BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERDAGANGAN INTERNASIONAL
DAN MATA UANG
2.1. Perjanjian
Peningkatan dan perkembangan interaksi antarmanusia di dalam masyarakat baik dari segi
kuantitas maupun segi kualitas berjalan seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia dalam
kehidupan modern yang semakin kompleks. Upaya pemenuhan kebutuhan manusia yang
diwujudkan di dalam berbagai jejaring kemasyarakatan untuk sebagian besar dilaksanakan melalui
kegiatan – kegiatan pertukaran barang dan jasa, baik untuk kepentingan ekonomi maupun pribadi.
Kegiatan – kegiatan pertukaran tersebut diwujudkan melalui pelaksanaan kewajiban – kewajiban
yang diterbitkan secara sukarela berdasarkan janji – janji yang mengikat para pihak pelaku
kegiatan – kegiatan tersebut. Sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin
kompleks di masa modern ini, berkembang pula beragam resiko yang semakin besar potensinya
untuk menjadi ancaman bagi para pihak dalam upaya mewujudkan harapan – harapan dari
transaksi – transaksi yang mereka adakan. Kenyataan inilah yang menerbitkan kebutuhan bagi para
pihak untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap harapan – harapan sah yang ingin dicapai
melalui transaksi – transaksi yang dibuatnya, khususnya dalam mengantisipasi terjadinya resiko –
resiko yang dapat menghambat upaya tersebut. Untuk mewujudkan tujuan – tujuan itu maka
dikembangkan norma – norma hukum dalam bentuk sekumpulan asas dan aturan hukum yang
umumnya dipahami sebagai hukum perjanjian yang diharapkan dapat meningkatkan kepastian,
keadilan, dan prediktabilitas yang pada saat bersamaan menjadi alat bagi para pihak untuk
mengelola resiko.
Perjanjian sebagai suatu hubungan hukum yang berkelanjutan, tidak banyak berbeda dari
hubungan – hubungan hukum lain, pada dasarnya diatur oleh seperangkat norma – norma. Norma
– norma tersebut dapat memerintahkan, mewajibkan atau melarang perilaku – perilaku tertentu.
Pelaksanaan perilaku tertentu seringkali digantungkan pada perilaku – perilaku atau kondisi –
kondisi tertentu. Perilaku yang menyimpang dapat diancam dengan suatu sanksi, dan perilaku yang
baik dapat menerbitkan hak untuk memperoleh prestasi. Bentuk perjanjian perlu ditentukan karena
ada ketentuan undang – undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai
kekuatan mengikat dan kekuatan bukti.1
2.1.1 Pengertian Dan Syarat Sahnya Perjanjian
Pemenuhan kebutuhan manusia yang diwujudkan di dalam jejaring kemasyarakatan untuk
sebagian besar dilaksanakan melalui kegiatan – kegiatan pertukaran barang dan jasa, baik untuk
kepentingan komesial maupun pribadi. Kegiatan – kegiatan pertukaran tersebut diwujudkan
melalui pelaksanaan kewajiban – kewajiban yang diterbitkan secara sukarela berdasaran janji –
janji yang mengikat para pihak. Sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang
semakin kompleks di masa modern ini, berkembang pula beragam resiko yang semakin besar
potensinya untuk menjadi ancaman bagi para pihak dalam mewujudkan harapan – harapan dari
transaksi – transaksi yang mereka adakan. Kenyataan inilah yang menerbitkan kebutuhan bagi para
pihak untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap harapan – harapan sah yang ingin dicapai
melalui transaksi – transaksi yang dibuatnya, khususnya dalam mengantisipasi terjadinya resiko –
resiko yang dapat menghambat upaya tersebut. Untuk mewujudkan tujuan – tujuan kontraktual
itulah maka dikembangkan norma – norma hukum dalam bentuk sekumpulan asas dan aturan
hukum yang umumnya dipahami sebagai hukum kontrak atau hukum perjanjian. Perjanjian juga
1
Abdulkadir Muhammad, op.cit. h.293
dikatakan sebagai perbuatan hukum (juridical act) dua pihak yang mengandung unsur janji yang
diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain, dan masing – masing pihak itu terikat pada
akibat – akibat hukum yang timbul dari janji – janji itu karena kehendaknya sendiri.2
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1313 KUH Perdata. Para
sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definis perjanjian yang terdapat di
dalam ketentuan diatas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas.3 Menurut Subekti,4 perjanjian
adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Sedangkan, KMRT Tirtodiningrat,5 memberikan definisi
perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih
untuk menimbulkan akibat – akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang – undang. Suatu
kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan,
hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum
keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan
perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata pada Buku III mengenai Perjanjian yang kriterianya
dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.6
Menurut Suryodiningrat,7 bahwa definisi Pasal 1313 KUH Perdata ditentang beberapa pihak
dengan argumentasi sebagai berikut:
2
J.Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.7.
Mariam Darus Badrulzaman et.al., 2001, KOMPILASI HUKUM PERIKATAN (Dalam Rangka Memperingati
Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun), Citra Aditya Bakti, Bandung, h.65
4
Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h.1
5
A.Qirom Meliala, 1985, Pokok – Pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, h.8
6
Mariam Darus Badrulzaman et.al., 2001, loc.cit.
7
R.M. Suryodiningrat, 1985, Asas – Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, h.72 – 74.
3
a. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan, dan demikian pula tidak ada
sangkut pautnya dengan sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas,
setiap janji adalah persetujuan;
b. Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan akibat hukum
tanpa dimaksudkan (misal: perbuatan yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya
perbuatan melanggar hukum);
c. Definisi Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral), satu
pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi (misal:
schencking atau hibah). Seharusnya persetujuan itu berdimensi dua pihak, dimana para
pihak saling berprestasi;
d. Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan obligatoir (melahirkan hak dan
kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi persetujuan jenis lainnya (misal:
perjanjian liberatoir / membebaskan; perjanjian di lapangan hukum keluarga; perjanjian
kebendaan; perjanjian pembuktian).
Pengertian perjanjian atau kontrak yang dikemukakan oleh para ahli tersebut melengkapi
kekurangan definisi Pasal 1313 KUH Perdata, sehingga secara lengkap pengertian perjanjian atau
kontrak adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Sebagai suatu kesimpulan dapat ditetapkan
suatu norma, bahwa yang dapat dipakai sebagai pedoman ialah pernyataan yang sepatutnya dapat
dianggap melahirkan maksud dari orang yang hendak mengikatkan dirinya. Karena suatu
perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat, maka perjanjian itu lahir pada detik
diterimanya suatu penawaran. Apabila seorang melakukan penawaran, dan penawaran itu diterima
oleh orang lain secara tertulis, menulis surat bahwa ia menerima penawaran itu, maka lahirlah
perjanjian tersebut. Menurut Pasal 1339 KUH Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat
untuk hal – hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga dalam sesuatu yang
menurut sifatnya perjanjian diharuskan atau diwajibkan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang –
undang. Dengan demikian, maka setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan – aturan yang
terdapat dalam undang – undang, yang terdapat pula dalam adat kebiasaan, sedangkan kewajiban
– kewajiban yang diharuskan oleh norma – norma kepatutan harus diindahkan.
2.1.2 Asas – Asas Perjanjian
Kehendak para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan adalah merupakan dasar
mengikatnya suatu perjanjian. Sepakat mereka yang mengikatkan diri adalah asas essensial dari
hukum perjanjian.8 Asas ini dinamakan asas otonomi, yang menentukan adanya perjanjian.
Perjanjian berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan perjanjian yang didasarkan
pada tempat perjanjian itu ditemukan. Sudikno Mertokusumo menggolongkan perjanjian dari
sumber hukumnya menjadi 5 (lima) macam, yaitu:9
a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan;
b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan peralihan
hukum benda, misalnya peralihan hak milik;
c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban;
d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan bewijsovereenkomst;
e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan publiekrechtelijke
Overeekomst.
Berbagai tradisi hukum yang tumbuh dan menjadi platform perkembangan berbagai sistem
hukum di dunia pada dasarnya menerima konsepsi bertimbal balik antara Perjanjian dengan
perikatan. Karena itu, orang dapat dengan mudah memahami bahwa Hukum Perjanjian pada
umumnya dipahami sebagai bagian dari Hukum Perikatan. Namun demikian, tidak selalu mudah
untuk menemukan batas – batas yang tajam di antara Hukum Perjanjian dengan bagian – bagian
lain dari Hukum Perikatan. Sebagai bagian dari Hukum Perikatan, Hukum Perjanjian juga pada
dasarnya melibatkan hubungan hukum yang bersisi dua. Di satu pihak norma – norma di dalamnya
tampak berkenaan dengan hak perorangan untuk mengajukan tuntutan, dan di lain pihak dengan
kewajiban – kewajiban untuk melaksanakan sesuatu.
8
9
11
Mariam Darus Badrulzaman et.al., 2001, op.cit. h.83
Sudikno Mertokusumo, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pascasarjana UGM, Yogyakarta, h.
Pada buku III KUH Perdata pengertian tentang perikatan (Van Verbintenissen) yang
memiliki sifat terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para pihak dengan beberapa syarat yaitu
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang – undang.10 Apa yang diatur
dalam Buku III KUH Perdata hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend rechtaanvullendrecht). Berbeda dengan pengaturan Buku II KUH Perdata yang menaganut sistem
tertutup atau bersifat memaksa (dwingend recht), dimana para pihak dilarang menyimpangi aturan
– aturan yang ada didalam Bukum II KUH Perdata tersebut. Syarat yang terkandung pada Buku
III KUH Perdata memiliki makna bahwa syarat tersebut dapat diikuti oleh para pihak atau dapat
juga para pihak menentukan lain/ menyimpanginya dengan beberapa syarat namun hanya yang
bersifat pelengkap saja yang dapat disimpanginya, karena di dalam ketentuan umum ada yang
bersifat pelengkap dan pemaksa, seperti yang tercantum pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH
Perdata.
2.2. Perdagangan Internasional
Hukum perdagangan internasional merupakan bidang hukum yang berkembang cepat.
Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubungan – hubungan dagang yang sifatnya
lintas batas dapat mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter,
jual beli barang atau komoditi (produk – produk pertanian, perkebunan, dan sejenisnya), hingga
hubungan atau transaksi dagang yang kompleks. Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang
internasional ini paling tidak disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi
informasi) sehingga transaksi – transaksi dagang semakin berlangsung cepat.11
2.2.1 Pengertian Perdagangan Internasional
10
11
Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 39.
Huala Adolf, 2013, Hukum Perdagangan Internasional, Cet.Ke V., Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.1
Istilah perdagangan internasional atau disebut dengan perdagangan antar bangsa – bangsa,
pertama kali dikenal di Benua Eropa yang kemudian berkembang di Asia dan Afrika. Negara –
negara yang terhimpun dalam kegiatan perdagangan internasional membentuk suatu persetujuan
dagang dan tariff atau General Agreement on Tariff and Trade yang disingkat dengan GATT.
Kemudian, GATT berkembang menjadi suatu organisasi perdagangan internasional yang sekarang
lebih dikenal dengan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization yang
disingkat dengan WTO. Kesepakatan perdagangan internasional yang dicapai dalam Uruguay
Round berakibat semakin meluasnya substansi yang ditentukan dalam GATT, disebabkan fungsi
GATT diambil alih oleh WTO yang lebih dikenal peranan dan fungsinya dalam dunia
internasional, khususnya di bidang tarif dan perdagangan internasional. Ada berbagai motif atau
alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi
dagang internasional.12 Fakta yang sekarang ini terjadi adalah perdagangan internasional sudah
menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah
banyak terbukti dalam perkembangan dunia. Timbulnya kebebasan dalam melaksanakan
perdagangan internasional termotivasi oleh paham atau teori yang dikemukan oleh Adam Smith
dalam bukunya berjudul “The Wealth of Nations”, yang menyatakan bahwa kesejahteraan
masyarakat suatu negara justru akan semakin meningkat, jika perdagangan internasional dilakukan
dalam pasar bebas dan intervensi pemerintah dilakukan seminimal mungkin.13
Prinsip utama yang menjadi dasar GATT adalah prinsip non – diskriminasi yang dalam WTO
dikenal dengan most favoured nation atau MFN, sesuai yang tercantum pada Pasal 1 WTO. MFN
merupakan prinsip bahwa perdagangan internasional antara anggota WTO harus dilakukan secara
12
13
Ibid.
Mohammad Sood, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, h. 4
non – diskriminasi. Hal itu mengandung arti bahwa konsesi yang diberikan kepada suatu negara
mitra dagang harus berlaku pula bagi semua negara lainnya. Semua negara ditempatkan pada
kedudukan yang sama. Selain prinsip hukum yang ditentukan secara umum dalam WTO, dalam
rangka mencapai tujuan WTO demi kesejahteraan negara anggota yang berkembang, disepakati
ketentuan khusus. Dalam sistem perdagangan di dunia saat ini memungkinkan segala sesuatunya
bersifat praktis, cepat dan aman. Hal yang sedemikian ini semakin memudahkan para pelaku usaha
melakukan kegiatan perdagangan. Hal ini menyangkut juga aspek globalisasi dan liberalisasi
ekonomi. Peningkatan perdagangan internasional pasti akan meningkatkan intensitas transaksi
pembayaran terhadap kegiatan perdagangan internasional di suatu negara.
Dapat dikatakan bahwa perdagangan internasional tidak berbeda dengan pertukaran barang
antardua orang di suatu negara, perbedaannya adalah bahwa perdagangan internasional orang yang
satu kebetulan berada di negara yang berbeda.14 Dengan demikian, perdagangan internasional
merupakan perdagangan dari suatu negara ke lain negara di luar perbatasan negara yang meliputi
dua kegiatan pokok. Kedua kegiatan tersebut adalah kegiatan ekspor dan impor yang hanya dapat
dilakukan dalam batas – batas tertentu sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah. Dalam melakukan
kegiatan perdagangan internasional para pelaku usaha mengacu kepada kaidah – kaidah hukum
yang bersifat internasional, baik ketentuan hukum perdata internasional (private international law)
maupun ketentuan hukum publik international (public international law).15
2.2.2 Kebijakan Perdagangan Internasional
Hubungan finansial terkait erat dengan perdagangan internasional. Keterkaitan erat ini
tampak karena hubungan – hubungan keuangan ini mendampingii transaksi perdagangan antara
14
15
Hadi Pranyitno dan Budi Santoso, Ekonomi Pembangunan, Cet.I., Ghalia Indonesia, Jakarta, h.257.
Mohammad Sood, op.cit. h.18.
pedagang (dengan pengecualian transaksi barter atau counter trade).16 Dalam menghadapi era
globalisasi di bidang ekonomi khususnya perdagangan internasional, peranan hukum bisnis
terutama hukum perdagangan internasional sangat diperlukan dalam melakukan hubungan hukum
atau transaksi antarbangsa. Hubungan tersebut menyangkut perniagaan atau pertukaran barang,
jasa, modal maupun tenaga kerja, yang meliputi dua kegiatan pokok, yaitu kegiatan impor adalah
memasukkan barang ke dalam daerah pabean, dan kegiatan ekspor adalah mengeluarkan barang
dari daerah pabean.
Di dalam jual beli dagang sendiri khususnya dalam perdagangan internasional telah ada suatu
suatu kebiasaan yang digunakan sebagai hukum oleh para pelaku dalam transaksi tersebut.
Ketentuan ini pada mulanya dibuat oleh para pengusaha yang tergabung di dalam The
International Chamber Of Commerce atau ICC.17 ICC merupakan salah satu badan atau organisasi
internasional di bidang unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional. ICC didirikan
pada tahun 1919. Badan ini berkedudukan di Paris. Tujuannya pada waktu itu, dan sampai
sekarang masih terus berlaku, adalah melayani dunia usaha dengan memajukan perdagangan,
penanaman modal, membuka pasasr untuk barang dan jasa, serta memajukan aliran modal.18
Selama masa depresi di tahun 1919, ICC memerankan peranan penting dalam membantu
mengurangi proteksi yang muncul dari krisis tersebut. Setelah Perang Dunia II, ICC tetap penting
di dunia internasional untuk melanjutkan pengembangan perdagangan internasional.19 Pada tahaun
1980-an dan awal 1990-an, ICC harus menghadapi kebangkitan dari proteksionisme dalam
penyamaran baru, seperti pengaturan resiproakatif perdagangan, pembatasan ekspor secara
sukarela, dan pengendalian yang lebih dikenal dengan eufemisme ”pengaturan perdagangan”.
16
Huala Adolf, op.cit. h.7.
Sentosa Sembiring, op.cit. h. 133
18
Ibid.h.47
19
http://www.iccwbo.org/about-icc/history/ diakses pada tanggal 3 Maret 2016.
17
Negara – negara di dunia kerap membuat kebijakan atau keputusan – keputusan yang dapat
memengaruhi perdagangan. Oleh karena itulah, peran atau adanya suatu badan dunia yang
menyuarakan para pedagang yang terkena oleh kebijakan atau keputusan suatu negara menjadi
sangat penting.20 Setelah kehancuran komunis di Eropa Timur dan Uni Soviet, ICC menghadapi
tantangan yang baru, hal ini dikarenakan sistem pasar bebas telah diterima secara lebih luas, dan
sampai sekarang negara – negara tersebut masih memerlukan campur tangan pemerintah untuk
beralih ke privatisasi dan liberalisasi ekonomi. ICC sebagai suatu badan dalam membuat kebijakan
– kebijakan atau aturan – aturan yang dapat menfasilitasi perdagangan internasional. Peran lain
yang cukup penting pula adalah:21
a). Sebagai forum penyelesaian sengketa khususnya melalui arbitrase;
b). Sebagai forum untuk menyebarluaskan informasi dan kebijakan serta aturan – aturan hukum
dagang internasional di antara pengusaha – pengusaha di dunia; dan
c). Memberikan pelatihan – pelatihan dan teknik – teknik dalam merancang kontrak serta keahlian
– keahlian praktis lainnya dalam perdagangan internasional.
Memasuki abad ke – 21, ICC membangun keberadaan yang lebih kuat di Asia, Afrika,
Amerika Latin, Timur Tengah, dan di negara – negara berkembang dari Eropa Timur dan Tengah.
Selama ini ICC dipandang sebagai garda terdepan dalam menyuarakan keinginan pelaku usaha
untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan kemakmuran. Peran ini sangat
penting dalam kaitannya dengan keadaan negara – negara di dunia saat ini. ICC tidak berupaya
menciptakan unifikasi hukum. Kebijakan yang ditempuhnya adalah memberikan aturan – aturan
dan standar – standar (Rules and Standards) di bidang hukum perdagangan internasional. Kedua
bentuk aturan ini sifatnya tidak mengikat.22
20
Huala Adolf, op.cit. h.48.
Ibid.
22
Ibid. h.49.
21
Dengan diratifikasi persetujuan berdirinya WTO, melalui disahkannya Undang – Undang
Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization
atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, yang selanjutnya akan disingkat
UU WTO artinya Indonesia telah resmi menerima kesepakatan WTO. Sebagai tindak lanjutnya
pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagi peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar
pengaturan perdagangan internasional antara lain:23
1. Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;
2. Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang – Undang Nomor 10
tahun 1995 tentang Kepabeanan;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antindumping dan Bea
Masuk Imbalan;
4. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 136.MPP/Kep/6 /1996 tentang
Pembentukan Komite Antidumping Indonesia;
5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 172/ MPP/ Kep/ 6/ 1996
tentang Organisasi dan Cara Kerja Tim Organisasi Antidumping;
6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 427/MPP/Kep/10 /2000 tentang
Komite Antidumping Indonesia;
7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 428/MPP/Kep/10 /2000 tentang
Pengangkatan Anggota Komite Antidumping Indonesia;
8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/7 /2001 tentang
Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 261/ MPP/ Kep/ 9/
1996 tentang Tata Cara Persyaratan Pengajuan Penyelidikan Atas Barang Dumping dan
Barang Mengandung Subsidi.
9. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37/ M-Dag/ Per/ 9/ 2008
tentang Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) Terhadap Barang Impor yang
dikenakan Tindakan Pengamanan (Safeguard);
Yang terakhir ditetapkannya Undang – undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, adanya
pengecualian bagi pelaku usaha perdagangan internasional untuk tidak menerima mata uang rupiah
sebagai alat pembayaran untuk transaksi jual beli yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Oleh karena itu, kebijaksanaan pembangunan di bidang ekonomi yang
didukung oleh kemajuan di bidang hukum diharapkan dapat terciptanya kerangka landasan guna
menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan.
23
Mohammad Sood, loc.cit
2.3. Mata Uang
Uang sebagai alat tukar yang sifatnya fleksibel karena dapat ditukarkan segala macam
kebutuhan hidup berupa apa saja dan dimana saja.24 Uang suatu negara haruslah diterima setidak
– tidaknya di negara bersangkutan. Agar dapat diterima oleh masyarakat maka harus ada
kepercayaan masyarakat terhadap uang dimaksud. Kepercayaan masyarakat terhadap uang antara
lain ditentukan dari reputasi lembaga yang mengeluarkan dan mengedarkan uang adalah bank
sentral. Oleh karena itu bank sentral perlu memiliki reputasi yang baik. Uang sebagai alat
pembayaran yang sah, dalam perekonomian suatu negara mempunyai beberapa fungsi penting
yaitu sebagai alat penukar atau alat pembayaran dan pengukur harga. Sehingga dapat dikatakan
uang merupakan alat utama perekonomian. Tanpa uang, perekonomian suatu negara akan lumpuh
bahkan tidak dapat dilaksanakan.
Keberadaan suatu negara yang berdaulat ditandai dengan kepemilikan oleh negara tersebut
atas suatu wilayah teritorial tertentu, rakyat yang berdiam dalam wilayah teritorial dimaksud dan
pemerintahan yang berdaulat. Disamping adanya wilayah, rakyat dan pemerintahan, untuk lebih
menegaskan identitas keberadaan suatu negara, diperlukan simbol – simbol kenegaraan, antara
lain berupa bendera, lambang negara, lagu kebangsaan, dan mata uang. Bila dilihat dari
kepentingan perekonomian suatu negara maka yang paling berperan dalam kehidupan masyarakat
adalah mata uang.
2.3.1. Pengertian Mata Uang
Adanya mata uang suatu negara menunjukkan salah satu ciri bahwa negara yang
bersangkutan berdaulat. Mata uang adalah alat pembayaran transaksi ekonomi yang digunakan di
suatu negara.25 Di setiap negara mata uangnya berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.
24
25
Gatot Supramono, op.cit. h. 9.
Ibid. h.13
Dengan mata uang berbeda – beda transaksi perdagangan antar negara dilakukan dengan kurs.
Istilah mata uang merupakan terjemahan dari istilah currency yang berarti uang yang dikeluarkan
oleh Bank Sentral.26 Mata uang terdiri dari dua jenis yakni uang logam dan uang kertas yang
dikenal dengan sebutan uang kartal. Istilah uang berarti adalah semua jenis uang yang berada
dalam perekonomian, yakni uang kartal yang dikeluarkan oleh Bank Sentral ditambah dengan uang
giral yang dikeluarkan oleh bank – bank umum.
2.3.2. Valuta Asing Sebagai Alat Pembayaran
Valuta asing atau valas atau foreign exchange adalah mata uang yang dikeluarkan dan
digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di negara lain. Atau, seluruh kewajiban terhadap
mata uang asing yang dapat dibayar di luar negeri, baik berupa pembayaran, pelunasan utang
piutang, maupun simpanan pada bank di luar negeri. Transaksi valas dapat diartikan sebagai
kesepakatan antara dua pihak untuk melakukan pertukaran mata uang asing yang dimiliki dengan
mengikuti ketentuan kurs mata uang pada saat itu. Uang selalu ada hubungannya dengan mata
uang dan mata uang selalu berhubungan dengan suatu negara karena setiap negara menentukan
sendiri mata uangnya.27 Kurs Mata Uang adalah nilai sebuah mata uang negara tertentu yang
diukur, dibandingkan, atau dinyatakan dalam mata uang negara lain.28 Sehubungan dengan itu,
pada Pasal 2 ayat (1) UU Mata Uang mencantumkan mata uang Negara Republik Indonesia adalah
Rupiah. Uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Republik Indonesia.
Hakekat valas adalah uang asing. Uang asing adalah uang yang diterbitkan sebagai alat bayar
yang sah oleh suatu negara, di dalam maupun diluar wilayah negara negaranya, dengan bahan fisik
26
Cita Yustisia Serfiyani & Iswi Hariyani, 2013, Pasar Uang & Pasar Valas, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
h. 97.
27
Gatot Supramono, op.cit. h. 13
28
Cita Yustisia Serfiyani & Iswi Hariyani, op.cit. h. 112.
dan penanda tertentu. Valas merupakan uang asing yang berfungsi sebagai alat tukar sah yang
diterbitkan secara resmi oleh suatu negara.29 Untuk dapat dikategorikan sebagai alat tukar yang
sah, suatu mata uang asing harus memenuhi sekurang – kurangnya 3 (tiga) persyaratan, yaitu:
a. diterbitkan oleh suatu negara;
b. memenuhi persyaratan fisik dan nilai tertentu; dan
c. berfungsi sebagai alat tukar resmi di negara bersangkutan.
Persyaratan valas sebagai alat tukar resmi yang diterbitkan oleh negara tertentu, atau setidak –
tidaknya oleh suatu lembaga yang diberi otoritas oleh negara untuk itu harus dipenuhi oleh setiap
valas. Di Indonesia, kewenangan ini oleh negara diberikan kepada Bank Indonesia.
29
Ibid.h. 125.
Download