MERDEKA, AKAN TETAPI DENGAN ARUS DERAS URBANISASI

advertisement
MERDEKA, AKAN TETAPI DENGAN ARUS DERAS URBANISASI
Oleh: GPB Suka Arjawa
Tanggal 17 Agustus 2013 ini, genap sudah 68 tahun Indonesia merdeka. Pada ukuran
negara, usia ini sesungguhnya masih muda. Majapahit dan Sriwijaya berusia sampai lebih
dari 200 tahun. Karena itu ada yang mengatakan wajar kalau Indonesia masih ”tidak
jelas” perkembangannya hingga sekarang. Akan tetapi dibandingkan dengan Vietnam
atau Malaysia yang jauh lebih muda dari Indonesia, maka Nusantara ini terkesan
ketinggalan. Entah dari disiplin atau dari persoalan-persoalan yang menyangkut
pemerataan pembangunan. Jelang 17 Agustus ini, bertepatan dengan hari raya Lebaran
dan lebih bertepatan lagi dengan arus balik yang melanda kota-kota besar di Indonesia.
Seperti halnya Jakarta, kota-kota besar lain di Indonesia juga terkena penderitaan
semakin bertambahnya urbanisasi ke perkotaan. Surabaya, Medan, Ujung Pandang
sampai Denpasar terkena penderitaan seperti itu. Membicarakan urbanasasi terkadang
menimbulkan kebosanan, karena telah bertahun-tahun dibicarakan tetapi bertahun-tahun
pula selalu berulang dengan volume yang semakin bertambah.
Urbanisasi dalam pengertian melubernya pencari kerja dari desa menuju perkotaan,
selama ini lebih dipandang sebagai sebuah rasionalitas sebagai akibat dari tidak adanya
pembangunan di pedesaan. Titik tolak rasionalitas biasanya bersumber dari
pertimbangan-pertimbangan yang lebih menguntungkan untuk mendapatkan biaya hidup
(pekerjaan). Pertimbangan itu didasarkan kepada pengalaman-pengalaman yang
dilakukan oleh pihak lain sebelumnya. Maka untuk mencari penghidupan itu secara
rasional haruslah ke perkotaan karena pekerjaan ada di tempat tersebut.
Cara pandang rasionalis seperti ini terkadang menyesatkan. Sebab, rasional untuk
mencari kerja belum tentu juga rasional untuk meneruskan kehidupan atau rasional untuk
menjalani kehidupan yang lebih layak. Urbanisasi mungkin bisa dikatakan sebagai
semacam solusi untuk mencari pekerjaan. Akan tetapi bukan solusi untuk memecahkan
persoalan-persoalan sosial. Kehidupan manusia berada pada ranah hubungan sosial
tersebut. Hubungan sosial yang ditekan oleh banyaknya kaum urban, justru tidak mampu
menciptakan keseimbangan sosial. Salah satu penyebab terganggunya keseimbangan
sosial oleh urbanaisasi adalah adanya perbedaan antara pola hidup di pedesaan dengan di
kota. Katakanlah misalnya, di desa masyarakat terbiasa memelihara ayam tanpa harus
mengurungnya atau terbiasa mencuci di kali. Apabila pola ini dibawa ke kota, maka
keseimbangan sosial pasti terganggu. Tatanan kota berlangsung melalui norma-norma
yang lebih ketat. Apabila ini kemudian dimasuki oleh tatanan yang lebih longgar, pastilah
terjadi gangguan keseimbangan sosial. Patologi sosial mulai dari sini. Munculnya
perampokan, kekumuhan dan berbagai patologi lainnya, berumber dai tidak adanya
keseimbangan ini.
Urbanisasi sesungguhnya tidak pernah menampilkan pemenang. Ia lebih banyak
memperlihatkan kekalahan, dari berbagai sisi. Munculnya urbanisasi berarti sebuah
kekalahan bagi pemerintah karena salah menerapkan pola pembangunan. Bagi
masyarakat desa, urbanisasi mencerminkan kekalahan mereka dalam menghadapi alam
dan menghadapi perubahan sosial. Masyarakat pedesaan (terutama yang bertani) biasanya
lebih banyak mengandalkan kondisi alam sebagai bekal survival. Ketika alam sudah
berubah, mereka tidak mampu lagi melihat cara untuk menghadapi alam. Dan sekali lagi,
ini juga berarti kekalahan bagi ilmuwan karena tidak mampu mengarahkan petani untuk
menghadapi alam.
Dari sisi kota pun, urbanisasi justru menundukkan kota tersebut. Kota yang semestinya
tertata rapi, tiba-tiba berubah menjadi kumuh. Norma-norma yang telah dijalani dengan
ketat di perkotaan, menjadi berubahm, terlanggar dan kemudian akhirnya membuat
aturan normatif itu hilang. Bukti aturan normatif hilang bisa dilihat dari jumlah angka
kejahatan yang muncul di kota. Bahwa kota kemudian macet, lagi-lagi ini
memperlihatkan kekalahan fatal bagi kota. Kehidupan sosialpun menjadi sesak, sumuk
dan tidak nyaman. Urbanaisasi dengan demikian, hanya menyisakan sebuah kekalahan.
Tidak ada pemenang ketika urbanisasi ini telah meledak.
Barangkali dengan melihat kejadian seperti itulah, kemudian Gubernur DKI Jakarta
mengeluarkan pendapat agar pemerintah pusat membuka daerah-daerah insutri di luar
Jakarta. Pemikiran ini sesungguhnya bukan hal baru. Pemikiran itu sesungguhnya telah
pernah dipikirkan pada jaman Orde Baru ketika membuka Tangerang sebagai sentra
industri di Jakarta, juga Sidoarjo atau Kriyan untuk Surabaya. Akan tetapi kota-kota ini
pada akhirnya tersambung. Titik persoalannya adalah tidak adanya pembangunan di
pedesaan. Bukan industri yang dibuat di pedesaan tetapi bagaimana memanfaatkan
penghasilan pedesaan itu bisa dimanfaat oleh orang banyak. Sekadar contoh saja, ketika
industri kelapa sawit belum begitu marak di Indoensia, masyarakat pedesaan masih
mampu menjual kelapa sebagai ganti untuk membeli beras. Pertengahan dekade
tujuhpuluhan, satu butir kelapa harganya Rp 70,- yang sebanding dengan harga satu
kilogram beras. Ketika produk kemasan masih belum ”semeriah” sekarang, masyarakat
pedesaan masih mampu menjual kacang kapri, dan seterusnya. Kini semua produk
pedesaan itu telah digerus dan kalah saing dengan produk-produk industyri instan, yang
konon justru melahirkan penyakit degeneratif, dan sulit dikontrol.
Secara nasional, pertumbuhan ekonomi yang melebihi 6 persen, patut dipertanyakan
juga. Pertumbuhan ekonomi yang diimbangi dengan arus urbanisasi tinggi, belum
menjadi jaminan bagi kesejahteraan masyarakat. Sebab, kemungkinan pertumbuhan
ekonomi itu hanya dinikmati oleh orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu yang
ada di kota. Kelompok konglomerat yang mempunyai banyak pabrik, kemungkinan
menjadi penikmat paling banyak dari pertumbuhan ekonomi tersebut. Sedangkan
pabdrik-pabrik insdutri tersebut justru menarik para pekerja pedesaan yang mendapatkan
gaji tidak maksimal. Dengan demikian, meskipun kompleks-kompleks industri tersebut
berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, akan tetapi tetap tidak mampu
memberikan kesejahteraan yang layak bagi masyarakat. Memang benar memberikan
pekerjaan, akan tetapi tidak mampu memberi penghasilan yang layak. Dalam konteks
urbanisasi, justru memancing munculnya penduduk desa menuju ke kota.
Jadi, pekerjaan rumah dari pemerintah sekarang bagaimana mengurangi kekalahan
tersebut. Urbanisasi harus ditahan dengan cara mengaktifkan penggunaan sumber daya
yang ada di desa. Pemikiran untuk mengurangi impor dan ketergantungan dari negaranegara lain haruslah segera di mulai. Proyek-proyek tahapan pelita seperti yang pernah
dilakukan oleh Orde Baru, perlu dilihat lagi. Merdeka!****
Penulis, staf pengajar sosiologi FISIP, Universitas Udayana
Download