BPPT Tawarkan TMC untuk Atasi Kebakaran Hutan

advertisement
Sumber Berita
Media Indonesia
02 Juli 2004
BPPT Tawarkan TMC untuk Atasi Kebakaran Hutan
JAKARTA (Media): Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang saat ini
sedang melanda Riau dan beberapa provinsi di Kalimantan, dapat diatasi dengan
hujan buatan yang diperkenalkan dengan nama teknik modifikasi cuaca (TMC).
Biaya operasional TMC diperkirakan mencapai Rp114 juta/hari.
Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) menawarkan cara tersebut kepada pemerintah. Selain untuk kebakaran,
TMC juga dapat digunakan untuk menanggulangi masalah banjir dan kekeringan
yang terjadi di Indonesia.
Kepala Unit Pelaksana teknis Hujan Buatan Asep Karsidi menjelaskan, pada
kebakaran hutan yang menimbulkan asap, secara kondisi memang tidak
mendukung terbentuknya hujan. Untuk mengatasi masalah itu, pihaknya
mengurangi awan-awan yang terjadi akibat asap yang ditimbulkan kebakaran
tersebut.
Menurut dia, kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia
diperparah oleh kondisi klimatologis wilayah ekuator, sehingga kecepatan angin
lebih rendah dibandingkan negara-negara di lintang tinggi, seperti Australia,
Amerika Serikat (AS), atau Kanada. Maka asap akan bertahan lebih lama di
atmosfer.
Pasalnya, asap tersebut lebih panas dibandingkan udara sekitarnya sehingga
membentuk lapisan hangat di atmosfer dengan ketinggian 1.000 meter dekat hot
spot (titik panas) dan kondisi atmosfer stabil. ''Kondisi stabil, maksudnya lapisan
asap akan bertahan di udara dalam waktu cukup lama (sekitar 10 hari). Karena
tidak ada tiupan angin yang membuyarkan, secara perlahan dapat
ditransportasikan ke wilayah yang jauh hingga ke negara tetangga kita,'' jelas
Karsidi kepada Media kemarin.
Selain itu, kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia biasanya selalu terjadi di
puncak musim kering di udara dan permukaan. Akibatnya, tingkat kesulitan untuk
terjadinya hujan menjadi lebih tinggi lagi.
Untuk mengatasi masalah itu, kata Karsidi, pihaknya mencoba memanfaatkan
bahan-bahan super higroskopis yang disebarkan untuk merilis kabut atau asap. Hal
seperti itu pernah dilakukan pihaknya saat kebakaran hutan di Sumatra dan
Kalimantan pada 1997 dan 2001.
Higroskopik, menurut dia, merupakan material yang menarik uap air untuk
dicairkan. Beberapa material higroskopik yang digunakannya untuk mengatasi
masalah tersebut di antaranya sodium klorida/garam dapur (Na Cl), urea (pupuk),
dan Dyn-O-Mat (Polyacrylamide).
©
http://www.huma.or.id
Kekuatan menarik uap air secara fisis tersebut, lanjutnya, karena mampu menarik
uap air akibat tekanan uap air di permukaannya lebih rendah dari sekitarnya dan
mengubahnya menjadi air pada kelembaban tertentu. Asap sendiri, terdiri atas
partikel-partikel yang kalau ada uap airnya dan partikel bakaran harus diserap.
''Misalnya, 1 kg CaCl2, pada kelembaban udara 95% mampu menyerap uap air dan
mengubahnya menjadi air sebanyak 8,2 kg atau 820% beratnya.''
Material higroskopik kuat dalam bentuk partikel kasar tersebut, menurut Karsidi,
dibawa terbang di atas lapisan yang tercemar asap dan dilepaskan keluar.
Sepanjang lintasannya, larutan tersebut akan terus menyerap, menyapu, serta
menangkap polutan berupa asap hingga membesar dan membentuk tetesan air
yang turun ke tanah.
Namun, semua itu memang tergantung kondisi lokal yang berlomba dengan
banyaknya pepohonan yang terbakar di bawahnya. Karena itu, pemanfaatan
kondisi alam setempat juga diperlukan. ''Kalau tanpa multiefek yang luas,
merangsang perubahan kondisi lokal tidak akan efektif.''
Menurut Karsidi, pihaknya telah diundang oleh Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) mengenai penanganan masalah kebakaran
pada 25 Juni lalu. Di sana pihaknya mempresentasikan TMC.
Berdasarkan pengalaman lalu, jelas Karsidi, pihaknya bekerja sama dengan Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB). ''Perkiraan kita,
untuk biaya operasional Rp114 juta per hari.''
Teknologi tersebut, menurut Karsidi juga dapat dimanfaatkan untuk
menanggulangi banjir yang terjadi. Caranya dengan menaburkan material kepada
awan yang belum matang dan menjatuhkan sejak awal menjadi hujan yang kecil.
Akhirnya dapat mengurangi intensitas dan besaran hujan yang akan turun
Setelah dijatuhkan, air itu akan ditampung dengan bantuan sistem tata air di
permukaan, yaitu dengan sistem drainase, waduk, atau danau. Air tampungan itu
akan berguna bagi cadangan menghadapi musim kering. (Nuz/V-2)
©
http://www.huma.or.id
Download