CULTURAL STUDIES:

advertisement
IDENTITAS KELAS DAN MITOS KECANTIKAN KULIT PUTIH
Gindho Rizano
Universitas Andalas Padang
ABSTRACT
This article takes Indonesia’s modern myth of whiteness as the criteria of women’s
beauty as the object of analysis. It focuses on how media, especially through
advertisement, spread the class-biased and racially-biased myth. By using generally
Barthesian, Foucauldian and Marxist cultural theory as the theoritical positions, it
argues that the myth is the product of the ideology of classicism and class identity.
This paper seeks to dysmantle the myth by showing its relation to its social origins
and power structure. It also seeks to repudiate the previous and well-known claim
that the myth is (solely) the product of colonialism and its ideologies.
Key words: mitos, putih, identitas, kelas, kelasisme, ras, ideologi, wacana,
habitus, semiotik
1. Pendahuluan
Sistem ekonomi berbasis pasar bebas Indonesia pasca-reformasi
memberi jalan pada media, terutama lewat iklan, untuk menyebar mitos modern
dan mengonstruksi identitas yang sesuai dengan interest pasar. Salah satu mitos
modern yang dominan dalam masyarakat kita adalah kulit putih sebagai kriteria
kecantikan wanita—sebuah mitos yang membuat ungkapan ‘hitam manis’ atau
‘sawo matang’ yang populer pada dekade 80-an menjadi istilah yang arkaik.
Mitos ini tidak banyak memberikan pilihan bagi perempuan. Dalam sistem
ekonomi yang tidak menganggap perempuan sebagai tenaga kerja yang
seberharga pria, banyak perempuan hanya mempunyai pilihan menjadi
konsumen pasif dan menjadikan kecantikan sebagai komoditas untuk mobilitas
kelas sosial. Pilihan lainnya adalah untuk bekerja secara temporer pada
perusahaan swasta yang menjadikan kriteria ‘menarik’ sebagai sarat; dan untuk
menjadi menarik atau cantik, adalah terutama sekali menjadi putih—setidaknya
begitu mitos yang disebar media lewat iklan-iklan produk pemutih dengan jenis
produk yang beragam dan frekuensi iklan yang tidak wajar.
Telah banyak usaha untuk menjelaskan penyebab kenapa ‘putih’ yang
menjadi kriteria utama kecantikan. Salah satu penjelasan yang paling berterima
sebelumnya adalah apa yang Aquarini Prabasmoro sebut sebagai “obsesi
[kolonial] lama bahwa kulit putih adalah kulit ideal” (2003:26). Dari sudut
pandang ini, perempuan ingin kelihatan putih karena kulit yang demikian
berasosiasi dengan ras yang dianggap, atau lebih tepatnya, di-konstruksi
sebagai ras ‘superior’. Ini merujuk pada ras kaukasia yang menghabiskan waktu
berabad-abad mengekplorasi, meng-kolonialisasi hampir seluruh pelosok dunia
dan seiring itu, menciptakan wacana-wacana barat-sentris yang melegitimasi
kolonialisasi. Wacana tersebut secara kolektif dirujuk Edward Said sebagai
Gindho Rizano
‘orientalisme’ yang mengandaikan inferioritas kelompok terjajah dan superioritas
kelompok penjajah. Wacana ini kemudian diinternalisasi oleh kelompok terjajah,
memberikan ilusi bahwa kulit ‘berwarna’ mereka adalah penanda inferioritas dan
bahwa superioritas hanya bisa didapat dengan menjadi ‘putih’ layaknya
kelompok penjajah.
Namun demikian, pada konteks Indonesia kontemporer, ada masalah
yang serius dengan anggapan bahwa kekaguman terhadap barat memberi jalan
pada mitos kecantikan kulit putih. Pertama, apa yang dianggap ‘putih’ dalam
kesadaran masyarakat kita bukanlah ‘putih’ ras kulit putih. Survey informal yang
penulis lakukan terhadap tujuh koresponden 1 menunjukkan kecenderungan
bahwa ras yang dianggap putih menarik adalah ras (mongoloid) Cina. Kedua,
kulit kaukasia cenderung dikonotasikan dengan freckles atau bercak-bercak,
sesuatu yang berlawanan dengan kulit putih yang berasosiasi dengan
kebersihan. Ini terbukti dengan fakta bahwa iklan-iklan produk pemutih yang
beredar di Indonesia tidak memakai perempuan kaukasia sebagai modelnya.
Namun demikian, benar adanya sebagian model iklan pemutih adalah indo. Saya
setuju dengan Aquarini yang mengatakan bahwa hal ini adalah strategi
‘glokalisasi’ kapitalisme barat. Tetapi ini hanya sebatas asosiasi produk dengan
‘kebaratan’ yang pada intinya berasosiasi dengan kemapanan dan nilai-nilai
kosmopolitan yang selama ini dipropagandakan oleh globalisme; bukan dengan
kulit ras kaukasia secara spesifik. Saya berargumen bahwa pemilihan indo untuk
beberapa iklan pemutih, selain karena asosiasi kosmopolitannya, adalah karena
individu-individu indo adalah individu-individu yang relatif ‘tidak kelihatan’ dalam
kehidupan sehari-hari kaum kelas menengah kebawah sehingga mudah
dijadikan objek imajinasi; suatu ‘simulakra’ yang tak perlu ada secara nyata
namun hanya berada dalam tataran ideal untuk terus menurus digapai. Pemilihan
indo sebagai model secara implisit juga menunjukkan bahwa ras kaukasia tidak
dianggap sebagai ras yang mewakili kulit yang ‘paling menarik’.
Jika putih yang didambakan perempuan-perempuan yang di-interpelasi
oleh media bukanlah masalah ingin berasosiasi dengan ras kaukasia, mungkin
hal ini dapat dijelaskan dengan hal yang sepenuhnya berbeda. Saya merujuk
pada kategori umum yang membagi manusia menjadi kelompok besar menurut
fungsinya dalam moda produksi, yaitu kelas.
2. Politik Identitas: Kelasisme
Kelas harus dipahami bukan hanya sebagai fakta sosial, namun juga
sebagai identitas: Identitas yang perlu dikonstruksi terus-menerus, diasosiasikan
dengan berbagai hal sebagai petanda bahwa subjeknya adalah bagian dari kelas
tersebut. Ini berarti identitas kelas adalah sesuatu yang tidak mempunyai esensi
karena ia merupakan konstruksi, seperti layaknya gender dan ras. Individu dari
kelas manapun dapat mengadopsi identitas kelas atas—setidaknya secara
psikologis—dengan memakai produk-produk yang berasosiasi dengan kelas
atas. Inilah yang menjadi strategi banyak produk-produk kecantikan seperti Lux.
Selain bahwa ia merupakan sebuah konstruksi, sebuah identitas,
layaknya sebuah tanda dalam teori strukturalis-linguistik, terbentuk lewat azas
perbedaan (differential), seperti yang dikemukakan strukturalis kondang
Jonathan Culler:
220
Linguistika Kultura, Vol.02, No.03/Maret/2009
The process of identity-formation not only foregrounds some
differences and neglects others; it takes an internal difference or
division and projects it as a difference between individuals or
groups. (2000:117)
Dengan begitu, identitas kelas atas hanya bisa dibentuk dengan menegasi kelas
lainnya. Prinsip perbedaan inilah yang mendasari pembentukan identitas barat
dan timur seperti yang dikemukakan Edward Said. Barat mendefinisikan dirinya
sebagai sesuatu yang berbeda dari timur; dan pada saat yang sama barat
melakukan konstruksi identitas demi melanggengkan oposisi imajiner tersebut;
timur dibentuk sebagai yang ‘eksotis’, ‘feminim’, ‘irasional’, ‘keterbelakang’,
berbeda dengan barat yang memahami dirinya sebagai ‘maju’, ‘beradab’ , dan
‘rasional’.
Saya berargumen bahwa prinsip yang serupa juga terjadi dalam identitas
kelas; dan hal ini akan menjelaskan mengapa ‘putih’ menjadi kategori utama
dalam kecantikan. Untuk hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana kelas
bawah dimaknai dan bagaimana kelas atas memaknai dirinya sendiri. (Saya
memilih morfem aktif ‘me-‘ untuk kelas atas dikarenakan karena media adalah
milik kelas sosial tersebut). Pendek kata, kita perlu mengetahui bagaimana
keduanya—identitas kelas atas dan kelas bahwah—dicoba dikontraskan. Juga
penting diketahui adalah konteks spesifik wilayah perkotaan Indonesia: tempat
dimana iklan-iklan dengan mitos kulit putihnya diciptakan lalu kemudian
disebarkan keseluruh Indonesia lewat berbagai media.
Salah satu fitur yang membedakan individu dari kelompok ekonomi kelas
bawah dengan individu dari kelompok ekonomi kelas atas urban Indonesia
adalah kulitnya yang terbakar matahari. Pada konteks perkotaan, pekerjaan
kelas menengah kebawah adalah jenis pekerjaan yang selalu ter-ekspos oleh
matahari. Ambil buruh, pedagang kaki lima, sopir angkutan, salesman sebagai
contoh. Berkulit lebih gelap adalah konsekuensi wajar dari pekerjaan jenis ini.
Kulit gelap pun serta merta menjadi (dijadikan) penanda akan status sosial
seseorang, seperti halnya mata sipit menjadi penanda suatu ras tertentu atau
langkah yang gemulai menjadi penanda feminimitas. Masyarakat kelas atas, jika
ingin dikatakan mempunyai identitas kelas atas, tentunya harus mengikuti prinsip
dikotomi sederhana dengan menjadi apa yang bukan kelas bawah. Disinilah kulit
putih, meminjam istilah Roman Jakobson, di-foreground merelegasi warna yang
lebih gelap ke background. Kulit yang jarang terkena sinar matahari yang
membakar kelompok menengah kebawah kemudian menjadi penanda akan
identitas kelas atas dan kemudian mendapat makna yang positif karena dalam
sistem ekonomi kompetitif kelas atas adalah kelas yang ideal: kelas yang
individu-individu di dalamnya di-wacanakan sebagai pemenang dalam kompetisi
tersebut.
Identitas kelas yang dikonstruksi secara relasional dan dengan azas
differential juga dibahas oleh sosiolog ternama Pierre Bourdieu:
Social subjects, classified by their classifications, distinguish
themselves by the distinctions they make, between the beautiful
and the ugly, the distinguished and the vulgar, in which their
position in the objective classification is expressed or betrayed.
(Dalam Hitchcock, 2008:94)
221
Gindho Rizano
Lebih lanjut, Bourdieu berpendapat bahwa individu dari kelas tertentu
mempunyai habitus, atau “satu set kecenderungan atau prinsip-prinsip pengatur
yang menentukan struktur aksi dan sifat manusia. (2008:90). Habitus yang
dimiliki masing-masing kelas hanya bisa dimengerti dengan mengontraskan dua
kelas tersebut. Hitchcock dalam pembahasannya tentang habitus memberikan
contoh dengan mengontraskan dua tipe individu dari dua kelas:
… a corporate executive with an advanced college degree,
disposable income, season tickets to the opera, and a taste for
fine wine, contrasts with the dispositions (habitus) of a “blue collar”
worker with a high school diploma, significant debt, who watches
sports on television, and prefers Budweiser to Bordeaux.
(2008:90-91).
Tidak sukar untuk melihat kontras tersebut pada konteks Indonesia kontemporer.
Seorang individu kelas atas akan mempunyai kecenderungan, kebiasaan dan
selera yang kontras dengan individu kelas bawah. Jika individu kelas bawah
memilih olahraga sepakbola, individu kelas atas harus memilih olahraga yang
berbeda seperti golf atau tenis. Ini juga berlaku pada konteks kulit. Jika berkulit
gelap adalah properti dari kaum kelas bawah, kulit yang terang secara relasional
dan kontras menjadi milik kelas atas. Dengan kata lain, mempunyai kulit yang
lebih putih menjadi habitus bagi kelas atas; menjadi semacam penanda sosial
(social marker) akan identitas kelas tersebut 2 . Kulit putih sebagai habitus
kelompok kelas atas semakin mendapat makna karena ia mempunyai serentetan
konotasi: bahwa individu yang mempunyainya mampu secara ekonomi untuk
‘merawat’ tubuhnya dengan jasa dan produk yang ditawarkan pasar, dan bahwa
individu tersebut mempunyai pekerjaan kantoran yang bonafid sehingga
terlindung dari matahari.
Perlu penulis tekankan bahwa pemaknaan kulit putih sebagai kulit yang
menarik adalah sesuatu yang sepenuhnya arbiter (berdasarkan konvensi
belaka). Ia hanya bermakna positif karena perbedaannya dengan kulit gelap
yang berasosiasi dengan kelas menengah kebawah dan pekerjaannya. Kearbiter-an ini bisa dibuktikan dengan melihat konteks barat. Bagi masyarakat
urban Amerika Serikat, kulit yang terbakar matahari dianggap lebih menarik
daripada kulit yang pucat—suatu hal yang dibuktikan dengan pemilihan model
dengan kulit kecoklatan akibat sinar matahari pada sampul depan majalahmajalah seperti Cosmopolitan. Ini disebabkan karena kulit kecoklatan akibat
matahari menandakan kemampuan ekonomi individu untuk berlibur di pantai atau
daerah tropis; berbeda dengan kelas pekerja yang tak mempunyai dana yang
cukup untuk berlibur.
Hal lain yang menjadi fitur pembeda antara dua kelas tersebut adalah
terawat atau tidak terawatnya kulit oleh jasa dan produk-produk yang ditawarkan
pasar. Dalam kapitalisme pasca industri, wibawa sosial terletak pada
kemampuan ekonomi individu untuk mendapatkan jasa; kemampuan individu
melakukan intervensi pada tubuhnya yang alami dengan produk-produk atau jasa
yang ditawarkan pasar. Ini berarti, sebagai contoh, rambut yang menarik adalah
rambut yang diluruskan atau dikeritingkan oleh jasa salon atau dengan bantuan
produk tertentu. Tidak ada tempat untuk lurus atau keriting alami. Hal yang sama
juga bisa dilihat pada kasus kulit. Kulit yang menarik adalah kulit yang telah
diintervensi oleh perawatan atau produk yang ditawarkan pasar.
222
Linguistika Kultura, Vol.02, No.03/Maret/2009
Ukuran wibawa sosial pun bersifat arbiter. Ia berbeda tiap zaman karena
ia bergantung pada apa yang disebut oleh Ernest Mendel sebagai ‘produk
surplus sosial’ (2006:10) suatu kelompok masyarakat. Jika produk surplus sosial
masyarakat pasca industri berupa uang, wibawanya akan tergantung pada
bagaimana uang itu dihabiskan untuk pendekorasian diri dengan produk dan
jasa. Berbeda dengan masyarakat pascaindustri, masyarakat feodal Hawaii,
sebagai contoh, mempunyai produk surplus berupa makanan sehingga wibawa
sosialnya tergantung pada berat badan individu (2006:10).
Dibalik dari dikotomi yang menentukan identitas ini adalah ideologi
kelasisme. Kelasisme menurut Lois Tyson dalam Critical Theory Today adalah
sebuah ideologi yang menyamakan nilai seseorang sebagai manusia dengan
posisi kelasnya: semakin tinggi kelas sosial seseorang semakin tinggi tinggi pula
nilainya sebagai manusia (2006:59). Ideologi yang muncul dari struktur
masyarakat kapitalis ini menjelaskan mengapa segala hal yang berhubungan dan
kelas atas bermakna positif: sepatu dimaknai lebih positif dari sendal, kompetisi
lebih diutamakan dari kerjasama, individualisme diletakkan di atas kebersamaan,
hal yang berbau urban lebih dianggap bagus dari hal yang berhubungan dengan
kehidupan rural, baju jas seberapa pun tidak cocoknya dengan iklim tropis kita
lebih dihargai dari sekedar baju kemeja, kerja kantoran lebih mempunyai prestise
dari kerja yang mengandalkan otot, dan tentunya, kulit putih lebih diidealkan dari
kulit gelap. Ideologi ini juga yang membuat mitos-mitos yang ditawarkan pasar
lewat media dapat diterima dan dianggap taken-for-granted. ‘Naturalisasi’ mitos
ini ke dalam kesadaran masyarakat tersebut dibuat mudah dengan minimnya
wacana atau ideologi alternatif dalam media yang dimonopoli oleh kelompok
sosial tunggal.
Kita akan melihat bagaimana ideologi kelasisme yang memberi previlise
pada identitas kelas atas menjadi basis bagi mitos kulit putih pada iklan produk
pemutih Pond’s, yang saya anggap sebagai produk yang mewakili produk lain
atas beberapa pertimbangan: a) Pond’s merupakan produk internasional yang
diterima dengan baik oleh konsumer nasional, dan b) frekuensi dan popularitas
iklan yang cukup tinggi.
3. Kulit Putih sebagai Identitas Kelas Atas dalam Iklan Pond’s
Untuk melihat bagaimana superioritas kelas atas dikonstruksi dan juga
bagaimana kulit putih menjadi penanda akan identitas kelas atas, saya akan
menganalisis sebuah iklan produk-produk Pond’s versi Pond’s 10 Most Beautiful
Women yang saya ambil dari Kompas Minggu tanggal 25 Mei 2008, hlm 8-9.
Iklan ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama [Gambar 1 dalam lampiran]
mengambil setengah halaman koran. Bagian pertama ini melihatkan sepuluh
wanita, kesemuanya adalah selebriti ternama Indonesia dalam pakaian gaun
malam berwarna krem dengan latar taburan bias cahaya gemerlap. Pada bagian
atas terdapat judul yang berbunyi “Pond’s mempersembahkan 10 Pond’s
Beautiful Women” dan kemudian diikuti oleh caption berbunyi “Karena POND’s
percaya semua wanita itu cantik dan cantik tak mengenal batas usia”. Iklan
bagian kedua [Gambar 2 dalam lampiran] mengambil satu halaman penuh koran
dan meilhatkan sembilan macam produk Pond’s yang empat diantaranya adalah
produk pemutih. Latarnya serupa dengan bagian pertama. Analisis ini akan fokus
pada bagian pertama yang mempunyai lebih banyak pesan-pasan kultural dan
ideologis.
223
Gindho Rizano
Nilai ideologis iklan pertama sekali dapat dilihat dari caption iklan yang
berbunyi “Karena Pond’s percaya semua wanita itu cantik dan cantik tak
mengenal batas usia”. Proyek ideologis caption tersebut adalah meyakinkan
pembaca bahwa semua wanita itu cantik jika mau merawat kulitnya dengan
produk Pond’s. Namun, pembacaan kritis dapat melihat bahwa kata ‘semua’
pada konteks keseluruhan iklan adalah sesuatu yang kontradiktif. Kata tersebut
meng-ekspos apa yang disebut Pierre Macherrey sebagai gap atau kontradiksi
dalam ideologi karena jelas hanya satu kelompok sosial yang dihadirkan dalam
iklan ini—hal yang mematahkan (mendekonstruksi) klaim bahwa ‘semua’ wanita
cantik. Memang benar kesepuluh model dalam iklan tersebut bukan dari kisaran
umur yang sama; mereka pun bukan dari ras tunggal (Kebanyakan adalah
Melayu, dan beberapa seperti Sandra Dewi adalah keturunan Tionghoa). Namun,
semua wanita lewat berbagai penanda dalam iklan ini, berbagi identitas yang
sama: kelompok sosial kelas atas. Kelompok kelas bawah, seperti banyak iklan
lainnya, menjadi sesuatu yang absen dan otomatis menjadi yang liyan (the
other). Secara relasional hal ini menjadikan kelompok kelas atas sebagai ‘center’,
atau ‘the self’.
Penanda-penanda visual dalam iklan ini adalah penanda-penanda yang
berasosiasi dengan nilai-nilai kelas atas. Ini dapat dilihat dari penanda perhiasan,
pakaian gaun malam, dan pose elegan setiap model. Hal-hal tersebut
berasosiasi dengan ‘keglamoran’, ’kegemerlapan’, ‘kekayaan’ dan ‘kemapanan’
yang selalu dilihat sebagai properti kelas atas. Latar pun memberikan aksen
pada keglamoran dengan imaji gemerlap cahaya yang bisa saja
merepresentasikan gemerlap perhiasan atau gemerlap kehidupan bintang dan
masyarakat kelas atas.
Namun, yang paling menarik dari semua penanda dalam iklan ini adalah
bagaimana kulit para model ini dihadirkan. Seperti gaun malam, ia pun menjadi
penanda akan identitas kelas atas. Namun, hal ini diraih dengan
mengasosiasikan kulit tesebut dengan gemerlap cahaya. Sangat menarik bahwa
ke-putih-an kulit yang dihadirkan dalam iklan ini adalah sesuatu yang beraksen;
penggunaan cahaya dalam iklan ini membuat hanya bagian-bagian tertentu yang
kelihatan putih bercahaya. Hal ini mengasosiasikan putihnya seseorang dengan
gemerlap perhiasan atau gemerlap kehidupan bintang yang dikonotasikan oleh
latar dan perhiasan. Asosiasi ini penting karena ia menyampaikan dua pesan
implisit: (1) layaknya gemerlap kehidupan kelas atas atau perhiasan, kulit putih
adalah sesuatu yang didapat (budaya), bukan dari-sananya (alami). Untuk
menjadi putih mengharuskan konsumen membeli produk, karena putih yang
diinginkan adalah putih hasil intervensi produk yang ditawarkan; (2) Layaknya
kehidupan gemerlap dan perhiasan, fitur kulit putih hanya dimiliki oleh kelas atas,
bukan oleh kelas lainnya.
Juga menarik bahwa Iklan ini, seperti banyak iklan produk kecantikan dan
pemutih lainnya, tidak menjadikan ras tertentu sebagai sesuatu yang
mendefinisikan kulit putih. Iklan Pond’s di televisi (ditayangkan circa awal 2008)
versi gabungan tiga iklan Pond’s sebelumnya juga menunjukkan
kecenderungan 3 yang serupa. Model-model iklan tersebut adalah tiga wanita
dengan fitur ras yang berbeda 4 . Namun, ketiganya dihadirkan sebagai wanita
urban kelas menengah keatas sehingga mengasosiasikan kulit putih dengan
kelas tertentu, dan bukan dengan ras tertentu. Dengan ini, kita sekarang dapat
melihat hubungan yang kuat dan hampir tak terpatahkan antara mitos kulit terang
dengan kelompok sosial kelas menengah ke atas.
224
Linguistika Kultura, Vol.02, No.03/Maret/2009
4. Kesimpulan
Kita telah melihat bahwa identitas kelompok ekonomi kelas atas terbentuk
dalam hubungan relasional dengan identitas kelompok ekonomi kelas bawah.
Dalam konteks ini, mempunyai kulit yang putih merupakan ciri penanda kelas
atas karena kulit yang gelap dimaknai sebagai properti kelas bawah. Kita juga
telah melihat bahwa lewat media, kelas atas dikonstruksi menjadi ‘the self’ dan
meletakkan kelompok kelas bawah menjadi ‘the other’—sebuah struktur biner
yang juga tampak pada kategori-kategori lain seperti gender (dengan perempuan
sebagai ‘the other’) dan etnisitas (dengan ras-ras kulit ‘berwarna’ sebagai ‘the
other’). Pandangan kelasis ini kemudian membuat mitos kulit putih—suatu hal
yang dimaknai sebagai fitur kelompok kelas atas—mendapatkan kepopuleran
yang luar biasa.
Ideologi kelasis dan mitos kulit putih yang mengandaikan superioritas
kelompok kelas atas dengan nilai-nilainya tentunya mempunyai sisi negatif.
Pandangan tersebut hanya menguntungkan sebagian pihak (i.e. produsen dan
kelompok kelas atas) dan sangat merugikan bagi pihak mayoritas yang dibuat
merasa inferior dan pada saat yang sama harus membayar untuk tampil
‘berkelas’. Untuk itu, yang diperlukan adalah pemaknaan aktif atau alternatif
pembaca terhadap penanda-penanda yang di-kodekan oleh media. Dengan kata
lain, pembaca/penonton perlu membaca media atau teks budaya lainnya,
meminjam istilah Stuart Hall, secara oppositional dengan menolak dan tidak
selalu menerima semua pemahaman dunia yang tidak sesuai dengan kelompok
sosialnya. Ini dinilai penting karena penolakan terhadap mitos berarti
pembebasan pikiran dari ideologi.
Perlu ditambahkan bahwa Ideologi kelasis yang terejawantahkan pada
mitos superioritas kulit putih juga berimbas pada hal yang lain, yaitu rasisme.
Dengan pemahaman bahwa hanya individu yang berkulit terang adalah individu
yang menarik (dan secara implisit, superior) iklan dan media secara tak langsung
menyampaikan bahwa kebanyakan saudara-saudara kita di bagian Indonesia
timur adalah makhluk yang tidak menarik dan inferior. ‘Kekejian’ dan rasisme
media Indonesia pascaindustri ini tidak jauh beda dengan sikap rasisme negaranegara imperialis tempo dulu pada manusia-manusia di negara jajahannya yang
berkulit gelap. Perbedaannya adalah bahwa rasisme dulu terjadi dalam lingkup
kolonialisme sedangkan rasisme sekarang dalam lingkup pasar bebas.
Kelasisme dan mitos kulit putih juga berpengaruh pada relasi gender.
Menarik bahwa kelompok sosial yang menjadi target pasar produk pemutih
adalah perempuan. Hal ini terkait erat dengan posisi perempuan dalam sistem
kapitalisme. Kulit putih, yang telah dimaknai sebagai properti atau satu habitus
kelas atas, adalah semacam ‘capital’ untuk keberlangsungan hidup perempuan
dalam kapitalisme. Seperti yang penulis sentuh pada bagian pendahuluan,
mempunyai kulit putih dapat berarti mobilitas sosial yang lebih mudah dan
kemudahan untuk mendapatkan pekerjaan dalam kapitalisme pascaindustri yang
meng-kapitalisasi kecantikan perempuan. Hal ini kontras dengan peran laki-laki
yang dalam sistem ini lebih dituntut sebagai pencari nafkah utama.
Akhir kata, penulis ingin menekankan bahwa faktor basis ekonomi dan
kelas merupakan faktor penentu sebuah fenomena sosial. Namun, faktor-faktor
lainnya pun harus diakui juga mempengaruhi sebuah fenomena sosial.
Pandangan yang mengatakan bahwa previlise kulit putih adalah akibat ideologi
etnosentris barat dan rasisme tidak bisa sepenuhnya ditolak. Ideologi ini memang
pernah menjadi faktor penentu utama tumbuhnya mitos kecantikan kulit putih di
225
Gindho Rizano
berbagai tempat pada beberapa waktu; dan mungkin saja ideologi ini masih
punya andil dalam mempengaruhi pandangan masyarakat Indonesia tentang
daya tarik warna kulit tertentu. Inilah yang disebut dengan konsep
‘overdetermination’ oleh Louis Althusser: bahwa suatu fenomena sosial atau
produk budaya tertentu tidak hanya dideterminasi oleh satu hal (ekonomi).
Namun demikian, filsuf yang sama juga menegaskan bahwa pada akhirnya
adalah faktor sistem ekonomi beserta struktur kekeuasaannya yang menjadi
penentu.
Wacana etnosentris dan rasisme pun pada awalnya muncul karena faktor
ekonomi. Ann Louise Keating, misalnya, berpendapat bahwa pembedaan antara
kulit hitam dan kulit putih hanya muncul seiiring dengan praktek perbudakan yang
dilakukan oleh imperialis Eropa terhadap orang-orang Afrika 5 . Hal ini dilakukan
untuk melegitimasi perbudakan: para imperialis memberi label dirinya ‘putih’ dan
mengasosiasikan ‘putih’ dengan hal-hal yang positif seperti ‘kebenaran’, ‘cahaya’,
kemurnian’ sementara orang-orang Afrika (yang terdiri dari berbagai ras) diberi
label hitam dan diasosiasikan dengan hal-hal yang negatif. Dengan kata lain,
wacana rasisme dan pandangan bahwa ras eropa yang ‘putih’ adalah superior
dibanding ras lain yang ‘berwarna’, pada awalnya hanyalah sebuah konstruksi
yang digunakan untuk melegitimasi sistem perbudakan dan imperialisme.
Kembali pada konteks Indonesia, adalah sesuatu yang anakronistis untuk
mengatakan bahwa mitos kecantikan kulit putih adalah terutama sekali
disebabkan oleh ‘obsesi kolonial’ yang mengidealkan kulit penjajah Eropa (Walau
sangat mungkin hal ini pernah menjadi faktor dominan sebelumnya).
Kolonialisme datang dan pergi. Seiiring dengan lenyapnya kolonialisme dikotomi
penjajah dan terjajah pun dirasa kurang relevan; dan digantikan oleh dikotomi
kelas atas dan kelas bawah yang masih menjadi faktor penentu kehidupan sosial
di berbagai tempat di dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Culler, Jonathan. (2000). Literary Theory: A Very Short Introduction. Oxford:
Oxford University Press.
Keating, AnnLouise. (1995). “Whiteness,” (De)Constructing “Race”. College
English Vol 57, No. 8. http://jstor.org/stable/378620 (27 Februari 2008).
Hitchcock, Louise A. (2008). Theory for Classics: A Student’s Guide. New York:
Routledge.
Mandel, Ernest. (2006). Tesis-Tesis Pokok Marxisme. (Terj). Yogyakarta: Resist
Book.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. (2003). Becoming White: Representasi Ras,
Kelas, Femininitas, dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Yogyakarta:
Jalasutra.
Tyson, Louis. (2006). Critical Theory Today: A User-Friendly Guide. (2nd
Edition). New York: Routledge.
226
Linguistika Kultura, Vol.02, No.03/Maret/2009
Lampiran
Gambar 1. 10 Pond’s Beautiful Women. Sumber: Kompas Minggu 25 Mei 2008.
Gambar 2. Produk-produk Pond’s. Sumber: Kompas Minggu 25 Mei 2008.
227
Gindho Rizano
1
Koresponden terdiri atas tiga pria dan empat wanita. Ketika ditanya ras mana yang
wanitanya mempunyai kulit putih yang menarik, empat koresponden menjawab Cina, tiga
koresponden lainnya masing-masing menjawab Melayu, Indo, dan Arab.
2
Perbedaan habitus tidak hanya berujung pada perbedaan identitas kelas. Menurut
Bourdieu, habitus dan identitas yang berbeda berguna sebagai kekuatan simbolis untuk
melegitimasi ketidakadilan sosial. Lihat Hitchcock. Hal. 89-96.
3
Kecenderungan untuk tidak mengasosiasikan kulit putih dengan ras tertentu ini
memerlukan penelitian kualitatif dan kuantitatif lebih lanjut.
4
Melayu, campuran, dan Tiong Hoa. Namun perlu dicatat kedua iklan Pond’s yang
disebutkan di artikel ini tidak memakai model dengan ras yang berfitur kulit gelap. Ini
akan disentuh pada bagian kesimpulan.
5
Lihat AnnLouise Keating . “Whiteness,” (De)Constructing “Race”. College English
Vol.57, No.8. (2008), 911—912.
228
Download