BAB I PENDAHULUAN A. Judul Dinamika Pergeseran

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul
Dinamika Pergeseran Orientasi Masyarakat Sipil dari Sosial Religius Mengarah
ke Gerakan Politik
B. Alasan Pemilihan Judul
1. Aktualitas
Tahun 2014 merupakan tahun politik di Indonesia, bermula dari pesta
demokrasi yang digelar untuk pemilihan umum legislatif hingga dengan
pemilihan presiden. Akan tetapi, mengingat berjalannya pemilu legislatif lalu,
tersimpan banyak peristiwa yang cukup menarik. Keadaan politik di Indonesia
kini kurang berjalan secara sehat, meskipun permainan politik adalah cara untuk
mendapatkan sebuah kekuasaan. Politik identik dengan strategi pemenangan di
dalam sebuah kompetisi untuk merebutkan sebuah kursi jabatan. Banyak orang
yang berupaya untuk memenangkan pemilu demi mendapatkan sebuah kekuasaan.
Padahal, pemilu adalah pesta demokrasi yang digunakan sebagai pemilihan calon
wakil rakyat yang nantinya dapat menjadi penyalur aspirasi masyarakat, wadah
untuk mendengarkan keluhan yang dirasakan rakyat, hingga bagaimana
seharusnya kebijakan yang diputuskan, bukan hanya sekedar pemenangan dalam
sebuah kompetisi semata.
1 Kondisi politik tersebut tentunya menjadi sebuah tantangan bagi masyarakat
dalam memilih para calon legislatif yang nantinya akan menjadi penyambung
lidah rakyat. Segala upaya dilakukan oleh berbagai calon legislatif untuk merauk
suara sebanyak-banyaknya, hingga jatuh pada pilihan untuk melakukan money
politic dan bentuk klientalisme. Melihat situasi politik di masyarakat yang
semakin tidak terkontrol, tentu peran para masyarakat sipil sangat penting untuk
dapat ikut serta dalam mengawal pemilu tersebut. Akan tetapi, banyak strategi
yang dilakukan oleh para calon legislatif untuk mendapatkan suara. Salah satu
cara yaitu menggunakan organisasi masyarakat sipil sebagai jembatan antara
calon anggota legislatif dan masyarakat agar dapat mengorganisir anggota untuk
memilihnya. Hal ini memunculkan bentuk pergeseran orientasi dari masyarakat
sipil yang memiliki latar belakang non politik melakukan kegiatan yang mengarah
pada gerakan politik.
Pergeseran orientasi ini juga terjadi pada komunitas RING’S (Remaja Islam
Ngetos Sriwedari) yang merupakan komunitas pemuda kampung. Mereka
bergerak di bidang sosial dan religius untuk berupaya memajukan kampungnya.
Akan tetapi, pada pemilu 2014 RING’S telah menjadi mesin politik dari salah
satu calon legislatif DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) tingkat I daerah
pemilihan Jawa Tengah 6 dari Partai Amanat Nasional (PAN) yaitu Anang
Imamuddin. Upaya yang dilakukan Anang Imamuddin merupakan bentuk strategi
dari pemenangan pemilu. Hal ini menjadi menarik ketika RING’S selaku
organisasi pemuda kampung menjadi motor penggerak politik, sedangkan
RING’S yang sudah berdiri selama 14 tahun, sehingga dapat dikatakan bukan usia
2 muda bagi sebuah organisasi. Pada akhirnya RING’S tetap tidak dapat
mempertahankan kenetralannya. Oleh karena itu, cara pendekatan politik yang
dilakukan pada organisasi masyarakat sipil ini mengakibatkan timbulnya sebuah
pergeseran orientasi di dalam tubuh RING’S untuk terjun langsung dalam
pemilihan umum.
2. Orisinalitas
Merujuk pada orisinalitas penelitian, suatu penelitian harus merupakan hasil
karya asli dari peneliti dan bukan hasil dari jiplakan (plagiasi) terhadap hasil
penelitian peneliti lain. Penelitian yang mengulas mengenai peran masyarakat
sipil diantaranya adalah penelitian dari Doni Irza, Universitas Gadjah Mada
tentang “Peran Partai Politik Dalam Peningkatan Demokratisasi Masyarakat Sipil
dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Politik”. Penelitian tersebut lebih berfokus
pada hubungan antara partai politik terhadap demokratisasi dan hubungan partai
politik dengan ketahanan politik. Peranan partai politik dalam penguatan
partisipasi masyarakat dan dalam kaitannya dengan ketahanan politik.
Contoh penelitian lain adalah milik Mulyana Yahya, Jurusan Ilmu
Pemerintahan dan Politik, Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Elite,
Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal : Studi Tentang Gerakan Sosial Pembentuk
Provinsi Banten”. Dalam penelitian tersebut, fokus penelitian lebih kepada
pergeseran elite tradisional modern terjadi dan kekuatan masyarakat sipil lahir dan
bekerja menjadi suatu kekuatan penting dalam gerakan sosial pembentukan
Provinsi Banten. Kemudian juga, penelitian yang dilakukan oleh Saptoyo yaitu
“Partisipasi Organisasi Civil Society dalam Pembangunan Desa : Studi Tentang
3 Partisipasi Organisasi Civil Society Di Desa Dalam Mengembangkan Good
Governane”.
Di antara ketiga penelitian yang telah disebutkan di atas, penelitian ini
memiliki fokus objek yang berbeda dan belum pernah dilakukan penelitian
sebelumnya. Penelitian ini meletakkan titik fokus pada proses terjadinya
pergeseran orientasi masyarakat sipil yang bergerak di kegiatan sosial, religius
dan akhirnya membentuk suatu gerakan politik. Setelah melalui proses studi
pustaka serta melakukan pemeriksaan hasil-hasil penelitian dengan tema, obyek,
dan judul tersebut, tidak ditemukan hasil penelitian serupa yang pernah dilakukan
pada Remaja Islam Ngetos Sriwedari (RING’S) dalam upaya melakukan
pergerakan politik. Maka dapat disimpulkan bahwa belum pernah ada yang
melakukan penelitian serupa dengan tema tersebut, sehingga penelitian ini
menjadi hal yang baru, orisinil, dan sangat menarik untuk diteliti lebih dalam.
3. Relevansi dengan Ilmu PSdK
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan mempelajari mengenai upaya
masyarakat untuk dapat mencapai sebuah kesejahteraan. Kesejahteraan suatu
masyarakat merupakan cita-cita utama bagi negara. Pada proses untuk mencapai
kesejahteraan terkait dengan interaksi antara tiga unsur yaitu masyarakat sipil
(civil society), masyarakat politik (political society), dan masyarakat ekonomi
(ekonomic society). Civil society merupakan gerakan dan organisasi sosial yang
bermula dari tingkat sipil, dan biasanya masyarakat kelas bawah yang
mengekspresikan diri dalam kepentingan-kepentingan yang bersifat sosial.
4 Kemudian kajian pembangunan sosial dan kesejahteraan banyak mempelajari
akan kelainan dalam masyarakat.
Perkembangannya yang secara ringkas dicangkup dalam kelainan-kelainan
struktur dan fungsi-fungsi lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada. Pada
penelitian ini juga nantinya akan membahas mengenai peran sebuah organisasi
masyarakat sipil yang berorientasi pada kegiatan sosial dan religius untuk
mencapai tujuan bersama, namun bergeser mengarah pada gerakan politik. Dapat
dikatakan bahwa dari penelitian tersebut relevan dengan pembangunan sosial dan
kesjehateraan,
sebab
mempelajari
tentang
promblematika
pembangunan
masyarakat melalui organisasi masyarakat sipil. Selain itu juga kegiatan yang
dilakukan oleh RING’S memiliki unsur-unsur dalam upaya memberdayakan
masyarakat, sehingga hal ini terkait dengan Community Empowerment.
C. Latar Belakang
Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia selalu digelar dalam kurun waktu
lima tahun sekali. Mengingat pada tahun 2014 lalu merupakan tahun dimana pesta
demokrasi tersebut dilaksanakan kembali. Pemilu pada tahun ini dilakukan mulai
dari pemilihan anggota legislatif tingkat kabupaten, provinsi hingga nasional.
Selain itu, pemilihan umum juga dilaksanakan untuk melakukan pemilihan calon
Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Setelah pemilihan umum legislatif disusul
dengan persiapan pemilihan umum presiden. Fenomena pemilihan umum ini
tentunya menjadi sebuah peristiwa yang sangat penting dilakukan, sebab nantinya
akan menentukan nasib rakyat dalam lima tahun kedepan.
5 Pada pemilihan umum para calon legislatif menawarkan janji dan program
di masa kampanye kepada konstituennya, sedangkan kampanye sendiri dilakukan
selama waktu yang telah ditentukan di hari menjelang pemungutan suara. Dalam
sejarah pemilu di Indonesia yang pertama dilakukan pada tahun 1955 yang
diadakan sebanyak dua kali yaitu tanggal 29 September 1955 untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 15 Desember 1955 untuk memilih
anggota konstituante. Kini pemilihan umum menjadi sebuah sejarah di Indonesia
ketika setiap periode rakyat Indonesia diberikan hak pilihnya untuk menentukan
wakil rakyat mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten dan Kota hingga
Nasional. Khususnya pada tahun 2014 lalu seluruh rakyat Indonesia kembali
melakukan pesta demokrasi terbesar untuk menentukan wakil rakyat dari legislatif
dan eksekutif melalui 12 partai politik. Merujuk pada data dari Komisi Pemilihan
Umum (KPU) bahwa terdapat 6.608 bakal caleg dalam Daftar Calon Tetap (DCT)
untuk pemilu 2014. Jumlah bakal caleg yang ditetapkan tersebut lebih sedikit dari
yang diusulkan oleh partai politik yaitu 6.641 bakal caleg. Dari jumlah 6.608
orang tersebut akan memperebutkan 560 kursi DPR RI di 77 daerah pemilihan di
seluruh Indonesia. Belum juga jumlah caleg yang bertarung untuk mendapatkan
kursi di daerah (Rizky : 2013).
Dalam beberapa waktu terakhir ini, ketika Indonesia telah dibukakan secara
luas mengenai pemilihan secara langsung, tentunya menjadi kesempatan bagi
masyarakat sipil untuk memegang peranan penting di dalamnya. Terlebih ketika
kini masyarakat sipil mulai mendominasi panggung perdebatan ilmu politik,
ekonomi dan sosial baik dalam skala lokal maupunn global. Kemudian berbicara
6 juga mengenai peran pembangunan yang berada di pundak rakyat. Kini rakyat
dipahami tidak lagi sebagai objek pasif, melainkan subjek aktif yang tidak hanya
harus dilibatkan dalam proses pembangunan namun juga sebagai pemilik dari
proses pembangunan itu sendiri. Meskipun demikian, melihat dari kondisi tahun
2014 yang dapat dikatakan sebagai tahun politik, tentunya peran masyarakat sipil
sangat besar di dalamnya. Terlebih ketika para penguasa yang memanipulasi
rakyat dan aktivis prodemokrasi juga menggunakan masyarakat sipil sebagai dasar
tindakannya.
Larry Diamond (1994) mengatakan bahwa masyarakat sipil atau civil
society memberikan kontribusi yang cukup besar bagi tumbuhnya demokrasi.
Pertama, civil society menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi,
kebudayaan dan moral untuk menjaga dan mengawasi keseimbangan negara.
Asosiasi independen dan media yang bebas memberikan dasar bagi pembatasan
kekuasaan negara melalui kontrol publik. Kedua, beragam dan pluralnya dalam
masyarakat sipil dengan berbagai kepentingannya bila diorganisasi dan dikelola
dengan baik, maka hal ini dapat menjadi dasar yang penting bagi persaingan yang
demokratis. Ketiga, akan memperkaya peranan partai-partai politik dalam hal
partisipasi politik, meningkatkan efektivitas politik dan meningkatkan kesadaran
kewarganegaraan (citizenship). Keempat, ikut menjaga stabilitas negara. Dalam
arti bahwa civil society karena kemandiriannya terhadap negara, mampu menjaga
independensinya yang berarti secara diam-diam mengurangi peran negara.
Kelima, sebagai wadah bagi seleksi dan lahirnya para pemimpin politik yang baru.
Keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter.
7 Sejak mulai dibentuknya peraturan dalam pemilihan secara langsung tentu
menjadi pintu gerbang bagi para calon penguasa dan partai politik untuk menjalin
kerja sama dengan para organisasi masyarakat sipil. Terlebih ketika pemilihan
umum legislatif banyak praktek strategi pemenangan calon membentuk relasi
dengan berbagai organisasi masyarakat sipil yang nantinya dapat membantu
meningkatkan pendapatan suara. Secara khusus, melihat perkembangan civil
society pada masa Orde Baru terdapat tiga kategori civil society menurut Edward
Aspinall (2004), yaitu : pertama, organisasi yang dibentuk sebagai bagian dari
kelompok fungsional pada masa awal pemerintahan Orde Baru seperti HKTI
(Himpunan Kerukunan Tani Indonesia). Model kelompok civil society yang
seperti ini memiliki loyalitas yang tinggi terhadap pemerintahan Orde Baru,
bahkan menjadi bagian kekuatan Golongan Karya.
Kedua, organisasi yang semi korporatis terhadap negara, dimana kelompok
ini memiliki indepensi dalam ide dapat bertahan hidup serta memiliki suara dalam
lembaga legislatif atau eksekutif. Kelompok seperti Nahdatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah merupakan kategori yang masuk di dalamnya, karena mereka
sadar memiliki kekuatan jaringan serta dukungan yang dapat dimanfaatkan bagi
kepentingan politik penguasa. Ketiga, kelompok civil society yang berkembang
menjadi kelompok oposisi. Kelompok ini memiliki keotonoman yang kuat
terhadap kekuasaan negara bahkan cenderung mengkritik berbagai kebijakan dan
tindakan dari negara.
Dalam kehidupan bermasyarakat tentunya tidak akan terlepas dari unsur
kegiatan politik. Pada umumnya politik merupakan usaha untuk menentukan
8 peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk
membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Usaha
menggapai the good life ini menyangkut bermacam-macam kegiatan ynag antara
lain menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara melaksanakan
tujuan itu. Dewasa ini politik lebih menekankan pada upaya (means) untuk
mencapai masyarakat yang baik, seperti kekuasaan, pembuatan keputusan,
kebijakan, alokasi nilai dan sebagainya. Politik juga dapat dikatakan perebutan
kekuasaan, kedudukan, dan kepentingan (Budiardjo, 2008:16). Pada sebuah
organisasi tentunya kegiatan politik tidak akan terlepas dari berbagai bentuk
tindakan yang dilakukan. Akan tetapi, ketika organisasi dihadapkan juga pada
upaya untuk mencapai suatu kepentingan dan kekuasaan akan membentuk sebuah
gerakan politik. Gerakan politik yang dimaksudkan adalah bentuk sekelompok
orang untuk melakukan aktivitas politik dalam mencapai tujuan politik. Salah satu
bentuk gerakan politik yang dilakukan adalah dengan melakukan partisipasi
politik di ajang pemilihan umum.
Dari paparan yang disampaikan oleh Edward Aspinall membuktikan bahwa
kelompok masyarakat sipil dapat mengalami perkembangan di masa Orde Baru.
Perkembangan civil society seperti itu, tidak hanya terjadi pada organisasiorganisasi masyarakat yang terstruktur dengan baik dan telah memiliki nama
besar. Bentuk pergeseran tersebut juga cukup mencerminkan peristiwa yang
terjadi di salah satu organisasi masyarakat sipil tingkat dusun bernama RING’S
(Remaja Islam Ngetos Sriwedari) yang pada akhirnya menjadi penggerak politik
dari strategi pemenangan salah satu calon legislatif. Meskipun komunitas ini
9 hanyalah organisasi pemuda kampung, tetapi pergerakan mereka cukup besar
dalam upaya membentuk gerakan politik sebagai barisan elite pendukung salah
satu calon legislatif bernama Anang Imamuddin. RING’S sudah berdiri sejak
tanggal 10 Agustus 2000 dengan memiliki background social dan religius kini
telah
gagal untuk menjaga kenetralannya ketika masuk kejajaran penggerak
kegiatan politik.
Pada awalnya RING’S terbentuk karena adanya kegelisahan kondisi para
pemuda kampung yang tidak memiliki kegiatan yang positif. Kemudian di sisi
lain juga adanya basic Nahdatul Ulama (NU) yang dianut oleh warga sangatlah
kental, sehingga menjadi benteng pembatas antara warga yang menganut NU dan
minoritas Muhammadiyah. RING’S terbentuk berkat kerja sama yang dibina dari
KKN (Kuliah Kerja Nyata) UIN (Universitas Islam Negeri) Yogyakarta hingga
akhirnya membuahkan perkumpulan pemuda yang dapat terbina sampai sekarang.
Jumlah anggota RING’S sejak tahun 2000 kurang lebih sebanyak 142 orang yang
terdiri dari pemuda kampung Ngetos Wetan.
RING’S yang terbentuk dari adanya kedua paham berbeda antara NU dan
Muhammadiyah memiliki tekad untuk dapat menyatukan pemuda dalam satu
wadah. Maka dari itu, nama RING’S yang berarti Remaja Islam Ngetos Sriwedari
terbentuk dari keinginan para pemuda untuk bersatu dengan menghilangkan kedua
paham tersebut menjadi kegiatan keislaman yang utuh. Latar belakang
terbentuknya RING’S adalah untuk menyatukan pemuda demi memajukan Dusun
Ngetos Wetan. Adapun kinerja yang dilakukan oleh RING’S mulai dari awal
terbentuk adalah kegiatan-kegiatan rutin kampung seperti arisan pemuda,
10 pengajian, buka bersama, takbir keliling, selapanan untuk forum diskusi, piket
bersih masjid, acara-acara perayaan hari besar Nasional dan keagamaan, sinoman,
olah raga, serta kerja bakti. Untuk kegiatan besar yang dilaksanakan seperti
pengajian akbar dengan mengundang kyai ternama, studi ke organisasi lain, dan
pengelolaan usaha bersama yang nantinya dialokasikan untuk membantu warga
yang kurang mampu.
Kemudian kegiatan rutin tiap tahun dilaksanakan setiap Bulan Ramadhan.
RING’S membuat acara buka bersama setiap malam minggu, pembagian takjil
gratis, pengajian rutin, tarawih keliling untuk pemuda serta takbir keliling. Hal
tersebut dilakukan untuk menyatukan pemuda kampung guna melestarikan
budaya dan nilai lokal yang mereka miliki. Selain kegiatan rutin mingguan
maupun tahunan, ada kegiatan yang dapat dilakukan secara tidak terencana
diwaktu tertentu seperti sinoman. Sinoman ini merupakan kegiatan sosial dalam
kehidupan di pedesaan sebab menanamkan gotong royong ketika salah satu
anggota masyarakat membutuhkan bantuan. Kegiatan sinoman harus bertujuan
untuk membantu sesama dan demi kepentingan bersama. Oleh karena itu,
kegiatan sinoman dalam perkumpulan RING’S sangat dijunjung tinggi oleh para
pemudanya, bahkan mereka memiliki seragam khusus batik di setiap acara
sinoman resmi untuk menjadi peladen.
Selain itu, kegiatan-kegiatan besar yang berhasil di lakukan oleh RING’S
adalah pengajian akbar. Pengajian akbar yang pernah di lakukan adalah pengajian
dengan pendakwah Emha Ainun Nadjib. Kemudian pengajian akbar dengan
pendakwah Tjatur Sapto Edy ketua fraksi PAN DPR RI, pengajian dengan
11 mengundang Muhammad Syihab Imam Muttaqin salah satu kontestan DACIL
(Dakwah Cilik), dan kyai-kyai lokal lainnya. Selain acara pengajian, mereka juga
telah berhasil menjadikan Dusun Ngetos sebagai “Dusun Percontohan” yang
diberikan oleh BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Pertanian UPN
(Universitas Pembangunan Nasional) dan telah menjalin kerjasama untuk saling
bertukar informasi mengenai organisasi kampus dan organisasi kampung dengan
pertukaran kunjungan pada tahun 2009.
Perjalanan dari komunitas RING’S ini mengalami perkembangan yang
cukup baik dalam memperluas relasi yang awalnya hanya organisasi kampung.
Adapun program kerja yang dilakukan ini merupakan bentuk dari gagasan ide
yang tersalur dari pengurus maupun anggota RING’S. Melihat kondisi politik di
tahun 2014, tentu menjadi hal yang menarik dengan adanya pergerakan RING’S
dalam membentuk gerakan politik. Terlihat bahwa RING’S yang merupakan
kelompok pemuda kampung dengan background sosial religius ternyata
melakukan pergerakan baru untuk masuk ke ranah politik. Sedangkan kenetralan
RING’S sudah terbentuk dari dua periode untuk tidak terlibat dan menjadi
pendorong atau motor pemenangan dari salah satu partai politik. Gerakan massa
yang diciptakan memperlihatkan bahwa sejarah RING’S berubah ketika mereka
bermanuver untuk menjadi barisan elite pendukung salah satu calon legislatif
Anang Imamuddin dari Partai Amanat Nasional (PAN). Hal ini menjadi menarik
untuk dilihat mengenai proses pergeseran komunitas RING’S sebagai pelaku
organisasi masyarakat sipil yang kemudian mampu melakukan bentuk gerakan
politik sebagai pendukung sebuah kepentingan.
12 D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah Mengapa Remaja Islam Ngetos Sriwedari (RING’S)
mengalami dinamika pergeseran orientasi dari sosial religius mengarah ke
gerakan politik?
E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Substansial
Tujuan Substansial dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika
pergeseran orientasi masyarakat sipil dari sosial religius ke arah gerakan
politik pada komunitas Remaja Islam Ngetos Sriwedari (RING’S) yang
telah terbina selama 14 tahun di Dusun Ngetos Wetan, Desa Sriwedari,
Kecamatan Muntilan sebagai bentuk dari pergerakan organisasi
masyarakat sipil.
2. Tujuan Operasional
a. Memberikan tambahan referensi bagi civitas akademika, baik oleh
peneliti umum maupun yang berasal dari Jurusan Pembangunan Sosial
dan Kesejahteraan
b. Dapat memberikan tambahan informasi maupun pemikiran yang dapat
digunakan oleh peneliti selanjutnya terkait dengan isu Civil Society.
c. Memberikan
gambaran
yang
mendasar
terkait
perkembangan
pergerakan masyarakat sipil melalui Community Based Organization
bernama Remaja Islam Ngetos Sriwedari (RING’S) dalam mencapai
13 tujuan organisasi dibawah kepemimpinan seorang aktivis sekaligus
aktor politik.
F. Tinjauan Pustaka
1. Civil Society
Perkembangan dan pembangunan masyarakat tidak akan dapat terlepas dari
peran aktif masyarakat sipil (civil society). Dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18
pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian Negara (the state),
yakni suatu kelompok atau kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok
masyarakat lain. Barulah pada paruh kedua abad ke 18, terminologi ini mengalami
pergeseran makna. Negara dan civil society kemudian dimengerti sebagai dua
buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial (social
formation) dan perubahan-perubahan struktur politik Eropa sebagai akibat
Pencerahan (enlightenment) dan modernisasi dalam menghadapi persoalan
duniawi, yang keduanya turut mendorong tergusurnya rezim-rezim absolut (AS.
Hikam : 1996).
Istilah civil society dalam masyarakat pada umumnya menganggap bahwa
istilah tersebut dikenal dengan masyarakat madani. Pemikiran civil society sebagai
sebuah nilai dan peradaban dapat terwakili oleh pandangan Nurcolish Madjid
dalam tulisan Ahmad Baso tentang Civil Society Versus Masyarakat Madani yang
menyebutkan masyarakat sipil merupakan masyarakat madani diambil dari konsep
masyarakat madinah yang berarti masyarakat berbudi luhur atau berakhlak mulia
atau disebut juga masyarakat peradaban. Masyarakat berperadaban menurutnya
14 adalah masyarakat yang mengikuti teladan nabi yang egaliter, adil, partisipatif,
terbuka dan demokratis. Civil society menurutnya lebih merupakan penerima
manfaat (beneficiary) ketimbang sebagai kekuatan penghancur atau bahwa civil
society lebih dianggap sebagai civility yang mengandung makna toleransi,
kesediaan pribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkah
laku sosial.
Kemudian konsep civil society juga sebagai asosiasi yang diprakarsai oleh
pemikiran Alexis de Touqueville. Dalam konsep ini masyarakat sipil didefinisikan
sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan : kesukarelaan
(voluntary), keswasembadaan (self supporting), keswadayaan, kemandirian yang
tinggi berhadapan dengan negara, keterikatan dengan norma dan nilai hukum yang
diikuti oleh warga masyarakat. Dari pengertian tersebut maka ia mewujudkan
dalam berbagai organisasi atau asosiasi yang dibuat oleh masyarakat di luar
pengaruh negara seperti
Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi sosial
keagamaan, paguyuban dan kelompok kepentingan (interest group) adalah
pengejawantahan kelembagaan civil society (AS.Hikam : 1996). Sedangkan ketika
civil society sebagai gerakan sosial maka mereka lebih melakukan suatu bentuk
perlawanan terhadap negara. Terlebih untuk civil society sebagai ruang publik
maka mereka lebih memberikan wadah dan peluang dimana masyarakat dapat
mengembangkan kepentingan mereka.
Menurut Larry Diamond, pada lingkungan kehidupan sosial terorganisir
yang terbuka, sukarela, timbul dengan sendirinya, setidaknya berswadaya secara
parsial, otonom dari negara dan terikat oleh suatu tatanan legal atau seperangkat
15 nilai-nilai bersama. Masyarakat sipil berbeda dengan masyarakat secara umum
dalam hal ia melibatkan warga yang bertindak secara kolektif dalam sebuah
lingkup
publik
untuk
mengekspresikan
kepentingan-kepentingan,
hasrat,
preferensi dan ide-ide mereka untuk bertukar informasi, untuk mencapai sasaran
kolektif, untuk mengajukan tuntuan pada negara dan untuk menekan para pejabat
negara lebih akuntabel (Diamond dikutip oleh Eko, 2003). Dapat dikatakan bahwa
civil society merupakan suatu pergerakan masyarakat di luar negara untuk
mencapai tujuan bersama. Maka dari itu, peran khas dari civil society yaitu
memiliki kepentingan untuk mencapai tujuan-tujuan publik. Kemudian ia juga
berhubungan secara khas dengan negara disatu sisi tidak bergantung kepada
negara tetapi disisi lain ia tetap membutuhkan kehadiran negara.
Berdasarkan The Encyclopedia Of Democracy (Dwipayana dan Eko : 2003),
ada beberapa karakter mendasar dari civil society yaitu otonom (mandiri) dari
negara. Ini merupakan komponen terpenting ketika civil society menjadi jembatan
antara warga dan negara merupakan area publik yang mampu mengelola aktifitas
dan mengatur anggotanya secara mandiri, selain itu juga sebagai akses bagi
masyarakat terhadap negara. Bentuk organisasi sosial bersifat inklusif bagi
seluruh masyarakat dan terbuka terhadap pertimbangan publik. Sedangkan untuk
lebih menjamin agar berbagai tujuan ataupun kepentingannnya terpenuhi civil
society membentuk suatu organisasi masyarakat sipil.
16 a. Organisasi Masyarakat Sipil
Jika ditelusuri lebih lanjut civil society memang memiliki tiga perspektif
yaitu Hegelian, Gramscian dan Tocquevellian (AS. Hikam : 1996). Namun
dengan menempatkan civil society sebagai penguatan organisasi penerapan
budaya seperti penelitian yang akan dilakukan, maka civil society lebih dilihat
pada prespektif demokrasi pada analisis tocquevellian yang menekankan pada
organisasi independen seperti kelompok pengajian, takmir, atau organisasi
masyarakat Islam seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU) dan kelompok
swadaya masyarakat lainnya (Yusron : 2009). Perkumpulan yang dibentuk secara
sukarela akan membangun sikap dan nilai demokratis sekaligus membentuk dan
melestarikan civic culture yang akan mendukung terciptanya demokrasi.
Organisasi masyarakat sipil adalah organisasi masyarakat yang didirikan
secara sukarela berbeda dengan aparat-aparat pemerintah. Sifat dari masyarakat
sipil bisa disebut sebagai organisasi masyarakat sipil dimana organisasi nonpemerintah, LSM, mempunyai peranan besar sebagai organisasi masyarakat
sipil. Peranan
utama
CSO-CSO
(Civil
Society
Organization/Organisasi
Masyarakat Sipil) dalam isu pembangunan berkelanjutan adalah termasuk untuk
membatasi kekuasaan dan melakukan kontrol demokratik terhadap pemerintah
(Bano : 2000).
Peran dari civil sociaty dalam kehidupan bermasyarakat dapat memudahkan
untuk mencapai tujuan ketika dapat terorganisir dengan baik. Maka dari itulah
kemudian muncul beberapa bentuk kelompok-kelompok masyarakat sipil.
17 Munculnya organisasi masyarakat sipil tersebut menjadi sebuah respon akan
beberapa isu ataupun kondisi masyarakat yang memang memerlukan sebuah
perubahan. Sehingga peran dari pergerakan sebuah organisasi masyarakat sipil
sangat dibutuhkan demi mencapai sebuah tujuan perubahan yang lebih baik.
Menurut Eko Sutoro dalam makalahnya yang berjudul Forum Warga, Partisipasi
dan Demokrasi Lokal tahun 2004 mencoba membangi tipe organisasi masyarakat
sipil sebagai berikut :
Tabel 1.1
Tipe Organisasi Masyarakat Sipil
No Basis dan
bentuk forum
Contoh
Sifat dan
pendekatan
Orientasi
1
Satuan
geografis
Forum
yang
mewadahi
berbagai
pemangku
kepentingan
dalam wilayah
tertentu seperti
desa,
kecamatan dan
kabupaten
Forum
masyarakat
Majalaya
sejahtera,
Forum warga
bandung
Kemitraan
multistakholder,
dialog
partisipatif
Membangun
komunikasi
dan
trust
pengembangan
partisipasi
warga
pengelolaan
kebijakan
publik secara
bersama
2
Forum
lahir
sebagai respons
atau
isu
spesifik
misalnya
korupsi
Forum peduli Aliansi terbuka
konfrontatif
sumatera
barat, aliansi
rakyat
anti
korupsi klaten
Sebagai
presure group
untuk
melakukan
tekanan
terhadap
ketidakberesan
pemerintah
3
Forum
yang
dilahirkan oleh
kelompok
khusus karena
Forum guru, Advokasi
forum petani
tembakau
klaten,
Perjuangan
nasib,
kepentingan
dan
18 4
kesamaan
profesi
paguyuban
kepala desa dll
Forum
yang
lahir
karena
kepedulian
tehadap sektorsektor khusus
dalam
pembangunan
atau pelaynan
publik
Forum
pengembangan
partisipasi
masyarakat,
forum
kehutanan
masyarakat
aspirasinya
kepada
pemerintah.
Sharing,
learning,
multistakholders
dan advokasi
Sebagai arena
pembelajaran
antara
stakeholder
dna
policy
reform secara
berkelanjutan.
Sumber :Skripsi Eka Persilian Yelum. Ilmu Politik dan Pemerintahan
UGM 2007
Berdasarkan pengelompokan tersebut tentunya memperjelas bahwa bentuk
sebuah organisasi masyarakat sipil terbagi menjadi beberapa tipe. Meskipun
selama ini organisasi masyarakat sipil yang dikenal sebagian banyak orang adalah
berbentuk sebuah lembaga swadaya masyarakat yang secara konsisten memiliki
arah dan tujuan jelas, terstruktur secara terlembaga untuk melaksanakan berbagai
aktivitasnya dibidang tertentu sebagai wadah untuk mengimbagi peran negara.
Namun, sebenarnya masih banyak terdapat beberapa bentuk organisasi
masyarakat sipil yang lahir dari lingkungan masyarakat itu sendiri seperti
kelompok swadaya masyarakat.
Menurut Polak (1971) kelompok swadaya masyarakat merupakan wadah
segenap antar hubungan sosial, terdiri atas banyak sekali kolektiva-kolektiva serta
kelompok-kelompok dan tiap kelompok terdiri atas kelompok lebih kecil atau sub
kelompok. Kelompok itu sendiri ada beberapa macam diantaranya kelompok yang
tersrtuktur dan tidak terstruktur. Kelompok yang terstruktur ialah adanya struktur
hierarki yang menunjukan kedudukan dan peranan masing-masing personil yang
19 ada dalam kelompok. Contohnya kelompok pemuda yang terorganisir, seperti
karang taruna. Sedangkan kelompok tak terstruktur hanya berupa kumpulan orang
dengan identitas yang sama seperti petani. Kelompok swadaya masyarakat dan
forum warga merupakan suatu contoh kelompok terstruktur yang juga termasuk
sebagai organisasi masyarakat sipil karena dibentuk oleh masyarakat itu sendiri
(bukan oleh negara) karena dinamikanya sendiri mempunyai kemandirian
terhadap negara.
b. Community Based Organization
Community Based Organization merupakan organisasi yang bersifat non
profit, respresentatif dari komunitas, dan melakukan pelayanan terhadap
komunitas itu sendiri disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Jadi community
based organization adalah organisasi non profit yang berasal dari sebuah
komunitas yang menyediakan pelayanan pendidikan, kesehatan, atau versi sosial
lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan nyata masyarakat. Organisasi ini
boleh di katakan sebagai organisasi dari, oleh, dan untuk komunitas.
CBO tentu berbeda dengan NGO (Non Govermental Organization)
(Kindness dan Gordon dikutip Muhammad : 2011) menyebutkan perbedaan
melalui sifat-sifat keduanya. NGO dikenal banyak orang dengan hal-hal sebagai
berikut :
a. Organisasi formal yang secara resmi dikenal sebagai organisasi yang tidak
dihubungkan dengan pemerintah (non-pemerintah)
20 b. Memiliki tujuan yang mementingkan masyarakat luas dan bukan
komersial atau mementingkan profit
c. Merekrut orang yang lebih mengutamakan nilai-nilai pengabdian dari pada
motivasi finansial.
Sedangkan CBO diasosiasikan dengan ciri yang sama, tetapi secara umum CBO
lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sesuai dengan kebutuhan
komunitasnya yang memang keanggotaanya adalah komunitas itu sendiri. CBO
mungkin secara formal terstruktur degan baik akan tetapi mungkin juga hampir
tidak terstruktur dengan baik, dan berbentuk organisasi informal. Stocker dan
Barbor-Might (Muhammad : 2011) mendiskusikan bahwa CBO sebagai Civil
Society Organization (CSO).
CBO memiliki suatu kelebihan dibandingkan organisasi biasa lainnya, yaitu
selain berbasis pada komunitas yang memiliki sentimen dan hubungan sosial kuat,
juga memiliki modal sosial yang dapat digunakan untuk pembangunan organisasi
tersebut. Modal sosial sendiri adalah paduan kepercayaan, norma, nilai dan
jaringan kerja yang dapat dipergunakan masyarakat untuk mengatasi masalah
bersama (David El Debertin dikutip Muhammad : 2011). Tidak hanya itu,
keuntungan CBO dalam proses pemberdayaan juga karena CBO jelas-jelas paham
dan komunitasnya juga merupakan pelaku kearifan lokal. Para pelaku dalam
lingkaran CBO telah dapat membentuk suatu tindakan sebagai medium agen of
change, terlebih dalam menyebarluaskan informasi dan meningkatkan kearifan
lokal mengenai bentuk kegotong royongan, simpati dan bantuan keuangan bagi
21 anggota mereka sendiri ketika salah satu dari mereka mengalami ketidakberfungsian sosial dan hal tersebut dilakukan dalam aktivitas kebersamaan.
2. Modal Sosial
Modal sosial merupakan sumber yang dapat dipandang sebagai intervensi
untuk mendapatkan sumber daya yang baru. Ketika modal sosial dapat digunakan
sebagai intervensi sumber daya baru juga meliputi untuk dapat menjadi modal
berinteraksi dengan orang lain. Modal sosial terbungkus dalam sebuah potensi dan
pola interaksi dalam sebuah kelompok dengan kelompok yang lainnya yang fokus
perhatiannya pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antara sesama
yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok. (Hasbullah :
2006). Sedangkan Berdan memberikan pengertian modal sosial adalah
serangkaian norma, jaringan, dan organisasi dimana masyarakat mendapat akses
pada kekuasaan dan sumberdaya serta dimana pembuatan keputusan dan
kebijakan dilakukan (Tim Penyusun IRE, 2004 : 110).
Kemudian Putnam mendefinisikan modal sosial adalah : “Fetures of social
organization such as network, norm, and social trust that facilitate coordination
and cooperation for mutual benefit”. Dalam penjelasanan ini Putnam menekankan
bahwa modal sosial merupakan pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki
bersama komunitas, serta pola hubungan yang memungkinkan sekelompok
individu melakukan suatu kegiatan produktif. Terminologi ini merujuk pada
organisasi-organisasi, struktur dan hubungan-hubungan sosial yang dibangun
sendiri oleh komunitas, terlepas dari intervensi pemerintah atau pihak lain.
22 Putnam menambahkan bahwa modal sosial hanya dapat dibangun ketika tiap
individu belajar untuk mau mempercayai individu lain sehingga mereka mau
membuat komitmen yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengembangkan
bentuk-bentuk hubungan yang saling menguntungkan (Setiawan dikutip
Gunawan, 2008 ).
Putnam juga mendefinisikan modal sosial merupakan ciri-ciri kehidupan
sosial-jaringan, norma, serta rasa percaya (trust) yang bisa membuat semua warga
masyarakat tersebut bertindak lebih efektif guna mencapai tujuan tertentu.
Asosiasi dalam masyarakat melibatkan hubungan tatap muka. Trust, norma
pertukaran dan kapasitas untuk civic engagement dihasilkan melalui hubungan
horizontal diantara individu masyarakat yang semuanya itu menjadi substansi
dalam masyarakat yang demokratis. Selain itu, Putnam juga menjelaskan modal
sosial sebagai : pertama, modal sosial diubah dari suatu yang didapat oleh
individu kepada suatu yang dimiliki (atau tidak dimiliki) oleh individu lain.
Kedua, modal sosial bisa dipertukarkan dengan masyarakat sipil atau modal sosial
dihasilkan dari asosiasi sukarela, organisasi non pemerintah yang berdasarkan
kepercayaan. Ketiga modal sosial menjadi sebuah hal yang secara normatif baik
dan diberikan untuk mempromosikan pemerintah yang baik dan demokratis dan
menghasilkan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi (Gunawan, 2008 : 8).
Modal sosial merupakan kumpulan atau organisasi baik formal maupun
informal. Kedua, jaringan sosial antar warga masyarakat, sosial dan norma-norma
sosial, baik bersifat formal atau informal. Ketiga, partisipasi organisasi dalam
mengontrol dan membentuk pengaturan ekonomi. Partisipasi organisasi dalam
23 mempengaruhi kebijakan publik. Keempat, kemampuan kelembagaan sosial
dalam membentuk dan mengontrol pengaturan ekonomi. Kelima, kemampuan
kelembagaan sosial dalam mengontrol kebijakan politik. Keenam, modal sosial
merupakan suatu kejayaan yang dimiliki dengan cara memperjuangkan yang
dimiliki secara kolektif meskipun dapat pula memberi mandat secara individual.
Bentuk-bentuk modal sosial :
a. Perkumpulan berbasis komunitas, profesi, usia, gender, dan hubungan
kekerabatan. Contoh : kelompok tani, nelayan
b. Kelembagaan forum warga. Contoh : rembug desa, selapanan desa
c. Kelembagaan sosial yang mengatur penegakan hukum dan etika
pergaulan.
d. Kelembagaan sosial yang mengatur penyelenggaraan aktivitas publik
contoh : syawalan, bersih desa, gotong royong.
e. Kelembagaan sosial yang mengatur produksi. Contoh subak di Bali dan
lumbung desa (Krisdyatmiko dikutip Hikmah : 2006).
Bentuk modal sosial secara garis besar dapat terbagi menjadi tiga bagian
yaitu nilai, institusi dan mekanisme
yang saling berhubungan. Modal sosial
berawal dari interaksi antar individu yang didalamnya mengandung trust, simpati
dan kewajiban. Kemudian nilai dan norma yang ada dalam masyarakat itu bekerja
melalui mekanisme saling kerjasama, dan gotong royong yang saling bersinergi
antar individu dalam institusi masyarakat. Trust atau kepercayaan merupakan
bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan sosial yang
didasarkan pada perasaan yakni bahwa yang lain akan melakukan suatu seperti
24 yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang
saling mendukung (Putnam : 1993). Tingkat pasrtisipasi masyarakat yang melalui
tindakan kolektif untuk membangun kemajuan bersama dalam sebuah institusi
sosial masyarakat akan semakin meningkat jika didasarkan kepercayaan pada
tingkat yang tinggi.
Trust memiliki pengaruh terhadap berkembangnya modal sosial berasal dari
nilai yang bersumber pada kepercayaan agama yang dianut oleh masing-masing
individu masyarakat. Pada masyarakat tradisional religius, agama dianggap
sebagai syarat mutlak dalam berbagai aturan kehidupannya. Kekuatan dari agama
tersebut menjadi sumber trust yang cukup kuat mengakar sebagai salah satu
kekuatan modal sosial mereka. Selain dari agama, trust juga berasal dari norma
yang berkaitan dengan kepatuhan anggota kelompok terhadap berbagai kewajiban
bersama yang telah menjadi kesepakatan tidak tertulis pada kelompok tersebut.
Dalam sebuah proses hubungan antar manusia, modal sosial ditopang oleh
unsur sikap partisipatif dari warga masyarakat, sikap saling memperhatikan antar
sesama, saling mempercayai yang semuanya terikat dalam sebuah norma dan nilai
sosial yang mendukungnya. Unsur modal sosial tersebut saling mendukung satu
sama lainnya yang bekerja dalam sebuah jaringan sosial masyarakat melalui
sebuah mekanisme tersendiri (Hasbullah : 2006). Hubungan sosial elemen
masyarakat dengan anggota kelompok yang lain dilakukan atas dasar prinsip
sukarela (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan keadaban
(civility). Pada kelompok masyarakat tradisional pola hubungan sosial tersebut
berdasarkan atas garis keturunan (lineage) pengalaman-pengalaman sosial turun
25 temurun (repeated social experience), dan kesamaan kepercayaan pada dimensi
ketuhanan (religious beliefs).
3. Kepemimpinan
Organisasi maupun kelompok masyarakat terbentuk karena latar belakang
dari sebuah tujuan yang akan dicapai secara bersama. Kepemimpinan dalam
organisasi merupakan ujung tombak dari keberhasilan suatu organisasi untuk
menentukan laju pertumbuhan dalam mencapai tujuan bersama. Menurut Charles
J. Keating (1986 : 9) kepemimpinan merupakan sebuah proses dengan berbagai
cara mempengaruhi orang lain atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan
bersama. Sedangkan Hadari Nawawi berpendapat dari sudut pandang organisasi
dalam pengertian bahwa setiap organisasi pasti memerlukan seseorang dengan
atau dibantu oleh orang lain. Untuk menempati posisi sebagai pemimpin.
Pemimpin merupakan orang yang menjalankan tugas pemimpin, sedangkan
kepemimpinan adalah tugasnya. Sehubungan dengan itu, dari segi organisasi
kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan mendorong sejumlah orang
agar bekerjasama dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang terarah pada tujuan
bersama (Nawawi, 1993 : 9).
Kemudian konsep kepemimpinan yang telah dirangkum oleh Sunarto
merupakan berbagai pengertian kepemimpinan dan mendefinisikan ulang bahwa
kepemimpinan merupakan serangkaian kegiatan penataan berupa kemampuan
mempengaruhi perilaku orang lain dalam situasi tertentu agar bersedia bekerja
sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang dimaksud dengan orang
26 lain sebagian besar adalah bawahan. Senada dengan kutipan tersebut, Robbin
dalam Muchlas (2008 : 318) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi sebuah kelompok menuju pencapaian tujuan
kelompok.
Pengertian kepemimpinan yang lebih rinci dirumuskan oleh Sedarmayanti (2010 :
120-121),
a. Proses mempengaruhi atau memberi contoh dari pemimpin kepada
pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
b. Seni mempengaruhi dan mengarahkan orang dengan cara kepatuhan,
kepercayaan, kehormatan, dan kerjasama yang bersemangat dalam
mencapai tujuan bersama.
c. Kemampuan mempengaruhi, memberi inspirasi, dan mengarahkan
tindakan seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang
diharapkan.
d. Melibatkan tiga hal yaitu pemimpin, pengikut, dan situasi tertentu
e. Kemampuan mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan.
Pengertian mengenai kepemimpinan sangat beragam, kepemimpinan sebagai seni
selain diungkapkan oleh Sedarmayanti, juga disampaikan oleh kedua ahli yaitu
John D. Pfiffner & Robert Presthus dalam Sutarto (2001:16) bahwa
kepemimpinan sebagai seni mengkoordinasi dan untuk memotivasi individuindivdu serta kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
27 Kemudian Rauch dan Behling mendefinisikan kepemimpinan sebagai
proses
mempengaruhi
aktivitas
dalam
mengorganisir
kelompok
untuk
keberhasilan mencapai tujuan (Rauch dan Bechling dikutip Gary A. Yukl,
1989:3). Sedangkan Kartini Kartono menyimpulkan bahwa dalam kepemimpinan
terdapat hubungan antara manusia, yaitu hubungan mempengaruhi (dari
pemimpin) dan hubungan kepatuhan-ketaatan para pengikut atau bawahan karena
dipengaruhi
oleh
kewibawaan
pemimpin
(Kartono,
1998
: 2).
Maka
kepemimpinan merupakan kegiatan yang menggerakan perasaan, pikiran dan
kehendak manusia yang menjadi pengikutnya untuk mencapai sesuatu. Oleh sebab
itu kepemimpinan adalah kunci keberhasilan dari pemimpin. Betram M Gross
dalam Thoha (2010 : 6) menyebutkan bahwa pemimpin adalah seorang yang
diharapkan melaksanakan beberapa jenis kekuasaan di dalam atau di atas suatu
organisasi. Keberadaan pemimpin dapat diasumsikan sebagai sopir yang
memegang peran untuk mengendalikan sebuah setir.
Untuk
dapat
memahami
karakteristik
pemimpin
dalam
aktivitas
kepemimpinannya, terdapat beberapa pendekatan yang dapat menjelaskan
mengenai hal tersebut salah satunya adalah pendekatan watak. Pendekatan watak
menjelaskan mengenai perilaku yang efektif dari seseorang pemimpin
diatribusikan kepada kepribadian dasar si pemimpin, seperti watak kepribadian,
agresivitas, antusiasme, kualitas pribadi seperti umur dan pengalaman, bukan
situasi dan lingkungan yang dianggap penting, namun karakteristik pribadi yang
dipertahankan lama dari pemimpin tersebut. Jika pendekatan perilaku lebih
menjelaskan mengenai perilaku pemimpin dalam mempengaruhi bawahan adalah
28 yang lebih berpengaruh terhadap keefektifan kepemimpinannya. Pendekatan
kontingensi atau situasional, menurut Hersey dan Blancahrd menyebutkan bahwa
kepemimpinan situasional merupakan teori kontingensi yang fokus pada para
pengikut atau bawahan. Kepempimpinan yang sukses bila dicapai melalui
pemilihan gaya kepemimpinan yang benar, dalam pengertian disesuaikan dengan
tingkat manuritas bawahan. Lebih lanjut tentang pendekatan kontingensi atau
situasional, Hersley dan Blanchard menyebutkan bahwa kepemimpinan
situasional merupakan teori kontingensi yang fokus pada para pengikut atau
bawahannya
(Muchlas,
2005:332).
Kepemimpinan
yang
efektif
berarti
kepemimpinan yang dijalankan oleh seorang pemimpin yang dapat membawa
orang-orang yang dipimpinnya mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.
Seorang pemimpin juga harus dapat menyesuaikan tipe kepemimpinannya dengan
kondisi dan situasi masyarakat.
Tanggung jawab dalam upaya untuk mencapai tujuan organisasi memang
terletak pada seluruh anggota, namun juga yang paling bertanggung jawab adalah
pemimpinnya. Pemimpin juga memiliki tugas dalam menentukan arah berjalannya
suatu organisasi melalui kekuasaan yang dimilikinya. Fungsi dan kemampuan
seorang pemimpin dalam aktivitas kepemimpinya adalah modal dasar untuk
membawa organisasi pada tujuan yang diinginkan. Menurut Sondang Siagian
(1994 : 47-48) fungsi kepemimpinan adalah sebgai berikut :
a. Pemimpin selaku penentu arah yang akan ditempuh dalam usaha
pencapaian tujuan
29 b. Pemimpin selaku komunikator yang efektif
c. Pemimpin selaku integrator yang efektif, rasional, objektif, dan netral.
Sedangkan peran pemimpin terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek penunjuk jalan,
aspek penggalangan dan aspek pemberdayaan :
a. Penujuk jalan
Esensi dari peran pemimpin sebagai penunjuk jalan adalah dimilikinya visi dan
misi yang kuat. Penunjuk jalan berurusan dengan masa depan
b. Penggalangan
Menggalang, berarti bahwa seseorang pemimpin diharapkan melakukan
pemastian bahwa struktur, sistem dan proses operasional organisasi mendukung
tercapainya visi dan misi organisasi di dalam memenuhi kebutuhan masyarakat
dan semua stakeholders.
c. Pemberdaya
Pemimpin harus memiliki sifat pemeberdaya. Manusia mempunyai talenta,
kecerdasan, kecerdikan dan kreativitas. Pemimpin perlu membebaskan beberapa
hal tersebut untuk mencapai visi, nilai-nilai dan misi bersama dalam melayani
masyarkaat dan stakeholders (Covey dikutip Wirjana dan Supardon , 2005:31-32).
Selain
adanya
fungsi
dan
peran
pemimpin
dalam
upaya
untuk
mempengaruhi anggota kelompok adalah cara seseorang dalam memimpin. Cara
seorang pemimpin biasanya disebut sebagai gaya kepemimpinan. Gaya
30 kepemimpinan yang digunakan seseorang akan berpengaruh kepada bawahannya
sesuai dengan kondisi masyarakat yang dihadapi. Tentunya gaya kepemimpinan
itu memiliki pengaruh besar dalam upaya mempengaruhi bawahan agar dapat
tertarik dan akhirnya terpengaruh melalukan apa yang menjadi capaian dari
seorang pemimpin.
Gaya kepemimpinan pada dasarnya adalah cara atau teknik
yang digunakan oleh seorang pemimpin dalam usaha mempengaruhi orang lain.
Untuk dapat mempengaruhi orang-orang agar bersedia diarahkan sesuai tujuan
organisasi maupun tujuan pribadinya, maka pemimpin secara berencana memilih
cara atau teknik tertentu. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang
digunakan seseorang dalam upaya mempengaruhi orang lain agar sesuai dengan
tujuan yang diinginkannya.
Gaya kepemimpinan otokratik yaitu sebuah gaya kepemimpinan yang
didasarkan pada penggunaan kekuatan, kekuasaan, dan wewenang. Sedangkan
gaya kepemimpinan demokratis lebih didasarkan pada partisipasi dari bawahan
dalam mengambil keputusan. Perilaku mengarahkan (directive) pada prinsipnya
memiliki tendensi seorang pemimpin tersebut lebih otoriter, sedangkan perilaku
mendukung mencerminkan kecenderungan pemimpin yang lebih demokratis.
Nawawi (1993 : 158-167) merumuskan gaya kepemimpinan sebagai berikut :
a. Gaya kepemimpinan ahli (expert)
Gaya kepemimpinan ahli didasarkan ada kepemilikan keahlian tertentu oleh
seorang pemimpin sesuai dengan bidang yang menjadi tugas pokok atau pekerjaan
utana di lingkungan organisasi. Gaya kepemimpinan ahli cenderung hampir sama
31 dengan kepemimpinan otoriter, ini terjadi karena pemimpinan merasa mampu atau
ahli dalam aktivitasnya, sehingga mengabaikan masukan, saran, inisiatif, dan
kreatifitas bawahan. Setiap keputusan selalu dinilai yang terbaik, dan apabila
masukan terbatas hanya dari seseorang yang setara dengan keahliannya.
b. Gaya kepemimpinan kharismatik
Kepemimpinan kharismatik diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi orang
lain dengan mendayagunakan keistimewaan atau kelebihan dalam sifat atau aspek
kepribadian pemimpin. Maka akan menimbulkan rasa hormat, rasa segan, dan
kepatuhan yang tinggi dari pengikut. Pemimpin dapat diterima karena pengaruh
kepribadian yang dapat menimbulkan kepercayaan pada kepemimpinannya,
sehingga bawahan rela dan ikhlas pada semua keputusan, pengarahan, bimbingan,
petunjuk, nasehat, perintah dan larangannya.
c. Gaya kepemimpinan paternalistik
Kepemimpinan paternalistik adalah gaya kepemimpinan dimana pemimpin dalam
menjalankan perannya diwarnai dengan sikap melindungi, mengayomi, dan
menolong anggota organisasi yang dipimpinnya. Pemimpin merupakan tempat
bertanya dan menjadi tumpuan harapan bagi pengikutnya dalam menyelesaikan
masalah.
4. Kelompok Kepentingan
Kelompok kepentingan muncul sebagai alat untuk menyampaikan dan atau
memperkuat metode penyampaian tuntutan anggota masyarakat terhadap
32 pemerintah yang berkuasa. David Truman mendefinisikan kelompok kepentingan
adalah sebuah kelompok yang berdasar pada satu atau berbagai kepentingan dan
merupakan gabungan dari individu atau kelompok atau organisasi lain di sebuah
lingkungan (Hrebenar-Scott, 1982:3). Salah satu alasan terbentuknya kelompok
kepentingan adalah sebagai group of patronage individual.
Kelompok kepentingan sebagai group of patronage individual cenderung
muncul pada lingkungan yang menganut sistem patronase dalam kehidupan sosial
budaya ekonominya. Kelompok kepentingan ini muncul sebagai alat untuk
melanggengkan kepentingan dari beberapa tokoh saja, yang kemudian
menggunakan anggota dan kelompok kepentingan sebagai legitimasi untuk
melakukan artikulasi terhadap kepentingannya. Hubungan patronase yang terjalin
dalam sebuah kelompok kepentingan ini tentu saja digunakan para patron untuk
mencapai kepentingan individu mereka, khususnya dalam hal politik berlandaskan
pada hubungan pribadi antara pihak-pihak yang tidak setara antara pimpinan
(patron) dan pengikutnya (client). Masing-masing pihak mempunyai sesuatu
untuk ditawarkan, client menawarkan dukungan politik dan penghormatan kepada
patron yang ditampilkan dalam berbagai bentuk simbolis (sikap kepatuhan,
bahasa yang hormat, hadiah dan lain-lain), dan di sisi lain, patron menawarkan
kebaikan, pekerjaan, dan perlindungan kepada clientnya ( Burke 2001:106).
Konsepsi masyarakat yang menganut sistem patronase, loyalitas adalah hal
yang mudah dihubungkan. Client memberikan loyalitas pada patron yang
biasanya memiliki sumber daya, dan patron memberikan jaminan serta
perlindungan terhadap clientya. Pada kondisi yang demikian maka bergabungnya
33 individu atau organisasi lain dalam sebuah kelompok kepentingan lebih
bermaksud untuk menunjukan loyalitas si client terhadap patron yang menjadi
tokoh atau elit dalam sebuah kelompok kepentingan, loyalitas menjadi hal yang
sangat penting dibanding ideologi maupun prinsip politik seseorang (NoceMiskelly dikutip Suharmadhi Primi, 2012). Hal ini kemudian yang mengakibatkan
timbulnya pergeseran suatu kelompok awalnya untuk kepentingan bersama
menjadi kepentingan sekelompok kecil atau tokoh tertentu.
Pembentukan kelompok kepentingan yang berdasarkan atas patronage
individual ini biasanya terbentuk akibat keloyalan ataupun kepatuhan client yang
serta merta ikut bergabung dalam kelompok yang dibentuk oleh patron. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ideologi pun tidak lagi menjadi hal yang
utama, jaminan yang diberikan oleh patron yang menjadi hal yang utama, jaminan
yang diberikan oleh patron yang menjadi pengikat bagi klien untuk tetap berada
pada lingkungan kelompok kepentingan tersebut.
Ketika kelompok kepentingan telah mendapat pengaruh patronase yang
kuat, maka kemungkinan kelompok kepentingan tersebut berubah dari yang
awalnya bersifat demokratis menjadi oligarkis dan elistis menjadi sangat besar.
Perubahan ini kemudian dapat dilihat manakala : (1) adanya penguasaan oleh
orang kuat dan elit oligarkis; (2) terdapat kesenjangan visi, misi, dan tujuan
kelompok yang demokratis ternyata diaplikasikan dalam konteks politik yang
tidak demokratis; (3) kelompok yang mengidealkan dan mengandalkan
kepemimpinan yang kolektif kolegial tetapi dalam realitasnya, kelompok
didominasi elite tertentu; (4) kelompok yang mengusung pluralitas dan inklisifitas
34 tetapi dalam kenyataannya didominasi kelompok tenrtentu saja; (5) kelompok
dalam retorikanya sering dikatakan sebagai kelompok yang demokratis, tetapi
dalam realitasnya tidak menyediakan ruang yang cukup memadai bagi terjadinya
pergulatan kompetitif antar elit meperebutkan kekuasaan; (6) kelompok yang
menyediakan seperangkat aturan main yang dipakai koridor mengatur agar sistem
dan mekanisme partai berjalan demokratis, tetapi dalam kenyataannya aturan
main yang berupa AD/ART dan aturan lainnya banyak diabaikan dan dilanggar
atas kemauan dan kepentingan elit tertentu (7) kelompok yang didominasi elit
tertentu yang tidak memberi kesempatan-bahkan menghambat terjadinya proses
pergantian pemimpin secara kontinyu dan ajeg yang berlangsung damai (Jainuri ,
2010 : 48-49).
5. Pergeseran Orientasi Masyarakat Sipil dari Aktivitas Sosial-Religius
Mengarah ke Gerakan Politik
Pergeseran orientasi pada masyarakat sipil mulai terjadi pada organisasiorganisasi masyarakat yang pada awalnya melakukan kegiatan sosial hingga pada
akhirnya masuk ke ranah politik. Aktivitas sosial tersebut mencangkup bentuk
kegiatan masyarakat yang ditujukan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi
dalam memenuhi konsep manusia sebagai makhluk sosial untuk saling membantu
di lingkungan sekitar. Kehidupan di masyarakat lokal masih banyak menyimpan
nilai dan kearifan lokal yang selalu dilakukan secara konsisten. Terlebih pada
masyarakat lokal yang menyimpan nilai religiusitas yang tinggi. Nilai budaya
kemasyarakatan tersebut erat dengan sebuah kegiatan sosial dan religius yang
dianut masyarakat selama ini. Religiusitas menurut Manunwijaya (1982:12)
35 mengandung makna yang berarti mengikat, bahwa dalam religi atau agama pada
umumnya memiliki aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi
dan dilaksanakan oleh pemeluknya dan semua itu berfungsi untuk mengikat
seseorang atau kelompok orang dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia
dan alam sekitarnya.
Pergerakan sebuah organisasi juga tidak akan terlepas dari kegiatan
berpolitik. Menurut Rod Hangue (dikutip Budiardjo, 2008 : 16) politik adalah
kegiatan yang mencangkup cara bagaimana kelompok-kelompok mencapai
keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha yang
mendamaikan perbedaan-perbadaan di antara anggota-anggotanya. Maka dapat
dikatakan kegiatan politik dalam kehidupan bermasyarakat khususnya dalam
berorganisasi tentu tidak dapat terlepaskan, meski organisasi itu juga bergerak di
bidang non politik. Pergeseran yang terjadi pada organisasi masyarakat sipil dari
non politik mengarah pada gerakan politik ditujukan akan adanya bentuk aktivitas
politik untuk memperebutkan sebuah kekuasaan.
Sedangkan kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau kelompok
untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau kelompok lain sesuai dengan
keinginan para pelaku. Hal ini dikatakan juga oleh Harold D Laswell dan Abraha
Kaplan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau
sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain ke
arah tujuan dari pihak pertama (Budiardjo, 2008:60). Adanya bentuk keinginan
mencapai sebuah kekuasaan yang diakibatkan oleh faktor kepentingan
mengakibatkan munculnya pergeseran aktivitas politik. Pada awalnya dalam
36 sebuah organisasi non politik melakukan kegiatan politik untuk dapat berupaya
mencapai kebaikan dan tujuan bersama. Aktivitas ini tentu berbeda dengan
kegiatan yang dilakukan para partai politik sebab memang mereka bergerak di
bidang politik. Akan tetapi orientasi tersebut bergeser ketika organisasi
masyarakat sipil non politik berupaya untuk melakukan gerakan politik dalam
merebut kekuasaan dari sebuah kepentingan oknum di dalamnya.
Gerakan politik dapat terbentuk dari dorongan partisipasi politik. Secara
umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau
kelompok orang yang ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain
dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung,
mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencangkup tindakan seperti
memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan
hubungan (contracting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota
parlemen, atau anggota partai (Budiardjo, 2008:367). Maka dari hal tersebut
dapat memunculkan sebuah gerakan politik yang terorganisir dalam berpartisipasi
politik salah satunya dengan ikut serta dalam proses pemilihan umum.
Perkembangan
masyarakat
sipil
kini
tidak
lagi
secara
konsisten
menempatkan diri sebagai pengontrol gerakan-gerakan politik dan penyelenggara
kekuasaan. Masyarakat sipil tidak hanya memperjuangkan paltform tetapi juga
secara aktif memperjuangkan seseorang untuk menjadi pemegang kekuasaan.
Untuk mewujudkan pemerintahan demokratis atau tatanan hukum itu, masyarakat
sipil harus bertindak secara riil, membantu orang-orang terbaik untuk memimpin
pemerintahan, bahkan mengambil bagian dalam proses penyelenggaraan
37 kekuasaan dengan menduduki posisi-posisi strategis. Konsekuensinya, batas
antara aktivis sosial dan aktivis politik akan melebur, dan kalangan masyarakat
sipil harus siap menghadapi perubahan pandangan masyarakat (Sudibyo : 2014).
Civil society yang merupakan kelompok masyarakat dengan memiliki
kemandirian yang tegas terhadap berbagai kepentingan akan kekuasaan, maka
tidak kalah penting dalam konsep civil society terdapat adanya partisipasi aktif
dari semua warga negara yang baik tergabung dalam berbagai perkumpulan,
organisasi atau kelompok lainnya sehingga akan membentuk karakter demokratis
di lembaga tersebut (Cohen : 2003). Bentuk partisipasi masyarakat sipil adalah
perwujudan dari adanya demokrasi yang telah terbangun. Ketika masyarakat sipil
sudah mulai berperan aktif dalam mengontrol negara tentu diperlukan pelibatan
secara langsung. Hal ini berarti wujud pengembalian hak-hak rakyat sebagai
stakeholders di dalam keikutsertaan dalam pengambilan keputusan sehingga
menunjukan keterikatan antara demokrasi melalui partisipasi sosial maupun
politik.
Pergeseran yang terjadi di dalam organisasi masyarakat sipil khususnya
yang berorientasi sosial religius untuk mengarah pada gerakan politik dapat
terlihat dari adanya muatan politik pada kegiatan yang berlangsung setelah
mereka memiliki tujuan politik. Kembali pada konsep civil society yang
disampaikan oleh Diamond (1994) yang memberikan kontribusi besar bagi
tumbuhnya demokrasi. Civil society menyediakan wahana sumber daya politik,
ekonomi, kebudayaan dan moral untuk menjaga dan mengawasi keseimbangan
negara. Memperkaya peranan partai-partai politik dalam hal partisipasi politik,
38 meningkatkan efektivitas politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan
(citizenship). Terlebih pergeseran itu diselimuti oleh tujuan politik dalam merebut
kekuasaan melalui kepentingan individu, dan tidak lagi berperan sebagai kontrol
politik tetapi sebagai alat politik untuk membentuk suatu gerakan.
Partisipasi politik, secara umum diartikan sebagai aksi sukarela
(voluntarily) untuk mengubah keadaan atau kebijakan publik (Barnes, Kaas, 1978
dikutip Jahidi, 2004). Partisipasi politik terbagi menjadi dua, yaitu partisipasi
politik itu sendiri dan partisipasi sosial. Partisipasi sosial didefinisikan sebagai
keterlibatan warga negara dalam kehidupan sosial atau civic community. Dengan
kata lain, keterlibatan warga atau civic engagement dalam kelompok sosial
menjadi ruhnya partisipasi sosial. Kelompok sosial itu sendiri ditandai oleh dua
aktivitas. Pertama, intensitas partisipasi dalam memecahkan masalah sosial
antarwarga negara. Artinya, sesama warga negara memiliki kepedulian dan
tindakan konkret menyelesaikan masalah-masalah sosial kemasyarakatan di
sekitar mereka dengan melakukan aksi atau kegiatan kolektif (collective action).
Kedua, kelompok sosial ditentukan oleh intensitas dalam membentuk organisasi
sosial. Aktivitas sosial yang kedua ini jelas membutuhkan skill atau keterampilan,
adanya aspek kepemimpinan (leadership), memiliki pengetahuan dasar tentang
keorganisasian dan tahu bagaimana menjalankannya, mempunyai syarat-syarat
atau elemen pokok organisasi dan lain-lain. Seberapa jauh suatu intensitas warga
membentuk kelompok atau organisasi sosial biasanya ditentukan oleh seberapa
kuat jaringan sosial terbentuk dan seberapa besar keterlibatan dalam komunitas
39 untuk membicarakan masalah-masalah publik terjalin di antara sesama warga
(Jahidi : 2004).
Partisipasi politik paling tidak mencakup beberapa dimensi: mengikuti
pemilihan umum (voting), kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kampanye
dan partai politik (kegiatan kampanye), kegiatan-kegiatan sosial di tingkat
kemasyarakatan (kegiatan sosial), dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan
protes dan demonstrasi (protes). Partisipasi dalam kampanye, misalnya
menghadiri kampanye model monologis atau dialogis, menyebarluaskan atribut
partai kepada orang lain, ikut dalam pawai yang diselenggarakan partai politik
yang sedang berkampanye, menonton atau mendengarkan program kampanye
partai di televisi atau radio. Oleh karena itu, seseorang yang ikut kampanye
membuktikan tingkat kepedulian yang lebih baik ketimbang mencoblos pemilu
karena partisipasi politik juga ditentukan oleh seberapa besar tingkat partisanship
warga. Turut serta dalam kampanye partai politik menunjukkan keingintahuan
(curiosity) seseorang terhadap program partai sebelum ia menjatuhkan pilihan
suaranya dalam perhelatan pemilu (Jahidi : 2004).
Berdasarkan bentuk partisipasi politik kelompok masyarakat yang
teroganisir memberikan cermin dimana kini masyarakat telah mulai untuk
melakukan sebuah pergerakan yang berorientasi politik. Selain ketika mereka
dapat
berkecimpung
langsung
dalam
kampanye
atau
berupaya
untuk
mempengaruhi kebijakan tentu hal tersebut akan membentuk sebuah gerakan
politik. Salah satu bentuk gerakan politik adalah gerakan massa yang sering kali
dianggap wujud prematur dari bentuk-bentuk aktualisasi politik yang lain seperti
40 unjuk rasa. Menurut Eric Hoffer (1998) gerakan massa merupakan gerakan yang
lebih banyak dicirikan oleh terbangkitnya kerelaan para anggotanya untuk
berkorban sampai mati, kecenderungan untuk beraksi secara kompak, memiliki
fanatisme,
antusiasme,
harapan
yang
berapi-api,
kebencian,
intoleransi,
kepercayaan buta dan kesetiaan tunggal.
Pergeseran orientasi ini tentunya tidak serta merta berubah begitu saja.
Meskipun sebenarnya masyarakat sipil dan partai politik ini telah terbangun
hubungan yang saling menghargai, menghormati dan memahami keberadaan akan
perannya dalam kehidupan politik. Akan tetapi setiap perubahan yang terjadi pasti
memiliki latar belakang dan alasan tersendiri jika memang hal itu berisikan
sebuah kepentingan.
41 Pergeseran orientasi masyarakat sipil dari sosial-religius ke arah
gerakan politik
Karakter masyarakat
sipil :
1. Otonom
2. kesukarelaan
(voluntary),
3. keswasembadaan
(self supporting) 4. keswadayaan Karakteristik civil society
berorientasi gerakan politik
pergeseran
Organisasi Masyarakat
Sipil yang berorientasi
pada sosial-religius maka
memiliki adanya sebuah
ikatan kebersamaan
dalam konteks
kepercayaan dengan
melaksanakan upacara
keagamaan,meningkatkan
kearifan lokal mengenai
bentuk kegotong
royongan, simpati dan
bantuan keuangan,
kesehatan, disesuaikan
dengan kebutuhan nyata
masyarakat.
KePemimpinan
1. Adanya aktivitas
yang
menghubungkan
partai politik dan
civil society
2. Adanya hubungan
dalam konteks
seberapa dekat dan
ekslusif hubungan
tersebut dibangun
3. Adanya arah yang
dibangun dalam
sebuah relasi antara
civil society dan
partai politik
(Beavis : 2004)
4. Memonitor janjijanji kampanye para
kandidat saat
kampanye
5. Menyediakan para
aktor dan
pemimpinya
sebagai kandidat
yang mumpuni
dalam ajang
pemilihan umum
6. Memobilisasi para
pemilih (Aditya :
2009)
42 
Download