bab ii kesadaran hukum masyarakat dalam pendaftaran tanah milik

advertisement
31
BAB II
KESADARAN HUKUM MASYARAKAT DALAM PENDAFTARAN TANAH
MILIK ADAT MENJADI HAK MILIK PADA KANTOR PERTANAHAN
KABUPATEN ACEH TAMIANG
A. Keberadaan Tanah Adat di Aceh Tamiang
Tanah adat dalam praktek lapangan adalah tanah yang dikuasai secara turuntemurun oleh suatu masyarakat tertentu yang dari zaman nenek moyangnya yang
dikuasai minimal 20 tahun sebelum berlakunya UUPA yang dalam fisiknya didapati
ada tanaman-tanaman keras yang ditanam dahulu seperti kayu-kayu besar yang
diantaranya;
1. Kayu Kempas;
2. Kayu Kruweng;
3. Kayu Damar;
4. Kayu Meranti dan lain sebagainya, yang usianya lebih dari 30 tahun.31
Hak ulayat sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat dan
dikalangan masyarakat hukum adat dikenal dengan nama yang berbeda-beda. Untuk
didaerah Aceh khususnya Aceh Tamiang tidak ada kita temukan penamaan khusus
atas tanah adat akan tetapi masyarakat setempat menyebutnya dengan nama tanah
adat. Hak ulayat mengandung dua unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum perdata,
yaitu sebagai hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang
31
Wawancara dengan Bapak Sugiono pada tanggal 22 Juli 2013 (Kepala Seksi Sengketa
pada Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Tamiang)/ diolah.
31
Universitas Sumatera Utara
32
bersangkutan dari tanah ulayat, yang dipercayai mula-mula berasal dari peninggalan
nenek moyang mereka dan merupakan karunia suatu kekuatan gaib, sebagai
pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup seluruh warga
masyarakat hukum adat. Unsur kedua adalah unsur hukum politik, yaitu sebagai
kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan dan penguasaan
tanah ulayat tersebut, baik dalam hubungan interen dengan para warganya sendiri
maupun eksteren dengan orang-orang bukan warga atau orang luar. Dalam hukum
agraria adat ada ciri-ciri umum yang mudah kita kenali yaitu;
1. Asli, gotong-royong, kekeluargaan.
2. Kedaerahan, pluralistis, kurang menjamin kepastian hukum karena tidak
pernah dibuat dalam bukti tertulis.
3. Sebagai hukum yang hidup, dipengaruhi masyarakat sekitarnya. Oleh sebab
itu perlu “disaneer” (dibersihkan) dari cacadnya.
Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat itu sendiri baik yang
merupakan persekutuan hukum yang didasarkan kesamaan tempat tinggal maupun
yang didasarkan pada keturunan. Hak ulayat memberikan kewenangan tertentu
kepada masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya yang sumber pelaksaan dan
ketentuan tata cara pelaksanaannya adalah dengan hukum adat yang bersangkutan
dasar hukumnya Pasal 4 ayat satu huruf (a) dan pelepasan tanah untuk keperluan
‘‘orang luar” Pasal 4 ayat (1) huruf (b). Penguasaan tanah muncul dalam praktek
dilapangan ada dua yaitu; pertama “Legal” dan yang kedua “Ilegal”
Universitas Sumatera Utara
33
Hak penguasaan tanah tanah yang dimaksud terdiri atas:32
1. Hak Penguasaan Legal terdiri atas;
1) Legal Umum :
a) Lembaga hukum yang dapat dilihat dalam Pasal 20 sampai Pasal 45
UUPA
b) Hubungan hukum konkrit dapat dilihat dalam Pasal yang berkaitan
dengan Konversi UUPA
2) Legal Khusus :
Hak Menguasai Negara (dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA)
3) Legal Fisik dan Yuridis.
2. Hak Penguasaan Ilegal
Hak penguasaan illegal yaitu kepemilikan tanah yang tanpa adanya alas hak
apapun seperti tidak adanya surat keterangan dari datok penghulu atau kepala desa
atau tidak adanya pengakuan dari ketua adat ataupun surat keterangan camat.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama dasar UUPA kita sebenarnya terdapat
dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 juga sebagai pelaksanaan dari pada Pancasila dalam
kehidupan hukum di Indonesia. Dalam “penjelasan UUPA” kita baca sebagai berikut;
“Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagian dan keadilan bagi negara
dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
32
Wawancara Dengan Yendarino (55 Tahun) Datok Penghulu Kampung Purwodadi tanggal 02
November 2013 (diolah).
Universitas Sumatera Utara
34
Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak diatas tanah bagi rakyat seluruhnya.33
Dengan melihat dasar-dasar hukum agraria nasional kita maka dasar
kenasionalan (Pasal 1 ayat 1,2,3) Kesatuan; Kekayaan Nasional; Hubungan Bersifat
Abadi; Hubungan itu semacam Hak Ulayat. Tidak dikenal Azas Domein BARA:
dikuasai negara sabagai organisasi kekuasaan. Kekuasaan negara terhadap hak
perseorangan dibatasi oleh isi haknya. Kekuasaan negara dibatasi oleh hak ulayat
(Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4)). Dalam pelaksanaan hak ulayat (Pasal 3), sepanjang
menurut kenyataan masih ada; sesuai dengan kepentingan nasional dan negara; tidak
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi. Tanda-tanda
yang perlu dilihat untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur
yaitu;34
a. Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih
merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuanketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
33
A.P. Parlindungan, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akta Tanah,
Alumni, Bandung 1982, Hal. 1.
34
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Cetakan Ke-17 Edisi Revisi Djambatan, Jakarta
2006, Hal. 59.
Universitas Sumatera Utara
35
b. Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi
lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya
mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan
c. Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu
terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan
penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum tersebut.
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 6). Tanah, terutama
untuk kepentingan warga negara Indonesia
warga negara Indonesia
(Azas Kebangsaan Pasal 1), Hanya
yang dapat mempunyai hubungan penuh dengan tanah
(Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (1)). Warga negara asing dapat mempunyai tanah
tertentu, dan tidak kuat. Badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik, kecuali
ditentukan khusus. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kesempatan yang
sama (Pasal 9 ayat 2) perlindungan terhadap golongan ekonomi lemah.
B. Hukum Pendaftaran Tanah Milik Adat
Tanah adat dan masyarakat hukum adat mempunyai hubungan yang sangat
erat satu dengan yang lainnya. Dalam masyarakat adat lebih mengedepankan rasa
kekeluargaan. Asas kekeluargaan mengandung keadilan, kearifan, kebersamaan,
kesamaan, gotong-royong, tenggang rasa, dan tanggung jawab dalam kehidupan
Universitas Sumatera Utara
36
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.35 Hubungan hukum
antara masyarakat
hukum adat dengan tanahnya menciptakan hak yang memberikan masyarakat sebagai
suatu kelompok hukum, hak untuk menggunakan tanah bagi keuntungan masyarakat
yang merupakan hak asli dan utama dalam hukum tanah adat dilingkungan
masyarakat hukum adat, yang juga dianggap sebagai sumber hukum adat dan dapat
dipunyai oleh seluruh anggota masyarakat hukum adat tersebut.36
Adat bermaksud suatu peraturan yang diamalkan secara turun-temurun (sejak
dahulu kala) didalam masyarakat sehingga merupakan hukum dan peraturan yang
harus dipatuhi. Adat juga didefinasikan sebagai suatu cara yang sudah menjadi
kebiasaan.37 Kebiasaan-kebiasaan yang hidup didalam masyarakat itu telah diyakini
sebagai hukum. Peraturan hukum itu memberikan akibat pada situasi tertentu, seperti
keadaan, kejadian atau perbuatan untuk posisi hukum, untuk keseluruhan hak dan
kewajiban para subjek (manusia/ badan hukum). Unifikasi hukum tanah dalam UUPA
berupaya melembagakan hak-hak atas tanah yang baru. Pembentukan Hukum Tanah
Nasional (HTN) kemudian diikuti dengan dikeluarkannya berbagai peraturan
perundang-undangan baru. Hasilnya, hak-hak atas tanah yang baru dapat dibuat
dalam hiraki yang berjenjang. Urutan vertikal mengenai hak-hak penguasaan atas
tanah dalam hukum tanah nasional (UUPA) menurut Boedi Harsono yang dikutip
oleh Noor (2006) dalam susunan berjenjang yaitu sebagai berikut :
35
S. Sumarsono, Mansyur, dkk, Pendidikan kewarganegaraan, Cetakan ke-2, PT. SUN,
Jakarta 2002, Hal. 108.
36
Sukanti Arie Hutagalung, Program Redistribusi Tanah di Indonesia, Rajawali,
Jakarta,1983, Hal 21
37
S. Gazalba, Penghantar Kebudayaan, Sebagai Ilmu Pustaka,Jakarta 1990, Hal 296.
Universitas Sumatera Utara
37
1. Hak bangsa, sebagai yang disebut dalam Pasal 1 UUPA, merupakan hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah dalam
wilayah negara, yang merupakan tanah bersama. Hak bangsa ini dalam
penjelasan Umum Angka II UUPA dinyatakan sebagai hak ulayat yang
dingkat pada tingkat yang paling atas, pada tingkat nasional, meliputi semua
tanah di seluruh wilayah negara.
2. Hak menguasai dari negara sebagaimana yang disebut dalam Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945, merupakan hak penguasaan atas tanah sebagai penugasan
pelaksanaan hak bangsa yang termasuk bidang hukum publik, meliputi semua
tanah bersama bangsa Indonesia.
Sistem hukum tanah pada saat kolonial berkuasa mengandung dualisme
hukum. Pertama bagi penduduk pribumi berlaku hukum adat, sedangkan yang kedua
bagi golongan lainnya berlaku hukum Barat, karena pada masa penjajahan, sistem
hukum pertanahan yang dijalankan pemerintah menganut dan berorientasi pada
sistem hukum Belanda dan Eropa. Apabila dibicarakan tentang kedudukan dan
peranan hukum
adat, analisisnya sedikit banyaknya mempunyai kecenderungan
untuk bersifat sosiologis. Hal ini terutama disebabkan karena;38
1. Sebagai hukum kebiasaan, hukum adat adalah merupakan suatu abstraksi dari
perilaku nyata yang terakhir dan unik.
38
Soerjono Soekanto, Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia, Cetakan ke-2
Kurnia Esa, Jakarta Desember 1981, Hal. 85.
Universitas Sumatera Utara
38
2. Untuk mengadakan identifikasi terhadap hukum adat, ada kecendrungan untuk
mempergunakan metode sosiologis (dan antropologis)
3. Konsepsi-konsepsi
“kedudukan”
dan
“peranan”
merupakan
konsepsi
sosiologis (sebagai bagian dari struktur sosial).
Dalam konsepsi hukum tanah adat yang merupakan kristalisasi nilai-nilai
luhur kehidupan masyarakat Indonesia, yang mengedepankan keseimbangan antara
“Kepentingan Bersama” dengan “Kepentingan Perseorangan”. Pemilikan dan
pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan. Menurut Sumantri, konsepsi
hukum tanah adat berbeda dengan konsepsi hukum tanah Barat, dalam hukum tanah
Barat dasarnya adalah “Individualisme” dan “liberalisme”.
Sebelum lahirnya hukum agraria kolonial, di Indonesia telah berlaku hukum
pendaftaran tanah yang tumbuh bagi masyarakat adat sebelum 24 september 1960.
Kebutuhan akan hukum agraria yang menjamin kepastian dan perlindungan hukum
hak-hak masyarakat dirasakan sangat mendesak, dan sejak 24 September 1960
ditetapkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria atau sering disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Undangundang ini lahir setelah melalui proses yang cukup lama, menganut unifikasi hukum
dan berdasarkan hukum adat. Bila diselusuri dari fungsi dan keberadaan hukum, dan
dikaitkan dengan jural postulates yang dikemukakan oleh kohler, terlihat bahwa
didalam UUPA, nilai-nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
mulai dikesampingkan dan digantikan oleh “hukum” yang baru didalam mengatur
kehidupan masyarakat, sehingga menyebabkan seringnya timbul pertentangan
Universitas Sumatera Utara
39
kepentingan sebagaimana sering kita lihat dan kita saksikan.39 Perundang-undangan
juga berfungsi mengayomi dan melindungi hak warga Negara.40 Lalu bagaimana
dengan hak ulayat menurut hukum adat, karena hak ulayat dan hak-hak yang serupa
dari masyarakat-masyarakat adat. Mengenai hak ulayat masyarakat adat juga diatur
dalam Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria, yaitu: “dengan mengingat ketentuanketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksananan hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Bahwa isi
Pasal tersebut merupakan pengakuan keberadaan hak pemilikan atas tanah (hak
ulayat) dan masyarakat hukum adat. Hukum pertanahan di Indonesia mengakui
adanya hak adat atau yang sering kita kenal dengan hak ulayat dengan tanda kutip
bahwa sepanjang pada kenyataannya “Masih Ada”, sebagaimana yang di amanatkan
oleh Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 Pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria.
Untuk didaerah Aceh, khususnya Aceh Tamiang tidak ada kita temukan penamaan
khusus atas tanah adat akan tetapi masyarakat setempat menyebutnya dengan nama
“Tanah Adat”. Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat itu sendiri baik yang
merupakan persekutuan hukum yang didasarkan kesamaan tempat tinggal maupun
yang didasarkan pada keturunan. Jika diliat lagi dari Peraturan Menteri Negara
39
40
Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Palu 2005, Hal. 50.
Tim Abdi Guru, Pendidikan Kewarganegaraan, Erlangga, Jakarta 2006, Hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
40
Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang pedoman
penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat dalam ketentuan umum
pasal 1 yakni;
1. Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, (untuk
selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum
adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara
lahiriah dan bathiniah turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat
hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
2. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari
masyarakat hukum adat tertentu.
3. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
4. Daerah adalah daerah otonom yang berwenang melaksanakan urusan
pertanahan sebagaimana dimaksud dengan Undang-undang Nomor 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah.41
Dalam hal mana penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana yang
terdapat pada suatu wilayah dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan
perwakilan rakyat daerah menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan, dengan
prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud dengan Undang-undang Dasar
Republik Indonesia tahun 1945, dengan mengikut sertakan para pakar hukum adat
41
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah,
Djambatan, Jakarta 2006, Hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
41
yang ada didaerah yang bersangkutan, lembaga swadaya masyarakat dan instansiinstansi yang mengelola sumber daya alam.
Berbagai kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah sampai saat ini masih
dalam taraf “pengakuan” terhadap hak atas kepemilikan tanah ulayat masyarakat
hukum adat, tetapi belum memberikan “perlindungan” yang selayaknya terhadap hak
kepemilikan atas tanah ulayat dalam masyarakat adat. Namun demikian diakui bahwa
beberapa kebijakan pemerintah mulai ada upaya memberi pengakuan dan
perlindungan (terbatas) terhadap hak pemilikan tanah ulayat pada masyarakat adat,
antara lain : TAP MPR No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal
41),TAP MPR No. XI tahun 2001, tentang Pembaruan Agraria dan UUD 1945 yang
diamandemen. Kebijakan ini sampai sekarang belum dibuatkan UU atau kebijakan
lain sebagai pelaksanaan ketetapan MPR. Selanjutnya muncul Peraturan Menteri
Negara Agraria Nomor 3 tahun 1995 yang mengakui dan memberikan perlindungan
atas tanah rakyat dan adat (ulayat).
Selain itu, sebenarnya telah ada beberapa kebijakan yang menyebutkan dan
mengakui keberadaan masyarakat adat, antara lain dalam UU Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan (yang diperbarui), UU Nomor 11 tahun 1999 tentang
Pertambangan, UU Nomor 10 tahun 1992 tentang Kependudukan, Kepres Nomor 111
tahun 1999 tentang Komunitas Adat Terpencil (KAT), SK Menteri Kehutanan Nomor
47 tahun 1998 tentang Kawasan dengan tujuan Istimewa dan Peraturan Menteri
Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Isu tentang
Universitas Sumatera Utara
42
penyerobotan terhadap tanah ulayat negeri lahan bukan baru kali ini saja, tetapi sudah
terjadi dari generasi ke generasi. penyerobotan tanah ulayat tersebut tidak mempunyai
alas hak yang kuat (dasar hukum), pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat oleh
Undang-undang Pokok Agraria merupakan pengakuan secara de facto dan de jure
terhadap adanya hak ulayat dari masyarakat adat diseluruh Republik Indonesia.
pengakuan tersebut merupakan hal yang wajar karena masyarakat hukum adat telah
ada sebelum terbentuknya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945
hal tersebut merupakan bukti nyata secara de facto adanya negeri adat.
Dalam hukum adat tindakan yang menyebabkan pemindahan hak bersifat
contain, sedangkan pendaftaran menurut Undang-undang Pokok Agraria dan
peraturan pelaksanaannya bersifat administrasif. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah sebagai berikut:
“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus-menerus teratur dan berkesinambungan, meliputi pengumpulan,
pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis,
dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu
yang membebaninya”.42
Tanah milik adat adalah hak atas tanah dari masyarakat hukum adat yang
belum pernah didaftarkan, yang dibeberapa wilayah di Indonesia dikenal dengan
42
Pasal 1 Angka (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Universitas Sumatera Utara
43
berbagai nama seperti : Hak Ulayat adalah merupakan suatu rangkaian dari hak-hak
dan kewajiban masyarakat hukum adat yang berhubungan langsung dengan tanahtanah yang termasuk lingkungan wilayah tempat kediamannya. Hak persekutuan
hukum atas tanah sekitar lingkungannya yang dikenal dengan hak ulayat itu
merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum adat,
dimana masyarakat tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah atau sebidang
tanah yang ada disekitar lingkungannya.
Keuntungan dari terlaksananya pendaftaran tanah yang baik antara lain
adalah43 :
1. Diberikannya rasa aman kepada pemegang hak atas tanah karena adanya
kepastian hukum mengenai hak atas tanahnya, yang pada gilirannya akan
memberikan rasa kemantapan dalam usahanya yang produktif dengan
menggunakan tanah tersebut;
2. Berkurangnya sengketa sehingga terdapat penghematan dalam biaya dan
waktu bagi perorangan maupun bagi Negara. Di sebagian besar Negaranegara berkembang banyak perkara di pengadilan yang berkaitan dengan
persengketaan tanah;
3. Mudah, murah dan pastinya transaksi mengenai tanah-tanah, Peralihan hak
perorangan atas tanah yang tidak terdaftar seringkali mengakibatkan biaya
yang mahal dan ketidak pastian.
43
Sambutan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional pada Seminar
Nasional menyambut PP Nomor 24 Tahun 1997 tanggal 14 Agustus 1997 di Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
44
4. Meningkatkan investasi dengan menjadikan tanah sebagai jaminan guna
memperoleh kredit jangka panjang. Pada umumnya lembaga perbankan
menuntut adanya rencana dan adanya hak yang sah sebelum memberikan
kredit.
5. Hasil pendaftaran tanah dapat digunakan sebagai instrumen untuk
penetapan dan pengenaan pajak tanah.
6. Data pendaftaran tanah dapat dijadikan data pokok dan alat untuk :
a. Pelaksanaan berbagai kebijaksanaan landreform.
b. Pengendalian transaksi-transaksi tanah.
c. Segala macam perencanaan umum, terutama perencanaan kota.
Pelaksanaan konversi sebagaimana yang kita ketahui dilaksanakan oleh kantor
pendaftaran, dimana tanah-tanah tersebut berada dan mengenai hak-hak mana yang
belum didaftar pada kantor pertanahan, pelaksanaan konversi tersebut akan dapat
diselenggarakan setelah pemegang haknya datang mendaftarkanya. Berbagai-bagai
cara dan upaya untuk dapat memperoleh hak atas tanah yang akan didaftarkannya
antara lain;
a. Jual-beli
b. Hadiah
c. Tukar-menukar
d. Hibah
e. Testamen
f. Warisan, adalah sebagai :
Universitas Sumatera Utara
45
1. Ahli waris menurut ketentuan undang-undang,
2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat.44
Dr. Maxwell Maltz, dalam bukunya psycho Cybernetics (1960), menyatakan,
“kita telah diciptakan sebagai mekanisme pencari tujuan”. Kita memang terbentuk
demikian. Manakala kita tidak mempunyai yang kita minati dan yang cukup berarti
bagi kita, kita harus berputar-putar, merasa tersesat dan mendapatkan hidup kita tidak
berarti dan tidak bertujuan.45 Untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah
diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Pendaftaran
tersebut meliputi pengukuran, pemetaan, dan pembukuan tanah; pendaftaran hak-hak
atas tanah dan peralihan haknya; serta pemberian surat tanda bukti hak (sertipikat)
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. sebagaimana yang diamanatkan
dalam Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 tentang
Pertaturan
Dasar
Pokok-pokok
Agraria
(UUPA),
Pemerintah
wajib
menyelenggarakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia dan mengharuskan
kepada pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan.
Kegiatan administrasi dalam pendaftaran tanah setelah tanah terdaftar dalam
Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 disebut juga pemeliharaan data
pendaftaran tanah. Kegiatan tersebut dapat dibagi kedalam (3) tiga kategori, yakni;
1. Kegiatan sebelum penerbitan sertipikat tanah (penetapan hak atas tanah).
44
Syamsul Arifin, Pengantar Hukum Indonesia, Medan Area University Press, Medan, 2012,
Hal. 183.
45
M. Iqbal Dawami, Cita-Cita, Diva Press, Bojong 2008, Hal. 97.
Universitas Sumatera Utara
46
2. Kegiatan setelah penerbitan sertipikat (perubahan data yuridis).
3. Kegiatan setelah penerbitan sertipikat (perubahan data fisik).
Dalam hal ini dapatlah diuraikan bahwa kegiatan yang bersifat administratif
sebelum penerbitan sertipikat tanah yang berupa penetapan hak atas tanah, meliputi;
1. Konversi hak atas tanah.
2. Pengakuan dan penegasan hak atas tanah.
3. Pemberian hak atas tanah.
4. Penolakan hak atas tanah.
5. Redistribusi tanah dan konsolidasi tanah.
6. Perwakafan tanah.46
Sedangkan kegiatan yang bersifat administrasi setelah penerbitan sertipikat
tanah yang dilakukan karena terjadinya perubahan data yuridis (subjek hak, jenis hak,
dan jangka waktu hak atas tanahnya), terdiri dari;47
1. Peralihan hak atas tanah dan,
2. Pemindahan hak atas tanah,
3. Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah,
4. Pembaharuan hak atas tanah,
5. Perubahan hak atas tanah,
6. Pembatalan hak atas tanah,
7. pencabutan hak atas tanah,
46
Mhd. Yamin Lubis, Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi, Mandar
Maju, Bandung 2010, Hal. 210.
47
Ibid, Hal. 211.
Universitas Sumatera Utara
47
8. Pembebasan hak atas tanah,
9. Perubahan data karena putusan dan penetapan pengadilan,
10. Perubahan data karena perubahan nama,
11. Hapusnya hak atas tanah,
12. Penggantian sertipikat.
Sementara kegiatan yang bersifat administratif setelah penerbitan sertipikat
tanah yang dilakukan karena terjadinya perubahan data fisik atau objek hak atas
tanah, terdiri dari;
1. Pemisahan bidang tanah.
2. Pemecahan bidang tanah.
3. Penggabungan bidang tanah.
Untuk kepentingan umum, termasuk untuk kepentingan bangsa dan Negara
serta kepentingan bersama dari rakyat pendaftaran tanah diselenggarakan dengan
mengingat keadaan negara dan masyarakat itu sendiri, keperluan lalu lintas sosial
ekonomis serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri
Negara Agraria/ Kepala Badan Petanahan Nasional Republik Indonesia.
Adapun Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 19
UUPA ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah dan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Universitas Sumatera Utara
48
Bagan 2. pemastian lembaga;48
BPN
(KANTOR PERTANAHAN)
PPAT
1. Recording of title
2. Continous Recording
3. Panitia pembebasan
Recording of deeds of conveyance
1. Mutasi
2. Pengikatan hak tanggungan
3. Pemberian Hak baru
4. pengawas PPAT
5. Panitia Tanah
6. Dan lain-lain.
Akta PPAT
Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota saling berkaitan fungsi dan tugas
pokoknya terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), karena PPAT merupakan
rekan kerja Kantor Pertanahan. PPAT diwajibkan membuat akta-akta yang berkaitan
dengan tanah tanah yang terdaftar dan PPAT hanya dapat melakukan balik nama
apabila suatu tanah tersebut telah mendapatkan haknya.
48
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Cetakan ke-9 , Mandar
Maju, Bandung 2008, Hal. 122.
Universitas Sumatera Utara
49
Berdasarkan pembagian fungsi dan tanggung jawab tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa pembuatan akta PPAT yang efektif tidak saja memenuhi kaedah
tekhnis pembuatannya, tetapi harus memperhatikan kepentingan kantor pertanahan
sesuai dengan pedoman pengisian akta PPAT dalam Peraturan Menteri Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997.
Disamping bertugas pokok membuat akta, PPAT mempunyai tugas lain baik
yang berkaitan dengan pembuatan akta atau sebagai tindak lanjut dari pembuatan akta
atau tugas lain dibidang pertanahan. PPAT dengan Kepala Kantor Pertanahan untuk
mempercepat pendaftaran hak milik atas tanah untuk tempat tinggal yang diberikan
dengan Keputusan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9
tahun 1997 jo Nomor 1 tahun 1998, Nomor 2 tahun 1998 dan Nomor 6 tahun 1998
(Intruksi Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun
1998). Fungsi pelayanan terhadap pelaksanaan pendaftaran tanah apabila pelaksanaan
pendaftaran tanah terdapat keterlambatan, PPAT diwajibkan melapor kepada kepala
kantor kabupaten/ kota. (Intruksi Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 4 tahun 1999).
Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah sebagai instansi pendaftaran tanah.
Pemerintah melakukan pendaftaran tanah karena, mewakili negara sesuai ketentuan
UUPA untuk menguasai tanah dalam pengertian:
a. Mengatur serta menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharaan akan keadaan suatu tanah yang dimaksudkan;
Universitas Sumatera Utara
50
b. Menentukan dan mengatur hak hak yang dimiliki atas kepemilikan tanah
tersebut untuk sapa, kepada siapa dan kemana harus diberikan;
c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antar subjek dan perbuatan
hukum atas tanah tersebut.
Selanjutnya hak-hak atas tanah yang sebagaimana yang menjadi bidang tugasnya
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), perlu terlebih dahulu dilihat ketentuan yang
tercantum dalam Pasal 16 UUPA yaitu:
1. Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 ialah:
a. Hak Milik
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai
e. Hak Sewa
f. Hak Membuka Tanah
g. Hak Memungut Hasil Hutan
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.
2. Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) adalah;
a. Hak Guna Air
b. Hak Pemeliharaan dan Penangkapan ikan
Universitas Sumatera Utara
51
c. Hak Guna Ruang Angkasa.
Dasar hukum pendaftaran mutasi atau perpindahan hak atas kepemilikan tanah
adalah sebagai berikut :
a. Pasal 19 UUPA :49
(1) Untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah diadakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut meliputi :
a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah.
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak tersebut.
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat.
b. Pasal 23 UUPA :
(1) Hak
milik,
demikian
pula
setiap
peralihan,
hapusnya
dan
pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan
(2) Pendaftaran dimaksud merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan
hak tersebut.
c. Pasal 32 UUPA :
49
R. Subekti, R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan ke-37, PT.
Pradnya Paramita, Hal. 521.
Universitas Sumatera Utara
52
(1) Hak Guna Usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian pula
setiap peralihannya dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan.
(2) Pendaftaran tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai
peralihan.
d. Pasal 38 UUPA :
(1) Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian
pula setiap peralihannya dan hapusnya harus didaftarkan.
(2) Pendaftaran tersebut merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai
hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan.
Undang-undang Pokok Agraria juga mempertegas adanya Pendaftaran Tanah
itu untuk kepentingan nasional dan ikut untuk menertibkan ketatanegaraan
sebagaimana yang terdapat pada Pasal 19:
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan
masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan
pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa
rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya
tersebut.
Penjelasan pasal tersebut jika dikaitkan dengan penjelasan umum angka IV
yaitu bahwa usaha yang menuju ke arah kepastian hak atas tanah adalah ketentuan
Pasal-pasal yang mengatur tentang pendaftaran tanah. Dengan maksud agar mereka
Universitas Sumatera Utara
53
memperoleh kepastian tentang haknya, Pasal 23, 32 dan 38 ditujukan kepada para
pemegang hak yang bersangkutan, sedangkan agar di seluruh wilayah Indonesia
diadakan pendaftaran tanah yang bersifat “Rechts Cadaster” artinya yang bertujuan
menjamin kepastian hukum, Pasal 19 ditujukan kepada pemerintah sebagai suatu
instruksi.
Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak dalam Pasal 37
ditegaskan
kembali bahwa;
(1) Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui
jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan
perbuatan hukum dan pemindahan lainnya, kecuali pemindahan hak melali
lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat
oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan dan perundang-undangan
yang beraku.
(2) Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh menteri, kepala
Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak
milik, dilakukan diantara perorangan warga negara Indonesia yang
dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi menurut
Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup
untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan.50
1. Asas-Asas Pendaftaran Tanah
50
Op. Cit, Mhd. Yamin Lubis, Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, 2010, Hal.
490.
Universitas Sumatera Utara
54
Asas-asas pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 adalah sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan
terbuka. Adapun maksud dari asas-asas tersebut adalah51 :
1. Asas Sederhana, dimaksudkan, agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun
prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, terutama pemegang hak atas tanah.
2. Asas Aman, bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan
cermat, sehingga hasilnya dapat memberi jaminan kepastian hukum sesuai
tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
3. Asas Terjangkau, untuk keterjangkauan bagi pihak - pihak yang memerlukan,
khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan
ekonomi lemah. Pelayanan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak
yang memerlukan.
4. Asas Mutakhir, kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan
kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus
menunjukkan keadaan yang mutakhir. Asas yang mutakhir ini menuntut
dipeliharanya
data
pendaftaran
tanah
secara
terus
menerus
dan
berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu
sesuai dengan keadaan nyata di lapangan.
5. Asas Terbuka, bahwa masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai
51
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 1997), hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
55
data yang benar setiap saat.
Sebagaimana terdapat juga asas-asas yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 10 tahun 1961 adalah :
1. Asas Spesialitas, tanah yang didaftarkan itu harus jelas diketahui ada dan
nyata ada lokasi tanahnya.
2. Asas Publisitas, dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui sesuatu
bidang tanah itu milik siapa, bagaimana luasnya, apakah ada beban di
atasnya.
3. Asas Negatif, artinya pemilikan sesuatu bidang tanah yang terdaftar atas
nama seseorang tidak berarti mutlak adanya, sebab dapat dipersoalkan
siapa pemiliknya.
Pendaftaran tanah milik adat yang didapati biasanya karena pewarisan tanah
wajib dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang memperoleh warisan tersebut.
Kewajiban tersebut sebenarnya telah diatur dalam Pasal 20 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yang menyatakan : “jika seseorang yang
mempunyai hak atas tanah meninggal dunia maka yang menerima tanah itu sebagai
warisan wajib meminta pendaftaran peralihan hak tersebut dalam jangka waktu enam
(6) bulan sejak meninggalnya orang itu.” Namun demikian ketentuan mengenai
pendaftaran pewarisan tersebut dirasakan kurang sempurna oleh karena didalam
ketentuan tersebut tidak diatur mengenai ketentuan tanah yang diwariskan itu telah
didaftarkan atau belum didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat. Disamping itu
Universitas Sumatera Utara
56
tidak adanya ketentuan lebih lanjut apabila pendaftaran tersebut tidak dilakukan
dalam jangka waktu enam (6) bulan.
Untuk menyempurnakan ketentuan tersebut, maka lahirlah ketentuan baru
yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, Pasal 42 Paragraf 3 mengenai
peralihan hak karena pewarisan. Bunyi Pasal tersebut ialah:
1. Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah
hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang
diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 36,
wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak sebagai ahli
warisnya kepada kantor pertanahan, sertipikat hak atas tanah yang
bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang
haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris.
2. Jika bidang tanah yang merupakan warisan yang belum didaftarkan wajib
diserahkan juga dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (1) huruf b.” Berdasarkan ketentuan tersebut maka untuk peralihan
pewarisan hak atas tanah yang sudah didaftarkan akan mengacu pada Pasal
36 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.52 yang berbunyi yaitu :
a. Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi
perubahan data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang
telah terdaftar.
52
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta : CV.Haji Mas
Agung, 1987), Hal. 542
Universitas Sumatera Utara
57
b. Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada Kantor Pertanahan.
Sedangkan untuk peralihan pewarisan hak atas tanah yang belum didaftarkan,
mengacu pada Pasal 39 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997
yaitu : Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menolak untuk membuatkan akta,
apabila mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan :
1. Surat bukti hak sebagaimana dimaksud Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan
Kepala Desa/ Kelurahan yang mengatakan bahwa yang bersangkutan
menguasai bidang tanah itu sebagaimana dimaksud Pasal 24 ayat (2); dan
2. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan
belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan atau untuk tanah yang terletak
didaerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak
yang bersangkutan dengan dikuat oleh kepala desa/ kelurahan.
Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilakukan melalui pendaftaran tanah
secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara
sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan
secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar
dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/ kelurahan.53 Pendaftaran tanah secara
sistematik ini biasanya dilakukan atas prakarsa dari Pemerintah dalam hal ini oleh
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI). Pendaftaran tanah jenis ini
lebih diutamakan, hal ini disebabkan pendaftaran tanah dengan cara ini akan lebih
53
Pasal 1 Angka (8) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Universitas Sumatera Utara
58
mempercepat perolehan data mengenai bidang-bidang tanah yang akan didaftar dari
pada pendaftaran tanah yang dilakukan secara sporadik. Namun karena pendaftaran
tanah jenis ini prakarsanya datang dari pemerintah, sehingga memerlukan waktu
untuk menyediakan dana, tenaga, serta peralatan-peralatan yang diperlukan.
Pelaksanaannya pun harus didasarkan pada rencana kerja yang meliputi jangka waktu
yang agak panjang serta pelaksanaannya meliputi uji kelayakan.
Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah
atau bagian wilayah suatu desa/ kelurahan secara individual atau masal.54 Pendaftaran
tanah yang dilakukan secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang
berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas objek pendaftaran tanah yang
bersangkutan atau kuasanya.
Dalam memperoleh sertipikat tanah dilakukan pendaftaran/ permohononan sertipikat
tanah pertama kali yaitu dengan cara konversi (pengakuan hak/ penegasan hak) dan
pemberian hak.
C. Kesadaran Hukum Masyarakat Dalam Mendaftarkan Tanah Milik Adat
Menjadi Hak Milik
Sejak proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 agustus 1945, Aceh
sudah menyatakan diri secara tulus ikhlas untuk bergabung dan bersatu dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pernyataan tersebut tidak saja secara
54
Pasal 1 Angka (9) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Universitas Sumatera Utara
59
“Defacto” tapi juga secara “Deyure” yang tertulis serta dinyatakan secara sah melalui
maklumat ulama seluruh Aceh pada tanggal 15 okteber 1945.55 Dengan menuju
upaya kearah pelaksanaan pendaftaran tanah yang hendak dibahas dalam penulisan
ini sehubungan dengan keadaan konflik yang telah usai di Provinsi Aceh, maka
masyarakatpun kini mulai berbenah diri untuk bangkit kembali terlebih-lebih
khususnya bagi masyarakat yang tinggal di belahan daerah pedalaman. Segala macam
penguasaan atas tanah dan bangunan yang mungkin telah ditinggal lama karena
konflik mulai didata kembali. Khusus terhadap hak-hak tradisional masyarakat adat
atas tanah itu yang secara konsepsional tetap diakui dan dihormati keberadaannya,
maka untuk menciptakan kesatuan hukum (unifikasi hukum) dalam hak-hak
tradisional tersebut, maka hak-hak adat atas tanah tersebut diharuskan untuk
disesuaikan dengan hak-hak atas tanah yang berlaku dalam UUPA.
Dalam hal mana untuk perolehan hak atas tanah ini antara pihak laki-laki
maupun pada pihak perempuan tidak ada perbedaan atau batasan tertentu untuk
memilikinya. Sebab sebenarnya kedudukan perempuan di Indonesia secara formal
cukup kuat sebab banyak ketentuan dari berbagai Undang-undang serta peraturan lain
yang memberikan perlindungan secara yuridis oleh perempuan. Selain itu Indonesia
pun telah meratifikasi dua perjanjian, yaitu;
1. Perjanjian mengenai hak politik perempuan (Convention on the Political Right
of Women);
55
Nabhani, Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, Yayasan Sastra Group, Langsa 2011, Hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
60
2. Perjanjian
mengenai
penghapusan
diskriminasi
terhadap
perempuan
(Convention On Political Elimination Of All Forms Of discrimination Again
Women atau Cedaw).56
Persamaan dihadapan hukum bagi setiap warga negara di Indonesia
merupakan cita-cita hukum (Rechtsidee) dalam mewujudkan keadilan disatu pihak
dan dilain pihak sebagai sistem norma hukum. Persamaan yang dimaksud, dalam
UUD 1945, dirumuskan dalam Pasal 27 (1) sebagai berikut;
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualiannya.”57
UUD 1945 telah menyatakan adanya persamaan dimata hukum berarti
adanya perlindungan hukum yang sama. Selain menjamin prinsip “Equality Befor the
Law” suatu hak asasi manusia yang sangat funda mental, juga menegaskan kewajiban
warga negara untuk menjunjung tinggi nilai hukum, suatu pra-syarat untuk
langgengnya negara hukum di Indonesia secara teoritis.
56
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta 2008, Hal. 258.
57
Zainudin Ali, Lop. Cit, Hal. 101.
Universitas Sumatera Utara
Download