Pengaruh Selenoproteinat Pada Produksi Susu

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Kebutuhan Mineral untuk Mikroba Rumen
Mineral di dalam rumen dibutuhkan oleh mikroba untuk pembentukan
komponen sel, komponen enzim dan kofaktor. Mengingat aktivitas mikroba
rumen memegang peranan penting dalam proses fermentasi, maka defisiensi
mineral akan mempengaruhi fermentabilitas pakan. Kebutuhan mikroba rumen
pada mineral sampai saat ini masih didasarkan pada kebutuhan ternak inang.
Berdasarkan rekomendasi NRC (1988) kebutuhan mineral untuk sapi perah
dengan produksi susu sebesar 13 - 27 kglhari adalah sebagai berikut : Ca 0.5 1%,
P 0.33%, Mg 0.20%, K 0.90%, Na 0.1 8%, C1 0.25%, S 0.20%, Fe 50 ppm, Co
0.1 0 ppm, Cu 10 ppm, Mn 40 ppm, Zn 40 ppm, I 0.60 pprn dan Se 0.3 ppm. Ca
dan P merupakan dua mineral makro yang berkaitan erat baik secara fisiologis
maupun fungsinya.
Kalsium (Ca) merupakan mineral yang diperiukan untuk pembentukan
tulang kerangka dan gigi, dan juga terdistribusi pada jaringan lunak serta cairan
ekstraseluler. Hewan membutuhkan Ca untuk pembentukan tulang dan gigi,
transmisi impuls syaraf, kontraksi otot, regulasi gerak jantung, pembekuan darah
dan aktivitas serta stabilisasi enzim. Tulang merupakan sumber dan cadangan Ca.
Pada awal laktasi dapat terjadi keseimbangan kalsium yang negatif, karena
pengeluaran Ca dalam air susu lebih besar dibandingkan pasokan Ca dalam
pakannya.
Ketersediaan Ca bagi ternak bergantung pada : konsumsi Ca, status Ca dan
umur ternak, jumlah Ca yang dibutuhkan, bentuk kimia dan sumber kalsium serta
hubungan antar mineral (NRC, 1988). Berdasarkan hasil penelitian peneliti-
peneliti sebelumnya, rasio Ca dan P dalam ransum 1 :I sampai 7 : 1 masih berada
dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh ternak. Hibbs dan Conrad (1983)
melaporkan bahwa sapi laktasi dapat menyerap 1.71 g Ca untuk setiap 1 g P.
Pakan yang tinggi lemaknya akan meningkatkan Ca fecal yang hilang melalui
pembentukan sabun, oleh karenanya kebutuhan dalam pakan meningkat.
I:osfor (P) mcri~pakan ~iiiricral kunci dalam metabolisme energi dan
merupakan komponen yang esensial pada sistem buffer dalam darah dan cairan
tubuh lainnya. Halnpir 85% P dalam tubuh sapi ditemukan dalam tulang rangka,
gigi dan jaringan Iunak. Jumlah P yang diserap ternak sangat berganti~ngpada
sumber P, jumlah konsumsi ransum, rasio Ca:P, pH usus dan level kalsium (NRC,
1988). Penyerapan fosfat terjadi di usus halus, melalui transport aktif yang
dirangsang oleh bentuk aktif vitamin D. Kebutuhan P untuk sapi perah yang
berproduksi susu 13-27 kglhari adalah 0.33 %, namun tidak ada masalah jika sapi
mengkonsu~iisiP dua kali dari yang direkomendasikan.
U
Salah salu kcutamaan ternak ruminansia adalah kernampuannya dalaln
riicngi~bahpakan serat inenjadi senyawa organik sebagai sumber energinya.
Proses pencernaan pada ruminansia merupakan interaksi antara pakan, populasi
mikroorganisme dan aktivitas enzim serta hormonal. Sutardi (1980) menyatakan
bahwa proses pencernaan pada ruminansia terjadi secara mekanis (di mulut),
fermentasi (oleh enzim-enzim yang berasal dari mikroorganisme rumen) dan
hidrolisis (oleh enzim-enzim hewan induk semang).
Mikroorganisme yang dominan dalam proses fermentasi terdiri atas
bakteri, protozoa dan fungi. Popi~lasibakteri dalam rumen berkisar antara 10'
-
1 01°, sedangkan protozoa berkisar 1 o6 - lo7 per gram isi rumen (Hungate, 1963).
Pada proses ini serat pakan akan mengalami proses fermentasi yang sangat luas
sehingga menghasilkan
Volatil Fafty Acid (VFA). Proses ini sebagian besar
dilakukan oleh adanya aktivitas bakteri selulolitik yang perannya diinduksi oleh
substrat pakan (Prayitno, 1994), sedangkan protein akan dirombak menjadi NH3
dengan tidak mengenal batas, meskipun ammonia yang dihasilkan sudah cukup
untuk pertumbuhannya (Sutardi, 1977).
Produk fermentasi retikulorumen akan disalurkan ke organ selanjutnya
yaitu
omasum dan abomasum. Pencernaan abomasum merupakan tahapan
lanjutan, pada organ ini dihasilkan HCI dan pepsin yang berperan di dalam
perombakan protein, sedangkan pada omasum akan terjadi penyerapan air,
ammonia. elektrolit dan ~nungkinVFA. Pada organ pencernaan bagian belakang
seperti sekum, kolon dan rektum juga terjadi aktivitas fermentasi, tapi informasi
mengenai ha1 itu belum banyak terungkap (Forbes dan France, 1993).
2. Pencernaan dan Absorbsi Karbohidrat pada Ruminansia
Karbohidrat pada pakan ruminansia merupakan nutrien yang dominan
dala~nmenycdiakan sil~iibereriergi untuk proses faali, di samping menyediakan
bahan yang bersifat bulky yang berguna untuk memelihara kelancaran proses
pencernaan.
Kandungan karbohidrat dalam pakan ternak ruminansia dapat
mencapai 60 - 75% dari bahan kering ransum yang berasal dari isi sel (gula dan
pati) dan dinding sel (selulosa dan hemiselulosa) (Sutardi, 1980). Komponen
karbohidrat berupa selulosa, hemiselulosa, pektin, pati, fruktan dan sukrosa di
dalam rumen mengalami pencernaan oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh
mikroba rumen.
Proses metabolisme karbohidrat dalam retikulorumen sangat komplek.
Pertama-tama selulosa dan hemiselulosa akan mengalami hidrolisis oleh enzim
P-
I -4-glukosidase yang dihasilkan oleh mikroba menjadi sakarida sederhana seperti
heksosan, pentosan, maitosa, sul<,rosa, selobiosa.
Sakarida sederhana yang
terbentuk akan diubah menjadi asam piruvat melalui jalur lintasan EmbdenMeyerhol' ('l'illman
e/
a/., 1 983; 1:rancc dan Siddons, 1 993). Piruvat selanjutnya
diubah menjadi VFA yang terdiri atas asetat, butirat, propionat dan sejumlah kecil
valerat serta asam lemak rantai cabang yaitu isobutirat, isovalerat dan 2metilbutirat ( Sutardi, 1977; Church dan Pond, 1988; Van Soest, 1994). Perubahan
piruvat menjadi VFA terjadi melalui beberapa lintasan. Asetat dihasilkan melalui
jalur yang sederhana (Chesworth
el
al., 1998). Piruvat bereaksi dengan KoA
membentuk asetil KoA dan kehilangan asam format. Asam format dipecah
menjadi C 0 2 dan gas Hz Gas hidrogen dikonversi menjadi metan. Pembentukan
asetat juga dapat melalui jalur laktat.
Stokiomctri reaksi I'crmcntasi hcksosa met~jaditiga kolnponen utama VFA
dalam rumen terdiri atas 3 macam yaitu (Orskov dan Ryle 1990):
1. Asam asetat : ChH , 2 0 6 + 2H20
+ 2 CH3COOH + 2 C02 + 4H2
2. Asam propionat : C6Hl206+ 2 H2 3 2 CH3CH2COOH+ 2H20
3. Asam butirat : C6HI2063 CH3(CH2)2COOH+2C02+2H2
4 Hz+ COz
Reaksi
+ CH4+ 2 H20
tersebut
menunjukkan
bahwa
produksi
propionat
lebih
menguntungkan dibandingkan asetat, ha1 ini karena pada pembentukan asetat
selalu disertai prodi~ksihidrogen, yang akan bereaksi dengan C02 membentuk
metan yang tidak bermanfaat bagi ternak. Pada pembentukan 2 mol propionat
9
dibutuhkan 1 mol heksosa dan hidrogen. Jadi pembentukan propionat dapat
digunakan sebagai "hidrogen sink" dan menurunkan energi yang hilang dalam
bentuk metan. Leng (1991) menambahkan bahwa proses fermentasi di dalarn
rumen menghasilkan sel mikroba (merupakan 113 bagian bahan organik) dan
sisanya VFA, COz dan CH4
Prinsip penggunaan substrat dan hasil produknya
dari proses fermentasi 4 kg karbohidrat adalah sebagai berikut :
1. Karbohidrat menjadi VFA
16.7 CHO -,21 Asam asetat + 6 Asam Propionat + 3 Asam Butirat +
7.5 CI-IJ + 78ATP
2. Karbohidrat menjadi precilrsor sel mikroba
8.3 CHO + 1.4 polisakarida + 13.8 piruvat + 2CH 4 + I7ATP
3. Reaksi keseluruhan :
25 CHO +=2 1 Asam asetat + 6 Asam propionat + 3 Asam butirat +
9.5 CH4 + 1300 g sel kering
Propionat merupakan satu-satunya VFA yang dapat digunakan sebagai
sumber glukosa.
Chesworth et a1.(1998) menyatakan bahwa pembentukan
propinat dapat melalui dua jalur, yang sangat ditentukan oleh jenis mikroba. Jalur
pertama, piruvat diubah menjadi laktat. Laktat selanjutnya diaktivasi oleh
pembentukan ester KoA (Laktil KoA), selanjutnya akan kehilangan C02 dan Hz0
untuk membentilk propernoil KoA.
Proses selanjutnya
propernoil KoA
dihidrogenasi menjadi propionil KoA. Langkah yang terakhir dengan kehilangan
KoA sehingga terbentuk propionat. Jalur kedua merupakan jalur kebalikannya,
jalur ini digunakan pada sel-sel hewan, utamanya hati untuk mensintesis glukosa
dari propionat (sering juga disebut jalur suksinat).
Pembentukan butirat melalui 3 tahapan utama, yaitu piruvat dehidrogenasi
menghasilkan asetoasetil KoA. Asetoasetil KoA akan direduksi menghasilkan 3hidroksilbutiril KoA dengan menggunakan NADH dan NAD'.
Tahapan
selanjutnya yaitu pembentukan Krotonil KoA. Krotonil KoA direduksi untuk
menghasilkan ester KoA dan asam butirat. Ester dihidrolisis untuk menghasilkan
butirat dan KoA bebas. Selain tiga komponen VFA di atas proses fermentasi
karbohidrat dalam rumen juga menghasilkan metan. Chesworth et al. (1998)
menyatakan bahwa 8% energi dalam pakan yang dikonsumsi oleh ternak diubah
menjadi metan.
Fermentasi dalam rumen akan menghasilkan asetat dalam jumlah banyak,
dengan laju sekitar 20-25 mol per hari pada sapi perah, laju produksi asam
propionat sekitar 113 laju produksi asain asetat. Asam butirat diproduksi sekitar
10% dari total VFA, sedangkan asam valerat dan isovalerat masing-masing
sekitar 1% (Forbes dan France, 1993).
Konsentrasi VFA total dalam cairan rumen secara normal adalah 70 - 130
mM, dan konsentrasi parsial yang terbentuk selalu berbeda sesuai pola produk
VFA cairan rumen yang sangat dipengaruhi oleh jenis karbohidrat yang
dikonsumsi. Konsentrasi asetat yang tinggi dalam cairan rumen erat kaitannya
dengan peningkatan kandungan hijauan atau pakan serat yang dikonsumsi,
sebaliknya peningkatan konsentrasi propionat dalam cairan rumen berkaitan
dengan peningkatan konsentrat dalam pakan (Banerjee, 1978; Tillman et al.,
1983; Arora, 1989; Forbes dan France, 1993).
Produk akhir pencernaan karbohidrat dalain bentuk VFA selanjutnya
diabsorbsi ke dalam jaringan tubuh ternak untuk digunakan sebagai sumber energi
II
dan bahan sintesis lemak. Asam propionat diabsorbsi melalui epitel rumen dan
~nasilkkc sirkulasi clurall clan Jibawu kc hati ilntuk sclanjutnya diubah n~cl~jacli
glukosa dan menjadi bagian dari cadahgan glukosa hati. Asam butirat sebelum
masuk ke sirkulasi darah untuk dibawa ke hati bersama-sama asetat, terlebih
dahulu dikonversi menjadi asam beta hidroksi butirat (BHBA) di dalam epitel
rumen (Banerjee, 1978; Crampton et a]., 1978). Asetat dan BHBA dari hati
disalurkan ke sistem sirkulasi dan dipakai oleh jaringan terutama sebagai sumber
energi melalui siklus asam sitrat (Tillman et al., 1983; Forbes dan France, 1993).
Forbes dan France (1993) menalnbahkan bahwa asetat dan propionat yang
diabsorbsi masing-nlasing digunakan sebagai sumber energi dan bahan untuk
sintesis glukosa. Di samping itu asetat juga digunakan sebagai substrat untuk
lipogenesis dan propionat untuk glukoneogenesis. Oleh sebab itu asam propionat
dikatakan bersi fat glukogenik karena asam tersebut dapat dikatabolisme menjadi
glukosa dan juga sebagai prekursor glukosa, sedangkan asetat dan butirat bersifat
ketogenik (Orskov, 1 977).
3. Pencernaan dan Absorbsi Lemak
Ada dua ha1 penting nasib asaln lemak selama berada dalam rumen, yaitu
liposisis dan biohidrogenasi (Jenkins, 1993; Scott dan Ashes, 1993). Lipolisis
akan menyebabkan pelepasan asarn lemak bebas (FFA) dari hasil esterifikasi lipid
tanaman yang dikonsumsi ternak ruminansia. Dalam proses liposisis, lipase
mikroba berperan menghidrolisis asilgliserol hasil esterifikasi lemak menjadi
FFA, gliserol dan galaktosa (Palmquist dan Jenkins, 1980; Scott dan Ashes,
1993). FFA yang terbentuk selanjutnya secara cepat dihidrogenasi oleh sejumlah
mikroba rumen menjadi produk akhir berupa asam lemak jenuh. Pada proses
hidrogenasi terjadi pengurangan asam lemak tidak jenuh dan berubah menjadi
asam lemak jenuh melalui beberapa aksi yaitu isomerase, kemudian hidrogenasi
ikatan rangkap sis, pada C 18:2 terjadi reduktase dan selanjutnya dengan trans
pada CIS: I dihidrogenasi menjadi C18:O.
Menurut Moir (1991) dari hasil
penulusuran pustakanya menyebutkan bahwa dalam proses hidrogenasi, selain
terjadi perubahan asam linolenat, linoleat dan oleat menjadi asam stearat juga
terdapat sejumlah kecil asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkap trans, di
mana asam lemak tersebut resisten terhadap mikroba yang berperan dalam
hidrogenasi dan menambah karotinoid yang dapat mensuplai betakarotin untuk
ternak.
Produk akhir lipolisis dan biohidrogenasi sebagian diserap oleh dinding
rumen dan sebagian lagi mengalir ke abomasum. Banerjee (1978) menyatakan
bahwa asam lemak rantai pendek dan VFA hasil hidrolisis dan fermentasi Lipid,
diserap melalui dinding rumen sedangkan asam lemak rantai panjang terus
mengalir ke abomasum. Proses di abomasum, digesta lipid pasca rumen yang
sebagian besar (70%) terdiri atas asam lemak jenuh pakan dan dari sintesis lemak
"de-novo" serta sedikit (1 0%) fosfolipid mikroorganisme akan bergabung dengan
benda padat lainnya (Bauchart, 1973). Selanjutnya setelah dari abomasum
campuran digesta mengalir ke usus halus. Di dalam usus halus garam-garam
empedu akan mengemulsikan lemak dan diikuti dengan gerakan peristaltik,
sehingga lemak terdispersi menjadi butir-butir kecil dan diikuti dengan masuknya
lipase (Linder, 1992). Lemak yang sebagian sudah dicerna, terutama dalam
bentuk yang larut dalam air membentuk misel-misel yang stabil (asam lemak
rantai panjang, monogliserol dan asam-asam empedu) yang berdifusi ke
permukaan sel mukosa usus halus dan melepaskan materi untuk siap diserap.
Asam - asam lemak dan monogliserida oleh mukosa usus diubah kembali menjadi
trigliserida dan membentuk kilomikron. Kilomikron selanjutnya dibebaskan ke
dalam jaringan limfe dan masuk ke peredaran darah untuk ditransport ke dalam
sel jaringan yang membutuhkan yaitu jaringan perifer, adiposa dan ambing
(Linder, 1992; Collier, 1985).
4. Pencernaan dan Absorbsi Protein
Sumber protein untuk ruminansia dapat berasal dari protein pakan maupun
non protein nitrogen (NPN). Perombakan protein oleh enzim proteolitik di dalam
rumen menghasilkan peptida dan asam-asam amino. Produk ini sebagian besar
akan mengalami katabolisme lebih lanjut (deaminasi) sehingga dihasilkan amonia
(NH,). Amonia asal perombakan pakan sangat besar kontribusinya terhadap pool
amonia rumen. Proses proteolitik dan deaminasi asam-asam amino menghasilkan
amonia diduga bersifat konstitutif, artinya tidak ada kontrol metabolik. Degradasi
protein dan deaminasi terhadap asam amino akan terus berlangsung, walaupun
telah terjadi akumulasi amonia yang cukup tinggi di dalam rumen (Sutardi, 1976).
Manfaat proses proteolitik tidak hanya memberi pasokan amonia untuk mikroba,
tetapi juga pasokan peptida.
Beberapa spesies bakteri rumen mampu
menggunakan peptida secara langsung untuk sintesis protein (Chalupa, 1975).
Leng ( 1 991) menambahkan bahwa suplementasi urea dalam ransum diperlukan
i ~ n t u kmencukupi kebutuhan a~iionia~ ~ n t upertumbuhan
k
organisme fibrolitik dan
sakarolitik dalam rumen.
Amonia adalah su~nbernitrogen utama dan sangat penting untuk sintesis
protein mikroba rumen. Satter dan Slyter (1974) menyatakan bahwa konsentrasi
optimal untuk sintesis protein mikroba rumen pada kultur kontinyu menggunakan
cairan rumen sapi adalah 5 mg% atau setara dengan 3.57 mM, sedangkan Preston
dan Leng (1987) menyatakan bahwa kisaran optimum untuk sintesis mikroba
adalah 150 -200 mglliter (I 0.7 - 14.3 mM).
.........
Asam Amino Oligopeptida
..............................................-......................................................................""."....-."..",....".-"...-.-""...........,"........................................
"
Gambar 1. Pencernaan protein dan utilisasi N di dalam rumen (Sutardi, 1977)
Sintesis protein mikroba di samping membutuhkan NH3 sebagai sumber N,
juga dibutuhkan asam keto-cc sebagai kerangka karbon dan VFA sebagai sumber
energi (Maynard et al., 1979). Si~tardi( 1 977) menyatakan bahwa 82% mikroba
rumen membutuhkan N-NH3 untuk mensintetis protein tubuhnya. Oleh karenanya
perombakan asam amino menjadi NH3 lebih disukai.
Penggunaan NPN sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein mikroba
rumen akan efektif pada ransum dengan berprotein rendah, dan cukup tersedia
energi. Cappock et al. (1976) mengemukakan bahwa pembatas utama efisiensi
penggunaan urea adalah pelepasan amonia yang begitu cepat ketika terjadi kontak
dengan enzim urease di dalaln cairan rumen. Kecepatan pelepasan amonia dapat
mencapai 4 kali lebih cepat daripada kecepatan penggunaannya oleh mikroba
rumen (Bloomfield el al., 1960). Manalu (1 999) menyatakan terdapat dua syarat
agar amonia yang terbentuk dalam rumen efisien untuk sintesis protein mikroba :
pertama, konsentrasi amonia awal harus di bawah optimal, kedua :
mikroorganisme rumen harus mempunyai sumber energi yang mudah tersedia
untuk sintesis protein.
Maiga el al. (1996) menyatakan bahwa asam amino yang tersedia untuk
absorbsi usus pada ruminansia disuplai dari protein mikroba yang disintesis di
dalam rumen, protein yang tidak terdegradasi dalam rumen dan sekresi endegenus
dari saluran pencernaan. Laju aliran senyawa nitrogen ke dalam usus dipengaruhi
oleh intensitas degradasi protein pakan dan sintesis protein mikroba dalam rumen.
Jumlah protein mikroba tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan asam amino dari
sapi perah yang berproduksi tinggi (Sutardi, 1981).
5. Biosintesis Komponen Susu
Komponen dalam susu dapat dikelompokan berdasarkan sumbernya, yaitu :
1. Yang khas organ (kelenjar) ambing dan yang khas spesies (contohnya
beberapa protein dan lemak)
2. Yang khas organ tetapi tidak khas spesies (laktosa)
3. Yang khas spesies tetapi tidak khas organ (beberapa protein)
4. Tidak khas organ dan juga tidak khas spesies (air, garam, dan vitamin).
Komponen laktosa, lipid dan beberapa protein disintesis pada kelenjar
ambing yang berasal dari nutrien yang ada dalam darah. Nutrien utama yang
diserap oleh kelenjar ambing adalah glukosa, asam amino, asam lemak
(kilomikron, LDL, NEFA), asetat, P-hidroksi butirat dan mineral (Collier, 1985;
Fox dan McSweeney, 1996;).
Laktosa adalah disakarida yang terdiri atas galaktosa dan glukosa melalui
ikatan /3 1-4 glikosidik.
Nama sistematiknya adalah f3-0-D-galaktopiranosil
(1-)-P-D-glukopiranosa (P-laktosa) atau dalam bentuk a-laktosa (Fox dan
McSweeney, 1996). Glukosa dapat berasal dari perombakan glikogen hati dan
pembentukan glukosa dari propionat serta asam amino melalui proses
glukoneogenesis (Collier, 1985; Mepham, 1988). Wikantadi (1977) menyebutkan
bahwa glukosa meri~pakanbahan pembentuk utama laktosa pada susu sapi dan
kambing. Beberapa atom karbon dari laktosa terutama residu galaktosa, berasal
dari senyawa lain misalnya asetat dan gliserol. Perbedaan darah arteri-vena untuk
glukosa lebih kurang dua kali dari yang diperlukan untuk sintesis laktosa, dengan
demikian kelebihan glukosa akan digunakan untuk sumber energi dan
pembentukan gliserol. Karena glukosa merupakan sumber utama sintesis laktosa
dan tekanan osinotik air susu harus dipertahankan tekanan osmotiknya agar
isotonis dengan darah, peningkatan atau penurunan produksi laktosa akan
menyebabkan penurilnan sekresi air ke dalam air susu, sehingga volume produksi
susu juga akan berkurang (Fox dan McSweeney, 1996), sehingga glukosa juga
dapat dikatakan sebagai faktor pembatas sekresi susu.
Sumber utama sintesis protein susu berasal dari peptida-peptida, plasma
protein dan asam-asam amino bebas (Wikantadi, 1977; Larson, 1985; Chesworth
el al., 1998; Fox dan McSweeney, 1996). Asam-asam amino yang bebas yang
diserap oleh kelenjar ambing dari darah merupakan sumber utama untuk sintesis
protein susu, sedangkan plasma protein menyumbang sekitar 10%. Kasein, beta
laktoglobulin dan alfa laktalbumin merupakan 90-95% protein susu.
5.1. Sintesis Lemak Susu
Sintesis asam lemak susu utamanya berasal dari asetat, P-hidroksi butirat
dan trigliserida plasma dalam bentuk ki!omikron, Low Density Lipoprotein (LDL)
dan Non Esterified Fatty Acids (NEFA). Berbeda dengan ternak monogastrik
sintesis asam lemak
SLISLIpada
ternak ruminansia tidak berasal dari glukosa. Ilal
ini karena pada sitoplasma sel sekretoris kelenjar ambing ruminansia tidak
terdapat enzim sitrut liase, sehingga asam sitrat tidak dapat diubah menjadi
asetill-KoA dalam taliapan sintesis asam lemak. Sitrat yang terbentuk sebagian
diserap ke dalatn Aparatus Golgi dan disekresikan ke dalam lumen kelenjar susu.
Hal ini menyebabkan kandungan sitrat susu ruminansia lebih tinggi dibandingkan
ternak monogastrik (Collier, 1985).
Kadar lemak susu ternak mamalia sangat bervariasi antar spesies, dengan
kisaran konsentrasi 2% sampai 50% (Larson, 1985; Fox dan McSweeney, 1996).
Dikatakan lebih lanjut bahwa susu sapi tnengandung 3.5% lemak dan konsentrasi
ini sangat bergantung pada beberapa faktor, misalnya bangsa, individu ternak,
periode laktasi, musim, status nutrisi, tipe pakan, kesehatan, umur ternak dan
interval pemerahan.
5.2. Sintesis Protein Susu
Tiga sumber utama pembentuk protein susu yang berasal dari darah yaitu
peptida-peptida, plasma protein dan asam-asam amino bebas. Kasein,
P-laktoglob~~lin
dan
K-laktalbumin disintesis di dalam sel kelenjar ambing,
sedangkan imniunoglobulin, seroalbumin dan gamma kasein tidak disintesis di
dalam kelenjar ambing tetapi langsilng diserap dari darah dalam bentuk yang sama
tanpa mengalami perubahan (W ikantadi, 1977; Fox dan McSweeny, 1996).
Sintesis protein dapat dibagi menjadi empat tahapan yaitu : aktivasi asam
amino, inisiasi pembentukan rantai peptida, pemanjangan rantai dan penutupan
rantai (Chesworth
el
al., 1998; McDonald, 1980). Pada tahap aktivasi asam
amino bereaksi dengan ATP membentuk aminoasil denilat, selanjutnya gugus
aminoasil dikopel molekul tRNA untuk membentuk aminoasil tRNA, kedua
reaksi ini dikatalisis oleh enzim yang sama (amino asil tRNA sintetase) dan ATP.
Amino-asil + ATP + Enzitn -+ Aminoasil-AMP-Enzim + pirofosfat
Jika asam amino sudah dikopel dengan tRNA maka asam amino akan dibawa ke
ribosom. Kombinasi ini akan membentuk struktur polisom, di mana ribosom akan
terikat pada untaian messenger RNA (mRNA).
Tahap inisiasi : pada tahap ini akan terbentuk kompleks komponen ribosom
yang lebih kecil, mRNA dan tRNA dengan formil metionin atau metionin sebagai
asam amino yang terikat (AAI).
Asam amino yang terikat oleh t-RNA
mempunyai antikodon tertentu, ditempatkan pada m-RNA sesuai dengan
kodonnya, penempatan
ini
membutuhkan GTP (Guanosin Tri Fosfat).
Tahap pemanjangan : t-RNA kedua membawa asam amino ke kodon kedua dari
mRNA dengan bantuan GTP. Molekul basa tRNA berpasangan dengan kodon
kedua dari mRNA. Pada tahap ini enzim peptidil transferase mengkatalisis
pembentukan ikatan peptida antara dua molekul asam amino pada sisi A dari
ribosom. Penempatan asam amino diikuti pergerakan ribosom sepanjang m-RNA
hingga terjadi pemanjangan rantai asam amino dan t-RNA dilepaskan kembali ke
sitoplasma. Tahap terminasi : tahap pemanjangan rantai peptida terus berlanjut
sampai salah satu dari kodon itu konsentrasinya tinggi pada mRNA. Apabila
ribosoin sudah inelnpunyai salah sat11 kodon itu (UAA, UAG, UGA) dalam
jumlah yang tinggi maka
ikatan polipeptida akan putus dan polipeptida
dilepaskan. tRNA dan subunit ribosom berdisosiasi dan siap memulai sintesis
protein yang lain.
5.3. Sintesis Laktosa Susu
Laktosa adaiah disakarida yang terdiri atas galaktosa dan glukosa melalui
ikatan
p 1-4 glikosidik. Nama sistematiknya adalah P-0-D-galaktopiranosil (1 -)-
P-D-glukopiranosa (P-laktosa) atau dalam bentuk a-laktosa (Fox dan
McSweeney, 1996). Suplai glukosa dengan mudah tersedia akan tetapi galaktosa
harus disintesis, dari glukosa yang melibatkan perubahan kontigurasi atom karbon
4.
hewase
n
lGlukosa
ATP
,
Glukosa 6 fosfat
I
ADP
1
Fosfoglukomutase
Glukosa- l -fosfat
UDP-Glukosa
UDP-glukosa
UDP glukosa-epimerase
UDP Ga:akfosal
1
gaIaklosiItlnnslbrasc
J
~lukosa
Laktosa
a-laktalbumin
Gambar 2. Lintasan pembentukan laktosa
Konsentrasi laktosa untuk susu sapi 'adalah 4.8% (Fox dan McSweeney, 1996).
Jalur sintesis laktosa dan sejumlah enzim yang terlibat disajikan dalam Gambar 2.
Galaktosil transferase bersama-sama dengan a-laktalbumin sering disebut juga
laktosasintetase. Kepentingan petnbentukan laktosa pada mamalia bertujuan
sebagai regulasi dan kontrol tekanan osmotik susu agar isotonik dengan darah.
Oleh karenanya produksi laktosa mempengaruhi volume air yang dialirkan ke
dalain lumen susu.
>.
6. Selenium dan Fungsinya dalam Tubuh Ternak
Selenium (Se) adalah unsur penting dari glutathione peroksidase (GSHPx), dengan 4 g atom Se per mol enzim (Rotruck et al., 1973; Ian Lean, 1987,
McDowell, 1992). Bilangan oksidasi selenium adalah +6, +4, 0 dan -2. Pada
bilangan oksidasi +6, Se dalam bentuk asam selenit (H2Se03, merupakan asam
kuat) dan garam selenat (se0i2). Pada bilangan oksidasi +4, Se dalam bentuk
Selenium dioksida (SeOz), asam seleniuos (H2Se03) dan garam selenit (se0i2).
Garam selenit kurang larut dibandingkan garam selenat, khususnya pada pH
1
alkali, sedangkan selenit mudah direduksi pada pH rendah menjadi selenium
elemental dan selenat tidak mildah direduksi menjadi selenit (Smith, 1988).
McDowell (1 992) menyatakan
unsur Se dapat direduksi menjadi
selenide (se2? atau dioksidasi menjadi selenite (se43 atau
selenate (se6+).
Selenium kurang dapat diabsorbsi pada rulninansia dibandingkan monogastrik.
Rendahnya absorbsi ini mungkin karena selenite direduksi menjadi senyawa yng
tidak larut dalam rumen. Retensi absorbsi Se dipengaruhi oleh status ternak dan
bentuk Se. Secara umuln Se organik dapat dideposisikan dalam jaringan lebih
tinggi dibandingkan dalam bentuk anorganik.
Gerloff (1992) menambahkan
baliwa di dala~nrumcn bentuk Sc anorganik akan direduksi dari selenite menjadi
selenide oleh proses hidrogenasi. Selenide tidak diabsorbsi di dalam rumen dan
juga tidak di dalam usus. Hampir 75 persen Se dalam kapang merupakan
selenometionin (Stone, 1998). Ditambahkan oleh Carolyn Berdanier (1998)
bahwa sintesis selenoprotein melibatkan asam-asam amino yang mengandung
sulfur dan selenium. Proses ini melibatkan selenofosfat untuk membentuk
selenosistein, di mana reaksinya dikatalisis oleh selenofosfat sintetase dan vitamin
B berperan sebagai koenzimnya.
Kira-kira 40 persen Se dalam tubuh tikus sebagai komponen GSH-Px.
Aktivitas GSH-Ps ekstraseluler hanya 1110 dari intraseluler (Xin Gei Lei, 1995).
GSH-Px membutuhkan reduce glutation (GSH) sebagai cosubstrat.
Glutation
adalah sulfhidril yang mengandung tripeptida yang dibentuk dari asam glutamat,
sistein dan glisin (Krogmeier et al., 1993; Stamler dan Slivka, 1996; Groff dan
Gropper, 2000). Reaksi pembentukannya membutuhkan adenosin trifosfat (ATP),
dengan tahapan reaksi sebagai beri~ut:
ATP
1. L-glutamat + L-sistein
------------- -+
L- y -glutamil-L-sistein
~ g ~ +
Enzim yang berperan : y-glutamilsistein sintetase
ATP
2. L- y -glutamil-L-sistein
+ glisin
-------------+ glutation
~ g
Enzim yang berperan : glutation sintctase
Persson-Moschos el
~
+
al. (1 996) dan Carolyn
Berdainer (1998)
menggolongkan selenoprotein pada mamalia menjadi 8, yaitu :
1. Glutation peroksidase sitosol
2. Glutat ion peroksidase ekstrseluler
3. phospholipid hydroperoxide glutathione peroxidase (phGSHPx)
4. Glutation peroksidase gastrointestinal
5. Tipe I 5'iodothyronine deiodonase (5'-1-DI)
6. Selenoprotein P (SeP)
7. Selenoprotein W (Sew)
8. Mitochondria1 capsule selenoprotein (MCS)
Fungsi GSH-Px dalam sel adalah melindungi membran sel dan subseluler
dari kerusakan oksidatif (Rotruct el al., 1973; Williams dan Dickerson, 1990;
McDowell, 1992; Brody, 1994; Ellis et crl., 1995; Stamler dan Slivka, 1996; Smith
et al., 1997; Parodi, 1998; Groff dan Gropper, 2000) baik oleh group sulfhidril
maupun radikal bebas dengan jalan mereduksinya menjadi senyawa yang aman
bagi sel. Hidrogen peroksida dikonversi menjadi air, lipid peroksida dikonversi
menjadi alkohol dan air (Combs dan Combs, 1986; Stamler dan Slivka, 1996,
Carolyn Berdanier, 1998; Surai et al., 2001).
2GSH
Hz0 2 atau
LOOHIROOH
GSH-PX
GS-SG
H20
LOHIROH + H20
Groff dan Gropper (2000) menatnbahkan bahwa
GSH-Px lebih aktif
dibandingkan dengan katalase dalani mereduksi hidrogen peroksida dan organik
peroksida. Peroksida-peroksida harus dinetralisir karena dapat merusak membran
sel. Dikemukakan oleh Brzezinska-Slebodzinska et a1.(1994) pada sapi perah
menjelang proses partus akan terjadi stress oksidatif yang akan menghasilkan
ketidakseimbangan antara produksi oksigen dan radikal bebas. Radikal bebas
merupakan metabolit oksigen reaktif (MOR) yang dalam metabolisme normal
metnpunyai fungsi fisiologis yang penting, namun pada saat kekurangan substansi
alami yang bersifat proteksi, maka akan terjadi peningkatan MOR yang dapat
menurunkan kekebalan dan performans, di sini peranan Se menjadi penting di
samping antioksidan yang lain. Ditambahkan oleh Miller et al. (1993) jika MOR
tidak dapat dinetralisir maka akan menurunkan kesehatan sapi perah baik
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung MOR akan merusak lipidalipida penting serta makromolekul, sedangkan secara tidak langsung MOR akan
mengi~bah membral sel, sehingga mengubah jalur
menghasilkan perubahan fisiologi dan mungkin juga patologi.
metabolisme yang
Smith et al. (1997) menyatakan bahwa glutation berfungsi dalam sitosol
sel sedangkan vitamin E di dalam membran,
keduanya berfungsi dalam
melindungi poliunsaturated fatty acid (PUFA) membran sel. Groff dan Grapper
(2000) menambahkan bahwa GSH-Px ditemukan utamanya di dalam sitosol
(70%). scdangkan lainnya tcrdapat pada matrik mitokondria (30%).
Bentuk selenoprotein lain yang mempunyai arti penting dalam
metabolisme adalah enzim tipe I S'iodothyronine deiodonase (5'-I-DI), di mana
selenosistein menempati pusat aktifnya (Arthur et al., 1993; Aro, 1996). Enzim ini
dite~nukandi dalam retikulum endoplasmik hati, ginjal dan otot. Enzim ini
~iiengkonversi tiroksin (T 4) rnenjadi 3.3.5-triiodotironin (T3) (Arthur et al., 1993,
Groff dan Gropper, 2000). T3 merupakan bentuk aktif hormon tiroid yang
berperan dalam metabolis~ne(Nunez, 1988; Rose dan Obara, 2000; Surai et al.,
2001). McDonald (1980) menyatakan bahwa salah satu pengaruh penting dari
tiroksin adalah dalam menstimulasi penggunaan oksigen, konsekuensinya akan
terjadi peningkatan laju metabolisme basal. Hormon ini juga berfungsi dalam
peningkatan jumlah mitokhondria per unit jaringan tubuh, akibatnya akan terjadi
peningkatan aktivitas metabolisme mengingat organel ini merupakan mesin dari
sel. Aktivitas hormon ini juga dapat melenturkan mitokhondria sehingga akan
terjadi peningkatan permeabilitas dari membran mitokhondria. Permeabilitas
membran berkaitan erat dengan reaksi fosforilasi. Sehingga akan terjadi
peningkatan fungsi organ ini sebagai tranduser energi dan konversi
aliran
elektron ke bentuk energi kimia (ATP). Cartens et al. (1996) menegaskan bahwa
T
3
mampu meningkatkan sintesis protein. T3 masuk dalam sel dan mengikat
reseptor protein menjadi bentuk kompleks.
Bentuk komplek ini yang
mempengaruhi laju transkripsi dari mRNA di dalam nukleus (Brody, 1994).
Swecker et al. (1995) menambahkan bahwa bentuk kimia Se mempengaruhi
konsentrasi T 3 dan ratio antara T3:T4 dalam plasma sapi. Dari hasil penelitiannya
selama 22 bulan membuktikan bahwa Se bentuk organik (yeast) menghasilkan
konsentrasi T3 yang lebih tinggi.
,
McNabb (1995) menyatakan bahwa hormon tiroid berperan dalam
metabolisme intermedier yaitu sebagai regulator enzim malat pada hati. Enzim ini
mengkatalisis konversi malat menjadi piruvat, yang merupakan reaksi kunci
dalam pembentukan NADPH pada lipogenesis. Hormon tiroid merupakan
pengontrol utama enzim malat
di samping hormon insulin, dengan kontrol
penghambatnya oleh hormon glukagon.
7. Absorbsi dan Ekskresi Se dalam Tubuh
Absorbsi Se dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh bentuknya. Combs
dan Combs ( 1 986) menyatakan bahwa
L-selenometionin ditransport lnelalui
gradien dari mukosa ke sisi serosa usus, yang dihambat oleh L-metionin.
Kecepatan
tranport
DL,-selenometionin
setengah
kali
dibandingkan L-
selenometionin dengan carrier yang sama dengan L-metionin. Selenit tidak dapat
melalui mukosa jika konsentrasi di dalam mukosa sama dengan konsentrasi
serosa. Reasbeck et al. ( 1981) menyatakan bahwa selenometionin diabsorbsi 2
kali lebih banyak dibandingkan seienosistein atau 4 kali lebih banyak
dibandingkan selenit. Whanger
el
al. (1 976) menyatakan bahwa selenit dan
selenometionin diabsorbsi pada seluruh segmen intestin dengan absorbsi tertinggi
pada duodenum. Wright dan Bell (1966) menginformasikan bahwa tidak ada
selenit dan selenometionin yang diabsorbsi di rumen sapi maupun lambung babi.
Abdelrahman dan Kincaid (1995) menyatakan bahwa suplementasi Se
secara nyata meningkatkan konsentrasi Se darah induk, Se kolostrum dan kasein.
Gerloff (1992) membakukan kisaran konsentrasi ideal dalam serum adalah 70 100 ngSeIml serum. Konsentrasi ini dapat dicapai dengan suplementasi lebih
dari
6 mg Se per hari.
Knowles
el
ul. (1999) menambahkan bahwa
suplementasi Se ragi lebih efektif 2-3 kali dibandingkan Na $5eO4 dalam
meningkatkan status Se dan kandungan Se dalam susu serta kasein. Transfer Se ke
kelenjar ambing dapat tercapai apabila ternak mendapat Se lebih banyak di atas
kebuti~hankritisnya (Gerloff, 1992). 'Ellis c/ (11. (1 997) nienyatakan konsi~~nsi
Se
-
dalam bentuk sodium selenite dalam jumlah 10 30 kali dari kebutuhan tidak akan
menyebabkan problem kesehatan pada sapi muda. Suplementasi Se dalam bentuk
sodium selenite sebanyak 3 mglkg bahan kering ransum
selama 90 hari
meningkatkan sel darah putih. Ditambahkan lebih lanjut konsentrasi Se dalam
serum dan darah juga ~neningkatsejalan dengan peningkatan suplementasi Se.
I'enggunaan Sc organik, karena bentuknya terikat dengan molekul
protcin, makn aknn digi~nakanolch ~nikroorganismedi dalam rumen atail bypass
ke dalam usus halus dan akan dihidrolisis oleh enzim-enzim usus halus. Senyawa
Se organik secara aktif ditransfer ke enterosit usus halus.
pada eritrosit
Aktivitas GSH-Px
sapi perah dara yang mendapat Se-kapang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan selenometionin, kobalt selenit ataupun sodium selenit. Sapi
perah yang mengkonsumsi Se organik menghasilkan susu yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang mengkonsumsi anorganik (Awadeh et al., 1999).
Mahan ( 1 995) menyatakan bahwa GSH-Px dalam plasma mRNAnya
diregulasi oleh ketersediaan Se, sedangkan dalam jaringan, mRNA tidak
dipengaruhi oleh supplai Se. Oleh karenanya ada prioritas penggunaan Se dalam
jaringan tubuh dan dalam bentuk GSH-Px aktivitasnya dalam jaringan
mempunyai prioritas sesuai dengan bentuknya.
Enjalbert et al. (1999)
menambahkan bahwa aktivitas GSH-Px di dalam sel darah merah meningkat
secara cepat dengan suplementasi 45.5 mg Selhari. Aktivitas GSH-Px dapat
digunakan sebagai estimasi yang baik dari status Se, karena enzim ini merupakan
fungsi fisiologi dari selenium. 98% aktivitas GSH-Px di dalam darah berasosiasi
dengan eritrosit, oleh karenanya analisis GSH-Px di dalam sel darah akan efektif
menggambarkan status Se dalain jangka waktu yang lama.
Kandungan tertinggi glutation ditemukan dalam hati, yang merupakan
organ utama dalatn detoksifikasi dan eliminasi xenobiotik. Glutation disintesis di
dalam hati dari komponen asam amino dan diedarkan ke plasma darah dan
empedu. Ketersediaan asam amino sistein nampaknya merupakan tahapan
pembatasan sintesis. Kelebihan protein pakan atau asam amino bersulfur tidak
akan meningkatkan konsentrasi maksimum glutation hati melebihi level maksimal
secara fisiologi. Meskipun demikian dua asam amino lain yaitu asam glutamat
dan glisin merupakan dua asam amino lain yang diperlukan untuk sintesisnya.
Glutation penting dalam aktivitas limposit, khususnya sel T dan respons
kekebalan (Combs dan Combs, 1986; Larsen, 1993; Ellis et al., 1997).
Dikemukakan oleh Baumrucker (1985) bahwa glutation darah pertamatama dihidrolisis oleh y-glutam il transpeptidase (GTP-ase) ektraseluker pada selsel mem bran kelenjar am bing dan kemudian dihidrolisis lebih jauh menjadi asamasam amino bebas oleh peptidase nonspesifik. Tiga komponen asam amino
(glutamat, sistin dan glisin) ditransport sesuai dengan mekanisme transport asam
amino. Glutamat ditransport rnelalui sistem anion, sistin melalui sistem ASC dan
glisin melalui sistem A. Akhirnya ketiga asam amino masuk dalam pool asam
amino dan tersedia untuk sintesis protein susu atau resintesis glutation
intraseluler. Jaringan kelenjar ambing mempunyai konsentrasi glutation 4 - 6
mM. Ditambahkan oleh Baumrucker (1985) bahwa darah menggunakan GSH
(reduce GSH) untuk pertahanan dari oksidasi hidrogen peroksida maupun lipid
peroksida atau mempertahankan status redok dari sel darah merah (Carolyn
Berdanier, 1998).
Combs dan Combs (1986) menyatakan bahwa eksresi Se dari tubuh dapat
melalui tiga jalur utama, yaitu : paru-paru, urin dan saluran pencemaan (melalui
feses). Mahan dan Parrett (1996) menyatakan bahwa urin merupakan jalur utama
ekskresi Se pada nonruminan dan manusia yang mendapatkan suplai Se
anorganik. Sedangkan pada suplai Se-ragi jalur terbesarnya melalui feces. Groff
dan Gropper (2000) menambahkan bahwa 50 - 60% selenium atau sekitar 50 pg
diekskresikan melalui urin. Eli~ninasimelalui paru-paru pada dosis Se yang tinggi
juga dapat terjadi melalui volatile dimethyl selenite (Hirooka dan Galambos,
1966; Groff dan Grapper, 2000). Sedangkan studi Kim dan Mahan (2001) pada
babi mendapat jalur ekskresi yang berlainan yaitu jalur ekskresi lewat feces
merupakan jalur utama jika ternak mendapat suplai Se organik, sedangkan dalam
bentuk anorganik jalur ekskresinya melalui urin.
8. Hubungan Mineral Selenium dengan Kekebalan Tubuh
Sistem kekebalan tubuh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : sistem
kekebalan paraspesifik (antigen non-spesifik) dan sistem kekebalan spesifik
(spesifik antigen) (Mayr, 1993). Pengaruh selenium terhadap kekebalan humoral
dijelaskan oleh Combs dan Combs (1986). Selenium mempunyai peran dalam
peningkatan sel-sel B, yang bertanggung jawab terhadap sintesis immunoglobulin
G (IgG). Di samping itu selenium juga berperan pada peningkatan sel T yang
berfungsi dalam sistem kekebalan yang diperantarai oleh sel. Selenium juga
berfungsi meningkatkan aktivitas sel-sel fagosit (makrofag dan neutrofil). Fungsi
sel-sel 13 sangat dipengaruhi oleh scl 'T dan makrofag.
Konsentrasi immunoglobulin (Ig) dalam kolostrum berkisar antara 50 150 g/L, yang terdiri atas 85-90% IgG, 7 % IgM dan 5% IgA. Kelenjar ambing
memproduksi dalam jumlah besar IgM dan IgA tetapi sedikit IgG. IgG sebagian
besar ditransfer dari serum ke susu (Awadeh et al., 1998).
Defisiensi Se akan menurunkan imunoglobulin (Ig) G dan Ig M pada
plasma (Larsen, 1993; Corvilan et al., 1993, Swecker et al., 1995), aktivitas
neutrofil dalam membunuh bakteri patogen juga menurun (Sohn et al., 2001).
Swecker et al. (1995) menambahkan bahwa suplementasi Se pada sapi perah
malnpu menurunkan jumlah bakteri dalam intramammary ambing, menurunkan
jurnlah sel somatik serta meningkatkan aktivitas neutropil dalam membunuh
bakteri.
Dikemukakan lebih lanjut bahwa suplementasi Se pada pakan sapi
meningkatkan IgG dalam serum dan juga meningkatkan transfer IgM dari serum
ke kolostrum. IgG ditransfer dari serum ke kolostrum melalui sistem transport
selektif pada sel sekretori. Finch dan Tuner (1996) melaporkan bahwa sapi yang
disuplementasi Se 0.1 mg Se dan 1 mg vitamin E per kg ransumnya akan
meningkat konsentrasi total IgGnya.
9. Potensi Tepung Bulu Sebagai Sumber Protein Sapi Perah
Data Ditjen Peternakan (2001) menyebutkan bahwa populasi ayam
pedaging sampai bulan Mei sebesar 524.272.857 ekor atau 1.179.61 3.928 ekor
pada akhir tahun, dengan asumsi bobot bulu mencapai 5% bobot hidup maka akan
didapatkan bulu sebesar 58.98 1 ton.
Tepung bulu pada pakan sapi perah diperlukan, mengingat bahan pakan ini
merupakan salah satu sumber protein yang tahan degradasi mikroba rumen
(rumen undegradable protein, RUP), Protein bulu sekitar 85 - 90% yang terdiri
atas keratin yang tergolong ke dalam protein serat (fibrous). Keratin
dikarakteristikan sebagai protein yang kaya akan asam amino bersulfur sistin.
Ikatan sistin disulfida yang terbentuk antar asam amino sistin menyebabkan
protein ini sulit dicerna oleh enzim proteolitik dalam saluran pencernaan
(Aderibigbe dan Church, 1983). Oleh sebab itu pemanfaatan bulu ayam sebagai
sumber protein harus melalui pengolahan terlebih dahulu.
Lisin dan metionin merupakan asam amino pembatas dalam sintesis
protein susu pada awal laktasi (Schwab, 1996). Oleh karenanya sumber RUP dan
profil asam aminonya penting untuk supplai optimal dari asam amino pembatas.
Jika sapi perah mendapatkan pakan yang mengandung bungkil kedelai, tepung
darah, tepung bulu atau kombinasi antara tepung bulu dan tepung darah, maka laju
lisin, histidin, leusin dan sistin ke dalam duodenum rendah pada pakan yang
mengandung tepilng bulu dibandingkan dengan pakan yang mengandung tepung
darah. Oleh karenanya formulasi pakan seharusnya mengandung protein yang
mudah didegradasi mikroba rumen (rumen degradable protein, RDP) yang cukup
untuk kebutuhan mikroba dan RUP yang mempunyai pola asam amino yang dapat
melengkapi AA mikroba dan secara optimal dapat mensuplai asam amino esensial
pasca rumen.
Harris et al. (1992) mendapatkan data bahwa terdapat pengaruh
linier yang menguntungkan pada penggunaan tepung bulu sebesar 3 prsen pada
pakan yang mengandung protein kasar 14 persen dalam meningkatkan produksi
susu, ha1 ini mungkin terjadi akibat adanya keseimbangan asam amino.
Keuntungan pemakaian hidrolisat bulu ayam dibandingkan dengan bungkil
kedelai dalam ransum ruminansia adalah karena hidrolisat bulu ayam mempunyai
kandungan protein tahan degradasi (rumen undegradable protein, RUP) yang
tinggi. Seperti hasil yang dilaporkan oleh Aderibigbe dan Church (1983) bahwa
produksi NH3 dan kecernaan ransum yang mengandung hidrolisat bulu ayam di
dalam rumen secara in vitro termasuk rendah, namun demikian kecernaan in vivo
dan kecernaan hidrolisat bulu ayam oleh pepsin HCI cukup tinggi yaitu antara
57 - 78%. Pasokan RUP sangat penting bagi sapi perah karena protein mikroba
saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan asam amino dari sapi perah yang
berproduksi tinggi (Sutardi, 1981).
10. Fungsi dan Peranan Seng dalam Tubuh Ternak
Seng adalah salah satu mikronutrien yang tidak beracun yang tersebar
merata dalam jaringan tubuh (Georgievskii et a]., 1982). Konsentrasinya dalam
-
jaringan tidak konstan, namun bervariasi tergantung umur, jenis kelamin dan level
mineral pakan yang dikonsumsi ternak. Ketergantungan mineral pakan sangat
tinggi karena tubuh tidak dapat membuatnya.
Hasil studi Little (1986)
menunjukkan bahwa kandungan Zn pakan ruminansia di Indonesia berkisar antara
20-38 mglkg bahan kering ransum, nilai ini jauh di bawah kebutuhan ternak
ruminansia (NRC, 1988).
Rata-rata k~nsentrasiseng dalam darah ternak antara 0.25
- 0.60 mg.lOO
ml-', sedangkan dalam plasma antara 0.1 - 0.2 mg.lOO ml-' (Georgievski et al.,
1982). Seng dalam plasma ditemukan dalam dua bentuk yaitu yang berkaitan
dengan globulin dan albumin dengan proporsi 1:2 dan masing-masing terlibat
dalam fungsi enzim dan sebagai agen transportasi. Brown et al. (2001)
menyatakan bahwa Seng berasosiasi dengan lebih dari 50 metaloenzim, dengan
fungsi yang sangat luas, termasuk dalam sintesis asam nukleat dan protein yang
spesifik (hormon dan reseptornya). Oleh karenanya Zn memainkan peranan
sentral dalam pertumbuhan sel, diferensiasi dan metabolisme.
Sedangkan
Georgievski et al. (1982) menyatakan seng berperan sebagai aktivator berbagai
enzim dan bertindak sebagai komponen esensial pada sejumlah besar metaloenzim
yang penting seperti alkalin fosfatase, karboksi peptidase A dan B, dan karbonat
anhidrase.
Seng diabsorbsi ke dalam tubuh melalui usus usus, dan diregulasi melalui
sistem homeostasi tubuh lewat mekanisme absorbsi dan ekskresi seng endegenus
dari pankreas dan juga saluran pencernaan yang lain (Miller et al., 1970,
Underwood, 1977; Brown, 2001). Pada peristiwa absorbsi dan transfer, seng akan
lewat dari satu ikatan protein ke protein lainnya dan mungkin juga dalam suatu
ikatan metal kompleks dengan asam amino atau EDTA sebagai ikatan non
protein. Metabolisme setelah absorbsi dipengaruhi oleh ikatan yang terbentuk
(Georgievskii et al., 1982). Hasil penelitian Rojas et al. (1995) memperlihatkan
bahwa penggunaan Zn-lisinat lebih efektif dibandingkan dengan Zn-metionin
maupun ZnS04 dilihat dari Zn yang terserap pada ginjal, liver dan pankreas.
Download