BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dongeng

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dongeng atau conte adalah sebuah cerita sederhana yang dikarang untuk
menyampaikan pesan dan moral untuk anak-anak. Fungsi dari dongeng sangat
beragam yaitu untuk mengajarkan pesan moral kehidupan, mengembangkan daya
imajinasi, dan menambah wawasan anak. Pada awalnya dongeng merupakan cerita
lisan yang turun temurun sehingga tercipta berbagai versi dengan inti cerita yang
sama, misalnya Cinderella dalam versi Cendrillon (Perrault, 1697), Aschenputtel
(Grimm Bersaudara, 1812), dan Cenerentola (Basile, 1634) menceritakan seorang
gadis yang hidup menderita dengan keluarga tirinya dan pada akhirnya hidup
bahagia dengan seorang pangeran tampan.
Di era modern ini, budaya membaca dongeng tidak terlalu populer karena
secara umum membaca belum menjadi kebiasaan. Apalagi banyak dari cerita
dongeng-dongeng tersebut telah dialihwahanakan (ekranisasi) menjadi animasi,
game, dan film. Sebagai contoh, beberapa rumah produksi seperti Universal Picture
(Amerika) atau Pathé (Prancis) telah memproduksi beberapa film dari cerita
dongeng, seperti Snow White dengan judul Snow White and the Huntsman (2012),
Hansel dan Gretel dengan filmnya berjudul Hansel & Gretel: the Witch Hunters
(2103), dan La Belle et La Bête (2014).
Pada awal milenium ini, lebih banyak dongeng dialihwahanakan menjadi
film karena telah muncul teknlogi baru yaitu CGI (Computer-Generated Imagery
1
2
atau pencitraan hasil komputer) yang merupakan teknologi baru dalam produksi
film. CGI dapat membuat efek-efek seperti cahaya, sihir, monster, latar belakang,
dan efek-efek lain yang sulit jika diwujudkan dalam properti manual.
A film industry, struggling to hold the attention of global market, has ploughed
considerable resources into imaginated fairy tales. A notable trend in adapting
fantastical stories has been apparent since the Mammoth commercial success of The
Lord of the Rings trilogy (Peter Jackson, 2001, 2002, 2003).
(Short: 2015-1)
Beberapa karakter juga akan berubah dan menjadikan cerita lebih kompleks.
Perubahan tersebut dapat berupa penambahan, pengurangan, dan penciutan cerita
dan karakter pada film (Eneste, 1991: 61). Hal itu didorong oleh tuntutan
pemenuhan durasi film, alur cerita yang menarik, dan faktor-faktor komersial
lainnya dalam sebuah produksi film.
Fungsi dongeng menjadi berubah karena perubahan tersebut mengakibatkan
pergeseran genre. Seperti Snow White and the Huntsman yang ber-genre dark
fantasy1, dengan adanya unsur sihir hitam yang ditonjolkan dan petualangan yang
lebih menarik, dalam film tersebut Snow White benar-benar digambarkan
menderita dan harus melewati hutan sihir yang sangat realistik. Sedangkan Hansel
& Gretel: the Witch Hunters ber-genre horor fantasi, yang menceritakan Hansel
dan Gretel yang telah tumbuh dewasa dan menjadi pemburu penyihir, terdapat
banyak adegan berdarah yang ditampilkan pada film tersebut. Tentu saja hal
tersebut tidak sesuai jika melihat fungsi awal dongeng dan struktur ceritanya yang
sederhana.
1
Sub-genre fantasi yang konten dan unsur ceritanya yang lebih mengerikan
https://en.wikipedia.org/wiki/Dark_fantasy (diakses pada 1 Januari 2016)
3
Salah satu film hasil alihwahana dongeng yang memunculkan banyak
perubahan adalah La Belle et La Bête (yang selanjutnya akan disingkat menjadi
LBeLB). Dongeng LBeLB bercerita tentang seorang gadis bernama Belle yang
tinggal bersama beberapa saudaranya (dalam setiap versi dongeng atau film, jumlah
saudaranya berbeda-beda) dan ayahnya. Ayahnya adalah seorang saudagar yang
mengalami kebangkrutan dan harus pindah ke sebuah rumah kecil di pinggiran
desa. Pada suatu ketika, ayahnya yang baru saja pulang dari perjalanan bisnis
tersesat di sebuah hutan dan kedinginan karena badai salju. Tanpa disadari, sang
Ayah dituntun oleh kekuatan sihir untuk datang ke sebuah kastil tua milik Bête. Di
sana, sang Ayah menikmati jamuan yang disajikan oleh sihir, bahkan dia diberi
beberapa harta yang diminta oleh anak-anaknya. Teringat oleh permintaan Belle,
yaitu setangkai bunga mawar maka sang Ayah memetik sebatang mawar di
pelataran kastil. Pada saat itu juga, muncullah Bête yang murka dan meminta
sebuah balasan berupa nyawa seseorang yang paling berharga bagi sang Ayah.
Maka sang Ayah pun pulang ketakutan dan menceritakan apa yang telah terjadi
kepada anak-anaknya. Belle, yang merasa bersalah, merelakan diri untuk datang ke
kastil tua tersebut.
Belle kemudian bertemu dengan Bête dengan penuh ketakutan. Tetapi
sejalan dengan waktu Belle dapat mengubah sifat Bête yang seperti monster
menjadi lebih baik. Ketika Bête hampir meninggal karena tidak ada orang yang
mencintainya, Belle menjadi penyelamatnya dan berhasil mematahkan kutukan
Bête. Akhir dari cerita tersebut adalah Belle hidup bahagia dengan Bête. Dongeng
LBeLB telah dialihwahanakan menjadi dua film. Film pertama yang dirilis tahun
4
1946 besutan Jean Cocteau dan yang kedua adalah film yang disutradarai oleh
Christophe Gans pada tahun 2014.
Christophe Gans adalah seorang sutradara Prancis yang pernah
mengalihwahanakan beberapa film seperti Silent Hill (2006), Crying Freeman
(1995), dan Necronomicon (1993). Ketiga film tersebut diadaptasi dari game,
komik, dan cerita pendek. Gans yang berkuliah di IDHEC, sebuah sekolah film di
Prancis. Gans mengatakan bahwa dia tidak menyukai LBeLB versi Cocteau dan
Disney karena melenceng dari versi dongeng asli, karya Madame de Villeneuve.
Gans mengatakan bahwa Cocteau memusatkan cerita kepada La Bête sementara
Gans mengalihkannya kepada La Belle, atau karakter feminin untuk membuat
perbedaan.2 Gans juga memperhatikan bagaimana cerita dibuat, ia menggunakan
narator untuk membangun cerita dan suasana. Ia menambahkan bahwa dongeng
awalnya sebuah cerita oral, sehingga penambahan narator akan menambah esensi
sebuah dongeng.
Léa Seydoux dipilih oleh Gans untuk memerankan sesosok gadis yang baik
hati dan cantik seperti tokoh-tokoh putri dalam dongeng-dongeng. Seydoux yang
sebelumnya telah membintangi beberapa film seperti Blue is the Warmest Color
(2013) sebagai seorang lesbian bernama Emma dan James Bond: Spectre sebagai
Bond Girl. Dari karakter-karakter tersebut tentu saja mempengaruhi karakteristik
Seydoux dalam membawakan karakter Belle. Sedangkan pada film besutan Jean
2
Wawancara Gans www.salon-litteraire.com/fr/cinema/content/1850660-la-belle-et-la-beteversion-christophe-gans-entretien (Diakses pada 24 November 2015: 10.24 WIB)
Dalam wawancaranya dia menaruh La Belle sebagai tokoh sentral, sehingga membuat sebuah
perbedaan dengan film LBeLB besutan Cocteau.
5
Cocteau, Belle yang diperankan oleh Josette Day memerankan tokoh tersebut
dengan lebih anggun.
Dalam sebuah film, karakterisasi dapat dilakukan dengan ekspresi, mimik
ataupun gestur. Karakterisasi dalam film akan terlihat lebih jelas karena kekuatan
dari visual film tersebut. Dalam film LBeLB Gans, karakter dari tokoh-tokoh
digambarkan dengan sangat berbeda jelas. Sebagai contoh, tatapan ataupun ekspresi
yang dibuat oleh tokoh, seperti:
Gambar 1.1
(47:20-47:26)
La Belle berbicara dengan La Bête
Bête: “Tu es en retard. Aime-tu ta nouvelle robe?”
Belle: “Ne venez jamais dans ma chambre!”
Bête: “Kau terlambat. Apa kau suka gaun barumu?”
Belle: “Jangan masuk ke kamarku lagi!”
Pada gambar tersebut, terlihat ekspresi Belle yang terlihat sangat sinis dan
angkuh karena Bête tertangkap basah pernah memasuki kamar Belle. Selain itu,
intonasi dialog Belle sangat tinggi dan terdengar sangat marah. Belle yang selama
ini selalu digambarkan sebagai seorang perempuan yang lembut oleh Day
mengalami pergeseran dengan karakter yang dibawakan Seydoux. Terdapat
beberapa aspek yang mempengaruhi pergeseran tersebut. Film yang dibuat oleh
6
Cocteau keluar pada tahun 1946 sedangkan arahan Gans keluar pada tahun 2014.
Citra perempuan dalam film abad 21 sangat berbeda dengan abad 20.
Citra perempuan dalam film menjadi lebih kuat karena pengaruh gerakan
feminisme yang terjadi pertengahan abad ke-20. Perempuan selalu menjadi peran
pendamping tokoh dan digambarkan tidak bisa hidup tanpa lelaki. Keberadaan
perempuan juga selalu disorot dari sudut pandang seorang lelaki, yaitu tubuhnya
untuk kebutuhan estetik suatu film. Hal ini atau yang sering disebut male gaze
menjadikan perempuan sebagai objek dan seorang korban. Male gaze menurut
Laura Muvey adalah cara pandang seorang laki-laki atas dunia dan perempuan
dalam kasus ini adalah peran perempuan dalam film. Perempuan bisa dikatakan
adalah sebuah objek pandangan kaum pria dan menyiratkan perempuan yang hidup
dalam patriarki. Sebagaimana kehidupan perempuan dalam kehidupan nyata.
Seperti dalam kebanyakan film noir (film kelam). Genre ini, merupakan jenis film
tentang detektif yang menonjolkan peran laki-laki sebagai protagonis dan
perempuan yang menggairahkan secara seksual sebagai antagonis.
Dari hal-hal inilah menjadi sebuah pemicu adanya film feminis. Film
tersebut merupakan suatu media untuk mengubah cara pandang penonton mengenai
perempuan. Perempuan ingin dipandang sebagai tokoh sentral atau heroine dan
melepas citra atau image perempuan yang lemah. Film feminis juga ingin
mempengaruhi penonton untuk melakukan perubahan, yaitu mengubah cara
pandang perempuan.
7
1.2 Permasalahan
Citra perempuan dari abad ke abad mengalami perubahan, dari citra seorang
perempuan yang harus tunduk kepada laki-laki dan menjalani kehidupan patriarki.
Gerakan feminisme yang muncul karena adannya ketidaksetaraan hak menjadi
pemicu perubahan citra perempuan. Feminisme juga mempengaruhi cara pandang
sineas film untuk menggambarkan citra perempuan seperti Gans yang membuat
citra seorang putri dongeng yang telah mengalami pergeseran. Dari hal-hal tersebut,
maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu :
1. Aspek dan unsur apa saja yang memperlihatkan pergeseran karakter La
Belle dari novel ke film LBeLB?
2. Unsur-unsur apa saja yang bisa membuktikan bahwa film tersebut
adalah film feminist?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dibuat untuk memperjelas alasan-alasan kenapa film tersebut
berbeda dengan konsep karakter dongeng pada umumnya dan penelitian ini juga
bertujuan untuk menilai sebuah film serta mengetahui alasan mengapa karakter
yang terdapat di film mengalami pergeseran. Penelitian ini diharapkan bisa
membantu para pembaca untuk lebih menghargai sebuah ekranisasi dan dapat lebih
memahami pesan moral dari sebuah film.
8
1.4 Landasan Teori
Film dikenal sebagai bentuk dari sebuah seni yang unik dan berpengaruh
kuat sejalan dengan seni pahat, lukis, musik, sastra, dan drama (Petrie & Boggs,
2012: 3). Film dikatakan unik karena dalam film, ada banyak unsur yang bisa
memanipulasi berbagai sudut pandang dan bisa menjadi sarana komunikasi
langsung. Film tidak hanya menampilkan simbol-simbol ataupun tulisan, namun
menampilkan bentuk gambar dan suara. Film juga merupakan sarana seorang sineas
untuk menyatukan berbagai unsur, yakni visual, akting, audio, dan tentu saja pesan
moral.
Suatu film tidak hanya bisa dinikmati saja, namun bisa membawa pengaruh
terhadap penonton. Efek visual yang ditimbulkan merupakan salah satu fungsi film.
Maka daripada itu, film-film mempunyai tujuan untuk menyampaikan pesan
sehingga penonton bisa tergerak dan terpengaruh. Dalam film pun, setiap gerakan
tokoh maupun kamera, suara, objek, dan pencahayaan mempunyai arti yang ingin
ditunjukkan oleh sineas. Semua unsur yang terkandung dalam film mempunyai
peran yang saling berkaitan erat, misalnya suatu latar musik yang digunakan untuk
mendramatisir suasana dalam suatu adegan atau mempertegas karakter tokoh.
Dalam penelitian ini, akan digunakan beberapa teori, yaitu teori ekranisasi
oleh Dennis Petrie dan Joseph Boggs (2012) yang berkaitan dengan karakterisasi
dan teknik-teknik sinematografi. Kemudian terdapat pula teori mengenai
feminisme dan semiotika. Penggunaan teori semiotika mempunyai tujuan untuk
membaca tanda-tanda yang menunjukkan suatu makna tersirat dalam film. Adegan
dalam film tidak selalu menunjukkan maknanya langsung, namun disampaikan
9
melalui komposisi dalam film, baik komposisi warna, tokoh figuran, atau pemilihan
kata dalam dialog. Teori feminisme juga digunakan karena dalam film tersebut
mengandung unsur-unsur feminisme.
1.4.1 Teori Ekranisasi
1.4.1.1 Karakterisasi
Karakterisasi merupakan unsur penting dalam sebuah cerita maupun film,
karena dari karakterisasi, sebuah film bisa dinilai. Karakterisasi juga tidak bisa
dipisahkan dengan pemilihan pemeran, karena setiap pemeran juga
mempunyai watak asli, penampilan maupun pengalaman yang berbeda-beda
yang akan ikut terbawa saat memerankan tokoh yang bersangkutan.
Karakterisasi juga bisa dipengaruhi oleh beberapa unsur, yaitu:
1.4.1.1.1
Karakterisasi melalui Penampilan
Aspek yang paling penting ketika menilai sebuah film adalah dari
segi visualnya, karena aspek tersebut adalah yang terlihat pertama kali dan
paling menonjol saat menonton film. Setiap karakter akan terasa berbeda
ketika diperankan oleh pemeran yang mempunyai penampilan khas yang
berbeda. Perbedaan tersebut meliputi penampilan, tingkah laku maupun
gestur. Kostum juga akan mempengaruhi gaya tokoh tersebut, seperti kelas
sosial atau pun sifatnya.
1.4.1.1.2
Karakterisasi melalui Dialog
Watak dan dialog mempunyai hubungan yang sangat erat karena
dialog dipengaruhi oleh watak. Dalam dialog akan terlihat pula bagaimana
10
tokoh mengendalikan emosi dan sifat. Dialog meliputi intonasi, pemilihan
kata, dan gaya bicara. Melalui intonasi akan terlihat bagaimana tokoh
tersebut mengendalikan emosi, sedangkan pemilihan kata dan gaya bicara
adalah pengaruh dari kelas sosial dan pengetahuan sang tokoh.
1.4.1.1.3
Karakterisasi melalui External Action
Tindakan atau aksi merupakan cerminan suatu sifat, ditambah
tindakan merupakan aspek yang bisa dilihat dan dinilai sangat jelas.
Tindakan seorang tokoh juga merupakan cerminan sifatnya, sebagai contoh
tindakan refleks yang dilakukan oleh tokoh. Umumnya, tindakan refleks
merupakan tindakan yang murni berkaitan dengan sifat asli tokoh.
1.4.1.1.4
Karakterisasi melalui Nama
Dalam sebuah film, pemilihan nama sering disesuaikan dengan
watak, profesi, atau pun kelas sosial. Nama juga sering mempunyai arti atau
kiasan yang disampaikan oleh pengarang. Pemberian nama atau Name
Typing merupakan hal penting dalam penokohan dan perlu diingat untuk
selalu meneliti tentang kiasan dan bunyinya.
1.4.1.2 Sudut Pandang Kamera
Pergerakan kamera adalah suatu hal yang sangat penting. Dalam
menonton dan menikmati sebuah film, penonton tidak hanya melihat apa yang
diperlihatkan, namun juga bagaimana dan kenapa diperlihatkan dengan cara
tersebut. Terdapat empat sudut pandang yang digunakan, yaitu objektif
(menggambarkan suasana), subjektif (sebagai partisipan dari dalam), subjektif
11
tidak langsung, dan intrepretasi sutradara. Dalam film tersebut, hanya akan
dianalisa dengan menggunakan satu sudut saja.
Sudut pandang kamera objektif yaitu sudut pandang seperti sebuah
jendela, dan penonton film adalah orang yang sedang menyaksikan
pemandangan luar melalui jendela (Ford via Petrie & Boggs, 2012; 106). Sudut
pandang ini lebih menekankan penonton untuk memperhatikan efek dramatis
yang sengaja dibuat oleh sutradara melalui ekspresi dan sudut kamera tertentu.
Dalam sudut ini, kamera tidak melibatkan sudut pandang karakter manapun
dalam sebuah adegan. Sudut pandang objektif lebih bergerak statis sehingga
hanya merekam gerakan dan tindakan tokoh senatural mungkin. Sebagai
contoh, dalam suatu adegan yang terdapat tiga tokoh sedang berkelahi maka
kamera akan mengarahkan pada ketiga tokoh tersebut untuk mengambil
suasana yang terjadi selama perkelahian.
Sedangkan sudut pandang kamera subjektif merupakan sudut pandang
kamera yang lebih mengeksploitasi emosi para tokoh. Mengambil sudut-sudut
untuk bisa menampilkan ekspresi para tokoh. Gerakan ini seakan memaksa
penonton untuk melihat apa yang dilihat, dirasakan, dan dipikirkan tokoh
dengan mengambil sudut pandang tokoh dalam suatu adegan. Efek yang
ditimbulkan
adalah
dramatisasi
dari
aksi
seorang
tokoh
ataupun
menggambaran suatu pikiran tokoh tersebut. Contoh yang bisa diambil adalah
perkelahian oleh tiga orang, namun kamera menyorot salah seorang laki-laki
yang jatuh dengan posisi kamera di atasnya dengan jarak yang tidak terlalu
12
tinggi. Kamera tersebut tentu mengambil sudut pandang orang yang
menjatuhkan laki-laki tersebut.
1.4.2 Feminisme
Menurut Sugihastuti & Sastriyani (2007: 64) feminisme merupakan teori
mengenai persamaan kaum perempuan dan laki-laki di bidang politik, ekonomi,
sosial, publik, atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta
kepentingan perempuan. Gerakan ini muncul karena adanya ketimpangan hakhak yang dirasakan oleh kaum perempuan. Hal tersebut terjadi karena adanya
pembedaan perlakuan di masyarakat berdasar gender. Gender merupakan sifat
yang terdapat pada laki-laki dan perempuan. Kadang, gender sering
disalahartikan menjadi seks, yaitu jenis kelamin. Seks merupakan pembeda jenis
kelamin secara biologis, yaitu laki-laki maupun perempuan, sedangkan gender
merupakan sifat yang ditumbuhkan dan dikonstruksi oleh norma, agama, dan
pemerintahan.
Sebagai contoh, sewaktu kecil seorang bayi perempuan dan laki-laki sudah
diperlakukan berbeda oleh orang tuanya. Bayi laki-laki diberi pakaian serba
warna biru, dan bayi perempuan dengan pakaian serba merah muda. Mereka
beranggapan bahwa warna merah muda merupakan warna yang terlihat feminin,
sehingga terdapat anggapan bahwa bayi laki-laki tidak pantas untuk memakai
pakaian warna merah muda. Contoh lain adalah pada mainan yang diberikan
kepada laki-laki dan perempuan. Mainan laki-laki yang berupa bola, mobilmobilan, ataupun atribut superhero. Laki-laki seolah-olah dari kecil dibentuk
13
menjadi lebih dominan daripada perempuan yang mendapatkan mainan boneka
dan peralatan rumah tangga. Dari mainan-mainan tersebut, anak laki-laki dididik
untuk menjadi lebih aktif daripada anak perempuan. Konstruksi-konstruksi
semacam inilah yang mengakibatkan perbedaan gender. Beberapa hal yang juga
ikut berperan dalam membangun perbedaan gender adalah budaya, agama, dan
negara. Dalam agama Islam misalnya, seorang pemimpin haruslah seorang lakilaki karena perempuan mempunyai emosi yang tidak stabil. Ketidakstabilan
tersebut sebenarnya dikarenakan pengaruh hormon yang dipunyai perempuan.
Ditambah laki-laki yang mempunyai kestabilan hormon dan cara berpikir yang
lebih logis. Beberapa hal lain yang menjadi faktor adalah karena secara fisik,
tenaga perempuan lebih lemah daripada laki-laki, dengan demikian kaum
perempuan selalu dianggap lebih lemah daripada laki-laki.
Masyarakat mengadopsi sistem patriarki, yaitu sistem pengelompokkan
sosial yang sangat mementingkan garis keturunan bapak (Sugihastuti &
Sastriyani, 2007: 178). Sistem tersebut mengatakan bahwa perempuan harus
tunduk pada kekuasaan lelaki dan memposisikan peran perempuan lebih rendah
daripada peran laki-laki. Oleh karena itu, perempuan tidak dapat bergerak bebas
dan mendapatkan hak-haknya karena adanya kekangan norma-norma yang
berlaku di masyarakat. Seperti perempuan yang tidak boleh bekerja karena harus
mengurus rumah tangga dan anak-anak. Pada masa kolonialisme di Indonesia,
perempuan tidak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan karena
perempuan hanya akan bekerja untuk suaminya. Ideologi patriarkal menganggap
perempuan sebagai istri, ibu daripada sosok pekerja, seseorang yang bisa
14
bertanggung jawab atas posisinya sebagai perempuan di masyarakat (Juliet
Mitchell via Tong, 1998: 177).
Dari hal-hal tersebutlah muncul beberapa
pemikiran yang menginginkan kesetaraan hak perempuan di masyarakat. Gerakan
feminisme yang pertama muncul di Amerika dan Inggris, walaupun terdapat
sedikit perbedaan antara feminis radikal dan sosialis3.
Terdapat tiga gelombang gerakan feminisme, gelombang pertama muncul
pada pertengahan abad 20. Gerakan ini awalnya menuntut perempuan untuk
memiliki hak memilih dalam pemilu. Sedangkan gelombang kedua yang
memuncak pada tahun 60-an sampai 70-an di Amerika adalah untuk mendapatkan
hak yang sama dalam pekerjaan misalnya jabatan, jenis pekerjaan, waktu bekerja,
dan sejenisnya. Seperti pada gelombang yang pertama, gelombang yang kedua ini
dipimpin oleh perempuan kulit putih dari kalangan kelas menengah. Gelombang
ini memberi sisi positif yaitu menjembatani jarak antara gerakan feminis dengan
serikat buruh kulit putih, namun sisi negatifnya adalah hubungan dengan wanita
kulit hitam, Afrika Amerika, yang tidak bagus. Perempuan kulit hitam di Amerika
pun mengalami dua masalah, yaitu rasisme dan seksisme (yaitu diskriminasi
berdasar jenis kelamin). Lalu, pada akhir abad ke-20, feminisme Eropa dan
Amerika mulai merambah ke Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Di negara-negara
berkembang tersebut, ditemukan lebih banyak ketidakadilan dan ketidakbebasan
kaum perempuan. Seperti harus mengenakan kerudung saat berada di ruang
publik atau adanya aturan sunat pada alat kelamin perempuan. Gelombang ketiga,
3
http://www.history.ac.uk/makinghistory/resources/articles/womens_history.html
Diakses pada Jumat 5 feb 2016, 10:33
15
yang lahir dari negara berkembang dan muncul karena hasil dari gelombang
kedua yang dirasa tidak selesai. Seiring dengan perkembangan zaman, gerakan
feminisme juga merambah beberapa bidang, contohnya film. Beberapa sineas
film independen menggunakan film sebagai media untuk mengubah persepsi
masyarakat tentang peran perempuan dalam masyarakat. Selama ini, perempuan
dalam film-film hanya ditampilkan sebagai peran antagonis. Mereka hanya
membantu dan menghalangi peran protagonis. Dalam hampir semua film aksi
atau film noir, seorang tokoh laki-laki harus menyelamatkan tokoh perempuan
sebagai objek yang lemah. Film feminis kemudian berkembang pada era film
klasik tahun 1960-an. Era tersebut menjadi titik temu antara tiga aspek yang
saling mempengaruhi, yaitu pergerakan kaum wanita, studi film akademis, dan
film independen (Mayne, 1985; 84-86.). Sehingga dari beberapa hal tersebut, para
feminis mengarahkan perhatian mereka kepada citra perempuan dalam film yang
masih berada di bawah kehidupan patriarki. Film mempunyai pengaruh lebih
besar karena kekuatan visual lebih besar daripada kekuatan tulisan.
Film dokumenter mengenai feminis dipengaruhi oleh gerakan feminisme
dan film independen yang ingin mengubah stereotipe perempuan dan peran
perempuan sebagai object of the look. Object of the look menitikberatkan wanita
sebagai pemanis, objek utama yang dilihat, atau sebagai penarik perhatian dan
fokus penonton dalam sebuah film. Biasanya memanfaatkan bentuk tubuh dan
stereotipe wanita sebagai makhluk indah yang harus diindungi.
Film feminis yang ingin mematahkan dominasi laki-laki. Dalam film
tersebut, seorang karakter perempuan bisa mempunyai sifat maskulin. Hal
16
tersebut berarti bahwa perempuan dapat menggantikan posisi laki-laki. Dalam
buku berjudul Masculinities oleh R.W. Connel, maskulin tidak hanya merujuk
pada jenis kelamin, namun bisa merujuk ke sifat-sifat yang dimiliki oleh laki-laki
(2005;6). Sifat tersebut tentu merupakan konstruksi sosial mengenai kedudukan
seorang laki-laki. Dalam perkembangan sejarah film, tidak ada film masculin,
kebalikan dari film feminis. Hal tersebut dikarenakan dalam kebanyakan terdapat
unsur-unsur maskulin.
Tidak bisa dipungkiri dalam setiap pengambilan gambar, sudut-sudut
kamera dipengaruhi cara pandang lelaki atau male gaze. Pandangan tersebut
mempunyai sifat maskulin karena dipengaruhi oleh cara pandang dan cara pikir
laki-laki. Dalam film-film Hollywood dan beberapa industri film lainnya, suatu
film mempunyai beberapa kesenangan (pleasures). Ditulis dalam jurnal berjudul
Visual Pleasure and Narrative Cinema (1975:6-9) oleh Mulvey, bahwa salah satu
kesenangan itu adalah scopophilia. Scopophilia adalah hasrat seksual untuk
melihat dan mengamati bentuk-bentuk maupun alat seksual, yang mana kelainan
ini berlawanan dengan voyeurism. Dalam setiap adegan yang mempertunjukkan
wanita sebagai objek, maka akan terdapat suatu kesenangan yang didapat oleh
para lelaki. Dalam hal ini, male gaze juga merupakan salah satu bentuk
scopophilia.
1.4.3 Semiotika
Semiotika atau semiologi adalah ilmu mengenai tanda. Ferdinand de
Saussure berpendapat bahwa semiologi merupakan cabang dari bidang ilmu
17
psikologi yang membahas tentang tanda atau lebih tepatnya mengkaji kehidupan
tanda-tanda dalam masyarakat (Budiman, 2004; 3). Sedangkan semiotika menurut
Charles S. Peirce merupakan cabang ilmu filsafat yang mengkaji tentang tanda.
Kedua istilah tersebut merujuk pada pengkajian tentang tanda, namun semiologi
lebih banyak dikenal di Eropa, penganut ajaran Saussurean. Sedangkan istilah
semiotika, lebih merujuk ke ajaran Peircian.
Dalam bahasa secara keseluruhan, cara kerja komunikasi adalah adanya
pengirim (addresser), pesan (message), penerima (addressée), konteks (context),
kode (code), dan kontak (contact). Pada setiap komunikasi, pihak pengirim
menyampaikan pesan yang mengandung konteks agar pihak penerima bisa
mengerti apa yang disampaikan. Dalam komunikasi, media yang dibutuhkan
adalah kode, baik berupa lisan maupun tulisan. Saussure (1916), yang merujuk
pada kajian linguistik, mengatakan bahwa parole (ujaran) yang berupa tanda bisa
saja menjadi salah satu elemen langue (bahasa secara umum). Hal tersebut
dikarenakan dalam parole terdapat tanda yang identik, diulang-ulang, dan
digunakan oleh individu.
Konteks
Pesan
Penerima
Pengirim
Kontak
Kode
Skema komunikasi Jacobson (1960)
18
Dalam semiologi, perlu diperhatikan tentang tanda dalam bahasa, yaitu
signifie dan signifiant (Saussure, 1966:67). Signifie merupakan konsep sedangkan
signifiant merupakan bentuk atau aspek material. Bentuk video atau film, pesan
moral atau konsep merupakan signifie (petanda) sedangkan gambarnya merupakan
signifiant (penanda). Keduanya merupakan unsur yang sangat penting dan tidak
bisa dipisahkan karena mempunyai hubungan. Kombinasi antara signifie dan
signifiant berupa arbitrer, yaitu kesemena-menaan. Maksud dari arbitrer adalah
tidak ada hubungan yang wajib antara signifie dan signifiant. Suatu penanda bisa
mempunyai banyak konsep.
Semiotika visual merupakan cabang semiotika yang lebih mengerucut
tentang media visual, tidak hanya seni rupa namun juga arsitektur, patung, maupun
film. Dalam suatu media, sebagai contoh media film. Terdapat unsur yang
ditandai, yaitu makna suatu film. Film tidak akan mempunyai suatu arti jika
penonton tidak mengetahui tujuan sutradara. Dalam media film, pesan dan makna
merupakan signifie dan gambar merupakan signifiant.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai ekranisasi adalah penelitian yang sudah banyak
dilakukan pada beberapa tahun belakangan ini. Ekranisasi atau pengalihwahanaan
merupakan media baru untuk menyampaikan cerita selain dari novel, cerpen atau
media tulis lainnya. Terdapat beberapa skripsi atau penelitian yang penulis ambil
untuk dijadikan tinjauan pustaka.
19
Penelitian berjudul Aspek-Aspek Perubahan Adegan dalam Film Une Partie
de Campagne Karya Sutradara Jean Renoir Diangkat dari Cerpen Karya Guy de
Maupassant: Analisis Ekranisasi oleh Bima Sakti Wiratama (2014). Dalam
penelitiannya, dipaparkan perbedaan yang terjadi akibat ekranisasi dari cerpen ke
dalam film karya Jean Renoir. Peneliti menggunakan teori ekranisasi oleh Joseph
Boggs mengenai penambahan dan penciutan adegan. Wiratama menjelaskan
terlebih dahulu struktur cerita yang terdapat pada kedua media dan dari penjelasan
tersebut memang terdapat perbedaan. Dalam versi cerpen, cerita yang disampaikan
lebih singkat sedangkan versi film terdapat beberapa penambahan adegan.
Kemudian dijelaskan juga beberapa hal yang berbeda, seperti tokoh. Dalam
film tersebut, terdapat beberapa pemeran figuran dan penggambaran yang berbeda.
Sebagai contoh adalah tokoh Madame Dufour yang digambarkan tidak begitu
gemuk daripada yang digambarkan dalam cerpen. Sehingga penggambaran
imajinasi pembaca sangat berbeda dengan penggambaran yang terdapat di film.
Film tersebut juga dianalisis dari segi sinematik, seperti fokus kamera,
ketajaman fokus, dan extreme close-up. Dalam setiap film, terdapat keunikan yang
sengaja dibuat oleh sutradara. Seperti fokus kamera yang sengaja ditujukan ke suatu
objek untuk menunjukkan pesan. Tetapi dalam penelitian tersebut, perbaningan
yang dilakukan kurang mendalam, hanya sekedar dibandingkan. Mungkin
perbandingan bisa dikategorikan.
Penelitian kedua adalah penelitian oleh Cahya Wulandari (2012), dengan
judul Kajian Perbandingan Penokohan Komik dan Film
Les Aventures
Extraordinaires d’Adèle Blanc-Sec. Peneliti menganalisis komik dan film Les
20
Aventures Extraordinaires d’Adèle Blanc-Sec, penelitian tersebut bertujuan
membandingkan perbedaan yang terjadi di dalam kedua media tersebut. Pertamatama, keduanya dibaca secara kritis lalu unsur-unsur instrinsiknya dianalisa
menggunakan teori strukturalisme. Peneliti menjelaskan dan menganalisa satu
persatu tokoh yang terdapat pada media komik dan film, lalu karakter-karakter
tersebut dibandingkan dengan teori sastra banding. Berbeda halnya dengan
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Wiratama,
Cahya
lebih
menekankan
perbandingannya dengan teori banding, dan tidak dianalisa dari sudut ekranisasi.
Tinjauan lain tentang ekranisasi adalah skripsi dari Agus Hermawan (2009)
yang berjudul Klasifikasi Penyampaian Pesan dalam Lima Film Paris Je T’aime.
Teori dan analisa yang digunakan hampir sama dengan Wiratama. Agus
menganalisa dari sudut sinematografi untuk menjelaskan maksud dan pesan yang
ingin disampaikan oleh sutradara.
Acuan lain adalah esai dari Aquarini Priyatna Prabasmoro (2006) dalam
suatu bab berjudul Identifikasi Female, Feminin, Feminis dalam “Film Sense and
Sensibility” dan “Chrouching Tiger Hidden Dragon”. Dalam esai tersebut
Prabasmoro mengiedntifikasi dua film romantis dan menjabarkan nilai-nilai
feminis dalam film tersebut. Kemudian dia juga membandingkan kedua film
tersebut. Menurutnya film feminis tidak hanya film yang dibuat oleh feminis,
namun bisa film dengan genre lain seperti romantisme.
Dari beberapa tinjauan tersebut, kesamaan yang dimiliki adalah penggunaan
teori film yang sama, yaitu karakterisasi, feminisme, dan sinematografi. Hal yang
21
membedakan adalah subjek materialnya, yakni tokoh perempuan dalam dongeng.
Sehingga patut untuk diteliti dan dianalisis.
1.6 Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini, terdapat beberapa tahap yang dilakukan, yang pertama
adalah memahami perwatakan dan isi film dengan menonton film berulang-ulang
hingga bisa menentukan makna dan cara penyampaian yang dilakukan. Kemudian
tahap kedua adalah merekam dan mengambil adegan yang memuat penjelasan
karakter. Adegan yang diambil adalah adegan yang memuat dialog, ekspresi, aksi,
dan perubahan sudut kamera yang membentuk karakter pada tokoh. Tahap ketiga
adalah transkrip dialog seperlunya dalam adegan-adegan yang disoroti.
Tahap keempat adalah membuat kartu data kejadian-kejadian yang terjadi
di film dan dongeng. Tahap selanjutnya adalah menganalisa dengan menggunakan
teori ekranisasi Petrie dan Boggs lalu membandingkan watak yang didapat dari
tahap sebelumnya dengan karya tulisnya.
1.7 Sistematika Penyajian
Dalam penelitian mengenai perubahan karakter ini akan disajikan dalam
tiga bab, pada Bab I yang berisi latar belakang penulisan, rumusan masalah,
landasan teori. Kemudian terdapat pula tinjauan pustaka beberapa skripsi dan jurnal
yang pernah diteliti sebelumnya mengenai ekranisasi, dan terakhir adalah
metodologi penelitian yang akan dipakai untuk menganalisis film tersebut
22
Pada Bab II akan dijelaskan mengenai arti dari gestur, dialog, penampilan,
dan aksi yang dilakukan oleh pemeran dengan membandingkan dengan versi novel.
Aspek-aspek sinematografis seperti sudut pandang kamera, efek visual, kostum
dengan teori semiotika juga akan dijelaskan untuk menganalisa pergeseran dan
unsur feminisme. Selanjutnya akan dibahas mengenai keterkaitan film dengan
feminisme. Bab terakhir, yakni Bab III yang berisi kesimpulan penelitian.
Download