Judul Nama/NPM Pembimbing : Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu : Nuria Khotimah/10503129 : Ni Made Taganing, M. Psi., Psi ABSTRAKSI Tunarungu adalah istilah yang menggambarkan keadaan kemampuan dengar yang kurang atau tidak berfungsi secara normal sehingga tidak mungkin lagi diandalkan untuk belajar bahasa dan wicara tanpa dibantu dengan metode dan peralatan khusus. Tunarungu berpengaruh terhadap seluruh perkembangan anak sebagai individu. Keadaan itu mempengaruhi perkembangan mental, kepribadian, emosi dan sosial si anak. Penerimaan merupakan sikap seseorang yang menerima orang lain apa adanya secara keseluruhan, tanpa disertai persyaratan ataupun penilaian. Apabila dalam keluarga terutama pada ibu ada penerimaan, maka dapat membantu dalam pengasuhan dan akan mendukung perkembangan anak. Namun tidak mudah bagi seorang ibu untuk dapat menerima begitu saja kondisi anaknya tetapi ibu akan melalui beberapa proses hingga akhirnya seorang ibu dapat menerima kondisi anaknya. Proses-proses penerimaan itu antara lain shock, denial, grief and depression, ambivalence, guilt, anger, shame and embrassment, bargaining, adaptation and reorganization, acceptance and adjustment. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran penerimaan ibu terhadap anaknya yang mengalami tunarungu, faktor-faktor yang menyebabkan penerimaan serta gambaran proses-proses penerimaan yang dialami. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dalam bentuk studi kasus. Subjek penelitian ini adalah seorang ibu yang memiliki anak tunarungu dan berjumlah satu orang. Dalam penelitian ini digunakan teknik wawancara terstruktur dan observasi non partisipan. Berdasarkan hasil penelitian secara umum, gambaran penerimaan yang ditunjukkan oleh subjek yaitu adanya harapan realistis terhadap keadaan, yakin akan standar dirinya, memiliki perhitungan akan keterbatasan pada dirinya, menyadari asset diri yang dimiliki, serta menyadari kekurangannya. Faktor-faktor yang menyebabkan penerimaan yang dialami oleh subjek terdiri dari pemahaman diri, makna hidup, pengubahan sikap, keikatan diri, kegiatan terarah, dan dukungan sosial sedangkan proses penerimaan yang dilalui oleh subjek terdiri dari beberapa proses, yaitu shock (kaget), grief and depression (perasaan duka dan depresi), guilt (perasaan bersalah), anger (perasaan marah), shame and embrassment (perasaan malu), adaptation and reorganization (adaptasi), acceptance and adjustment (menerima). Kata kunci : Proses Penerimaan dan Tunarungu. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia yang berpendengaran normal memiliki latar belakang bunyi-bunyian. Dimana bunyi-bunyian memberikan arti yang amat penting bagi kejiwaan manusia untuk terusmenerus mempunyai kontak dengan orang dan alam di sekelilingnya. Keadaan seperti ini membawa rasa aman bagi manusia dan memperkaya penghayatan terhadap segala sesuatu yang dialaminya. Namun lain halnya dengan anak tunarungu. Menurut Dudung & Sugiarto (1999), tunarungu merupakan suatu istilah yang menggambarkan keadaan kemampuan dengar yang kurang atau tidak berfungsi secara normal sehingga tidak mungkin lagi diandalkan untuk belajar bahasa dan wicara tanpa dibantu dengan metode dan peralatan khusus. Ketunarunguan mengakibatkan anak tidak mendengar bunyi secara umum sehingga berakibat pada kehidupan perasaan yang kurang berkembang dan tidak berjenjang. Jalan pikirannya terlalu konkret dan sukar berpikir secara abstrak. Sukar masuk ke dalam situasi perasaan orang lain. Semuanya disebabkan oleh bunyi-bunyi di lingkungannya tidak memberi pengaruh kepadanya. Menurut Safaria (2005) kebanyakan orang tua akan mengalami shock bercampur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut, dan marah ketika pertama kali mendengar diagnosis mengenai gangguan yang dialami oleh anaknya. Begitu pula dengan ibu yang anaknya mengalami gangguan tunarungu. Perasaan tak percaya bahwa anaknya mengalami tunarungu kadang-kadang menyebabkan ibu mencari dokter lain untuk menyangkal diagnosis dokter sebelumnya, bahkan sampai beberapa kali berganti dokter. Hal ini sangat memukul perasaan ibu. Bagaimana tidak, anak yang sangat dicintainya harus menderita suatu gangguan yang menyebabkannya tidak berkembang sebagaimana anak-anak lainnya. Kata-kata seperti, “Hancur-luluh, seperti disambar petir di siang bolong, pilu dan memilukan, shock berat, ini tidak mingkin saya alami, ah, betapa menderitanya, apa salah saya Tuhan hingga Engkau menimpakan cobaan berat ini pada keluarga kami” menggambarkan betapa beratnya masalah yang sedang dihadapi oleh seorang ibu dari anak dengan gangguan tunarungu. Banyak sekali dampak negatif yang akan dirasakan oleh ibu, baik secara fisik maupun psikologi.. Pemahaman awal akan dampak negatif yang akan banyak timbul merupakan langkah yang sangat penting yang bertujuan agar ibu mampu secara cepat menyadarinya sehingga mampu mengendalikannya agar dampak tersebut tidak bertambah berat. Bahkan mungkin saja berakibat anak akan menjadi korban karena kekurangan kasih sayang dan perhatian. Untuk itulah diperlukan penerimaan dari seorang ibu terhadap anaknya yang mengalami gangguan tunarungu. Menurut Rogers, (1979) penerimaan merupakan sikap seseorang yang menerima orang lain apa adanya secara keseluruhan, tanpa disertai persyaratan ataupun penilaian. Apabila dalam keluarga terutama pada ibu ada penerimaan, maka akan dapat membantu dalam pengasuhan dan akan mendukung perkembangan anak. Besar kecil penerimaan oleh keluarga akan mempengaruhi pada kualitas hubungan keluarga. Terlebih penerimaan ibu, semakin kuat perasaan keibuan pada seorang wanita, maka semakin besar kemampuan untuk mencurahkan kasih sayang dan cintanya kepada anaknya, (Ibrahim, 2002). Jika dilihat berdasarkan teori penerimaan dari Kubler-Ross, (dalam Gargiulo, 1985) seseorang akan mengalami beberapa proses dalam menerima suatu keadaan yang tidak sesuai dengan harapannya, sampai-sampai pada tahap dimana seseorang tersebut benarbenar menerima keadaan yang terjadi. Maka pada ibu yang memiliki anak tunarungu akan mengalami beberapa proses dalam menerima ketunarunguan pada anaknya, sampai-sampai pada tahap dimana ibu benar-benar menerima keadaan anaknya yang mengalami tunarungu. Tahap-tahapnya yaitu pada primary phase: 1). Shock (kaget), 2). Denial (menyangkal), 3). Grief and depression (duka dan depresi), Kemudian pada secondary phase: 1). Ambivalence (dua perasaan yang bertentangan), 2). Guilt (perasaan bersalah), 3). Anger (perasaan marah), 4). Shame and embrassment (perasaan malu dan memalukan), Dan yang terakhir yaitu pada tertiary phase: 1). Bargaining (tawar-menawar),. 2). Adaptation & reorganization (adaptasi dan reorganisasi), 3). Acceptance & adjustment (menerima dan memahami), Menurut Safaria (2005) faktorfaktor yang menyebabkan cepat atau tidaknya seseorang menerima suatu keadaan yang tidak sesuai dengan harapannya pada dasarnya tidak lepas dari penafsiran orang tersebut terhadap peristiwa yang dialaminya. Seringkali kita cenderung melihat suatu peristiwa dari sisi yang negatif dan jarang sekali kita melihatnya dari sisi positif.. Ada dua faktor yang berpengaruh dalam proses penerimaan, faktor yang pertama yaitu faktor keluarga yaitu adanya hubungan yang relatif harmonis antara ibu dengan ayah. Jika hubungan antara ibu dengan ayah relatif harmonis, maka keduanya akan lebih mampu saling bekerja sama dalam merawat, mendidik dan membimbing anaknya sehingga proses penerimaan pun akan lebih cepat terjadi. Sebaliknya jika hubungan antara ibu dengan ayah buruk, maka beban psikis yang dipikul keduanya akan bertambah berat. Kemudian yang kedua yaitu faktor lingkungan sosial, didalam lingkungan sosial mengembangkan sikap perhatian, dukungan, penerimaan, dan sikap empatik kepada sesama. Jika kita bersikap penuh pengertian, mau membantu dengan tulus, maka kita pun akan mendapatkan dukungan, perhatian dari orang lain. Mengembangkan hubungan yang suportif merupakan situasi yang timbal-balik, dua arah, dan saling mempengaruhi. Sehingga proses penerimaan pada anak tunarungu akan lebih cepat terjadi. Ciri-ciri orang yang menerima orang lain juga dijelaskan oleh Sheerer (dalam Cronbach, 1963) yaitu mempunyai keyakinan akan kemampuan untuk menghadapi kehidupan, menganggap orang lain berharga, berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya, menerima pujian atau celaan secara objektif, dan tidak menyalahkan atas keterbatasan dan tidak pula mengingkari kelebihan orang lain. Adanya masalah-masalah psikologis yang berhubungan dengan penerimaan ibu yang memiliki anak tunarungu inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini, mulai dari respon awal terhadap diagnosis sampai pada proses penerimaan. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka timbul pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran penerimaan ibu terhadap anaknya yang mengalami tunarungu? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan penerimaaan ibu terhadap anaknya yang mengalami tunarungu? 3. Bagaimanakah proses penerimaan ibu terhadap anaknya yang mengalami tunarungu? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran penerimaan ibu terhadap anaknya yang mengalami tunarungu, faktor-faktor yang menyebabkan penerimaan ibu terhadap anaknya yang mengalami tunarungu, dan bagaimana proses penerimaan ibu terhadap anaknya yang mengalami tunarungu D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini terutama dalam faktor yang menyebabkan penerimaan terhadap anak tunarungu dapat memberikan masukan yang bermanfaat pada ibu agar dapat melakukan perubahan dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi hidup bermakna sehingga ibu dapat lebih cepat dan lebih mudah untuk menerima dan memahami kondisi anak. Serta untuk anak dapat memberi semangat hidup, motivasi dan menimbulkan kepercayaan dirinya kembali. 2. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya dari Safaria (2005), Bastaman (1996), Kubler-Ross, (dalam Gargiulo, 1985)dan terutama mengenai faktorfaktor yang menyebabkan penerimaan serta proses-proses penerimaan. Selain itu penelitian ini di harapakan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya khususnya yang berhubungan dengan penerimaan ibu yang mempunyaianaktunarungu. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Penerimaan Dari berbagai definisi tersebut di atas, pada dasarnya memiliki kesamaan antara definisi yang satu dengan yang lainnya. Yakni dapat dilihat bahwa penerimaan berkaitan dengan proses seseorang dalam menerima kenyataan yang ada. Yakni dengan menerima orang lain apa adanya secara keseluruhan, memiliki sikap yang positif terhadap orang lain, mengakui dan menerima berbagai aspek dari orang lain termasuk kualitas baik dan buruknya. 2. Karakteristik Penerimaan Dalam hal ini Jersild, (1974) menjelaskan beberapa karakteristik penerimaan yakni, spontan dan bertanggung jawab, tidak menyalahkan kondisi yang ada, memiliki keinginan, gagasan, dan aspirasi. Kemudian individu yang dapat menerima orang lain akan memiliki penilaian yang realistis mengenai kemampuan dan pengertian akan arti orang lain. Beberapa ciri penerimaan diri untuk dapat membedakan antara orang yang dapat menerima keadaan dirinya atau orang yang telah mengembangkan sikap penerimaan dalam dirinya dengan seseorang yang menolak keadaan dirinya atau tidak dapat bersifat realistis, yaitu: a) Orang yang menerima dirinya memiliki harapan yang realistis terhadap keadaan dan menghargai dirinya. b) Yakin akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaksa pada pendapat orang lain. c) Memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya dan tidak melihat pada dirinya sendiri secara irrasional. d) Menyadari asset diri yang dimilikinya dan merasa bebas untuk menarik atau menolak keinginannya. e) Seseorang yang menyadari kekurangannya tanpa menyalahkan orang lain. 3. Reaksi-reaksi Awal Penerimaan Menurut Selikowitz, (2001) setiap ibu mengalami reaksi dalam penerimaan anaknya, antara lain : a). Syok Semua ibu melewati fase ini, walaupun mungkin hanya sejenak setelah mendengar bahwa anaknya menderita tunarungu. Banyak dari perasaan syok itu dialami secara fisik misalnya tubuh berkeringat dan menjadi dingin setelah mengetahui bahwa anaknya menderita tunarungu. b). Rasa tidak percaya Manakala dihadapkan pada berita buruk, salah satu mekanisme perlindungan diri individu yang efektif adalah penyangkalan. Namun ketidakpercayaan ini sering kali total pada taraf awal. Pada saat diberitahukan, kadang penyangkalan dapat terus berlangsung dan menyebabkan para ibu mencari pendapat lain atau terlibat dalam cara pengobatan yang kontroversial bagi anak mereka. c). Perasaan sedih Reaksi terhadap derita bahwa seorang anak menderita tunarungu seringkali menyerupai kesedihan yang dirasakan setelah kehilangan orang yang dicintai. d). Perasaan menolak Walaupun banyak ibu merasa malu untuk mengungkapkannya, perasaan menolak merupakan hal yang umum pada taraf dini. Hal ini juga merupakan respon naluriah dan mungkin sekali muncul, manakala seorang anak yang dalam suatu hal berbeda dari yang lainnya dan tidak dapat diasuh dengan baik di dalam lingkungannya. e). Perasaan tidak mampu dan malu Bagi banyak ibu, lahirnya seorang anak dengan tunarungu merupakan sebuah pukulan dahsyat bagi jati diri mereka. Mereka merasa bahwa lahirnya seorang anak yang cacat mencerminkan kebutuhan mereka sendiri, terlebih bagi bila mereka belum memiliki anak lain. f). Perasaan marah Banyak ibu mengalami kemarahan sewaktu mereka mendapatkan dirinya berada dalam situasi yang tidak dapat mereka ubah. Banyak ibu mengalami ini sebagai perasaan putus asa dan pesimis. Mereka mudah menangis, sulit tidur dan makan serta tidak ada tenaga, antusiasme menghadapi segala sesuatu. g). Perasaan bersalah Para ibu sering kali merasa bersalah memiliki anak yang menderita tunarungu karena mereka yang mengandung sang anak. (Selikowitz, 2001). 4. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Penerimaan Jika dilihat dari teori yang dikemukakan oleh Bastaman (1996) mengenai beberapa komponen yang menentukan berhasilnya seseorang dalam melakukan perubahan dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi hidup bermakna maka pada ibu yang memiliki anak tunarungu untuk mempercepat proses penerimaan terhadap anaknya yang memiliki gangguan tunarungu yaitu dengan melakukan perubahan dari menghayati hidup dengan tidak bermakna menjadi hidup lebih bermakna. Komponenkomponennya yaitu: a) Pemahaman-diri (self-insight) Yakni meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan kearah kondisi yang lebih baik. b) Makna hidup (the meaning of life) Yaitu nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan pengarah kegiatankegiatannya. Perluas makna hidup yang kita cari, buka pemikiran kita, buka mata hati kita, lihatlah halhal yang kita anggap sepele, namun sebenarnya mengandung makna yang luar biasa. c) Pengubahan sikap (changing attitude) Yakni dari yang semula bersikap negatif dan tidak tepat menjadi mampu bersikap positif dan lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup dan musibah yang tak terelakkan. d) Keikatan-diri (self-commitment) Yakni komitmen individu terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang ditetapkan. Kuatkan komitmen kita untuk bertindak positif, konsisten dalam berusaha, tidak mengenal kata menyerah dan putus asa, e) f) apalagi hanya berpangku tangan. Komitmen yang kuat akan membawa diri kita pada pencapaian makna hidup yang lebih mendalam. Kegiatan terarah (directed activities) yakni upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, keterampilan) yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan hidup. Hiasi hidup kita dengan aktivitasaktivitas positif seperti mengikuti ceramah keagamaan, ikut dalam badan amal, mengembangkan keterampilan dan usaha, serta aktivitas-aktivitas positif lainnya yang bisa kita lakukan. Dukungan sosial (social support) Yakni hadirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya dan selalu bersedia memberi bantuan pada saat-saat diperlukan. Kembangkan relasi sosial kita dengan orang-orang disekitar, cari dan temukan lingkungan sosial yang kondusif, silaturahmi keberbagai pihak, jangan mengisolasi diri 5. Proses-proses Penerimaan Menurut Kubler-Ross, (dalam Gargiulo, 1985) seseorang akan mengalami beberapa proses dalam menerima suatu keadaan yang tidak sesuai dengan harapannya, sampai-sampai pada tahap dimana seseorang tersebut benar-benar menerima keadaan yang terjadi, yaitu: a). Primary phase (1). Shock (kaget) Ibu merasa terguncang, tidak percaya atas apa yang telah terjadi. Biasanya ditandai dengan menangis terus-menerus dan perasaan tidak berdaya. Ibu sama sekali tidak siap untuk menghadapi kelainan pada anak. (2). Denial (menyangkal) Ibu menolak untuk mengenali kecacatan anak dengan merasionalisasikan kekurangan yang ada, atau dengan mencari penegasan dari ahli bahwa tidak ada kecacatan pada anak. (3). Grief and depression (perasaan duka dan depresi) Merupakan reaksi yang alami dan tidak perlu dihindari, Karena dengan adanya perasaan ini ibu mengalami transisi dimana harapan masa lalu mengenai “anak sempurna” disesuaikan dengan kenyataan yang terjadi saat ini. Dalam fase ini rasa duka disebabkan oleh perasaan kecewa karena memiliki anak yang menderita tunarungu. Sedangkan depresi merupakan perasaan marah pada diri sendiri karena telah gagal melahirkan anak yang normal. Salah satu perilaku yang mungkin muncul pada fase ini adalah penarikan diri dari lingkungan. b). Secondary phase (1). Ambivalence (dua perasaan yang bertentangan) Kecacatan anak dapat meningkatkan intensitas perasaan kasih sekaligus perasaan benci pada ibu. Perasaan negative umumnya diiringi dengan perasaan bersalah, sehingga beberapa ibu mendedikasikan sebagaian besar waktunya untuk anak, sedangkan sebagian lagi menolak untuk memberikan kasih sayang pada anak dan menganggap anak tidak berguna. (2). Guilt (perasaan bersalah) Pada fase ini ibu mungkin saja merasa bersalah dengan kecacatan anaknya, karena menganggap bahwa dialah yang menyebabkan kecacatan tersebut atau dihukum karena dosanya dimasa lalu. Pada fase ini biasanya ibu memiliki pemikiran “kalau saja”. Pada saat bersalah ibu juga menjadi obsesif dan emosional serta secara berkala bertanya mengapa hal ini dapat terjadi. (3). Anger (perasaan marah) Perasaan ini dapat ditunjukkan dengan dua cara. Pertama timbulnya pertanyaan “mengapa saya”, lalu yang kedua yaitu “displacement”, dimana rasa bersalah ditunjukkan pada orang lain seperti dokter, terapis, pasangan, atau anak kandungnya yang lain. (4). Shame and embrassment (perasaan malu dan memalukan) Perasaan ini timbul saat ibu menghadapi lingkungan sosial yang menolak, mengasihani, atau mengejek kecacatan anak. Sikap lingkungan yang terus-menerus seperti ini dapat menurunkan harga diri karena beberapa ibu menganggap anak merupakan penerus dirinya. Kehadiran anak yang cacat dapat mengancam harga dirinya. c). Tertiary phase (1). Bargaining (tawar-menawar) Suatu strategi dimana ibu mulai membuat “perjanjian” dengan Tuhan, ilmu pengetahuan, atau pihak manapun yang mampu membuat anaknya kembali normal. Misalnya: ibu yang membuat pernyataan seperti “jika engkau dapat menyembuhkan anakku, maka aku akan mengabdikan diriku padamu. (2). Adaptation & reorganization (adaptasi dan reorganisasi) Adaptasi merupakan proses bertahap yang membutuhkan waktu dan berkurangnya rasa cemas serta reaksi emosional lainnya. Reorganisasi merupakan suatu kondisi dimana ibu merasa nyaman dengan situasi yang ada dan menunjukkan rasa percaya diri dalam kemampuan mereka untuk merawat dan mengasuh anak, sehingga untuk bertanggung jawab atas masalah anak. (3). Acceptance & adjustment (menerima dan memahami) Merupakan proses yang aktif dimana ibu secara sadar berusaha untuk mengenali, memahami, dan memecahkan masalah, namun tetap saja perasaan negatif yang sebelumnya terbentuk tidak pernah hilang. Pada fase ini ibu menyadari kondisi anak dan menerimanya. B. Tunarungu 1. Pengertian Tunarungu Menurut Dudung & Sugiarto (1999) tunarungu adalah istilah yang menggambarkan keadaan kemampuan dengar yang kurang atau tidak berfungsi secara normal sehingga tidak mungkin lagi diandalkan untuk belajar bahasa dan wicara tanpa dibantu dengan metode dan peralatan khusus. Tunarungu berpengaruh terhadap seluruh perkembangan anak sebagai individu. Keadaan itu mempengaruhi perkembangan mental, kepribadian, emosi dan sosial si anak Ada beberapa pengaruh yang terjadi terhadap perkembangan anak tunarungu, yaitu: 1. Ketunarunguan mengakibatkan anak tidak mendengar bunyi secara umum, sehingga menyebabkan: a). Kehidupan perasaan kurang berkembang dan tidak berjenjang, di satu pihak sukar dirangsang, tetapi di pihak lain dengan mudah menjadi berkelebihan. b). Jalan pikirannya terlalu konkret dan sukar berpikir secara abstrak. c). Sukar masuk ke dalam situasi perasaan orang lain. Semuanya disebabkan oleh bunyi-bunyi di lingkungannya tidak memberi pengaruh kepadanya. 2. Ketunarunguan mengakibatkan anak tidak mendengar bunyi bahasa, sehingga menyebabkan anak tunarungu yang dididik, terutama secara visual kinestesis tanpa mengikutsertakan unsure auditif akan mengalami kemiskinan dalam perkembangan bahasanya. Intonasi dan bunyi bahasa yang tidak dapat ditangkap lewat pendengaran sangat menghambat perkembangan bahasanya sebab hakikat bahasa adalah bunyi, nada, dan irama, bukan gerak bibir atau gerak lidah. 2. Kriteria Tunarungu Menurut Dudung & Sugiarto, (1999) terdapat beberapa kriteria tunarungu, yaitu : 1). Berdasarkan Tingkat Kehilangan Kemampuan Dasar Tunarungu dapat dibagi atas tulis dan kurang dengar atau pekak. Golongan tuli adalah mereka yang kehilangan kemampuan dengar 90 decibel (dB) atau lebih, sedangkan golongan kurang dengar adalah mereka yang kehilangan kemampuan dengar kurang dari 90 dB. Golongan kurang dengar ini masih dapat dibedakan atas kurang dengar ringan (kehilangan kemampuan dengar antara 30 sampai 50 dB), kurang dengar sedang kehilangan kemampuan dengar antara 50 sampai 70 dB), dan kurang dengar berat (kehilangan kemampuan dengar antara 70 sampai 90 dB). 2). Berdasarkan Letak Kerusakan Ditinjau dari letak atau lokasi kerusakan dapat dibedakan atas tunarungu konduktif dan tunarungu perspektif. Tunarungu konduktif adalah jenis ketunarunguan sebagai akibat dari kerusakan telinga bagian luar dan bagian tengah, sedangkan jenis ketunarunguan perspektif akibat kerusakan telinga bagian dalam sampai syaraf-syaraf indra pendengaran. 3). Berdasarkan Saat Terjadinya Kehilangan Pendengaran Tunarungu dapat terjadi pada seseorang sebelum orang itu memiliki bahasa, dan di antara kedua masa itu. Bila tunarungu itu terjadi pada saat seseorang belum memiliki bahasa disebut tunarungu pralingual dan bila tunarungu terjadi pada sesorang yang telah berbahasa disebut tunarungu postlingual, dan bila terjadi di antara kedua hal itu disebut tunarungu interlingual 4). Berdasarkan Penyebabnya Ditinjau dari faktor penyebabnya dapat dibedakan atas tunarungu genetis (bawaan), prenatal (sejak dalam kandungan), natal (pada saat kelahiran), dan postnatal (setelah kelahiran). 3. Karakteristik Tunarungu Menurut Prabowo & Puspitawati (1997) karakteristik dapat ditinjau dari perkembangan sosial, intelegensi, pendidikan, bahasa, dan bicaranya. 1). Perkembangan Sosial Umumnya mengalami hambatan komunikasi dan juga hambatan belajar tentang hal-hal yang berkaitan dengan intelektual, hal ini menyebabkan rendahnya kemampuan untuk mengatasi dorongan/impuls karena ada kesulitan dalam melakukan interaksi sosial (yang umumnya dilakukan melalui kemampuan berkomunikasi), kurang mandiri, toleransi terhadap frustasi rendah, sangat egosentris karena komunikasi umumnya hanya dapat dilakukan dengan diri sendiri, menjadi penuntut dan bersikap actingout(melebih-lebihkan) 2). Perkembangan Intelegensi Populasi pada umumnya mengikuti kurve normal tetapi sebagian besar tetap normal selama tidak mengalami kerusakan otak 3). Perkembangan Pendidikan Pendidikan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing (misalnya ada yang dapat ditolong dengan menggunakan hearing aid) 4). Perkembangan Bahasa Nampak pada penguasaan perbendaharaan kata (umumnya lebih menguasai yang konkrit dan produksi kalimatnya pendek) 5). Perkembangan Bicara Umumnya cara bicara tidak jelas (baik artikulasi, intonasi maupun katakata sengau, contohnya m, n, ng) Untuk mengembangkan kemampuan komunikasi dapat dilakukan dengan cara: 1. Sign language, dengan gesture tangan; 2. Speech reading, belajar mengucapkan atau melafalkan kata-kata dan membaca gerakan bibir; 3. Taction dan Kinaesthetic Feedback, dengan melatih indera peraba (misalnya dengan mengenal getaran-getaran di leher yang dihasilkan saat melafalkan suatu kata); 4. Formal Speech Training Untuk penderita yang memiliki kemungkinan belajar bicara C. Penerimaan Ibu Yang Memiliki Anak Tunarungu Penerimaan adalah pengasuhan dengan penekanan pada interaksi yang berdasarkan pada hubungan yang hangat dan saling menguntungkan, sehingga akan meningkatkan perkembangan kesadaran dan pemikiran moral pada anak. Lebih jauh hal ini dihubungkan dengan terpenuhinya kebutuhan akan kedekatan (attachment) dan penghargaan diri (self-esteem). Salah satu pengaruh pengasuhan yang hangat dan responsif adalah tersampaikannya ide pada anak bahwa ia sangat berharga dan pantas mendapatkan perlakuan yang sebaik-baiknya. Menurut Dudung & Sugiarto (1999) tunarungu adalah istilah yang menggambarkan keadaan kemampuan dengar yang kurang atau tidak berfungsi secara normal sehingga tidak mungkin lagi diandalkan untuk belajar bahasa dan wicara tanpa dibantu dengan metode dan peralatan khusus.. Tunarungu berpengaruh terhadap seluruh perkembangan anak sebagai individu. Keadaan itu mempengaruhi perkembangan mental, kepribadian, emosi dan sosial si anak. Ini tidak terlalu mudah untuk kita pahami karena kita mempunyai pancaindra yang sempurna. Apabila dalam keluarga terutama pada ibu ada penerimaan, maka akan dapat membantu dalam pengasuhan dan akan mendukung perkembangan anak. Terlebih penerimaan ibu, semakin kuat perasaan keibuan pada seorang wanita, maka semakin besar kemampuan untuk mencurahkan kasih sayang dan cintanya kepada anaknya, (Ibrahim, dalam Basri 2002). Pada ibu yang memiliki anak tunarungu untuk mempercepat proses penerimaan terhadap anaknya yang memiliki gangguan tunarungu yaitu dengan melakukan perubahan dari menghayati hidup dengan tidak bermakna menjadi hidup lebih bermakna. Komponenkomponennya yaitu: pemahaman-diri (selfinsight), makna hidup (the meaning of life), pengubahan sikap (changing attitude), keikatandiri (self-commitment), kegiatan terarah (directed activities), dukungan sosial (social support). Bastaman (1996) BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan penelitian : metode kualitatif dalam bentuk studi kasus. B. Subjek Penelitian 1. Karakteristik Subjek Subjek penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak tunarungu. 2. Jumlah Subjek subjek dalam penelitian ini berjumlah satu orang. C. Tahap-tahap Penelitian 1. Tahap Persiapan Penelitian : Peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan beberapa teori-teori yang relevan dengan masalah. 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian : Dalam penelitian ini, peneliti bertemu langsung dengan subjek yang bersangkutan untuk menanyakan perihal subjek yang sekiranya bersedia diwawancarai. D. Teknik Pengumpulan Data : wawancara dan observasi. E. Alat Bantu Pengumpul Data : Pedoman Wawancara, pedoman observasi, alat perekam, dan alat tulis F. Keakuratan Penelitian a. Triangulasi Data Peneliti menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen hasil wawancara dan hasil observasi dari subjek dan significant other b. Triangulasi Pengamat Dosen pembimbing bertindak sebagai pengamat (expert judgement) yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data. c. Triangulasi Teori Yaitu penggunaan berbagai teori yang berlainan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memenuhi syarat. berbagai teori tentang gejal-gejala stress, sumbersumber stress, dan strategi coping yang telah dijelaskan pada bab II untuk digunakan dan menguji terkumpulnya data tersebut. d. Triangulasi Metode Yaitu metode wawancara, observasi. metode G. Teknik Analisis Data : Mengorganisasikan Data, Pengelompokkan Berdasarkan Kategori, Tema, dan Pola Jawaban, Menguji Asumsi atau Permasalahan yang Ada Terhadap Data, Mencari Alternatif Penjelasan Bagi Data, Menulis Hasil Penelitian. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Dan Pembahasan Dalam membahas hasil penelitian ditemukan hasil sebagai berikut : a). Karakteristik Penerimaan Menurut Jersild, (1974). beberapa ciri penerimaan diri untuk dapat membedakan antara orang yang dapat menerima keadaan dirinya atau orang yang telah mengembangkan sikap penerimaan dalam dirinya dengan seseorang yang menolak keadaan dirinya atau tidak dapat bersifat realistis, yaitu: f) Orang yang menerima dirinya memiliki harapan yang realistis terhadap keadaan dan menghargai dirinya. g) Yakin akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaksa pada pendapat orang lain h) Memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya dan tidak melihat pada dirinya sendiri secara irrasional. i) Menyadari asset diri yang dimilikinya dan merasa bebas untuk menarik atau menolak keinginannya. j) Seseorang yang menyadari kekurangannya tanpa menyalahkan orang lain Dari hasi penelitian karakteristik penerimaan dimana orang yang menerima dirinya memiliki harapan yang realistis terhadap keadaan dan menghargai dirinya yang terjadi adalah : subjek merasa optimis bahwa anaknya akan terus berprestasi meskipun mengalami tunarungu, subjek tidak pernah memaksakan setiap kegiatan yang dilakukan oleh anak, disesuaikan dengan kemampuan dan keinginan anak, selalu mendukung dan menyemangati anak, subjek menghargai dirinya sendiri dengan selalu menjaga kesehatan dan tingkat stress. Dari hasil penelitian karakteristik penerimaan dimana seseorang yakin akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaksa pada pendapat orang lain yang terjadi adalah: anak merupakan motivasi terbesar subjek setiap melakukan kegiatannya, subjek sangat giat mengumpulkan uang demi anakanaknya, subjek percaya diri dengan kemampuannya dalam hal memasarkan barang dagangannya. Dari hasil penelitian karakteristik penerimaan dimana seseorang akan memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya dan tidak melihat pada dirinya sendiri secara irrasional, yang terjadi adalah: subjek saling mengisi dan bekerjasama dengan suami dalam hal anak dan dalam hal pemenuhan kebutuhan atau masalah ekonomi. Dari hasil penelitian karakteristik penerimaan dimana seseorang menyadari asset diri yang dimilikinya dan merasa bebas untuk menarik atau menolak keinginannya, yang terjadi adalah: subjek memiliki penyesuaian sosial yang baik, subjek memiliki potensi dalam berbisnis, subjek memanfaatkan kelebihan yang dimiliki dengan banyak bersosialisasi dengan lingkungan, subjek menggunakan atau menerapkan kelebihan yang dimilikinya ketika subjek menghadapi lingkungan sosial baru dan ketika subjek memasarkan barang dagangannya. Dari hasil penelitian karakteristik penerimaan dimana seseorang yang menyadari kekurangannya tanpa menyalahkan orang lain, yang terjadi adalah: subjek menyadari akan kekurangan yang ada pada dirinya, subjek menerima kritikan dari orang lain, subjek tidak menyalahkan kekurangan yang ada pada dirinya kepada orang lain. 2. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Penerimaan Menurut Safaria (2005) pada dasarnya faktor-faktor yang mempengaruhi cepat atau tidaknya proses penerimaan tidak lepas dari penafsiran kita terhadap peristiwa yang kita alami. Seringkali kita cenderung melihat suatu peristiwa dari sisi yang negatif dan jarang sekali kita melihatnya dari sisi positif. Jika dilihat dari teori yang dikemukakan oleh Bastaman (1996) mengenai beberapa komponen yang menentukan berhasilnya seseorang dalam melakukan perubahan dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi hidup bermakna maka pada ibu yang memiliki anak tunarungu untuk mempercepat proses penerimaan terhadap anaknya yang memiliki gangguan tunarungu yaitu dengan melakukan perubahan dari menghayati hidup dengan tidak bermakna menjadi hidup lebih bermakna. Komponenkomponennya yaitu: a). Pemahaman-diri (self-insight) Yakni meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan kearah kondisi yang lebih baik. b). Makna hidup (the meaning of life) Yaitu nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yangberfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan pengarah kegiatan-kegiatannya. Perluas makna hidup yang kita cari, buka pemikiran kita, buka mata hati kita, lihatlah hal-hal yang kita anggap sepele, namun sebenarnya mengandung makna yang luar biasa. c). Pengubahan sikap (changing attitude) Yakni dari yang semula bersikap negatif dan tidak tepat menjadi mampu bersikap positif dan lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup dan musibah yang tak terelakkan. d). Keikatan-diri (self-commitment) Yakni komitmen individu terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang ditetapkan. Kuatkan komitmen kita untuk bertindak positif, konsisten dalam berusaha, tidak mengenal kata menyerah dan putus asa, apalagi hanya berpangku tangan. Komitmen yang kuat akan membawa diri kita pada pencapaian makna hidup yang lebih mendalam. Teguhkan hati untuk berjuang membimbing anak kita, apa pun yang nantinya akan kita hadapi. Percayalah Tuhan YME pasti akan memberikan jalan yang lapang untuk kita, dan ingatlah sesungguhnya akhir itu lebih baik dari permulaan. e). Kegiatan terarah (directed activities) Yakni upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, keterampilan) yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan hidup. Hiasi hidup kita dengan aktivitasaktivitas positif seperti mengikuti ceramah keagamaan, ikut dalam badan amal, mengembangkan keterampilan dan usaha, serta aktivitas-aktivitas positif lainnya yang bisa kita lakukan. Jangan hanya berputar pada aktivitas yang negatif seperti bergosip, melamun, berkeluh kesah, berpangku tangan, hanya mengumbar kesedihan, jika ini dapat kita hindari maka niscaya kita akan mencapai kebermaknaan hidup lebih baik di masa depan. f). Dukungan sosial (social support) Yakni hadirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya dan selalu bersedia memberi bantuan pada saat-saat diperlukan. Kembangkan relasi sosial kita dengan orang-orang disekitar, cari dan temukan lingkungan sosial yang kondusif, silaturahmi keberbagai pihak, jangan mengisolasi diri hanya karena kita memiliki anak yang mengalami gangguan tunarungu. Jika I tu yang kita lakukan, berarti kita menyatakan kalah pada tunarungu. Jangan berputus asa, berjuanglah terus dan melalui dukungan sosial orangorang terdekat di sekitar kita, kemenangan pasti akan kita raih. Berdasarkan faktor pemahaman-diri (self-insight) ditemukan hasil sebagai berikut: subjek memiliki kesadaran atas kondisi diri subjek sendiri ketika mengalami kondisi yang buruk (baik secara fisik maupun secara mental), subjek memiliki keinginan yang kuat untuk melakukan perubahan kearah kondisi yang lebih baik, terutama bagi anaknya, subjek memiliki tujuan hidup yang harus dipenuhi yaitu anak-anaknya, semua kegiatan yang subjek lakukan adalah untuk masa depan anak-anaknya. Berdasarkan faktor makna hidup (the meaning of life) ditemukan hasil sebagai berikut: subjek memaknai hidupnya selama ini adalah selalu bersikap sabar dalam hal apapun. Berdasarkan faktor pengubahan sikap (changing attitude) ditemukan hasil sebagai berikut: subjek mampu bersikap positif dalam menghadapi masalah. Berdasarkan faktor keikatan-diri (selfcommitment) ditemukan hasil sebagai berikut: subjek berusaha untuk bisa konsisten dalam berusaha. Berdasarkan faktor kegiatan terarah (directed activities) ditemukan hasil sebagai berikut: subjek rutin mengikuti aktivitasaktivitas yang positif. Berdasarkan faktor dukungan sosial (social support) ditemukan hasil sebagai berikut: memiliki teman yang akrab dan selalu hadir memberi bantuan pada saat-saat yang diperlukan, subjek selalu menjaga silaturahmi dengan berbagai pihak. 3. Proses-proses Penerimaan Menurut Kubler-Ross, (dalam Gargiulo, 1985) seseorang akan mengalami beberapa proses dalam menerima suatu keadaan yang tidak sesuai dengan harapannya, sampai-sampai pada tahap dimana seseorang tersebut benar-benar menerima keadaan yang terjadi, yaitu: a). Primary phase (1). Shock (kaget) Ibu merasa terguncang, tidak percaya atas apa yang telah terjadi. Biasanya ditandai dengan menangis terus-menerus dan perasaan tidak berdaya. Ibu sama sekali tidak siap untuk menghadapi kelainan pada anak. (2). Denial (menyangkal) Ibu menolak untuk mengenali kecacatan anak dengan merasionalisasikan kekurangan yang ada, atau dengan mencari penegasan dari ahli bahwa tidak ada kecacatan pada anak. (3). Grief and depression (perasaan duka dan depresi) Merupakan reaksi yang alami dan tidak perlu dihindari, Karena dengan adanya perasaan ini ibu mengalami transisi dimana harapan masa lalu mengenai “anak sempurna” disesuaikan dengan kenyataan yang terjadi saat ini. Dalam fase ini rasa duka disebabkan oleh perasaan kecewa karena memiliki anak yang menderita tunarungu. Sedangkan depresi merupakan perasaan marah pada diri sendiri karena telah gagal melahirkan anak yang normal. Salah satu perilaku yang mungkin muncul pada fase ini adalah penarikan diri dari lingkungan. b). Secondary phase (1). Ambivalence (dua perasaan yang bertentangan) Kecacatan anak dapat meningkatkan intensitas perasaan kasih sekaligus perasaan benci pada ibu. Perasaan negatif umumnya diiringi dengan perasaan bersalah, sehingga beberapa ibu mendedikasikan sebagaian besar waktunya untuk anak, sedangkan sebagian lagi menolak untuk memberikan kasih sayang pada anak dan menganggap anak tidak berguna. (2). Guilt (perasaan bersalah) Pada fase ini ibu mungkin saja merasa bersalah dengan kecacatan anaknya, karena menganggap bahwa dialah yang menyebabkan kecacatan tersebut atau dihukum karena dosanya dimasa lalu. Pada fase ini biasanya ibu memiliki pemikiran “kalau saja”. Pada saat bersalah ibu juga menjadi obsesif dan emosional serta secara berkala bertanya mengapa hal ini dapat terjadi. (3). Anger (perasaan marah) Perasaan ini dapat ditunjukkan dengan dua cara. Pertama timbulnya pertanyaan “mengapa saya”, lalu yang kedua yaitu “displacement”, dimana rasa bersalah ditunjukkan pada orang lain seperti dokter, terapis, pasangan, atau anak kandungnya yang lain. (4). Shame and embrassment (perasaan malu dan memalukan) Perasaan ini timbul saat ibu menghadapi lingkungan sosial yang menolak, mengasihani, atau mengejek kecacatan anak. Sikap lingkungan yang terus-menerus seperti ini dapat menurunkan harga diri karena beberapa ibu menganggap anak merupakan penerus dirinya. Kehadiran anak yang cacat dapat mengancam harga dirinya. c). Tertiary phase (1). Bargaining (tawar-menawar) Suatu strategi dimana ibu mulai membuat “perjanjian” dengan Tuhan, ilmu pengetahuan, atau pihak manapun yang mampu membuat anaknya kembali normal. Misalnya: ibu yang membuat pernyataan seperti “jika engkau dapat menyembuhkan anakku, maka aku akan mengabdikan diriku padamu. (2). Adaptation & reorganization (adaptasi dan reorganisasi) Adaptasi merupakan proses bertahap yang membutuhkan waktu dan berkurangnya rasa cemas serta reaksi emosional lainnya. Reorganisasi merupakan suatu kondisi dimana ibu merasa nyaman dengan situasi yang ada dan menunjukkan rasa percaya diri dalam kemampuan mereka untuk merawat dan mengasuh anak, sehingga untuk bertanggung jawab atas masalah anak. (3). Acceptance & adjustment (menerima dan memahami) Merupakan proses yang aktif dimana ibu secara sadar berusaha untuk mengenali, memahami, dan memecahkan masalah, namun tetap saja perasaan negatif yang sebelumnya terbentuk tidak pernah hilang. Pada fase ini ibu menyadari kondisi anak dan menerimanya. Berdasarkan hasil penelitian, subjek hanya mengalami beberapa proses dalam penerimaan, yaitu shock (kaget), grief and depression (perasaan duka dan depresi), guilt (perasaan bersalah), anger (perasaan marah), shame and embrassment (perasaan malu), adaptation and reorganization (adaptasi), acceptance and adjustment (menerima). Pada proses shock (kaget) ditemukan hasil sebagai berikut: subjek sempat merasa terguncang pada saat pertama kali mengetahui diagnosis pada anaknya, subjek merasakan tubuhnya menjadi lemas, subjek merasa tidak berdaya, dan subjek hanya bisa menangis Pada proses grief and depression (perasaan duka dan depresi) ditemukan hasil sebagai berikut: subjek sempat merasa kecewa memiliki anak yang menderita tunarungu, karena menurut subjek, ia mengharapkan seorang anak yang terlahir normal seperti anak normal pada umumnya, subjek sempat merasa pesimis terhadap masa depan anaknya, subjek merasa khawatir ketunarunguan pada anaknya dapat mempengaruhi masa depannya nanti. Pada proses guilt (perasaan bersalah) ditemukan hasil sebagai berikut: Subjek sempat merasa bahwa kecacatan yang dialami oleh anaknya merupakan hukuman baginya atau suaminya akibat dosa dimasa lalu, Subjek sempat menjadi sangat obsesif terhadap perkembangan anaknya pada saat itu, Subjek selalu mencari banyak informasi mengenai ketunarunguan anaknya, Subjek sering membawa anaknya ke tempat-tempat pengobatan alternatif, berharap anaknya masih dapat disembuhkan, Subjek banyak bertukar informasi dengan para orang tua murid di SLB, yang anaknya mengalami tunarungu juga. Pada proses anger (perasaan marah) ditemukan hasil sebagai berikut: subjek sempat berpikir bahwa ketunarunguan ini merupakan kesalahan dari suaminya. Pada proses shame and embrassement (perasaan malu) ditemukan hasil sebagai berikut: subjek sempat merasa malu sewaktu pertama kali membawa anaknya jalanjalan keluar rumah, subjek merasa sedih dan kesal ketika orang lain memandang aneh anak subjek Pada proses adaptation and reorganization (adaptasi dan reorganisasi) ditemukan hasil sebagai berikut: subjek sempat mengalami kecemasan yang berlebihan, subjek merasa khawatir sesuatu yang tidak diharapkan akan terjadi pada anaknya, subjek selalu mengontrol aktifitas bermainnya anak, atau hanya sekedar mengamati dari jauh ketika anak bermain dengan temannya, subjek sudah merasa nyaman dengan situasi yang ada pada saat ini, terlebih ketika subjek mulai menyekolahkan anaknya di SLB, subjek mampu menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan anaknya, saat ini subjek sudah merasa percaya diri untuk merawat dan mengasuh anaknya. bahkan terkadang subjek juga suka memberikan masukan pada ibu-ibu yang lainnya dalam hal merawat dan mengasuh anak tunarungu, subjek membutuhkan waktu yang lama untuk bisa menyesuaikan dengan situasi yang ada saat ini dan semuanya merupakan proses yang panjang. Pada proses aceptance & adjustment (menerima dan memahami) ditemukan hasil sebagai berikut: subjek sudah sangat memahami mengenai ketunarunguan pada anaknya, saat ini tidak pernah muncul perasaan-perasaan negatif pada diri subjek, subjek telah menerima kondisi anaknya saat ini, subjek memberikan perhatian yang berbeda dengan anaknya yang lain. BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, secara garis besar dapat dilihat gambaran penerimaan pada ibu yang memiliki anak tunarungu dalam hal ini terlihat bahwa ibu memiliki harapan yang realistis, ibu merasa yakin akan standar-standar dirinya, memiliki perhitungan akan keterbatasan pada dirinya, menyadari asset diri yang dimiliki, dan menyadari kekurangannya. Ini semua tidak lepas dari faktor-faktor yang menyebabkan penerimaan, yang mana semua faktor-faktor ini sangat membantu mempercepat proses penerimaan subjek terhadap anaknya yang mengalami tunarungu. Faktor-faktor tersebut adalah faktor penghayatan hidup, yang terdiri dari pemahaman diri, makna hidup, pengubahan sikap, keikatan diri, kegiatan terarah, dan dukungan sosial. Sedangkan gambaran proses penerimaan pada ibu yang memiliki anak tunarungu, dalam hal ini terlihat bahwa subjek mengalami beberapa proses penerimaan berupa shock (kaget), grief & depression (perasaan duka dan depresi), guilt (perasaan bersalah), anger (perasaan marah), shame & embrassment (perasaan malu), adaptation & reorganization (adaptasi dan reorganisasi), acceptance & adjustment (menerima dan memahami). penelitian psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar B. Saran 1. 2. 3. 4. Bagi ibu yang memiliki anak tunarungu Agar menjaga tingkat stress, karena bagaimanapun sebagai ibu dari anak yang mengalami tunarungu akan banyak terbebani oleh persoalan ini, hal ini berarti ibu akan mengalami banyak ketegangan dan stress. Untuk itulah pada waktu tertentu ibu perlu menghibur diri bersama pasangan, sejenak lepas dari anak dan menikmati kegiatan tanpa adanya interupsi. Hal ini akan sangat bermanfaat agar ibu mampu mengembalikan semangat juang dan mengembalikan kondisi psikologis agar menjadi segar kembali. Kepada SLB Mekar Sari Penelitian ini diharapkan dapat memberikan banyak informasi kepada para orang tua yang memiliki anak tunarungu mengenai hal yang menyangkut tunarungu, agar para orang tua dapat lebih mengerti dan memahami mengenai tunarungu. Kepada seluruh masyarakat, hendaknya memberikan sikap perhatian, dukungan, penerimaan, dan sikap empatik kepada ibu yang mempunyai anak tunarungu dan anak yang mengalami tunarungu, agar tetap merasa nyaman dan percaya diri untuk tetap dapat bersosialisasi dengan lingkungannya. Untuk Peneliti Selanjutnya Penulis menyadari bahwa penelitian ini jauh dari hasil yang memuaskan untuk itu bagi peneliti yang akan mengadakan penelitian dengan topik yang sama hendaknya memperbanyak subjek penelitian agar lebih bervariasi dan penelitian dilakukan dengan waktu yang lebih lama sehingga dapat melakukan observasi dan wawancara secara lebih cermat. DAFTAR PUSTAKA Alsa, Asmadi. (2003). Pendekatan kuantitatif & kualitatif serta kombinasinya dalam Basri, A. S. (2002). Problematika perkawinan. Majalah AyahBunda. No. 15. Jakarta: Yayasan Aspirasi Pemuda Bastaman, Dj Hanna. (1996). Meraih hidup bermakna. Jakarta: Paramadina. Cronbach, Lee J. (1963). Educational psychology. New York: Harcourt Brace & World Inc. Dudung & Sugiharto. (1999). Pedoman guru pengajaran wicara untuk anak tunarungu. Jakarta. Gargiulo. (1985). Working with parents of exceptional children. A guide for professional Hendro, P. & Ira, P. (1997). Psikologi pendidikan: Seri diktat kuliah. Jakarta: Gunadarma. Heru Basuki, A. M. (2006). Penelitian kualitatif: untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta : Universitas Gunadarma. J. Donald. Walters. (2006). Rahasia penerimaan diri. Kanisius: Yogyakarta. Jersild, A. T. (1974). Psychology of adolescence. New York: McGraw-Hill Book. Maria, S. Y. (1999). Pedoman guru pengajaran bina persepsi bunyi dan irama untuk anak tunarungu. Jakarta. Miles, M.B. & Huberman, A.M. (1992). Analisis data kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Moleong, L. J. (2005). Metode pendekatan kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mussen, P.H. (1993). Psikologi perkembangan dan kepribadian anak. Jakarta : Arcan. Sugiyono. (1999). Metode penelitian administrasi. Bandung: Alfabeta. Wiwit, Nawawi, H. (2003). Metode penelitian bidang sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Poerwandari, K. (1998). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia (rev.ed). Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI. Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia. Rogers, C.R. 1971. On becoming a person a therapist’s view of psychotherapy. London: Constable & Company. Ltd. Rubin, T (1974). Dr. rubin, please make me happy. The common sense of mental health. New York: Abror house. Ryff, C.D. (1996). Psychological well being. Encyclopedia of gerontology vol.2. Madison: Academic Press. Inc. Safaria, T. (2005). Autisme: Pemahaman baru untuk hidup bermakna bagi orang tua. Yogyakarta: Graha Ilmu. Schultz, D. (1991). Growth psychology: Models of the healthy personality (terjemahan). Yogyakarta: Kanisius. Selikowitz, Mark. (1990). Mengenal sindrom down. Jakarta: Penerbit Arcan. W., Jash., Metta. (2003). Mengkomunikasikan moral kepada anak. Jakarta: Elex Media Komputindo. Yin, R. K. (1994). Studi kasus : desain dan metode. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.