pengembangan perdagangan, pariwisata dan investasi

advertisement
BAB 16
PENINGKATAN INVESTASI
DAN EKSPOR NON-MIGAS
A. KONDISI UMUM
Pertumbuhan ekonomi dalam periode 1999–2003 rata-rata berkisar 3–3,5 persen per
tahun. Keadaan ini belum cukup untuk dapat mengembalikan situasi perekonomian
seperti sebelum krisis. Pertumbuhan ekonomi yang sebagian besar masih disumbang
oleh konsumsi masyarakat tersebut tidak akan berkelanjutan apabila tidak ada
peningkatan pendapatan. Oleh karena itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk
mendorong peningkatan investasi untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Melalui berbagai upaya tersebut, pada tahun 2004 investasi mulai tumbuh. Dalam
tahun 2004 realisasi investasi berupa Pembentukan Modal Tetap Bruto meningkat 15,7
persen dan menyumbang sekitar 60 persen bagi pertumbuhan ekonomi. Meskipun
realisasinya meningkat, namun minat investasi dalam tahun 2004 masih lemah,
tercermin dari turunnya nilai persetujuan penanaman modal yang dikeluarkan BKPM
dalam rangka PMDN dan PMA masing-masing sekitar 26,8 persen dibandingkan
dengan tahun sebelumnya.
Meskipun demikian, rendahnya kinerja investasi masih menghadapi beberapa
permasalahan dan tantangan pokok, yaitu sebagai berikut: (1) prosedur perijinan yang
terkait dengan investasi yang panjang, dimana prosedur perijinan untuk memulai usaha
di Indonesia termasuk sangat lama di Asia yang mencakup 12 prosedur dengan waktu
sekitar 151 hari, sedangkan prosedur perijinan investasi di RRC, Korea Selatan,
Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam berturut-turut hanya
membutuhkan sekitar 40 hari, 20 hari, 30 hari, 50 hari, 8 hari, 33 hari, dan 56 hari; (2)
rendahnya kepastian hukum yang tercermin dari masih banyaknya tumpang-tindih
kebijakan antara pusat dan daerah dan antar sektor serta belum diundangkannya RUU
Penanaman Modal guna lebih menjamin kepastian hukum di bidang investasi; (3) belum
menariknya insentif bagi kegiatan investasi, dimana jika dibandingkan dengan negaranegara lain, Indonesia termasuk tertinggal di dalam menyusun insentif investasi; (4)
rendahnya kualitas infrastruktur yang sebagian besar dalam keadaan rusak akibat krisis;
(5) iklim ketenagakerjaan yang kurang kondusif bagi berkembangnya investasi; dan (6)
kurangnya jaminan keamanan untuk melakukan kegiatan investasi/usaha.
Pada tahun 2004 ekspor nasional mengalami peningkatan sekitar 11,5 persen
dibandingkan tahun 2003, dan nilainya mencapai US$ 69,7 miliar. Peningkatan ekspor
tersebut dimotori oleh peningkatan ekspor nonmigas sebesar 10,7 persen atau menjadi
US$ 53,6 miliar pada tahun 2004 yang diperoleh dari pertumbuhan ekspor industri
manufaktur sebesar 12,0 persen dan pertumbuhan ekspor pertambangan sebesar 9,2
persen. Nilai ekspor pertanian sendiri mengalami penurunan sebesar 6,5 persen.
Negara tujuan ekspor masih didominasi oleh tiga negara tujuan ekspor yaitu Jepang
dengan porsi 14,0 persen, diikuti Amerika Serikat 13,9 persen dan Singapura 8,8 persen.
Dilihat dari kontribusinya terhadap ekspor keseluruhan, kontribusi ekspor produk
industri manufaktur pada tahun 2004 naik menjadi 67,5 persen, sedangkan kontribusi
produk pertanian turun menjadi 3,5 persen. Pencapaian ekspor nasional pada tahun 2005
diperkirakan sebesar US$ 76,0 miliar (RPJM 2004–2009) dengan pertumbuhan sekitar
9,0 persen.
Dalam rangka mendukung kelancaran ekspor, telah dilaksanakan berbagai upaya
penghapusan peraturan daerah untuk kelancaran arus barang domestik dan
penyelenggaraan deregulasi kebijakan ekspor serta impor yang mengakibatkan biaya
tinggi. Pada tahun 2004, telah dilakukan pengkajian kembali atas 45 peraturan daerah
(perda) yang mengatur berbagai ijin dan mengusulkan agar 88 perda dicabut dan 3
perda dapat diterima. Dalam kaitannya dengan deregulasi ekspor dan impor, pada tahun
2004 telah dikeluarkan beberapa Keputusan Menteri mengenai penyederhaaan
ketentuan ekspor dan impor untuk beberapa komoditi penting seperti tekstil dan produk
tekstil (TPT), kayu dan produk kayu, kopi, dan sebagainya. Upaya ini akan dilanjutkan
pada tahun 2005 dalam rangka terus meningkatkan efisiensi perdagangan dalam negeir
agar dapat sekaligus mendukung kinerja peningkatan daya saing produk-produk ekspor
nasional.
Meskipun telah dicapai perkembangan perdagangan ekspor dan upaya peningkatan
ekspor, masih terdapat permasalahan dan tantangan pokok yang dihadapi dalam bidang
perdagangan internasional adalah: (1) masih banyaknya proteksionisme dalam bentuk
blok perdagangan dan persaingan tidak sehat karena praktek oligopoli dan kartel dari
MNC serta subsidi terselubung dari negara maju, terjadinya relokasi investasi footloose
industry ke negara-negara pesaing baru; (2) masih besarnya konsentrasi pasar ekspor
pada tiga negara utama, yaitu Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura; (3) masih
rendahnya keragaman ekspor yang ditunjukkan oleh data BPS 2003 bahwa kontribusi
20 produk ekspor terbesar di dalam total ekspor non-migas (SITC 3 digit) masih sekitar
60,8 persen; (4) meningkatnya hambatan non tarif yang awalnya ditandai dengan isu
lingkungan seperti ecolabelling dan perlindungan terhadap spesies hewan tertentu, serta
isu pekerja anak pada produk-produk pertanian dan perikanan; dan (5) penterjemahan
kerangka perjanjian WTO (”July Package ’04”), terutama dalam kaitannya dengan
pengembangan pertanian dan pengentasan kemiskinan.
Sementara itu, peranan perdagangan dalam negeri menjadi penting dalam
mendorong kelancaran arus barang dan jasa melalui peningkatan efisiensi sistem
distribusi nasional guna mendukung kelancaran barang ekspor. Permasalahan dan
tantangan yang dihadapi dalam peningkatan perdagangan dalam negeri adalah: (1)
masih tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh dunia usaha secara
langsung menurunkan daya saing produk ekspor; (2) masih rendahnya penggunaan
produk dalam negeri, baik oleh industri maupun konsumen; (3) belum optimalnya
pemanfaatan mekanisme bursa berjangka komoditi sebagai sarana hedging price
discovery dan investasi; (4) belum optimalnya pelaksanaan dan penerapan perlindungan
konsumen; (5) maraknya ekses pelaksanaan otonomi daerah yang banyak menghambat
kelancaran distribusi barang dan jasa; (6) keterbatasan dan rendahnya kualitas
infrastruktur seperti jalan, pelabuhan laut, pelabuhan udara, listrik dan jaringan
komunikasi merupakan faktor utama penyebab tingginya biaya ekspor; dan (7) masih
II.16 – 2
belum terintegrasinya sistem jaringan koleksi dan distribusi nasional yang kurang
mendukung peningkatan daya saing ekspor.
Penciptaan iklim persaingan usaha sehat dan peningkatan perlindungan konsumen
sangat penting untuk mendorong peningkatan daya saing produk ekspor yang berbasis
efisiensi dan kompetitif. Namun demikian, permasalahan dan tantangan yang masih
dihadapi dalam mewujudkan persaingan usaha yang sehat adalah: (1) masih lemahnya
tingkat kesadaran para pelaku usaha dalam memahami nilai-nilai persaingan usaha yang
sehat; (2) proses peradilan dalam penegakkan persaingan usaha masih belum berjalan
secara optimal; dan (3) masih adanya kelemahan substansi dalam materi hukum
undang-undang persaingan usaha (UU No. 5 Tahun 1999), termasuk masih kurangnya
harmonisasi dengan perangkat hukum lainnya. Sementara itu, permasalahan dan
tantangan yang dihadapi dalam perlindungan konsumen adalah percepatan upaya
penataan peraturan perundangan untuk meningkatkan efektifitas implementasi
penegakan perlindungan konsumen.
Sejak dibentuknya lembaga Badan Standardisasi Nasional (BSN) tahun 1997
kinerjanya terus meningkat dengan pengembangan mekanisme yang integrated di dalam
pengembangan SNI serta peningkatan kerjasama antar negara di dalam perjanjian
pengakuan standar (Mutual Recognition Agreement/MRA) guna menunjang
peningkatan akses pasar ekspor nasional.
Dalam rangka mendukung daya saing, penerapan standar dan penilaian kesesuaian
dalam kegiatan produksi dan perdagangan juga merupakan salah satu faktor yang sangat
penting. Pengembangan standardisasi nasional kita masih menghadapi beberapa
masalah dan tantangan terutama masih rendahnya pemahaman dan kemampuan
masyarakat dalam mengimplementasikan sistem Standar Nasional Indonesia (SNI). Hal
ini disebabkan karena: (1) keterbatasan sistem yang mampu memfasilitasi stakeholders
untuk berpartisipasi aktif dalam pengembangan standar nasional dan internasional; (2)
keberterimaan SNI oleh pelaku pasar yang relatif rendah; dan (3) ketersediaan informasi
dan infrastruktur sistem akses informasi standardisasi yang belum mampu memenuhi
kebutuhan stakeholders.
Dalam tiga tahun terakhir berbagai peristiwa yang terjadi, seperti ancaman
keamanan global maupun dalam negeri serta wabah penyakit telah berdampak baik
langsung maupun tidak langsung pada menurunnya kinerja industri Pariwisata Nasional.
Namun demikian dengan berbagai upaya keras, secara perlahan tapi pasti industri
pariwisata mulai bangkit dari keterpurukannya dan bersamaan dengan itu perannya
sebagai salah satu industri yang memberikan andil cukup besar dalam mendorong
peningkatan penghasilan devisa negara semakin meningkat. Perkembangan jumlah arus
wisatawan asing (wisman) yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 2004 meningkat
sekitar 19,0 persen menjadi 5,32 juta orang dibandingkan dengan tahun 2003. Dari
realisasi kunjungan wisman tersebut telah mampu menghasilkan devisa negara sebesar
US $ 4,8 miliar atau naik sebesar 12,0 prosen dibandingkan dengan tahun 2003 yang
sebesar US $ 4 miliar. Sementara itu, dengan pengelolaan yang memadai dan kondisi
lingkungan yang kondusif, jumlah wisman yang diperkirakan akan mengunjungi
Indonesia sekitar 5 juta orang dengan besarnya devisa yang dihasilkan sekitar USD 5,4
miliar.
II.16 – 3
Permasalahan-permasalahan yang menghambat pembangunan pariwisata antara lain
adalah: (1) belum pulihnya citra keamanan nasional akibat beberapa aksi terorisme di
dalam maupun di luar negeri; (2) belum optimal dan efektifnya pengelolaan pemasaran
baik dalam maupun luar negeri, (3) belum optimalnya pengembangan dan pengelolaan
destinasi pariwisata, terutama di daerah KATIMIN; (4) sebagai negara bahari, wisata
bahari belum dikembangkan secara optimal; (5) masih lemahnya sinergi regulasi di
semua level baik pusat maupun daerah yang akan berdampak pada rendahnya investasi
dan pembangunan indsutri pariwisata; (6) belum efektifnya pengelolaan informasi
pariwisata; (7) belum optimalnya pengembangan pariwisata domestik; (8) masih
lemahnya manajemen kemitraan dan jaringan kerja antarpelaku industri pariwisata dan
antara pelaku industri pariwista dan pelaku ekonomi-sosial lainnya; (9) masih
terbatasnya jumlah SDM profesional dalam industri pariwisata; dan (10) masih belum
memadainya sarana dan prasarana pendukung pengembangan industri pariwisata.
Dalam upaya mencapai sasaran yang telah dicanangkan dan mengatasi
permasalahan yang ada, maka tantangan pokok yang dihadapi dalam pembangunan
industri pariwisata adalah: (1) Peningkatan citra Indonesia sebagai Negara tujuan utama
wisata dunia yang aman dan nyaman sehingga mampu menarik wisatawan berkunjung
ke Indonesia; (2) Peningkatan daya saing produk pariwisata melalui pengelolaan
destinasi yang lebih profesional, serta pemerataan pembangunan pariwisata yang selama
ini masih beorientasi ke Wilayah Indonesia Bagian Barat dengan menciptakan destinasi
yang kompetitif, terutama di wilayah KATIMIN; (4), Pengembangan wisata bahari; (5)
Peningkatan manajemen industri pariwisata melalui penguatan kemitraan dan jaringan
di dalam maupun di luar negeri; dan (6) Peningkatan fasilitas sarana dan prasarana serta
jasa yang mendukung pembangunan pariwisata.
B. SASARAN PEMBANGUNAN TAHUN 2006
Sasaran yang hendak dicapai dalam upaya meningkatkan investasi dan ekspor
adalah sebagai berikut:
1. Terwujudnya iklim investasi yang sehat dan kondusif sehingga mampu
meningkatkan investasi (PMTB) sekitar 11,1 persen dalam tahun 2006 dalam rangka
mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 6,1 persen dan sekaligus mengurangi
pengangguran terbuka;
2. Meningkatkan citra Indonesia sebagai salah satu negara tujuan investasi dan minat
investasi di Indonesia;
3. Meningkatnya pertumbuhan ekspor non migas sebesar 6,5 persen pada tahun 2006
atau menjadi sekitar USD 61,1 miliar dengan komposisi produk yang lebih beragam
dan kandungan teknologi yang semakin tinggi;
4. Meningkatnya efisiensi dan efektivitas sistem distribusi nasional, tertib niaga dan
kepastian berusaha untuk mewujudkan perdagangan dalam negeri yang kondusif
dan dinamis dalam rangka mendukung peningkatan ekspor;
5. Meningkatnya keberterimaan (acceptance) produk nasional di pasar global; dan
6. Dalam tahun 2006 jumlah wisman yang akan berkunjung ke Indonesia diharapkan
meningkat menjadi 7 juta orang dengan jumlah devisa negara yang dihasilkan
sekitar US $ 6,3 miliar. Sementara itu, untuk parwisata domestik, diharapkan dalam
II.16 – 4
tahun 2006 mampu mencapai jumlah perjalanan yang ditargetkan, yaitu 209.000
jumlah perjalanan.
C. ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TAHUN 2006
Dalam rangka mewujudkan sasaran di atas, arah kebijakan bagi peningkatan
investasi dan ekpor nasional antara lain adalah sebagai berikut:
1. Arah kebijakan bagi penciptaan iklim investasi yang sehat mencakup:
a. Memperpendek prosedur perijinan menjadi sekitar 30 hari;
b. Menjamin kepastian usaha, dengan menyelesaikan konflik kebijakan antara
pusat dan daerah serta konflik kebijakan antar sektor; dan
c. Menyusun peraturan pelaksanaan Undang-undang Penanaman Modal yang akan
diundangkan pada tahun 2005; dan
d. Memberikan insentif penanaman modal yang lebih menarik.
2. Arah kebijakan bagi peningkatan promosi dan kerjasama investasi mencakup:
a. Melakukan promosi investasi yang terkoordinasi baik di dalam maupun di luar
negeri, termasuk oleh pejabat promosi investasi di luar negeri.
3. Arah kebijakan bidang perdagangan luar negeri adalah meningkatkan akses dan
perluasan pasar ekspor serta perkuatan kinerja eksportir dan calon eksportir.
Aspeknya meliputi:
a. Finalisasi konsep revitalisasi kinerja kelembagaan promosi ekspor dan perkuatan
kapasitas kelembagaan pelatihan eksportir kecil;
b. Peningkatan perbaikan kinerja diplomasi perdagangan internasional, baik untuk
negara maju maupun negara sedang berkembang;
c. Peningkatan fasilitasi perdagangan melalui penyederhanaan prosedur ekspor–
impor melalui inisiasi uji coba konsep single document, secara bertahap mulai
mengurangi sistem tata niaga untuk komoditi-komoditi non-strategis dan yang
tidak memerlukan pengawasan, dan perkuatan kapasitas lembaga uji mutu
produk ekspor-impor;
d. Optimalisasi sarana penunjang perdagangan internasional seperti kelembagaan
trade financing untuk ekspor; dan
e. Peningkatan keberterimaan (acceptance) produk di pasar global melalui
pengembangan SNI dan kerjasama standardisasi regional dan internasional.
4. Dalam rangka mendukung peningkatan eskpor, arah kebijakan perdagangan dalam
negeri mencakup:
a. Harmonisasi kebijakan pusat dan daerah, penyederhanaan prosedur, perijinan
yang menghambat kelancaran arus barang untuk tujuan ekspor;
b. Perkuatan kelembagaan perdagangan terutama kemetrologian, bursa berjangka
komoditi, dan kelembagaan persaingan usaha
c. Peningkatan efisiensi perdagangan dalam negeri dan memfasilitasi
pengembangan prasarana distribusi tingkat regional dan prasarana subsistem
distribusi lokal.
d. Pengembangan perdagangan berjangka komoditi, pengembangan pasar lelang
lokal komoditi agro dan implementasi pembiayaan alternatif melalui sistim resi
gudang (WRS= warehouse receipt system) untuk mendukung revitalisasi
pertanian dan perdagangan.
II.16 – 5
e. Peningkatan efektivitas pelaksanaan perlindungan konsumen, tertib ukur, dan
perkuatan sistem pengawasan barang beredar dan jasa.
f. Fasilitasi kegiatan perdagangan untuk mendorong perekonomian di daerah
perbatasan, terpencil, pulau terluar, dan daerah paska konflik.
5. Arah kebijakan di sektor pariwisata meliputi:
a. Peningkatan strategi dan efektifitas promosi baik di dalam maupun di luar
negeri;
b. Mengembangkan dan meningkatkan jenis dan daya saing produk-produk wisata,
yang mempunyai potensi sangat besar, terutama pengembangan wisata bahari
dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan;
c. Meningkatkan efektifitas kemitraan dan koordinasi antar pelaku pariwisata dan
antara pelaku pariwisata dan pelaku ekonomi dan sosial lainnya terutama yang
berkaitan dengan penyediaan fasilitas jasa, sarana dan prasarana yang
mendukung pembangunan pariwisata;
d. Mensinergikan dan menyederhanakan regulasi, terutama yang berkaitan dengan
pembangunan pariwisata.
II.16 – 6
Download