ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK

advertisement
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH PELAJAR SEKOLAH
(Putusan Nomor : 22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk)
(Jurnal)
Oleh
FEISAL RAMADHAN
11121011121
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2016
ABSTRAK
ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH PELAJAR SEKOLAH
(Putusan Nomor: 22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk)
Oleh
Feisal Ramadhan, Tri Andrisman, S.H., M.Hum., Budi Rizki Husin, S.H., M.H.
(Email : [email protected])
Pelajar sekolah merupakan generasi penerus bangsa, yang memerlukan bimbingan,
apabila pelajar tidak dapat dibimbing maka akan terjadi sebuah pergolakan pada diri
pelajar yaitu kenakalan remaja, kenakalan yang dapat di tolelir berubah menjadi
tindakan kriminal, yaitu tindak pidana pembunuhan. Adapun dari latar belakang tersebut
memiliki rumusan masalah : 1). Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelajar sekolah yang melakukan tindak pidana
pembunuhan? 2). Apakah putusan hakim dalam tindak pidana pembunuhan terhadap
pelajar sekolah sudah sesuai dan memiliki rasa keadilan?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridisempiris dan yuridis normatif, sedangkan
responden yang digunakan terdiri dari hakim pengadilan negeri tanjung karang, dan
akademisi fakultas hukum unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi
pustaka dan studi lapangan. Analisis data yang digunakan secara kualitatif.
Dasar Pertimbangan Hakim dalam penjatuhan pidana kepada anak, hakim hanya
melihat atau memandang perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh anak. Serta hakim
hanya menjalankan kewajibannya berdasarkan UU yang telah ditetapkan dan yang
menurutnya adil bagi masyarakat dan korban.Namun disisi lain hakim tidak memikirkan
dampak negatif apa yang akan terjadi dari hukuman pidana 10 (sepuluh) tahun penjara
yang telah diberikan kepada anak.hakim dalam menjatuhkan cenderung menggunakan
pertimbangan yang bersifat yuridis. Sedangkan pertimbangan non yuridis tidak
dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan no
22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk yang didasarkan pada sosiologis, psikologis,
kriminologis, dan filosofis anak tersebut tidak digunakan.
Saran dalam penelitian ini: 1). Hakim harus memperhatikan dan mempertimbangkan
kembali dalam memberikan hukuman 10 tahun penjara yang dapat mengakibatkan
turunnya mental anak dikarenakan anak masih tergolong dibawah umur. 2). Hakim
masih harus melihat kembali dampak yang akan terjadi pada anak karena hukuman 10
tahun penjara.
Kata Kunci : Putusan Hakim, Pembunuhan, Pelajar.
ABSTRACT
JURIDICAL ANALYSIS ON VERDICT OF MURDER COMMITTED
BY STUDENTS (Decision No. 22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk)
By
Feisal Ramadhan, Tri Andrisman, S.H., M.Hum., Budi Rizki Husin, S.H., M.H.
(Email : [email protected])
School students are the future generation who still need guidance; if they are failed to be
guided, there will be an upheaval in their inner selves, that is delinquency, which may
turn into a criminal act, like murder. The background of problems above are formulated
as follows: 1). What is the basic consideration of the judge in imposing punishment on
students committed murder? 2). Is the judge's ruling in criminal act of murder
committed by students already appropriate and fair?
This study used empirical and normative approaches, while the respondents consisted of
a Judge of Tanjung Karang District Court and an academician of Law Faculty of
Lampung University. The data collection were gathered through library research and
field study and the data analysis were done qualitatively.
The rationale judgment of the judges in imposing punishment to the juvenile was
merely based on the action of crime committed by the students. The judges only
perform their obligations under the Act that has been established and which they assume
the verdict was fair for the society and the family victim. However, the judges failed to
assume the negative impact of criminal penalties of 10 (ten) years of imprisonment
sentenced to the students. It was clear that the judges tend to apply juridical
considerations in decision making process. While they did not consider non-juridical
considerations in decisions No. 22 / Pid.Sus.Anak / 2016 / PN.Tjk which actually
should be based on sociological, psychological, criminological, and philosophical of the
juveniles.
The researcher suggest that: 1). The judges must consider and reconsider the
punishment of 10 years imprisonment which may lead to mental decline in children
because they are still relatively minor. 2). The judges must reconsider the impact that
would occur in children as they are living for 10 years in prison.
Keywords: Verdict, Murder, Student.
I.
PENDAHULUAN
Anak adalah generasi muda sebagai
salah satu sumber daya manusia yang
merupakan potensi dan penerus cita-cita
perjuangan bangsa, yang memiliki
peranan strategis dan mempunyai ciriciri dan sifat khusus, memerlukan
pembinaan dan pengarahan dalam
rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, dan sosial
secara utuh serasi, selaras, dan
seimbang.Bahwa untuk melaksanakan
pembinaan
dan
memberikan
perlindungan terhadap anak diperlukan
dukungan, baik yang menyangkut
kelembagaan maupun perangkat hukum
yang lebih mantap dan memadai.
Pandangan
ini
mengimplikasikan
bagaimana perilaku kita terhadap para
pelajar, yaitu menciptakan situasi yang
kondusif agar berkembang ke arah yang
bermanfaat bagi dirinya, keluarga,
bangsa dan negara. Apabila beberapa
hal tersebut tidak bisa kita laksanakan
dengan baik maka akan terjadi suatu
pergolakan bagi pelajar itu sendiri yaitu
kenakalan remaja.
Anak merupakan amanah dari Tuhan
Yang Maha Esa yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai
manusia
seutuhnya.Setiap
anak
mempunyai harkat dan martabat yang
patut dijunjung tinggi dan setiap anak
yang terlahir harus mendapatkan hakhaknya tanpa anak tersebut meminta.
Hal ini sesuai dengan ketentuan
Konvensi Hak Anak (Convention on the
Rights of the Child) yang diratifikasi
oleh pemerintah Indonesia melalui
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun
1990, kemudian juga dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak dan
Undang –Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak yang
kesemuanya mengemukakan prinsip-
prinsip umumperlindungan anak, yaitu
non diskriminasi, kepentingan terbaik
bagi anak, kelangsungan hidup dan
tumbuh kembang, dan menghargai
partisipasi anak.1
Bentuk-bentuk kenakalan remaja berupa
tindak
pidana
kekerasan
yang
sebelumnya dapat ditolerir, dan
dianggap wajar ternyata telah berubah
menjadi tindakan-tindakan kriminal
yang
sangat
mengganggu
dan
meresahkan masyarakat ,salah satu
tindakankriminal yang dilakukanyaitu
pembunuhan. Pembunuhan adalah
setiap perbuatan yang dilakukan dengan
sengajauntuk menghilangkan/merampas
nyawa orang lain.anak yang melakukan
tindakan kriminal itu pada umumnya
kurang memiliki kontrol diri tersebut
dan suka menegakkan standar tingkahlaku sendiri, di samping meremehkan
keberadaaan orang lain dan disertai
unsur-unsur mental dengan motif-motif
subyektif, yaitu untuk mencapai satu
obyek
tertentu
dengan
disertai
kekerasan. Biasanya anak-anak tersebut
sangat egoistis, dan suka sekali
menyalahgunakan dan melebih-lebihkan
harga dirinya.Sebelum berlakunya UU
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, pengaturan mengenai anak hanya
diatur dalam Pasal 45, Pasal 46, Pasal
47 KUHP. Dengan diundangkannya UU
No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak dinyatakan tidak berlaku lagi oleh
Pasal 67 UU No. 3 Tahun 1997, yang
isinya menyatakan: “Pada saat mulai
berlakunya undang-undang ini, maka
Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47 Kitab
Undang-Undang
Hukum
Pidana
dinyatakan tidak berlaku lagi”. Dengan
demikian, ketentuan yang mengatur
tentang anak yang melakukan tindak
pidana harus mengacu pada ketentuan1
http://anjarnawanyep.wordpress.com-konseprestorative-justice, diakses melalui internet pada
tanggal 6 Juni 2014, pukul 22.00 wib.
ketentuan dalam UU No. 3 Tahun 1997.
Pengertian anak menurut Pasal 1 angka
1 UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, yaitu : “Anak adalah
orang yang dalam perkara anak nakal
telah mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun, dan belum pernah
kawin”.2
Berdasarkan
Putusan
Mahkamah
Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010,
maka anak dalam UU Pengadilan Anak
mengalami perubahan menjadi: anak
adalah “orang yang dalam perkara anak
nakal telah mencapai umur 12 (dua
belas) tahun tetapi belum mencapai 18
(delapan belas) tahun dan belum pernah
kawin.3 UndangUndang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak Pasal 1 Ayat (3)
menyebutkan bahwa anak yang
berkonflik dengan hukum yang
selanjutnya disebut anak adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas),
tetapi belum mencapai 18 (delapan
belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana. Terkait tindak pidana
pembunuhan yang dilakukan oleh
pelaku anak terhadap anak merupakan
suatu tindakan untuk menghilangkan
nyawa seseorang dengan cara yang
melanggar hukum. Tindak pidana
pembunuhan di atur dalam bab XIX
Buku ke-II yakni dimulai dari Pasal
338, Pasal 339, Pasal 340, Pasal 341,
Pasal 344, Pasal 345, Pasal 346, Pasal
359
KUHP,
yang
selanjutnya
dikategorikan
sebagai
kejahatan
terhadap nyawa.
Melihat dari sebuah contoh kejadian
nyata, pada zaman sekarang nyatanya
anak sudah berani melakukan tindak
2
Tri Andrisman, Hukum Peradilan Anak,
Bandar Lampung: Fakultas Hukum Unila, 2013,
hlm. 38.
3
Ibid., hlm. 39.
pidana pembunuhan.contohnya seperti
pelajar sma di bandar lampung yang
tega melakukan pembunuhan kepada
pelajar sma lain dan mengakibatkan
terbunuhnya pelajar tersebut dengan
107 tusukan. Kejadian itu di latar
belakangi permasalah asmara, dan
pelaku karna perbuatannya dikenakan
pasal
340
tentang
pembunuhan
berencana dan karena pelaku masih
dibawah umur hukuman berpedoman
pada Undang-Undang no.11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
AnakPasal 81 ayat (6) jika tindak
pidana yang dilakukan anak merupakan
tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, pidana yang dijatuhkan adalah
pidana penjara paling lama 10 tahun
penjara.
Berdasarkan hal tersebut di atas, pada
kasus yang terdapat dalam penulisan
ini, terdakwa dipengaruhi oleh faktor
intern yaitu mencari identitas/jati diri
dan sedang berada dalam masa puber
jika dilihat dari usianya yang berusia 17
(tujuhbelas) tahun, sehingga tingkat
egonya masih tinggi serta pemikirannya
yang masih belum stabil (labil) dan
tidak berpikir panjang, sehingga ia
memiliki pemikiran untuk merencanakan suatu pembunuhan berencana yang
dilatarbelakangi oleh dendam yang
membuat ia melakukan pembunuhan
dengan direncanakan terlebih dahulu.
Pelajar atau anak pada kasus ini harus
mempertanggungjawabkanperbuatannya
yang menghilangkan nyawa orang lain
serta perbuatan yang telah direncanakan
terlebih dahulu, faktor dendam karena
terlalu kesal yang di latarbelakangi
kisah asmara yang menjadikannya
memiliki niat dan merencanakan untuk
menghabisi nyawa korban. Faktor jauh
dari orangtua dan pemikiran yang
belum dapat berpikir panjang akan
perbuatannya, menjadikannya bertindak
melakukan perbuatan yang melawan
hukum. Melakukan tindak pidana
pembunuhan berencana pada sesama
pelajar
yang
berakibat
korban
meninggal dunia karena mengalami 107
luka tusukan yang disebabkan oleh
terdakwa.
Secara psikologis jika dilihat dari segi
kejiwaan sang anak yang masih berusia
17
(tujuh
belas)
tahun,
yang
melatarbelakangi
anak
tersebut
melakukan perbuatan tindak pidana
dapat juga dilatarbelakangi oleh
perkembangan jiwa yang masih labil
mengenai persoalan asmara, sehingga ia
mengalami sedikit tekanan terutama
tekanan emosional yang mengakibatkan
memiliki pemikiran jangka pendek
untuk melampiaskan kekesalannya dan
tidak dapat berpikirjangka panjang
sehingga muncul pemikiran untuk
menghabisi nyawa korban. Berdasarkan
latar belakang tersebut maka akan
dilakukan penelitian yang berjudul
“Analisis
Yuridis
Putusan
HakimTerhadap Tindak Pidana
pembunuhan yang dilakukan oleh
pelajar sekolah (Studi Putusun
Nomor:
22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.
Tjk).
Berdasarkan
uraian
yang
telah
dikemukakan pada latar belakang
diatas,
maka
yang
menjadi
permasalahan dalam penulisan ini
sebagai berikut :
1.
2.
Apakah yang menjadi dasar
pertimbangan
hakim
dalam
menjatuhkan
pidana
terhadap
pelajar sekolah yang melakukan
tindak pidana pembunuhan(Studi
Putusun Nomor: 22/Pid.Sus.Anak
/2016/PN.Tjk)?
Apakah putusan hakim dalam
tindak
pidana
pembunuhan
terhadap pelajar sekolah sudah
sesuai dan memiliki rasa keadilan
(Studi
Putusun
Nomor:
22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk)?
Pendekatan masalah dalam penelitian
yang digunakan oleh penulis adalah
pendekatan masalah yuridis normatif
dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis
normatif adalah pendekatan masalah
yang didasarkan pada peraturan
perundang-undangan, teori-teori dan
konsep-konsep
yang
berhubungan
langsung dengan penelitian ini.
Pendekatan yuridis empiris adalah
dengan
mengadakan
penelitian
langsung ke lapangan, yaitu dengan
melihat fakta-fakta yang ada dalam
praktek mengenai pelaksanaannya. Jenis
data yang digunakan dalam penelitian
ini dibagi dalam dua jenis yaitu: Data
Primer dan Data Sekunder. Analisis
data
yang
dipergunakan
dalam
penelitian ini adalah analisis kualitatif
dan penarikan kesimpulan dilakukan
dengan
metode
induktif,
yaitu
menguraikan hal-hal yang bersifat
khusus lalu menarik kesimpulan yang
bersifat
umum
sesuai
dengan
permasalahan yang dibahas dalam
penelitian.4
II. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam
Menjatuhkan
Pidana
Pembunuhan yang Dilakukan
pelajar sekolah
Tujuan pemidanaan hukum bukan
merupakan suatu hal yang baru, tetapi
dampak
dari
pemidanaan
yang
berkenaan dengan kelanjutan kehidupan
terpidana,
khususnya
dampak
stigmatisasi terhadap terpidana dan
keluarganya, menumbuhkan aliranaliran dalam hukum pidana yang lebih
baru yang mengkreasi jenis-jenis pidana
4
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian
Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1983, hlm.112
lain yang dianggap lebih menghormati
harkat dan martabat manusia, di
samping ingin mencapai tujuan
pemidanaan itu sendiri. Penjatuhan
sanksi pidana harus merupakan hal yang
paling penting dipertimbangkan hakim,
karena
menyangkut
kepentingankepentingan tersebut.
Kekuasaan Kehakiman dalam proses
peradilan pidana berperan sebagai pihak
yang memberikan pemidanaan dengan
tidak mengabaikan hukum atau norma
serta peraturan yang hidup dalam
masyarakat, sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 Undang-Undang No. 48 Tahun
2009 sebagai berikut:
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
Tentang
Kekuasaan
kehakiman
mengatur bahwa hakim bebas dalam
menjatuhkan putusan, namun Pasal 50
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
tentang
Kekuasaan
Kehakiman
menentukan hakim dalam memberikan
putusaan harus memuat alasan-alasan
dan dasar-dasar putusan itu, juga harus
memuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan-peraturan yang bersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis ysng
dijadikan dasar untuk mengadili.
“Hakim dan Hakim Konstitusi
wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.”
Hakim sebelum menjatuhkan putusan,
terlebih dahulu harus mempertimbangkan mengenai salah tidaknya seseorang
atau benar atau tidaknya suatu peristiwa
dan kemudian memberikan atau
menentukan hukumannya. Menurut
sudarto
hakim
memberikan
keputusannya mengenai hal-hal sebagai
berikut:
a. Keputusan mengenai peristiwa, ialah
apakah terdakwa telah melakukan
perbuatan
yang
dituduhkan
kepadanya;
b. Keputusan mengenai hukumannya,
ialah apakah perbuatan yang
dilakukan terdakwa ini merupakan
suatu tindak pidana dan apakah
terdakwa bersalah dan dapat
dipidana;
c. Keputusan mengenai pidananya,
apabila terdakwa memang dapat
dipidana.
Hakim berdasarkan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Masalah penjatuhan pidana sepenuhnya
merupakan kekuasaan dari hakim.
Hakim dalam menjatuhkan pidana
wajib berpegangan pada alat bukti yang
mendukung
pembuktian
dan
keyakinannya, sebagaimana diatur
dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah dan
memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukan.”
Pasal 183 KUHAP tersebut menentukan
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana harus memenuhi dua
persyaratan yaitu dua alat bukti sah
yang ditentukan secara limitatif di
dalam Undang-Undang dan apakah atas
dasar dua alat bukti tersebut timbul
keyakinan hakim akan kesalahan
terdakwa. Undang-Undang No. 48
Tahun 2009 menegaskan tugas hakim
adalah untuk menegakkan hukum dan
keadilan
berdasrkan
Pancasila,
Sehingga putusannya mencerminkan
rasa keadilan rakyat Indonesia. Pasal 24
ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun
1945 menegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
menjamin kebebasan hakim dalam
menjatuhkan putusan, hakim selain
mempunyai
kebebasan
dalam
menentukan jenis pidana (strafsoort),
ukuran pidana atau berat ringannya
pidana (strafmaat) dan cara pelaksanaan
pidana (straf modus). Hakim juga
memiliki kebebasan untuk menemukan
hukum
(rechatsvinding)
terhadap
peristiwa yang tidak diatur dalam
undang-undang.
Berdasarkan
wawancara
dengan
Syamsudin bahwa tugas hakim adalah
menjatuhkan putusan yang mempunyai
akibat hukum bagi pihak lain. Hakim
tidak dapat menolak menjatuhkan
putusan apabila perkaranya sudah mulai
diperiksa. Bahkan perkara yang telah
diajukan kepadanya tetapi belum mulai
diperiksa tidak mungkin
hakim
menolaknya. Putusan yang dijatuhkan
oleh hakim harus sesuai dengan tujuan
dari hukum. Secara teoritis, terdapat
tiga tujuan hukum, yaitu keadilan,
kepastian dan kemanfaatan. Keadilan
dapat dilakukan sebagai tujuan utama
yang bersifat universal.
Keadilan adalah perekat tatanan
kehidupan bermasyarakat yang beradab.
Hukum diciptakan agar setiap individu
anggota masyarakat dan penyelenggara
negara melakukan suatu tindakan yang
diperlukan untuk menjaga ikatan sosial
dan mencapai tujuan kehidupan
bersama atau sebaliknya agar tidak
melakukan suatu tindakan yang dapat
merusak tatanan keadilan. Tindakan
yang diperintahkan tidak dilakukan atau
suatu larangan dilanggar, tatanan sosial
akan terganggu karena terciderainya
rasa
keadilan.
Keadilan
harus
ditegakkan
demi
mengembalikan
ketertiban kehidupan bermasyarakat
yang
dapat
di-lakukan
dengan
menegakkan
hukum
sebagaimana
mestinya.
Wujud dari penegakkan hukum itu
sendiri dapat berupa setiap pelanggaran
mendapatkan sanksi sesuai dengan
tingkat
pelanggaran
itu
sendiri.
Kepastian hukum sebagai salah satu
tujuan hukum dapat dikatakan sebagai
bagian dari upaya mewujudkan
keadilan. Bentuk nyata dari kepastian
hukum adalah pelaksanaan atau
penegakan hukum terhadap suatu
tindakan tanpa memandang siapa yang
melakukan.
Kepastian
hukum
menyebabkan setiap orang dapat
memperkirakan apa yang akan dialami
jika melakukan tindakan hukum
tertentu. Kepastian diperlukan untuk
mewujudkan
prinsip
persamaan
dihadapan hukum tanpa diskriminasi.
Tujuan hukum berikutnya adalah
memberi kemanfaatan bagi orang lain.
Hal ini didasarkan pada konsep
pemikiran utilities. Penganut aliran
utilities menganggap bahwa tujuan
hukum adalah semata-mata memberikan
pemanfaatan atau kebahagiaannya yang
sebesar-besarnya
bagi
sebanyakbanyaknya warga masyarakat (the
greatest happiness for the greatest
number).
Pandangan utilities melihat pidana dari
segi manfaat atau kegunaannya.
Menurut panndangan ini pemidanaan
harus mempunyai sifat prevensi, baik
prevensi umum maupun prevensi
khusus. Pandangan utilities menyatakan
bahwa
pidana
yang
dijatuhkan
dimaksudkan untuk memperbaiki sikap
dan perilaku pelaku tindak pidana agar
tidak
mengulang
perbuatannya
(prevensi khusus), di samping dimaksud
juga untuk mencegah orang lain dari
kemungkinan melakukan perbuatan
yang serupa (prevensi umum).
Alat bukti yang dimaksud di tentukan
dalam pasal 184 KUHAP, yaitu
keterangan saksi, keterangan ahli, alat
bukti surat, petunjuk dan keterangan
terdakwa menjadi dasar jaksa dalam
membuat tuntutannya. Alat bukti yang
cukup
dan
memiliki
kekuatan
pembuktian
yang
kuat
dapat
mempermudah jaksa dalam membuat
surat tuntutan. Setelah alat bukti
terpenuhi, maka dipertimbangkan pula
pemeriksaan dan pembuktian di
persidangan. Hal yang berikutnya
dipertimbangkan oleh jaksa adalah halhal
yang
meringankan
dan
memberatkan terdakwa. Atas dasar halhal
tersebut
penuntut
umum
berdasarkan persetujuan pimpinan
menentukan tuntutan pidana terhadap
terdakwa.
Hakim dalam memberikan atau
menjatuhkan pidana terhadap pelaku
atau terdakwa tindak pidana tidak
terlepas dari pembuktian di persidangan
dan dakwaan/tuntutan yang diajukan
oleh jaksa, selain dipertimbangkan pada
hal
yang
memberatkan
dan
meringankan terdakwa. Berdasarkan
wawancara
dengan
Judika
M.
Hutagalung, S.H.,M.H, pertimbangan
hakim menjatuhkan pidana terhadap
pelaku tindak pidana utama didasarkan
oleh telah terpenuhinya segala unsur
tindak
pidana
yang
dilakukan
berdasarkan pembuktian dan fakta
persidangan yang terungkap serta
memperhatikan dakwaan atau tuntutan
yang
dijatuhkan
oleh
jaksa.
Pertimbangan atas terbukti atau tidak
terbuktinya unsur delik pidana yng
dituntutkan merupakan hal utama untuk
hakim memberikan putusannya.
Berdasarkan Pasal 182 ayat (4) KUHAP
menjelaskan bahwa dasar majelis hakim
untuk bermusyawarah dalam rangka
menjatuhkan putusan adalah surat
dakwaan
dan
fakta-fakta
yang
terungkap di persidangan, karenanya
yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut
adalah apakah berdasarkan fakta-fakta
yang terungkap dipersidangan, dapat
menyatakan atau membuktikan bahwa
seorang terdakwa telah melakukan
perbuatan
pidana
sebagaimana
didakwakan kepadanya. Hakim dalam
menyatakan seseorang telah melakukan
suatu tindak pidana, maka perbuatan
orang tersebut haruslah memenuhi
seluruh unsur-unsur tindak pidana yang
didakwakan
kepada
terdakwanya.
Terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur
tindak pidana tersebut, didasarkan oleh
pembuktian dan fakta yang terungkap di
persidangan. Pembuktian dan fakta
persidangan didapat dari alat bukti
diantaranya, keterangan saksi, alat bukti
surat, alat bukti petunjuk dan
keterangan terdakwa yang dibuktikan
kebenarannya di persidangan.
Terdakwa Muhammad Krisna Firdaus
bin Amri Firdaus pada persidangan
telah didakwa oleh Jaksa Penuntut
Umum dengan dakwaan alternatif, yaitu
melanggar Pasal 340 KUHP jo Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP jo UU No.11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak. Pasal ini digunakan oleh
jaksa karena terdakwa Muhammad
Krisna Firdaus bin Amri Firdaus masih
tergolong anak dibawah umur. Unsurunsur Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP jo UU No.11 tahun
2012 adalah sebagai berikut:
1. Unsur dengan sengaja;
2. Unsur dengan direncanakan terlebih
dahulu;
3. Unsur menghilangkan jiwa orang
lain;
4. Dilakukan secara bersama-sama.
Analisis terhadap pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan hukuman dalam
putusan no: 22/Pid.Sus.Anak/2016/
PN.Tjk, berdasarkan unsur-unsur Pasal
340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP jo UU No.11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, majelis
hakim mempertimbangkan sebagai
berikut:
1. Unsur dengan sengaja :
Unsur dengan sengaja in casu dalam
perkara ini harus dilihat dari tujuan atau
niat yang harus dimiliki oleh anak,
bahwa bila diteliti alat yang digunakan
anak untuk menusuk anak korban dan
sasaran yang ditusuk adalah dada, perut
dan punggung secara berulang kali
hingga
berjumlah
107
tusukan,
seyogianya anak mengetahui atau
setidak-tidaknya menyadari bahwa
akibat tusukan pada bagian dada, perut
dan punggung anak korban secara
berulang kali menggunakan pisau tajam
sepanjang 20 cm, pedang runcing
sepanjang 50 cm, dan pisau runcing dan
tajam sepanjang 10 cm dapat
mengakibatkan
kematian,
maka
berdasarkan
petimbangan
hukum
tersebut, kematian anak korban
termasuk dalam niat atau tujuan yang
dikehendaki oleh anak, bahwa oleh
karena itu perrbuatan anak memenuhi
unsur “dengan sengaja”.
2. Unsur dengan direncanakan terlebih
dahulu :
Bahwa dalam unsur “direncanakan
terlebih dahulu”, harus ada tempo
antara timbulnya niat untuk membunuh
dengan pelaksanaannya bagi si anak
untuk dengan tenang memikirkan cara
pembunuhan yang akan dilakukan, yaitu
tempo
untuk
memikirkan
cara
pembunuhan yang akan dilakukan
terhadap korban, didalam tempo itu,
anak masih ada kesempatan untuk
membatalkan niatnya akan membunuh
anak korban, akan tetapi tidak ia
pergunakan;
Berdasarkan fakta yang terungkap
bahwa Saksi Oka Rahmanda dan Saksi
Deni Kurniawan mengambil air minum
yang ada didalam bengkel tersebut,
anak menyusul mendekati Saksi Oka
Rahmanda dan Saksi Deni Kurniawan
unuk mengatur pembagian tugas,
dimana
Saksi
Oka
Rahmanda
membekap mulut korban Saksi Deni
Kurniawan memegang tangan korban
pada waktu anak melakukan penusukan
dengan menggunakan senjata tajam
terhadap anak korban dari depan, bahwa
3 (tiga) bilah senjata tajam yang
dipergunakan anak untuk menusuk anak
korban hingga mengakibatkan anak
korban
meninggal
dunia
sudah
dipersiapkan oleh anak semenjak
menerima tantangan untuk berantam
dari anak korban pada waktu anak
menerima telfon dari anak korban pada
hari Sabtu tanggal 05 Maret 2016 sekira
pk. 13.00 WIB;
Berdasarkan uraian tersebut, antara niat
untuk membunuh dengan terjadinya
peristiwa
terdapat
tempo
untuk
merencanakan terlebih dahulu cara
pembunuhan yang akan dilakukan,
dengan demikian unsur “dengan
direncanakan terlebih dahulu” telah
terpenuhi.
3. Unsur menghilangkan jiwa orang
lain:
Unsur menghilangkan nyawa orang lain
bahwa perbuatan menusuk anak korban
dilakukan oleh anak dengan cara
menusuk tubuh bagian depan mulai dari
dada sampai perut, pada tubuh bagian
belakang, pungggung sisi kanan, lengan
kanan dan lengan kiri, punggung tangan
kanan dan tangan kiri dilakukan
menggunakan senjata tajam berupa
pisau sepanjang 20 Cm, pedag runcing
sepanjang 50 Cm dan pisau runcing
sepanjang 10 Cm, setelah mana anak
korban meninggal dunia sesuai dengan
Visum et Repertum dari dr. Yeni
Oktarina
No.352/1464/4.13/III/2016
tertanggal 14 maret 2016.
Sesuai dengan Visum et Repertum
dimaksud, karena tidak dilakukan
pemeriksaan dalam (tidak dilakukan
outopsi) sehingga penyebab kematian
tidak dapat ditentukan, akan tetapi
tedapat luka pada sekujur tubuh anak
korban tersebut mempunyai hubungan
kausal yang langsung dan adequate
dengan akibat tusukan yang dilakukan
anak dengan menggunakan senjata
tajam berupa pisau sepanjang 20 Cm,
pedang runcing sepanjang 50 Cm, pisau
runcing sepanjang 10 Cm, oleh karena
itu perbuatan anak memenuhi unsur
“menghilangkan jiwa orang lain”.
4. Unsur dilakukan secara bersamasama
Bahwa unsur “secara bersama-sama” in
casu dalam perkara ini harus dilihat
sebagai kesepakatan pada waktu
melakukan perbuatan secara bersamasama yang berangkat dari suatu niat,
dan dalam melakukan perbuatan itu,
setidak-tidaknya harus ada dua orang,
yaitu orang yang melakukan (pleger)
dan orang yang turut melakukan
(medepleger), hakim juga menilik
kepada kesepakatan dan pembagian
kerja tersebut, terbukti secara sah dan
meyakinkan bahwa saksi anak Rahmat
Hidayat alias Memet, saksi anak Ichan
Ahmad Prayudha alias Yuda, saksi anak
Oka Rahmanda, saksi anak Febriansyah
Amalan, Saksi Deni Kurniawan turut
serat melakukan perbuatan pembunuhan
yang direncanakan lebih dahulu oleh
anak. Oleh karenanya perbuatan anak
sebagai
orang
yang
melakukan
perbuatan pidana, memenuhi unsur
“dilakukan secara bersam-sama”.
Berdasarkan dari keterangan anak
dihubungkan dengan Kutipan Akta
Kelahiran No.474.1.3261.60.PM.1999,
yang diterbitkan pada tanggal 30 maret
1999 yang menyatakan bahwa anak
lahir pada tanggal 23 agustus 1999,
terbukti secara sah dan meyakinkan
bahwa anak belum berusia 18 tahun
pada waktu melakukan perbuatan
pidana, oleh karenanya anak diadili di
Pengadilan Anak Sebagaimana diatur
dalam UU Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
Berdasarkan teori keseimbangan antara
syarat-syarat yang ditentukan undangundang dan kepentingan pihak-pihak
yang tersangkut atau berkaitan dengan
perkara,
antara
lain
adanya
keseimbangan
antara
perbuatan
terdakwa dengan ketentuan UndangUndang No. 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak.
Berdasarkan pertimbangan hukum
tersebut diatas, perbuatan anak telah
memenuhi unsur-unsur tindak pidana
sebagaimana yang didakwakan dalam
Dakwaan Kesatu Primair melanggar
pasal 340 KUHP jo pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP jo UU No.11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
oleh karena itu anak Muhammad Krisna
Firdaus bin Amri Firdaus terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan
perbuatan
pidana
“pembunuhan dengan direncakan lebih
dahulu, yang dilakukan secara bersamasama”.
Hakim menimbang bahwa oleh karena
anak terbukti bersalah melakukan
perbuatan pidana, oleh karena itu ia
harus dipersalahkan, maka ia anak harus
dijatuhi hukuman, karena Dakwaan
Kesatu Primair terbukti, maka Dakwaan
Subsidair dan seterusnya tidak perlu di
pertimbangkan lebih lanjut.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban
pidana dalam kasus pembunuhan yang
dilakukan oleh anak Muhammad Krisna
Firdaus bin Amri Firdaus kepada Dwiki
Dwi Sofyan dilakukan bersama-sama
teman anak yang dilakukan dirumah
paman anak di Jl. ZA. Pagar Alam
Labuhan ratu. Sebagaimana di atur
dalam Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 (1)
ke-1 KUHP jo UU No.11 Tahun 2012
tentang
Sistem
Peradilan
Anak
sebagaimana yang dituduhkan kepada
anak menyatakan bahwa:
1. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan
kepada anak sebagaimana dimaksud
dalam pasal 81 ayat (2) (anak yang
melakukan tindak pidana), paling
lama ½ (satu perdua) dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang
dewasa.
2. Jika tindak pidana yang dilakukan
anak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 81 ayat (6) (melakukan tindak
pidana), merupakan tindak pidana
yang diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup,
pidana yang dijatuhkan adalah
pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun.
B. Analisis Putusan hakim terhadap
tindak pidana pembunuhan yang
dilakukan oleh pelajar sekolah
(Putusan No: 22/Pid.Sus.Anak/
2016/PN.Tjk)
Dalam penjatuhan putusan pidana yang
dilakukan
oleh
pelajar,
hakim
menggunakan
pertimbangan
yang
bersifat
yurisdis
dan
normatif.
Pertimbangan yang bersifat yuridis
adalah pertimbangan hakim yang
didasarkan pada faktor-faktor yang
terungkap di dalam persidangan dan
oleh undang-undang telah ditetapkan
sebagai hal yang harus dimuat di dalam
putusan. Di samping pertimbangan yang
bersifat
yuridis
hakim
dalam
menjatuhkan
putusan
membuat
pertimbangan yang bersifat non yuridis.
Pertimbangan yuridis saja tidaklah
cukup untuk menentukan nilai keadilan
dalam pemidanaan anak di bawah umur,
tanpa ditopang dengan pertimbangan
non yuridis yang bersifat sosiologis,
psikologis, kriminologis dan filosofis.5
Hakim
dalam
putusan
no:
22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk , Anak
diputus dengan Pasal 340 KUHP jo
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo UU No.
11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Bunyi Pasal 55 KUHP:
(1) Dipidana sebagai pelaku tindak
pidana:
1. mereka yang melakukan, yang
menyuruh melakukan, dan yang turut
serta melakukan perbuatan;
2. mereka yang dengan memberi atau
menjanjikan
sesuatu
dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat,
dengan
kekerasan,
ancaman atau penyesatan, atau
dengan memberi kesempatan, sarana
atau
keterangan,
sengaja
menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan.
Bunyi Pasal 340 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja dan
dengan rencana terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan
rencana, dengan pidana rnati atau
pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama
dua puluh tahun.”
Berdasarkan Pasal 340 KUHP hukuman
bagi orang atau seseorang yang telah
melakukan tindak pidana pembunuhan
dengan berencana diancam dengan
5
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah
Umur, (Bandung: PT. Alumni, 2009), hal 93.
hukuman pidana mati atau seumur
hidup atau hukuman paling lama 20
tahun. Karena dalam perkara ini pelajar
atau anak masih dibawah umur maka
hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap anak yang melakukan tindak
pidana pembunuhan harus mengacu
pada Undang-Undang No. 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak. Dalam Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak telah disebutkan
bahwa batasan umur anak belum
mencapai 18 Tahun.
Undang-Undang
Sistem
Peradilan
Pidana Anak telah mengatur pidana
yang dapat dijatuhkan kepada anak
paling lama ½ (satu perdua) dari
maksimum ancaman pidana penjara
bagi orang dewasa, hal tersebut telah
diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang
No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Dimana bunyi
Pasal tersebut sebagai berikut:
(1) Anak dijatuhi pidana penjara di
LPKA apabila keadaan dan
perbuatan
Anak
akan
membahayakan masyarakat.
(2) Pidana
penjara
yang
dapat
dijatuhkan kepada Anak paling
lama 1/2 (satu perdua) dari
maksimum ancaman pidana penjara
bagi orang dewasa.
(3) Pembinaan di LPKA dilaksanakan
sampai Anak berumur 18 (delapan
belas) tahun.
(4) Anak yang telah menjalani 1/2
(satu
perdua) dari lamanya
pembinaan
di
LPKA
dan
berkelakuan
baik
berhak
mendapatkan
pembebasan
bersyarat.
(5) Pidana penjara terhadap Anak
hanya digunakan sebagai upaya
terakhir.
(6) Jika tindak pidana yang dilakukan
Anak merupakan tindak pidana
yang diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup,
pidana yang dijatuhkan adalah
pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun.
Atas dasar tersebut hakim menjatuhkan
hukuman 10 (sepuluh) tahun penjara,
sesuai
dengan
dakwaan
jaksa
berdasarkan Pasal 340 KUHP jo Pasal
55 ayat (1) ke-1 jo UU No. 11 Tahun
2012 tentang Sistem peradilan pidana
anak. Dari hasil analisa putusan no:
22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk : hakim
dalam
menjatuhkan
cenderung
menggunakan
pertimbangan
yang
bersifat yuridis, yaitu dakwaan dari
Jaksa Penuntut Umum, Keterangan
Saksi, Keterangan Terdakwa, barang
bukti, tindak pidana, dan Pasal-pasal
dalam KUHP dan Undang Undang
Sistem
Peradilan
Pidana
Anak.
Sedangkan pertimbangan non yuridis
tidak
dijadikan
sebagai
dasar
pertimbangan
dalam
menjatuhkan
putusan no 22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.
Tjk yang didasarkan pada sosiologis,
psikologis, kriminologis, dan filosofis
anak tersebut tidak digunakan, karena
perbuatan yang telah dilakukan anak
tersebut sangat keji dan sadis, jika anak
hanya di hukum 10 (sepuluh) tahun
penjara dikhawatirkan bukannya anak
tersebut
menyadari
kesalahannya
melainkan
anak
tersebut
dapat
bertambah wawasannya
mengenai
perbuatan kriminal.
Secara umum, pertimbangan yuridis
untuk orang dewasa dapat didasarkan
pada ketentuan hukum pidana materiil
dan hukum pidana formal sebagaimana
yang telah diatur dalam KUHP dan
KUHAP. Jika rumusan hukum materiil
tidak
ditemukan
dalam
KUHP,
penegakan dan proses peradilannya
didasarkan pada ilmu pengetahuan dan
praktik peradilan.6 Hal ini sejalan
dengan apa yang di tulis Suharto AM
yang menyatakan apabila rumusan pasal
perbuatan pidana tidak mungkin
ditentukan
unsur-unsurnya,
batas
pengertian rumusan tersebut diserahkan
pada
ilmu
pengetahuan
praktik
7
peradilan. Dengan demikian, hakim
dalam membuat putusan pidana anak
tidaklah
cukup
kalau
hanya
mendasarkan pada apa yang telah
tersurat dalam KUHP dan KUHAP.
III. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan
hasil
pembahasan
mengenai permasalahan yang dibahas
dalam penelitian ini pada bab
sebelumnya, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Dasar Pertimbangan Hakim dalam
penjatuhan pidana kepada anak
Muhammad Krisna Firdaus bin Amri
Firdaus bin Amri Firdaus terhadap
Dwiki Dwi Sofyan, didasarkan Pasal
340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP jo UU No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, anak diancam dengan
hukuman pidana penjara maksimal
10 (sepuluh) tahun penjara, namun
disisi lain hakim tidak memikirkan
dampak negatif apa yang akan terjadi
dari hukuman pidana 10 (sepuluh)
tahun penjara yang telah diberikan
kepada anak sedangkan anak masih
tergolong dibawah umur, dalam
kasus ini hakim hanya melihat.atau
memandang perbuatan pidana yang
telah dilakukan oleh anak serta
hakim
hanya
menjalankan
kewajibannya untuk memutuskan
6
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak Di Bawah
Umur, (Bandung: P.T. Alumni, 2014), hal 28.
7
Suharto AM, Hukum Pidana Materiil, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1993), hal 25.
pidana berdasarkan UU yang telah
ditetapkan dan yang menurutnya adil
bagi masyarakat dan korban, oleh
ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184
KUHAP, serta memuat hal-hal
yuridis
dan
non
yuridis.
Pertimbangan hakim yang bersifat
yuridis dalam menjatuhkan pidana
terhadap pelaku tindak pidana adalah
didasarkan oleh alat bukti yang
mendukung, terpenuhi segala unsur
tindak pidana yang dilakukan
berdasarkan
pembuktian
fakta
persidangan
yang
terungkap.
Pertimbangan yang bersifat non
yuridis adalah hal yang memberatkan
dan meringankan terdakwa.
2. Dalam penjatuhan putusan pidana
yang dilakukan oleh pelajar, hakim
menggunakan pertimbangan yang
bersifat yurisdis dan normatif.
Pertimbangan yang bersifat yuridis
adalah pertimbangan hakim yang
didasarkan pada faktor-faktor yang
terungkap di dalam persidangan dan
oleh undang-undang telah ditetapkan
sebagai hal yang harus dimuat di
dalam
putusan.
Di
samping
pertimbangan yang bersifat yuridis
hakim dalam menjatuhkan putusan
membuat pertimbangan yang bersifat
non yuridis. Pertimbangan yuridis
saja
tidaklah
cukup
untuk
menentukan nilai keadilan dalam
pemidanaan
anak,
hakim
menjatuhkan hukuman 10 (sepuluh)
tahun penjara, sesuai dengan
dakwaan jaksa berdasarkan Pasal
340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
jo UU No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem peradilan pidana anak. Dari
hasil
analisa
putusan
no:
22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk
:
hakim dalam menjatuhkan cenderung
menggunakan pertimbangan yang
bersifat yuridis, yaitu dakwaan dari
Jaksa Penuntut Umum, Keterangan
Saksi, Keterangan Terdakwa, barang
bukti, tindak pidana, dan Pasal-pasal
dalam
KUHP
dan
Undang
UndangSistem Peradilan Pidana
Anak. Sedangkan pertimbangan non
yuridis tidak dijadikan sebagai dasar
pertimbangan dalam menjatuhkan
putusan
no
22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk yang
didasarkan
pada
sosiologis,
psikologis,
kriminologis,
dan
filosofis
anak
tersebut
tidak
digunakan, karena perbuatan yang
telah dilakukan anak tersebut sangat
keji dan sadis, jika anak hanya di
hukum 10 (sepuluh) tahun penjara
dikhawatirkan
bukannya
anak
tersebut menyadari kesalahannya
melainkan anak tersebut dapat
betambah wawasannya mengenai
perbuatan kriminal.
B. Saran
Adapun saran yang akan diberikan
penulis
berkaitan
dengan
dasar
petimbangan
hakim
dalam
pertanggungjawaban
pidana
pembunuhan yang dilakukan oleh
pelajar sekolah ( Studi Putusan No.
22/Pid.Sus.Anak/2016/PN.Tjk), sebagai
berikut:
1. Hakim harus memperhatikan dan
mempertimbangan kembali dalam
memberikan hukuman 10 (sepuluh)
tahun penjara dapat mengakibatkan
turunnya mental anak dikarenakan
anak masih tergolong dibawah umur.
2. Hakim masih harus melihat kembali
dampak yang akan terjadi pada anak
karena hukuman 10 (sepuluh) tahun
penjara bukanlah waktu yang
singkat, dikarenakan terdakwa masih
tergolong anak dibawah umur
hukuman penjara yang diberikan
kepada anak bisa saja berdampak
negatif, hukuman yang diberikan
bukan menimbulkan sifat jera akibat
perbuatannya
atau
benar-benar
menyadari kesalahannya, namun
sebaliknya
dikarenakan
ruang
lingkup didalam penjara, terdakwa
mendapat wawasan yang luas dalam
melakukan perbuatan kriminal.
DAFTAR PUSTAKA
AM, Suharto. 1993. Hukum Pidana
Materiil. Jakarta: Sinar Grafika.
Andrisman,
Tri.
2013.
Hukum
Peradilan
Anak.
Bandar
Lampung: Fakultas Hukum Unila.
Hamzah, Andi. 2010. Asas-Asas Hukum
Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Hidayat, Bunadi. 2009. Pemidanaan
Anak Di Bawah Umur. Bandung:
PT Alumni.
Moeljatno. 1987. Asas-asas Hukum
Pidana. Jakarta: Bina Aksara.
Nawawi, Barda. 2002. Kebijakan
Hukum Pidana. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar
Penelitian
Hukum.
Jakarta:
Rineka Cipta.
http://anjarnawanyep.wordpress.comkonsep-restorative-justice, diakses
melalui internet pada tanggal 6
Juni 2014, pukul 22.00 wib.
Download