Efek Siaran Live Sidang MKD

advertisement
SABTU, 5 DESEMBER 2015
Setya Novanto dan Budaya Mundur
Berani mengundurkan diri belumlah menjadi budaya di lingkungan
pejabat pemerintah. Meski berada
dalam situasi ”terjepit”, pejabat negara
dan politikus tetap bertahan, bahkan
membabi buta mempertahankan diri.
Apa pun dilakukan asalkan kursi
jabatan tidak berpindah ke orang lain.
Bila perlu menempuh jalan irasional.
Tetapi, sikap tersebut tidak berlaku
bagi Dirjen Pajak Sigit Priadi. Ia memilih mengundurkan diri setelah target
tidak tercapai.
Mahkamah Kehormatan Dewan
tengah menyidangkan rekaman perbincangan antara Ketua DPR Setya Novanto dan petinggi Freeport Maroef Sjamsoeddin. Mahkamah ini dibentuk dengan
tujuan menjaga keluhuran martabat anggota Dewan. Martabat terkait dengan persoalan etika, kepatutan, dan nurani. Yang
menjadi harapan publik, persidangan
”Papa Minta Saham” lebih banyak
menekankan persoalan etis dan tidak etis
seorang ketua DPR melakukan permufakatan jahat dan perburuan rente.
Akankah kekesatriaan Sigit akan diikuti oleh elite politik yang tengah tersandung persoalan hukum dan etika?
Mundur dari jabatan masih jauh dari laku
budaya di negeri ini. Lain halnya dengan
apa yang terjadi di Jepang. Misalnya
Menteri Luar Negeri Seiji Maehara mengundurkan diri karena menerima sumbangan politik 50.000 yen atau sekitar
Rp 5,3 juta tiap tahun dari warga Korea.
Total ia menerima Rp 26 juta. Sesuai
aturan di negara itu, penerimaan sumbangan dari orang asing dilarang.
Persidangan malah berbelok arah.
Mereka lebih menekankan sikap
menyudutkan Sudirman Said selaku
pelapor. Pergantian anggota MKD dari
sejumlah partai politik menambah kental muatan politis untuk membentengi
Novanto. Sementara dalam rekaman
menunjukkan Novanto menggunakan
kewenangan sebagai pejabat publik
untuk kepentingan pribadi. Apalagi
adanya alat bukti pencatutan nama
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Benar, kita ditunjukkan oleh Andi
Mallarangeng yang mengundurkan diri
sebagai menteri pemuda dan olahraga
setelah ditetapkan sebagai tersangka
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam kasus Hambalang. Selebihnya,
kita melihat tontonan dan dagelan politik. Politikus yang disangka terlibat
dalam permufakatan jahat menyangkut perpanjangan kontrak PT Freeport
Indonesia justru jauh dari sikap kesatria
itu. Alih-alih mundur, benteng pembelaan diri justru dipertebal.
Budaya mundur pejabat publik
telah dimulai dari Andi Mallarangeng
lalu Sigit Priadi. Kini desakan agar
Novanto mundur semakin kuat disuarakan oleh sejumlah tokoh, akademisi, maupun lembaga kemasyarakatan. Publik semakin kuat mendorong agar ketua DPR mundur lewat
petisi di media sosial. Ketika keluhuran
wakil rakyat dipertaruhkan dengan
sangkaan permufakatan jahat dan perburuan rente, mundur menjadi bukti
sikap kekesatriaan Setya Novanto.
Menuju Pembangunan Rendah Karbon
Konferensi Perubahan Iklim
sedang digelar di Paris. Kegiatan itu
bertujuan menghasilkan kesepakatan
baru dalam penurunan emisi karbon
di dunia. Fenomena pemanasan global yang menjadi isu sehari-hari merupakan bukti betapa emisi karbondioksida telah menyusahkan umat
manusia. Pembangunan rendah karbon kini harus menjadi semangat
baru, seperti dikemukakan Sekretaris
Jenderal PBB Ban Ki-moon saat
membuka konferensi yang dihadiri
perwakilan 195 negara tersebut.
Dari sisi konsumen, sektor-sektor
tertentu juga bisa berkurang daya
belinya. Penurunan kemampuan itu
terjadi akibat perubahan-perubahan
dalam ekosistem yang memengaruhi
hasil. Misalnya saja terjadi gangguan
pada budi daya pertanian karena pemanasan global mengubah periode
musim dan mengacaukan mata rantai
makanan sehingga hama makin sulit
dikendalikan. Sektor perikanan dan
kelautan pun juga terkena dampaknya,
yang membuat pendapatan nelayan
dan peternak ikan berkurang.
Suhu bumi saat ini lebih panas 1,7
derajat fahrenheit dibanding 135 tahun
lalu. Pemanasan global itu disertai perubahan iklim. Ancaman mengerikan
pun muncul. Daerah-daerah pantai diperkirakan akan lebih sering banjir
mengingat tinggi permukaan laut
meningkat. Badai dan kekeringan juga
bakal lebih sering muncul. Kondisi
alam yang tidak bersahabat itu tentu
perlu diubah. Para pakar mengingatkan, bencana ekonomi kemungkinan
bakal terjadi bila tingkat kenaikan suhu
bumi tidak berkurang.
Ribuan ikan yang diketemukan mati
di Pantai Ancol beberapa hari lalu bisa
jadi juga merupakan dampak lain perubahan iklim, yang dalam jangka panjang diperkirakan makin sering. Risikorisiko itu membuat dalam jangka panjang laut akan berkurang kemampuannya untuk memberikan manfaat ekonomi. Bila diurai pada berbagai bidang
perekonomian, pengaruh pemanasan
global tentu akan makin panjang dan
ujungnya berupa penurunan kemampuan ekonomi, baik di sisi permintaan
maupun penawaran.
Bencana ekonomi bermula dari
ketidaknyamanan hidup. Rangkaian
selanjutnya adalah produktivitas yang
menurun, akibat tenaga kerja tidak bisa
menyumbangkan kemampuan optimalnya. Penelitian terhadap para karyawan di sejumlah pabrik mobildi
Amerika Serikat untuk periode 10
tahun menunjukkan penurunan produksi terjadi saat hari-hari ketika suhu
panas ekstrem datang. Makin sering
panas ekstrem datang, para pekerja
akan lebih cepat lelah. Hal itu mengakibatkan kuantitas produksi turun.
Pemanasan global memang berdampak luas dalam kehidupan di bumi
ini, sehingga Konferensi Perubahan
Iklim diharapkan memunculkan kesepakatan yang akan membuat perekonomian ramah lingkungan lebih menonjol. Pembangunan rendah karbon
harus jadi komitmen bersama, meskipun harus diakui potensi dan kondisi tiap
negara berbeda-beda. Kesepakatan
yang menyadari perbedaan itulah yang
diharapkan terjadi. Enam tahun lalu kesepakatan baru gagal dicapai saat konferensi digelar di Kopenhagen.
Proyek gedung baru DPRD Jateng ditunda.
Ah, papa minta gedung...
***
Dirut Freeport anggap Novanto calo.
Calo kok mewakili ratusan juta rakyat...
(Anti-calo berita)
Terbit sejak 11 Februari 1950
PT Suara Merdeka Press
Pendiri : H Hetami
Komisaris Utama : Ir Budi Santoso
Pemimpin Umum: Kukrit Suryo Wicaksono
Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab :
Hendro Basuki
Direktur Pemberitaan :Amir Machmud NS
Direktur SDM : Sara Ariana Fiestri
Efek Siaran Live Sidang MKD
Oleh Gunawan Witjaksana
MAJELIS Kehormatan Dewan
(MKD) DPR akhirnya memutuskan
melakukan sidang terbuka ketika memanggil Menteri Energi Sumber Daya
Mineral (ESDM) Sudirman Said, dalam
kasus pencatutan nama presiden dan
wakil presiden oleh Ketua DPR Setya
Novanto.
Lepas dari plus minus, termasuk
kesan kontroversial dari perilaku beberapa anggota MKD ketika sidang berlangsung, setidaknya melalui cara tersebut masyarakat luas menjadi tahu apa
yang sebenarnya terjadi. Terlebih ketika
rekaman pembicaraan yang melibatkan
Ketua DPR Setya Novanto, pengusaha
Reza Chalid, dan Presdir PT Freeport
Indonesia Maroef Sjamsudin, secara
utuh diperdengarkan. Masyarakat yang
sebelumnya dibingungkan oleh kontroversi sekaligus kehebohan yang ditimbulkan oleh kasus itu, mulai bisa mengerti serta menilai apa yang sebenarnya
terjadi.
Berbagai tanggapan muncul. Sudirman sebagai pelapor yang seharusnya
dihargai dan dilayani, malah banyak
yang memojokkan bak tersangka. Penilaian negatif muncul terhadap anggota
pengganti MKD dari partai tertentu,
yang terkesan membabi buta membela
terlapor atau Setya Novanto, bahkan
mendiskreditkan pengadu. Sebaliknya,
ada pula anggota MKD yang membela
pengadu.
Kita layak bertanya; tidak sadar,
tidak paham, atau tidak mau tahukah
para anggota MKD yang bertugas menjaga marwah DPR itu terhadap kekuatan
media yang meliput dan menyiarkan
‘’acara’’ itu secara langsung? Akankah
pada sesi-sesi selanjutnya mereka tidak
mengubah sikap? Apa yang terjadi ke
depan bila anggota MKD tidak mau
mengubah sikap atau sebaliknya, mereka berubah sikap?
Ketika sidang terbuka MKD diliput
langsung (live) oleh beberapa stasiun
televisi, kita tentu ingat yang dikatakan
George Gebner melalui Cultivation
Theory-nya bahwa masyarakat seolah
menyaksikan kejadian nyata di dekat
mereka.
Media massa memiliki kekuatan
menghilangkan jarak ruang dan waktu.
Masyarakat yang menonton mungkin
kurang paham bahwa para politikus
MKD itu tampil den g a n
memanfaatkan metafora teatrikal alias bermain
drama, melalui akting
piawai masing-masing, seperti yang
dikatakan Burke dan Goffman melalui
Teori Dramatismenya.
Yang perlu dipahami oleh masyarakat saat menyaksikan sidang MKD
secara langsung adalah; siapa pun dia,
dari partai mana pun berasal, mereka
tentu memiliki kepentingan baik individu ataupun keleompok. Karena itu,
aspek dramaturgi dalam berkomunikasi
tentu akan mereka lakukan secara maksimal.
Sebaliknya, bagi para anggota MKD
yang bersidang, meski sekuat tenaga dan
pikiran memainkan drama untuk meyakinkan masyarakat, mereka tidak
boleh mengabaikan kejujuran dalam
berkomunikasi. Terlebih rekaman dan
transkrip lengkap telah menyebar luas.
Kekuatan televisi sebagai media
interaksi dan komunikasi pararasional
pun, membuat masyarakat makin mencintai, percaya, dan mendukung yang
mereka pandang benar, meski selalu dipojokkan dan terkesan dicari kesalahannya. Sebaliknya, mereka akan antipati
kepada anggota MKD yang menggunakan ilmu klasik asal beda (waton sulaya).
Berbagai kecaman melalui media sosial
merupakan indikator konkret masalah
itu.
Membela kolega merupakan kewajiban, agar sang kolega tidak dizalimi. Namun, membela secara membabi buta dengan melakukan justifikasi
yang bertentangan dengan data yang
sesungguhnya, seperti yang kita
saksikan saat pemanggilan Sudirman Said, justru memunculkan efek bumerang terhadap diri
serta partai yang menaungi.
Karena itu, menyampaikan informasi yang
jujur, komprehensif, dan
informatiflah yang seharusnya mereka lakukan. Melalui
cara itu, diharapkan masyarakat
bisa mengerti, sehingga akhirnya sang
kolega meski mungkin akhirnya dianggap bersalah tetap terhormat, terlebih
bila permintaan maaf disampaikan dan
bukan justru membela diri secara membabi buta. Meminta maaf bukanlah hal
yang tabu, terlebih bila di masa datang
yang bersangkutan tidak melakukannya
lagi.
Harapan ke depan, karena sidang terbuka yang dipilih MKD, maka nawaitunya adalah menjaga marwah DPR melalui sikap serta perilaku simpatik dan
solutif, demi harkat dan martabat negara.
(43)
— Gunawan Witjaksana, ketua
Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Semarang
Mengurangi Laju Pemanasan Global
KEKHAWATIRAN akan terjadi peningkatan
panas bumi sesungguhnya sudah disuarakan Svante
Arrhennius, ilmuwan asal Swedia, tahun 1894. Kekhawatiran itu kini terbukti. Temperatur atmosfer bumi
meningkat signifikan hingga menimbulkan global
warming (pemanasan global) akibat peningkatan konsentrasi karbondioksida (Co2) di udara.
Co2 berasal dari polusi pembakaran minyak bumi
dan batu bara yang menumpuk di udara serta membentuk semacam ‘’selimut’’ membalut bumi. Sinar
matahari masuk ke bumi dan menghangatkannya, tetapi
panas bumi yang seyogyanya kembali ke udara kini
‘’terkurung’’ sehingga menaikkan suhu bumi. Panas
bumi ini memicu perubahan iklim global (global climate
change) yang memengaruhi kehidupan alami di darat
maupun laut. Perubahan iklim global berjalan seiring
naiknya kepadatan Co2.
Di Indonesia maupun negara berkembang lain,
peningkatan Co2 yang mendorong perubahan iklim
dipicu oleh deforestasi dan pembukaan lahan serta tanah
gambut, yang mengurangi kesanggupan alam menyerap
Co2, bahkan melepaskan Co2 di dedaunan tanaman dan
tanah gambut. Deforestasi di Indonesia selama ini sangat
memprihatinkan. Dalam rentang waktu 1990-2000,
perusakan hutan mencapai dua juta hektare, dan terus
melaju mengerikan hingga mencapai rata-rata 685.000
hektare per tahun pada periode 2000-2010 (FAO, 2010).
Kenyataan ini tentu menjadi gambaran betapa
Indonesia turut berkontribusi dalam peningkatan konsentrasi Co2 di udara, yang mendorong menguatnya
gejala pemanasan global.
Konsentrasi Co2 di udara terus merangkak naik dari
masa ke masa. Sebelum Revolusi Industri 1780, terdapat
lapisan Co2 setebal 280 part per million (ppm). Setelah
revolusi, konsentrasi Co2 meningkat dari 315 ppm tahun
1930 menjadi 330 ppm tahun 1970. Kemudian meningkat lagi menjadi 360 ppm pada 1990, dan 380 ppm
2008.
Kalangan meteorolog dan pakar ekosistem percaya
fenomena pemanasan global telah mengakibatkan
melelehnya sebagian daratan es di Kutub Utara maupun
Selatan, serta menimbulkan peningkatan permukaan air
laut. Hingga akhir abad ke-19, peningkatan permukaan air
laut cenderung berjalan konstan, yakni sekitar 0,2 milimeter per tahun. Namun sejak 1900, permukaan air laut
meningkat antara 1-2 milimeter per tahun. Bahkan pada
1993, perhitungan akurat oleh satelit Poseidon milik
Amerika Serikat (AS) menyebutkan peningkatan permukaan air laut telah mencapai 3,1 milimeter per tahun.
Karena itu, para pakar memperkirakan peningkatan
permukaan air laut tahun 2100 akan mencapai antara
280-340 milimeter. Jika perkiraan ini terbukti, dikhawatirkan kota-kota metropolis di dataran rendah
semisal New York, Semenanjung Florida, Manhattan,
Hong Kong, Tokyo, Rio de Janeiro, serta Buenos Aires
akan tenggelam.
Oleh Chusnan Maghribi
Hingga akhir abad ke-19,
peningkatan permukaan air laut
cenderung berjalan konstan,
yakni sekitar 0,2 milimeter per tahun.
Atas dasar itu, pada kurun waktu 43 tahun terakhir
masyarakat internasional melalui Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB) serius mengintensifkan upaya mengerem
laju pemanasan global. Setelah menggelar Konferensi
Internasional tentang Lingkungan Manusia Juni 1972 di
Stockholm-Swedia, PBB memprakarsai penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tingggi (KTT) Bumi di Rio
de Janeiro, Brasil, Juni 1992. KTT Bumi mengusung
konsep pembangunan berkelanjutan.
Sesudah itu PBB rutin menyelenggarakan konferensi para pihak (Conference of Parties/COP). COP I di
Berlin-Jerman, Desember 1995, menyepakati negaranegara maju menurunkan emisi karbondioksida (gas
rumah kaca). Kesepakatan ini dimatangkan dalam dua
COPberikutnya.
Pada COP III di Tokyo-Jepang, Desember 1997,
lahir Protokol Kyoto yang salah satu ketentuannya adalah mewajibkan 37 negara industri maju mengurangi
emisi gas rumah kaca sampai 5,0 persen di bawah tingkat
emisi tahun 1990.
Persoalan serius muncul, karena tidak semua negara industri maju menerima dan mengimplementasikan
Protokol Kyoto. AS selaku penyumbang emisi terbesar
(5,96 miliar ton) tidak mau meratifikasi Protokol Kyoto
sampai masa pemberlakuan protokol tersebut berakhir
Desember 2012.
Itu sebabnya, negara-negara peserta COP Ke-18 di
Doha-Qatar Desember 2012 menyepakati komitmen
untuk memberlakukan Protokol Kyoto II selama delapan
tahun (2012-2020) sembari berharap negara industri maju
selevel AS mau meratifikasi sekaligus menaati, terutama
terkait keharusan menurunkan emisi gas rumah kaca.
Namun, setelah tiga tahun Protokol Kyoto II ditetapkan, belum muncul tengara pemerintah Negeri Paman
Sam itu bakal meratifikasi. Lebih memprihatinkan, sampai penyelenggaraan COP Ke-20 di Bonn-Jerman
Desember 2014, baru 11 negara yang meratifikasi, yaitu
Uni Emirat Arab, Barbados, Mauritius, Bangladesh,
Monako, Negara Federasi Mikronesia, Kenya,
Honduras, Cile, Tiongkok, dan Norwegia.
Lantas, bagaimana upaya masyarakat internasional
untuk mengerem laju pemanasan global kalau respon
mayoritas negara terhadap penetapan dan pemberlakuan
Protokol Kyoto Periode Kedua tampak ‘’santai’’seperti
itu?
Tentu upaya ke depan tidak akan mudah. Keengganan
sebagian negara maju menurunkan emisi gas rumah kaca,
dengan misalnya tidak mau mengurangi penggunaan
bahan bakar fosil maupun batu bara dalam kegiatan industri, serta pelanggaran negara berkembang dengan misalnya tidak serius menghentikan laju deforestasi, agaknya
masih akan menjadi tantangan berat. COPKe-21 di Paris,
Prancis (30 November- 11 Desember 2015) tentu menjadi
sebuah momen penting untuk menguji kesanggupan
dunia mengatasi tantangan tersebut. (43)
— Chusnan Maghribi, alumnus Hubungan
Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta
Kirimkan artikel
wacana nasional ke:
[email protected].
dan: [email protected]. Panjang
maksimal 7.000 karakter with space,
sertakan pasfoto pose santai
dan untuk wacana lokal ke:
[email protected].
dan: [email protected].
Panjang maksimal 6.000 karakter with space,
sertakan pasfoto pose santai.. (Red)
Wakil Pemimpin Redaksi : Ananto Pradono, Agus Toto Widyatmoko. Redaktur Senior: Sasongko Tedjo, AZaini Bisri, Heryanto Bagas Pratomo, Prie GS. Redaktur Pelaksana : Murdiyat Moko, Triyanto Triwikromo, Hartono, Rukardi. Koordinator Liputan: Edy Muspriyanto,
Saroni Asikin. Sekretaris Redaksi : Eko Hari MudjihartoStaf Redaksi :Soesetyowati, Cocong Arief Priyono, ZaenalAbidin, Eko Riyono, Darjo Soyat , Ghufron Hasyim, MuhammadAli, Bambang Tri Subeno, Simon Dodit, Budi Surono, Renny Martini, Diah Irawati, Agustadi,Gunarso,
Ahmad Muhaimin, Bina Septriono, Edi Indarto, Nasrudin, M.Asmu’i, Ali Arifin, Sri Syamsiyah LS, Gunawan Budi Susanto, Imam Nuryanto, Arwan Pursidi, Arie Widiarto, Zulkifli Masruch, Agus Fathudin Yusuf, Petrus Heru Subono, Tavif Rudiyanto, M Jokomono, Purwoko Adi Seno,
Karyadi, Arswinda Ayu Rusmaladewi, Mohammad Saronji, Maratun Nashihah, Sarby SB Wietha, Mohamad Annas, Kunadi Ahmad, Ida Nursanti, Aris Mulyawan, Setyo Sri Mardiko, Budi Winarto, Sasi Pujiati, Hasan Hamid, Rony Yuwono, Sumaryono HS, M Norman Wijaya, Noviar
Yudho P, YunantyoAdi S, Fahmi Z Mardizansyah, Saptono Joko S, Roosalina, Dicky Priyanto, Hasan Fikri, Budi Cahyono, Tri Budianto, Wahyu Wijayanto, LeonardoAgung Budi Prasetya,Adhitia Amitrianto. Litbang :Djurianto Prabowo ( Kepala ),DadangAribowo. Pusat Data,Analisa
dan Produksi: DwiAni Retnowulan (Kepala). Personalia: Dyah Anggarini. RedakturArtistik: Toto Tri Nugroho (Koordinator), Joko Sunarto, Djoko Susilo, Sigit Anugroho. Kepala Pracetak: Putut Wahyu Widodo. Reporter Biro Semarang : Nugroho DwiAdiseno ( Kepala), Surya
Yuli Purwariyanto (wakil), Sutomo, IrawanAryanto, Moh. Kundori, Dian Chandra TB, Rosyid Ridho, Yuniarto Hari Santosa, Maulana M Fahmi, FaniAyudea, Hartatik, Modesta Fiska Diana, Royce Wijaya Setya Putra. Biro Jakarta : Hartono Harimurti, ( Kepala), Wahyu Atmadji, Fauzan
Djazadi, Budi Yuwono, Sumardi, Tresnawati, Budi Nugraha, RM Yunus Bina Santosa, Saktia Andri Susilo, Kartika Runiasari, Mahendra Bungalan Dharmabrata, Wisnu Wijarnako. Biro Surakarta : Anindito Adi Nugroho (Kepala ), Won Poerwono, Joko Dwi Hastanto, Bambang
Purnomo, Sri Wahyudi, Setyo Wiyono, Merawati Sunantri, Sri Hartanto, Wisnu Kisawa,Achmad Husain, Djoko Murdowo, Langgeng Widodo, Yusuf Gunawan, Evi Kusnindya, Budi Santoso, Irfan Salafudin, Heru Susilowibowo, Basuni Hariwoto, Khalid Yogi Putranto. Biro Banyumas:
Sigit Oediarto (Kepala), Khoerudin Islam, Budi Hartono, Agus Sukaryanto, RPArief Nugroho, Agus Wahyudi, M Syarif SW, Mohammad Sobirin, Bahar Ibnu Hajar, Budi Setyawan. Biro Pantura :Trias Purwadi (Kepala), Wahidin Soedja, Saiful Bachri, Nuryanto Aji, Arif Suryoto, Riyono
Toepra, Dwi Ariadi, MAchid Nugroho, Wawan Hudiyanto, Cessna Sari, Bayu Setiawan, Teguh Inpras Tribowo, Nur Khoerudin. Biro Muria :Muhammadun Sanomae (Kepala), Prayitno Alman Eko Darmo, DjamalAG, Urip Daryanto, Sukardi,Abdul Muiz,Anton Wahyu Hartono, Mulyanto
Ari Wibowo, Ruli Aditio, Moch Noor Efendi, A Adib. Biro Kedu/DIY: Komper Wardopo (Kepala), Doddy Ardjono, Tuhu Prihantoro, Sudarman, Eko Priyono, Henry Sofyan, Nur Kholiq, Supriyanto, Sony Wibisono. Daerah Istimewa Yogyakarta: Sugiarto, Agung Priyo, Amelia Hapsari.
Bandung :Dwi Setiadi. Koresponden : Ainur Rohim (Surabaya). Alamat Redaksi : Jl Raya Kaligawe KM 5 Semarang 50118.Telepon : (024) 6580900 ( 3 saluran ), 6581925. Faks : (024) 6580605.Alamat Redaksi Kota : Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon : (024) 8412600.
Manajer Iklan :Bambang Pulunggono. Manajer Pemasaran: Berkah Yuliarto, Manajer Markom: Yoyok Gumulyo. Manajer Riset dan Pengembangan : Adi Ekopriyono. Manajer TU :Amir AR. Manajer Keuangan : Dimas Satrio W. Manajer Pembukuan : Kemad Suyadi. Manajer
Logistik/Umum : Adi P. Manajer HRD: Budi Susanto. Alamat Iklan/Sirkulasi/Tata Usaha: Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon: (024) 8412600. Faks : (024) 8411116, 8447858. ■HOT LINE 24 JAM 024-8454333 ■REDAKSI: (024) 6580900 Faks (024) 6580605 ■
EMAILREDAKSI: redaksi _ [email protected] Dicetak oleh PTMasscom Graphy, isi di luar tanggung jawab percetakan.
Download