
dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus juga
mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap
kuman yang masuk bersama udara pernafasan1.
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga mukosa
yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan
juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif didalam
13
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus.
Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis
non bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang
tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi
bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang
membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka inflamasi berlanjut, akan terjadi
hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan
perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.
Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi1.
Gambar 2.2
Patofisiologi Sinusitis
2.7.Diagnosis
Penegakan diagnosis sinusitis secara umum3:
Kriteria Mayor
Kriteria Minor
a. Sekret nasal yang purulen
a. Edem periorbital
b. Drainase faring yang purulen
b. Sakit kepala
c. Purulent Post Nasaldrip
c. Nyeri di wajah
d. Batuk
d. Sakit gigi
14
e. Fotorontgen(Water’sradiograph atau e. Nyeri telinga
air fluid level) : Penebalan lebih 50% f. Sakit tenggorok
dari antrum
g. Nafas berbau
f. Coronal CT Scan : Penebalan atau h. Bersin-bersin bertambah sering
opaksifikasi dari mukosa sinus
i. Demam
j. Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil
dan bakteri
k. Ultrasound
Kemungkinan terjadinya sinusitis jika terdapat gejala dan tanda 2 mayor, 1 minor dan ≥ 2
kriteria minor.
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1. Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis sinusitis
akut
2. Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi harus
dilakukan pada pasien immunocompromise dengan perawatan intensif dan pada anakanak yang tidak respon dengan pengobatan yang tidak adekuat, dan pasien dengan
komplikasi yang disebabkan sinusitis3.
b. Imaging
1. Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa sinusitis dengan
menunjukan suatu penebalan mukosa, air-fluid level, dan perselubungan. Pada
sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi untuk mengetahui adanya
abses gigi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut (Laszlo, 1997) :
a) Posisi Caldwell
Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja sedemikian
rupa sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan kantus lateralis mata dengan
15
batas superior kanalis auditorius eksterna) tegak lurus terhadap film. Sudut sinar
rontgen adalah 15°kraniokaudal dengan titik keluarnya nasion.
Gambar 2.3
Posisi Caldwell
b) Posisi Waters
Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini adalah untuk
memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum maksila. Hal ini
didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu
menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus medial mata dan tragus
membentuk sudut lebih kurang 37°dengan filmproyeksi waters dengan mulut terbuka
memberikan pandangan terhadap semua sinus paranasal.
Gambar 2.5
Posisi Waters
16
c) Posisi lateral
Kaset dan film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak.
Gambar 2.6
Posisi lateral
2. CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut, menunjukan
suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi pernafasan atas dan
40% pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk luas dan
beratnya sinusitis
3. MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang menyertai
sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis sinusitis akut3.
Sedangkan untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya adalah sebagai
berikut9:
a. Sinusitis Akut
1. Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (terutama
pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.
Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu, sertagejala
lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring
17
(post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah
sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain.
a) Sinusitis Maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang sering
terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya
lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksila hanya
tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus
alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus
maksila terletak di meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga
mudah tersumbat10.
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan
daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang
menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga9.
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala mendadak,
misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan
menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk
iritatif non produktif seringkali ada10
b) Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi
sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis (lamina papirasea)
seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta dianggap
sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.
18
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadangkadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di
pelipis ,post nasal drip dan sumbatan hidung9.
c) Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus etmoidalis
anterior.
Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis mata,
biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan
mereda hingga menjelang malam.
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin
terdapat pembengkakan supra orbita.
d) Sinusitis Sphenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di belakang bola
mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis,
sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya10.
2. Gejala Obyektif
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid anterior)
terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat
periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan atau seperti
meraba beludru.
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada
sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang timbul
pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi.
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis
maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di
19
meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sphenoid nanah
tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip,tumor maupun
komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai.
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5 menit
dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet hidung
pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat, jika positif
sinusitis maksilaris maka akan keluar pus dari hidung.
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak
lebih suram dibanding sisi yang normal.
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral. Akan tampak
perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus
yang sakit.
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius atau meatus
superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal di
hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus, streptococcus, staphylococcus dan
haemophylus influensa. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau jamur10.
b. Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang akutnya
(demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda.
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada rinoskopi
posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus
yang sakit, suram atau gelap10.
c. Sinusitis Kronis
20
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar
disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan
faktor predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa
hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik,
sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan
sinusitis akut tidak sempurna.
1. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :
a) Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca nasal (post
nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya sedikit tersumbat.
b) Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
c) Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan tuba
eustachius.
d) Ada nyeri atau sakit kepala.
e) Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
f) Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau
bronkhiektasis atau asma bronkhial.
g) Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.
2. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat
pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental, purulen
dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau komplikasi
sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke
tenggorok.
21
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan etmoiditis
kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris. Etmoiditis kronis ini
dapat menyertai poliposis hidung kronis.
3. Pemeriksaan Mikrobiologi
Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti kuman aerob S.
aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto streptococcus dan fuso
bakterium.
4. Diagnosis Sinusitis Kronis
Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :
a) Anamnesis yang cermat
b) Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
c) Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada daerah
sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.
Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya
Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis(sinus penuh
dengan cairan)
d) Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan
Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk memproyeksikan tulang
petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan
kepala pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini
terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi
Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus
frontal, sphenoid dan ethmoid.
Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa:
1) Penebalan mukosa,
22
2) Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)
3) Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yangdapat dilihat
pada foto waters.
e) Pungsi sinus maksilaris
f) Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam sinus,
apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan bagaimana
keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis kronis akibat
perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup sehingga drenase menjadi
terganggu.
g) Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan
sinoskopi.
h) Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan nasoendoskopi.
i) Pemeriksaan CT –Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan
sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan
tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak
homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan
sklerotik (pada kasus-kasus kronik).
Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :
a) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada
pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar membedakannya dengan
polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama makin besar dapat menyebabkan
gambaran air-fluid level.
b) Polip yang mengisi ruang sinus
c) Polip antrokoanal
23
d) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
e) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh massa
jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan sebagai
perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran perifer.
f) Tumor
2.8.Penatalaksanaan
2.8.1 Sinusitis Akut
a. Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae. Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik
(2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau
cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik
untuk memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada
pasien atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan
maka pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada
perbaikan maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin
klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi
tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.
b. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau nasoendoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi
sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi
komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.
c.
Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi
komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada
sekret tertahan oleh sumbatan.
24
2.8.2 Sinusitis Subakut
a. Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan,
yaitu diatermi atau pencucian sinus.
b. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai
dengan resistensi kuman selama 10 – 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis
berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan
mukolitik.
c. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave
Diathermy) sebanyak 5 – 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki
vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.
d. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid,
frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan
pencucian sinus cara Proetz10.
2.8.3 Sinusitis Kronis
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan
diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 1014 hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II +
terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik
alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi
10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan nasoendoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks
osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional.
Jika tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.
c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.
25
d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,
frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
Radikal
− Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
− Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
− Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi Killian.
Non Radikal
− Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan
membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
Indikasi: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat ; sinusitis
kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel ;
polip ekstensif, adanya
komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur1.
2.9 Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat
infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin
dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
a. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut, namun sinus frontalis
dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus
ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina
26
papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada
kelompok umur ini.
2. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi
orbita namun pus belum terbentuk.
3. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.
4. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap
ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius.
Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva
merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
5. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran
vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
a) Oftalmoplegia.
b) Kemosis konjungtiva.
c) Gangguan penglihatan yang berat.
d) Kelemahan pasien.
e) Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan dengan saraf
kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
b. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, kista
ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus
dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis, kista ini dapat membesar dan
melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai
27
pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam
sinus sphenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan
menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel
meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua mukosa
yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.
c. Komplikasi Intra Kranial
1) Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut,
infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari
sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina
kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
2) Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering kali
mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh
nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.
3) Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan
otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
4) Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat
terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.Terapi komplikasi intra
kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah pada ruangan yang
mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
d. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah
infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa
malaise, demam dan menggigil10.
28
2.10. Diagnosis Banding
Dari anamnesis bila didapatkan keluhan:
 Hidung terseumbat dan berair, cairan putih kekuningan:
-
Common cold
-
Rhinitis
-
Sinusitis
-
Korpus alienum di hidung
-
Adenoitis
 Sakit kepala:
-
Tension headache
-
Migraine headache
-
Sinus headache
-
Cluster headache
-
Reffered pain headache
 Batuk kronik:
-
Pertusis
-
Bronchitis
-
Tuberculosis
-
Sinusitis
-
GERD
2.11. Pencegahan
a. Pasien dengan rhinitis alergi harus segera diobato karena edema mukosa dapat
menyebabkan obstruksi sinus.
29
b. Bila adenoid mengalami infeksi, mengilangkan itu berarti mengeliminasi sarang infeksi
dan dapat mengurangi infeksi pada sinus.
c. Menjaga kebersihan gigi dan mulut.
2.12. Prognosis
Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang diberikan.
Semakin cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotika serta obat-obat
simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat memberikan prognosis yang
baik.
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) akan mengembalikan fungsi sinus dan
gejala akan semubuh secara komplit atau moderat sekita 80-90% pada pasien dengan sinusitis
kronis rekuren atau sinusitis kronis yang tidak responsive terhadap medikamentosa.
30
BAB III
KESIMPULAN
Rhinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau
infeksi virus, bakteri maupun jamur. Terdapat 4 sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris,
sinus ethmoidalis, sinus frontalis dan sinus sphenoidalis.Penyebab utama sinusitis adalah
infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena
adalah sinus ethmoid dan maksilaris. Gejala umum rhinosinusitis yaitu hidung tersumbat
diserai dengan nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulent, yang seringkali turun ke
tenggorol (post nasal drip). Klasifikasi dari sinusitis berdasarkan klinis yatu sinusitis akut,
subakut dan kronik, sedangkan klasifikasi menurut penyebabnya adalah sinusitis rhinogenik
dan dentogenik. Bahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intracranial.
Tatalaksana berupa terapi antibiotic diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi,
mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi.
Tatalaksana yang adekuat dan pengetahuan dini mengenai sinusitis dapat memberikan
prognosis yang baik.
31
DAFTAR PUSTAKA
1.
Mangunkusumo, Endang, Soetjipto D. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3
2.
PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia. 2006. Hal 1-6
3.
Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In advanced
Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505
4.
Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku Ajar
Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2002, 115
– 119.
5.
Shyamal, Kumar DE. Fundamental of Ear, Nose and Throat & Head-Neck
Surgery. Calcuta: The New Book Stall; 1996. 191-8
6.
Rukmini S, Herawati S. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung & Tenggorok.
Jakarta: EGC; 2000. 26-48
7.
Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. 2-9
8.
Tadjudin OA. Batuk Kronik Pada Anak Ditinjau Dari Bidang THT. 1992.
Http://www.kalbe.co.id [diakses tanggal 20 Oktober 2013]
9.
Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. 3, Penerbit
Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 – 106
10. Mangunkusumo, Endang . Nusjirwan, Rifki, Sinusitis, dalam Eviati, nurbaiti, editor,
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Balai Penerbit
FK UI, Jakarta, 2002, 121 – 125
32
Download