23 BAB III TINJAUAN UMUM 3.1 Palinologi Definisi palinologi

advertisement
BAB III
TINJAUAN UMUM
3.1 Palinologi
Definisi palinologi menurut Moore & Webb (1978) adalah ilmu yang mempelajari
serbuk sari tumbuhan tingkat tinggi (polen) dan spora tumbuhan rendah.
Penerapan data palinologi dapat dipergunakan secara luas, hal ini antara lain
dikarenakan:
polen merupakan serbuk sari tumbuhan yang melimpah dan terawetkan
dalam sedimen Kuarter dan jumlahnya dapat dihitung sehingga dapat
dihasilkan suatu spektrum
polen resisten terhadap kerusakan, oleh karena itu memungkinkan
terawetkan dalam sedimen dalam berbagai keadaan
polen berukuran kecil (5-80µm) dan melimpah dalam sedimen, sehingga
hanya diperlukan sedikit sedimen sebagai sampel yang memadai
polen berasal dari tumbuhan yang pada mulanya membentuk bentang
vegetasi pada suatu area, oleh karena itu polen dapat digunakan untuk
merekonstruksi bentang vegetasi baik lokal maupun regional yang berada
di sekeliling lingkungan pengendapan
Sejarah flora dan vegetasi di suatu daerah dapat diungkap melalui pendekatan
palinologi. Analisis polen dan spora yang terendapkan dalam suatu sedimen dapat
mengungkapkan latar belakang perubahan flora dan vegetasi pada periode
tertentu. Dengan diketahuinya tipe polen maka dapat diketahui jenis tumbuhannya
23
(Morley (1990), Moore & Webb ( 1978), Erdtman (1952), Morley (1990) dan
Hillen (1986).
Tumbuhan mempunyai kepekaan yang cukup tinggi terhadap perubahan kondisi
ekologi. Dengan demikian, polen dapat berperan sebagai indikator lingkungan
pengendapan (Barbour et al., 1999).
3.2 Patahan Aktif
Menurut Keller & Pinter (1996), definisi patahan adalah rekahan atau sistem
rekahan di sepanjang batuan yang mengalami pergerakan. Sekumpulan patahan
yang saling berhubungan disebut zona patahan. Berdasarkan tingkat keaktifannya,
terdapat 3 (tiga) kelompok patahan, yaitu patahan aktif (active fault), patahan
berpotensi aktif (potential active) dan patahan tidak aktif (inactive fault). Patahan
aktif (active fault) merupakan patahan yang pernah bergerak selama kurun waktu
10.000 tahun yang lalu hingga kini. Patahan berpotensi aktif (potential active)
merupakan patahan yang pernah bergerak selama kurun waktu 1.650.000 tahun
yang lalu. Sedangkan patahan tidak aktif (inactive fault) merupakan patahan yang
belum pernah bergerak selama kurun waktu 1.650.000 tahun yang lalu.
Terminologi ketiga tipe patahan tersebut diperlihatkan dalam tabel 3.1.
Rangkaian dari peristiwa ke peristiwa bumi akan berkaitan erat dengan evolusi
perubahan lingkungan di masa lalu, kini dan kemudian hari, khususnya pada
periode Kuarter. Efek tektonik memberikan perubahan di permukaan bumi dan
memberikan dampak berubahnya lingkungan yang dicirikan oleh suatu evolusi
cekungan dan tinggian (Moechtar & Santoso, 2006).
Patahan aktif berkaitan dengan neotektonik. Neotektonik merupakan aktifitas
tektonik pada masa sekarang. Istilah neotektonik menurut Stewart & Hancock
(1994) adalah cabang dari tektonik yang berkaitan dengan pergerakan bumi (earth
24
movement) dimana terjadi di zaman lampau dan berkesinambungan hingga zaman
sekarang. Menurut Dennis (1882 op.cit. Yeats et al., 1997) neotektonik adalah
studi tentang proses tektonik yang aktif sekarang, dalam waktu geologi yang
terbukti aktif hingga saat ini dan menghasilkan struktur geologi. Wallace (1996
op.cit. Yeats et al., 1997) mengganti istilah neotektonik dengan tektonik aktif,
yaitu studi pergerakan tektonik yang diharapkan terjadi pada waktu yang akan
datang dan berkaitan dengan kehidupan manusia.
Tabel 3.1 Terminologi tipe patahan aktif (California State Mining & Geology
Board Classification, 1973 op.cit. Keller & Pinter, 1996).
Umur Geologi
Kenozoik
Masa
Zaman
Tahun
yang lalu
Kala
200
Holosen
Akfif
10.000
Kuarter
Potensi aktif
Plistosen
Tersier
Aktivitas
sesar
1.650.000
Pra-Plistosen
65.000.000
logi
Pra -Kenozoik
Tidak aktif
4.500.000.000
Umur Bumi
3.3 Sagpond
Definisi sagpond menurut Bates & Jackson (1987) adalah suatu cebakan air yang
mengisi depresi tertutup atau daerah yang turun karena adanya pergerakan
patahan aktif atau patahan yang belum lama terjadi, yang memiliki pola aliran
tertutup. Sedangkan menurut Keller & Pinter (1996), sagpond diartikan sebagai
suatu pond/kolam di sepanjang zona patahan yang terbentuk oleh suatu
25
downwarping (penurunan yang melengkung) di antara 2 (dua) alur yang berbeda
dari zona patahan tersebut.
Pemecahan masalah deformasi aktif (vertikal atau lateral) akan lebih baik jika
didukung aspek-aspek landform tektonik. Landform atau bentuk morfologi
dengan kenampakan khusus, dapat menggambarkan karakter topografi yang
mengalami pergerakan akibat adanya aktifitas tektonik (Keller & Pinter, 1996).
Sagpond dicirikan oleh bentuk topografi yang mengalami depresi/penurunan
secara lokal (Stewart & Hancock, 1994).
Untuk merekam data aktivitas patahan diperlukan data kondisi lingkungan
pengendapan di masa lalu. Data tersebut merupakan data lingkungan dengan
energi yang rendah, sehingga endapan akan terakumulasi dalam lapisan-lapisan
tipis yang dipisahkan oleh pelapukan, tanah organik atau batubara muda.
Lingkungan pengendapan tersebut dikenal sebagai sagpond (Sieh, 1978 op.cit.
McCalpin, 1996).
Keberadaan lapisan paleosol atau fosil tanah dalam hasil sedimentasi biasanya
mencirikan suatu ketidakselarasan yang mengindikasikan bahwa proses
sedimentasi sempat mengalami erosi dan pelapukan karena adanya kontak dengan
permukaan/atmospheric contact, hingga dilanjutkan dengan fase pengendapan
berikutnya yang mengindikasikan bahwa cekungan sedimentasi kembali terbentuk
(Boggs, 2001).
Perselingan antara pengendapan yang basah dan udara terbuka menghasilkan
sekuen stratigrafi pasir, lanau dan lempung dengan ketebalan beberapa centimeter
hingga puluhan meter yang disisipi oleh tanah atau batubara muda yang tipis.
Pengisian batubara muda dan tanah akan maksimum bila sagpond tidak
sepenuhnya mengering pada saat musim kering normal (Sieh, 1978 op.cit.
McCalpin, 1996).
26
Endapan silisiklastik dalam sedimentasi sekuen danau/rawa umumnya merupakan
hasil transportasi sungai, suspensi ataupun bedload (Allen op.cit. Reading, 1986).
Interior basins, rifts dan aulocogens merupakan tipe-tipe cekungan sedimen yang
terbentuk dalam suatu tatanan tektonik. Sedimentasi di dalam cekungan tersebut
umumnya merupakan sedimentasi di daerah kontinen yang sumbernya seringkali
berasal dari sungai-sungai di sekitarnya yang masuk ke dalam suatu danau-danau
dangkal (Mitchell & Reading op.cit. Reading, 1986).
3.4 Vegetasi Dataran Tinggi Bandung
Dataran Tinggi Bandung merupakan areal di Jawa Barat dengan ketinggian sekitar
665m di atas muka laut yang dikelilingi Kompleks Gunungapi Tersier dan Kuarter
dengan ketinggian sekitar 2400m (Dam, 1997).
Menurut Steenis (1965) dan Stuijts (1993), di Dataran Tinggi Bandung
berkembang 4 (empat) tipe lingkungan vegetasi, yaitu:
-
vegetasi berketinggian di atas 1800m
-
vegetasi berketinggian antara 1400m - 1800m
-
vegetasi berketinggian di bawah 1400m
-
vegetasi Paparan Bandung/Bandung Plain yang didominasi vegetasi rawa
terbuka
Kaars & Dam (1995) mengelompokkan palinologi Cekungan Bandung ke dalam
zona vegetasi hutan pegunungan (montane forest zones) dan zona vegetasi rawa.
Mereka menyatakan bahwa klasifikasi taksa tumbuhan yang dapat mendukung
tipe-tipe zona tersebut adalah:
27
a. Open herbaceous swamp (vegetasi rawa terbuka), terdiri dari: Alternanthera
comp. (Amarathaceae), Amaranthaceae, Compositae (Asteraceae), Cyperaceae, Gramineae (= Poaceae), Ludwigia (Oenotheraceae), Myriophyllum
(Haloragaceae), Nymphoides cf. indicia (Menyanthaceae), Polygonum persicaria comp. ( Polygonaceae), Ranunculus comp. (Ranunculaceae), Typha cf.
angustifolia
(Typhaceae),
Umbelliferae
(=
Apiaceae),
Utricularia
(Lentibulariaceae)
b. Shrubs & herbs (vegetasi semak-belukar), terdiri dari: Acanthaceae,
Campanulaceae, Convolvulaceae, Croton comp. (Euphorbiaceae), Cruciferae,
Euphorbia comp. (Euphorbiaceae),
lmpatiens (Balsaminaceae), Justicia
comp.
Malvaceae,
(Acanthaceae),
Labiateae,
Strobilanthes
comp.
(Acanthaceae)
c. Fresh water forest, terdiri dari: Barringtonia, Lagerstroemia (Lythraceae),
Macaranga / Mallotus, Carallia dan Bombacaceae, Ulmus cf. Lanceaefolia
(Ulmaceae)
d. Submontane forest (vegetasi yang tumbuh pada ketinggian 1400m), terdiri
dari: Aglaia comp., Arenga, Caesalpina comp., Calamus, Celtis, Elaeagnus
comp., Fagraea, Helicia, Hiptage comp., Ilex, Lonicera comp., Loranthaceae,
Medinella comp., Mimosoideae, Moraceae/Urticaceae, Oleaceae, Palmae,
Pandanus,
Pentace
comp.,
Planchonella
comp.,
Pometia
comp.,
Pterospermum, Rosaceae, Rubiaceae, Rutaceae, Sabiaceae, Trema comp.,
Vaccinium comp.
e. Lower montane forest I (vegetasi yang tumbuh pada ketinggian 1400-1800m),
terdiri dari: Altingia excelsa, Castanopsis/Lithocarpus, Eugenia comp., Polyosma, Quercus (Fagaceae)
f. Lower montane forest II (vegetasi yang tumbuh pada ketinggian 18002400m), terdiri dari: Dacrycarpus imbricatus, Distylium stellare, Dodonaea
28
viscosa, Engelhardtia cf. spicata, Myrica, Myrsine comp., Podocarpus spp.
(Podocarpaceae)
g. Upper montane forest (vegetasi yang tumbuh pada ketinggian (2400-3000m),
terdiri dari: Myrsine comp. ( Myrsinaceae), Vaccinium comp. ( Ericaceae).
Polhaupessy (1980, 1992, 2001) yang melakukan beberapa penelitian palinologi
di daerah Cekungan Bandung, umumnya membagi kelompok-kelompok taksa
polen ke dalam vegetasi berlingkungan pegunungan dan vegetasi rawa.
Vegetasi Dataran Tinggi Bandung tumbuh di atas lahan yang mencirikan fasies
sedimen, tekstur dan kandungan organik berlingkungan rawa (lacustrine) dengan
pola pengendapan yang hampir menerus, diselingi endapan volkaniklastik secara
cepat dan beberapa lapisan soil yang terbentuk dalam jangka waktu yang singkat
(Dam, 1997).
29
Download