40 BAB III PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN PERANG 3.1

advertisement
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB III
PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN PERANG
3.1 Tanggung Jawab atas Kejahatan Perang
3.1.1 Pertanggungjawaban negara
Pertanggungjawaban negara muncul akibat dari prinsip persamaan dan
kedaulatan negara yang terdapat dalam hukum internasional. Pertanggungjawaban
muncul diakibatkan oleh pelanggaran atas hukum internasional, suatu negara
dikatakan bertanggung jawab dalam hal negara tersebut melakukan pelanggaran
atas perjanjian internasional, melanggar kedaulatan wilayah lain, menyerang
negara lain, mencederai perwakilan diplomatik negara, bahkan memperlakukan
warga asing dengan seenaknya.
Munculnya konsep tanggung jawab negara bisa dilihat dari adanya prinsip
persamaan derajat, kedaulatan negara dan hubungan damai dalam hukum
internasional. Berdasarkan prinsip tersebut suatu negara yang haknya telah
dilanggar oleh negara lain dapat menuntut pertanggung jawaban. 23 Tanggung
jawab negara timbul karena negara sebagai subjek hukum, pihak yang dapat
dibebani hak dan kewajiban yang diatur hukum. 24 Subjek hukum adalah pihak
yang dapat dibebani hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.25
Perihal tanggung jawab negara berpedoman pada suatu draft yang
dihasilkan oleh Komisi hukum internasional (International Law Commission
23
Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge University Press, Cambridge, 1997.
hlm. 541
24
Sugeng Istanto, h.15-16.
Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, SH, 1998, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas
Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 16
25
40
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
41
/ILC), sebuah badan yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1947,
melakukan studi dan kodifikasi soal tanggung jawab negara.
Draft artikel tanggung jawab negara yang berhasil dirampungkan oleh ILC
tidak memberikan definisi tentang tanggung jawab negara. Pasal 1 draft artikel
tersebut hanya memberikan penjelasan kapan tanggung jawab negara timbul, yaitu
saat suatu negara melakukan tindakan yang salah secara internasional
(internationally wrongful act). Tindakan salah secara internasional dapat berupa
melakukan (action) atau tidak melakukan (omission) sesuatu yang memenuhi dua
elemen yang ditentukan dalam Pasal 2 yaitu :
1. Diatribusikan kepada negara melalui hukum internasional
2. Melakukan pelanggaran (breach) kewajiban internasional
Pelanggaran kewajiban internasional terjadi apabila tindakan negara tidak sesuai
dengan apa yang ditentukan oleh kewajiban itu sendiri (Pasal 12).
Suatu negara juga dapat dianggap memikul tanggung jawab atas tindakan
yang dilakukan oleh negara lain. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 16-19 yang
meliputi bantuan (aid and assistance), kontrol (direction/control), paksaaan
(coercion) suatu negara kepada negara lain untuk melakukan tindakan salah
secara internasional.
Hukum humaniter internasional mengatur mengenai kewajiban negara
dalam kaitanya dengan kejahatan perang, kewajiban pertama adalah negara
diwajibkan membentuk aturan nasional dalam negaranya untuk mengatur
mengenai kejahatan perang di dalam aturannya diwajibkan mengatur mengenai
pelaku kejahatan perang, dimana aturan tersebut harus bersifat universal tanpa
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
42
memandang kewarganegaraan pelaku maupun pihak yang menyuruh lakukan
kejahatan perang, yang dilakukan didalam atau diluar wilayah negara tersebut,
Aturan tersebut tercakup dalam beberapa instrument internasional, yaitu:
a)
Protokol Tambahan I tahun 1977 tentang perlindungan korban perang dalam
konflik bersenjata internasional. “Ketentuan dalam konvensi yang berkaitan
dengan pelanggarn berat menurut bagian ini akan diberlakukan aturan sesuai
pelanggaran berat menurut protokol ini.’’ 26. Kewajiban negara mengatur dalam
tingkat nasional, suatu negara mempunyai kewajiban untuk saling membantu
berkaitan dengan pelanggaran berat, dimungkinkan juga melalui kerjasama dalam
ekstradisi.27
b)
Konvensi Jenewa I, II, III, IV tentang perlindungan korban perang . “Pihak
dalam konvensi ini memberlakukan undang-undang yang diperlukan untuk
memberikan sanksi pidana yang efektif bagi orang, yang melakukan, atau orang
yang memerintahkan apabila melakukan pelanggaran berat sesuai definisi yang
didalam pasal ini.28
Dengan ketentuan tersebut maka aturan kejahatan perang yang ada dalam
keempat Konvensi Jenewa 1949 ditambah dengan Protokol Tambahan I menjadi
aturan yang seharusnya diterapkan oleh Negara dalam aturan hukum nasionalnya.
c)
Konvensi Den Haag 1954 tentang perlindungan benda budaya dalam
konflik bersenjata, kewajiban negara untuk mengambil tindakan yang diperlukan
untuk menghukum dan memberikan sanksi atas seseorang apapun itu
26
Pasal 85 ayat (1) PT I
Pasal 88 Protokol Tambahan 1977
28 Pasal 49 KJ I, Pasal 50 KJ II, Pasal 129 KJ III, Pasal 146 KJ IV
27
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
43
kewarganegaraanya yang telah melakukan atau memerintahkan pelanggaran
berkaitan dengan perlindungan budaya pada konflik bersenjata.
d)
The Statue of the International Criminal Court (ICC)
The statue affirm that national courts have primary responsibility for
trying such crimes 29
The jurisdiction of the ICC is complementary to that of state:it may be
exercised solely when a state is unable genuinely to carry out the
investigation or prosecution of alleged criminals under its jurisdiction, or
is unwilling to do so. 30
If they wish to avail themselves of their own courts jurisdiction, the states
Parties must have suitable legislation enabling them to bring these
persons to trial in accordance with the requirements of the statute.The
States Parties are also obliged to coorporate fully with the ICC in its
investigation and prosecution of crimes within its jurisdiction. 31
In addiction, they must repress offences againts the administration of
justice by the ICC ehich have been commited in their territory or by one of
their nationals. 32
Dalam penjelasanya negara yang telah menjadi pihak Statuta berarti
memiliki kewajiban untuk mengakui bahwa negara, bukan ICC, memiliki
tanggung jawab utama dalam mengadili para pelaku kejahatan genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang. Tidak hanya negara yang
memiliki kewajiban untuk mengadili pelaku kejahatan internasional, namun ICC
juga dapat mengadilinya hanya apabila negara tersebut tidak mampu dan tidak
mau melaksanakan kewajibanya. Jika ICC menjadi pelengkap suatu negara dalam
sistem pengadilan internasional, maka negara tersebut harus melaksanakan
tanggung jawabnya. Negara harus membuat dan menegakkan hukum nasionalnya
yang mengatur kejahatan terhadap hukum internasional. Ukraina berkewajiban
29
Preambule Statuta Roma 1998
Ibid, Pasal 17
31
Ibid, Pasal 86
32
Ibid, Pasal 70 (4)
30
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
44
untuk mengamankan peta navigasi udaranya dengan menerapkan zona larangan
terbang di atas wilayah tempat konflik bersenjata terjadi.
3.1.2 Tanggung jawab individu
Individu mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab atas kejahatan
perang yang dilakukan oleh individu itu sendiri, atau mereka yang melakukan,
atau mereka yang memerintahkan, atau mereka yang membantu orang lain untuk
melakukan kejahatan perang. Dalam konvensi Jenewa terdapat istilah persons.
Persons yang dimaksud adalah warga negara, baik warga negara dari negaranya
sendiri maupun warga negara lawan yang terikat untuk memenuhi ketentuan
dalam Konvensi Jenewa. Bagi orang / person yang melakukan pelanggaran dapat
dikenai sanksi pidana efektif, tidak hanya pelaku kejahatan yang terikat tetapi juga
orang / person yang menyuruh melakukan kejahatan perang. Tidak ada ketentuan
yang menyebut pertanggungjawaban bagi orang yang gagal mencegah terjadinya
pelanggaran.33
Pertanggung jawaban pidana secara individu sudah ada saat dibentuknya
Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo, sejak saat itu individu sebagai
pihak dalam pengadilan internasional/tersangka kejahatan internasional. Sejarah
dan perkembangan awal dari prinsip individual responsibility dihadapan
pengadilan internasional yang menjadi dasar ICTY, ICTR, dan Konvensi Jenewa
1949 untuk mengadopsi sistem pertanggungjawaban individu dalam hal kejahatan
internasional. Pasal 25 Statuta Roma 1998 menjelaskan mengenai ketentuan
yuridiksi atau orang, seorang yang melakukan kejahatan didalam juridiksi
33
Jean S. Pictet, 1995,.op.cit., hlm.364 buku Dr Yustina Trihoni Nalesti Dewi,S.H.,
M.Hum Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional hlm 129
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
45
mahkamah bertanggung jawab secara individual dan dapat dikenai hukuman atas
pelanggaran yang dia lakukan. Pertanggung jawaban individu berlaku sama
terhadap semua orang tanpa ada pembedaan, meskipun dia seorang kepala negara
atau pemerintahan atau parlemen, Statuta Roma 1998 tidak mengecualikan
seseorang dari tanggung jawab pidana dibawah statuta ini. Pejabat negara akan
bertanggungjawab terhadap segala tindakan yang dilakukan atas nama Negara.34
3.2 Penegakan Hukum Atas Kejahatan Perang
Penegakan hukum kejahatan perang terdapat dua macam penegakan yaitu
penegakan tidak langsung dan pengadilan langsung. Penegakan tidak langsung
melalui proses pengadilan di tingkat nasional, dengan menerapkan intrumen
nasional dalam hukum internasional dan penegakan langsung melalui proses
pengadilan internasional.
3.2.1 Penegakan hukum di pengadilan nasional
Kedaulatan Negara merupakan sesuatu hal yang penting yang dimiliki oleh
suatu negara. Negara mempunyai wewenang yang eksklusif yang dimiliki oleh
negara atas individu yang ada di wilayahnya. termasuk hak dan kewajiban untuk
mengadili individu yang melakukan pelanggar hukum humaniter internasional,
Kedaulatan negara tidak bersifat mutlak mana kala persoalan menjadi
urusan bersama, dalam kasus penembakan pesawat ini telah menimbulkan
kerugian bagi penduduk sipil yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata.
Persoalan yang demikian tidak hanya menjadi urusan negeri suatu negara, namun
34
Skripsi
Pasal 27 Statuta Roma 1998
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
46
telah menjadi persoalan bersama sehingga hukum internasional dapat terlibat
didalamnya.
Ukraina dianggap sebagai pihak yang turut bertanggung jawab terhadap aksi
penembakan pesawat MH-17, mempunyai tanggung jawab atas pelanggaran
hukum internasional diwilayahnya diatur pada laporan International Law
Commission dalam rancanganya Article 14 :” Every State has the duty to conduct
its relations with other States in accordance with the principle that the
sovereignty of each State is subject to the supremacy of international law’.
Konsep kedaulatan negara oleh hukum internasional harus berimplikasi pula
kebalikan, negara harus menghormati ketentuan hukum internasional untuk
menjamin kepentingan nasional negara lainya. Negara mempunyai kewajiban
memberikan pelayanan terhadap setiap penerbangan yang melintas diwilayahnya,
pelayanan berupa panduan mengenai kondisi didarat dan informasi cuaca. Setiap
negara mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan melalui fasilitasnya
dengan hal itu maka secara tidak langsung akan terwujud pelaksaanaan
penerbangan dengan aman, meskipun penembak Malaysia Airlines MH-17 adalah
pemberontak separatis pro Rusia,
35
pemerintah Ukraina tetap mempunyai
tanggung jawab untuk aksi ini, terkait lokasi wilayah jatuhnya pesawat yang
masih diwilayah negara Ukraina.
Negara yang warganya turut menjadi korban dapat melakukan penuntutan
terhadap Ukraina, Sebagian besar penumpang di penerbangan MH17 dari
Amsterdam menuju Kuala Lumpur adalah warga negara Belanda selain itu
35
international.sindonews.com/ Dikira Pesawat Ukraina, Ini Pengakuan Penembak MH17
diakses pada 7 Januari 2015
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
47
terdapat juga warga negara Australia, Malaysia, Indonesia, Filipina, Inggris,
Jerman, Belgia dan Kanada.36 Keluarga korban penembakan pesawat MH-17 juga
dapat meminta pertanggung jawaban Ukraina dengan menuntut negara ukraina ke
pengadilan Hak Asasi Manusia di Eropa, Ukraina dianggap ceroboh untuk tidak
menutup wilayah udaranya, kelalaian dari Ukraina ini menyebabkan kematian 298
orang.
Penuntutan terhadap negara Ukraina juga bisa dilakukan negara korban
dengan melalui mekanisme, ICJ International Court of Justice (ICJ) atau kita
kenal juga dengan istilah Mahkamah Internasional yang merupakan salah satu
lembaga dalam hukum internasional yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan
sengketa antara negara dengan negara. Jika persoalan penembakan pesawat yang
dituntut itu adalah Ukraina sebagai negara serta yang menuntut adalah negara
yang mengalami kerugian atas aksi penembakan tersebut maka persoalan dapat
diselesaikan di International Court of Justice. Yuridiksi mahkamah ini
mempunyai kewenangan untuk mengadili sengketa antar negara atau lebih, pada
Pasal 34 dengan tegas menyatakan bahwa hanya negara sajalah yang bisa
menyerahkan sengketanya ke Mahkamah, dengan kata lain subjek hukum
internasional lainya seperti organisasi internasional, perusahaan multilateral orang
perorangan, pihak yang bersengka tidak bisa meminta Mahkamah untuk
menyelesaikan sengketanya.
International Criminal of Justice (ICJ) merupakan organ judisial dari PBB
mempunyai tugas untuk menangani sengketa yang berupa Contentious cases
36
newsandfeaturesonindonesia.blogspot.com/Presiden Rusia Vladimmir Putin Salahkan
Ukraina atas Jatuhnya Pesawat Malaysia
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
48
maupun yang berupa Advisory proceedings. Contentious cases adalah kasus yang
berupa sengketa antar negara sedangkan Advisory proceedings adalah kasus
dimana organ-organ lain PBB meminta advisory opinions terhadap suatu masalah
internasional. Negara yang menjadi anggota PBB adalah anggota dari statuta ICJ.
Dengan begitu negara yang ingin menuntut Ukraina (negara lokasi penembakan
pesawat MH-17) bisa menyerahkan kasusnya kepada International Criminal of
Justice (ICJ) harus dengan adanya special agreement, terdapat rujukan kepada ICJ
jika terjadi sengketa dalam suatu perjanjian internasional, dan dengan cara
menerima compulsory jurisdiction dari ICJ.
Negara yang warga negaranya turut menjadi korban penembakan berhak
mengadili individu yang dianggap melanggar hukum humaniter internasional,
misalnya negara Belanda, akan dimungkinkan pelaksanaan sanksi terhadap
individu dengan menggunakan aturan hukum Belanda, International Criminal
Act 19 Juni 2003, dalam undang-undang ini diatur mengenai masalah kejahatan
kemanusiaan dan kejahatan genosida dalam aturan ini tidak menjelaskan
kualifikasi kejahatan perang seperti pada Pasal 5 ayat 1 International Criminal
Act 2003 yang mengatur pelanggaran berat seperti dalam pasal 8 Statuta roma
1998, pelanggaran berat yang sesuai dengan Protokol Tambahan I, aturan tesebut
secara jelas membahas mengenai pelanggaran hukum dan kebiasaan perang,
meskipun pada prinsipnya semua negara di dunia berhak mengadili pelaku
kejahatan perang sesuai dengan prinsip universal, semua negara mempunyai
kewajiban untuk menerapkan prinsip universal atas kejahatan perang. Negara
harus mencari dan menghukum atau mengekstradisi orang yang didakwa
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
49
melakukan kejahatan perang. Kewajiban disebutkan oleh Konvensi Den Haag,
diatur mengenai kewajiban negara untuk mengambil tindakan yang diperlukan,
misalnya menghukum pelaku dan melaksanakan sanksi pidana atas seseorang
yang melanggar hukum humaniter di konflik bersenjata tanpa melihat
kewarganegaraanya.
3.2.2 Penegakan hukum di pengadilan internasional
3.2.2.1 Ad Hoc Tribunal
Tribunal ad hoc diawali dengan dua pengadilan internasional setelah
berakhirnya Perang Dunia II, yaitu Military Tribunal for Nuremberg dan
International Millitary for Far East, diikuti oleh ICTY dan ICTR.
a. Pengadilan internasional Nuremberg dan Pengadilan internasional Tokyo
Nuremberg Trial atau disebut juga Pengadilan Nuremberg merupakan
sebuah pengadilan militer internasional yang dibentuk oleh empat kekuatan besar
sekutu, yaitu Amerika Serikat, Inggris Raya, Uni Soviet, dan Perancis.
Nuremberg Trial sendiri adalah hasil dari gagasan pemimpin negara-negara
sekutu untuk mengadili petinggi Nazi Jerman ke hadapan pengadilan militer
internasional. Gagasan dan proses pembentukan mahkamah ini berlangsung ketika
perang masih berkecamuk. Bersamaan dengan situasi perang yang sudah mulai
berbalik, dimana Jerman mengalami kekalahan di banyak pertempuran, pada saat
itu juga pemimpin negara-negara sekutu mulai mempersiapkan suatu mekanisme
hukum untuk menunut dan mengadili para penjahat perang.
Gagasan pembentukan pengadilan internasional untuk penjahat perang
Jepang selama Perang Dunia II muncul dari negara-negara sekutu. Pada bulan
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
50
Desember 1945, empat negara sekutu yang berkepentingan atas Jepang pasca
Perang Dunia II mengadakan pertemuan di Moskow (Amerika, Inggris, Uni
Soviet, dan China). Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk mengambil
langkah-langkah atas kejahatan perang yang telah dilakukan oleh Jepang selama
perang berlangsung.2. Pengadilan internasional Yugoslavia dan pengadilan
internasional Rwanda
International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY) adalah
sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan untuk mengadili
para penjahat perang di Yugoslavia. Pengadilan atau tribunal ini berfungsi sebagai
sebuah pengadilan ad-hoc yang merdeka dan terletak di Den Haag, Belanda.
Badan ini didirikan oleh Resolusi 827 dari Dewan Keamanan PBB, yang
diluncurkan pada tanggal 25 Mei 1993. Badan ini memiliki yurisdiksi mengenai
beberapa bentuk kejahatan yang dilakukan di wilayah mantan negara Yugoslavia
semenjak 1991: pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949, pelanggaran undangundang perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Badan ini hanya
bisa mengadili orang secara pribadi dan bukan organisasi atau pemerintahan.
Hukuman maksimum adalah penjara seumur hidup. Beberapa negara telah
menanda-tangani perjanjian dengan PBB mengenai pelaksanaan hukuman ini.
Vonis terakhir dijatuhkan pada 15 Maret 2004. Badan ini memiliki tujuan untuk
mengakhiri semua sidang pada akhir 2008 dan semua kasus banding pada 2010.
ICTR atau Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda dibentuk pada
tahun 1994 oleh Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (DK PBB).
Pengadilan ini bertujuan untuk mengusut/memproses dan menghukum beberapa
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
51
tersangka yang diduga kuat telah terlibat melakukan Genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan pada peristiwa Pembantaian Massal di Rwanda tahun 1993.
Pengadilan ini dibentuk berdasarkan Resolusi 955 tahun 1994 dan berada dibawah
kewenangan Dewan Keamanan PBB. Menyadari bahwa pelanggaran serius
terhadap hukum kemanusiaan yang dilakukan di Rwanda, dan bertindak
berdasarkan Bab VII Piagam PBB, Dewan Keamanan dibuat Pengadilan Kriminal
Internasional untuk Rwanda (ICTR) dengan resolusi 955 dari 8 November 1994.
Tujuan dari langkah ini adalah untuk berkontribusi dalam proses rekonsiliasi
nasional di Rwanda dan untuk pemeliharaan perdamaian di wilayah tersebut.
Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda didirikan untuk penuntutan
orang yang bertanggung jawab atas genosida dan pelanggaran serius lainnya
terhadap hukum kemanusiaan internasional yang dilakukan di wilayah Rwanda
antara tanggal 1 Januari 1994 dan 31 Desember 1994. Hal ini juga dapat
menangani penuntutan warga negara Rwanda yang bertanggung jawab atas
genosida dan pelanggaran semacam hukum internasional lainnya yang dilakukan
di wilayah negara tetangga pada periode yang sama. Pengadilan Kejahatan
Internasional untuk Rwanda diatur oleh negara, yang dilampirkan Resolusi
Dewan Keamanan 955. Peraturan prosedur dan bukti, yang diadopsi para hakim
sesuai dengan Pasal 14 Statuta, membangun kerangka kerja yang diperlukan
untuk fungsi sistem peradilan.
Kedua pengadilan tersebut merupakan organ tambahan Dewan Keamanan
hukuman maksimum yang dapat dijatuhkan kepada para terdakwa hanya
hukuman seumur hidup. Pengadilan ICTY dan ICTR mengabaikan prinsip non bis
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
52
in idem, pengadilan ini bisa mengadili tersangka yang telah diadili sebelumnya
oleh pengadilan lokal.
Pengadilan ad hoc ini berdiri karena beberapa alasan, yang pertama adalah
unable factor ini menekankan kepada kondisi sebuah negara tempat terjadinya
pelanggaran berat terhadap hukum internasional yang tidak mampu menjalankan
sebuah proses pengadilan.
Kedua adalah unwilling, factor ini menekankan keadaan politik wilayah
negara tempat terjadinya pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Negara
yang tidak mempunyai political will enggan membuat upaya hukum agar pelaku
kejahatan perang dapat diadili melalui proses pengadilan.
Untuk menyelidiki pelanggaran hukum humaniter internasional dalam kasus
penembakan pesawat MH-17 dimungkinkan untuk dibuat sebuah pengadilan ad
hoc, pengadilan ad hoc dapat dibentuk atas inisiatif para negara korban untuk
mengadili pelaku penembakan pesawat MH-17, pengadilan ini sifatnya tidak
permanen dan pembentukan dimaksudkan hanya untuk sementara waktu, hakim
yang menangani kasus juga bersifat sementara hakim tersebut memiliki keahlian
dan pengalaman dibidang tertentu untuk memeriksaa, mengadili, dan memutus
suatu perkara.
3.2.2.2 Pengadilan yang bersifat Permanen (International Criminal Court)
Tidak hanya negara yang terlibat saja yang mengatur tentang penegakan
kejahatan perang, dunia internasional pun juga mempunyai sebuah mahkamah
pidana internasional (ICC), pembentukan ICC yang menjadi dasar secara eksplisit
menegaskan bahwa pelaku kejahatan paling serius yang menyangkut perhatian
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
53
masyarakat internasional secara keseluruhan tidak seharusnya berlalu tanpa
dihukum dan penghukuman secara keseluruhan tidak seharusnya berlalu tanpa
dihukum dan penghukuman secara efektif harus dilakukan melalui tindakantindakan pada level nasional dan melalui peningkatan kerjasama internasional .
Ketika sudah ada Mahkamah pidana internasional (ICC) yang mengatur
mengenai kejahatan perang maka persoalan yang muncul adalah hubungan antara
mahkamah pidana internasional dengan hukum domestik negara. ICC tidak
bersifat untuk menggantikan pengadilan nasional, namun sifatnya hanya sebagai
pelengkap bagi sistem pidana nasional terutama jika prosedur pengadilan untuk
mengadili kejahatan dibawah yuridiksi ICC tidak tersedia atau tidak dapat
diselenggarakan secara benar. ICC tetap mengakui kewenangan pengadilan
domestik untuk menangani tindakan pelanggaran serius terhadap hukum
humaniter internasional.
Melalui artikel 17 Statuta Roma juga menjelaskan mengenai superiotas ICC
terhadap pengadilan nasional dalam kondisi tertentu. Menurut artikel 17 Statuta
Roma suatu kasus akan dinyatakan dapat diterima oleh ICC apabila seperti berikut
ini:
a) Ada unwillingness atau inability negara yang seharusnya memiliki yuridiksi
penyelidikan dan penuntutan dalam suatu kasus, meskipun proses penyelidikan
dan penuntutan terhadap pelaku sedang berjalan di pengadilan nasional.37
37
Skripsi
Statuta Roma 1998, Art.17 (1).a.
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
54
b) Negara yang memiliki yuridiksi memutuskan untuk tidak menuntut seorang
tersangka pelaku kejahatan internasional dan keputusan itu merupakan akibat dari
unwillingness atau innability negara tersebut.38
c) Proses pemeriksaan pengadilan (termasuk pengadilan nasional) terhadap
tersangka pelaku kejahatan internasional dalam suatu kasus dimaksudkan untuk
melindungi tersangka pelaku dati tanggungjawab pidana (shielding from
criminality responsibility).39
d) Proses pemeriksaan pengadilan (termasuk pengadilan nasional) terhadap
tersangka pelaku kejahatan internasional dalam suatu kasus tidak berlangsung
secara independen ataupun imparsial.40
International Criminal Court berbeda dengan Mahkamah Internasional
yang merupakan peradilan tetap, organ hukum utama PBB, ICC bukan merupakan
organ PBB, berbeda dengan ICJ, ICJ menangani perkara hukum antar negara
sedangkan ICC hanya menuntut dan mengadili individu yang bertanggung jawab
atas kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang menjadi permasalahan bagi
masyarakat internasional.
Pada statuta dijelaskan bahwa statuta hanya mempunyai Yuridiksi atas
individu yang berusia diatas delapan belas tahun keatas setelah statuta mulai
berlaku , yuridiksi ICC terbatas oleh waktu dan geografis. ICC tidak dapat
mengadili suatu kasus / kejahatan yang terjadi sebelum ICC dibentuk dan ICC
tidak dapat mengadili kejahatan yang telah terjadi diluar batas wilayah negara
38
Statuta Roma 1998, Art.17 (1).b.
39
Statuta Roma 1998, Art.20 (3).a
Statuta Roma 1998, Art.20 (3).b
40
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
55
Sesuai dengan Pasal 13 Statuta ICC memberlakukan Yuridiksi terhadap tindak
pidana seperti disebutkan dalam Pasal 5 jika:
a. Situasi dimana satu atau lebih tindak pidana telah terjadi dan melimpahkanya
kepada Jaksa Penuntut oleh negara pihak;
b. Situasi dimana satu atau lebih tindak pidana telah terjadi dan dilimpahkan
kepada jaksa penuntut oleh Dewan Keamanan yang bertindak atas dasar Bab
VII Piagam PBB;
c. Jaksa Penuntut mengambil prakarsa melakukan suatu pengadilan berkaitan
dengan tindak pidana berdasarkan Pasal 15 Statuta.
d. Ada tiga pihak yang dapat mengajukan suatu perkara tindak pidana ke Jaksa
Penuntut, yaitu negara pihak pada Statuta, Dewan Keamanan PBB, dan
Prakarsa Jaksa Penuntut itu sendiri.
Dalam ICC, yuridiksi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan.
Yuridiksi adalah suatu bentuk kewenangan yang dimiki oleh pengadilan, yang
memberi kekuasaan pada pengadilan itu untuk memeriksa kasus, menerapkan
hukum, dan mengambil keputusan atasnya, ada empat kriteria yang menentukan
yuridiksi yang dimiliki oleh suatu pengadilan, wilayah, waktu, materi perkara dan
person yang dapat dicakup oleh suatu pengadilan.41
Yuridiksi Ratione materiae ICC adalah yuridiksi ICC yang meliputi
kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, genosida, dan agresi, kualifikasi
kejahatan dalam Statuta Roma tidak berbeda jauh dari Statuta ICTY dan ICTR,
perbedaannya pengaturan dalam Stuta Roma lebih rinci.
41
Arie Siswanto, Yuridiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, PT.
Rajagrafindo Persada, h. 39
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
56
Kejahatan Perang termasuk dalam Yuridiksi ICC karena kejahatan perang
merupakan kejahatan Internasional yang ada sejak lama , dan kejahatan perang
merujuk pada tindakan tertentu yang merupakan pelangggaran terhadap hukum
dan kebiasaan perang. International Criminal Court memiliki yuridiksi atas
kejahatan tersebut begitu suatu negara menjadi peserta dalam Statuta Roma degan
meratifikasi atau menyetujui statuta tersebut.
Yuridiksi Ratione Personae adalah Yuridiksi ICC mengenai tentang siapa
yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas tindakan kejahatan di mata
masyarakat Internasional dan organ yudisial yang bersangkutan. Statuta Roma
menjelaskan bahwa ICC memiliki yuridiksi atas orang, ICC tidak mempunyai
wewenang untuk memeriksa dan mengadilii legal persons termasuk negara dan
organisasi internasional, orang yang melakukan pelanggaran yang secara material
masuk dalam yuridiksi ICC harus menanggung pertanggungjawaban secara
individual.42
Yuridiksi Teritorial adalah yuridiksi ICC terhadap kejahatan yang
dilakukan: (1) didalam wilayah negara peserta; (2) diwilayah negara yang
menerima yuridiksi atas dasar pernyataan ad hoc; (3) di wilayah yang ditentukan
oleh dewan keamanan PBB. Secara Umum Statuta Roma 1998 menjelaskan
bahwa ICC bisa menjalankan fungsi dan kewenangan diwilayah negara Pihak
Statuta Roma 1998, namun ICC juga dapat menjalankan fungsi dan kewenangan
di wilayah bukan negara pihak selama dibuat perjanjianya.43 Statuta Roma juga
mengatur bahwa yuridiksi teritorial ICC tergantung pada inisiatif pengajuan kasus
42
43
Skripsi
Statuta Roma 1998, Art.25.2
Statuta Roma 1998, Art.4.2
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
57
ke ICC , suatu kasus jika dirujuk ke penuntut ICC oleh negara dalam pihak Statuta
Roma atau hal itu diselidiki karena inisiatif dari penuntut umum maka Statuta
Roma mensyaratkan agar negara tempat dilakukan pelanggaran atau tempat
kewarganegaraan pelaku haruslah pihak dalam Statuta Roma 1998.44
Sementara apabila kasus dirujuk ke penuntut umum oleh dewan keamanan
PBB yang mengambil tindakan dalam kerangkab Bab VII Piagam PBB maka
tidak perlu dilihat dari negara mana pelaku berasal dan dimana pelanggaran
tersebut terjadi , karena ICC dapat menerapkan yuridiksinya.
Yuridiksi Ratione Temporis adalah yuridiksi organ yudisial dapat dibatasi
oleh waktu, seseorang tidak dapat dituntut dan dihukum atas dasar tindakan yang
oada waktu dilakukan belum dinyatakan sebagai tindak pidana.Bagi negara yang
menjadi pihak dalam statuta Roma setelah statuta memiliki kekuatan berlaku,
statuta roma menentukan bahwa ICC memiliki yuridiksi hanya terhadap perbuatan
yang dilakukan setelah berlakunya statuta Roma 1998 bagi negara yang
bersangkutan kecuali negara itu menyatakan lain.45
ICC tidak memilili kewenangan untuk menangani kasus sebelum tanggal 1
Juli 2002 berdasarkan artikel 11 Statuta Roma 1998. Pada artikel 23 mengatakan
‘’a person convicted by the court may be punished only in accordance with this
statute.” Pada artikel 24 juga diatur bahwa tidak seorang pun dapat dimintai
pertanggung jawaban pidana berdasarkan ketentuan statuta atas perbuatan yang
dilakukan sebelum berlakunya stuta. ICC tidak akan mengadili suatu kasus jika
kasus sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu negara yang mempunyai yuridiksi
44
45
Skripsi
Statuta Roma 1998, Art.12.2
Statuta Roma 1998, Art.11.2
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
58
atas kasus tersebut, bersifat complementarity sebab apabila yuridiksi nasional
menggunakan kewenanganya terhadap penegakan hukum bagi pelaku dan apabila
penegakan tersebut gagal maka ICC menggunakan yuridiksinya, ICC akan
bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu atau tidak mau mengambil
tindakan.
Negara Ukraina merupakan tempat terjadinya kejahatan dan Ukraina tidak
termasuk negara yang tidak meratifikasi Statuta Roma 1998, berkaitan dengan
itu, ICC boleh melakukan yuridiksinya bila negara yang diwilayahnya terjadi
kejahatan yang disangkakan (negara berkenaan dengan wilayahnya) dan negara
yang warga negaranya disangka telah melakukan (negara berkenaan dengan
nasionalitas tersangka) adalah negara peserta statuta.
Ukraina mempunyai deklarasi yang menyatakan persetujuan untuk
menyelesaikan konfliknya melalui juridiksi International Criminal Court dengan
dasar Declaration of Verkhovna Rada of Ukraine (the Parliament of Ukraine).46
Sesuai dengan Pasal 12 paragraf 3 Statuta Roma:
Apabila penerimaan dari suatu negara yang bukan merupakan
dari Statuta negara boleh dengan deklarasi menundukan diri sama
pendaftar, meneriima keberlakuan dari yuridiksi Mahkamah berkenaan
tindak pidana tersebut. Negara yang menerima harus bekerja sama
Mahkamah tanpa ada penundaan atau pengecualian.
peserta
dengan
dengan
dengan
Dengan begitu negara Ukraina mengakui Yuridiksi pengadilan untuk
mengidentifikasi kejahatan, menuntut, dan mengadili kasus yang ada di territorial
Ukraina, disamping itu negara yang tidak meratifikasi Statuta kasusnya dapat
46
http://www.icccpi.int/declaration Recognition Juristiction diakses pada 10
Desember 2014
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
59
dibawa ke pengadilan jika dewan keamanan PBB meminta pengadilan untuk
melakukan investigasi situasi kejahatan pelanggaran hukum internasional. ICC
akan memberlakukan yuridiksi ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan situasi
tersebut kejaksa Penuntut, meskipun kejahatan tersebut terjadi di wilayah negara
yang belum meratifikasi Statuta Roma atau telah dilakukan suatu bangsa di negara
tersebut, diatur dalam pasal 16 Statuta Roma 1998.
3.3 Pengadilan Campuran
Hybrid Model atau disebut dengan Internationalised Domestic Criminal
Tribunals, adanya komposisi campuran antara elemen domestic dan internasional,
adanya perpaduan atau penggabungan antara unsur lokal/nasional dan
internasional yang terdapat didalam pengadilan ini misalnya untuk para
personilnya (seperti jaksa, hakim, pengacara), sistem hukum yang diterapkan
(hukum nasional maupun internasional), dana operasionalnya bersumber dari
negara yang bersangkutan maupun bantuan dari luar negri. 47 Pengadilan ini
ditunjukan untuk menjawab kesenjangan antara pengadilan nasional dan
internasional, masalah utama pengadilan adalah kurang kredibilitas dan
inkompeten, sementara pengadilan internasional memiliki keterbatasan dalam hal
kewenangan dan mandat.48
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan campuran (hybrid) digunakan
pada beberapa kasus diantaranya adalah kasus mengenai perang sipil di Sierra
Leone dan Kamboja serta dalam kasus internal armed conflict yang terjadi di
47
Lina Hastuti, Op.,Cit. h.89 dikutip dari Andret Sujatmoko I., Tanggung Jawab Negara
Atas Pelanggaran Berat HAM Indonesia, Timor Leste dan lainnya. h.977
48
Skripsi
Ibid, h.90.
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
60
Timor-Timor dan Kosovo. Pengadilan ini terbentuk berdasarkan latar belakang
politik dan dasar hukum pendiriannya.49
Pada kasus penembakan MH-17 jenis pengadilan ini dapat diterapkan
dengan pembentukan panel di Ukraina, panel tersebut memiliki yuridiksi
eksklusif atas kejahatan perang dan kejahatan serius yang terjadi wilayah Ukraina.
Panel khusus tersebut nantinya berkedudukan di pengadilan wilayah Ukraina,
pengadilan tersebut terdiri dari pengadilan tingkat pertama dan pengadilan
banding. Pengadilan tersebut yang menyelidiki kejahatan perang dan kejahatan
serius lainya termasuk penembakan pesawat MH-17, panel tersebut hanya
meliputi kejahatan yang dilakukan dalam periode konflik ukraina serta memiliki
yuridiksi yang meliputi seluruh wilayah Ukraina.
Dalam melaksanakan yuridiksinya dapat diterapkan hukum yang berlaku
di Ukraina dan ketentuan hukum internasional seperti Konvensi Jenewa 1949 dan
Statuta Roma 1998, meskipun sebenarnya penyelidikan yang nanti dipimpin
langsung oleh Ukraina akan membentuk kondisi yang tidak adil.
49
Skripsi
www.uniceub.br/Utrecht Law Review “Hybrid courts” diakses pada 10 Februari 2015
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
Download