GAYA BAHASA PERUMPAMAAN/SIMILE DALAM NOVEL

advertisement
GAYA BAHASA PERUMPAMAAN/SIMILE DALAM NOVEL YUKIGUNI
KARYA YASUNARI KAWABATA
Sri Oemiati ([email protected])
Universitas Dian Nuswantoro
Abstract: A literary work is a medium to transfer information about
internal, social, and cultural conflict in the society described in the
work. Writers have their own style in their works. Meanwhile, the
study that concerns with language style is called stylistics. This
research analyzes the figures of speech in the novel entitled Yukiguni
using stylistic theory. The result shows that there are many figures of
speech especially simile found in Yukiguni to describe the condition in
snowy area.
Key words: figures of speech, language style, novel
Novel merupakan salah satu wujud dari karya sastra. Struktur novel
sebagai sebuah karya sastra terdiri atas tema, penokohan, setting, alur, bahasa, dan
lain-lain (Nurgiyantoro, 1995:4). Karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan
keberadaan bahasa sebagai penyusun karya sastra. Teeuw (1983:1) menyatakan
bahwa bahasa merupakan medium bagi pengarang/penyair untuk
mengekspresikan gagasannya, sedangkan bagi pembaca/peneliti karya sastra,
bahasa merupakan medium untuk memahami karya sastra. Bahasa merupakan
sebuah sistem yang menjadi unsur mutlak dalam memahami dan mengarang karya
sastra.
Teks karya sastra merupakan suatu keutuhan atau bentuk pemadatan
sebuah karya yang mengambil kegunaan bahasa secara homogeny ataupun
spesifik (Leech, 1981: 12). Sebuah karya sastra tidak mungkin ‘diucapkan’ tanpa
menggunakan bahasa. Peranan bahasa menjadi hal yang penting bagi seorang
pengarang dalam menghasilkan sebuah karya sastra. Sebagai medium yang
digunakan pengarang untuk menuangkan pengalaman estetis atau realitas, bahasa
mempunyai makna yang tertuang dalam teks karya sastra. Hal ini disebabkan
karya sastra adalah struktur yang bermakna (Pradopo, 2005: 120-121). Teeuw
(1988: 72) menyatakan bahwa bahasa sastra adalah bahasa khusus dan
membentuk dunianya sendiri, meskipun begitu, kekhasannya bukanlah berarti
bahasa sastra tidak dapat diteliti.
Rangkaian kata dalam teks karya sastra merupakan makna konotatif atau
secondary modeling system. Hal inilah yang membedakan bahasa kolokial dengan
bahasa sastra. Bahasa kolokial cenderung bermakna denotatif, sedangkan bahasa
dalam karya sastra mempunyai tataran yang berbeda dengan bahasa pada
umumnya dan cenderung bermakna konotatif. Walaupun makna bahasa sastra
cenderung bermakna konotatif, makna kata dalam karya sastra juga tidak dapat
dipisahkan dari makna denotatifnya (Nurgiyantoro, 1995: 273). Wellek (1962: 2223), membagi bahasa menjadi 3 macam, yaitu: bahasa sastra, bahasa ilmu, dan
135
136
Volume 6 No. 2, Juni 2010
bahasa kolokial/sehari-hari. Bahasa sastra itu merupakan secondary modeling
system, sedangkan bahasa ilmu dan bahasa kolokial merupakan primary modeling
system. Turner (1977: 20) berpendapat bahwa bahasa sastra adalah bahasa dalam
konteks, kata penghubung satu dengan yang lainnya. Tiap detil sebuah karya
sastra menjadi penunjang kualitas secara keseluruhan.
Salah satu karya sastra yang menggunakan bahasa dan gaya bahasa yang
singkat dan padat adalah Yukiguni karya Kawabata Yasunari. Meski menjadikan
Yukiguni susah untuk dipahami, gaya bahasa Kawabata menjadi hal yang menarik
bagi orang-orang yang ingin memahami ceritanya.
Stilistika atau Stylistics adalah ilmu tentang style (gaya). Leech (1981: 13)
mendefinisikan stilistika sebagai studi tentang gaya bahasa, yang secara sederhana
adalah sebagai latihan dalam menggambarkan dalam fungsi ‘apa’ bahasa dibuat.
Stilistika karya sastra mencoba menjelaskan hubungan antara bahasa dengan
fungsi artistiknya. Style/gaya bahasa menjadi sebuah konsep hubungan, dan tujuan
stilistika sastra adalah menghubungkan dalam rasa yang lebih menarik dibanding
yang telah disebutkan, menghubungkan kritik apresiasi estetik dengan deskripsi
bahasa. Adapun Turner (1977: 7) berpendapat bahwa stilistika adalah bagian dari
linguistik yang berkonsentrasi pada penggunaan bahasa tetapi tidak secara
eksklusif, dengan perhatian khusus pada kesadaran dan penggunaan bahasa yang
kompleks dalam karya sastra. Aminuddin (1995: 42) menyatakan stilistika
merupakan studi yang ditinjau dari sasaran dan penjelasan yang dibuahkan hanya
berpusat pada aspek gaya yang secara esensial berkaitan dengan wujud pemaparan
karya sastra sebagai bentuk penyampaian gagasan pengarangnya, sedangkan
Jassin (1991: 127) stilistika adalah ilmu bahasa yang menyelidiki gaya bahasa.
Gaya bahasa sebuah karya sastra dapat dikaji melalui pilihan kata/diksi
dan bahasa kiasan sebagai bagian dari kajian stilistika yang mengkaji gaya bahasa
suatu karya sastra. Stilistika, sebagai kajian linguistik, hanya mempelajari struktur
kebahasaan meliputi pemakaian atau penyusunan kata, kalimat, wacana, dan gaya
pada suatu teks sastra sampai pada efek yang ditimbulkannya dan memberikan
penilaian terhadapnya. Stilistika memanfaatkan linguistik untuk meneliti efek
estetis bahasa (Wellek, 1995: 221). Kajian stilistika pada karya sastra merupakan
sebuah kajian wacana sastra dengan orientasi linguistik. Stilistika juga digunakan
oleh sastrawan dalam menciptakan karya sastra untuk menerangkan sesuatu yang
berkaitan dengan fungsi artistik dan maknanya. Wellek (1989: 222-223)
mengatakan bahwa kajian stilistika secara luas meneliti semua teknik yang
dipakai untuk tujuan ekspresif tertentu dan meliputi wilayah yang lebih luas dari
sastra atau retorika.
Gaya bahasa (style) sebagai kajian utama stilistika, berasal dari bahasa
latin Stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Kemudian
pada perkembangannya style ditekankan pada keahlian untuk menulis. Style lalu
berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan
kata-kata. Adapun jangkauan style mencakup unsur-unsur meliputi diksi, frasa,
klausa, kalimat, wacana secara keseluruhan (Keraf, 1987: 112). Aminuddin (1995:
v) mendefinisikan gaya bahasa sebagai cara yang digunakan pengarang dalam
memaparkan gagasan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya. Gaya
bahasa dalam sastra menimbulkan efek puitis atau efek estetik. Soal pilihan kata
Sri Oemiati, Gaya Bahasa Perumpamaan/Simile dalam Novel Yukiguni Karya
Yasunari Kawabata
137
adalah soal gaya. Gaya bahasa mempelajari segala cara yang tujuannya ialah
untuk mencapai suatu efek tertentu dalam pernyataan. Gaya bahasa dalam karya
sastra juga merupakan sistem tanda yang mempunyai makna (Junus, 1989: 187).
Makna yang berhubungan dengan gaya bahasa ada yang dapat dilihat dari
segi kedekatan antar makna, ada pula yang dapat dilihat dari segi kesamaan antar
makna. Kesamaan antar makna berhubungan dengan metafora, dan kedekatan
antar makna berhubungan dengan metonimi (Pateda, 2001: 234). Gaya bahasa ada
beberapa macam. Pradopo (2005: 8) membedakannya menjadi tiga, yaitu gaya
bunyi, gaya kata dan gaya kalimat/gaya wacana. Gaya bunyi meliputi kiasan
bunyi, sajak (rima), orkestrasi, dan irama. Gaya kata meliputi gaya bentuk kata
(morfologi), arti kata (semantik)¸diksi dan bahasa kiasan, serta gaya asal usul kata
(etimologi). Adapun gaya kalimat atau gaya wacana meliputi gaya bentuk kalimat
dan sarana retorika.
Gaya bahasa yang dikaji dalam penelitian ini merupakan gaya kata yang
dikhususkan pada pemakaian bahasa kiasan. Bahasa kiasan merupakan salah satu
unsur untuk mendapatkan nilai estetik (Pradopo, 2005: 61). Adapun gaya bahasa
kiasan merupakan penggunaan bahasa kiasan/figurative language yaitu
menyatakan suatu hal secara tidak langsung dengan menyamakan suatu hal
dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama atau menyatakan suatu hal dengan
hal lain untuk mendapatkan gambaran angan (imaji) yang jelas (Pradopo, 2005:
38). Bahasa kiasan juga merupakan pemakaian kata yang maknanya tidak
sebenarnya (Kridalaksana, 1982: 103).
Keraf (1987: 138-145) membagi jenis bahasa kiasan dalam bahasa
Indonesia menjadi 16, yaitu: persamaan/simile; metafora; alegori, parabel, fabel;
personifikasi/prosopopoeia; alusi; eponym; epitet; sinekdoke; metonimia;
antonomasia; hipalase; ironi, sinisme, sarkasme; satire; innuendo; antifrasis;
pun/paronomasia. Jassin (1991: 114-125) membagi jenis bahasa kiasan menjadi
personifikasi, kiasan/metafora, perbandingan, kiasan klise/hiperbol. Adapun
bahasa kiasan perbandingan ditandai dengan kata “seperti, macam, laksana,
penaka, ibarat, dll”. Momiyama (1997: 31), membagi gaya bahasa Jepang menjadi
metafora (隠 喩 inyu), metonimi ( 換喩 kanyu), dan sinekdoke (提喩 teiyu).
Adapun Garyoan membedakan bahasa kiasan menjadi metafora ( 隠 喩 inyu);
simile ( 直 喩 chokuyu); metonimi ( 換 喩 kanyu); sinekdoke ( 提 喩 teiyu);
personifikasi (擬人法 gijinhou). (Garyoan, 2002, diakses dari www.melma.com).
Adapun pengertian gaya bahasa perumpamaan/simile menurut Keraf
(1987) adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Kata yang menunjukkan
kesamaan antara lain: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan lain-lain.
METODE PENELITIAN
Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Penulis mencari data-data berupa bahasa kiasan yang terdapat dalam Yukiguni
kemudian menggolongkan bahasa kiasan sesuai dengan definisi dari masingmasing bahasa kiasan dan mencari bentuk-bentuk penyetaraan dari bahasa kiasan
tersebut. Berdasarkan pendapat Garyoan dan Gorys Keraf, maka bahasa kiasan
138
Volume 6 No. 2, Juni 2010
yang terdapat pada Yukiguni digolongkan dalam bahasa kiasan persamaan/simile,
metafora, metonimi, personifikasi dan sinekdoke. Akan tetapi dalam analisis ini
penulis hanya akan membahas gaya bahasa perumpamaan/simile dalam Yukiguni.
Teknik Analisis Data
Langkah-langkah dalam analisis data yang penulis lakukan yaitu:
1. mengelompokkan kalimat yang mengandung gaya bahasa perumpamaan.
2. menganalisis kalimat yang mengandung gaya bahasa perumpamaan dan
mencari makna dari kalimat tersebut.
ANALISIS
Simile adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan suatu
hal dengan cara mengumpamakannya dengan suatu hal yang lain yang
mempunyai kesamaan. Perumpamaan tersebut dilakukan secara eksplisit dengan
cara menyertakan kata-kata ‘seperti’, ‘tampak’, ‘sama seperti’, ‘mirip’, ‘sama’,
‘sebagai’, ‘bagaikan’, ‘laksana’, dll. Adapun perumpamaan dalam bahasa Jepang
dapat berupa ような/ように/よう、みたい/みる/みた、と同じ、似て
いる(youna/youni/you, mitai/miru/mita, to onaji, nite iru)dll.
1. わらじ履きで、なかには饅頭笠を背負ったのもあって、托鉢の
帰りのようだった。烏が塒に急ぐ感じだった。(Kawabata: 133)
Warajibakide, nakani ha manjuugasa wo se ottanomoatte, takuhatsu
no kaeri no you datta. Karasu ga negura ni isogu kanji datta.
(Para bikuni) dengan bersandal jerami dan capingpun tersampir di
punggung pulang dari meminta sedekah. Mereka bagaikan burung
gagak yang bergegas pulang ke sarang.
Burung gagak (karasu), dalam kalimat di atas merupakan perumpamaan
Kawabata untuk menggambarkan aktivitas para biksuni yang naik dan turun untuk
meminta sedekah pada masyarakat untuk keperluan makan. Para bikuni tersebut
berpenampilan bersahaja dengan memakai sandal jerami dan menyampirkan
tudung cetok.
Burung gagak merupakan padanan kata dari karasu yang dalam konteks
kalimat tersebut di atas, burung gagak merupakan perumpamaan bikuni. Adapun
penanda simile dalam kalimat di atas adalah bagaikan (you).
2. 乾いた豆幹から小豆が小粒の光のように踊り出る。(Kawabata:
89)
Kawaita mamegara kara shoumame ga kotsubu no hikari no youni odori
deru.
Biji kacang merah itu berloncatan keluar dari kulitnya yang kering
bagaikan biji cahaya.
Bagaikan biji cahaya merupakan bentuk perumpamaan dari padanan kata
kotsubu, yang secara leksikal berarti biji kecil. Biji cahaya memberikan rasa
hangat dengan adanya cahaya matahari yang terpantul dari biji-biji kacang
tersebut. Biji kacang tersebut dipukul-pukul di bawah terik matahari, sehingga biji
Sri Oemiati, Gaya Bahasa Perumpamaan/Simile dalam Novel Yukiguni Karya
Yasunari Kawabata
139
kacang yang keluar tertimpa sinar matahari menjadi tampak bersinar. Adapun
penanda simile pada kalimat di atas adalah bagaikan (youni).
3. しかし目の前の蜻蛉の群は、なにか追いつめられたもののよう
に見える。(Kawabata: 90)
Shikashi me no mae no tonbo no gun ha, nanika oitsumerareta mono
no youni mieru.
Tapi sekawanan capung di depan mata terlihat bagaikan dikejar-kejar.
Perumpamaan bagaikan dikejar-kejar memberikan gambaran bahwa
hewan bernama capung itu hidupnya bergerombol. Hal ini mengingatkan
pemandangan di desa, di mana masih dapat ditemukan segerombol capung yang
terbang ke sana-sini di atas lahan pertaniaan sebab dikejar-kejar anak-anak yang
berusaha menangkapnya. Akan tetapi, pemandangan seperti ini sulit ditemui di
kota. Perbedaan ini diungkapkan dalam Yukiguni dengan pernyataan bahwa
capung-capung yang berada di kota selalu dianiaya. Adapun penanda kalimat
tersebut termasuk kelompok simile adalah youni (bagaikan).
4. 駒 子の く ちび るは 美 しい 蛭の 輪 のよ う に 滑 らかで あった 。
(Kawabata; 82)
Komako no kuchibiru ha utsukushii hiru no wa no youni nameraka de
atta.
Bibir Komako licin bagaikan lingkaran lintah yang indah.
5. 細く高い鼻が少し寂しいけれども、その下に小さくつぼんだく
ちびるはまことに美しい蛭の輪のように伸び縮みがなめらかで、
黙っている時も動いているかのような感じだから、
…(Kawabata: 27)
Hosoku takai hana ga sukoshi sabishiikeredomo, sono shita ni chiisaku
tsubonda kuchibiru wa makoto ni utsukushii hiru no wa no youni
nobichijimi ga namerakade damatte iru toki mo ugoite iru ka no youna
kanji dakara, …
Meskipun agak risau dengan bentuk hidungnya yang lancip dan
mancung, tapi bibir mungil di bawahnya betul-betul seperti lingkaran
lintah yang indah yang saat merengutpun indah dan terasa selalu
bergerak walaupun sedang diam, …
Dalam Yukiguni, keindahan bibir diumpamakan dengan lingkaran lintah
penuh dengan darah. Perumpamaan ini dapat dijumpai pada tata rias geisha, di
mana bentuk bibirnya sangat mungil berbentuk lingkaran dan berwarna merah
bagaikan lintah yang penuh dengan darah. Apabila bibir yang merah tersebut
basah dan terkena cahaya maka bibir itu akan memantulkan cahaya. Keindahan
bibir dalam bahasa Indonesia sering digunakan istilah bibir merah delima atau
bibirnya seperti limau seulas. Pada perumpamaan di atas, penyandingan suatu
keindahan dengan suatu yang menjijikkan pada Yukiguni berupaya mengangkat
140
Volume 6 No. 2, Juni 2010
pesan bahwa dalam kehidupan, manusia tidak dapat dipisahkan dengan dua
oposisi biner antara keindahan dengan keburukan, kebahagiaan dengan kesedihan,
kehidupan dengan kematian. Bibir yang indah didampingkan dengan lintah yang
penuh dengan darah pada beberapa kalimat di atas, mendukung tema yang
diusung dalam keseluruhan cerita Yukiguni.
Terjemahan kalimat no. 5 agak kurang tepat karena kalimat “Hosoku takai
hana ga sukoshi sabishiikeredomo” tidak ada padanannya dalam bahasa
Indonesia. Istilah tersebut maksudnya adalah bagi orang Jepang bentuk hidung
yang lancip dan mancung sebenarnya bukan membuat mereka bangga justru
bentuk hidung yang demikian membuat mereka risau karena dianggap tidak lazim.
Penanda simile dalam kalimat no. 4 adalah youni (bagaikan) dan penanda
simile dalam kalimat no. 5 adalah youni (seperti).
6. 前髪が細かく生えつまっているというのではないけれども、毛
筋が男みたいに太くて、後れ毛一つなく、なにか黒い鉱物の重
ったいような光だった。(Kawabata: 33)
Maegami ga hosokaku haetsumatte iru to iu no dewanai keredomo,
kesuji ga otoko mitai ni futokute, okurege hitotsu naku, nanika kuroi
koubutsu no juuttai youna hikari datta.
Sasakannya bukanlah anak rambut yang tumbuh tipis tetapi garis
rambutnya seperti laki-laki, subur dan anak rambutnya menjadi satu
sehingga kelihatan bagaikan biji logam berat yang berkilauan.
Perumpamaan biji logam berat ini merupakan bentuk penggambaran
sasakan rambut seorang geisha di mana jambulnya berupa bulatan yang ditarik ke
belakang tanpa diberi anak rambut. Sasakan rambut yang hitam tersebut ditata
dibentuk bulatan yang mulus sehingga tampak seperti bulatan dari biji logam
hitam yang diletakkan di atas kepala. Sasakan rambut yang diumpamakan dengan
biji logam berat merupakan bentuk perumpamaan yang mengoposisikan
keindahan dengan kejelekan. Warna hitam rambut jika terkena matahari tampak
berkilauan merupakan gambaran rambut yang indah dan sehat, apalagi posisi
rambut disasak sehingga tampak rapih. Adapun perumpamaan biji logam berat
merupakan gambaran yang tidak indah apabila disandingkan dengan gaya tata
rambut. Hal ini disebabkan gambaran logam berat apabila diletakkan di atas
kepala akan menambah beban dan ketidaknyamanan bagi seseorang.
Perumpamaan di atas kepala akan menambah beban dan ketidaknyamanan bagi
seseorang. Perumpamaan di atas merupakan gaya bahasa pengarang untuk
mengekspresikan keindahan tata rambut seorang geisha yang tertata mulus dan
dipandangnya tampak seperti beban bagi yang melihat. Rasa beban penggunaan
gaya rambut yang demikian dapat dirasakan pembaca Indonesia ketika tata
riasnya menggunakan sanggul Jawa dengan beban terletak di kepala bagian
belakang. Adapun penanda simile dalam kalimat di atas adalah youna (bagaikan).
7. 島村は虚しい切なさに曝されているところへ、温い明かりのつ
いたように駒子が入ってきた。(Kawabata: 51)
Shimamura wa munashii setsu nasani sarasarete iru tokoro he, nukui
akari no tsuita youni komako ga haitte kita.
Sri Oemiati, Gaya Bahasa Perumpamaan/Simile dalam Novel Yukiguni Karya
Yasunari Kawabata
141
Sementara Shimamura merasa hampa dan sedih, masuklah Komako,
bagaikan terpasang lampu yang hangat.
Kehadiran seorang wanita (Komako) dapat memberikan sebuah
kehangatan secara batin bagi laki-laki (Shimamura). Komako, sebagai seorang
geisha yang cantik dan ramah, mempunyai keahlian untuk membuat tamunya
merasa nyaman dan senang di dekatnya. Kemampuan Komako dalam bidang
kesenian tradisional Jepang membawanya pandai dalam membawa dirinya.
Shimamura, sebagai seorang pelancong yang datang ke daerah salju merasa
kesepian dan memerlukan kehadiran seorang wanita untuk menemaninya selama
dia di daerah salju. Bagi Shimamura, keberadaan Komako yang selalu datang
menemaninya membuat hatinya yang hampa menjadi hangat. Kehangatan yang
muncul tersebut disebabkan rasa cinta yang terpendam di antara mereka. Di sini
digambarkan oleh Kawabata bahwa laki-laki memerlukan kehadiran perempuan,
dan juga sebaliknya. Kehampaan dan kesedihan pada kalimat di atas merupakan
oposisi biner dari kehangatan yang dirasakan Shimamura ketika Komako datang
ke penginapannya. Terpasang lampu yang hangat (nukui akari no tsuita)
merupakan bentuk perumpamaan dalam kalimat tersebut dengan penanda simile
youni (bagaikan).
8. 遠い山々は雪が煙ると見えるような柔らかい乳色につつまれて
いた。(Kawabata:55)
Tooi yamayama ha yuki ga kemuru to mieru youna yawarakai chichi
iro ni tsutsumareteita.
Gunung-gunung di kejauhan diselimuti salju yang berwarna putih susu
lembut yang terlihat seperti asap.
Perumpamaan dalam kalimat di atas adalah gunung-gunung yang
diselimuti saljunya yang terlihat seperti asap (kemuru to mieru). Suasana salju
yang yang bagaikan asap akan sulit dibayangkan bagi pembaca Indonesia yang
belum pernah melihat dan merasakan dinginnya salju. Akan tetapi, kondisi ini
dapat coba dibayangkan dengan kita membuka bagian pembeku pada lemari es, di
mana kita jumpai bunga-bunga es tersebut mengeluarkan asap putih yang dingin.
Penggambaran Kawabata atas suasana gunung-gunung di daerah yang diliputi
salju tampak seperti mengepulkan asap merupakan ekspresi Kawabata dalam
menunjukkan rasa dingin di daerah salju. Warna salju diumpamakan dengan
warna putih susu merupakan ekspresi untuk meningkatkan efek keindahan yang
meliputi daerah salju tersebut. Adapun penanda simile dalam kalimat di atas
adalah youna (seperti). Kata gunung-gunung diselimuti salju yang terlihat
bagaikan asap merupakan bahasa kiasan untuk menggambarkan kondisi
permukaan gunung-gunung di perbatasan tersebut ditutupi salju. Meskipun dalam
bahasa Jepangnya tidak dinyatakan secara eksplisit bahwa gunung-gunung
tersebut ditutupi salju, penggunaan kata salju berfungsi untuk memberikan
gambaran yang lebih jelas tentang suasana alam dari daerah di Jepang yang
hampir seluruh bagiannya tertutup salju.
9. 駒 子 は 肩 の 痛 さ を こ ら え る か の よ う に 目 を つ ぶ る と 、
…(Kawabata: 67)
Komako ha kata no itasa wo koraerukanoyouni me wo tsuburu to, …
142
Volume 6 No. 2, Juni 2010
Komako memejamkan mata seolah-olah menahan sakit pada bahunya,
…
Ekspresi seseorang ketika menahan sakit dapat melalui teriakan, menggigit
bibir, memejamkan mata, dll. Komako memejamkan mata dapat dimaknai dia
memang merasa kesakitan atas pegangan Yoko yang kuat atau dapat dimaknai
bahwa Komako merasa sakit atas peristiwa yang sedang terjadi yaitu peristiwa
sekaratnya Yukio, yang kabarnya merupakan tunangannya dan seseorang yang
pernah berjasa padanya, disertai peristiwa tentang perginya Shimamura, seorang
pelancong yang telah dicintainya. Istilah bahu digunakan dalam rangkaian
perumpamaan itu disebabkan beban hidup seseorang digambarkan terletak pada
bahunya. Istilah-istilah beban hidup terletak di bahu juga dalam bahasa Indonesia
dan bahasa Jepang. Idiom tentang bahu dalam bahasa Jepang yang juga terdapat
dalam bahasa Indonesia yaitu 「この国の将来は君たちの肩のかかってい
る。」Kono kuni no shourai wa kimitachi no kata no kakatte iru. (Masa depan
bangsa ini ada di pundak/bahu kalian.) (Garrison, 2002: 65). Penanda simile
dalam kalimat tersebut adalah youni (seolah-olah).
10. 国境の山を北から登って、長いトンネルを通り抜けてみると、
冬の午後の薄光りはその地中の闇へ吸い取られてしまったかの
ように、また古ぼけた汽車は明るいからをトンネルに脱ぎ落と
して来たかのように、もう峰と峰との重なりの間から暮色の立
ちはじめる山峡を下って行くのだった。(Kawabata: 71)
Kokkyou no yama wo kita kara nobotte, nagai tonneru wo toorinukete
miru to, fuyu no gogo no usuhikari ha sono chichuu no yami he
suitorarete shimattakano youni, mata furuboketakisha ha akarui kara
wo tonneru ni nugiotoshite kitakanoyouni, mou mine to mine to no
omonari no aida kara boshoku no tachihajimeru sankyou wo sagatte
ikuno datta.
(Kereta api yang sudah tua itu) mendaki perbatasan gunung dari utara,
mencoba melintasi terowongan yang panjang di mana cahaya redup
sore hari di musim dingin seolah-olah terserap ke kegelapan dalam
tanah itu dan meninggalkan terowongan, menuruni ngarai di mana
warna senja sudah kelihatan di antara puncak-puncak gunung.
Kereta api yang sudah usang yang seolah-olah meninggalkan terowongan
setelah melintasi terowongan yang panjang merupakan perumpamaan yang
merubah sebuah situasi yang biasa saja bahkan tidak menarik menjadi menarik.
Kereta api yang datang dan pergi di daerah salju adalah kereta api yang sudah
lama dan penampilannya tidak menarik karena usang. Adapun stasiun kereta di
daerah salju yang lingkungannya dikelilingi oleh salju, dibangun di bawah
terowongan supaya terhindar dari salju yang longsor. Ketika hari memasuki
malam, suasana stasiun menjadi terang dibandingkan suasana sekitarnya. Ketika
kereta api keluar dari stasiun menuju tujuannya, Kawabata mengumpamakannya
seperti kupu-kupu yang meninggalkan kepompongnya untuk terbang kealam
bebas. Perumpamaan ini menjadikan gambaran peristiwa kereta api yang usang
Sri Oemiati, Gaya Bahasa Perumpamaan/Simile dalam Novel Yukiguni Karya
Yasunari Kawabata
143
yang meninggalkan stasiun menjadi peristiwa yang sangat menarik dan eksotik
karena pembaca diarahkan pada peristiwa keluarnya kupu-kupu dari kepompong.
Penggambaran yang biasa dan cenderung tidak menarik dari peristiwa yang indah
daripada keadaan sebenarnya. Penanda simile dalam bahasa kiasan di atas adalah
you (seolah-olah).
11. …, 壁に座敷着のかかっているのなどは、狐狸の棲家のようであ
った。(Kawabata: 121)
…, kabe ni zasshikiki no kakatte iru no nado ha, kori no sumika no youde
atta.
…, di dinding tergantung kimono perjamuan (untuk acara-acara resmi),
semuanya itu mengesankan seolah-olah kamar itu sebuah sarang rubah
atau cerpelai.
Perumpamaan seolah-olah kamar itu sebuah sarang rubah atau cerpelai
disebabkan kamar Komako yang terletak di lantai dua tersebut sangat sempit,
kotor dan sudah usang. Perumpamaan seperti ini menunjukkan bahwa kamar
tersebut pada dasarnya tidak layak dihuni oleh manusia dan hanya layak dihuni
oleh binatang seperti rubah atau cerpelai yang mempunyai tubuh kecil.
Perumpamaan tersebut juga memberikan wawasan kepada pembaca bahwa
kehidupan di daerah salju sangat sederhana dan bersahaja. Kesederhanaan dan
kesahajaan masyarakat di daerah salju tercermin pada tempat hunian Komako,
seorang geisha, yang secara ekonomi merupakan golongan masyarakat yang
berpenghasilan dan berpenampilan elegan dengan kimono yang mahal dan indah,
harus bertempat tinggal di rumah yang sudah usang dan kecil bersama penghuni
rumah lainnya. Kondisi ini mempertentangkan antara keindahan dan keeleganan
dengan kesederhanaan dan kesahajaan bahkan cerminan tingkat ekonomi yang
rendah pada masyarakat di daerah salju. Adapun penanda simile dalam kalimat di
atas adalah you (seolah-olah).
12. 月 は ま る で 青 い 氷 の な か の 刃 の よ う に 澄 み 出 て い た 。
(Kawabata: 63)
Tsuki wa marude aoi koori no naka no yaiba no youni sumideteita.
Bulan (itu) bundar bagaikan pedang yang berada di dalam es yang
berwarna biru.
Bulan sabit dan bulan purnama merupakan bentuk bulan yang sering
digunakan orang-orang yang lagi kasmaran untuk membuat puisi ataupun prosa.
Hal ini disebabkan suasana malam dengan sinar bulan ketika berbentuk bulan
sabit dan bulan purnama menjadi lebih indah. Bulan berbentuk bulan sabit
mempunyai sinar yang tidak terlalu terang ketika menyinari malam hari. Sinarnya
cenderung redup di permukaan langit tampak jernih di malam hari. Di daerah salju,
terang bulan yang menyinari bumi di malam hari merupakan sebuah
pemandangan yang indah. Ketika sinar bulan masih berbentuk bulan sabit. Namun
perumpamaan di atas menggambarkan situasi bulan sabit yang cahaya bintangbintang dari gugusan bima sakti sangat jelas menyinari bumi. Akan tetapi, sinar
bulan sabit yang jernih akan cenderung redup di siang hari dengan latar belakang
langit yang biru. Meskipun redup, sinar bulan tetap terpancar pada latar belakang
langit yang biru, dengan perumpamaan mata pedang, sebuah simbol bahaya
144
Volume 6 No. 2, Juni 2010
bahkan kematian yang dapat mencengkeram seseorang kapanpun. Mata pedang
merupakan sesuatu yang tajam dan dapat mencelakai seseorang apabila tidak
berhati-hati dalam mempergunakannya. Keindahan bulan yang jernih
dipertentangkan dengan mata pedang yang tajam merupakan perumpamaan yang
mempertentangkan suatu keindahan dengan sesuatu yang dpat menyebabkan
orang terluka bahkan kematian, merupakan tema yang diangkat dalam Yukiguni.
Keindahan dapat disertai kematian yang secara eksplisit maupun implisit
dimunculkan dalam perumpamaan di atas. Penyejajaran dua hal yang
bertentangan antara keindahan dan salah satu alat yang dapat menyebabkan
kematian menjadi perumpamaan yang indah ketika dilatari oleh suasana langit
yang biru ataupun suasana siang hari sebagai simbol kehidupan manusia sebab
pada dasarnya masyarakat dahulu menjadikan siang hari sebagai waktu untuk
mereka beraktivitas mencari penghidupan dan malam hari sebagai waktu untuk
beristirahat. Adapun penanda simile dalam kalimat di atas adalah you (bagaikan).
13. 柿の木の幹のように家も朽ち古びていた。 (Kawabata: 44)
Kaki no ki no miki no youni ie mo kuchifurubiteita.
Rumahnya pun sudah lapuk seperti batang pohon kesemek (yang mau
tumbang).
Gambaran di atas merupakan gambaran dari rumah yang selama ini
ditempati Komako dan satu keluarga yang membantunya merawat rumah tersebut.
Rumah yang sebagian besar penyusunnya adalah kayu, sehingga semakin lama
dan dimakan hari, kondisi rumah tersebut tampak tidak layak dihuni oleh manusia.
Kerusakan dan keusangan rumah yang selama ini ditempati oleh Komako
diumpamakan seperti batang pohon kesemak. Pohon kesemak merupakan pohon
yang mempunyai banyak cabang dan permukaan kulitnya bergelombanggelombang dan tidak mulus. Kondisi rumah yang diumpamakan dengan pohon
menunjukkan bahwa kondisi rumahnya sudah tidak layak lagi untuk dihuni. Akan
tetapi, sebab kondisi ekonomi orang-orang yang tinggal di rumah tersebut tidak
memungkinkan untuk mencari tempat tinggal yang lebih layak lagi untuk
ditempati. Dari seluruh orang yang tinggal di rumah tersebut, hanya Komako yang
bekerja, sedangkan yang lainnya hanya sebatas membantu pekerjaan Komako.
Perumpamaan tersebut di atas menunjukkan kesederhanaan dan kesahajaan
masyarakat di daerah salju. Adapun penanda simile dalam kalimat di atas adalah
youni (seperti).
SIMPULAN
Dari hasil pembacaan, Yukiguni merupakan novel yang di dalamnya
banyak mengandung gaya bahasa terutama gaya bahasa perumpamaan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa gaya bahasa perumpamaan yang ada
dalam novel Yukiguni menggunakan kata pembanding you, miru, to onaji, nite iru,
tatoeba, sou. Kata penunjuk bahasa kiasan perumpamaan diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi “bagaikan, seolah-olah, seperti, seakan-akan”.
Dari bahasa kiasan yang terdapat dalam Yukiguni, ditemukan ide pokok
dari novel tersebut yaitu dalam kehidupan di dunia, jarak antara
Sri Oemiati, Gaya Bahasa Perumpamaan/Simile dalam Novel Yukiguni Karya
Yasunari Kawabata
145
keindahan/kebahagiaan dengan keburukan/kesedihan itu sangat dekat, seperti dua
sisi mata uang.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin, 1995. Stilistika, Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.
Semarang; IKIP Semarang Press
Garyoan, 2002. Kyouyou gaido, Jinsei no Tomo. http://www.melma.com
Jassin, H.B. 1976. Sastra Indonesia Sebagai Warga Dunia. Jakarta: Gramedia.
__________.1991. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: haji Masagung
Junus, Umar. 1989. Stilistik, satu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka kemetrian Pendidikan Malaysia.
Keraf, Gorys. 1987. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Leech, Geoffrey N., and Short, Michael H. 1981. Style in Fiction. A Linguistic
Introduction to English Fictional Prose. London and New York: Longman
Paperback
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Edisi Kedua. Jakarta: Rineka Cipta
Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada Press
___________________. 2005. Kajian Stilistika. Yogyakarta: Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada. Tidak diterbitkan
Teeuw. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia
______. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya
______. 1988. Tergantung Pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya
Turner, G.W. 1977. Stylistics. New York: Penguin Books
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan (terj. Melani
Budianta). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Download